3.1. Lokasi dan Waktu
Studi dilakukan di kawasan yang terkena dampak dari gempa bumi yang
terjadi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada 2
September 2009. Kegiatan penelitian dilakukan selama 8 bulan mulai dari bulan
Juni 2010 hingga Januari 2011 pada lokasi seperti yang ditunjukan pada Gambar
2.
Kecamatan Pangalengan
Gambar 2. Lokasi Studi (tanpa skala)
(Sumber : www.geospasial.bnpb.go.id) Jawa BaratKabupaten Bandung
3.2 Metode
Proses perencanaan pada lokasi ini terdiri dari empat tahap yaitu tahap
persiapan, tahap inventarisasi, tahap analisis, dan tahap perencanaan.
3.2.1 Persiapan
Pada tahap ini dilakukan pembuatan rincian kegiatan penelitian, pengurusan
administrasi perizinan penelitian, penelusuran sumber data yang dibutuhkan, dan
persiapan kebutuhan alat dan bahan untuk penelitian.
3.2.2 Inventarisasi
Pada tahap ini dilakukan pengambilan data dan survey tapak. Pengambilan
data meliputi aspek fisik, biofisik, dan sosial (Tabel 2.)
Tabel 2. Jenis, Spesifikasi, dan Bentuk Data
Jenis Data Bentuk Data Sumber Data Interpretasi Data Spasial Atribut
Data Umum
Peta tata ruang √ BAPPEDA Tata Ruang
Letak geografis dan
administratif tapak √ Bakosurtanal Batas lokasi studi (Kecamatan Pangalengan) Topografi dan
kemiringan √ Bakosurtanal Kelas lereng dan lokasi
Iklim mikro √ BMG Data iklim
Geologi √ √ Dit. Geologi dan Tata
Lingkungan Peta tanah
Penutupan lahan √ Bakosurtanal Peta penutupan lahan
Biota (vegetasi) √ Bakosurtanal Peta vegetasi
Data Sosial
Demografi √ BPS Data Sosial digunakan
untuk membandingkan kecenderungan penggunaan lahan yang nyata dengan penggunaan ideal Aktifitas ekonomi √ BPS Tingkat kesejahteraan masyarakat √ BPS Ketergantungan masyarakat terhadap tapak √ Lapangan
Data primer diperoleh melalui survey lapangan dengan melakukan
pengukuran, pemetaan, perekaman hasil wawancara dengan instasi dan penduduk
setempat. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Data spasial disajikan
dengan menggunakan program Arc View GIS, Adobe Potoshop, dan Corel Draw
Graphic.
3.2.3 Analisis
Analisis pada tahap ini digunakan untuk mengetahui berbagai macam potensi
pada tapak mulai dari potensi bahaya, potensi sumberdaya, hingga potensi untuk
pengembangan secara fisik. Metode analisis yang digunakan adalah metode
METLAND (The Metropolitan Lanscape Planning Model Study) (Fabos dan
Caswell, 1976). Metode analisis METLAND terdiri atas 3 (tiga) tahap penilaian
dengan memilih variabel tertentu yang digunakan untuk menganalisis nilai-nilai
intrinsik dalam karakter lingkungan yang bermanfaat atau menimbulkan bahaya
pada lingkungan alam: yaitu Tahap I : Identifikasi Sumberdaya Kritis), Tahap II
Identifikasi Zona Bahaya, dan Tahap III : Identifikasi Kesesuaian untuk
Pengembangan (Fabos dan Caswell, 1976). Gambar 3 menunjukkan
tahapan-tahapan dalam analisis terhadap masing-masing data. Sedangkan secara lebih
rinci variabel analisis untuk setiap tahap disajikan pada Gambar 4.
Gambar 3. Framework analisis lanskap untuk keperluan preservasi, perlindungan,
dan pengembangan tapak (Modifikasi dari Fabos, 1976)
Gambar 4. Komponen Analisis
3.2.3.1. Analisis Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi
a. Analisis Air
Kriteria penilaian untuk suplai air permukaan dilihat dari jumlah dan
kualitas air yang tersedia, konfigurasi topografi, kestabilan lereng, surficial dan
material bedrock, karakter erosi, tingkat evaporasi, dan hazard seismic (Fabos dan
Caswell, 1976). Kriteria penilaian untuk suplai dan kualitas air bawah tanah
disajikan dalam table 3.
