• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Karakter melalui peran Penderitaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembentukan Karakter melalui peran Penderitaan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Pembentukan Karakter Melalui Penderitaan Berdasar Perspektif Kitab Ayub Dan Aplikasinya Bagi Pemimpin Kristen Masa Kini

(Kalis Stevanus,M.Th)1

Abstraksi

Kepemimpinan Kristen adalah suatu proses terencana yang dinamis dalam konteks pelayanan pekerjaan Allah yang di dalamnya ada intervensi Allah, Ia memanggil bagi diri-Nya seorang pemimpin untuk memimpin umat-diri-Nya guna mencapai tujuan-diri-Nya bagi dan melalui umat-Nya. Di dalam proses mencapai tujuan Allah di dalam kepemimpinannya tersebut dibutuhkan karakter yang baik sebab karakter yang baik merupakan dasar utama dan merupakan kunci kesuksesan bagi seorang pemimpin. Secara khusus bagi Pemimpin Kristen, memiliki karakter yang baik merupakan suatu kemutlakan atau harga mati. Pemimpin Kristen dituntut tidak hanya pandai secara intelektual, cakap atau terampil, namun juga memiliki karakter yang unggul, spiritual yang teruji dan kokoh serta dituntut mengikuti jejak atau meneladani gaya kepemimpinan Tuhan Yesus yang selalu mengedepankan kerendahan hati, kasih yang tulus (murah hati), kebenaran dan keadilan (Mat.5-7) sehingga bisa menjadi teladan bagi umat Allah serta menjadi garam dan terang bagi dunia. Berbeda dengan kepemimpinan dari para ahli Taurat yang ditegur keras oleh Tuhan Yesus karena mereka tidak menjadi berkat (baca: memiliki karakter baik). Mereka hanya mengajar tetapi tidak mengimplementasikan pengajarannya di dalam praktik hidup sehari-hari. Tuhan Yesus berkata kepada para murid-Nya mengenai para ahli Taurat demikian: ”

...

janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mat.23:3b). Pemimpin semacam itu, jelas tidak pantas dicontoh.

Untuk memiliki karakter baik, itu tidak terjadi dengan sendirinya. Ada dua pihak yang terlibat aktif di dalamnya, baik dari pihak Tuhan yang membentuk melalui peristiwa atau kejadian hidup sehari-hari dan juga pihak manusia yang dibentuk dituntut sebuah respon yang benar. Selain itu, terbentuknya karakter tidak terjadi begitu saja melainkan ada sarana yang dipakai untuk membentuknya. Salah satu sarana yang dipakai Tuhan untuk membentuk karakter seseorang adalah melalui penderitaan. Terkadang Tuhan bisa membawa seseorang ke dalam keadaan yang tidak menyenangkan (baca: penderitaan).

Melalui tulisan singkat ini, kita akan belajar dari salah satu tokoh Alkitab yang cukup menonjol yaitu Ayub. Bagaimana Tuhan membentuknya dan bagaimana respons Ayub terhadap proses pembentukan dirinya melalui keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan (baca: penderitaan) tersebut. Melalui hasil eksegesa kitab Ayub ini, diharapkan memiliki implementasi bagi kehidupan pemimpin Kristen masa kini agar memiliki respons yang benar terhadap proses pembentukan Tuhan melalui keadaan-keadaan yang tidak menyenangkan sehingga menghasilkan sikap hidup dan karakter mulia serta iman yang kokoh dibangun atas dasar pengenalan pribadinya dengan Allah—pengalaman hidup yang konkrit (experience). Itulah karakter yang sejati yang terukir secara permanen di dalam jiwa. Karakter baik tidak bisa dibuat-buat melainkan dihasilkan melalui berbagai pengalaman hidup sehari-hari, salah satunya melalui penderitaan seperti yang dialami oleh Ayub.

Kata Kunci: Pembentukan Karakter, Penderitaan, Kitab Ayub, Aplikasi, Pemimpin Kristen, Masa Kini

(2)

Pendahuluan

Setiap pemimpin memiliki kesempatan yang sama untuk sukses. Banyak orang berpikir bahwa kesuksesan didasarkan pada tingginya jenjang pendidikan yang diraih atau modal yang besar. Namun, faktanya menunjukkan lain. Banyak di antara mereka yang jenjang pendidikannya tinggi, modalnya besar, atau memiliki fasilitas yang memadai, namun gagal mencapai peran kepemimpinannya sesuai firman Tuhan. Berikutnya pernyataan Dr. Rick Warren yang dikutip oleh Dr. Willy Susilo sebagai berikut:

“Penyebab utama kegagalan seorang pemimpin bukan karena nasib atau minimnya kecerdasan intelektual, melainkan persoalan karakter. Kehilangan karakter hidup yang unggul. Tanpa karakter yang unggul maka seseorang tidak bisa menjadi pemimpin sukses yang seutuhnya dan memancarkan kemuliaan-Nya”.2

Hal serupa dinyatakan oleh Pudjiarto Boestam bahwa kepemimpinan yang sukses merupakan sesuatu yang diimpikan oleh banyak pemimpin. Kesuksesan dalam kepemimpinan akan sangat berpengaruh bagi kehidupan banyak orang yang ada di bawah sebuah kepemimpinan. Faktanya, seorang pemimpin tidak cukup sekedar memiliki kecakapan memimpin tanpa perpaduan atau memiliki karakter yang kuat dan saleh maka tidak bisa dikatakan pemimpin yang sukses.3

Demikian juga halnya dengan permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia ini adalah bukan kekurangan sumber daya manusia yang cerdas, bukan rusaknya infrastruktur, tidak adanya akses atau kurangnya faktor eksternal yang mendukung. Namun, ada sumber permasalahan yang tidak boleh dianggap enteng, yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia. Sebab kualitas manusialah yang menentukan nilai produksi yang dihasilkan. Manusia yang berkualitas rendah akan menghasilkan nilai produksi yang rendah juga. Kualitas sumber daya itu tidak lain adalah “karakter”—bukan status sosial tinggi, pendidikan tinggi, jabatan tinggi dan sebagainya. Bobroknya karakter menghasilkan orang-orang yang penuh kepalsuan, mengejar kekuasaan dan uang dengan segala cara tanpa mempertimbangkan etika kehidupan, kebenaran dan keadilan.4

Karakter yang baik itu adalah integritas dan itu merupakan salah satu kunci keberhasilan bagi seorang pemimpin. Karisma dapat menghantar seseorang mencapai puncak, tetapi hanya karakter yang dapat membuat seseorang bertahan di puncak.5 Maka dari

itu setiap pemimpin yang ingin berhasil harus memiliki karakter yang baik di dalam dirinya. Dr. John Maxwell mengatakan dengan tegas bahwa hanya melalui karakter yang baik, pemimpin akan terbina kepercayaannya, pemimpin akan memiliki pengaruh tinggi, pemimpin akan memiliki standar tinggi, dan akhirnya pemimpin akan memiliki reputasi yang kuat, baik di hadapan Allah maupun di depan orang-orang yang dipimpinnya.6 Jika kesemuanya itu ada

di dalam diri para Pemimpin bangsa ini (terutama Pemimpin Kristen), maka dapat dipastikan bahwa kepemimpinannya akan berhasil dan berkenan kepada Allah.

I. Pemimpin Kristen

A. Identifikasi Isu Kepemimpinan Masa Kini

Fakta menunjukkan bahwa manusia yang cerdas secara intelektual (akademis) tidak menjamin dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh bangsa ini. Kejahatan yang terjadi di dalam masyarakat juga tidak dapat diobati dengan

2 Willy Susilo, Membangun Karakter Unggul (Yogyakarta : Andi, 2013), hlm. Xii 3 Pudjiarto Boestam, Smart Christian Leadership (Yogyakarta : Andi, 2009), hlm. 1 4 Yosua L. Hadiputra, Kualitas Orang Sukses (Yogyakarta : Andi, 2008), hlm ix 5 Jakoep Ezra, Success Through Character (Yogyakarta : Andi, 2006), hlm. 1

(3)

perkembangan intelektual manusia—kendati pun peran intelektual tidak dapat diabaikan begitu saja. Berbagai kejahatan tersebut merupakan bukti tentang dekadensi atau merosotnya karakter/moral masyarakat. Terjadi kerapuhan nilai-nilai religius baik secara individual, di dalam keluarga maupun masyarakat yang menjadi faktor utama penyebab buruknya karakter para pemimpin masa kini.

