• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ambivalensi Pemerintah Tiongkok terhadap hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ambivalensi Pemerintah Tiongkok terhadap hukum"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

AMBIVALENSI PEMERINTAH TIONGKOK TERHADAP KEBIJAKAN KONTROL INFORMASI:

PENINGKATAN OPINI PUBLIK SECARA DARING DAN DAMPAK POLITIKNYA

Helmi Akbar Danaparamitha 071311233071

Globalisasi dan Masyarakat Informasi Desember 2016

Abstrak

Selama lebih dari 30 tahun, para pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah memonopoli berbagai informasi yang merambah ke ranah publik. Sejak diperkenalkannya Internet di Tiongkok, PKT dan pemerintah Tiongkok telah menunjukkan ambivalensi terhadap efek dari kekuatan baru dalam masyarakat Tiongkok: di satu sisi, Internet akan membantu melontarkan Tiongkok menuju jajaran negara-negara berteknologi maju; namun di sisi lain, Internet memfasilitasi perluasan ruang bagi diskusi urusan publik sehingga menciptakan sebuah ruang bagi masyarakat sipil untuk mendorong batas kebebasan asosiatif dan komunikatif. Peningkatan opini publik secara daring menunjukkan bahwa PKT dan pemerintah Tiongkok tidak lagi mampu mempertahankan kontrol mutlak terhadap media massa dan informasi. Masyarakat Tiongkok menjadi semakin transparan dengan nilai-nilai yang lebih pluralistik. Internet telah menjadi tempat bagi partisipasi warga dalam urusan publik: menciptakan lebih banyak informasi dan keterlibatan publik dan meningkatkan tuntutan publik terhadap pemerintah. Rezim otoriter PKT terus belajar untuk menjadi lebih responsif dan adaptif di lingkungan yang baru ini. Kompromi, negosiasi, dan perilaku perubahan aturan baru sebagai respon rezim dalam menghadapi tantangan ini mulai terlihat, menunjukkan kemungkinan pemerintahan yang lebih terbuka dan akuntabel dengan partisipasi lebih dari warga negara. Dilihat dari perspektif ini, Internet mampu menjadi katalis dalam transisi sosial dan politik.

Kata kunci: Partai Komunis Tiongkok, ambivalensi, kontrol informasi, Internet, opini publik

Abstract

(2)

effects as a new force in Chinese society: on the one hand, the Internet would help catapult the country into the ranks of technologically advanced nations; but in the other hand, the Internet facilitates the expanded space for discussion of public affairs thus created a space for civil society to push the boundaries of associative and communicative freedoms. The rise of online public opinion shows that the CCP and government can no longer maintain absolute control of the mass media and information. China is becoming an increasingly transparent society with more pluralistic values. The Internet has become a training ground for citizen participation in public affairs: it creates a more informed and engaged public and increases the public’s demands on government. The CCP’s authoritarian regime is learning to be more responsive and adaptive in this new environment. We are starting to see new compromise, negotiation, and rule-changing behaviors in the regime’s response to this challenge, indicating the possibility of more open and accountable governance with greater citizen participation. From this perspective, the Internet is in fact catalyzing social and political transition.

Keywords: Chinese Communist Party, ambivalence, information control, Internet, public opinion

Pembahasan artikel ini diawali dengan ledakan pertumbuhan akses dan penggunaan Internet di kalangan masyarakat Tiongkok, kemudian bergeser ke pengenalan metode pemerintah Tiongkok yang berupaya mengontrol konten online dan arus informasi, hingga membahas mengenai ambivalensi pemerintah Tiongkok terhadap kebijakan kontrol informasi. Pada akhirnya, penulis mengklaim bahwa Internet hanya digunakan sebagai “katup pengaman” bagi ketidakpuasan publik dan penulis juga berpendapat bahwa ekspansi Internet dan media berbasis online telah mengubah aturan permainan antara pemerintah Tiongkok dengan masyarakatnya. Pemerintah semakin memperhatikan dan merespon opini publik yang diunggah secara online. Penulis menyimpulkan dengan berargumen bahwa tren ini kemungkinan akan terus berlanjut, dengan pembentukan opini publik secara online memainkan peran penting dalam pengembangan masa depan masyarakat Tiongkok

The Rise of the Internet

(3)