Tabel 3. Kelas Kualitas Air Bawah Tanah
Kelas Keterangan
A Terletak pada :
1. Lahan alami (e.g. hutan dan wetland) yang belum pernah dilakukan penyemprotan atau kegiatan yang dapat mengganggu ambang batas kualitas air. 2. Penggunaan area rekreasi tertentu (e.g. lapangan tenis dan pantai) untuk
kegiatan yang tidak menimbulkan polusi pada air. B Terletak pada area :
1. Area terbuka yang pernah dilakukan kegiatan penyemprotan hama (e.g. lahan bekas pertanian)
2. Area rekerasi tertentu yang hanya memiliki sedikit struktur permanen, tidak dipupuk, dan sedikit perkerasan.
3. Area penggalian dan pembuangan sampah tertentu C Terletak pada area :
1. Penggunaan untuk jalan, area parkir beraspal, dan /atau septic tank
2. Area rekreasi dan lahan pertanian yang membutuhkan pemupukan berkala dan penyemprotan hama
Dalam analisis untuk kawasan sumberdaya air permukaan yang harus
dilindungi digunakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006
(Tabel 4).
Tabel 4. Kriteria Kawasan Lindung Waduk, Situ dan Mata Air
Kawasan Lindung Area Terlindung
Waduk dan situ ≥ 50 m dari titik pasang tertinggi kea rah darat
Mata air Radius ≥ 200 m di sekitar mata air
(Sumber : BAPPEDA, 2006)
b. Analisis Tanah
Penentuan kasifikasi kelas lereng dalam analisis untuk tanah di
Kecamatan Pangalengan menggunakan klasifikasi yang telah disederhanakan dari
van Zuidam dalam Noor (2006) seperti yang ditunjukan oleh Tabel 5.
Tabel 5. Klasifikasi Kelas Lereng
Kelas lereng Sifat-sifat proses dan kondisi alamiah 0 – 20
(0-2%) Datar hingga hampir datar; Tidak ada proses denudasi yang berarti 2-40
(2-7%) Agak miring; Gerakan tanah kecepatan rendah, erosi lembat dan erosi alur (sheet and rill erosion). Rawan erosi. 4-80
(7-15%) Miring; sama dengan di atas;, tetapi dengan besaran yang lebih tinggi. Sangat rawan erosi tanah. 8-160
(15-30%) Agak curam; erosi dan gerakan tanah lebih sering terjadi. 16-450
(35-100%) Curam; proses denudasional intensif, erosi dan gerakan tanah sering terjadi. (Sumber : van Zuidam dalam Noor (2006))
Penentuan kawasan yang perlu dilindungi menggunakan Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kriteria Kawasan Lindung
Kategori Kawasan Kriteria
Hutan lindung - Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbangan mempunyai jumlah nilai (score) 175 atau lebih; dan/atau - Kawasan hutan dengan kelerengan lebih dari 40%; dan/atau
- Kawasan hutan dengan ketinggian ≥ 2000 mdpl; dan /atau
- Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi dengan lereng lapangan lebih dari 15 %; dan/atau
- Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; dan/atau - Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.
Lanjutan Tabel 6.
Berfungsi lindung di
luar hutan lindung - Kawasan berfungsi lindung di luar kawasan hutan lindung dengan faktor-faktor kelerengan, jenis tanah dan curah hujan dengan score antara 125 - 175;dan/atau
- Kawasan dengan curah hujan lebih dari 1000 mm/tahun; dan/atau - Kelerengan di atas 15%; dan/atau
- Ketinggian tempat 1000 sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut.
Resapan air - Kawasan dengan curah hujan rata-rata lebih dari 1000 mm/tahun; - Lapisan tanahnya berupa pasir halus berukuran minimal 1/16 mm; - Mempunyai kemampuan meluluskan air dengan kecepatan lebih dari 1
meter/hari;
- Kedalaman muka air tanah lebih dari 10 meter terhadap muka tanah setempat;
- Kelerengan kurang dari 15%;
- Kedudukan muka air tanah dangkal lebih tinggi dari kedudukan muka air tanah dalam.
(Sumber : BAPPEDA, 2006
)
3.2.3.2.
