• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Asasi Pemberian Remisi dan Terpidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hak Asasi Pemberian Remisi dan Terpidana"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERIAN REMISI BAGI TERPIDANA KORUPSI

Oleh:

Patty Regina

Rafli Fadilah Achmad

Valeryan Natasha

Universitas Indonesia

Depok

(2)

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Kami yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Patty Regina Nama : Rafli Fadilah

NPM : 1106056075 NPM : 1206246313

Program Studi : Ilmu Hukum Program Studi: Ilmu Hukum

Nama : Valeryan Natasha

NPM : 1206251471

Program Studi: Ilmu Hukum

Menyatakan bahwa artikel imiah yang berjudul :

PEMBERIAN REMISI BAGI TERPIDANA KORUPSI

Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar. Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat pelanggaran di dalamnya, kami siap untuk didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai bentuk tanggung jawab kami.

Depok, 12 Mei 2015

(Patty Regina) (Rafli Fadilah Achmad) (Valeryan Natasha)

(3)

Lembar Orisinalitas...2

Daftar Isi ...3

I. PENDAHULUAN

I.1Pendahuluan...4

II. PEMBAHASAN

II.1Pembahasan...4

II.2 Pandangan Pro Pemberian Remisi Bagi Terpidana Korupsi...5

II.2.A Remisi adalah Hak Dasar bagi Setiap Narapidana...5 II.2.B Pemberian Remisi bagi Terpidana Korupsi sesuai dengan

Tujuan Pemidanaan...6 II.2.C Peniadaan Hak untuk Mendapatkan Remisi bagi Terpidana

Korupsi adalah Suatu Ketidakadilan...8 II.3 Pandangan Kontra Pemberian Remisi Bagi Terpidana Korupsi...9

II.3.A Tindak Pidana Korupsi adalah Kejahatan Luar Biasa yang harus ditindak secara Luar Biasa...9 II.3.B Pemberian Remsi bagi Terpidana Korupsi bertentangan

dengan Tujuan Pemidanaan...12 II.3.C Mekanisme Alokasi Dana Desa (Solusi)...11

III. PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

(4)

Pemberian remisi bagi terpidana korupsi kembali hangat diperbincangkan setelah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Yasonna Laoly, mengeluarkan wacana untuk merevisi Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksana Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.1 Revisi yang hendak dilakukan Menkumham sifatnya melonggarkan kembali mekanisme pemberian remisi bagi terpidana korupsi, yang coba diperketat oleh Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar di masyarakat, terutama terkait dengan salah satu semangat kabinet yang dibawa Presiden Joko Widodo, yaitu nawacita yang disuarakan ketika masa kampanyenya tentang keinginan melawan korupsi bahkan sampai ke akar-akarnya. Ternyata konkritisasinya oleh Menkumham adalah wacana pelonggaran pemberian remisi kepada koruptor. Terlebih lagi, sebenarnya korupsi yang telah membudaya merupakan musuh seluruh rakyat Indonesia yang harus dihukum dengan cara yang paling berat pula.

Alasan Menkumham mengenai revisi ini adalah terkait hak koruptor yang seharusnya tidak dibedakan dengan terpidana lainnya, selain itu pandangan Menkumham dimana para koruptor telah dihukum dengan pidana yang lebih berat dibanding tindak pidana umum, sehingga pengetatan pemberian remisi dipandangan sebagai penghukuman dua kali kepada para koruptor. Pro dan kontra inilah yang kemudian menyebabkan pemberian remisi bagi terpidana korupsi menjadi diskurus hangat di Indonesia dewasa ini. Hal inilah yang akan dibahas dalam tulisan ini secara komprehensif.

