• Tidak ada hasil yang ditemukan

BULETIN TEKNIK LITKAYASA SUMBER DAYA DAN PENANGKAPAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BULETIN TEKNIK LITKAYASA SUMBER DAYA DAN PENANGKAPAN"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Alamat Redaksi/Penerbit:

Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konsevasi Sumber Daya Ikan

Jl. Pasir Putih I Ancol Timur Jakarta Utara 14430

Telp. (021) 64711940; Fax. (021) 6402640

Email: drprpt2009@gmail.com

BULETIN TEKNIK LITKAYASA SUMBER DAYA DAN PENANGKAPAN diterbitkan oleh

Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konsevasi Sumber Daya Ikan-Badan Penelitian

dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan-Kementerian Kelautan dan Perikanan.

ISSN 1693-7961

BULETIN TEKNIK LITKAYASA

SUMBER DAYA DAN PENANGKAPAN

Volume 10 Nomor 1 Juni 2012

BULETIN TEKNIK LITKAYASA SUMBER DAYA DAN PENANGKAPAN adalah

publikasi untuk Teknisi Litkayasa, yang berisi mengenai kegiatan teknisi

litkayasa terkait dengan prospek pengembangan, analisis kegiatan

lapangan, dan lain-lainnya yang berhubungan dengan sumber

daya dan penangkapan dan disajikan secara praktis,

jelas, dan bersifat semi ilmiah.

Terbit pertama kali tahun 2003 dengan frekuensi penerbitan

sekali dalam setahun. Sejak tahun 2006, publikasi ini

terbit dua kali dalam setahun yaitu pada bulan:

JUNI dan DESEMBER.

Ketua Redaksi:

Dra. Sri Turni Hartati, M.Si.

Anggota:

Ir. Agustinus Anung Widodo, M.Si.

Drs. Suwarso, M.Si.

Dra. Adriani Sri Nastiti, M.Si.

Dra. Ni’am Muflikhah

Redaksi Pelaksana:

Ralph Thomas Mahulette, S.Pi., M.Si.

Kharisma Citra Partadinata, S.Sn.

Desain Grafis:

Darwanto, S.Sos.

(2)

Halaman i iii 1-4 5-7 9-11 13-16 17-20 21-25 27-30 31-34

BULETIN TEKNIK LITKAYASA

Volume 10 No. 1 Juni 2012

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………... DAFTAR ISI ………...

ISSN 1693-7961

Penangkapan Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) Menggunakan Rawai Udang di Sungai Siak Bagian Hilir, Provinsi Riau

Oleh: Syamsul Bahri dan Achmad Saiyani ... Studi Pengamatan Plankton di Suaka Perikanan Teluk Rasau Palembang, Sumatera Selatan

Oleh: Mirna Dwirastina ... Penangkapan Ikan Memakai Rawai Dasar (Long Line) di Sungai Musi Bagian Hulu, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan

Oleh: Syamsul Bahri dan Muhtarul Abidin ... Perbandingan Kelimpahan dan Indeks Biologi Plankton di Sungai Musi Bagian Hilir

Oleh: Yanu Prasetiyo Pamungkas ... Pengoperasian Pancing Rawai Tuna (Tuna Longline) di Samudera Hindia

Oleh: Enjah Rahmat ………. Pengoperasian Jaring Payang di Perairan Pelabuhan Ratu

Oleh: Enjah Rahmat ... Identifikasi Jenis Ikan di Suaka Perikanan Awang Landas Sungai Barito, Kalimantan Selatan

Oleh: Burnawi ... Pengukuran Morfometrik Ikan Baung Munti (Bagrichthys macracanthus) di Sungai Musi

(3)

KATA PENGANTAR

Buletin Teknisi Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan Volume 10 Nomor 1 Juni 2012 adalah terbitan pertama pada Tahun 2012. Pencetakan Buletin ini dibiayai oleh DIPA Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI).

Buletin Teknisi Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan ini menampilkan delapan artikel yang bersumber dari kegiatan penelitian yang berada di lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan (P4KSI). Terdiri atas enam artikel yang berasal dari Balai Riset Perikanan Perairan Umum-Palembang dan dua artikel dari Balai Riset Perikanan Laut-Muara Baru. Delapan artikel mengulas tentang Penangkapan Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii) menggunakan Rawai Udang di Sungai Siak bagian hilir, Provinsi Riau., Studi pengamatan Plankton di Suaka Perikanan Teluk Rasau Palembang, Sumatera Selatan., Penangkapan ikan memakai rawai dasar (Long Line) di Sungai Musi bagian Hulu, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan., Perbandingan kelimpahan dan indeks Biologi Plankton di Sungai Musi Bagian Hilir., Pengoperasian pancing Rawai Tuna (Tuna Longline) di Samudera Hindia., Pengoperasian jaring payang di Perairan Pelabuhan Ratu., Identifikasi jenis ikan di Suaka Perikanan Awang Landas Sungai Barito, Kalimantan Selatan., Pengukuran morfometrik Ikan Baung Munti (Bagrichthys macracanthus) di Sungai Musi.

Buletin Teknisi Litkayasa Sumber Daya dan Penangkapan ini diharapkan dapat menambah wawasan sekaligus merupakan media peningkatan kapasitas para teknisi litkayasa yang berada di UPT lingkup Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan.

(4)

Penangkapan Udang Galah ... Bagian Hilir, Provinsi Riau (Bahri, S. & A. Saiyani)

PENANGKAPAN UDANG GALAH (Macrobrachium rosenbergii)

MENGGUNAKAN RAWAI UDANG DI SUNGAI SIAK BAGIAN HILIR,

PROVINSI RIAU

Syamsul Bahri dan Achmad Saiyani

Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang

Teregistrasi I tanggal: 10 September 2007; Diterima setelah perbaikan tanggal: 7 Mei 2012; Disetujui terbit tanggal: 9 Mei 2012

PENDAHULUAN

Sungai Siak merupakan salah satu daerah penangkapan ikan (fishing ground) yang cukup penting bagi masyarakat nelayan di Provinsi Riau. Sungai Siak mempunyai karakteristik perairan di mana bagian tengah berasosiasi dengan rawa banjiran (floodplain). Perairan bagian hilir dipengaruhi pasang surut air laut dan berair payau bagian hulunya terletak di dataran tinggi berair tawar. Sepanjang aliran sungai menerima aliran beberapa anak sungai dengan karakteristik yang beragam.

Udang galah (Macrobrachium rosenbergii) merupakan salah satu sumber daya ikan yang banyak dimanfaatkan. Udang galah mempunyai nilai ekonomis tinggi. Di Provinsi Riau, pasokan udang galah untuk memenuhi kebutuhan konsumen didominansi dari hasil tangkapan di perairan umum. Di Sungai Siak, udang galah dapat ditemukan di bagian hilir sampai hulu sungai. Utomo (2001) mengatakan bahwa siklus hidup udang galah memerlukan dua habitat yaitu perairan air tawar dan payau. Udang galah tumbuh dewasa dan kawin di perairan tawar, dan telur menetas sampai post larva berada di perairan payau. Gambar 1 menyajikan udang galah dewasa.

10 cm

Gambar 1. Udang galah dewasa.

Alat tangkap yang sering digunakan untuk menangkap udang galah oleh nelayan di perairan Sungai Siak bagian hilir yaitu sengkirai bilah (pot traps), jala (cash net), pancing (hook), bubu gendang (pot), dan rawai udang (shrimp long line). Rawai udang merupakan salah satu alat tangkap yang banyak digunakan. Untuk mengetahui teknik penangkapan

udang galah menggunakan rawai udang, maka tahun 2007 telah dilakukan suatu pengamatan di Sungai Siak bagian hilir di Desa Valas, Kecamatan Air Hitam, Provinsi Riau. Pengamatan dilakukan empat kali yaitu masing-masing dua kali pada musim penghujan (bulan September dan Oktober) dan dua kali pada musim kemarau (bulan Juni dan Agustus). Tujuan pengamatan adalah untuk mempelajari desain dan konstrusi rawai udang, cara pengoperasian rawai udang serta hasil tangkapan rawai udang di daerah pengamatan.

POKOK BAHASAN Lokasi Penangkapan

Hasil pengamatan dengan menggunakan alat global positioning system menunjukan bahwa nelayan Desa Valas, Provinsi Riau melakukan penangkapan udang galah menggunakan rawai di Sungai Siak adalah pada daerah dengan posisi 00.33.124 LU-101.24.007 BT dan sekitarnya yang diambil dari Google Earth tahun 2007 (Gambar 2). Lokasi ini merupakan bagian hilir dari Sungai Siak yang dipengaruhi fluktuasi pasang surut air laut.

Lokasi panangkapan udang 00.33.124 LU-101.24.007 BT

dan sekitarnya

Pekanbaru

Sungai Siak

(5)

BTL. Vol.10 No. 1 Juni 2012 : 1-4

Konstruksi Rawai Udang

Satu unit alat tangkap rawai udang galah yang dioperasikan nelayan Desa Valas di Sungai Siak terdiri atas tiga bagian utama yaitu tiang bambu atau unjar, tali utama, dan paku sebagai pengait umpan. Tiang bambu mempunyai Ø 8-10 cm dan panjang 3-4 m atau tergantung kedalaman perairan sungai. Tali utama terbuat dari bahan serat rosela atau sejenis serat sebagai bahan utama karung goni diameter tali 3 mm dan panjang tali 50 m dan paku baja ukuran 2 inci. Sebanyak 48 buah paku dikaitkan sepanjang tali cabang yang satu dengan lainnya 1 m. Paku berfungsi untuk mengkaitkan umpan yaitu potongan kelapa ukuran 3x3 cm. Rawai udang galah yang dioperasikan nelayan Desa Valas di Sungai Siak tidak dilengkapi mata pancing sebagaimana konstruksi rawai pada umumnya. Salah satu bagian terpenting pada kontruksi rawai adalah mata pancing (Latief & Wijopriono, 1993; Wudianto et al., 1995; Susanto et al., 1988). Fungsi pancing digantikan dengan paku yang berfungsi sebagai pengait umpan. Gambar 3 konstruksi alat tangkap rawai udang galah di Sungai Siak. Konstruksi demikian menunjukan bahwa rawai udang tergolong alat tangkap yang khas.

