• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Man Behind the Mask

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "The Man Behind the Mask"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

The Man Behind

the Mask

(3)

The Man Behind

the Mask

Penerbit PT Elex Media Komputindo

Barbara Wallace

(4)

Originally published as The Man Behind the Mask© 2014 Barbara Wallace Translation by Elex Media Komputindo as The Man Behind the Mask© 2016 All rights reserved including the right of reproduction in whole

or in part in any form.

This edition is published by arrangement with Harlequin.

This is a work of fiction. Names, characters, places, and incidents are either the product of the author’s imagination or are used fictitiously, and any resemblance to actual persons, living or dead, business establishments, events, or locales is entirely coincidental.

Alih bahasa: Wa Ode Renita Fransita Rakhman Hak Cipta Terjemahan Indonesia

Penerbit PT Elex Media Komputindo Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang Diterbitkan pertama kali pada tahun 2016 oleh Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Anggota IKAPI, Jakarta

716031286

ISBN: 978-602-02-9007-2

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan

(5)

Untuk para rekan penulis di Harlequin Romance,

sekumpulan wanita yang sangat mendukung dan berbakat,

dan untuk dua pria kesayanganku, Pete dan Andrew,

yang membuat hidup ini layak dijalani.

(6)

“Bos-mu muncul di surat kabar lagi.”

Brak! Sebuah tabloid terbanting di tengah meja

Delilah St. Germain, membuat kertas-kertas di se-kitarnya beterbangan. “Hei! Aku baru saja selesai membereskannya.”

Ia melayangkan pandangan pada dua orang wanita yang berdiri di jalan masuk kubikelnya. “Beberapa dari kita punya pekerjaan yang harus diselesaikan.”

“Beberapa dari kita ingin mengingatkan bahwa sekarang masih pukul tujuh-tiga puluh pagi,” jawab Chloe Abrams. “Kita satu-satunya orang di kantor sekarang ini.”

Tanpa diundang, ia dan Larissa Boyd mengambil dua buah kursi dari kubikel kosong di seberang ruangan dan duduk. “Lagi pula, kami membawakanmu kopi.”

“Ya-Tuhan-aku-menyayangimu-mana?” Seraya melihat dua cangkir besar di tangan Larissa, Delilah

(7)

2

mengambil salah satunya. “Kau tak tahu betapa aku sangat membutuhkan ini sekarang.”

“Memang aku tak tahu,” jawab Larissa, “tapi kami sudah menduganya. Bagaimana kabarmu, orang asing? Kami sudah seminggu tidak melihatmu. Kau masih berusaha mendapatkan klien itu?”

“Bartlett Ale? Tidak untuk sementara.” Usahanya untuk mendapatkan klien yang potensial itu mem-buatnya sangat sibuk beberapa minggu terakhir. “Tapi aku sudah tertinggal di pekerjaanku yang lain.” Ia membuka tutup cangkirnya dan menghirup aromanya dalam-dalam. Kopinya masih hangat. “Kalian berdua adalah penyelamat.”

Mereka selalu seperti itu. Chloe dan Larissa telah menjadi sahabatnya sejak masa orientasi perusahaan empat tahun yang lalu. Delilah yakin ia tidak akan mam pu menghadapi kepindahannya ke kota yang dijuluki the Big Apple ini tanpa kehadiran mereka.

“Hei, apa lagi gunanya teman jika bukan untuk mem berimu kafein saat kau terus-menerus lembur seperti ini?” ujar Chloe. “Lagi pula pukul berapa kau sudah sampai di sini?”

“Belum lama. Pukul enam tiga puluh, atau pukul tujuh.” Lebih cepat dibanding biasanya.

Dua sahabatnya itu menggelengkan kepala. “Ada cara yang lebih mudah untuk menyenangkan bos dari pada tiba di kantor sebelum ia tiba, “ Chloe mem-beritahunya.

(8)

3

“Aku tidak berusaha memberi kesan apa pun padanya, “ Delilah segera menimpali. Tidak sepe-nuhnya. “Dan kalian berdua juga harus bercerita. Aku lihat kalian berdua pun datang pagi-pagi sekali.”

“Hei, hanya di waktu sepagi inilah aku bisa fokus menyelesaikan rencana pernikahanku, apalagi Tom selalu mendominasi Wi-Fi,” jawab Larissa. “Aku da-tang pagi-pagi supaya bisa melihat-lihat ide desain gaun pengiring pengantin.”

“Dan aku tak ingin harus menghadapi antrean di kedai kopi,” ujar Chloe.

“Supaya ia bisa punya banyak waktu untuk meng-goda sang barista,” balas Clarissa.

“Kau hanya iri karena ia menambahkan porsi kopiku secara gratis.”

“Aku bisa saja membuat lelucon dari jawabanmu itu sekarang juga.”

“Tolong, jangan,” kata Delilah. “Aku sudah membayangkan apa yang akan kau katakan.”

Bicara soal foto.... Ia meraih surat kabar yang di-letakkan Chloe di mejanya. Benar saja, di sana terlihat Simon Cartwright, di baris ketiga salah satu kolom, dengan wanita berambut pirang bersandar di lengan-nya.

“Masih dengan Finland Smythe,” Chloe mengintip dari balik bahunya. “Ia bertahan cukup lama.”

“Dua bulan.” Lebih lama daripada yang lain. Bos mereka cenderung mengoleksi kekasih seperti

(9)

4

nenek Delilah mengoleksi sendok suvenir. Model, aktris, calon model dan calon aktris, sebuah parade ke cantikan, dimana mereka semua menunjukkan ekspresi kebahagiaan yang serupa.