II.PEMBAHASAN

(5)

II.2 Pandangan Pro terhadap Pemberian Remisi bagi Terpidana Korupsi

II.2.A Remisi adalah Hak Dasar bagi Setiap Narapidana

Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur didalam Pasal 1 Ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).4 Salah satu ciri negara hukum adalah perlindungan terhadap hak-hak warga negaranya. Perlindungan ini tidak memandang pada ras, suku, agama, etnik, status sosial hingga status hukum, sehingga pemenuhan terhadap perlindungan hak ini haruslah menjadi suatu prioritas.5 Status hukum disini mengacu pada apakah warga negara itu merupakan terpidana atau bukan. Negara tidak boleh mengacuhkan apalagi meniadakan hak-hak terpidana sebagai warga negaranya melainkan harus melindungi hak tersebut tanpa ada kecualinya.6

Salah satu hak yang dimiliki oleh terpidana adalah hak untuk mendapatkan pengurangan masa tahanan atau yang biasa disebut sebagai remisi. Hal ini diatur didalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Hak mendapatkan remisi ini merupakan hak dasar yang diberikan hukum positif Indonesia. Lebih lanjut lagi, terpidana yang dimaksud tidaklah dibedakan berdasarkan tindak pidana yang dilakukannya, sehingga semua terpidana untuk tindak pidana apapun memiliki hak untuk mendapatkan remisi, selama persyaratan-persyaratan yang diatur didalam peraturan pelaksanaan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan telah terpenuhi.

(6)

dibandingkan dengan tindak pidana umum seperti pembunuhan, pencurian, penggelapan dan lain-lain sebagaimana diatur didalam Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012, maka dari itu tidaklah dapat dibenarkan untuk meniadakan hak terpidana korupsi untuk mendapatkan remisi karena tindak pidananya.9 Hal ini senada dengan pendapat Prof. Mardjono Reksodiputro, yang menyatakan:10

“Bila alasannya mereka (koruptor) jahat sehingga wajar untuk tidak diberikan remisi maka hukumlah yang keras, minta supaya jaksa menuntut tinggi dan hakim memutus tinggi. Selama mereka berkelakuan baik berikanlah haknya”

Disini Prof. Mardjono Reksodiputro berusaha menekankan bahwa selama mekanisme yang telah diatur didalam hukum Indonesia bagi terpidana korupsi telah dipenuhi seperti berkelakuan baik, bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, serta telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. Maka dari itu, jelas bahwa hak terpidana korupsi untuk mendapatkan remisi merupakan salah satu hak yang harus dipenuhi oleh Negara dan tidaklah boleh ditiadakan karena jika demikian maka Indonesia telah gagal dalam memenuhi hak-hak dasar terpidana korupsi yang telah diatur didalam hukum positif Indonesia dan telah mendustakan konsep negara hukum yang dipilih Indonesia. Bahkan, hak dasar untuk mendapatkan bagi terpidana untuk mendapatkan remisi ini telah diakui secara internasional, dan diatur di dalam Pasal 30 Ayat (5) United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006.

II.2.B Pemberian Remisi bagi Terpidana Korupsi sesuai dengan Tujuan Pemidanaan

(7)

dikenal dengan Sistem Pemasyarakatan.12 Inti dari teori ini telah diadopsi didalam sistem permasyarakatan Indonesia sebagaimana dapat dilihat didalam bagian menimbang huruf (c), Undang-Undang tentang Pemasyarakatan yang

Dalam hal ini, pemberian remisi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia ditempatkan sebagai suatu motivasi untuk membina diri sendiri. Sebab, remisi tidak lagi sebagai hukum seperti dalam suatu sistem pemasyaraktan, tidak pula sebagai anugerah sebagaimana dalam sistem kepenjaraan, tetapi sebagai hak dan kewajiban yang dimiliki oleh narapidana. Artinya, jika narapidana termasuk untuk tindak pidana korupsi benar-benar melaksanakan kewajibannya, ia berhak mendapat remisi.13

(8)

dalam filosofi remisi. Dengan menghilangkan hak ini, terdapat kemungkinan bahwa perbaikian diri yang telah dilakukan terpidana korupsi menjadi sia-sia dikarenakan dua hal, yaitu:

a. Terpidana korupsi tersebut tidak lagi memiliki suatu dorongan untuk berubah dan menjadi seseorang yang lebih baik

b. Efek penjara sebagai school of crime menjadi semakin kuat kepada diri seorang terpidana korupsi sehingga proses internalisasi nilai-nilai kejahatan menjadi lebih mudah dibanding ketika seorang terpidana korupsi memiliki dorongan untuk berubah dengan adanya hak remisi.