Analisis Kerawanan Gempa Bumi
Dalam melakukan penilaian terhadap kerawanan gempa bumi digunakan
standar yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007
Tahapan analisis kerawanan ini terdiri dari pengumpulan informasi-informasi
geologi, penilaian terhadap informasi tersebut, dan pemberian bobot nilai untuk
mendapatkan skor akhir. Gambar 5 menunjukkan skema alur penilaian kerawanan
gempa bumi.
a) Sifat fisik batuan
Sifat fisik batuan dapat menunjukan kondisi kekuatan batuan saat
menerima tekanan atau beban. Semakin kuat batuan tersebut menerima beban dan
tekanan maka kawasan tersebut dapat lebih tahan atau stabil ketika terjadi gempa
bumi. Terdapat 4 kelompok batuan dalam penilaian sifat fisik batuan seperti pada
Tabel 7.
Tabel 7. Klasifikasi Batuan
Kelompok Batuan Sifat Fisik
andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi
sedimen dan konglomerat Kompak
Tidak Kompak batupasir, tuf kasar, batulanau, arkose, greywacke dan batugamping
pasir, lanau, batulumpur, napal, tuf halus dan serpih lempung, lumpur, lempung organik dan gambut.
(
Sumber : MENPU, 2007)b)
Kemiringan lereng
Informasi kemiringan lereng yang dipakai untuk zonasi kerawanan
bencana ini, memakai klasifikasi lereng yang dibuat oleh Van Zuidam (1988)
pada Tabel 8.
Tabel 8. Klasifikasi Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng (%) Klasifikasi Lereng Kestabilan
0-2 Datar Stabil 2-7 Landai 7-15 Miring 15-30 Agak curam Potensi longsor 30-70 Curam 70-100 Sangat curam
(
Sumber : MENPU, 2007)c)
Kegempaan
Faktor Kegempaan merupakan informasi yang menunjukkan tingkat
intensitas gempa, baik berdasarkan skala Mercalli, anomali gaya berat, maupun
skala Richter (Tabel 9).
Tabel 9. Faktor Kegempaan
MMI α Richter
I, II, III, IV, V < 0,05 g < 5
VI, VII 0,05 – 0,15 g 5 – 6
VIII 0,15 – 0,30 g 6 – 6,5
IX, X, XI, XII > 0,30 g > 6,5
d) Struktur Geologi
Struktur geologi merupakan pencerminan seberapa besar suatu wilayah
mengalami “deraan” tektonik. Semakin rumit struktur geologi yang berkembang
di suatu wilayah, menunjukkan bahwa wilayah tersebut cenderung sebagai
wilayah yang tidak stabil. Beberapa struktur geologi yang dikenal adalah berupa
kekar, lipatan dan patahan/ sesar. Pada dasarnya patahan akan terbentuk dalam
suatu zona, jadi bukan sebagai satu tarikan garis saja. Pengkajian kerawanan
terhadap bencana menggunakan satuan jarak terhadap zona sesar untuk penentuan
kestabilan. Tabel 10 menjelaskan kestabilan kawasan terhadap jarak pada sesar.
Tabel 10. Kestabilan Wilayah Terhadap Jarak Pada Sesar
Jarak Sesar Kestabilan
<100 m Tidak stabil
100 m – 1000 m Kurang stabil
>1000 m Stabil
(Sumber : MENPU, 2007)
e) Nilai Kemampuan
Nilai kemampuan yang diberikan dalam setiap analisis adalah dari angka
1 hingga 4. Nilai 1 adalah untuk wilayah yang paling stabil terhadap bencana
geologi. Nilai 4 adalah nilai untuk daerah yang tidak stabil terhadap bencana alam
geologi. Tabel 11 menjelaskan urutan nilai kemampuan yang diberikan untuk
penentuan skoring kestabilan wilayah.
Tabel 11. Klasifikasi nilai kemampuan
Nilai kemampuan Klasifikasi
1 Tinggi 2 Sedang 3 Rendah 4 Sangat rendah (Sumber : MENPU, 2007)
f)
Pembobotan
Pembobotan yang diberikan dalam setiap analisis adalah dari angka 1
hingga 5. Nilai 1 artinya tingkat kepentingan informasi geologi yang sangat tinggi
atau informasi geologi tersebut adalah informasi yang paling diperlukan untuk
mengetahui zonasi bencana alam. Tabel 12 menjelaskan urutan pembobotan yang
diberikan dalam zonasi kawasan rawan bencana.