50 m

Permukaan air

Tali utama bahan serat rosella Ø 3 mm 1 m Tiang bambu/unjar Ø 8-10 cm, panjang 1-3 m Umpan (kelapa 3x3 cm)

Paku baja 2 inci

Dasar perairan

Selain alat tangkap tersebut di atas, perlengkapan lain yang diperlukan pada rawai udang galah adalah serok/seser atau disebut sanggi yang berguna untuk menangkap udang yang telah memakan umpan rawai. Wahana yang digunakan untuk mengoperasikan rawai udang galah di Sungai Siak adalah perahu dayung ukuran pxlxd (6,0x0,8x0,5) m.

Cara Pengoperasian Bubu Udang

Rawai udang galah di Sungai Siak dioperasikan pada malam hari setelah matahari terbenam. Rawai pasang di tepi sungai dengan jarak 2 m dari pinggir sungai dengan kedalaman air 1-3 m. Rawai dipasang Gambar 3. Konstruksi rawai udang galah di Sungai

Siak.

Bagian rawai yang pertama dipasang adalah dua tiang bambu (unjar) dengan cara ditancapkan secara vertikal pada dasar perairan. Pemasangan tiang bambu berdiri kokoh untuk mengantisipasi terjangan arus aliran sungai. Jarak antar tiang sekitar 50 m. Selanjutnya dipasang tali utama yang telah dikaiti paku dan umpan potongan kelapa. Tali utama dipasang dengan cara mengikatkan salah satu ujungnya pada satu tiang bambu (unjar) dan ujung lainnya pada unjar lainnya yang telah dipasang sebelumnya. Tali utama diikatkan secara strike pada tiang-tiang bambu (unjar) 50-60 cm di bawah permukaan air sungai.

Setelah rawai terpasang, maka pengambilan hasil tangkapan udang dilakukan setiap sekiran 30 menit sekali. Udang yang telah memakan umpan tidak cepat-cepat melepaskan diri dan kesempatan tersebut digunakan nelayan untuk menangkapnya dengan cara menyeroknya dengan seser atau sanggi yang telah disediakan. Setiap 30 menit nelayan mendekati setiap umpan yang terkait paku sepanjang tali utama dengan menggunakan perahu dayung. Udang yang tertangkap disimpan dalam keadaan hidup dengan cara memasukan ke dalam wadah yang berisi air tawar bersih dengan jumlah yang cukup. Hanya udang ukuran dewasa yang diambil, udang ukuran kecil yang muda dikembalikan lagi ke sungai. Penangkapan udang galah dengan rawai udang tergolong metode penangkapan yang selektif dan ramah lingkungan karena hanya udang dewasa yang ditangkap.

Hasil Tangkapan

Hasil tangkapan udang galah memakai rawai udang di Sungai Siak dapat dilihat pada Tabel 1, 2, 3 dan 4. Bulan Juni 2007 hasil tangkapan satu unit rawai udang 142 kg yang terdiri atas 55 kg kategori udang induk dan 87 kg kategori udang dewasa. Bulan Agustus 2007 hasil tangkapan satu unit rawai udang 145 kg yang terdiri atas 65 kg kategori udang induk dan 80 kg kategori udang dewasa. Penangkapan bulan Juni dan Agustus mewakili penangkapan pada musim penghujan. Bulan September 2007 hasil tangkapan satu unit rawai udang 136 kg yang terdiri atas udang induk ukuran kisaran panjang 15-30 cm sebanyak 51 kg dan udang dewasa ukuran panjang 85 kg. Bulan Oktober 2007 hasil tangkapan satu unit rawai udang 135 kg yang terdiri atas 52 kg kategori udang induk dan 83 kg kategori udang dewasa. Kedua bulan tersebut mewakili penangkapan pada musim kem arau. Jika dilihat dari jum lahnya hasil tangkapannya, penangkapan pada musim penghujan jumlahnya lebih besar dibanding pada musim kemarau.

(6)

Penangkapan Udang Galah ... Bagian Hilir, Provinsi Riau (Bahri, S. & A. Saiyani)

Tabel 1. Hasil tangkapan udang galah di Sungai Siak, bulan Juni 2007

No. Kisaran ukuran panjang (cm) Jumlah (kg) Keterangan

1. 2. 3. 15-30 10-15 0 55 87 0

Kategori induk udang Kategori udang dewasa Kategori udang muda/juwana

Jumlah 142

Tabel 2. Hasil tangkapan udang galah di Sungai Siak, bulan Agustus 2007

No. Kisaran ukuran panjang (cm) Jumlah (kg) Keterangan

1. 2. 3. 15-30 10-15 0 65 80 0

Kategori induk udang Kategori udang dewasa Kategori udang muda/juwana

Jumlah 145

Tabel 3. Hasil tangkapan udang galah di Sungai Siak, bulan September 2007

No. Kisaran ukuran panjang (cm) Jumlah (kg) Keterangan

1. 2. 3. 15-30 10-15 0 51 85 0

Kategori induk udang Kategori udang dewasa Kategori udang muda/juwana

Jumlah 136

Tabel 4. Hasil tangkapan udang galah di Sungai Siak, bulan Oktober 2007

No. Kisaran ukuran panjang (cm) Jumlah (kg) Keterangan

1. 2. 3. 15-30 10-15 0 52 83 0

Kategori induk udang Kategori udang dewasa Kategori udang muda/juwana

Jumlah 135

PERSANTUNAN

Makalah ini merupakan hasil dari kegiatan penelitian karakteristik habitat, identifikasi dan domestikasi ikan Belida di Perairan Umum Indonesia. T.A. 2006. Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum-Palembang.

DAFTAR PUSTAKA

Latief, H. H. & Wijopriono. 1993. Pengamatan terhadap beberapa aspek operasional rawai dasar di Juwana, Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. (81): 29-39.

Susanto, K., C. Nasution, & T. Harifi. 1988. Penggunaan mute pada rawai dasar konvensional. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. (49): 61-73.

KESIMPULAN

1. Rawai udang untuk menangkap udang galah di Sungai Siak tergolong alat tangkap ikan yang khas karena tidak dilengkapi mata pancing. Fungsi mata pancing digantikan oleh paku sebagai pengait umpan.

2. Rawai udang merupakan alat tangkap yang selektif dan ramah lingkungan untuk mengeksploitasi udang galah di Sungai Siak. Karena alat tangkap ini hanya menangkap udang galah kategori induk dan dewasa dan tidak menangkap udang muda atau juwana.

3. Hasil tangkapan udang galah dengan rawai udang di Sungai Siak pada musim penghujan lebih banyak dibanding pada musim kemarau.

(7)

BTL. Vol.10 No. 1 Juni 2012 : 1-4

Utomo, A. D. 2001. Ruaya dan pertumbuhan udang galah (Macrobrachium roserbergii) di Sungai Lempuing Sumatera Selatan. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 78 pp.

Wudianto, Mahiswara, & M. Linting. 1995. Pengaruh ukuran mata pancing rawai dasar terhadap hasil tangkapan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. (1): 58-67.

(8)

STUDI PENGAMATAN PLANKTON DI SUAKA PERIKANAN

TELUK RASAU PALEMBANG, SUMATERA SELATAN

Mirna Dwirastina

Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang

Teregistrasi I tanggal: 23 Pebruari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 25 Mei 2012; Disetujui terbit tanggal: 29 Mei 2012

Studi Pengamatan Plankton di Suaka Perikanan Teluk Rasau Palembang, Sumatera Selatan (Dwirastina, M.)

PENDAHULUAN

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985 bahwa suaka perikanan adalah suatu perairan darat maupun laut yang ikannya tidak boleh ditangkap. Fungsi suaka perikanan sebagai sumber benih dan tempat konservasi sumber daya perikanan. Suaka perikanan merupakan upaya pengelolaan sumber daya perikanan perairan umum untuk pelestarian plasma nutfah dan peningkatan produksi (Utomo, 2002).

Salah satu suaka perikanan yang merupakan suaka tipe suaka danau dan rawa, dengan luas kurang lebih 180 ha dan di sekitar suaka banyak terdapat hutan-hutan rawa serta ada perbedaan tinggi air saat musim hujan dan kemarau kira-kira 3 m yaitu Teluk Rasau, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan (Utomo, 2002). Menurut Utomo (2002) bahwa beberapa ikan yang terdapat pada Teluk Rasau antara lain ikan baung (Mystus nemurus), palau (Osteochilus hasselti), lambak (Dangila spp.), tembakang (Helostoma temmincki), dan betok (A. testudineus).

Salah satu komponen kualitas kesuburan perairan adalah plankton karena hal ini berhubungan dengan unsur hara. Plankton dapat dikategorikan dua yaitu berupa hewan disebut zooplankton sedangkan berupa tumbuhan dan mempunyai zat hijau dan mampu

berfotosintesis m aka disebut fitoplankton. Fitoplankton merupakan produsen dan suplai makanan bagi zooplankton dan biota lainya yang ada di perairan. Keberadaan fitoplankton sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme yang ada di perairan tersebut.

Dalam proses rantai makanan fitoplankton terletak pada urutan pertama karena berperan sebagai penghasil energi dalam proses fotosintesisnya yang dibantu oleh cahaya matahari yang masuk ke perairan. Banyak sedikitnya cahaya yang terserap akan mempengaruhi jenis dan ragam fitoplakton yang dihasilkan. Fitoplankton ini akan dimakan oleh zooplankton serta ikan-ikan kecil dan besar. Urutan ini yang ada pada siklus rantai makanan di setiap ekosistem.

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui cara pengambilan plankton dan jenis plankton yang ditemukan di perairan Teluk Rasau.

POKOK BAHASAN Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Teluk Rasau, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dan waktu penelitian ini pada bulan Oktober dan Nopember 2009.

(9)

BTL. Vol.10 No. 1 Juni 2012 :

Lokasi pengambilan contoh di daerah Teluk Rasau (Gambar 1), ada dua stasiun yaitu tepi kiri (A) dan tepi kanan (B).

Alat dan Bahan

Dalam pelaksanaan penelitian ini digunakan alat-alat sebagai berikut:

1. Ember ukuran 10 L.

2. Plankton net size 20 μm dan diameter mulut jaring 30 cm.

3. Botol contoh dengan volume 100 dan 500 mL. 4. Pipet 1 mL.

5. Mikroskop inverted dengan pembesaran 20x20. 6. Kemmerer water sampler ukuran 4,2 L (Gambar

2).

Alat pengambilan contoh air pada kedalaman tertentu dengan sistem pengambilan air horisontal dengan kapasitas botol 2; 3,2; atau 4,2 L sesuai pilihan sangat cocok untuk analisis plankton dan kandungan kimia air lainnya.