Melihat kondisi seperti di atas bahwa jalan keluarnya adalah diperlukan sosok pemimpin yang mampu menjadi contoh—figur bapa di dalam hal perilaku dan sikap serta imannya yang teguh,” Ingatlah akan pemimpin-pemimpin kamu, yang telah menyampaikan firman Allah kepadamu. Perhatikanlah akhir hidup mereka dan contohlah iman mereka” (Ibr.13:7).

Isu-isu mengenai karakter merupakan tantangan di dalam kepemimpinan baik di dalam kepemimpinan sekular maupun kepemimpinan Kristiani. Betapa pentingnya memiliki karakter yang baik bagi seorang pemimpin apalagi Pemimpin Kristen. Dengan demikian, kebutuhan akan sosok pemimpin yang berkarakter baik adalah sesuatu yang sangat urgen sekali di masa sekarang.

B. Pembentukan Karakter melalui Penderitaan

Pembentukan karakter sangat diperlukan bagi setiap orang Kristen, terlebih lagi pemimpin Kristen. Karakter akan sangat memengaruhi keputusan etis di dalam kehidupan bermasyarakat. Ken Legg mengatakan bahwa pentingnya pembentukan karakter adalah untuk memberikan dasar kehidupan yang kuat.7 Dan

Pembentukan karakter dapat terjadi salah satunya adalah melalui penderitaan. Penderitaan dapat menjadi sarana efektif untuk menuju kepada kedewasaan baik secara mental dan spiritual. Kehidupan yang dewasa salah satunya ditandai dengan tahan uji. Tahan uji ini sarananya adalah melalui tantangan yang dihadapi. Contohnya adalah penderitaan yang dialami oleh Ayub seorang yang benar, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Respons seseorang terhadap tantangan menghasilkan tahan uji dan ketekunan. Modal inilah yang menjadikan seseorang menjadi dewasa.

Benar, apa yang dikatakan oleh Fengky bahwa masalah adalah “berkat” yang dapat menjadi sarana seseorang menjadi dewasa.8 Selanjutnya Pudjiarto Boestam

mengatakan bahwa pembentukan karakter melalui penderitaan membentuk kesabaran. Tuhan memakai kesengsaraan, penderitaan, dan tekanan hidup untuk membentuk kesabaran dan ketekunan. Ini adalah suatu bentuk karakter teruji (Rm.5:3-4).9

Contoh kasus Ayub ini, barulah satu dari sekian banyak kasus yang Tuhan izinkan terjadi dalam kehidupan kita. Dari kasus yang mudah ditanggulangi sampai kasus berat yang nyaris kita tidak mampu menanganinya, Tuhan hadirkan dalam hidup kita. Tentu saja Tuhan memiliki semacam “kurikulum” untuk setiap individu dalam proses pembentukannya (baca: karakter ilahi). Di dalam dan melalui segala peristiwa, Allah melalui Roh-Nya berjuang mengubah dan menuntun kita menuju keserupaan dengan Kristus.

Pembentukan karakter melalui penderitaan kita dapat belajar dari kehidupan Ayub. Bagaimana respons Ayub? Respons terhadap penderitaan itu sangat memengaruhi hasil dari pembentukan karakter itu. Jelas Tuhan serius mau mengubah (karakter) kita, kita pun harus bersedia untuk diubah. Kesediaan kita

7 Ken Legg, Inilah Kehidupan Itu (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2011), hlm. 1 8 Fengky M., Masalah Adalah Berkat ( Jakarta: IGM, 2005), hlm. 2

(4)

diubah Tuhan sangat menentukan apakah kita bisa berubah atau tidak. Tuhan tidak mengubah orang yang tidak bersedia diubah. Jadi, respons menjadi sangat penting jika kita menginginkan karakter yang baik itu terbentuk. Kisah Ayub ini seharusnya menjadi contoh bagi Pemimpin Kristen masa kini untuk belajar berespons benar dalam setiap tantangan yang dialaminya sehingga menghasilkan karakter ilahi.

II. Literary-Historikal dan Biblika-Teologikal Konteks A. Latar belakang

Perlu diketahui bahwa mengenai waktu penulisan kitab Ayub baik para rabi dahulu maupun para ahli modern belum sepakat. W.S Lasor, D.A Hubbard dan F.W Bush mengatakan: namun yang paling mungkin ialah kisah prosa ini benar-benar kuno dan diturunkan oleh tradisi sejak kejadiannya (sebelum tahun 1000 sM). Pada umumnya para ahli menganggap bagian-bagian puisi kitab Ayub (3:1-42:6) berasal dari waktu yang lebih kemudian. Kemiripan kitab ini dengan kitab Yeremia (band. Ayub 3:3-26 dengan Yer.20:14-18), dengan paroan akhir kitab Yesaya (terutama nyanyian hamba Tuhan yang menderita Yes.52:13-53:12) dengan Mazmur 8 (band. Ayub.7:17-18 dengan Mzm.8:22,25) semuanya menunjuk pada abad ke-7 sM atau sesudahnya. Agaknya masuk akal bahwa kitab Ayub diselesaikan antara tahun 700 dan 600 sM.10 Menurut John Balchin bahwa rupanya Ayub adalah orang terkenal

(Yeh.14:14,20), namun oleh karena tidak ada acuan terhadap sejarah orang Israel, Ayub mungkin hidup jauh sebelum umat Allah bermukim di Kanaan. Minat terhadap hikmat Allah sudah ada sejak zaman Salomo, dan kitab ini mungkin ditulis pada zaman pemerintahan Salomo.11

Tidak ada masalah dengan kedua pandangan tersebut, kendatipun harus diakui bahwa buktinya tidak cukup. Kita pun tidak tahu kapan kitab Ayub ini ditulis. Memastikan latar belakang sejarah tidaklah mungkin selain tidak relevan, adalah perlu untuk mengetahui peristiwa tersebut adalah berdasarkan pengalaman dari orang yang benar-benar faktual, bukan mitos. Sungguh terjadi (sejarah) seperti dinyatakan oleh Firman Allah melalui Yehezkiel 14:14-20 menyatakan empat kali bahwa cerita Ayub adalah benar. Dan Yakobus 5:10-11 juga menyatakan bahwa penderitaan dan ketekunan Ayub itu sungguh terjadi.

B. Deskripsi Kitab Ayub

Ada pun yang melatarbelakangi seluruh rangkaian kisah Ayub secara umum adalah kesadaran akan Allah. Gambaran itu dimunculkan dalam Ayub 1:12 mengenai divine assembly menunjukkan paradigma orang pada masa itu mengenai Allah. Bagian kisah ini menggambarkan Allah sebagai pemimpin sidang Ilahi, dan menerangkan penderitaan Ayub dengan referensi pada tuduhan yang dijatuhkan atas Ayub oleh si pendakwa (iblis). Tuduhannya ialah bahwa Ayub saleh hanya karena ia tahu bahwa kesalehan itu berpahala.12 Ucapan istri Ayub dan teman-temannya juga

menegaskan adanya konsep teologi yang dibangun atas dasar kesadaran mereka tentang Allah sesuai konteks waktu itu. Kesalehan diberi pahala dengan kemakmuran dan kebahagiaan sedangkan kefasikan diberi penghukuman. Paham ini disebut retribusi. 13

10 Lasor, Hubbard, Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2011), hlm.109

11 John Balchin, dkk, Intisari Alkitab Perjanjian Lama (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2008), hlm.119 12 John Drane, Memahami Perjanjian Lama 1 (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2009), hlm.88

(5)