Tabel 12. Pembobotan
Pembobotan Klasifikasi
1 Kepentingan sangat rendah
2 Kepentingan rendah
3 Kepentingan sedang
4 Kepentingan tinggi
5 Kepentingan sangat tinggi
(Sumber : MENPU, 2007)
Setiap kelas informasi mendapat pembobotan yang berbeda-beda sesuai
keperluan pada penelitian ini. Penilaian Sifat Fisik Batuan diberi bobot 3 atau
kepentingan sedang karena. Penilaian Kemiringan Lereng diberi bobot 3 atau
kepentingan sedang karena potensi longsor dapat dihindari pada area dengan
kondisi vegetasi konservasi yang baik. Penilaian Kegempaan diberi bobot 4 atau
kepentingan tinggi karena Kecamatan Pangalengan mengalami dampak yang
cukup besar meskipun terletak jauh dari pusat gempa. Penilaian Struktur Geologi
diberi bobot 5 atau kepentingan sangat tinggi karena lokasi keberadaan patahan
gempa harus sangat dihindari dari pembangunan struktur.
g)
Skoring
Skoring merupakan perkalian antara “pembobotan” dengan “nilai
kemampuan”, dan dari hasil perkalian tersebut dibuat suatu rentang nilai kelas
yang menunjukkan nilai kemampuan lahan didalam menghadapi bencana alam
kawasan rawan gempa bumi dan kawasan rawan letusan gunung berapi. Dengan
demikian matriks pembobotan untuk kestabilan terhadap kawasan rawan gempa
bumi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13. Rentang skor dan pembagian tipe
kerawanan gempa ditunjukkan pada Tabel 14.
Tabel 13. Matriks pembobotan untuk kestabilan wilayah terhadap kawasan rawan
letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dengan informasi geologi
yang diperhitungkan.
No Informasi Geologi Kelas Informasi Kemampuan Nilai Bobot Skor
1
Geologi (Sifat Fisik dan Keteknikan
Batuan)
1a. Andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi sedimen, konglomerat
1
3 1b. Batupasir, tufa kasar, batulanau,
arkose, greywacke, batugamping 2 1c. Pasir, lanau, batulumpur, napal,
tufa halus, serpih 3
1d. Lempung, lumpur, lempung
Lanjutan Tabel 13.
2 Kemiringan lereng
2a. Datar - Landai (0-7 %) 1
3 2b. Miring - Agak curam (7-30 %) 2
2c. Curam - Sangat Curam (30 -140
%) 3 2d. Terjal (>140 %) 4 3 Kegempaan 4 I, II, III, IV, V <0,05 g < 5 1 VI, VII 0,05 - 0,15 g 5 - 6 2 VIII 0,15 - 0,30 g 6 - 6,5 3 IX, X, XI, XII > 0,30 g > 6,5 4 4 Struktur Geologi
4a. Jauh dari zona sesar 1
5 4b. Dekat dengan zona sesar
(100-1000 m dari zona sesar) 2 4c. Pada zona sesar (<100 m dari
zona sesar) 3
(Sumber : MENPU, 2007)
Tabel 14. Tipologi Kawasan Rawan Gempa Bumi
Skor Tipologi 31-35 A 36-40 B 41-45 C 46-50 D 51-55 E 57-60 F (Sumber : MENPU, 2007)
Masing-masing tipologi kerawanan memiliki pengertian. Tabel 15
menjelaskan pengertian dari setiap klasifikasi tipologi yang dihasilkan oleh
matriks pembobotan.
Tabel 15. Klasifikasi Kawasan Rawan Gempa Bumi
Tipologi Pengertian
Tipe A
Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat.
Tipe B
1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI VIII) dan sifat fisik batuan menengah.
2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk bangunan dengan konstruksi sederhana.
Lanjutan Tabel 15.
Tipe C
1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak.
2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar.
Tipe D
1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan dengan kemiringan lereng curam, intensitas gempa tinggi dan berada sepanjang zona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami cukup merusak.
2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar.
Tipe E
1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa.
2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.
Tipe F
1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan di sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah dengan sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa.