Internet memperkenankan kelompok-kelompok kepentingan dengan proyek-proyek tertentu untuk eksis sehingga memunculkan sistem komunikasi yang kian interaktif dan dikenal dengan istilah CMC (Computer Mediated Communication). CMC pada awalnya merupakan sistem jaringan antar kampus dalam skala internasional, yang kemudian sistem tersebut diadopsi pada berbagai perusahaan juga institusi yang pada akhirnya menjadi suatu mainstream dalam lingkup masyarakat (Castells, 1996: 383-4). Proses formasi dan pembauran CMC atas masyarakat tersebut lah yang kemudian mampu membentuk pola baru dalam komunikasi.

Sejak diperkenalkannya penggunaan akses Internet di Tiongkok, Partai Komunis Tiongkok (PKT) telah menunjukkan ambivalensi terhadap efek dari kekuatan baru dalam masyarakat Tiongkok (Shirk, 2011: 204). Di satu sisi, PKT memandang adopsi dan ekspansi, baik Internet atau pun teknologi informasi dan komunikasi, sebagai bagian penting dari proses pembangunan ekonomi negara, serta telah secara aktif mendukung berbagai proyek e-commerce dan e-government. Terhitung akhir 2009, jumlah pengguna Internet di Tiongkok sebanyak 384 juta penduduk dan terus meningkat ke angka 688 juta di akhir 2015 (Central Intelligence Agency, n.d.). Dengan tidak kurang dari 53 juta pengguna Internet baru dalam kurun waktu enam bulan, berdasarkan data dari China Internet Network Information Center (CNNIC), tidak mengherankan apabila Tiongkok menjadi negara dengan pengguna Internet terbesar di dunia. Merujuk pada statistik tahun 2010 CNNIC (dalam Tai, 2006: 172), sekitar 70,6 persen pengguna Internet di Tiongkok berusia di bawah 30 tahun dan 60 persen di antaranya berusia di bawah 25 tahun. Populasi Internet Tiongkok juga relatif berpendidikan, dengan lebih dari 40 persen berstatus mahasiswa. Tingkat edukasi pengguna Internet kemudian menjadi tingkat acuan partisipasi public affairs secara online.

Online Censorship

(4)

kekuatan politik dan mengontrol seluruh elemen media massa, dari surat kabar dan majalah hingga saluran televisi dan stasiun radio, untuk menjadikan mereka sebagai “corong Partai” (Scotton & Hachten, 2010: 28).

Pemerintah Tiongkok telah menggunakan strategi berlapis untuk mampu mengontrol konten online dan memonitor aktivitas online pada seluruh tingkat layanan Internet. Pemerintah menerapkan jaringan kompleks dalam hal regulasi, pengawasan, hukuman penjara, propaganda dan pemblokiran ratusan ribu website internasional pada level gateway nasional, yang dikenal dengan sebutan “Great Firewall” (Scotton & Hachten, 2010: 28). Beberapa badan politik ditugaskan untuk bertanggung jawab terhadap konten Internet, termasuk Propaganda Department yang menjamin bahwa media dan konten budaya mengikuti aturan resmi yang diamanatkan PKT, serta State Council Information Office (SCIO) yang terus mengawasi seluruh website yang mempublikasikan segala macam berita (Scotton & Hachten, 2010: 29). Propaganda Department dan SCIO bertanggung jawab dalam membuat instruksi censorship dan memberikan denda, mengancam atau bahkan menutup outlet media yang merilis informasi yang tidak seharusnya dipublikasikan. Sebagai contoh nyata telah ditetapkan aturan pemberian denda sebesar 50.000 hingga 100.000 Yuan bagi laporan pemberitaan tidak resmi termasuk dalam hal wabah penyakit, bencana alam, permasalahan sosial dan public emergencies lainnya.