Kitab Ayub merupakan salah satu kanon Ibrani yang unik karena kisahnya yang sangat ekstrim dan tidak diketahui siapa penulisnya. Sekalipun demikian, kitab ini diakui sebagai sebuah karya sastra bernilai tinggi yang menceritakan bagaimana kesadaran manusia akan karya Allah di dalam dunia, khususnya menghadapi persoalan hidup. Oleh kaum Ibrani kitab Ayub dipercaya sebagai sebuah hagiographa.14 Kemiripan kisah Ayub dengan folk tale (cerita rakyat) yang ada di dalam budaya Semit memberikan legitimasi bahwa kitab Ayub bukan dongeng melainkan kisah nyata seorang manusia yang saleh dan benar (Ayub 1:1) tetapi mengalami penderitaan karena imannya kepada Allah (baca: takut akan Allah). Kisah Ayub adalah pengalaman seseorang yang benar-benar hidup pada zaman kuno, walaupun mungkin sekali cerita penderitaannya dikarang dalam bentuk yang kita kenal sekarang oleh penyair kemudian hari.15

Dalam kitab Ayub ini, tokoh utamanya adalah Ayub yang diperkenalkan sebagai orang kaya, saleh dan jujur; ia takut akan Allah dan menjauhi kejahatan (pasal 1:1). Namun ia mengalami penderitaan. Arti nama Ayubבוו איייא (‘Iyyob), “Di manakah Bapa-(ku)?.16 Kata Ayub berasal dari akar kata Ibrani boYöa! (‘Iyyob),

merupakan sebuah kata benda yang digolongkan dalam Hebrew Proper Noun.17

Proper nounadalah penggolongan kata benda untuk orang (person), tempat (place), dan benda secara spesifik. Kata benda ini antara lain digunakan untuk nama institusi, organisasi, hari, bulan, bangsa, agama, dan tempat. Proper noun selalu menggunakan huruf kapital di awal katanya.18 Kata tersebut berarti dimusuhi, atau

dalam bahasa sastra Babel sebagai ‘ayya-abum—di manakah bapa-(ku)?19

Ayub memang mengalami pergumulan hidup, bermula dengan kesalehan dan ketaatan (prolog) kemudian berubah menjadi penolakan yang gigih (dialog), dan berakhir dengan ketaatan yang lebih tinggi sesudah mendengar jawaban-jawaban Allah. Melalui kejadian atau penderitaan tersebut, pengenalan Ayub akan Allah justru makin meningkat. Allah mengizinkan Ayub – orang yang tidak bersalah mengalami penderitaan, tetapi tanpa kehilangan iman. Ayub menjadi prototype mengenai seorang beriman yang mengalami problematika kehidupan yang tidak dapat dijelaskan tetapi justru pada akhirnya membawa kepada tingkat pengenalan akan Allah,”Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”(Ayub 42:5).

C. Identifikasi Masalah di Kitab Ayub

Identifikasi masalah di kitab Ayub yang paling nyata ialah penderitaan orang benar. Hassel Bullock20 mengatakan: Persoalan yang paling nyata dalam kitab Ayub

ialah penderitaan orang benar. Jujur kita akui bahwa lingkup dari kitab Ayub ini beranekaragam berisi sekumpulan gagasan dan bukannya suatu gagasan. Di dalamnya ada sekumpulan persoalan lain yaitu misteri kejahatan, kemakmuran orang jahat dan penderitaan orang benar. Narasi kitab Ayub dimulai dengan cerita

siapa yang tidak taat akan dihukum atau tidak akan diberkati. Retribusi ini dalam arti sempit sama dengan sebagai balas jasa atau “ganti rugi”.

14 Hagiographa berasal dari dua kata yaitu hagio atau hagios artinya kudus, dan grapha atau graphe artinya

tulisan. Jadi Hagiographa adalah tulisan kudus.

15 Lasor, Hubbard, Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2011), hlm.107 16 Lasor, Hubbard, Bush, ibid.

17 Interlinear Transliterated Bible.Copyright © 1994, 2003, 2006 by Biblesoft, Inc. All rights reserved. [For

more detail see the full copyright page.]

18 http://www.wordsmile.com/pengertian-contoh-kalimat-common-proper-nouns 19 Lasor, Hubbard, Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2. hlm.107

(6)

seorang manusia yang takut akan Tuhan, saleh, menjauhi kejahatan dan diberkati Tuhan secara melimpah (1:1-3). Tokoh ini sangat religius karena memiliki kesadaran akan Allah yang kuat. Kesalehannya bukan didasarkan atas harta yang dimilikinya seperti yang dituduhkan oleh si pendakwa yaitu iblis (1:9-11).

Dengan jelas bahwa sebab penderitaan Ayub tidak diketahui baik oleh Ayub dan teman-temannya mengenai divine assembly di surga (1:6-12). Allah yang mengambil prakarsa,”Apakah engkau (iblis) memperhatikan hamba-Ku Ayub?” Di surga, iblis sebagai pendakwa (Why 12:10) dan di bumi sebagai singa yang menelan (1 Ptr 5:8). Ayub berkeyakinan kuat bahwa bukan dirinya yang menjadi penyebab semua penderitaan tersebut, tetapi justru dari pihak Allah yang mengizinkan Ayub dicobai iblis. Ayub dan teman-temannya berkabung selama tujuh hari lamanya tanpa bicara (berdiam diri). Kemudian terjadilah dialog antara Ayub dan ketiga temannya (Elifas, Bildad, dan Zofar) mengenai penderitaan. Ketiga teman Ayub itu menawarkan teologi berdasarkan pengamatan dan pengalaman serta pandangan tradisi (kepercayaan) pada saat itu (retribusi). Teologi (kepercayaan) pada waktu itu (pola pikir kuno) tentang penderitaan ada tiga asumsi, yaitu: Allah Mahakuasa; Allah Mahaadil; dan manusia berdosa. Ketiga asumsi ini mendasari kesimpulan bahwa penyebab penderitaan adalah dosa manusia. Tidak ada kemungkinan lain, menurut pendapat umum di masa kuno. Ketiga teman Ayub memegang prinsip retribusi ini. Di mana penderitaan merupakan hukuman Tuhan atas kesalahannya, sedangkan kemakmuran merupakan upah dari suatu kehidupan yang baik. Pola pikir inilah yang mendasari tuduhan sahabat-sahabat Ayub bahwa oleh karena dosalah Ayub menderita.21 Kawan-kawan Ayub berpegang teguh pada

suatu prinsip: bahwa penderitaan seseorang disebabkan oleh kesalahan/dosa. Sehingga kemakmuran merupakan pahala dari Tuhan bagi kehidupan yang baik, sedangkan penderitaan/kemalangan merupakan hukuman-Nya atas dosa. Ketiga teman Ayub (Elifas, Bildad, Zofar) mengatakan Ayub pasti bersalah sehingga Allah memperlakukan sedemikian rupa terhadap dirinya (pasal 8 dan 11). Mereka salah menginterpretasikan keadaan penderitaan Ayub.

Kadang-kadang ketiga asumsi tersebut walaupun benar, bertentangan dengan pengalaman kita. Akibatnya, ketegangan di antara kepercayaan orang benar dan kenyataan yang dia hadapi. Ketiga asumsi ini bagi Ayub adalah nasihat yang tidak menghiburnya. Bertambah kekecewaan dan bingung. Allah sendiri, yang kepada-Nya orang saleh berlindung—Dia mengecewakan dan membingungkan! Sementara ketiga teman Ayub memegang pendapat yang logis itu (retribusi) sehingga melukai hati Ayub, sementara Ayub terus memegang teguh pada imannya, bahwa dirinya tidak berdosa (2:9-13).22 Ayub tetap bertahan dengan keyakinannya tentang Allah

bahwa Dia akan membela dirinya sekalipun semua memusuhinya (13:15-16). Pada giliran berikutnya, muncul tokoh muda yang tidak diperhitungkan bernama Elihu. Elihu menawarkan pandangan mengenai penderitaan Ayub dengan perspektif yang berbeda sama sekali dengan Elifas, Bildad dan Zofar. Elihu berbicara bukan berdasarkan pengalaman dan observasinya sendiri melainkan hikmat ilahi sehingga perspektif mengenai penderitaaan sungguh tepat dengan sifat Allah. Penderitaan bukan mutlak tanda keberdosaan melainkan bisa merupakan didikan Allah (pasal 32-39). Mereka tidak mengerti sifat Allah. Akhir dari cerita Ayub kembali ditutup dengan sebuah narasi yang happy ending pada pasal 42. Awal cerita yang penuh dengan penderitaan menjadi perkara yang kecil dibanding rekonstruksi iman yang terjadi dalam proses pengenalan akan

(7)

Allah (39:34-38) menuju kehidupan baru—akhir kisah indah (happy ending). Yang dimaksudkan happy ending bukan terletak pada materi atau berkat Tuhan yang diterima Ayub setelah penderitaannya, melainkan terbangunnya suatu pengenalan akan Allah yang lebih mendalam. Pengakuan Ayub yang mengagumkan,”Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”(Ayub 42:5).