2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa. (Sumber : MENPU, 2007)
3.2.3.3. Analisis Kesesuaian Pengembangan
Pada tahap ini diperoleh hasil keluaran berupa kawasan yang sesuai
untuk berbagai jenis pengembangan. Kelas lereng digunakan untuk mendukung
pengembangan yang sesuai pada kawasan berdasarkan karakter lahan (Tabel 16).
Tabel 16. Kesesuaian Pengembangan Berdasarkan Kelas Lereng
Kelas Lereng Karakter dan Kesesuaian Lahan
0 – 5% Lahan bertopografi datar, sangat sesuai untuk dikembangkan menjadi areal permukiman dan pertanian. Sebagian areal berpotensi terhadap genangan banjir dan sebagian berpotensi terhadap drainase yang buruk.
5 – 15% Lahan bertopografi landai; kurang sesuai untuk pembangunan lapangan terbang atau areal industry berat; irigasi yang terbatas namun baik untuk pengembangan pertanian keras. Lahan yang sesuai untuk dikembangan menjadi permukiman, perkantoran, dan areal bisnis dengan drainase baik.
15 – 30% Lahan bertopografi bergelombang; kurang sesuai untuk areal pertanian karena masalah erosi; namun lahan dengan kemiringan lereng diatas 20% dapat dimanfaatkan untuk areal pertanian dengan jenis tanaman tertentu. Lahan ini juga baik untuk pengembangan industry ringan, komplek perumahan, dan untuk fasilitas rekreasi.
Lanjutan Tabel 16.
30 – 50% Lahan bertopografi terjal; cocok untuk dikembangkan menjadi tempat tinggal dengan cara cluster; pariwisata dengan intensitas rendah dan lahan yang cocok untuk hutan dan padang rumput.
>50% Lahan bertopografi sangat terjal; tempat yang sesuai untuk kehidupan satwa liar dan tanaman hutan lindung serta padang rumput yang terbatas; tidak sesuai untuk areal real estate karena topografi yang terlalu terjal.
(Sumber : Noor (2006))
3.2.4 Sintesis
Pada tahap ini ditentukan zonasi kawasan yang sesuai untuk
pengembangan permukiman dan dapat mengurangi resiko dampak bencana gempa
bumi yang ditimbulkan. Yang diutamakan dikembangkan dalam tapak adalah pola
tata ruang. Hasil dari tahapan ini adalah gambar alternative ruang. Dalam Chiara
dan Koppleman (1978), terdapat beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan
dalam pemilihan tapak untuk perumahan, yaitu :
a. Kondisi tanah dan bawah tanah;
b. Air tanah dan drainase;
c. Keterbebasan dari banjir permukaan;
d. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan;
e. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi;
f. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka;
g. Keterbebasan dari bahaya kecelakaan;
h. Ketersediaan pelayanan saniter dan perlindungan;
i. Keterbebasan dari bahaya dan gangguan setempat.
Pengaturan zonasi tata ruang permukiman di kawasan rawan gempa bumi
mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan
Letusan Gempa sesuai dengan tipologi kerawanan gempa bumi yang dihasilkan
proses analisis (Tabel 17).
Tabel 17. Aturan Zonasi Kawasan Rawan Gempa Bumi
Tipologi
Kawasan Aturan Zonasi
A
9 Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya.
9 Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan beton bertulang maupun tidak bertulang
b. Kepadatan bangunan tinggi (> 60 unit/Ha), sedang (30-60 unit/Ha), dan rendah (<30unit/Ha)
c. Pola permukiman dapat mengelompok maupun menyebar
9 Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB>70;KLB>200) hingga rendah (KDB<50;KLB <100)
9 Diizinkan untuk kegiatan industri ,pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri besar, sedang, maupun kecil
9 Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan.
9 Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural
9 Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir
B
9 Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya.
9 Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan:
a. Konstruksi bangunan beton bertulang; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola permukiman menyebar
b. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan tinggi, sedang, dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar c. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan tinggi, sedang, dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar
9 Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. Kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100)
9 Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat yaitu:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. Skala industri besar, sedang, maupun kecil
9 Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. 9 Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata
agro kultural.
9 Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir.
Lanjutan Tabel 17.
C
9 Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya.
9 Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan:
a. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar.
b. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan sedang dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar.