Melihat hal ini maka jelaslah pemberian remisi bagi terpidana korupsi akan menjadi salah satu upaya untuk mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri. Selain itu, pemberian remisi ini juga dapat dipandang sebagai apresiasi pada terpidana korupsi yang telah memenuhi kewajibannya.

II.2.C Peniadaan Hak untuk Mendapatkan Remisi bagi Terpidana Korupsi adalah Suatu Ketidakadilan

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dengan menganut konsep ini, ada suatu konsekuensi logis yang tidak boleh dinafikkan, yaitu bahwa segala sesuatu tindakan yang dilakukan oleh Negara haruslah didasarkan pada hukum, bukan pada kekuasaan. Untuk dapat menerapkan hukum dengan baik, harus diketahui terlebih dahulu sebenarnya apakah tujuan hukum itu agar penerapannya menjadi terarah.

(9)

tindakan apapun yang dia lakukan untuk pemenuhan kewajiban seperti berkelakuan baik, bekerja sama mengungkapkan kasus, membayar denda dan lain-lain tidak akan dapat diseimbangkan dengan pemberian hak. Hal ini merupakan suatu bentuk yang jelas dari ketidakadilan. Tidaklah adil bagi seorang terpidana korupsi, bila tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan haknya mengenai remisi, meskipun ia telah terpenuhi terlebih dahulu memenuhi kewajibannya.

Ketidakadilan ini juga sebenarnya bertentangan dengan sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pertama, harus diperhatikan frasa yang digunakan adalah “seluruh,” dalam hal ini, maka sebenarnya tidak boleh ada suatu tindakan negara yang memberikan ketidakadilan hanya karena ada suatu perbedaan di dalam kondisi warga negaranya, yaitu mengenai perbedaan jenis tindak pidana yang dilakukannya. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini menghendaki dalam pelaksanaan kegiatan Negara tidak ada pilih kasih dan diskriminasi. Dengan peniadaan hak untuk mendapatkan remisi, jelaslah bahwa Negara Indonesia telah tidak memenuhi tujuan hukum sebagai negara hukum dan melanggar pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa Indonesia.

II.3 Pandangan Kontra Pemberian Remisi Bagi Terpidana Korupsi

II.3.A Tindak Pidana Korupsi adalah Kejahatan Luar Biasa yang harus ditindak secara Luar Biasa

(10)

1. Korupsi merupakan kejahatan terorganisasi yang dilakukan secara sistematis. Dalam hal ini, praktik korupsi menjadi mata rantai yang senantiasa menghantui sistem pemerintahan,16 dan juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.17

2. Korupsi merupakan white-collar crime atau kejahatan kerah putih. Secara konseptual, kejahatan yang termasuk dalam white-collar crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang berstatus sosial ekonomi tinggi yang berhubungan dengan jabatan atau pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan pandangan dari Clinard dan Quienney dalam bukunya, yakni:18 “Occupational crime consists of offenses commited by individual for them selves in the course of their occupations and the offenses of employees against their empolyers,

Korupsi ini sangat dekat pula dengan kekuasaan bahkan dikatakan pula bahwa korupsi dan korupsi ibarat dua sisi dari satu mata uang.19 Semakin tinggi tingkat kekuasaan seseorang maka semakin rentan orang tersebut pada praktik korupsi. Hubungan korupsi dengan kekuasaan ini menjadi suatu dasar yang dapat menjustifikasi penolakan pemberian remisi bagi terpidana remisi. Remisi diberikan kepada terpidana dengan suatu mekanisme permohonan yang diajukan pada saat-saat tertentu20. Pemberian remisi ini diberikan berdasarkan keputusan menteri dengan mekanisme didalam hukum tentang remisi.21 Mengenai hal ini maka jelaslah pihak yang memiliki hak untuk memberikan remisi adalah orang yang memiliki kewenangan tersebut sesuai dengan kekuasaan dan jabatannya. Hal ini menyebabkan mudahnya pemberian remisi akibat dari terpidana korupsi akibat dari pejabat berwenang yang memiliki kekuasaan mulai melakukan praktik KKN dan menimbulkan adanya obral remisi. Obral remisi ini pun pada tahun 2014 telah menjadi isu hangat yang diperbincangkan. Obral remisi ini juga terjadi karena adanya permainan uang oleh terpidana korupsi yang melakukan suap.22