Kitab Ayub mengingatkan kita bahwa manusia tidak sanggup untuk memikirkan atau memahami dengan sedalam-dalamnya tentang soal penderitaan. Semua orang menasihati Ayub dan juga Ayub sendiri berbicara tanpa pengetahuan mengenai latar belakang penderitaannya. Dengan jelas Alkitab katakan bahwa latar belakang penderitaan Ayub bukan sebagai bukti hukuman Tuhan kepadanya, melainkan sebagai bukti kepercayaan Tuhan kepadanya (band. 1 Kor 10:13). Semua teman Ayub berusaha memecahkan suatu teka-teki tanpa mengetahui fakta-faktanya. Hal ini bukan mendorong kita menjadi putus asa, tetapi lebih mendorong agar lebih percaya kepada Tuhan yang Mahakuaasa, Mahatahu dan Mahaadil. Kitab Ayub tidak bermaksud untuk menjawab persoalan penderitaan, tetapi untuk menegaskan keperluan akan pengertian bahwa Allah menguasai segala sesuatu dan sedang melaksanakan tujuan-Nya sendiri melalui penderitaan itu demi kebaikan bagi orang yang mengasihi Dia (band. Rm.8:28).

D. Bentuk dan Struktur—Konteks Kesusastraan

Kitab Ayub masuk kategori kitab puisi atau syair. David Cline menyatakan bahwa kerangka kitab Ayub adalah prosa, tetapi intinya adalah puisi.23 Karena

bentuknya bersifat puisi, kita wajib menguraikan sesuai dengannya. 1. Jenis sastra kitab Ayub

a. Didaktif naratif

Bentuk kisah Ayub memiliki kerangka utama berupa “didactive narative, sebuah narasi yang dimaksud untuk mendidik para pendengarnya. Baik prolog maupun epilog yang bersifat naratif, bukan puisi (pasal 1-2 dan pasal 42:7-17) merupakan narasi bersifat didaktif. Akan tetapi pasal 3-42 jelas core-nya adalah puisi (walaupun berbentuk puisi tetapi memiliki karakter didaktif juga). Dr. Hassel Bullock24 menyatakan kitab Ayub ini

bersifat didaktif dalam arti bahwa sang pengarang berusaha mengajarkan kebenaran agamawi; suatu tugas yang dilaksanakannya terutama dengan memakai sarana puisi lirik yang mengungkapkan perasaan-perasaan yang dalam. Di dalamnya mendeskripsikan bagaimana cara Ayub meresponi penderitaannya. Narasi ini ingin mendidik para pendengar atau pembacanya mengenai penderitaan orang “benar” mengalami hal yang sangat ekstrim: Ayub seorang yang sangat kaya, dan mengalami kemiskinan yang sangat ekstrim; orang terhormat sekaligus terhina; orang saleh dan berani menghadap Tuhan, dan mengalami Tuhan yang membisu; orang yang berserah diri kemudian berubah menjadi protes terhadap hari kelahirannya dan memprotes Tuhan hingga mengakui kedaulatan-Nya.

b. Keluhan pribadi

Jenis sastra kedua adalah “individual lament” (keluhan pribadi) dan “lawsuit”(perkara hukum, penuntutan perkara) pasal 3, dan pasal 29-31.

23 Ibid. hlm.40

(8)

Tiga karakteristik utama dalam kisah Ayub adalah pembicara, Tuhan, dan pembelaan. Kitab Ayub disusun dalam sebuah dialog dramatis mengenai keluhan Ayub.

c. Debat hikmat

Jenis yang terakhir adalah “disputation speech” (debat hikmat): semua dialog antara Ayub dan teman-temannya (pasal 4-27) dan antara Ayub dan Tuhan (38:1-42:6) termasuk kategori jenis sastra disputation speech. Tokoh di kitab Ayub memerankan dirinya sebagai guru hikmat dalam sebuah debat yang tajam, saling menyalahkan dan memojokkan menurut perspektif hikmat masing-masing. Secara literer, jawaban Ayub lebih luas dan panjang daripada jawaban teman-temannya. Dan jawaban Tuhan lebih luas dan panjang daripada jawaban Ayub. Secara literer pula, dapat diketahui mengenai siapa yang dianggap paling benar di dalam setiap debat itu, yakni yang paling panjang jawabannya karena dibangun atas dasar yang lebih lengkap.

2. Struktur Literer kitab Ayub

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pada awalnya ada sebuah folk tale (cerita rakyat) mengenai Ayub, seorang yang saleh, takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan serta kaya raya dan terkenal, kemudian menjadi seorang yang sangat miskin, namun tetap taat—penyerahan diri terhadap Tuhan (pasal 1-2). Kemudian karena iman dan ketaatannya kepada Tuhan itu akhirnya ia dipulihkan keadaannya, diberkati melebihi kekayaan sebelumnya dan menjadi lebih terkenal lagi (pasal 42). Folk tale yang awal itu (naratif) sebenarnya adalah sebuah riwayat moralitas mengenai kesalehan, yang tetap mengikuti struktur retribusi. Di dalam penderitaan itu, Ayub tidak hanya pasif dan apatis (menyerah terhadap keadaannya), sebaliknya ia aktif mencari Tuhan yaitu berdialog dengan Tuhan untuk memperkarakan dengan-Nya. Sementara ketiga teman Ayub (Elifas, Bildad, Zofar) tetap berpegang pada struktur retribusi yang klasik (pola pikir kuno waktu itu). Tetapi Ayub tetap berpegang bahwa dirinya ia tidak bersalah (tetap saleh) sehingga tidak layak menerima semua malapetaka itu (10:8-12,18-22). Mereka mempertanyakan integritas Ayub. Justru di sisi lain, dialog panjang tersebut bertujuan untuk meninggalkan teologi retribusi atau tradisi hikmat klasik.

(9)

Benar yang dikatakan John Bowker yang dikutip Dr. Hassel Bullock: Barangkali tidak ada masalah yang telah menyita pikiran manusia dan memenuhi hatinya sedemikian universal, seperti kebingungan tentang penderitaan manusia.16

3. Struktur Sastra Kitab Ayub

Prolog (pasal 1-2)—didaktif naratif (prosa)

Keluhan Ayub (pasal 3)—individual lament (puisi)

Dialog I : Ayub, Elifas, Bildad, Zofar (pasal 4-22)—disputation pertama (puisi)

Dialog II : Ayub, Elifas, Bildad, Zofar (pasal 15-21)—disputation kedua (puisi)

Dialog III : Ayub, Elifas, Bildad (pasal 22-27)—disputation ketiga (puisi)

Selingan syair tentang Hikmat (pasal 28) (puisi)

Monolog Ayub (pasal 29-31) (puisi)

Monolog Elihu (pasal 32-37) (puisi)

Teofani YHWH—jawaban Tuhan yang pertama (pasal 38:1-40:5) (puisi)

Teofani YHWH—jawaban Tuhan yang kedua (pasal 40:6-42:6) (puisi)

Epilog kitab Ayub—Ayub dipulihkan (42:7-17) (prosa)

Jadi, bentuk keseluruhan adalah a-b-a (prosa-puisi-prosa).25 Pendapat demikian juga

didukung Dr. Hassel Bullock26 dan Dr. John Drane27 bahwa prolog (psl.1-2) dan epilog

(psl.42:7-17) ditulis dalam bentuk prosa, di mana di tengah-tengahnya berisi dialog berbentuk puisi.