Spesifikasi kemmerer water sampler antara lain bottle acrylic, sistem mekanisme penutupan botol menggunakan material MC, Per, dan besi stainless steel, pegangan dari stainless steel dilengkapi dua kran air, massanger dan tali polyester 20 m. Dapat dipasangi suhu (optional) di bagian dalam tabung untuk mengukur suhu air contoh.

Gambar 2. Kemmerer water sampler. Sedangkan bahan yang diperlukan dalam penelitian ini sebagai berikut larutan lugol, larutan formalin 40%, dan aquades.

Cara Kerja

Cara kerja dalam pengambilan contoh plankton ini sebagai berikut:

A. Persiapan dan pengambilan contoh:

1. Menyiapkan botol kemmerer water sampler untuk fitoplankton dan plankton net untuk mengambil zooplankton.

2. Menyiapkan botol contoh 500 dan 100 mL lokasi tersebut.

3. Mengambil contoh fitoplankton menggunakan kemmerer water sampler dan dimasukan botol 500 mL serta diberi pengawet berupa lugol 10 mL dalam 500 mL.

4. Mengambil contoh zooplankton dan disaring menggunakan plankton net no 20 sebanyak 50 L dan dimasukan dalam botol 100 mL serta diberi pengawet berupa formalin lima tetes.

5. Masukan botol contoh f itoplankton dan zooplankton tersebut ke dalam cold box sebagai tempat penyimpanan dalam waktu lama selama di lapangan.

6. Sampai di laboratorium contoh-contoh tersebut siap diidentifikasi.

B. Pemeriksaan di laboratorium:

1. Ambil 1 mL masing-masing contoh dan masukan dalam sedweight rafter counter plate.

2. Amati menggunakan mikroskop inverted dengan pembesaran 20x20.

3. Identifikasi jenis-jenis zooplankton menggunakan buku-buku identifikasi antara lain Pennak (1978); Mizuno (1979); Needham (1962); Jahn (1949); Bellibger (1992); American Public Health Association, American Water Works Association, & World Economic Forum (2005); Yamaji (1973); Basmi (2000).

Hasil dan Bahasan

Plankton yang ditemukan selama penelitian (Tabel 1) didapatkan 10 genus dari fitoplanton dari kelas Bacillariophyceae (Coscinodiscus) dan Chlorophycea (Staurastrum., Ankistrodesmus., Ulothrix., Cosmarium., Dactylococcopsis, Xanthidium., Closterium., Scenedesmus., dan Actinastrum.) dan 10 genus zooplankton dari kelas Ploima (Trichocerca., Anureopsis., Monostyla., dan Keratella.), Mastigophora (Euglena., Peridinium., dan Synura.), Ciliata (Verticella.), Sarcodina (Difflugia.), dan Crustacea (Diaptomus.).

(10)

Studi Pengamatan Plankton di Suaka Perikanan Teluk Rasau Palembang, Sumatera Selatan (Dwirastina, M.)

Tabel 1. Jenis plankton yang terdapat di suaka perikanan Teluk Rasau, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan

Golongan Kelas Genus Golongan Kelas Genus

Fitoplankton Bacillariophyceae Coscinodiscus Zooplankton Ploima Trichocerca

Chlorophyceae Staurastrum Anureopsis

Ankistrodesmus Monostyla

Ulothrix Keratella

Cosmarium Mastigophora Euglena

Dactylococcopsis Peridinium

Xanthidium Synura

Closterium Ciliata Verticella

Scenedesmus Sarcodina Difflugia

Actinastrum Crustacea Diaptomus

KESIMPULAN

1. Perairan Teluk Rasau terdapat 10 genus fitoplankton dalam dua kelas.

2. Perairan Teluk Rasau Terdapat 10 genus zooplankton terdapat lima kelas.

PERSANTUNAN

Makalah ini merupakan hasil kegiatan Ristek yang bertemakan “Karakteristik Habitat Ikan Marga Channa di Teluk Rasau,OKI Sumatera Selatan 2009” di Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum Palembang. DAFTAR PUSTAKA

Bellinger, E. G. 1992. A Key I Common Algae. The Institution of W ater and Environm ental Management. p. 1-38.

Basmi, J. 2000. Diatom dalam Gambar. Institut Pertanian Bogor. p. 1-171.

Jahn, T. L. 1949. The Protozoa. W. M. C. Brown Company Publishers. p. 1-234.

Mizuno, T. 1979. Illustrations of the Freshwater Plankton of Japan. Hoikusha Publishinhco. p. 1-343.

Needham, J. G. 1962. A Guide to the Study of Freshwater Biology. Holden Day. p. 1-108. Pennak, R. W. 1978. Freshwater Invertebrates of the

United States. Awilley Interscience Publication. p. 1-20.

Suarna, I W., I W. Restu, & I M. S. Wijana. 2007. Studi biota air laut di perairan Pemaron Singaraja, Bali. Jurnal Bumi Lestari. 7 (1): 24-30.

Utomo, A. D. 2002. Suaka perikanan di perairan umum rawa banjiran. Warta Penelitian Perikanan Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Jakarta. 8 (2): 15-18.

Yamaji, I. 1973. Illustration of Marine Plankton. Hoikusha Publishing Co. Ltd. Osaka. Japan. 56 p.

(11)

PENANGKAPAN IKAN MEMAKAI RAWAI DASAR (LONG LINE)

DI SUNGAI MUSI BAGIAN HULU, KABUPATEN LAHAT,

PROVINSI SUMATERA SELATAN

Syamsul Bahri dan Muhtarul Abidin

Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang

Teregistrasi I tanggal: 23 Nopember 2007; Diterima setelah perbaikan tanggal: 9 Mei 2012; Disetujui terbit tanggal: 11 Mei 2012

Penangkapan Ikan Memakai Rawai ... Lahat, Provinsi Sumatera Selatan (Bahri, S. & M. Abidin)

PENDAHULUAN

Lahan perairan umum meliputi sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya, yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Mengingat potensi perikanan perairan umum yang cukup besar dengan tingkat pemanfaatan yang kecil, maka peluang untuk peningkatan hasil tangkapan ikan di perairan umum cukup tinggi. Nam un dem ikian peningk atan pemanfaatan potensi perikanan perairan umum perlu didasarkan atas pemanfaatan yang rasional sehingga kelestarian perikanan perairan umum dapat terjamin.

Aktivitas penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap rawai dasar banyak dilakukan petani atau nelayan di Sungai Musi bagian hulu tepatnya di Desa Tebing Tinggi, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan. Sungai Musi bagian hulu dimulai dari Desa Taberana Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, dengan ketinggian 600 m di atas permukaan laut panjang 187 km berakhir di Kecamatan Muara Kelingi, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan (Samuel et al., 2002) (Gambar 1). Tujuan tulisan ini untuk mengetahui teknik penangkapan ikan memakai alat tangkap tersebut.

(12)

BTL. Vol.10 No. 1 Juni 2012 :

POKOK BAHASAN Bahan dan Metode

Bahan yang dipergunakan untuk membuat satu unit alat tangkap rawai dasar terdiri atas tali nilon diameter 0,5 cm; bilah bubu 0,5 cm; tali senar ukuran diameter 1,5 mm atau nomor 100-200, dan pancing ukuran nomor 6.

Alat tangkap rawai dasar yang dipergunakan oleh petani atau nelayan di Desa Tebing Tinggi, Kabupaten Lahat dengan ukuran mata pancing 50 buah panjang tali ris atau utama 52 m (Gambar 2).

Cara pembuatan alat tangkap rawai dasar sebagai berikut tali ris atau tali utama direntang sepanjang ukuran alat yang akan dibuat kemudian bilah bambu dengan ukuran 0,5 cm diikatkan pada tali ris tersebut dengan jarak 1 m dengan bilah bambu yang lainnya, pada ujung bilah bambu dipasang tali pancing dengan ukuran antara pancing dengan bilah bambu 5 cm gunanya supaya tali tersebut tidak kusut, diujung tali dipasang pancing dengan ukuran mata pancing 6-12.

mencakup musim penghujan dua kali yaitu pada bulan Oktober dan Desember sedangkan musim kemarau dilakukan pada bulan Juli dan Agustus 2002. Hasil dan Bahasan

Nelayan di wilayah ini pada umumnya mempunyai alat tangkap rawai dasar masing-masing satu unit dengan mata pancing 50 buah.

Alat tangkap rawai dasar yang oleh petani atau nelayan di wilayah Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan dioperasikan dengan cara merentang alat di dasar sungai dengan kedalaman 1-5 m dan membujur sungai. Tali ris bagian hulu, dan hilir diikatkan pada patok yang telah dipersiapkan gunanya supaya alat tersebut tidak hanyut terbawa arus air, sedangkan tali ris bagian tengah diberi pemberat supaya alat tersebut tidak naik ke atas permukaan air.

Sebelum alat ini dioperasikan terlebih dulu dipasang umpan yang dikaitkan pada mata pancing satu persatu dengan umpan cacing, ikan kecil, dan jeroan ayam. Alat tangkap rawai dasar dioperasikan setelah matahari terbenam dan diambil hasilnya pada pagi hari.

Produktivitas alat ini di Sungai Musi bagian hulu (Tebing Tinggi, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumetera Selatan) berkisar antara 30-40 ekor/alat/malam. Daya tahan alat ini tergolong lama terkecuali kalau pancingnya putus diganti dengan yang baru. Hasil tangkapan rawai dasar yang dipergunakan oleh petani nelayan di Desa Tebing Tinggi, Kecamatan Tebing Tinggi (Kabupaten Lahat) dalam satu bulan dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar 2. Alat tangkap rawai dasar. Metode pengamatan dilakukan dengan metode survei lapangan, survei lapangan dilakukan empat kali

Tabel 1. Jumlah dan komposisi hasil tangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap rawai dasar di Sungai Musi bagian hulu selama satu bulan (bulan Juli 2002)

No. Jenis ikan Jumlah (kg) Keterangan

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Baung (Mystus nemurus) Baung jaksa (Macrones wicky) Langli (Botia hymenophysa) Patin (Pangasuis jambal) Tilan (Mastecembulus unicolor) Piluk (Mastecembulus notophthalmus)

140 30 10 250 60 40

Jumlah alat tangkap satu unit

Jumlah 530

(13)

Penangkapan Ikan Memakai Rawai ... Lahat, Provinsi Sumatera Selatan (Bahri, S. & M. Abidin)

KESIMPULAN

1. Alat tangkap rawai dasar dipakai untuk menangkap ikan dasar diperairan sungai. Umpan yang digunakan adalah cacing, ikan kecil, dan jeroan ayam. Dioperasikan setelah matahari terbenam dan diambil hasilnya pada pagi hari.