Pada 2006, komunitas internasional mulai memperhatikan peningkatan kontrol media, terutama online, pemerintah Tiongkok yang menjadi lebih ketat. Sejak akhir 2005 terdapat beberapa laporan (dalam Qinglian, 2008: xiii) mengenai “pembersihan” beberapa outlet media online Tiongkok, seperti Xinjingbao (Beijing News) yang dipaksa untuk menghentikan siaran, Zhongguo Qingnianbao (China Youth Daily) ditutup, kepala editor Gongyi Shibau (Public Interest Times) diganti, Shenzhen Fazhi Bao (Shenzhen Legal Daily) ditutup, dan website dari majalah Baixing (People) juga ditutup sementara. Meskipun latar belakang dari setiap penutupan berbeda, secara bersamaan penutupan tersebut merepresentasikan gambaran suram dari “penyerangan” pemerintah Tiongkok terhadap pihak media. Lingkungan media Tiongkok dianggap He Qinglian (2008: xiii) masih tetap terbatas untuk berita asing maupun domestik meskipun Tiongkok berhasil menyelenggarakan Olimpiade 2008 dan mendapatkan perhatian dunia internasional.

(5)

police, secara otomatis dilarang dalam forum online Tiongkok. Konten terlarang, termasuk berbagai daftar kata kunci yang telah tersaring, tidak dibuat eksplisit oleh sensor. Strategi utama pemerintah dalam memebentuk konten adalah dengan menuntut penyedia akses dan layanan Internet untuk bertanggung jawab terhadap tingkah laku pelanggannya, sehingga para operator bisnis tidak memiliki banyak pilihan selain secara aktif melakukan sensor terhadap konten dalam situsnya. Regulasi yang ditetapkan oleh Guangdong Provincial Communications Administration State, yang menyatakan “The system operator will be responsible for the contents of his/her area, using technical means as well as human evaluation to filter, select, and monitor”, menjadi contoh nyata strategi pemerintah dalam membentuk konten online (Shirk, 2011: 207).

Pemilik bisnis biasa menggunakan kombinasi dari pertimbangan mereka sendiri dan instruksi langsung dari dinas propaganda untuk menentukan konten apa yang harus dilarang. Instruksi baik dari SCIO atau pun dinas propaganda tingkat provinsi lain selalu diberikan kepada penyedia akses dan layanan Internet setidaknya tiga kali sehari (Scotton & Hachten, 2010: 29). Tidak berhenti di situ, human monitor dipekerjakan, baik oleh pihak website maupun pemerintah Tiongkok, untuk secara manual membaca dan menyensor seluruh konten yang akan diunggah. Website dalam negeri Tiongkok akan mendapatkan peringatan atau bahkan ditutup paksa apabila mereka melanggar peraturan-peraturan konten yang dapat diterima, dan pengguna Internet individu yang mengunggah atau menyebarluaskan informasi yang dianggap berbahaya oleh pihak berwenang akan diancam, diintimidasi, atau bahkan dipenjara (Scotton & Hachten, 2010: 30). Puluhan ribu website luar negeri yang mampu menghubungkan Internet Tiongkok dengan jaringan global pun tidak luput dari usaha pemblokiran.

(6)

Tiongkok, dan Tianya.cn sebagai salah satu komunitas online terbesar di Tiongkok (Shirk, 2011: 208). Hal ini menyediakan tautan bagi polisi Internet, yang mana para pembaca dapat melaporkan segala informasi ilegal yang mereka temukan. Seorang petugas polisi asal Shenzhen menjelaskan penggunaan Jingjing dan Chacha kepada China Youth Daily (dalam Shirk, 2011: 208) sebagai berikut;

“The Internet police have existed for a long time. This time we publish the image of Internet Police in the form of a cartoon, to let all Internet users know that the Internet is not a place beyond the law. The Internet Police will maintain order in all online behavior. The main function of Jingjing and Chacha is to intimidate, not to answer questions”.

(7)

Digital Resistance

Sifat fana, anonimus, dan jaringan komunikasi Internet membatasi dampak yang ditimbulkan dari kehadiran sensor konstan. Selain itu, sejumlah faktor sebagaimana disebut Shirk (2011: 210) menjadikan pekerjaan sensor sangat menakutkan. Pertama, bahwa Internet merupakan sebuah bentuk komunikasi many-to-many yang hampir tidak memiliki batas dan resiko penggunaan bagi siapa pun yang memiliki koneksi untuk mengakses dan memproduksi informasi. Kedua adalah topologi jaringan itu sendiri. Ketika melihat Weblog sebagai bentuk publikasi yang terisolasi, akan sangat mudah untuk menerapkan metode tradisional pengendalian konten: menempatkan penerbit di bawah berbagai jenis kontrol editorial atau self-censorship tidak lah susah. Namun ketika berkaitan dengan blogosphere dan seluruh jaringan Internet dengan koneksinya, jutaan cluster yang tumpang tindih, komunitas self-organized, dan node-node baru yang terus tumbuh, kontrol total kemudian menjadi suatu hal yang mustahil dilakukan.