III. Eksegesa Sintesa A. Original Setting

Audiens yang menerima kitab ini adalah orang Israel prapembuangan. Sastra dari kitab Ayub maupun hal-hal yang sama memiliki jangkauan jauh sampai pada zaman prapembuangan. Sangat mungkin para rabbi cenderung ke arah sezaman dengan para leluhur, sebab si pengarang menggunakan kata El dan Eloah untuk Allah, serta penilaian harta kekayaan Ayub dengan menghitung jumlah ternak dan binatangnya, juga karena kesamaan peran Ayub dengan para leluhur sebagai seorang imam, dan karena usianya yang panjang. Ada dua alasan28 yaitu gaya

Ibrani klasik mendukung zaman itu karena ketika itulah dihasilkan sastar nubuat dans astra moralistik yang agung dalam Perjanian Lama dan karena tidak disinggungnya tragedi besar di Yehuda pada awal abab ke-6 sM, di samping

25 Lasor, Hubbard, Bush, ibid. hlm.112

26 C. Hassel Bullock, Kitab-kitab Puisi (Malang: Gandum Mas, 2003), hlm.99

(10)

kemungkinan bahwa pekembangan sastra hikmat yang maju pada zaman prapembuangan melengkapi konteks untuk karya agung seperti itu.

Dan sangat besar kemungkinan mengenai identifikasi asal-usul kitab ini adalah Edom sebab mengenai Uz dan Edom ada disebut dalam kitab Ratapan 4:21 dan bahwa Edom adalah yang paling mungkin, karena nama-nama diri dalam kitab Ayub diambil dari silsilah mengenai Esau khususnya dalam kejadian 36:4,11. Selain itu, kepedulian Ayub terhadap orang miskin dan orang tertindas adalah karakteristik orang Ibrani (4:3-4; 29:12-17). Dan semangat menantang bukanlah asing bagi pengalaman agamawi orang Israel. Dr. Hassel29 menegaskan bahwa

tidak sulit untuk memahami mengapa seorang Israel bisa tinggal lama di Edom, sebab adalah lazim bagi orang-orang Israel untuk menetap di negeri-negeri tetangga (band. Rut.1:1). Jadi, kita dapat menyatakan bahwa secara geografis asal-usulnya adalah Edom, walaupun semangat atau jiwa dan bahasa kitab Ayub itu adalah Ibrani. Tanpa ragu, kita yakin bahwa sang pengarang adalah seorang Ibrani atau seorang Israel yang mendukung pandangan monoteisme yang murni dan yang memiliki iman yang tak tergoyahkan kepada Allah yang mahaadil dan mahakuasa. Kitab Ayub ini mempersoalkan penderitaan pribadi, bukan penderitaan suatu bangsa, yaitu mengenai kedaulatan Allah mengizinkan orang beriman, orang tidak bersalah mengalami penderitaan, dan kerelaan untuk menerimanya tanpa kehilangan imannya. Melalui narasi kitab Ayub ini menceritakan pengalaman manusia secara universal untuk menguatkan orang Israel pada konteks waktu itu secara khusus zaman prapembuangan dan juga bagi umat Tuhan pada umumnya yang menghadapi penderitaan. Bagi kita sekarang ini, terkadang masih terdapat perselisihan dengan pendapat hikmat tradisional, yang mengajarkan pola-pola mutlak mengenai hukuman Tuhan dalam alam semesta: berkat selalu merupakan buah kebenaran, sedangkan upah dosa selalu berupa penderitaan. Terbukti bahwa pendapat klasik tersebut tidak mutlak benar. Penderitaan tidak selalu upah dosa. Penderitaan merupakan salah satu cara yang dipakai-Nya untuk mendidik umat-Nya agar mengenakan karakter-umat-Nya.

Jadi, penting sekali kita memiliki paradigma yang benar berkenaan dengan penderitaan. Kita harus memiliki jangkauan pandang (perspektif ilahi), bukan berdasarkan pertimbangan manusia. Kita harus memandangnya bahwa segala sesuatu kejadian yang menimpa kita bukan merupakan peristiwa kebetulan, melainkan merupakan didikan Tuhan bagi kita yang mengasihi Dia. Kita dituntut taat dan tidak menjadi putus asa karenanya.

B. Prinsip Umum (Temuan Teologis) 1. Kedaulatan Allah

Allah berdaulat. Bahkan iblis pun tidak dapat berbuat apa-apa tanpa izin-Nya. Kitab ini penuh berisi kebesaran dan kebijaksanaan Allah (5:8-16; 9:2-13; 11:7-9; 12:10,13-25; 25:2-6; 26:5-14; 34:10-15; 35:10-11; 36:22-23; 37:1-24; 38:1-39; 40:8-41:34).30 Lebih lagi, menurut W.S Lasor, D.A Hubbard dan F.W

Bush31 ajaran atau doktrin kedaulatan Allah32 ini mesti ditekankan. Baik Ayub

maupun sahabat-sahabatnya benar-benar dibingungkan oleh kedaulatan Allah. Para sahabat Ayub mengira, penderitaan selalu dan hanya merupakan tanda

29 Ibid. hlm.96

30 John Balchin, dkk, Intisari Alkitab Perjanjian Lama (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2008), hlm.124 31 Lasor, Hubbard, Bush, ibid. hlm.139-140

32 Sebenaranya istilah yang digunakan oleh Lasor, Hubbard, dan Bush di dalam bukunya “Pengantar Perjanjian

(11)

hukuman Allah. Ayub tidak dapat mengerti tujuan mana yang Allah capai melalui penderitaan yang tidak sepatutnya ia terima.

Kepada orang yang memegang hikmat tradisional, maka kitab ini memperkenalkan Allah yang bebas (baca: berdaulat). Ia bebas mengizinkan ujian yang dilakukan iblis dan tidak memberitahukan apa-apa tentang hal itu kepada orang yang diuji seperti yang dialami Ayub. Ia juga bebas mengatur waktu kapan dan cara bagaimana Ia akan intervensi. Ia bebas untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Ayub yang memancing-Nya untuk menjawab; juga Ia bebas untuk tidak menyetujui ajaran/paham para sahabat Ayub. Ia bebas untuk menyatakan belaskasihan, sampai Ia menghadapi Ayub dan mengampuni para sahabatnya.

Jadi, dengan sangat jelas bahwa kitab ini menggambarkan Allah yang tidak terikat pada rancangan manusia atau pada pengertian manusia tentang diri-Nya. Apa yang Ia lakukan muncul dengan bebas dari kehendak-Nya dan sifat-Nya sendiri. Perlu juga kita pahami bahwa di dalam kedaulatan Allah tersebut terkandung di dalamnya adalah hikmat atau bijaksana-Nya dan rencana-Nya. Semua itu benar-benar di luar jangkauan kita (28:1-28). Kisah Ayub mengilustrasikan kelemahan kita, ketidaktahuan, dosa dan singkatnya hidup kita. Permohonan Ayub akan keadilan sungguh-sungguh menuntut suatu kehidupan yang melampaui kehidupan saat ini (15:14-16; 25:4-6). Hanya pada saat kita berserah kepada-Nya kita dapat mengerti sedikit tentang jalan-jalan-Nya (band. Yes.55:8; 1 Kor 1:18-31).

2. Semua peristiwa bukan kebetulan

Selain tentang kedaulatan Allah, ada tujuan doktrinal yang kita temukan di kitab Ayub sebagai pengajaran sentral kitab Ayub ialah hadirnya penderitaan diizinkan oleh Allah untuk memurnikan dan menyempurnakan umat-Nya. Inilah kedaulatan Allah atas ciptaan-Nya, termasuk berdaulat atas umat-Nya. Ayub menegaskan bahwa Tuhan berdaulat (42:2). Walaupun iblis ingin menghancurkan manusia dan menjelekkan nama Tuhan, namun Dia adalah Tuhan yang lebih berkuasa. Iblis licik dan menyembunyikan maksudnya, namun Allah tetap berdaulat.