9 Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. Kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100)
9 Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri sedang dan kecil
9 Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan. 9 Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata
agro kultural.
D
9 Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangnya
9 Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan:
a. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan rendah; pola
mengelompok dan menyebar
b. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan rendah; pola permukiman dan menyebar
9 Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan: a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. Kepadatan bangunan sedang (KDB 50-70; KLB 100-200)
9 Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang ketat, yaitu :
a. Konstruksi bangunan tahan gempa b. Skala industri kecil
9 Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep pelestarian lingkungan.
9 Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata agro kultural
E 9 Ditentukan sebagai kawasan lindung F 9 Ditentukan sebagai kawasan lindung (Sumber : MENPU, 2007)
3.2.5 Perencanaan
Tahap perencanaan merupakan perwujudan dari tahapan-tahapan
sebelumnya. Konsep yang telah ditentukan dikembangkan dalam bentuk rencana
tata ruang, vegetasi, fasilitas/utilitas, program mitigasi, dan pengelolaan kawasan.
Hasil dari tahap ini berupa gambar Landscape Plan.
Konsep yang direncanakan adalah tata ruang permukiman yang
memudahkan dalam proses evakuasi bencana dan meminimalisir kerugian akibat
bencana. Penentuan tata ruang kawasan mengacu pada ketentuan zonasi
berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan
Letusan Gempa (Tabel 18).
Tabel 18. Peruntukan Ruang Kawasan Gempa Bumi Berdasarkan Tipologi
Kawasan.
Peruntukan
Ruang A B Tipologi Kawasan C D E F
Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa
Hutan Produksi × √ × √ × √ × × × × × × Hutan Kota √ × √ × √ × √ × √ × √ × Hutan Rakyat × √ × √ × √ × × × × × × Pertanian Sawah × √ × √ × √ × × × × × × Pertanian Semusim × √ × √ × √ × × × × × × Perkebunan × √ × √ × √ × × × × × × Peternakan × √ × √ × √ × × × × × × Perikanan × √ × √ × √ × × × × × × Pertambangan × √ × √ × √ × × × × × × Industri √ × √ × √ × × × × × × × Pariwisata √ √ √ √ √ √ √ √ × × × × Permukiman √ √ √ √ √ √ × × × × × × Perdagangan dan Perkantoran √ √ √ √ √ √ × × × × × × (Sumber : MENPU, 2007) Keterangan : √ = Dapat dibangun dengan syarat × = Tidak dapat dibangun
Tabel 19. Arahan Struktur Ruang Kawasan Rawan Gempa Bumi.
Peruntukan
Ruang A B Tipologi Kawasan C D E F
Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa
Pusat Hunian √ √ √ √ √ √ × × × × × × Jaringan Air Bersih √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Drainase √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Sewerage √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Sistem Pembuangan Sampah √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Jaringan Transportasi Lokal √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Lanjutan Tabel 19.
Jaringan Telekomunikasi √ √ √ √ √ √ × × × × × × Jaringan Listrik √ √ √ √ √ √ × × × × × × Jaringan Energi √ √ √ √ √ √ × × × × × × (Sumber : MENPU, 2007) Keterangan : √ = Dapat dibangun dengan syarat × = Tidak dapat dibangunRencana tata ruang yang disusun berupa :
1.
Rencana Permukiman (Sarana Penghunian, Sarana Pendidikan, Sarana
Kesehatan, Sarana Olahraga dan Daerah Terbuka, Sarana Peribadatan).
Permukiman dibangun dengan pola yang sesuai dalam zonasi berdasarkan
tipologi kerawanan gempa bumi.
Tabel 20. Standar Kebutuhan Sarana Kesehatan
No Jenis Sarana Jumlah Penduduk Pendukun g (jiwa) Kebutuhan per
satuan sarana Standar (m2/jiw a) Kriteria Ket Luas lantai (m2) Luas lahan (m2) Radius pencapaia n (m) Lokasi dan Penyelesaia n 1 Posyandu 1.250 36 60 0,048 500 Di tengah-tengah kelompok tetangga dan tidak menyebrang jalan raya Dapat bergabung dengan balai warga atau sarana hunian 2 Balai Pengobatan Warga 2.500 150 300 0,12 1000 Di tengah kelompok ketetanggan tidak menyebrang jalan raya Dapat bergabung dengan balai warga 3 BKIA / Klinik bersalin 30.000 1.500 3.000 0,1 4000 Dapat dijangkau dengan kendaraan umum 4 Puskesmas Pembantu dan Balai Pengobatan Lingkungan 30.000 150 300 0,006 1.500 Dapat bergabung dengan kantor kelurahan 5 Puskesmas dan Balai Pengobatan 120.000 420 1000 0,008 3.000 Dapat bergabung dengan kantor kecamatan
Lanjutan Tabel 20.