Yochai Benkler, seorang peneliti Internet, menyatakan “In authoritarian countries, it is also the absence of single or manageable small set of points of control that is placing the greatest pressure on the capacity of the regimes to control their public sphere, and thereby to simplify the problem of controlling the action of the population” (Shirk, 2011: 210). Dalam kasus Tiongkok, sistem kontrol Internet pemerintah terutama ditujukan untuk menyensor konten yang secara terbuka menentang atau menyerang peraturan PKT, atau bertentangan dengan subjek tabu pemerintah seperti kekerasan 1989 di Tiananmen Square atau hubungan Tiongkok dengan Tibet (Yong, 2013: 81). Tujuan terpenting dari dilakukannya sensor adalah untuk mencegah distribusi informasi skala besar yang mampu mengantarkan pada tindakan kolektif, terutama tindakan offline, seperti demonstrasi massa atau kampanye tanda tangan.

(8)

Masyarakat Tiongkok telah lama dipenuhi dengan komunikasi kode yang biasa menjadi perbincangan di kalangan swasta. Kini informasi tersebut tidak lagi hanya disebarkan secara diam-diam, namun telah dikomunikasikan dan disebarluaskan secara publik, dan seringkali dikumpulkan dalam suatu ruang jaringan. Sebagai contoh, semenjak upaya sensor dilakukan di bawah slogan resmi “constructing a harmonious society”, para Netizen telah mulai merujuk pada sensor konten Internet sebagai “being harmonized”. Lebih lanjut, kata “to harmonize” dalam bahasa Mandarin, hexie, merupakan homonim dari kata “kepiting sungai”. Dalam bahasa rakyat, kepiting mengacu pada pengganggu yang menjalankan kekuasaan dengan kekerasan. Sehingga citra kepiting telah menjadi ikon sindiran politik baru bagi Netizen yang telah muak dengan sensor pemerintah dan kini mereka menyebut diri mereka sebagai “Masyarakat Kepiting Sungai” (Shirk, 2011: 210). Bahkan pada mesin pencari yang paling ketat mendapatkan sensor pemerintah, Baidu.com, pencarian frase “Masyarakat Kepiting Sungai” akan menghasilkan lebih dari 5.830.000 artikel.

“Information Wants to be Free”

(9)

saluran online lainnya (Shirk, 2011: 211). Publikasi ini, termasuk pemberitaan pemberontakan, berita terkini Voice of America, dan peringatan berita luar negeri yang berbahasa Mandarin, mampu menjangkau pembaca Tiongkok meskipun pemerintah telah menggunakan teknologi penyaringan canggih.

The People’s Right to Know

Pertumbuhan penggunaan Internet secara drastis meningkatkan informasi yang tersedia bagi masyarakat Tiongkok dan mempersempit kesenjangan informasi antara pemerintah dengan masyarakat. Pemerintah Tiongkok berjuang untuk mengeksploitasi manfaat dari lingkungan informasi baru ini sekaligus mengurangi resikonya dalam menumbangkan kekuasaan PKT. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kehadiran Internet di dalam internal pemerintah sendiri, yang mana para pejabat ekonomi mendukung keterbukaan sedangkan pejabat propaganda PKT memiliki preferensi terhadap kontrol informasi. Akibatnya, kebijakan media Tiongkok merupakan sebuah campuran inkonsisten dari peningkatan transparansi dan responsif di satu sisi, dan investasi besar besaran dalam upaya sensor yang lebih efektif di sisi lain (Shirk, 2011: 32). Pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah apakah kebijakan seperti ini berimplikasi pada PKT yang mendapatkan dukungan lebih atau justru menghasilkan upaya resistensi yang memiliki konsekuensi revolusioner di masa depan. Terjadinya ledakan informasi telah meningkatkan harapan masyarakat tentang seberapa banyak informasi yang berhak mereka dapatkan. Akses terhadap berita tentang budaya populer, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan olahraga di seluruh dunia telah terbuka lebar. PKT sendiri, dalam pidato dan regulasinya, telah mengakui hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Sebut saja Chapter 2 Konstitusi RRT “The Fundamental Rights and Duties of Citizens” yang menjabarkan dalam Artikel 35 mengenai “kebebasan” bagi rakyatnya dengan menyebutkan “Citizens of the People’s Republic of China enjoy freedom of speech, of the press, of assembly, of association, of procession and of demonstration” (Shirk, 2011: 32). Hal ini tentu tidak sejalan dengan kontrol informasi yang selama ini diterapkan di Tiongkok.