W.S Lasor, D.A Hubbard dan F.W Bush mengatakan demikian: Iblis memperoleh izin masuk untuk mencobai Ayub, namun tunduk kepada kekuasaan-Nya yang tertinggi. Iblis adalah mahkluk ciptaan Allah, namun merupakan lawan dari kehendak Allah (band. Mat.4:1-11); ia berusaha menggoda umat Allah secara jasmani (2 Kor.12:7) maupun rohani (2 Kor.11:14). Kitab Ayub mengajarkan Dialah Tuhan dan Ia membuat pilihan-Nya sendiri. Pembukaan kitab Ayub ini menggambarkan kekuasaan Allah atas iblis yang tidak dapat mencelakakan Ayub di luar batas-batas yang ditentukan-Nya (1:12;2:6). 33

Sebenarnya Tuhan sangat mampu melindungi kita supaya tidak mengalami penderitaan. Tetapi Ia lebih fokus untuk melindungi karakter kita daripada melindungi apa pun juga. Tentu perlindungan Tuhan sesuai dengan kedaulatan-Nya, untuk kebaikan kita menurut pandangan-kedaulatan-Nya, bukan pandangan kita. Di sinilah persoalannya, jika kejadian atau kesukaran itu adalah didikan Tuhan, bagaimana komentar dan sikap kita? Jika kita menganggap berbagai macam peristiwa (baca: kesukaran) yang menimpa diri kita itu hanyalah ‘kebetulan’

(12)

belaka, kita tentu akan menghadapinya dengan sikap tertentu. Tetapi bila kita menyadari bahwa semua itu adalah didikan Tuhan, sikap kita pasti akan berbeda pula. Jangan sekali-kali kita berkata dengan sembarangan bahwa perkara-perkara (baca: kesukaran) itu terjadi secara kebetulan. Tidak, semua itu telah ditakar oleh Allah bagi kita yaitu tidak melebihi kekuatan kita,”Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah kita,”Pencobaan-pencobaan-kita,”Pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya”(1 Kor.10:13). Kata “pencobaan” di sini adalah Πειρασμὸς

(pirasmos) yang selain berarti pencobaan, juga berarti adversity yaitu kemalangan atau kesukaran hidup. Πειρασμὸς ini menurut Paulus adalah karunia (Fil.1:29).

Selanjutnya juga dikatakan oleh penulis kitab Ibrani bahwa setiap peristiwa yang diizinkan oleh Allah menimpa diri kita, pasti mengandung tujuan tertentu bukan suatu kebetulan. Semua peristiwa yang kita alami (baca: kesukaran) adalah didikan Tuhan, dan itu dikarenakan Ia memperlakukan kita seperti anak (Ibr.12:4-13). Kesimpulannya, semua peristiwa bukan kebetulan.

C. Aplikasi Praktis

Karena terbatasnya ruang di sini, sengaja saya hanya menunjukkan tiga respon positif Ayub ketika berada dalam kesukaran dan penderitaan yang bisa diaplikasikan bagi pemimpin Kristen masa kini:refleksi diri, penyerahan diri dan doksology.

Hasil dari studi eksegesa ini, maka diharapkan tidak hanya menyentuh dimensi teologis dan filosofis, tetapi pada akhirnya mengubah yang hipotetis ke dalam lingkup kehidupan praktis; dimana yang teoritis menyentuh yang praktis. Sehingga orang-orang percaya yang menderita di segala zaman dapat menemukan kepuasaan bagi jiwanya yang bertanya-tanya tentang penderitaan menjadi penghiburan dan kekuatan di dalam penderitaan mereka.

1. Refleksi diri – Semua peristiwa itulah didikan Tuhan (1: 20-21)

Pasal 1:22 Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut

׃ווחתתות שששיואוו הצת רש אאא פ ל יואוו וו אור־תאפ יפ ששש א זגת וו וו עאמיייא לל ש ־תאא ע קראיש יואוו וויואבב א םקת וויייי

ם עת מפבר ררא אוויוו

(

יתא צת ית

) [

יתא א יתציצ ]

ם י יש ח לששפש ההה קישת ה היוו ן נת ה היש המויא תאל ויי ת שילש בוו אשיש םת ורעתוש י אב מהימא ןטא בביימא

ה הישויא

׃ךש רתת ובמש

“Maka berdirilah Ayub, lalu mengoyak jubahnya, dan mencukur kepalanya, kemudian sujudlah ia dan menyembah, katanya:Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!"(20-21).

(13)

artinya merobek jubahnya. Sesuai tradisi waktu itu, tindakan merobek jubah merupakan tindakan berkabung (dukacita yang mendalam). Ketiga: mencukur kepalanya וו אור־תאששש א זגת וויייא (wayyagaz et ro’sho) adalah kata kerja qal imperfek waw konsekutif orang ketiga maskulin tunggal. Menurut tradisi Yahudi, mencukur kepala merupakan tindakan pentahiran/menyucikan diri. Keempat: sujud dan menyembah. Kata sujud adalah הצת רש אאא פ ל יואוופ יפ (wayyipol aretsah) bersujud dengan menjatuhkan diri ke

tanah sebagai tindakan penyerahan diri (kepada Tuhan). Kata menyembah ווחתתות שששיואוו (wayyishtakhu) bisa diartikan membungkuk (to bow down) dari kata kerja histafel waw konsekutif orang ketiga maskulin tunggal.

Selanjutnya Ayub juga menyatakan kesadarannya akan segala keberadaan materi adalah dari pemberian Tuhan. Dia menyadari bahwa ia telanjang keluar dari kandungan ibunya, tidak membawa sesuatu pun. Tuhanlah yang memberi segala yang dia miliki. Kata Tuhan memberi berasal dari teks Ibrani, ה היוו ן נת

ויא

תאל

` (naatan wa YHWH), kata /tÍ^n( (naatan)` merupakan sebuah kata kerja, qal, perfect (lampau), orang orang ketiga, tunggal maskulin. Dapat memiliki arti, mengirim, menempatkan, mempercayakan. Jadi Tuhanlah yang mempercayakan semua harta dan keluarga yang dimilikinya. Keyakinan itulah yang membuat Ayub menjadi sadar, bahwa tidak ada hak yang dimilikinya untuk mempertahankan semuanya itu. Untuk menegaskan hal itu, Ayub memberikan pernyataan kedua, Tuhan yang mengambil, kata mengambil berasal dari akar kata Ibrani, jq£`l* (laaqach), merupakan kata kerja, perfect (lampau), orang ketiga, tunggal maskulin. Memiliki pengertian: menerima kembali, membawa, membeli, membawa pergi, ditarik, mengambil, mendapatkan, merebut, kirim untuk, mengambil. Dari semua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Tuhanlah yang memiliki hak untuk mengambil kembali apa yang pernah diberikan kepada Ayub, dengan banyak cara. Perenungan diri Ayub menunjukkan penghargaannya terhadap kedaulatan Tuhan.

Pasal 1:22 Alkitab menyatakan בוו איישא א חטיית ־אול תא ־לכזפא ת בוש ה פליאש תוא ן נת־אולושתאפ

(14)

hari merupakan didikan Tuhan. Pendek kata, semua yang kita tanggung dan derita, semua itu adalah didikan Tuhan. Setiap kita tidak terkecuali harus menerima didikan Tuhan. Di sini dituntut sikap penyerahan diri kepada rencana Tuhan. Tujuan utama didikan-Nya hanya satu agar kita beroleh bagian dalam karakter-Nya. Untuk maksud inilah Allah mendidik kita dengan berbagai cara, dan salah satunya ialah

melalui penderitaan. Strategi iblis

bukanlah menggoda Ayub melakukan dosa-dosa moral seperti perzinahan, kecurangan, kekejaman atau sebagainya—melainkan mencobanya ke arah dosa yang paling berat, yakini ketidaksetiaan kepada Allah. Kesetiaan dan kepercayaan merupakan inti kesalehan. Iblis selalu mencari akar permasalahan, yaitu hubungan Ayub dengan Allah. Ayub lulus dalam ujian kesetiaan ini dan memperoleh nilai excellent (unggul), walaupun ia berdebat dengan sahabat-sahabatnya, protes, ragu dan menantang terus-menerus serta mengeluh kepada Allah. Pada akhirnya, Allah mengesampingkan keluhan itu, tetapi Ia tidak menghakimi Ayub karena keluhan itu. Beberapa tokoh terkenal dalam Alkitab sebut saja Abraham, Yusuf, Yeremia dan bahkan Yesus (Mrk.14:36; 15:34; Ibr.5:7)—mengeluh tentang beban mereka dan karena itu menemukan kelegaan dari penderitaan itu.