Siapa yang bisa menyalahkan para wanita itu?

Delilah memandangi foto hitam-putih itu. Ia rela memberikan segalanya untuk bisa menjadi wanita yang pantas mendapatkan perhatian Simon Cartwright.

Seolah-olah hal itu bisa terjadi. Simon adalah.... Ia hampir saja berbicara keras-keras. Apa yang tidak ada pada diri Simon? Ia adalah pria yang tampan, cerdas, berkelas. Kau bisa merasakan energi dalam ruangan berubah setiap kali ia datang.

Laptop Delilah lebih berpotensi mendapatkan perhatian dari Simon dibanding dirinya.

“Ooh, lihat, inilah iklan pameran pernikahan yang kuceritakan pada kalian.” Larissa menunjuk kotak pengumuman di sebelah kolom sosial. “Kalian berdua tetap akan ikut denganku, ‘kan?”

Delilah dan Chloe sama-sama mengerang. Sejak bertunangan dengan kekasihnya yang berprofesi se-ba gai pialang saham, Larissa terus menerus mem-bicarakan tentang pernikahan. “Apa kami harus ikut?” tanya Chloe.

“Tentu saja. Kalian berdua adalah pengiring pengantin. Lagi pula, pasti akan menyenangkan. Kita bisa melihat gaun-gaun pengiring pengantin.”

(10)

5

“Bagaimana dengan gaun yang kau lihat di internet pagi ini?” tanya Chloe.

“Kuharap bukan saat jam kerja.”

Mereka bertiga tekejut. Delilah cepat-cepat mem-balik surat kabarnya. Simon Cartwright bersandar di pintu masuk kubikelnya dengan tangan terlipat di depan dadanya. Seperti biasa, jantung Delilah berdegup lebih kencang setiap bertemu dengannya.

Oh Tuhan, ia sungguh memesona. Bukan karena ketampanannya yang tidak biasa. Bahkan mungkin pria lain yang memiliki hidung mancung dan bibir sensual belum tentu akan semenarik dirinya. Tapi pada Simon ... fitur wajahnya sangat sempurna untuknya, seperti pakaiannya. Hari ini ia mengenakan kemeja abu-abu dengan jaket berukuran pas yang menonjolkan bentuk tubuhnya yang tinggi. Sebagai perenang di masa kuliah, ia masih rutin berenang beberapa putaran setiap pagi sebelum bekerja. Bahkan rambutnya yang masih terlihat lembap di lehernya menunjukkan ia baru saja berenang tidak lama se-belumnya.

“Selamat pagi, gadis-gadis. Aku tak menyadari ada pertemuan internal pagi ini. Seandainya aku tahu, akan kubawakan kue untuk camilan.”

“Hanya pertemuan sambil minum kopi sebelum bekerja,” ujar Delilah.

“Ahhh. Menarik sekali. Hal-hal yang kulewatkan karena aku datang kurang cepat. Aku jadi

(11)

bertanya-6

tanya apa saja kegiatan menyenangkan yang terjadi ketika aku sedang tak ada. Mengenai itu....” Ia berbalik pada Larissa. “Bagaimana rencana pernikahanmu sejauh ini, Miss Boyd?”

“Sangat baik, terima kasih,” sahabatnya itu men-jawab.

“Server perusahaan tidak menghalangi pencarian-mu di internet?”

“Aku, um ... tidak?” Pipi sahabatnya itu mulai me-merah. Sewaktu menundukkan kepalanya, ia tidak sempat melihat sekilas kilauan di balik mata Simon yang biru. Namun Delilah melihatnya; membuat perutnya bergejolak.

“Senang mendengarnya.” Simon mengalihkan perhatiannya pada Delilah. “Setelah kau selesai dengan pertemuan minum kopi ini, aku membutuhkanmu di ruanganku.”

Membutuhkanmu. Baiklah, maksudnya pasti

ter-kait pekerjaan. Namun ketika kata-kata itu diucapkan dalam suara bariton yang menjadi khasnya, tetap saja membuat sekujur tubuh Delilah gemetar. Menyedihkan? Ya. Begitu pula dengan jatuh cinta dengan bosmu sendiri. Jika Chloe atau Larissa menge-tahui rahasianya ini, ia tidak akan bisa lari darinya.

Untungnya, ia mahir menyembunyikan perasaannya. Sambil berpurapura merapikan helaian ram -butnya yang cokelat ke belakang telinganya, ia meng-angguk. “Tentu saja. Aku akan segera kesana.”

(12)

Barbara Wallace adalah sosok yang romantis dan pemimpi, sehingga bukan hal yang mengejutkan ketika pada usia delapan tahun ia memutuskan untuk menjadi seorang penulis. Namun, ia baru menyadari bahwa ia akan menjadi penulis novel romansa ketika seorang rekan kerja memberinya sebuah novel ro-mansa. Selama bertahun-tahun ia mengubur impian-nya itu sambil melewati hari-hariimpian-nya bekerja sebagai spesialis di bidang komunikasi, humas paruh-waktu dan ibu rumah tangga. Dengan dorongan dari keluarga, ia akhirnya meninggalkan pekerjaan tetap-nya dan mengejar impiantetap-nya sebagai penulis—dan ia sangat senang dengan keputusannya itu.

Barbara tinggal di Massachusetts dengan suaminya, seorang anak laki-laki remaja dan dua ekor kucing yang sangat manja (seolah-olah ada jenis kucing yang tidak seperti itu). Para pembaca bisa mengunjungi

(13)

263

situsnya di www.barbarawallace.com dan di laman Facebook. Ia akan dengan senang hati berinteraksi dengan Anda.

Referensi

Dokumen terkait