(10)

sudut pandang kritis yang tiba-tiba menghilang, diikuti oleh beberapa postingan pro-pemerintah, seperti yang terjadi selama penurunan kinerja Google, bukan mengungkapkan kekuatan rezim melainkan kelemahannya; pengguna telah memahami jenis informasi berbahaya seperti apa yang ditakuti PKT untuk menjadi pengetahuan umum. Berbagai bentuk perlawanan, sebagai bentuk kebencian Netizen Tiongkok terhadap sensor pemerintah, menimbulkan kemungkinan oposisi yang akan terjadi di masa depan. Sebuah cover-up yang mengarah ke pengetatan kontrol media dan Internet selama krisis mampu memicu terhadap upaya oposisi tersebut (Shirk, 2011: 33). Seruan revolusi Tiongkok di masa depan tidak menutup kemungkinan mengenai “the people’s right to know”.

Citizen Mobilization

Mobilisasi kolektif dan organisasi atas berbagai isu yang menjadi perhatian bersama menjadi area yang mana opini publik berbasis Internet memiliki potensi untuk membuat dampak signifikan pada masyarakat dan ranah politik Tiongkok (Tai, 2006: 191). Sementara pemerintah berusaha melumpuhkan masyarakat sipil dan organisasi sosial, berbagai kelompok grassroot yang berkaitan dengan isu-isu sosial seperti melindungi lingkungan, hak-hak perempuan, dan homoseksualitas bergantung pada Internet untuk mengatur dan menyebarluaskan informasi (Tai, 2006: 200). Ruang diskusi urusan publik yang terus diperluas oleh Internet telah menciptakan tempat tersendiri bagi masyarakat sipil untuk mendorong batas-batas asosiatif dan kebebasan komunikatif. Namun lagi-lagi di sisi lain PKT sebagai partai penguasa belum menunjukkan tanda-tanda menyerahkan monopolinya terhadap kekuatan politik.

(11)

Obama membahas isu kebebasan berbicara secara online di Internet pada pertemuan terbuka dengan mahasiswa di Shanghai.

Tidak semua mobilisasi online merupakan tindakan spontan dan anonim seperti halnya kampanye menentang Great Firewall. Blogger berpengaruh juga dapat memobilisasi sebuah gerakan dengan bertindak sebagai juru bicara pada isu-isu tertentu atau memberikan otentikasi pribadi untuk memberikan pesan yang beresonansi dalam masyarakat yang lebih luas, atau bahkan mengartikulasikan apa yang orang lain tidak dapat katakan dalam menghadapi sensor politik. Han Han, seorang penulis dan blogger, merupakan salah satu tokoh dalam ruang maya Tiongkok. Han merupakan salah satu kritikus paling vokal dari sensor pemerintah, dan konten blog-nya sering dihapus akibat sensor. Namun demikian, pada April 2010, majalah Times merilis Han Han di website-nya sebagai salah satu kandidat dalam “most globally influential people”. Han kemudian menulis dalam blog-nya meminta pemerintah Tiongkok “to treat art, literature and the news media better, to not impose too many restictions and censorship, and to not use the power of the government or the name of the State to block or slander any artist or journalist” (Shirk, 2011: 220). Tulisan Han tersebut menghasilkan lebih dari 25.000 komentar dari pembacanya dan dilihat oleh lebih dari 1,2 juta orang. Tulisan ini juga banyak diposting ulang secara online; pada Mei 2010, pencarian Google menemukan lebih dari 45.000 tautan mengenai tulisan Han. Meskipun pemerintah Tiongkok berupaya menggunakan Great Firewall untuk memblokir Netizen Tiongkok melakukan voting terhadap Han di situs majalah Times, Han menjadi peringkat kedua dalam penghitungan akhir, menunjukkan keberhasilan kekuatan mobilisasi melalui tulisannya (Shirk, 2011: 220).

