• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH Kekerasan Dalam Rumah Tangga (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH Kekerasan Dalam Rumah Tangga (1)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dosen pengampu : Yoseph Purwadi, SH.,M.Hum

Disusun Oleh :

KELOMPOK 8

1. Oulyvia Marita (46/S16A) 2. Rara Suci Rhamadhan (47/S16A) 3. Rika Nilamsari (48/S16A) 4. Riska Ayu Pratiwi (49/S16A) 5. Rizky Zulfiana (50/S16A) 6. Sari Malak Hanifah (51/S16A)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya.Makalah ini membahas kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan berbagai bantuan dari pihak tantangan itu bisa teratasi.Olehnya itu,penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnakan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Surakarta,23 September 2016

Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...i

Daftar isi...ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...1 B. Tujuan...2

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga...3 B. Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga...4

C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah

Tangga...6

D. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah

Tangga...7

E. Perlindungan bagi Korban

KDRT...8

F. Sudut pandang

pancasila...1 2

BAB III PENUTUP

(4)

ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak asasi merupakan hal yang sangat sensitif dalam kehidupan manusia. Hampir diseluruh negara memiliki peraturan tersendiri dalam melindungi HAM. Akan tetapi sering kali HAM tersebut masih dipandang sebelah mata apalagi menyangkut perbedaan gender antara pria dan wanita. Wanita sering kali dianggap lebih rendah dibandingkan pria, sehingga sering kali bermunculan kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya wanita dalam pelanggaran kekerasan dalam rumah tangga.

Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut diharmonis apabila terjadi sebaliknya.

(5)

keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dalam keluarga.

1

B. TUJUAN

Tujuan dari rumusan masalah di atas yaitu

1. Menjelaskan yang dimaksud dengan Kekerasan dalam

Rumah Tangga.

2. Menjelaskan apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam

Rumah Tangga.

3. Menjelaskan faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam

Rumah Tangga.

4. Menjelaskan cara penanggulangan Kekerasan dalam

Rumah Tangga.

(6)
(7)

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:

a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.

c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang

kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud

(8)

Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

3

Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi: “Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau anak diancam hukuman pidana”

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.

2. Kekerasan psikologis / emosional

Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.

(9)

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri. muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.

 Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban

atau pada saat korban tidak menghendaki.

 Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,

merendahkan dan atau menyakitkan.

 Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk

tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.

 Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku

(10)

4. Kekerasan ekonomi

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.

5 Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:

 Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk

pelacuran.

 Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.

 Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan

C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah

Tangga.

(11)

1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.

2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.

3. Beban pengasuhan anak

Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.

4. Wanita sebagai anak-anak

Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.

6

5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

(12)

Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:

1) Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan

berpegang teguh pada agama sehingga dapat menyelesaikan permasalahan dengan kesabaran.

2) Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah

keluarga, serta dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.

3) Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan

istri, agar tercipta sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis.

4) Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai

dan sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.

5) Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun

keuangan yang ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam keluarga dapat diatasi dengan baik.

7

E. Perlindungan bagi Korban KDRT

(13)

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) maka persoalan KDRT ini menjadi domain publik. Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup-tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami. Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.

UU PKDRT secara substanstif memperluas institusi dan lembaga pemberi perlindungan agar mudah diakses oleh korban KDRT, yaitu pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau pihak lainnya,baik perlindungan sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Di sini terlihat, bahwa institusi dan lembaga pemberi perlindungan itu tidak terbatas hanya lembaga penegak hukum, tetapi termasuk juga lembaga sosial bahkan disebutkan pihak lainnya.

Peran pihak lainnya lebih bersifat individual. Peran itu diperlukan karena luasnya ruang dan gerak tindak KDRT, sementara institusi dan lembaga resmi yang menangani perlindungan korban KDRT sangatlah terbatas. Pihak lainnya itu adalah setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya tindak KDRT. Mereka diwajibkan mengupayakan pencegahan, perlindungan, pertolongan darurat serta membantu pengajuan permohonan penetapan perlindungan baik langsung maupun melalui institusi dan lembaga resmi yang ada.