6 Tempat praktek dokter 5.000 18 - - 1.500 Dapat bersatu dengan rumah tinggal/temp at usaha/apotik 7 Apotik/rum ah obat 30.000 120 250 0,025 1.500 (Sumber : SNI 03-1733-2004)Tabel 21. Standar Kebutuhan Taman, Tempat Main dan Lapangan Olahraga
No Jenis Minimum
penduduk pendukung
Lokasi Luas
Tanah Radius pencapaian Standar
1 Taman, tempat main 250 penduduk Ditengah-tengah kelompok perumahan 250 m2 200 m 1 m2/p 2 Taman, tempat main 2.500 p Di pusat kegiatan RW 1.250 m2 500 m 0,5 m2/p 3 Taman, tempat main dan lap, olahraga 30.000 p Dikelompokkan dengan sekolah 9.000 m2 - 0,3 m2/p 4 Taman, tempat main dan lap. Olahraga 450.000 p Dikelompokkan dengan sekolah 24.000 - 0,2 m2/p 5 Taman, tempat main dan lap. Olahraga 480.000 p Dapat di pusat wilayah dan merupakan zona yang
lain dari pusat wilayah
124.000 m2
- 0,3 m2/p
6 Jalur hijau Menyebar 15 m2/p
(Sumber : Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, 1983)
2. Rencana Sirkulasi (Jaringan transportasi lokal)
Pada umumnya hierarki jalan terdiri dari jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan
lokal. Menurut Miro (1997) dalam Sarusuk (2006), peran dan fungsi
masing-masing jalan tersebut, yaitu :
a. Jalan Arteri : Jalan yang melayani rute jarak jauh dengan kecepatan
rata-rata tinggi dan jumlah masuk masih dibatasi secara efisien;
b. Jalan Kolektor : jalan yang melayani rute jarak sedang dengan kecepatan
rata-rata sedang dan jumlah masuk masih dibatasi;
c. Jalan Lokal : jalan yang melayani angkutan jarak dekat dengan kecepatan
rata-rata rendah dan jumlah masuk yang tidak dibatasi.
3. Rencana Drainase. Standar perencanaan mengacu pada Pedoman
Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota.
Di dalam pusat hunian selain rencana permukiman akan dikembangkan
pula beberapa konsep perencanaan, yaitu :
1. Rencana Jalur Evakuasi
Jalur evakuasi yang direncanakan berupa jalur jalan yang dapat dengan
mudah membantu penduduk untuk bergerak atau menyelamatkan diri ke
area-area yang digunakan sebagai lokasi evakuasi sementara. Jalur jalan dibuat
dengan pola yang tidak rumit atau tidak berkelok-kelok. Tanda penunjuk
jalan yang digunakan harus mudah dipahami oleh penduduk.
2. Rencana Titik Evakuasi
Titik evakuasi yang direncanakan berupa ruang-ruang terbuka dan bangunan
serba guna yang tahan gempa. Titik-titik evakuasi ini harus mudah dijangkau
oleh penduduk dan dilengkapi dengan fasilitas yang bisa berfungsi dalam
kondisi darurat.
Dalam menentukan tata letak setiap elemen yang diperlukan dalam suatu
permukiman digunakan standar kesesuaian lahan berdasarkan kemiringan lereng
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 22.
Tabel 22. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng
Peruntukkan
Lahan 0-3 3-5 5-10 Kelas Kemiringan Lereng (%) 10-15 15-20 20-30 30-40 >40
Jalan Raya √ Parkir √ Taman Bermain √ Area Perdagangan √ √ Drainase √ Permukiman √ √ √ √ Trotar √ √ √ √ Resapan Septik √ √ √ √ Tangga Umum √ √ √ √ √ √ √ √ Rekreasi √ √ √ √ √ √ √ √ (Sumber : Marsh, 1991)