2. Alat tangkap rawai dasar dioperasikan di perairan sungai ketika air surut (musim kemarau) dan berakhir pada awal musim penghujan (musim banjir).

3. Hasil tangkapan dominan pada bulan Juli terutama terdiri atas ikan baung (Mystus nemurus) dan patin (Pangasuis jambal).

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan hasil kegiatan dari Penelitian Inventarisasi Jenis-Jenis ikan di perairan sungai Musi dan Anak-Anak Sungai Bagian Hulu Tengah dan Hilir, di Sumatera Selatan.T.A. 2003. Balai Penelitian Perikanan Umum. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Samuel (penanggungjawab penelitian) dan Subagja, Ssi (peneliti), serta Teknisi Speed boat di Perairan sungai Musi yang telah membantu dalam penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Samuel, S. Adjie, Subagja, Akrimi, & S. Bahri. 2002. Inventarisasi dan distribusi biota. serta karakteristik habitat perairan Sungai Musi. Laporan Teknis 2002. Proyek Penelitian Perikanan Air Tawar pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum Palembang. 32 pp.

(14)

PERBANDINGAN KELIMPAHAN DAN INDEKS BIOLOGI PLANKTON

DI SUNGAI MUSI BAGIAN HILIR

Yanu Prasetiyo Pamungkas

Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang

Teregistrasi I tanggal: 21 Pebruari 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 7 Mei 2012; Disetujui terbit tanggal: 9 Mei 2012

Perbandingan Kelimpahan dan Indeks Biologi Plankton di Sungai Musi Bagian Hilir (Pamungkas, Y.P.)

PENDAHULUAN

Indeks biologi adalah nilai-nilai yang dicari untuk melihat faktor biologi dari plankton, yaitu indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi. Dengan menghitung indeks biologi dari plankton di suatu perairan maka akan dapat diketahui bagaimana tingkat keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi dari plankton yang hidup di perairan tersebut. Menurut Odum (1971) dalam Maduppa (2007) mengatakan bahwa indeks keanekaragaman menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis untuk mempermudah dalam menganalisis informasi jumlah individu masing-masing bentuk pertumbuhan atau genus organisme dalam suatu komunitas habitat organisme. Sedangkan indeks keseragaman menggambarkan penyebaran individu antar spesies yang berbeda dan diperoleh dari hubungan antara keanek aragam an dengan keanekaragaman maksimalnya (Bengen, 2000 dalam Maduppa, 2007). Indeks dominansi digunakan untuk melihat tingkat dominansi kelompok biota tertentu dalam suatu habitat.

Ampera dan Arisan Musi merupakan lokasi di Sungai Musi bagian hilir yang dijadikan stasiun pengamatan dalam penelitian. Ampera merupakan bagian dari aliran Sungai Musi bagian hilir dan menjadi salah satu pusat perekonomian di sepanjang Sungai Musi karena banyak kawasan industri di sekitarnya. Sedangkan Arisan Musi adalah bagian Sungai Musi bagian hilir yang belum ada industri didirikan di sekitarnya. Menurut Utomo et al., (1995) dalam Husnah et al., (2005) bahwa wilayah daerah aliran sungai bagian tengah mencakup daerah Muara Kelingi, Kabupaten Musi Rawas ke arah hilir sampai Desa Tebing Abang, Kabupaten Muara Enim, sehingga kedua lokasi tersebut masuk ke Sungai Musi bagian hilir. Dalam tulisan ini akan disajikan perbandingan kelimpahan dan indeks biologi plankton di Ampera dan Arisan Musi.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan informasi mengenai perbandingan kelimpahan dan indeks biologi plankton yaitu indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi plankton di dua habitat berbeda, yaitu di Ampera dan Arisan

Musi.

POKOK BAHASAN Bahan dan Metode

Pengambilan contoh air dilakukan di Ampera dan Arisan Musi. Periode pengambilan contoh dilakukan tiga kali yaitu pada bulan Maret, Mei, dan Agustus 2010. Contoh yang telah diambil kemudian di identifikasi dan dihitung di Laboratorium Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang untuk mengetahui kelimpahan dan jenis planktonnya. Kelimpahan plankton dihitung dengan persamaan yang diterangkan dalam American Public Health Association (1989), yaitu:

N=Oi/OpxVr/Vox1/Vsxn/p ... (1 di mana:

N = jumlah individu per liter

Oi = luas gelas penutup preparat (mm2) Op = luas satu lapangan pandang (mm2) Vr = volume air tersaring (mL)

Vo = volume air yang diamati (mL) Vs = volume air yang disaring (L)

n = jumlah plankton pada seluruh lapangan pandang

p = jumlah lapangan pandang yang teramati Kemudian dilakukan dari hasil penghitungan kelimpahan dihitung nilai indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansinya. Untuk indeks keanekaragaman (H1) digunakan persamaan Shannon-Wiener atau Shannon-Weaver yang diterangkan dalam Maduppa (2007), yaitu:

S

H’=- (Pi ln Pi) ... (2 i=1

di mana:

H’ = indeks keanekaragaman Pi = perbandingan proporsi ke-i

Indeks keanekaragaman digolongkan dalam kriteria sebagai berikut:

(15)

BTL. Vol.10 No. 1 Juni 2012 :

H’ 2 : keanekaragaman kecil 2<H’ 3: keanekaragaman sedang H’>3 : keanekaragaman tinggi

Indeks keseragam an (E) dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

E=H’ ……… (3

Hmaks di mana:

E = indeks keseragaman

Hmaks = Ln S

S = jumlah jenis plankton yang ditemukan Selanjutnya nilai indeks keseragam an dikategorikan sebagai berikut:

0<E0,5 : keseragaman rendah 0,5<E0,75 : keseragaman sedang 0,75<E1 : keseragaman tinggi

Untuk indeks dominansi (C) persamaan yang digunakan sebagai berikut:

   S 1 i 2 (Pi) C . . . ( 4 ... (4 di mana: C = indeks dominansi

Pi = perbandingan proporsi ke-i

Nilai indeks dominansi dikelompokan dalam tiga kriteria, yaitu:

0<C0,5 : dominansi rendah 0,5<C075 : dominansi sedang 0,75<C1 : dominansi tinggi

Peta lokasi Stasiun Arisan Musi dan Ampera. (Keduanya masuk dalam dearah aliran Sungai Musi bagian hilir) dapat dilihat pada Gambar 1.

Hasil dan Bahasan

Hasil pemanfaatan olankton di kedua lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2.

 

Gambar 1. Peta lokasi Arisan Musi dan Ampera.

(16)

Perbandingan Kelimpahan dan Indeks Biologi Plankton di Sungai Musi Bagian Hilir (Pamungkas, Y.P.)

Tabel 1. Kelas dan genus plankton di Arisan Musi, pada bulan Maret, Mei, dan Agustus 2010

No.

Kelas dan genus plankton di Arisan Musi

Phytoplankton Zooplankton

Chlorophyceae Bacillariophyceae Cyanophyceae Euglenophyceae Phytomastigophorae

1. Chlorella Surirela Oscillatoria Trachelomonas Euglena 2. Ulothrix Tabellaria Microcystis

3. Scenedesmus Navicula Anabaena 4. Coelastrum Nitszchia Chroococcus 5. Cosmarium Fragillaria Stephanodiscus 6. Pediastrum Cyclotella Spirulina 7. Desmidium Cymbella Aphanocapsa 8. Tetraedron Melosira Diatoma 9. Chodatela Synedra 10. Euastrum Amphora 11. Oocystis 12. Arthrodesmus 13. Closterium 14. Gonatozygon 15. Hyalotheca 16. Micrasterias 17. Mougeotia 18. Netrium 19. Spondylosium 20. Staurastrum 21. Xanthidium 22. Zygnema 23. Actinastrum 24. Ankistrodesmus 25. Selenastrum

Tabel 2. Kelas dan genus plankton di Ampera, pada bulan Maret, Mei, dan Agustus 2010

No.

Kelas dan genus Plankton di Ampera

Phytoplankton Zooplankton

Chlorophyceae Bacillariophyceae Cyanophyceae Euglenophyceae Phytomastigophorae Crustacea

1. Ulothrix Surirela Oscillatoria Trachelomonas Euglena Cyclops

2. Scenedesmus Navicula Microcystis

3. Coelastrum Nitszchia Chroococcus

4. Cosmarium Fragillaria Stephanodiscus

5. Pediastrum Cyclotella Spirulina

6. Tetraedron Cymbella Aphanocapsa

7. Chodatela Melosira Diatoma

8. Euastrum Tabellaria 9. Oocystis 10. Arthrodesmus 11. Closterium 12. Gonatozygon 13. Mougeotia 14. Netrium 15. Staurastrum 16. Xanthidium 17. Actinastrum 18. Selenastrum 19. Kichneriella

Dari hasil penghitungan plankton di Arisan Musi (Tabel 1) diperoleh lima kelas plankton, yaitu tiga kelas phytoplankton dan dua kelas zooplankton. Kelas dari jenis phytoplankton adalah Chlorophyceae, Bacillariophyceae, dan Cyanophyceae. Kelas Chlorophyceae terdiri atas 25 genus, kelas

Bacillariophyceae terdiri atas 10 genus dan kelas Cyanophyceae terdiri atas delapan genus. Sedangkan kelas dari jenis zooplankton adalah Euglenophyceae dan Phytomastigophorae, yang masing-masing terdiri atas satu genus.

(17)

BTL. Vol.10 No. 1 Juni 2012 :

16

Sedangkan dari hasil penghitungan plankton di Ampera (Tabel 2) diperoleh enam kelas plankton, yaitu tiga kelas phytoplankton dan tiga kelas zooplankton. Kelas dari jenis phytoplankton adalah Chlorophyceae, Bacillariophyceae, dan Cyanophyceae. Kelas Chlorophyceae terdiri atas 19 genus, kelas

Bacillariophyceae terdiri atas tujuh genus dan kelas Cyanophyceae terdiri atas delapan genus. Sedangkan kelas dari jenis zooplankton adalah Euglenophyceae, Phytomastigophorae, dan Crustacea yang masing-masing terdiri atas satu genus.

Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa di Arisan Musi tingkat keanekaragamannya sedang, tingkat keseragaman tinggi, dan dominansinya rendah. Kecuali pada pengambilan contoh ketiga tingkat

keanekaragam annya rendah dan tingkat

keseragamannya sedang. Sedangkan di Ampera tingkat keanekaragamannya sedang, tingkat keseragamannya tinggi, dan dominansinya rendah. Hanya pada saat pengambilan contoh ketiga nilai keseragamannya sedang.

Dari hasil penghitungan indek komunitas dari dua lokasi tersebut ternyata tidak ada perbedaan yang nyata. Hal ini dimungkinkan karena dua lokasi tersebut dalam aliran sungai yang sama sehingga nilai dari indek biologinya tidak berbeda. Akan tetapi jumlah genus di Arisan Musi lebih banyak daripada Ampera yaitu 45 genus dari lima kelas sedangkan di Ampera 37 genus dari enam kelas.

KESIMPULAN

1. Indek keanekaragaman (H1) plankton di Aliran Musi relatif lebih tinggi dibanding Ampera. Nilai indek komunitas antara Arisan Musi dan Ampera tidak ada perbedaan.

2. Indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi dari Arisan Musi dan Ampera berturut-turut adalah sedang, tinggi, dan rendah.

PERSANTUNAN

Makalah merupakan hasil dari kegiatan penelitian Global Warming T.A 2010 dengan judul “Profil Bio-fisik dan Dinamika Sungai Musi dalam Konteks Perubahan Iklim Global”. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Syarifah Nurdawati, M.Si. dan rekan-rekan yang telah membantu penyelesaian tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

American Public Health Association. 1989. Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water Including Bottom Sediment and Sludges. 17thEd. Amer. Publ. Health Association Inc. New York. 1,527 pp.

Husnah, S. Nurdawati, & E. Daryati. 2005. Kegiatan penangkapan ikan di daerah aliran Sungai Musi bagian tengah. Prosiding Forum Perairan Umum Tabel 3. Indeks biologi (indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi) dari kelimpahan

plankton di Arisan Musi dan Ampera

Stasiun Waktu Indeks biologi Stasiun Waktu Indeks biologi

H' C E H' C E

Arisan Musi 1 2,7026 0,4217 0,8200 Ampera 1 2,5572 0,4114 0,8273

2 2,9994 0,4352 0,8819 2 2,6027 0,4645 0,8301

3 1,9977 0,2827 0,5933 3 2,2108 0,3756 0,6635

Keterangan: H’ = indeks keanekaragaman; C = indeks dominansi; E = indeks keseragaman 13-16

(18)

PENGOPERASIAN PANCING RAWAI TUNA (TUNA LONGLINE)

DI SAMUDERA HINDIA

Enjah Rahmat

Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta

Teregistrasi I tanggal: 15 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 5 April 2012; Disetujui terbit tanggal: 10 April 2012

Pengoperasian Pancing Rawai Tuna (Tuna Longline) di Samudera Hindia (Rahmat, E.)

PENDAHULUAN

Perairan Samudera Hindia yang membentang dari barat Sumatera sampai selatan Bali dan Nusa Tenggara adalah salah satu daerah penangkapan ikan bagi nelayan-nelayan di Indonesia. Tercatat ada empat pelabuhan yang cukup besar di Indonesia yang secara geografis menghadap ke perairan Samudera Hindia, yaitu Pelabuhan Ratu, Cilacap, Prigi (Jawa), dan Benoa (Bali). Jenis-jenis alat tangkap ikan yang digunakan nelayan Indonesia di perairan Samudera Hindia antara lain pancing rawai tuna (tuna longline), pancing tangan (hand line), jaring insang hanyut (drift gillnet), dan jaring lingkar (purse seine). Adapun jenis-jenis ikan yang tertangkap terdiri atas jenis-jenis-jenis-jenis ikan pelagis besar, pelagis kecil, dan demersal.

Pancing rawai tuna merupakan alat tangkap yang banyak digunakan untuk menangkap ikan terutama jenis-jenis tuna. Basis kapal-kapal pancing rawai tuna di Indonesia adalah di Cilacap, Benoa, Muara Baru, dan Pelabuhan Ratu.

Tujuan penulisan ini adalah untuk menguraikan teknik penangkapan ikan dengan alat tangkap pancing rawai tuna, komposisi jenis hasil tangkapan, serta memetakan daerah penangkapan ikan pancing rawai tuna.

POKOK BAHASAN Bahan dan Metode

Alat dan bahan yang digunakan terdiri atas: 1. Buku identifikasi ikan.

2. Logbook perikanan pancing rawai tuna. 3. Alat-alat tulis.

Data dan inform asi daerah dan waktu penangkapan, serta komposisi jenis hasil tangkapan didapatkan dari hasil pengamatan langsung terhadap pengoperasian alat tangkap pancing rawai tuna di atas kapal dan hasil wawancara dengan anak buah kapal. Kapal penangkap ikan yang diikuti operasi penangkapannya adalah kapal pancing rawai tuna nelayan Cilacap, Jawa Tengah pada bulan Juni 2009. Identifikasi jenis ikan hasil tangkapan menggunakan

buku Food and Agriculture Organization: Species Identification Guide for Fishery Purposes (Anonimus, 2000).

Tipe Pancing Rawai

Pancing rawai tuna adalah alat tangkap ikan yang komponen utamanya terdiri atas tali panjang atau tali utama (main line) kemudian pada tali tersebut digantungkan tali-tali pendek atau tali cabang (branch line) yang ujungnya diberi mata pancing (hook) (Subani & Barus, 1989). Dalam pengoperasiannya dilengkapi juga dengan tali pelampung, pelampung, dan pemberat. Ada tiga tipe pancing rawai yang didasarkan atas ukuran panjang tali utama (Bahar et al., 1988), yaitu:

1. Tipe rawai berukuran besar (deep longline) yaitu rawai dengan panjang tali utama 55-65 m. 2. Tipe rawai konvensional (conventional longline),

panjang tali utama 40-50 m.

3. Tipe rawai mini (mini longline), panjang tali utama 25-40 m.

Berikut ini disajikan spesifikasi kapal dan alat tangkap pancing rawai tuna nelayan Cilacap yang diikuti operasi penangkapannya.

Spesifikasi Kapal dan Alat Tangkap

Spesifikasi kapal pancing rawai tuna yang diikuti pengoperasiannya adalah kapal yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap dan terbuat dari bahan kayu. Kapal berdimensi panjang (L) 15,90 m, lebar (B) 3,90 m, dan dalam (D) 1,60 m, dengan bobot mati 28 GT. Mesin penggerak menggunakan mesin dalam (inboard motor) Mitsubishi 120 PK dan generator menggunakan mesin Mitsubishi 80 PK. Kapal pancing rawai tuna ini dilengkapi juga dengan lima radio buoy dan menggunakan sistem pendingin yaitu air laut yang didinginkan (sea water refrigerator) pada suhu -2°C.

Jumlah anak buah kapal 12 orang terdiri atas satu orang nakhoda, satu orang Kepala Kamar Mesin, satu orang wakil nakhoda, dan sembilan orang anak buah kapal (kelasi). Tali utama (main line) yang digunakan adalah nylon monofilament nomor 3.000 begitupun

(19)

BTL. Vol.10 No. 1 Juni 2012 :

dengan tali cabang (branch line) terbuat dari bahan nylon monofilament nomor 2.000. Panjang main line 50 m, branch line 30 m, dan jarak antar branch line 60 m. Jumlah pelampung mencapai 60 buah yang diikat dengan tali sepanjang 30 m. Jumlah mata pancing yang digunakan 1.176 buah (21 blong). Jumlah mata pancing antar pelampung 20 buah dan jarak antar pancing 60 m (Gambar 1).

Alat-alat pendukung terdiri atas radio single side band dan alat penentu posisi (global posisition system) yaitu ICOM-IC-M-735, global posisition system Furuno GP-32, dan RDF Taiyo TD-A 157.

Gambar 1. Skema alat tangkap pancing rawai tuna nelayan Cilacap.

Prosedur dan Teknik Pengoperasian

Sebelum alat tangkap dioperasikan terlebih dahulu sudah tersedia ikan umpan. Jenis ikan umpan adalah jenis ikan beku, pada saat pengamatan ikan umpan yang digunakan adalah ikan lemuru (Sardinella sp.) dan ikan layang (Decapterus spp.) yang berukuran rata-rata 15 cm. Adapun prosedur pengoperasian alat tangkap pancing rawai tuna sebagai berikut:

1. Mempersiapkan ikan umpan, jumlah ikan umpan yang dipersiapkan kurang lebih sama dengan jumlah mata pancing yang akan dioperasikan. 2. Tali dan mata pancing dikeluarkan dari karung untuk

pemasangan ikan umpan. Pemasangan ikan umpan dilakukan pada saat perjalanan menuju daerah penangkapan.

3. Pada saat sebelum pelepasan (setting) pancing rawai, anak buah kapal mengambil posisi sesuai dengan tugasnya masing-masing, sementara kecepatan kapal dikurangi menjadi tiga knot. 4. Proses setting pancing rawai dimulai dengan

terlebih dahulu melepas pelampung dan tiang bendera beserta tali pelampung, kemudian tali utama, dan tali cabang yang mata pancingnya telah diberi umpan ikan. Proses setting dilakukan sekitar pukul 06.00-10.00 WIB.

5. Mata pancing yang sudah diberi ikan umpan lemuru (Sardinella sp.) atau layang (Decapterus

pancing diberi pelampung warna putih. Mata pancing yang disediakan pada trip ini 21 blong di mana satu blong terdiri atas 56 mata pancing sehingga jumlah total mata pancing 1.176 buah. 6. Setelah dua pelampung putih diturunkan,

berikutnya adalah satu pelampung warna merah (perbandingan 2:1). Kemudian setelah tiga kali pelam pung m erah diturunkan, pelampung berikutnya diberi radio buoy. Radio buoy tersedia lima buah.

7. Setelah proses setting selesai, pancing rawai yang telah dilepas dibiarkan dalam keadaan hanyut (drifting) selama delapan jam.

8. Hauling atau penarikan alat tangkap dimulai pukul 18.00 sampai selesai (sekitar pukul 05.30 WIB). Proses hauling dimulai setelah alat tangkap dicari dan diketahui lokasinya dengan radio direction finder.

9. Proses hauling dilakukan dari bagian depan kapal dengan bantuan alat penarik (line hauler) oleh semua anak buah kapal kecuali nakhoda, kapal berjalan pelan mengikuti pergerakan arah tali pancing rawai. Proses hauling dimulai dari penarikan tiang bendera, pelam pung, tali pelampung diangkat dan diletakan di atas geladak kapal, kemudian tali utama berikut tali cabang beserta mata pancingnya dilakukan sampai keseluruhan mata pancing terangkat ke atas geledak kapal.