(12)

kemungkinan debat dan interaksi dalam forum elektronik melalui kontrol media. Lebih penting, masyarakat mampu membentuk konstelasi politik dan ideologi mereka sendiri, menghindari struktur politik yang telah ada sehingga menciptakan lapangan politik yang lebih fleksibel (Castells, 1997: 349). Dan ketiga, pengembangan mobilisasi politik di sekitar isu non-politik seperti isu kemanusiaan, feminisme atau isu-isu lingkungan. Bentuk mobilisasi politik ini merupakan usaha untuk meningkatkan legitimasi dalam seluruh lapisan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan memperkenalkan proses politik dan isu-isu politik baru, sehingga memajukan krisis demokrasi liberal klasik sementara mendorong munculnya demokrasi informasi.

Official Ambivalence

Para pemimpin tertinggi Tiongkok mengalami kondisi “deep ambivalence” terhadap penggunaan Internet, yang mana mereka merasakan potensi manfaat serta resiko penggunaannya. Istilah ambivalensi digunakan Shirk (2011: 5) untuk menggambarkan sikap pemerintah Tiongkok terhadap Internet. Dengan menyerahkan sebagian kontrol atas media, para penguasa di negara otoriter seperti Tiongkok telah membuat suatu trade-off. Paling jelas, mereka memperoleh keuntungan dari perkembangan ekonomi; pasar beroperasi lebih efisien ketika masyarakat memiliki kualitas informasi lebih baik. Namun mereka juga melakukan perjudian bahwa mereka akan mendapatkan keuntungan politik; bahwa pelepasan kontrol media mampu memicu suatu dinamika yang akan menghasilkan peningkatan kinerja pemerintah, dan mereka juga berharap mampu memperkuat dukungan populer terhadap pemerintah. Media mampu meningkatkan kinerja pemerintah dengan cara menyediakan informasi yang lebih akurat mengenai preferensi masyarakat terhadap pembuat kebijakan. Pemimpin Tiongkok juga menggunakan media sebagai “anjing pengawas” untuk memantau tindakan pejabat subordinat, khususnya di tingkat lokal, sehingga mereka mampu mengidentifikasi and mencoba menyelesaikan permasalahan sebelum kerusuhan terprovokasi. Persaingan media komersial secara lebih lanjut mendorong media resmi dan pemerintah sendiri untuk menjadi lebih transparan; untuk menjaga kredibilitasnya, pemerintah harus memberikan informasi lebih baik daripada sebelumnya (Shirk, 2011: 5). Dalam semua hal ini, perubahan lingkungan media meningkatkan respon dan transparansi pemerintah. Selain itu, pers yang lebih bebas dapat membantu pemerintah lokal untuk memperolah persetujuan internasional.

(13)

dan mengungkapkan kepada publik sebuah realita dibalik topeng kesatuan partai. Pengurangan kontrol juga menyediakan peluang bagi oposisi politik untuk berkembang. Suatu hal yang paling mengkhawatirkan pemimpin PKT dan apa yang memotivasi mereka untuk terus melakukan investasi besar-besaran dalam mekanisme kontrol media adalah adanya potensi bahwa lingkungan informasi yang bebas mampu mengorganisir suatu tantangan bagi kekuasaan mereka (Shirk, 2011: 6). Ketakutan para pemimpin Tiongkok terhadap informasi yang mengalir bebas tidak hanya sekadar paranoia; beberapa penelitian ilmu sosial komparatif menunjukkan bahwa mengizinkan “coordination goods” seperti kebebasan pers dan kebebasan sipil secara signifikan mengurangi peluang rezim otoriter untuk mempertahankan kekuasaannya.