(14)

Dilihat dari stelsel hukum pidana, tindak KDRT ini adalah mempunyai sifat khas/spesifik, misalnya peristiwa itu terjadi di dalam rumah tangga, korban dan pelakunya terikat hubungan kekerasan atau hubungan hukum tertentu lainnya, serta berpotensi dilakukan secara berulang (pengulangan) dengan penyebab (causa) yang lebih kompleks dari tindak kekerasan pada umumnya. Itu sebabnya, tindak kekerasan ini lebih merupakan persoalan sosial yang tidak hanya dilihat dari perspektif hukum. Penyelesaiannya harus dilakukan secara komprehensif, melalui proses sosial, hukum, psikologi, kesehatan, dan agama, dengan melibatkan berbagai disiplin, lintas institusi dan lembaga.

(15)

masalah. Tetapi bagi institusi dan lembaga di luar itu, perlu mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang cukup serta akreditasi selaku institusi dan lembaga pemberi perlindungan terhadap korban KDRT.

UU PKDRT secara selektif membedakan fungsi perlindungan dengan fungsi pelayanan.

9 Artinya tidak semua institusi dan lembaga itu dapat memberikan perlindungan apalagi melakukan tindakan hukum dalam rangka pemberian sanksi kepada pelaku. Perlindungan oleh institusi dan lembaga non-penegak hukum lebih bersifat pemberian pelayanan konsultasi, mediasi, pendampingan dan rehabilitasi. Artinya tidak sampai kepada litigasi. Tetapi walaupun demikian, peran masing-masing institusi dan lembaga itu sangatlah penting dalam upaya mencegah dan menghapus tindak KDRT.

Selain itu, UU PKDRT juga membagi perlindungan itu menjadi perlindungan yang bersifat sementara dan perlindungan dengan penetapan pengadilan serta pelayanan. Perlindungan dan pelayanan diberikan oleh institusi dan lembaga sesuai tugas dan fungsinya masing-masing:

a) Perlindungan oleh kepolisian berupa perlindungan

(16)

segera membangun rumah aman (shelter) untuk menampung, melayani dan mengisolasi korban dari pelaku KDRT. Sejalan dengan itu, kepolisian sesuai tugas dan kewenangannya dapat melakukan penyelidikan, penangkapan dan penahanan dengan bukti permulaan yang cukup dan disertai dengan perintah penahanan terhadap pelaku KDRT. Bahkan kepolisian dapat melakukan penangkapan dan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelanggaran perintah perlindungan, artinya surat penangkapan dan penahanan itu dapat diberikan setelah 1 X 24 jam. pengadilan (litigasi), melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial(kerja sama dan kemitraan).

c) Perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan

(17)

perlindungan tambahan atas pertimbangan bahaya yang mungkin timbul terhadap korban.

d) Pelayanan tenaga kesehatan penting sekali artinya

terutama dalam upaya pemberian sanksi terhadap pelaku KDRT. Tenaga kesehatan sesuai profesinya wajib memberikan laporan tertulis hasil pemeriksaan medis dan membuat visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau membuat surat keterangan medis lainnya yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti.

e) Pelayanan pekerja sosial diberikan dalam bentuk konseling

untuk menguatkan dan memberi rasa aman bagi korban, memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan, serta mengantarkan koordinasi dengan institusi dan lembaga terkait.

f) Pelayanan relawan pendamping diberikan kepada korban

mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan seorang atau beberapa relawan pendamping, mendampingi korban memaparkan secara objektif tindak KDRT yang dialaminya pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan, mendengarkan dan memberikan penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban.

11

g) Pelayanan oleh pembimbing rohani diberikan untuk

(18)

sangat sulit dan mustahil dapat mencegah apalagi menghapus tindak KDRT di muka bumi Indonesia ini, karena berbagai faktor pemicu terjadinya KDRT di negeri ini amatlah subur.

