92 SUSASTRA
gembira, kendati usaha seperti itu seharusnya telah dilakukan sejak lama. Sebuah harapan yang diam-diam menyembul di benak adalah masih banyak karya para penulis drama yang belum diterbitkan, misalnya saja terbayang sebuah buku yang lengkap mengenai karya-karya Wisran Hadi, Rendra, Akhudiat, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Ikranagara, N. Riantiano, Iwan Simatupang. Usaha yang sudah dilakukan dan sangat berharga adalah pencrbitan karya-karya Melayu Tionghoa oleh penerbit yang berada di bawah naungan Gramedia Grup.
Sebuah Metamorosa Budaya
Ibnu Wahyudi
Universitas IndonesiaJudul buku: Perantau wnpula11 Ce,pen) Penulis: Gus f Sakai
Penerbir: Gramedia Pustaka Utama Tahun terbit: 2007
Tebal: 133 halaman
D
ari segi semantik, laku "merantau" tenlu eat berkaitan dengan tindakan atau langkah melepaskan diri dari kungkungan kehidupan yang dirasa membelenggu, dengan pergi ke daerah atau negeri tertcntu. Akan tetapi, bisa juga penyebabnya tidak sekadar keterbatasan semacam itu; merantau sangat mungkin dilakukan karena memang harus dilakukan: sebuah k�mestian! Tujuan yang hendak digapai, barang tentu alasannya berbagai bagai pula, tetapi kehendak untuk mencari penghidupan yang lebih layak, memperluas cakrawala a tau memperdalam pengetahuan, dan semacamnya, sangat boleh jadi merupakan pemicu utamanya.94 SUSASTRA
Kendati kita matbum bahwa penulisnya, Gus tf Sakai, boleh dinyatakan sebagai orang yang tidak tengah dalam perantauan atau or ang yang belum pemah merantau, sementara ia berasal dari lingkungan yang mengkondisikan laku yang sedemikian itu, tidak berarti bahwa ia tidak boleb atau tidak mungkin menulis mengenai laku merantau itu. Dalam ranah sastra, pengalaman menghadapi atau langsung mengalami suatu peristiwa atau suatu keadaan tidak menjadi jaminan akan kualitas kisah sebagaimana pernah dialaminya itu. Dengan perkataan lain, sangat terbuka kcmungkinan bahwa seseorang yang bahkan belum penah datang a tau hidup dalam suatu komun itas a tau budaya tertentu misalnya, tetap mempunyai peluang untuk mampu bercerita mengenai komunitas atau budaya tertentu itu secara sedap dan meyakinkan. Semuanya ini berpulang kepada kekuatan "imajinasi" seperti bebcrapa kali disurat dan ditunjukkan dalam kisah "SpongeBob" bahwa imajinasilah, dan hanya karena imajinasi semata, yang selama ini telah menyihir pemirsa untuk betah dan pasrab "dikibuli" oleh kefiksian.
Namun demikian, Gus tf Sakai memang sungguh tidak dalam posisi ingin mendemonstrasikan kemampuan imaj inatifnya untuk, katakankalah, bercerita mengenai pengalaman merantau atau sejenisnya itu. Yang terasa kuat dari cepen-ccpen yang dihimpun dalam antologi ini justru adalah persoalan bersikap, bertimbang, atau bcrkalkulasi kembali atas sejun1lab laku budaya yang tentunya ia kenal dengan baik itu. Pertimbangan atau pemahaman kembali tersebut kcmudian mengejawantah menjadi semacam kebimbangan, kegamangan, ketidakpastian, atau malahan juga kritik atas sejumlah praksis budaya yang membebat di sekelilingnya.
Membaca cerpen-cerpen Gus tf Sakai dalam kumpulan ini, istimewanya bagi saya, tidak lagi sebatas membaca pada tataran yang wadag saja sebab dari komposisi yang ia pertujukkan jclas ada isyarat untuk merenungkan pem1asalahan di sebalik narasi yang ia kreasi. Ada semacam ajakan untuk menyelusup ke dalam ranab makna yang tidak sekadar permukaan, utamanya dirangsang oleh ketidaktransparanan pesan yang ia siratkan. Pada cerpen yang diambil sebagai judul antologi ini, misalnya, pembaca dihadapkan pada sebuah persoalan esensial yang sangat manusiawi, yang sehari-bari, yak:ni bahwa .ita seringkali lebih
IBNU WAHYUDI 95
dikooptasi oleh pikiran-pikiran tentang sesuatu hal daripada secara langsung bergumul atau bergelut dengan sesuatu hal itu. Dalam kaitan "merantau", contohnya, duga-duga akan hidup di perantauan yang niscaya selalu akan mengingatkan segala sesuatu yang telah ditinggalkan, semisal ingatan akan suara bangsi a tau romantisme hidup di masa belum akil balig atau masa kanak-kanak, dipampangkan di depan pembaca. Padahal, sekali lagi, kesemuanya itu hanya sebuah konstruksi yang baru dibayangkan, belum dilakukan. "Hams kuakui, semua hanya mungk.in kutemui dalam mimpi." ("Gadis Terindah", halaman 23).