Lantas apa hubungan antara informasi dengan tindakan kolektif anti-pemerintah? Semakin represif sebuah rezim, semakin berbahaya keterlibatan dan koordinasi pada tindakan kolektif untuk mengubah rezim tersebut (Shirk, 2011: 6). Setiap individu berani untuk berpartisipasi dengan melihat resiko yang sebanding dengan potensi keuntungannya. Salah satu cara untuk meminimalisir resiko adalah dengan pemberian anonimitas dalam skala besar. Bahkan sebelum Internet diciptakan, berita mampu menciptakan titik fokus untuk memobilisasi protes massa. Ponsel dan Internet bahkan lebih berguna untuk mengkoordinasi tindakan kelompok mengingat ponsel dan Internet menyediakan anonimitas bagi penyelenggara dan memfasilitasi “two way communication of many to many”. Pada April 1999, sekitar sepuluh ribu pengikut sekte spiritual Falun Gong menggunakan ponsel dan Internet untuk secara diam-diam berusaha mengatur PKT dan kepemimpinan pemerintah di Beijing (Yong, 2013: 155). Satu dekade sebelumnya, mesin faks merupakan teknologi komunikasi yang memungkinkan mahasiswa mengatur protes pro-demokrasi di Tiananmen Square Beijing dan lebih dari 130 kota lain. Dalam beberapa tahun terakhir, kombinasi laporan surat kabar, alat komunikasi Internet, dan ponsel telah memungkinkan protes mahasiswa terhadap Jepang, demonstrasi menentang perampasan tanah pedesaan, dan protes terhadap berbagai proyek industri yang merusak lingkungan (Yong, 2013: 131). Kemungkinan politik dari teknologi jaringan sosial terbaru seperti Twitter atau FanFou dalam versi Tiongkok, Facebook atau Xiaonei dalam versi Tiongkok, dan YouTube atau Youku dalam versi Tiongkok, belum sepenuhnya teruji di Tiongkok.

(14)

Ketika seluruh pemberitaan dikomunikasikan melalui media resmi pejabat, hal ini digunakan untuk memobilisasi dukungan untuk kebijakan PKT: karenanya, PKT memiliki kekhawatiran tersendiri tentang pihak oposisi. Thomas Schelling (dalam Shirk, 2011: 7) menekankan bahwa kebebasan akses informasi, yang dianalogikan sebagai kepemilikan mikrofon, berimplikasi pada dimilikinya kekuatan opini publik yang kemudian beresiko pada tindakan massa bottom-up. Pada Juni 2009, Schelling berkomentar pada halaman People’s Daily dengan judul “The Microphone Era”, menyatakan bahwa “In this Internet era, everyone can be an information channel and a principal of opinion expression. A figurative comparison is that everybody now has a microphone in front of him” (Shirk, 2011: 7).

Protes anti-pemerintah 2009 di Iran dan revolusi warna yang dikenal di negara-negara bekas Uni Soviet, serta pengalaman mereka sendiri, menjadikan para politisi Tiongkok takut bahwa arus informasi yang bebas melalui media baru, terutama online, mampu mengancam kekuasaan mereka. Namun perlu mempertimbangkan kemungkinan lain, yaitu bahwa Internet mungkin mampu menghambat keberhasilan gerakan revolusioner karena celah online merupakan opsi yang lebih “aman” daripada melakukan aksi turun ke jalan; dan sifat desentralisasi dari komunikasi online lebih kepada memecahkan suatu gerakan daripada mengintegrasikannya ke organisasi revolusioner yang efektif (Shirk, 2011: 7). Namun demikian, para pemimpin Tiongkok masih ragu untuk mengambil resiko sepenuhnya dari kontrol informasi.

“A Safety Valve”

Pejabat pemerintah Tiongkok mulai mengakui bahwa Internet telah menghasilkan tren ireversibel menuju masyarakat yang lebih transparan, warga negara yang lebih partisipatif, dan kekuatan opini publik online yang terus meningkat (Shirk, 2011: 220). Beberapa pejabat menganjurkan perlunya reformasi politik untuk beradaptasi terhadap kekuatan-kekuatan ini. Direktur Research Department of the Central Party School, Xin Di, yang melakukan observasi terhadap dampak politik dari agenda berbasis Internet, merilis lima contoh konkret yang menunjukkan kemajuan yang terjadi dalam sistem politik Tiongkok. Menariknya, empat dari lima contoh yang disebutkan bukan merupakan upaya reformasi politik top-down, melainkan berhubungan dengan reaksi PKT dan pemerintah terhadap berbagai agenda berbasis Internet (Shirk, 2011: 221).