10.Bila pada mata pancing ada ikan yang tertangkap, pelepasan ikan dari mata pancing dilakukan oleh 1-3 orang tergantung besar dan kecilnya ikan yang tertangkap dan penanganannya dilakukan di geladak k apal. Kem udian ikan-ikan hasil tangkapan ditangani oleh petugas yang khusus menangani ikan untuk disimpan di palkah. 11. Tali cabang kemudian digulung dan dimasukan ke

dalam blong. Setelah blong berisi 56 mata pancing, kemudian tali cabang dan mata pancing tersebut dipindahkan dan disimpan dalam karung. Kegiatan tersebut dilakukan berulang-ulang sampai semua tali cabang dan mata pancingnya terangkat semua dan disimpan di dalam karung.

12.Alat tangkap siap dioperasikan kembali pada operasi penangkapan berikutnya.

Daerah Penangkapan dan Hasil Tangkapan Pada saat pengamatan pengoperasian pancing rawai tuna, daerah penangkapan ikan oleh kapal contoh dilakukan di perairan selatan Pelabuhan Ratu yaitu pada koordinat antara 106107ºBT dan antara -08-09ºLS. Penurunan unit pancing pada hari pertama dilakukan pada daerah penangkapan satu kemudian hari berikutnya pada daerah penangkapan 2-4

(20)

Pengoperasian Pancing Rawai Tuna (Tuna Longline) di Samudera Hindia (Rahmat, E.) S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S S SSSSSSSSS 8° 8° 7° 7° 6° 6° 106° 106° 107° 107° 108° 108° 109° 109° U CILACAP Palabuhanratu SA M U DE R A H IN DIA Pameungpeuk Ujunggenteng LAUT JAWA Kota Kabupaten Kota Kecamatan Daerah Penangkapan (DP) Batas Provinsi Legenda DP 1 DP 2 DP 3 DP 4 JAWA BARAT BANTEN JAWA TENGAH

Gambar 2. Daerah penangkapan ikan dengan alat tangkap pancing rawai tuna di perairan Samudera Hindia, bulan Juni 2009. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa

d

ari empat kali setting, hasil tangkapan pancing rawai tuna terdiri atas 13 jenis ikan. Lima jenis ikan yang mendominansi hasil tangkapan adalah jenis ikan pari (rays) yaitu 18,5%, kemudian ikan tuna madidihang (Thunnus albacares) 17,6%, tuna albakora (Thunnus alalunga) 12,5%, cucut selendang (Prionace glauca) 11,0%, dan tuna mata besar (Thunnus obesus) 10,3%. Jenis ikan lainnya terdiri atas ikan kesper (Brama javonica), layur hitam (Trichiuridae), tenggiri (Wahoo), meka (Xiphias gladius), lemadang (Coryphaena hippurus), kura-kura (Testudinata), ikan setan (Escolar) dan cucut botol (Squalidae).

Gambar 3. Komposisi jenis ikan hasil tangkapan pancing rawai tuna (empat kali setting) di perairan Samudera Hindia, bulan Juni 2009.

Jenis ikan komoditi ekspor yaitu jenis-jenis ikan tuna yang tertangkap adalah ikan tuna mata besar tiga ekor dan rata-rata bobotnya 36,3 kg/ekor, tuna madidihang enam ekor dan bobotnya 31,0 kg/ekor, dan tuna albakora tujuh ekor dan bobotnya 18,9 kg/ ekor.

KESIMPULAN

1. Teknik penangkapan dengan pancing rawai tuna dilakukan dengan cara membiarkan mata pancing dalam keadaan hanyut (drifting) pada kedalaman tertentu selama delapan jam.

2. Daerah penangkapan ikan dengan pancing rawai tuna pada bulan Juni 2009 dilakukan di perairan Samudera Hindia yaitu pada koordinat antara 106-107ºBT dan antara -08-09ºLS.

3. Komposisi hasil tangkapan pancing rawai tuna terdiri atas 13 jenis ikan dan didominansi oleh ikan pari (rays) 18,5%, tuna madidihang 17,6%, tuna albakora 12,5%, cucut selendang 11,0%, dan tuna mata besar 10,3%.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan hasil kegiatan dari Penelitian indeks kelimpahan stok sumber daya ikan di perairan samudra hindia (Barat Sumatera, Selatan Jawa, Nusa Tenggara). T.A. 2009. Balai Penelitian Perikanan Laut. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Erfind Nurdin, S.Pi. (penanggung-jawab penelitian), Thomas Hidayat, D.IV (peneliti), serta petugas di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap yang telah membantu dalam penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2000. The Living Marine Resources of the Western Central Pasific. Volume 6. Bony Fishes Part 4 (Labridae to Latimeriidae), Estuarine Crocodiles, Sea Turtles, Sea Snakes, and Marine Mammals). Food and Agriculture Organization Species Identification Guide f or Fishery Purposes.764 pp.

Bahar, S. & B. Gafa. 1988. Telaah pengoperasian rawai tuna untuk penangkapan tuna segar (fresh fish tuna) di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. 46: 63-73.

(21)

BTL. Vol.10 No. 1 Juni 2012 :

Subani, W. & H. R. Barus. 1989. Alat Penangkapan ikan dan udang laut di Indonesia (fishing gears for marine fish and shrimp in Indonesia). Jurnal Penelitian Perikanan Laut. (Edisi Khusus). 50: 248 pp.

(22)

PENGOPERASIAN JARING PAYANG DI PERAIRAN PELABUHAN RATU

Enjah Rahmat

Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta

Teregistrasi I tanggal: 15 Maret 2011; Diterima setelah perbaikan tanggal: 30 Maret 2012; Disetujui terbit tanggal: 2 April 2012

Pengoperasian Jaring Payang di Perairan Pelabuhan Ratu (Rahmat, E.)

PENDAHULUAN

Jaring payang (seine net) merupakan jaring permukaan (surface seine net) yang secara khusus digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang berada di permukaan laut (Subani & Barus, 1989). Jaring payang adalah alat tangkap yang cukup efektif untuk menangkap ikan pelagis, khususnya ikan tongkol (Euthynnus affinis) dan cakalang (Katsuwonus pelamis). Kedua jenis ikan tersebut mendominansi hasil tangkapan ikan pelagis besar di Pelabuhan Ratu (Anonimus, 2004). Selain jenis-jenis ikan tersebut, kadang-kadang tertangkap juga ikan pelagis lainnya seperti ikan tuna (Thunnus), lemadang (Coryphaena hippurus), tenggiri (Scomberomerous sp.), eteman (Menemaculata), peperek (Leiognathus bindus), layang (Decapterus sp.), dan sebagainya.

Jaring payang di Pelabuhan Ratu pada umumnya dioperasikan menggunakan perahu motor tempel 5 GT dengan ukuran kapal (LxBxD) 10,90x2,65x1,00 m. Anak buah kapal berkisar antara 12-15 orang. Alat tangkap payang beroperasi sepanjang tahun dengan jumlah hari penangkapan satu hari per trip (one day fishing). Daerah penangkapannya di perairan sekitar Teluk Pelabahan Ratu atau di perairan Samudera Hindia yang termasuk ke dalam wilayah pengelolaan perikanan 573. Perairan yang menjadi daerah penangkapan ikan jaring payang adalah juga merupakan daerah penangkapan ikan dengan alat tangkap bagan. Pada tahun 2007 jumlah perahu atau kapal jaring payang yang berbasis di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu berjumlah 157 unit. Armada payang ini menggunakan perahu motor tempel dengan bobot 5 GT (Raphita et al., 2007).

Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk menguraikan tentang cara pengoperasian, daerah penangkapan, dan komposisi jenis hasil tangkapan jaring payang yang dioperasikan di perairan Teluk Pelabuhan Ratu dengan harapan dapat menambah khasanah informasi teknis perikanan di Indonesia. POKOK BAHASAN

Bahan dan Metode

Pengamatan pengoperasian alat tangkap jaring payang dilakukan pada bulan September 2008

dengan cara mengikuti operasi penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan Pelabuhan Ratu. Posisi daerah penangkapan didapat dengan menggunakan alat bantu global posisition system. Cara pengoperasian jaring payang didokumentasikan dengan menggunakan kamera digital. Identifikasi ikan hasil tangkapan menggunakan buku Food and Agriculture Organization: Species Identification Guide for Fishery Purposes. Volume 6, 2000 (Anonimus, 2000).

Spesifikasi Kapal dan Alat Tangkap

Kapal jaring payang milik nelayan yang diikuti operasi penangkapannya adalah perahu motor tempel Cempaka 9 yang berbobot 5 GT. Perahu tersebut terbuat dari bahan kayu dengan dimensi panjang (L) 10,90 m, lebar (B) 2,65 m, dan dalam/tinggi (D) 1,00 m. Mesin penggerak menggunakan Yamaha 40 PK. Perahu ini dilengkapi dengan 11 petak palka dengan kapasitas 500 kg/petak. Sarana penangkapan terdiri atas satu unit jangkar 20 kg, tambang 300 m, satu unit tenda terpal 20 m2, pelambung dari bahan bambu 32 buah, pelampung styrofoam dua buah, pelampung jerigen satu buah, dan pelampung plastik satu buah. Alat tangkap jaring payang yang digunakan adalah mempunyai spesifikasi:

1. Bahan jaring: nilon ganda (nylon monofilament) PA 210d dan 210d/21, ukuran mata jaring 20 cm, dan panjang 200 m.

2. Bagian kantong: PA 210d/21, panjang 12 m, dan ukuran mata jaring 1-5 cm.

3. Bagian badan: PA 210d/21, panjang 12 m, dan ukuran mata jaring 20 cm.

4. Bagian sayap: PA 210d/18, panjang 200 m, dan ukuran mata jaring 20 cm.

5. Bahan tali ris atas: PE 4,0 mm dan panjang 200 m.

6. Bahan tali ris bawah: PE 5,0 mm dan panjang 175 m.

7. Bahan tali selambar: PE 16,0 mm dan panjang 180 m (dua buah)

Anak Buah Kapal

Jumlah anak buah kapal 12 orang yang terdiri atas beberapa bagian:

(23)

BTL. Vol.10 No. 1 Juni 2012 :

1. Tekong (satu orang), bertugas sebagai juru mudi dan pengambil keputusan dalam menentukan daerah perairan yang akan dijadikan sebagai daerah penangkapan.