Bahwa sesuatu yang telah biasa atau sudah menjadi semacam adat untuk dijalankan tidak selalu hendak dilaksanakan, sangat bermuara pada sejumlah realita. Salah satunya adalah bersumber atas keterbelahan pribadi seseorang, yang kondisi psikologisnya tidak sclamanya mudah membedakan antara apa yang telah dilakukan dengan apa yang mungkin atau bisa dilakukan (Jihat cerpen "Lelaki Bermantel"). Pada kondisi semacam ini, "merantau" sesungguhnya sudab dilakukan meski "rantau" yang telah dirambab adalah bukan di nana-mana, "Kami terus masuk, kian ke dalam; bagai ke wilayah lain di luar kampung, tetapi sebenamya di kampung itu juga." ("Gadis Terindab", halaman 24). Perantauan imajinatifatau bahkan perantauan kejiwaan semacam ini pada hakikatnya juga adalah merantau, mengalami suatu gerak atau lakuan yang tidak sepenuhnya disadari, yang sesungguhnya "tak pemah ada, tak lebih hanya ciptaan, ... rekaan dalam pikirannya." (''Lelaki Bermantel", halaman I 0).
96 SUSASTRA
sesuatu yang telah menjadi semacam lradisi, kebiasaan, adat, kelaziman, dan laku sosial itu? Kalaupun ada yang kemudian merepotkan diri dengan persoalan ontologis ini tentu bukan mereka yang telah merantau, bukan mereka yang tunduk dan takzim begin, saja kepada adat, atau bukan mereka yang mau mengalir saja dalam hidup ini, melainkan adalab mercka yang bisa jadi belum pemah merantau, seperti halnya Gus tf Sakai. Kendati begitu, tidak menutup kemungkinan bahwa yang pernab merantau pun, atau bahkan mereka yang bukau dari lingkungan sosial budaya seperti itu, tertarik untuk memperbincangkan ihwal merantau ini dari sudut pandang yang bcragam. Kemudian hasilnya, barang tentu, tidak dengan sendirinya akan operasional atau akan menjati semacam pertimbangan sosial yang mampu mcngubah tradisi atau adat in.1, melainkan menjadi sekadar bahan renungan, retleksi, atau pemikiran yang menyebabkan orang lebih menjadi dewasa dan matang dalam bersikap terhadap kehidupan.
Lewat cerpen-cerpennya, setidak-tidaknya dalam kumpulan ini, ada nada gamang yang cukup kuat dilontarkan oleh penulis, meski bisa saja kegamangan ill.1 tidak selalu bersinggungan dengan persoalan merantau. Akau tetapi,jika ditimbang-timbang lagi, agalcnya rasa gamang itu tetap saja bertelekan pada akar kehidupan yang digambarkan, yang sangat mungkin kembali kepada persoalan merantau itu. Kegamangan yang direpresentasi oleh penegasian atau ketidakpastian itu bertebaran dalam banyak cerpen dalam Perantau ini. Sebagai misal, banyaknya ketidakpastian seperti terungkap pada penggalan kalimat " ... tampak seperti melayang (ataukah terbang?)" ("Belatung", halaman 53), " ... mengiringi (ataukah menuntun?)" ("Hilangnya Malam", halaman 64), "Gambar-gambar (bentuk-bentuk itu!)" (''Tok Sakat", halaman 82), " ... jatuh meluncur (ataukah disedot?)" ("Sumur", halaman 110), " ... hun1a (ataukah pantai?)" ("Stefani dan Steanny", halaman 116), dan " ... biru (ataukah hijau?)" ("Lelaki Bermantel", halaman 3), mengisyaratkan kegamangan yang ditebarkan di hampir semua cerpen. Belun1 lagi dengan dipakainya sejumlah kata yang secara langsung menunjukkan kebimbangan itu seperti "entah", "tidak", "ragu" yang muncul berulang kali di sejumlah cerpen, kian memperkuat dugaan akan kegamangan terhadap sesuatu yang telab berlaku dalam kehidupan. Dan karena
IBNU WAHYUDI 97
pengikat semua cerpen dalam buku ini diberi tajuk "perantau", maka prasangka akan kegamangan yang menyerempet soal "merantau" cukup punya alasan dikemukakan di sini.
Namun demikian, apa sesungguhnya hakikat "merantau" itu? Jawabau terhadap masalah ini secara sosio-budaya tentu dapat diperoleh dari sejumlah buku, namun Gus tf Sakai agaknya ingin menjelaskan esensi "merantau" ini dengan cerpen-cerpennya. Dalam cerpcn berjudul "Belatung" misalnya, secara metaoris dikemukakan bahwa merantau itu intinya adalah sebuah metamorfosa, sebuah perubahan laiknya dari ulat menjadi kupu-kupu, dari sesuatu yang tak berharga menjadi scsuatu yang dipuja-puja. Apabila makna "pcrubahan" itu diwakili oleh hanya sebuab kata, ia dapat saja berupa ungkapan "aku ingin" ("Belatung", halaman 53), "ia ingin" ("Hilangnya Malam", halaman 61), atau dengan kata-kata verbal-denotatif seperti "berubah" ("Hilangnya Malam", halaman 63) atau "menjelma" ("Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas", halaman 50.)
Dari cepen yang terakhir disebut, terdapat alinea yang menunjukkan bahwa kehidupan ini sendiri adalah sebuah perantauan, sebuah perubahan yang seringkali tidak lagi dipahami hakikat perubahannya itu. Dan perubahan itu tidak selamanya bennula dari yang jclek menjadi indah sebagaimana tersurat dalam cerpen "Belatung" melainkan bisa sebaliknya.
Tak mungkin! Itu kejadian 40 tahun lalu. Tak mtmgkin! Itu peristiwa dari tempat berbeda. Ini Jakarta, di sebuah kaki lima, dan ia telah menjelma jadi seorang pengemis renta dengan sebelah kaki lain pun kini nyaris tak ada, ha bis digasak borok, kudis. Ia telah tak lebih seonggok daging 77 tahun yang tens meny11sut ... ("Tujuh Puluh Tujuh Lidah Emas", halaman 50).