Bahwa anggapan orang terjadinya KDRT merupakan akibat dari suatu sebab konvensional seperti disharmonisasi dari tekanan sosial ekonomi yang rendah, perangai dan tabiat pelaku yang kasar, serta gagal dalam karier dan pekerjaan ternyata tidaklah sepenuhnya benar, karena KDRT justru acapkali dilakukan oleh mereka yang kondisi sosial ekonominya baik, sukses karier dan pekerjaannya, bahkan berpendidikan tinggi.

KDRT merupakan multi persoalan, termasuk persoalan sosial, ekonomi, budaya, hukum, agama dan hak asasi manusia. Upaya menghapus KDRT di muka bumi Indonesia adalah perjuangan panjang bangsa ini, khususnya kaum perempuan yang rentan menjadi korban KDRT. Upaya sungguh-sungguh itu diharapkan dapat mempengaruhi struktur dan karakteristik multi persoalan tadi menjadi nilai yang diyakini benar dan dapat memberi rasa aman, tenteram, adil dan bermartabat bagi keluarga dan bangsa Indonesia.

F. Sudut pandang pancasila

Pancasila sebagai Dasar Negara telah jelas mengatakan bahwa segala tindak kekerasan adalah dilarang karena bertentangan dengan sila pancasila. Terutama pada sila kedua, yaitu “ Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Adapun maksud yang terkait dalam masalah yang kami angkat adalah setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan tidak boleh menjadi obyek kekerasan dengan alasan apapun dan bagaimanpun.

(19)
(20)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Perlindungan wanita dalam konteks KDRT ternyata sangat penting untuk diperhatikan, mengingat kasus seperti ini sangat banyak di Indonesia. KDRT merupakan suatu tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) jika dilihat sudut pandangnya dari pancasila sudah sangat jelas merupakan tindakan yang tidak sesuai terutama dengan sila ke-2, yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Beberapa uraian dari sila ini yang sangat bertentangan dengan tindak kekerasan terutama KDRT adalah saling mencintai sesama manusia, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan tidak semena-mena terhadap orang lain.

Berdasarkan peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa implementasi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT tidak berjalan efektif. Karena dalam penerapannya masih banyak kasus yang tidak diselesaikan lewat jalur hukum dan

(21)

Kabupaten Bogor. Saat kedua mobil tiba di kawasan Gang Semen, Jalan Raya Puncak, Cisarua, mobil Cici menyalip.

14 Cici kemudian turun dari mobil. “Saat dia mau mendekati mobil itu, tiba-tiba mobil digas sehingga menyerempet Cici. Akibatnya Cici Paramida tampak terluka di bagian wajah dan lengan seperti bekas tersenggol. Kemudian atas Kekerasan yang dilakukan oleh Suhebi, Cici melaporkan tindakan kekerasan itu polisi.

Dari contoh kasus diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa seorang suami seharusnya menjaga kepercayaan yang diberikan oleh istrinya. Suatu hubungan akan berjalan harmonis apabila sebuah pasangan dilandasi dengan percaya kepada pasangannya. Namun kejadian ini tidak akan terjadi apabila sang istri menanyaka secara baik-baik kepada suaminya. Apakah benar ia bersama perempuan lain atau hanya sekedar rekan kerjanya.

B. SARAN

(22)
(23)

DAFTAR PUSTAKA

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.

Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.

Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni.

Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.

Referensi

Dokumen terkait

Bab ini berisikan tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Prosedur Pemeriksaan Korban KDRT dalam proses Peradilan pidana, Aturan di dalam Undang-Undang

dalam tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang diatur khusus dengan.

Sebagai perlindungan atas perempuan terdapat beberapa perlindungan bagi perempuan yang telah diatur dalam Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT)

Karakteristik perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga : Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih dipandang sebagai ikatan yang sakral, dan lebih dipenuhi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindak pidana yang dialami oleh korban kekerasan dalam rumah tangga baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual,

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam Rumah tangga ini menjadi payung hukum bagi korban dan membuat efek jera bagi pelaku tindak

Adanya perangkat peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana kekerasan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

TINJAUAN YURIDIS PEREMPUAN SEBAGAI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Ivanda Wizaldi ,