2. Patawuran (dua orang), bertugas melepaskan jaring pada saat operasional alat tangkap payang. 3. Pengawas (tiga orang), bertugas mencari

gerombolan ikan.

4. Juru batu (satu orang), bertugas membuang air yang masuk ke dalam lambung kapal dan merawat kapal.

5. Juru renang (dua orang), bertugas menghalau ikan supaya tidak keluar dari jaring pada saat penarikan jaring (hauling), dan membetulkan jaring pada saat setting bila jaring tersebut tidak terpasang dengan benar.

6. Pem bantu tekong (satu orang), bertugas membantu tekong dalam mengemudikan kapal (sebagai juru mudi).

7. Pembantu patawuran (dua orang), bertugas membantu patawuran pada saat melepaskan jaring. 8. Anak buah kapal lainnya bertugas membantu dalam penarikan jaring terutama pada saat hauling.

Persiapan Pengoperasian Alat Tangkap

Beberapa tahapan persiapan sebelum

pengoperasian alat tangkap, yaitu:

1. Peralatan utama yaitu alat tangkap jaring payang sudah dalam keadaan tersusun rapi di atas kapal, begitu pun dengan sarana penangkapan lainnya sudah disiapkan.

2. Dalam perjalanan menuju daerah penangkapan, seorang anak buah kapal menyiram geladak kapal dengan air yang telah diberi doa agar selama dalam perjalanan operasi penangkapan dalam keadaan baik dan selamat, serta dengan harapan dapat hasil tangkapan yang banyak.

3. Pencarian gerombolan ikan, pengawas ada tiga orang berdiri di atas bambu yang dipasang melintang di bagian atas kapal mengawasi setiap gerakan di permukaan air. Dengan berbekal pengalaman, ketiga pengawas dapat mengetahui bila ada kawanan ikan di suatu perairan yang ditandai dengan gerakan ikan yang menimbulkan riak air yang khas di permukaan dan adanya burung-burung laut yang terbang dan turun sampai ke permukaan air.

4. Daerah perairan yang akan dijadikan sebagai daerah penangkapan ikan ditentukan oleh tekong (juru mudi).

Prosedur Pengoperasian Alat Tangkap

Cara pengoperasian jaring payang sebagai berikut: 1. Pelepasan jaring yang dilengkapi dengan pelampung di bagian atas dan pemberat di bagian bawah jaring dimulai dengan menurunkan salah satu ujung sayap. Pelepasan jaring dilakukan oleh patawuran dan pembantunya (Gambar 1/foto 1). Jumlah pelampung 38 buah yang terbuat dari bahan bambu 32 buah, bahan styrofoam empat buah dan masing-masing satu buah yang terbuat dari bahan jerigen dan pelampung bola plastik. Jarak antar pelampung 6 m.

2. Tali jaring diulur rata-rata sepanjang 100 m dan maksimal dapat sampai 150 m. Pada saat proses mengulur tali jaring, tali tersebut ditahan tiga kali hal ini dilakukan agar jaring payang yang sudah berada di perairan dapat terpasang dengan baik. Setelah selesai mengulur kemudian ujung tali diikatkan ke tiang kapal.

3. Kapal bergerak melingkari kawanan ikan sampai ke ujung sayap yang pertama diturunkan, sehingga letak jaring melingkar dan memotong arah renang kawanan ikan yang akan ditangkap.

4. Satu orang perenang dengan menggunakan ban mobil (ban dalam) yang berukuran besar dijadikan sebagai pelampung untuk membantu ketika memeriksa jaring yang sedang dioperasikan tersebut mulai dari awal sampai ujung jaring (Gambar 1/foto 2). Proses penurunan jaring (setting) berlangsung selama 10 menit.

5. Penarikan jaring (hauling) dimulai setelah kedua ujung sayap diangkat ke kapal oleh seluruh anak buah kapal dan kapal dalam keadaan berhenti. 6. Penarikan jaring dimulai dari bagian sayap, badan

sampai akhirnya seluruh bagian jaring berada di atas dek kapal. Kecepatan penarikan jaring sangat berpengaruh dalam mempertahankan ikan-ikan yang sudah masuk dan terlingkar oleh jaring, semakin cepat penarikan jaring semakin banyak ikan yang dapat ditangkap (Gambar 1/foto 3 dan 4).

7. Pada saat penarik an jaring, untuk

mempertahankan ikan-ikan supaya tetap berada dalam jaring maka satu sampai dua orang perenang, berenang di dekat lambung kapal dan menggerak-gerakan kakinya untuk menghalau ikan-ikan yang berusaha keluar dari daerah lingkaran jaring.

8. Waktu hauling tergantung dari banyaknya ikan yang terjaring, semakin banyak ikan yang terjaring semakin lama waktu yang diperlukan untuk proses hauling, dari hasil pengamatan waktu hauling berkisar antara 15-25 menit.

9. Ikan hasil tangkapan dikeluarkan dari bagian

(24)

Pengoperasian Jaring Payang di Perairan Pelabuhan Ratu (Rahmat, E.)

guritan ikan.

10.Jaring, pelampung, dan pemberat disusun kembali dan ditempatkan ditempat semula, sehingga siap untuk dioperasikan kembali.

11. Pengoperasian alat tangkap jaring payang dalam satu trip penangkapan rata-rata dapat sampai delapan kali tawur.

Daerah Penangkapan dan Hasil Tangkapan Di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa Barat, daerah penangkapan ikan dengan alat tangkap jaring payang meliputi wilayah perairan yang terletak antara garis lintang 07º00’ dan 08 º 00’LS dan antara garis bujur 105º00’ dan 107º00’BT (Anonimus, 1991).

Gambar 1. Pengoperasian alat tangkap jaring payang: pelepasan jaring (foto 1 dan 2) dan penarikan jaring (foto 3 dan 4). ## # # # ## # 7°10' 7°10' 7°5' 7°5' 7°00' 7°00' 106°15' 106°15' 106°20' 106°20' 106°25' 106°25' 106°30' 106°30' 106°35' 106°35' N Tel. Pelabuhanratu Pelabuhanratu Cisolok Ciemas Banten Jawa Barat Legenda:

Daerah penangkapan ikan Kota Kabupaten Kota Kecamatan SAM U DR A H IND IA ## # # # ## # 7°10' 7°10' 7°5' 7°5' 7°00' 7°00' 106°15' 106°15' 106°20' 106°20' 106°25' 106°25' 106°30' 106°30' 106°35' 106°35' N Tel. Pelabuhanratu Pelabuhanratu Cisolok Ciemas Banten Jawa Barat Banten Jawa Barat Legenda:

Daerah penangkapan ikan Kota Kabupaten Kota Kecamatan SAM U DR A H IND IA

Gambar 2. Daerah penangkapan ikan dengan alat tangkap jaring payang oleh perahu motor tempel Cempaka 9.

(25)

BTL. Vol.10 No. 1 Juni 2012 :

Armada kapal payang di Pelabuhan Ratu, memulai aktivitas penangkapan pagi hari yaitu mulai pukul 06.00 WIB berangkat dari pangkalan kapal di kolam pelabuhan menuju daerah penangkapan dan kembali pada pukul 18.00 WIB. Daerah penangkapan ikan perahu motor tempel Cempaka 9 pada bulan September 2008 terletak antara garis lintang 06º58’ dan 07º02’LS dan antara garis bujur 106º20’ dan 106º32’BT seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2. Dalam satu daerah penangkapan ada sekitar 15-25 unit kapal payang yang beroperasi secara bersamaan, sehingga setiap kapal payang menjaga jarak dalam pengoperasian jaringnya agar tidak mengganggu jaring-jaring lainnya yang dioperasikan oleh kapal-kapal sejenis.

Komposisi hasil tangkapan kapal payang (perahu motor tempel Cempaka 9) selama delapan trip penangkapan terdiri atas ikan cakalang 297 kg, tongkol komo (Euthynnus affinis) 213 kg, layang deles (Decapterus macrosoma) 92 kg, eteman/koyo 60 kg, dan peperek 40 kg. Persentase komposisi hasil tangkapan disajikan pada Gambar 3.

Leiognathus spp. 6% Mene m aculata 9% Decapterus macrosom a 13% Euthynnus affinis 30% Katsuwonus pelamis 42%

Gambar 3. Komposisi hasil tangkapan jaring payang (perahu motor tempel Cempaka 9) di perairan Teluk Pelabuhan Ratu, bulan September 2008.

KESIMPULAN

1. Jaring payang yang berbasis di Pelabuhan

Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu

dioperasikan pada siang hari, mulai pagi sampai sore hari (one day fishing) dengan daerah penangkapan di perairan Teluk Pelabuhan Ratu.

2. Pengoperasian jaring payang dengan cara melingkar dan memotong arah renang kawanan ikan yang akan ditangkap. Kecepatan penarikan jaring sangat berpengaruh dalam mempertahankan ikan-ikan yang sudah masuk dan terlingkar oleh jaring.

3. Komposisi hasil tangkapan jaring payang didominansi oleh ikan cakalang 42%, jenis ikan lainnya terdiri atas ikan tongkol komo 30%, layang deles (Decapterus macrosoma) 13%, eteman/koyo 9%, dan peperek 6%.

PERSANTUNAN

Tulisan ini merupakan hasil kegiatan dari Penelitian indeks kelimpahan stok sumber daya ikan di perairan samudra hindia (Barat Sumatera, Selatan Jawa, Nusa Tenggara). T.A. 2008. Balai Penelitian Perikanan Laut. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Priyanto Rahardjo (penanggungjawab penelitian) dan Prof. Dr. I Gede Sedana Mertha (peneliti), serta petugas di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu yang telah membantu dalam penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1991. Perikanan Payang Tuna. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengem bangan Pertanian. Departemen Pertanian. 16 pp.

Anonimus. 2000. The living marine resources of the Western Central Fasific. Volume 6. Bony Fishes Part 4 (Labridae to Latimeriidae), Estuarine Crocodiles, Sea Turtles, Sea Snakes, and Marine Mammals). Food and Agriculture Organization Species Identification Guide for Fishery Purposes. 764 pp.

Anonimus. 2004. Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. Balai Riset Perikanan Laut. Pusat Riset Perikanan Tangkap. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. 116 pp.