2. Penyerahan diri – Jangan putus asa ketika dalam kesukaran (23:10)

Pasal 23:10 Tuhan punya maksud dalam setiap kejadian yakni mendatangkan kebaikan (42:5)

Pernyataan Ayub: אצלת אל ב זהיפו ת כוו ינא חנאמ בביצ דהשת י מות עא ךש רא דביי עדו ־יכייי אות ,”Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas” (Ayub.23:10). Kata menguji digunakan dari kata Ibrani, yn]n„~j*B=Ü (b’echaananiy), yaitu kata kerja, qal, perfect (lampau), orang ketiga, maskulin, tunggal, ditambah dengan suffix (imbuhan)34, orang ketiga, umum, tunggal. Pengertiannya adalah: untuk menguji

(terutama logam); umumnya dan kiasan, untuk menyelidiki. Pengujian Ayub dibandingkan dengan pengujian pada emas, di mana semakin diuji semakin akan menampilkan kemurniannya. Karakter Ayub dalam keadaan terberat pun, tetap menunjukkan bahwa ia benar di hadapan Allah.

Di sini kita melihat proses pengenalan akan Tuhan cenderung pada tahap pertama mencoba mencari penjelasan terhadap persoalan hidupnya “mengapa” dari berdasar pada logika manusia atau sudut pandang dirinya sendiri. Seseorang mulai mencocokkan semua teori (pengetahuan yang dimilikinya) atau a priopri terhadap permasalahan yang dihadapinya. Selanjutnya setelah menemukan perspektif ilahi yang berasal dari hubungan pribadi dengan Tuhan dan penyataan Tuhan, mengarahkan manusia untuk bisa memahami permasalahan yang dialaminya sehingga dapat merenungkannya (refleksi diri). Selanjutnya ia tidak lagi bersikap destruktif tetapi memberi tempat bagi Tuhan—berserah diri dengan kooperatif dengan-Nya di dalam membentuk dirinya. Pada finalnya akan menghasilkan pemuliaan Tuhan (doksology).

Di dalam Amsal 3:11-12 dikatakan,”Hai anakku, janganlah engkau menolak didikan TUHAN, dan janganlah engkau bosan akan peringatan-Nya. Karena TUHAN memberi ajaran kepada yang dikasihi-Nya, seperti seorang ayah kepada anak yang

34Suffix adalah kelompok dari huruf-huruf (imbuhan) yang terletak pada akhir dari sebuah kata, yang bisa

(15)

disayangi.” Jika Tuhan mendidik kita, janganlah kita menolaknya, janganlah kita putus asa. Sikap demikian harus dimiliki oleh setiap orang percaya termasuk di dalamnya adalah pemimpin Kristen. Ada orang, ketika menghadapi kesukaran, kesengsaraan (baca: didikan Tuhan), ia menganggap kejadian-kejadian itu sebagai hal-hal yang biasa dan tidak penting; ia membiarkannya berlalu begitu saja dan bahkan segera menjadi putus asa, terlalu sulit untuk menjadi anak-anak Allah. Ia mengharapkan jalan kehidupannya ini sangat lancar. Dia tidak mengira bahwa sebagai orang percaya, sebagai anak-anak Allah, ia harus mengalami banyak perkara yang menyulitkan. Dia belum siap menjadi orang percaya dalam situasi demikian. Sebab itu, ia menjadi putus asa; ia merasa jalan ini sulit ditempuh. Kitab Amsal tadi memperlihatkan kepada kita bahwa sikap putus asa adalah keliru.

Sebagai orang percaya terlebih level seorang pemimpin, tidak seharusnya meremehkan atau menganggap kejadian-kejadian itu sebagai hal-hal yang biasa, seolah-olah tidak ada tujuan dan maksud Tuhan di dalamnya. Yang benar bahwa setiap peristiwa yang diizinkan Tuhan menimpa diri kita, pasti mengandung tujuan dan maksud tertentu. Melalui peristiwa-peristiwa itu Tuhan ingin mendidik kita; hendak menyempurnakan kita agar kita serupa dengan Kristus Anak-Nya. Inilah tujuan utama didikan Tuhan yaitu menggarapkan karakter-Nya ke dalam karakter kita. Tuhan tidak pernah menyuruh anak-anak-Nya menderita tanpa tujuan. Hanya menderita sengsara bukanlah tujuan dari penderitaan itu. Tuhan mengizinkan penderitaan bukan sekadar menghendaki kita menderita. Semua penderitaan itu ada tujuannya, yakni agar kita beroleh bagian dalam karakter-Nya. Karena itu jangan menjadi putus asa dan menganggapnya hidup sebagai anak-anak Allah terlampau berat. Tuhan telah berjanji bahwa setiap kesukaran yang kita hadapi telah ditakar oleh-Nya di dalam kasih-oleh-Nya. Kasihlah yang mengatur peristiwa-peristiwa itu bagi kita.

Seperti Ayub ketika dicobai oleh iblis, Tuhan tidak sembarangan atau kebetulan semuanya itu diizinkan terjadi tanpa pengaturan kasih-Nya. Seperti yang dikatakan oleh Paulus bahwa semua peristiwa yang kita hadapi telah dikontrol sempurna dan diatur serta ditakar oleh Tuhan bagi kita,”... Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu ... sehingga kamu dapat menanggungnya.” Itulah pengaturan kasih-Nya kepada kita. Karena itu, jangan putus asa ketika dalam permasalahan seberat apapun.

3. Doksology (pemuliaan Tuhan) – Belajar taat melalui kesukaran Pasal 42:2 rencana Tuhan tidak bisa gagal

תות עשדוית

) [

יתוא עשדוייי ]

המתות זאמש מיךיוש מא ר בצשאות י־אולוש ל וותכישו ל ־יכפיכ וא

Dalam pasal 42:2 nampak jelas terjadi perubahan yang sangat dramatis dari sikap Ayub yang mempertanyakan Tuhan bahkan menantang Tuhan, kini Ayub menghentikan nada sinis atau dakwaannya terhadap-Nya menjadi pujian,“Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.” Ayub tidak membantah Tuhan lagi, namun setuju dengan-Nya. Ia mengakui dakwaan dan protesnya yang sinis itu berdasarkan pengetahuan yang terbatas,”Aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (42:3). Selanjutnya Ayub berkata,”Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau”.(Ayub.42:5). Pujian atau doksology ini berpusat pada perjumpaan pribadi Ayub dengan Tuhan.

(16)

bersyukur karena telah mengalami pengenalan secara pribadi akanTuhan. Ungkapan tersebut ditunjukkan dengan kalimat “tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” kata “mataku sendiri” berasal dari kata dasar Ibraniyn«]yu (‘eeney), yaitu sebuah kata benda umum, jenis umum, orang pertama, tunggal, construct state (penghubung dua kata benda)35, suffix (imbuhan), orang pertama umum, tunggal.

Kata tersebut berasal dari kata dasar /y!u^ ` (ah’yin), yang berarti mata (secara harfiah atau kiasan); dengan analogi, air mancur (sebagai pandangan mata). Arti kata tersebut menunjukkan tentang sebuah pengalaman pribadi yang demikian dalam seperti sebuah air mancur yang keluar dari dalam tanah. Keadaan itulah yang menjadikan Ayub menjadi seorang pribadi yang mengenal Allah secara mendalam. Bahkan sebelum kehidupannya dipulihkan oleh Tuhan, Ayub tetaplah pribadi yang sangat menghargai Tuhan, karena ia memiliki pengenalan pribadi kepada Tuhan. Sungguh adalah suatu kerugian yang sangat besar bila kita tidak mengenal didikan Tuhan. Tuhan memiliki tujuan; Ia menghendaki kita memiliki kepribadian yang dapat memuliakan nama-Nya. Sebab itu, setiap didikan-Nya bermaksud memimpin kita menempuh jalan ini. Kita dicipta untuk memuliakan nama-Nya. Ayub di tengah penderitaannya berseru,”Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas” (Ayub 23:10). Memang pada pasal tiga, Ayub memang pernah mengeluhkan soal hari kelahirannya (

וומ

ת ווי־תא

א

(et-yomo); ia menyayangkan hari di mana ia masih di dalam kandungan. Adalah lebih baik jika ia digugurkan agar tidak sempat mendengar, melihat dan mengalami hal-hal yang buruk. Itulah sebabnya Ayub mengharapkan jika ia mati saja. Namun pada akhirnya, Ayub menyadari (merefleksi diri), ia yakin bahwa dalam pencobaan ini, imannya akan timbul seperti emas. Ayub mencari Tuhan dan bersumpah demikian:

"Demi Allah yang hidup, yang tidak memberi keadilan kepadaku, dan demi Yang Mahakuasa, yang memedihkan hatiku, selama nafasku masih ada padaku, dan roh Allah masih di dalam lubang hidungku, maka bibirku sungguh-sungguh tidak akan mengucapkan kecurangan, dan lidahku tidak akan melahirkan tipu daya. Aku sama sekali tidak membenarkan kamu! Sampai binasa aku tetap mempertahankan bahwa aku tidak bersalah. Kebenaranku kupegang teguh dan tidak kulepaskan; hatiku tidak mencela sehari pun dari pada umurku.” (27:2-6).

