[ Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi]
2012
[ R1]
Harmonisasi Hubungan Lintas Kultural
Masyarakat Transmigrasi Mendukung Pusat Pertumbuhan
(Kasus Peningkatan Kemampuan dan Keterampilan Agen/Fasilitator Mendukung Koridor EkonomiKalimantan Timur Kabupaten Paser Dengan Komoditi Kelapa Sawit)
[ Drs. Anharudin, MSi]
LATAR BELAKANG
• Kebijakan pemerintah (Kemnakertrans) terhadap fenomena pluralitas dan heterogenitas belum berciri sensitif, program sering didesain dalam bentuk penyeragaman, dan bukan “perlakuan khusus” (affirmatif) atas dasar perbedaan. • Dengan menempatkan, memukimkan, dan mempertemukan berbagai varian etnik dan budaya dalam suatu kawasan
permukiman baru, transmigrasi mengandung implikasi hubungan lintas-kultural dan etnik, baik antara transmigran dengan transmigran maupun antara transmigran dengan masyarakat lokal-setempat. Salah salah satu bentuk implikasi dari hubungan tersebut adalah disharmoni, konflik, ketegangan, pertikaian, disintegrasi, atau berbagai macam ketidak-nyamanan kondisi sosio-kultural, baik yang potensial maupun yang aktual.
• Sikap dan pandangan inklusif, pluralis dan multikulturalis, dalam ketransmigrasian perlu diperluas secara sistematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan, baik pada ranah hilir (pembinaan), maupun ranah hulu (perencanaan dan penyiapan infrastruktur permukiman baru).
• Strategi pembinaan hubungan lintas-kultural dan etnik, sebagai salah satu bentuk perlakuan budaya masyarakat transmigrasi, perlu dikembangkan dan perlu menjadi agenda penting dalam konteks pengembangan masyarakat transmigrasi yang berciri pluralistik.
Secara teoretik, setidaknya ada dua pendekatan pengelolaan masyarakat majemuk, khususnya tentang wacana hubungan hubungan lintas-kultural (cross-culture-relation), yaitu (a) Konsep “kancah pembauran” (melting pot), dan (b) pluralisme kebudayaan (cultural pluralism). Teori “kancah pembauran” berasumsi bahwa integrasi (kesatuan) akan terjadi dengan sendirinya pada suatu waktu apabila orang berkumpul pada suatu tempat yang membaur, seperti di sebuah kota atau pemukiman industri. Sebaliknya, konsep “pluralisme kebudayaan” justru menentang konsep kancah pembauran, karena gagasan melting prot dipandang hanya sebagai mitos. Transmigrasi perlu mengadopsi berbagai konsep teoretik tentang pengembangan hubungan lintas-etnik dan kultural, sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat yang dibangunnya.
PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah kecenderungan hubungan lintas-etnik dan lintas-budaya
masyarakat transmigrasi di kawasan pertumbuhan transmigrasi?
2. Apa saja nilai-nilai budaya masyarakat transmigrasi yang perlu dikembangkan
guna menopang perkembangan kawasan pertumbuhan baru?
3. Apa saja bentuk perlakuan dan input-input pengembangan budaya yang tepat
untuk memprakondisikan terjadinya transformasi budaya yang mendukung
perkembangan kawasan pertumbuhan?.
4. Bagaimana bentuk metode yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai, sikap
dan perilaku budaya yang dapat menopang perkembangan kawasan
METODOLOGI
Ruang Lingkup Kegiatan: 1. Memahami tendensi (kecenderungan) hubungan lintas etnik dan budaya dalam masyarakat transmigrasi yang berada di dalam kawasan pertumbuhan baru transmigrasi. 2. Memahami nilai-nilai budaya yang perlu dikembangkan guna menopang perkembangan kawasan pertumbuhan baru. 3. Merumuskan bentuk perlakuan dan input-input pengembangan budaya yang tepat untuk memprakondisikan terjadinya transformasi budaya yang mendukung perkembangan kawasan pertumbuhan. 4. Penerapan metode penanaman nilai-nilai, perubahan sikap dan perilaku budaya yang relevan bagi kalangan masyarakat transmigran guna menopang perkembangan kawasan pertumbuhan transmigrasi.
Fokus Kegiatan: Sebuah penelitian (riset) sosial yang didesain bukan saja dalam bentuk penelitian eksplanatory (menjelaskan), yang berupaya memahami fenomena sosial, dengan metode dan prosedur penelitian kualitatif, tetapi juga sekaligus sebagai penelitian tindakan (action research), dengan orientasi perubahan sikap dan perilaku-(tindakan) masyarakat. Riset aksi dilakukan dengan membekali kemampuan dan keterampilan personal (petugas) daerah, untuk menjadi agen-agen (fasilitator) yang mumpuni untuk mempengaruhi sikap dan perilaku publik dalam rangka proses integrasi, harmonisasi hubungan lintas-etnik dan kultural, serta akulturasi menyeluruh antara transmigran dan masyarakat sekitar di kawasan transmigrasi.