(15)

222). Melihat dari perspektif ini, pemerintah harus secara selektif mentolerir atau bahkan menyambut ekspresi Internet sebagai barometer opini publik. Mengizinkan ekspresi seperti ini memungkinkan PKT dan pemerintah secara mudah dan murah mengumpulkan informasi tentang masyarakat, untuk menjadi lebih responsif terhadap permasalahan warga, dan untuk menyediakan “katup pengaman” yang melepaskan kemarahan publik (Shirk, 2011: 220). Peran Internet dalam mempromosikan perubahan politik juga dapat dirasakan ketika kepentingan dan agenda dari berbagai agensi pemerintah tidak sejajar. Dalam kasus seperti ini, opini publik dapat membantu menyeimbangkan kedua kepentingan.

Kesimpulan

Berdasar penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa terjadi ambivalensi pemerintah Tiongkok terhadap kebijakan kontrol informasi: di satu sisi, Internet akan membantu melontarkan Tiongkok menuju jajaran negara-negara berteknologi maju; namun di sisi lain, Internet memfasilitasi perluasan ruang bagi diskusi urusan publik sehingga menciptakan sebuah ruang bagi masyarakat sipil untuk mendorong batas kebebasan asosiatif dan komunikatif. Peningkatan opini publik secara online menunjukkan bahwa PKT dan pemerintah Tiongkok tidak lagi mampu mempertahankan kontrol mutlak terhadap media massa dan informasi. Internet telah menjadi salah satu ruang media paling berpengaruh di kalangan masyarakat Tiongkok. Di bawah permukaan peningkatan dan pengintensifan tindakan pengendalian adalah meningkatnya informasi dan kesadaran publik di Tiongkok. Lebih lanjut, melalui jaringan sosial online dan komunitas virtual, Internet di Tiongkok telah menjadi bentuk komunikasi penting yang digunakan untuk mengumpulkan informasi dan mengkoordinasikan tindakan kolektif.

Daftar Pustaka

Castells, Manuel. 1996. “The Culture of Real Virtuality: The Integration of Electronic Communication, the End of the Mass Audience, and the Rise of Interactive Networks” dalam The Rise of the Network Society. Oxford: Blackwell Publisher, pp. 355-406. ______________. 1997. “Informational Politics and the Crisis of Democracy”, dalam The

Power of Identity. Oxford: Blackwell Publisher, pp. 309-353.

(16)

Qinglian, He. 2008. The Fog of Censorship: Media Control in China. New York: Human Rights in China.

Scotton, James F. dan William A. Hachten. 2010. New Media for a New China. Oxford: John Wiley & Sons Ltd.

Shirk, Susan L. 2011. Changing Media, Changing China. Oxford: Oxford University Press. Tai, Zixue. 2006. The Internet in China: Cyberspace and Civil Society. New York & London:

Routledge.

Referensi

Dokumen terkait

Pembakaran adalah reaksi kimia antara komponen-komponen bahan bakar (karbon dan hidrogen) dengan komponen udara (oksigen) yang berlangsung sangat cepat, yang membutuhkan

Pada penelitian ini telah dilakukan percobaan untuk mempelajari kinetika reaksi pelarutan nikel dari kalsin nikel laterit ke dalam larutan asam sulfat. Kalsin

Sebuah use case dapat di-include oleh lebih dari satu use case lain, sehingga duplikasi fungsionalitas dapat dihindari dengan cara menarik keluar fungsionalitas yang

Kebanyakan mikrobia yang terdapat pada tanah dan air juga ditemukan pada tanaman, karena bahan tersebut merupakan sumber utama mikrobia pada tanaman. Genus bakteri yang

Perlakuan oksidasi tepung talas dengan hidrogen peroksida tanpa atau disertai dengan iradiasi UV mengubah sifat fisiko kimia dan baking expansion tepung talas:

Setiap Pihak wajib mengambil tindakan legislatif, administratif dan kebijakan yang tepat, efektif dan proporsional, yang sesuai, untuk mengatur pengetahuan tradisional

Karena variasi genetik dalam komponen imun sistem yang berbeda, pada beberapa orang sistem imun menyerang protein yang berhubungan dengan inti sel dan membentuk antibodi

Pembuatan cetakan dengan tangan dari pasir basah dilakukan dengan urutan sebagai berikut: (gambar 7).. 1) Papan cetakan diletakkan pada lantai yang rata dengan pasir