Raphita, M., Rudiarto, Rukmana, S. Mahardika, & D. Sofyan. 2007. Data Perahu Motor Tempel dan Kapal Motor yang Menggunakan Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu sebagai Fishing Base. Tata Operasional. Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu. 51 pp. (Tidak Dipublikasikan).

(26)

Pengoperasian Jaring Payang di Perairan Pelabuhan Ratu (Rahmat, E.)

Subani, W. & H. R. Barus. 1989. Alat penangkapan ikan dan udang laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut (Edisi Khusus). 50: 248 pp.

(27)

IDENTIFIKASI JENIS IKAN DI SUAKA PERIKANAN AWANG LANDAS

SUNGAI BARITO, KALIMANTAN SELATAN

Burnawi

Teknisi Litkayasa pada Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Mariana-Palembang Teregistrasi I tanggal: 26 Nopember 2010; Diterima setelah perbaikan tanggal: 7 Mei 2012;

Disetujui terbit tanggal: 10 Mei 2012

Identifikasi Jenis Ikan di Suaka Perikanan Awang Landas Sungai Barito, Kalimantan Selatan (Burnawi)

PENDAHULUAN

Barito merupakan sungai besar dengan panjang sekitar 900 km di mana bagian hulunya di Serawak, Negara Malaysia dan batangnya melintas di Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Daerah aliran Sungai Barito mempunyai banyak anak sungai, danau, sungai mati (oxbow lake), maupun hutan rawa yang digenangi air (Asyari, 2006). Selain berfungsi sebagai lintasan transportasi air, Sungai Barito juga sebagai penyedia sumber makanan berupa sumber daya ikan bagi penduduk daerah aliran Sungai Barito dan sekitarnya.

Zona perairan Sungai Barito dapat dipilah menjadi tiga yaitu zona berarus deras, sedang, dan tenang. Di perairan Sungai Barito, Kalimantan Selatan terdapat sembilan suaka perikanan yang tersebar di beberapa wilayah kabupaten yaitu suaka perikanan Alalak Padang, Rawa Muning, Danau Bangkau, Awang Landas, Banyu Hirang, Danau Panggang, dan suaka perikanan Danau Talan (Rupawan et al., 2004). Selain itu ada suaka perikanan Sungai Sambujur dan suaka perikanan Babirik (Prasetyo & Hidayah, 2005). Suaka perikanan Awang Landas berada di Kecamatan Labuan Amas, Kabupaten Hulu, Sungai Tengah disebut juga suaka perikanan Mantaas. Suaka perikanan ini berada di suatu kawasan danau rawa seluas 5.700 ha, sedangkan luas suaka perikanan 5 ha. Suaka perikanan Awang Landas dilalui oleh Sungai Buluh yang merupakan pintu masuk atau keluar suaka dan tempat lalu lintas atau transportasi kendaraan air maka hal ini cukup mengganggu fungsi suaka perikanan sebagai tempat perlindungan ikan. Suaka perikanan dapat berfungsi secara maksimal dilindungi juga habitatnya sebagai tempat pemijahan, mencari makan, dan tempat naungan (berupa tumbuhan air) bagi telur dan larva ikan. Selain itu ada jalur migrasi berupa anak sungai atau kanal, sehingga ikan dapat keluar dan menyebar ke daerah sekitarnya dan mempunyai kedalaman yang cukup dan juga kualitas perairan yang baik serta cukup tersedianya pakan alami (Utomo & Nasution, 1995). Jenis-jenis ikan hasil tangkapan nelayan di suaka perikanan

Awang Landas ada sembilan famili dan 17 jenis dan bentuk morfologi (Lampiran 1).

Hal penting lainnya adalah diketahuinya secara pasti jenis sumber daya ikan yang mendiami suaka perikanan tersebut. Oleh kerena itu pada tahun 2004 telah dilakukan pengamatan mengenai jenis-jenis ikan yang di suaka perikanan Awang Landas. Tujuan

pengam atan adalah untuk m engetahui

keanekaragaman jenis ikan di suaka perikanan Awang Landas.

POKOK BAHASAN Bahan dan Metode Bahan

Bahan-bahannya antara lain air bersih, larutan formalin 10%, ikan contoh, kertas kalkir, dan karet gelang.

Alat

Alat-alatnya antara lain petridish, kaca pembesar, calliper/jangka sorong, pensil warna hitam 2B, papan ukur, talenan, kantong plastik, dessecting set, baskom dan ember, kotak plastik (cool box), timbangan dengan ketelitian 0,01 g, kamera digital, dan form atau blanko data contoh ikan (Gambar 1).

BELANGKO DATA SAMPLE IKAN

No :

Nama lokasi : Nama ikan : Nama alat tangkap : Tanggal penangkapan : Panjang ikan :

7

10 cm

Ukuran ikan FL dan berat :

cm

Belangko Data Contoh Ikan

Gambar 1. Form atau blanko contoh ikan yang digunakan selama penelitian.

(28)

BTL. Vol.10 No. 1 Juni 2012 :

a. Metode

Metode dan tata cara identifikasi ikan sebagai berikut:

1. Pengamatan dilakukan dari bulan April, Juni, September, dan Desember 2004 di perairan rawa Sungai Barito, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

2. Pengumpulan ikan contoh dari lapangan dilakukan empat kali yaitu dua kali mewakili kondisi musim hujan dan dua kali pada musim kemarau. 3. Ikan contoh merupakan hasil tangkapan nelayan

dengan menggunakan bermacam-macam alat tangkap antara lain sengkirai, lukah, luntak, dan rengge.

4. Identifikasi ikan contoh dilakukan secara langsung di lapangan dan laboratorium.

5. Jenis ikan yang telah diketahui nama lokal dan nama ilmiah dicatat dalam buku harian (log book) lapangan, sedangkan jenis ikan yang belum diketahui nama lokal dan nama ilmiah diambil ikan contoh tiga ekor setiap jenis dan dipilih bentuk tubuh yang utuh dan tidak rusak.

6. Semua jenis ikan didokumentasikan dalam bentuk gambar atau foto digital.

7. Setiap ikan contoh diukur panjang cagak (FL)-nya menggunakan papan ukur (messuring board) dan ditimbang. Ukuran ikan adalah panjang cagaknya (Gambar 2) dan bobot ikan adalah dalam ukuran gram.

8. Khusus untuk jenis ikan yang mempunyai patil atau dorsalpin yang keras dan tajam terlebih dahulu dimasukan ke dalam kemasan botol minuman yang terbuat dari plastik dengan tujuan patil yang keras dan tajam tersebut tidak merusak kantong plastik setelah itu dimasukan ke dalam kantong plastik.

9. Ikan contoh dimasukan di dalam kantong plastik diberi larutan formalin 10% sehingga seluruh tubuh ikan terendam dalam larutan formalin adapun fungsi larutan formalin yaitu sebagai bahan pengawet, dan bersamaan itu juga dimasukan belangko data yang berisi catatan nomor atau kode, lokasi, nama alat tangkap, nama ikan, ukuran panjang, bobot dan tanggal pengambilan ikan, data ikan contoh tersebut ditulis memakai pensil 2B di form atau blanko contoh ikan (Gambar 1) kertas kalkir atau kertas water proof.

FL

Gambar 2. Ukuran panjang cagak ikan (FL). 10.Kemudian kantong plastik diikat dengan karet

sampai kuat dan rapat, lalu masukan ke dalam cool box. Selanjutnya ikan contoh dibawa ke Laboraturium Balai Riset Perikanan Perairan Umum, Palembang untuk diidentifikasi dengan metode meristik dan morfometrik yang dikatakan oleh Kottelat et al. (1993).

Hasil

Hasil pengamatan lapangan dan laboratorium ditemukan 17 spesies ikan di suaka perikanan Awang Landas Sungai Barito yaitu ikan saluang (Rasbora argyrotaenia), puyau (Osteochilus hasselti), kelabau (Ostteochilus kalabau), siam is (Parachela oxygasteroides), gandaria (Dangila ocelata), sanggang (Puntius bulu), tangkara (Osteochilus repang), sepat siam (Trichogaster pectoralis), sepat rawa (Trichogaster trichopterus), papuyu (Anabas testudineus), biawan (Helostoma temminckii), haruan (Channa striata), kihung (Channa gachua), kerandang (Chana pleurophthalmus), singaringan (Mytstus nigriceps), pentet (Clarias batrachus), dan walut (Monotopterus albus). Tabel 1 menyajikan spesies ikan yang tertangkap nelayan dan teridentifikasi di suaka perikanan Awang Landas, Sungai Barito.

Berdasarkan atas Tabel 1, menunjukan bahwa sumber daya ikan yang banyak terdapar di suaka perikanan Awang Landas, Sungai Barito didominansi oleh famili Channidae yaitu mencapai 59%. Jenis ikan lain yang cukup banyak terdapat di suaka perikanan ini adalah Anabantidae yaitu mencapai 23%.

Gambar

Gambar 1. Udang galah dewasa.
Gambar 1. Sketsa lokasi pengambilan contoh di Teluk Rasau, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.
Gambar 2. Kemmerer water sampler.
Gambar 1. Peta Lokasi penangkapan ikan di hulu Sungai Musi.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah dilaksanakan penelitian yang diawali dari pengambilan data awal, memberikan perlakuan atau latihan, pengambilan data akhir hingga pada pengolahan data yang

17.. Allah SWT dengan sepenuh hati agar pernikahan yang dibina menjadi bahagia. Tentunya hal tersebut tidak akan terwujud jika keyakinan kepada Allah swt lemah. Karena

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan model matematis penentuan volume segmen tubuh tangan dan kaki pada wanita etnis Jawa usia 20 – 30 tahun, dengan

pihak Universitas PGRI Palembang dan LPPKMK pada khususnya karena telah mempercayai SMAN 1 OKU sebagai salah satu sekolah yang memfasilitasi Dosen di Universitas

Skripsi yang berjudul “Efektivitas Penggunaan Metode Bernyanyi dengan Media Berbasis Visual Terhadap Hasil Belajar Siswa Mata Pelajaran Pendidikan

Sementara itu, saran untuk pengembangan produk lebih lanjut antara lain (1) pengembangan perangkat pembelajaran yang berbasis learning cycle 7e ini masih terbatas pada

Dunia bisnis tidak hanya digeluti oleh pengusaha, kini para artis mulai menggeluti usaha bisnis bidang kuliner. Para artis membuka usaha bisnisnya di berbagai

Rangkian Driver Relay Rangkaian relay ini berfungsi sebagai pemutus arus listrik yang di kontrol melalui mikrokontroler .prinsip kerja rangkaian relai ini