Sumpah ini bukan merupakan bentuk kesombongan Ayub melainkan suatu tindakan penyembahan dan doksology (pemuliaan Tuhan). Dalam kehidupan Ayub, dapat kita saksikan dengan jelas, bagaimana Tuhan membiarkan Ayub menerima perlakuan iblis secara kejam. Ayub belajar taat kepada Tuhan melalui penderitaannya dengan keyakinan bahwa rencana Tuhan tidak bisa gagal (42:5).

Dalam hal ini yang disebut berkat (baca: kebaikan) tidak selalu sesuatu yang menyenangkan hati menurut perspektif manusia, tetapi apa yang mendatangkan kebaikan bagi kita menurut perspektif dan pertimbangan Tuhan (Rm.8:28).

Semua “penderitaan” diizinkan Tuhan atas Ayub demi kemurnian kehidupan rohani Ayub. Ini sungguh benar, sebab setelah Ayub didera dengan penderitaan yang begitu hebat, akhirnya ia menyaksikan, bahwa ketika ia sudah mengalami kehilangan dan penderitaan yang begitu berat, maka hasilnya adalah ia menjadi lebih dewasa dan

35Ketika dua (atau lebih) nomina muncul bersama-sama (baik oleh penjajaran atau dengan cara dari maqqef ),

mereka dikatakan berada dalam "contruct hubungan" satu sama lain inilah yang dimaksud contruct state

https://translate.google.co.id/translate?

(17)

benar. Inilah yang dikatakan Ayub sendiri bahwa ia akan timbul seperti emas. Rupanya selama ini Ayub belum level “emas” (atau mungkin sudah emas), tetapi kadarnya masih rendah. Melalui penderitaan tersebut barulah karakter Ayub terbentuk atau meningkat kadarnya makin murni. Jikalau Tuhan ingin memproses kita melalui berbagai penderitaan, itu untuk kebaikan kita, yaitu pemurnian diri kita. Selain itu, Ayub mengalami Tuhan secara pribadi,”Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau” (42:5).

Karena itu, marilah kita bersabar dan taat dalam kehidupan ini yang penuh penderitaan. Seperti Ayub yang akhirnya berbahagia karena ketekunanya, kita pun aka memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan pada waktunya. Yakobus memberi kesaksian tentang Ayub,”Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.” (Yak.5:10-11).

Selain Ayub, ada tokoh lain di Perjanjian Lama yang patut diteladani yaitu Yeremia. Di tengah sengsaranya ia masih berseru (baca: memuliakan Tuhan),”Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu! (Ratapan 3:22-23). Seruan Yeremia ini berarti di tengah kesukaran pun ia masih merasakan kasih setia Tuhan dan rahmat-Nya yang selalu baru setiap hari. Yeremia menyadari benar bahwa setiap peristiwa yang pahit sekali pun tetap nampak tangan Tuhan atau providensia-Nya dengan menunjukkan kasih setia-Nya yang selalu baru setiap hari. Itu berarti di dalam penderitaan pun, Tuhan menyediakan berkat-berkat rohani, yang meliputi pelajaran baru setiap hari. Sesungguhnya inilah yang lebih penting daripada berkat jasmani. Dalam penderitaan pun Tuhan tetap memberi pelajaran yang sangat berharga bagi kita.

IV. Penutup

Kesulitan dan penderitaan merupakan bagian dari kehidupan tokoh-tokoh iman di Perjanjian Lama. Contoh pembahasan kita adalah Ayub. Ayub harus kehilangan seluruh harta dan anak-anaknya, bahkan dikhianati oleh istrinya sendiri. Banyak lagi kisah nyata mengenai kehidupan umat pilihan Tuhan, orang-orang yang dikasihi-Nya. Sebut saja Abraham, yang harus kehilangan kenyamanan hidup di Ur-Kasdim, dan tak pernah menemukan gantinya yang serupa. Atau Yusuf, yang harus kehilangan kesenangannya tinggal dengan ayah yang sangat mengasihinya, dijual menjadi budak, kena fitnah, kehilangan harga diri dan reputasi. Yusuf menderita selama tiga belas tahun lamanya sebelum pada akhirnya diangkat Tuhan menjadi penguasa atas Mesir menjadi kesaksian bagi nama Tuhan semesta alam, Allah Abraham, Ishak dan Yakub nenek moyangnya. Musa tidak dilindungi Tuhan dari amarah Firaun sehingga ia harus melarikan diri dari Mesir dan meninggalkan kedudukannya sebagai pangeran. Daud harus kehilangan sanak family dan hidup nomaden, dicap gila sebab ia pura-pura gila untuk menyelamatkan nyawanya.

(18)

dunia ini menjadi berkat yang tak ternilai jika kita menemukan mutiara kebenaran (baca: maksud dan tujuan) Tuhan di balik semua peristiwa tersebut.

Di situlah dibutuhkan respon kita. Seberapa kemuliaan yang akan kita terima kelak juga tergantung dari respon (minat dan keseriusan) kita belajar dibentuk oleh Tuhan. Ada harga yang harus ditunaikan yaitu segenap hidup kita. Untuk membentuk kita menjadi seperti yang diinginkan-Nya, ia menggunakan segala yang kita alami (Rm.8:28). Terimalah segala hal sebagai pelajaran dan didikan Tuhan (pembentukan karakter), dan teladanilah Ayub.

Tentu salah satu tujuan kitab Ayub adalah untuk menolong orang-orang percaya masa kini agar dapat menahan penderitaan itu. Pelajaran terakhir yang dapat ditarik tentang menghadapi penderitaan adalah kesetiaan Ayub kepada Allah. Hatinya bersih. Walaupun kepedihannya luar biasa, namun tidak diperburuk oleh beban kesalahannya. Tetapi Ayub mengetahui, penyerahannya kepada Allah jelas; ia percaya, penyerahannya akan membuatnya bertahan sampai akhir hayat (19:23-29).

Rasul Yakobus menggunakan Ayub sebagai teladan orang-orang yang belajar tentang kebahagiaan dari penderitaan,”Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.” (Yak.5:11). Adakah ringkasan lebih baik dari pesan kitab ini, yaitu orang yang menderita dengan tekun berada dalam rangkulan Allah yang punya maksud di balik itu dan bersifat penyayang? Teladanilah Ayub. Itu kehendak-Nya bagi pemimpin Kristen dan juga umat-Nya sepanjang zaman.

Referensi

Atkinson, David. Ayub, dalam kasih Allah, Rahasia Penderitaan Menemukan Tuhan dan Kekuatannya (Jakarta: Bina Kasih,200).

Boestam, Pudjiarto. Smart Christian Leadership (Yogyakarta : Andi, 2009).

Balchin, John dkk, Intisari Alkitab Perjanjian Lama (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2008).

Bullock, C. Hassel. Kitab-kitab Puisi (Malang: Gandum Mas, 2003).

Drane, John. Memahami Perjanjian Lama 1 (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2009) Dyrness, William. Tema-tema dalam Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas,1992). Hadiputra, Yosua L. Kualitas Orang Sukses (Yogyakarta : Andi, 2008).

Jakoep Ezra, Success Through Character (Yogyakarta : Andi, 2006).

Legg, Ken. Inilah Kehidupan Itu (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2011).

Lasor, Hubbard, Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2. (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2011). M, Fengky. Masalah Adalah Berkat (Jakarta: IGM, 2005),

Maxwell, John C. Mengembangkan Kepemimpinan Di Dalam Diri Anda, (Jakarta : Binarupa Aksara, 1995).

Powel, Paul W. Murid Sejati (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,1982).

(19)

Referensi

Dokumen terkait