Desain Penelitian: Riset ini didesain bukan saja sebagai penelitian eksplanatory (menjelaskan) tentang fenomena yang diteliti, dengan metode penelitian kualitatif, tetapi juga merupakan penelitian tindakan (action research), dengan tujuan mempengaruhi sikap dan perilaku-(tindakan) masyarakat.
Tahapan – Metode Pelaksanaan Kegiatan : persiapan, pelaksanaan (kaji lapang, koleksi data, diseminasi informasi dan sosialisasi (pelatihan kelompok agen), penyusunan konsep pengembangan kebijakan, monitoring dan evaluasi, dan penyusunan laporan kegiatan.
Perkembangan dan Hasil Kegiatan : Riset ini telah berhasil dilaksanakan dengan berbagai temuan dan konsep pengembangan. Hasil riset sampai pada kesimpulan bahwa kedepan, pembangunan transmigrasi perlu mengembangkan perlakuan budaya dengan
SINERGI KOORDINASI
Lingkup dan bentuk koordinasi yang dilakukan : Koordinasi lintas-sektor diwujudkan dalam bentuk
kelompok kerja antar-departemen atau lintas-dinas yang berfungsi mengkoordinasikan seluruh sumber daya
pembangunan di daerah, terutama pengembangan kawasan pertumbuhan transmigrasi.
Nama lembaga yang diajak koordinasi : Perguruan Tinggi (di tingkat Pusat), BPS, Dinas Nakersos,
Bappeda Kabupaten Paser, dan Camat Long Ikis.
Strategi pelaksanaan koordinasi: . Strategi perencanaan lintas-ektor atau lintas dinas ditempuh melalui dua
jalur pembangunan, yaitu jalur pembangunan sektoral di daerah dan jalur pembangunan sektoral nasional.
Dalam konteks ini, implementasi strategi sinergi dan koordinasi lintas-sektor (lintas- instansi) dilakukan guna
menumbuhkan kerjasama peningkatan efektivitas, dalam melaksanakan kegiatan keproyekan.
Signifikansi capaian koordinasi yang dilakukan: Capaian koordinasi pada tingkat daerah, terutama dalam
bentuk munculnya kesadaran dan kehendak bersama lintas-dinas (sektor) untuk terus bekerjasama
melakukan sinergi. Hal ini menjadi sangat penting (signifikan) dalam upaya pengembangan ekonomi
masyarakat transmigrasi. Transmigrasi tidak bisa dilakukan tanpa adanya kerjasama lintas-sektor secara
efektif. Pada tingkat implementasi di lapangan, sektor-sektor terkait perlu bergerak (bekerja) bersama, saling
menopang, baik pada tataran kebijakan lintas-sektor (lintas-dinas), maupun pada tataran program dan
kegiatan yang relevan dengan upaya-upaya perkembangan ekonomi masyarakat transmigrasi.
PEMANFAATAN HASIL KEGIATAN
Kerangka dan strategi pemanfaatan hasil kegiatan :Strategi pemanfaatan hasil berupa model “program perlakuan budaya” yang efektif dan akurat bagi masyarakat transmigran, sebagai salah satu kekuatan pendukung pertumbuhan kawasan.
Wujud - bentuk pemanfaatan hasil kegiatan: model “program perlakuan budaya” yang efektif dan akurat bagi masyarakat transmigran, sebagai salah satu kekuatan pendukung pertumbuhan kawasan. Juga sebagai bahan perumusan kebijakan transmigrasi, masuk kedalam rancangan peraturan baik Peraturan Pemerintah (PP), maupun Peraturan menteri (Permen) lain yang mendukung pembinaan (pengembangan) masyarakat transmigrasi
Data (jumlah dan demografi) pihak yang memanfaatkan hasil kegiatan: Peserta pelatihan sebanyak 15 orang (diambil dari desa-desa di wilayah kecamatan) direkrut dari unsur masyarakat yang mewakili transmigran, non-transmigran, dan unsur pemuda serta tokoh agama (masyarakat), dengan salah satu persyaratan bahwa ia dapat menjadi motivator dan aktif menjalankan tugas-tugas fasilitator perubahan. Diharapkan ke 15 orang ini berperan sebagai agent of change. Kecamatan Long Ikis diambil sebagai tempat kegiatan pelatihan para agen tersebut, karena di Kecamatan ini sekitar 75% dari desa yang ada, adalah desa eks-transmigrasi (UPT) dengan pola usaha perkebunan Sawit.
Signifikansi pemanfaatan yang dirasakan pihak penerima manfaat hasil kegiatan: Meminimalisir potensi kecemburuan sosial dan mencegah konflik-disharmoni di kalangan mayarakat di permukiman transmigrasi. Melalui dialog intensif antara masyarakat transmigran dengan masyarakat sekitar, di mana peneliti menjadi fasilitator (penengah) maka telah tumbuh kesadaran co-eksistensial. Pada tingkat praktis, pemerintah daderah juga telah diberi rekoemdasi untuk memberikan subsidi bagi masyarakat desa-desa sekitar transmigrasi, atau dengan meningkatkan jumlah transmigran setempat, atau dengan