(11)

anggaran keuangan negara hingga impelemtasi anggaran keuangan negara,24 yang biasanya dilakukan dalam bentuk program bantuan sosial.25 Untuk menyelesaikan masalah inipun, muncul isu untuk menyelesaikan pembuktian terbalik secara penuh dalam pembuktian tindak pidana korupsi yang telah juga diterapkan beberapa Negara.26

4. Korupsi adalah kejahatan yang memiliki dampak dalam jangka panjang bagi warga negara. Tindakan korupsi terjadi akibat adanya kewenangan yang dimonopoli tanpa ada transparansi, contohnya korupsi APBN.27 Korupsi APBN akan membuat adanya pagu anggaran yang kehilangan sejumlah uang, sehingga akan mempengaruhi program Ppemerintah yang dibiayai pagu anggaran tersebut. Dampaknya selama setahun ke depan, program yang sebenarnya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan warga negara melalui program tersebut justru terhambat. Contohnya, menurut Indonesia Corruption Watch pada tahun 2014 Indonesia telah mengalami kerugian sebesar Rp 5,29 T28

Keempat alasan diatas merupakan dasar yang valid, untuk kemudian dapat dilakukan pengkategorian korupsi sebagai tindak pidana luar biasa yang sangat berbeda dengan tindak pidana umum lainnya. Sehingga, harus ditindak dengan mekanisme luar biasa yang salah satunya adalah dengan tidak memberikan remisi bagi terpidana korupsi. Hal ini merupakan tindakan negara untuk menyeimbangkan kerugian yang diakibatkan. Selain itu, menimbang dari perkembangan korupsi di Indonesia, masih menyebabkan Indonesia terpuruk dilihat dari Corruption Perceptions Index 2014 Indonesia masih menempati peringkat 107 (seratus tujuh). Angka ini menunjukan bahwa korupsi di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Oleh karena itu, tindakan tegas ini sebenarnya adalah untuk melakukan suatu perubahan yang transformatif dan suatu solusi untuk menekan angka korupsi, sehingga nantinya kerugian masyarakat dapat semakin ditekan.

(12)

Didalam teori hukum pidana, dikenal setidaknya tiga teori dasar yang memberikan penggambaran mengenai tujuan pemidanaan, yaitu: teori absolut, teori relatif dan teori gabungan.29 Namun, dalam penerapannya tidak ada penggunaan satu teori secara mutlak. Pada akhirnya berdasarkan teori-teori ini dan perkembangan zaman, disarikan tujuan pemidanaan, yaitu: untuk memperbaiki pribadi penjahat sendiri, membuat orang jera untuk melakukan tindak pidana, membuat penjahat tertentu tidak mampu melakukan tindak pidana tertentu,30 serta memberikan suatu efek jera (deterrence effect) bagi pelaku tindak pidana.31

Tujuan pemidanaan dapat tercapai dengan mekanisme pengaturan para terpidana yang sesuai dengan karakter dan sifat masing-masing tindak pidana. Dalam hal ini, korupsi, telah dijelaskan pada bagian sebelumnya merupakan tindak pidana luar biasa, artinya disini diperlukan suatu penanganan yang luar biasa agar tujuan pemidanaan menjadi dapat terwujud. Namun, hal ini akan menjadi suatu angan-angan saja apabila negara tidak membuat kebijakan yang secara tergas terkait remisi korupsi. Remisi yang pada hakikatnya adalah pengurangan masa tahanan atau suatu “diskon” bagi terpidana.32

(13)

yang dijatuhkan hakim pada terpidana korupsi tidak akan tepat sasaran, karena efek jera yang hendak diberikan guna si terpidana korupsi melakukan perbaikan diri tidak tercapai, sebab terpidana tersebut dapat terus mengalami pengurangan masa tahanan dan tujuan pemidanaanpun tidak tercapai. Hal ini juga berlaku bagi para calon koruptor yang dengan melihat bahwa remisi akan menjadi alat untuk keluar dari lembaga pemasyarakatan dengan mudah sehingga anasir hukuman,34 yang berguna untuk menakut-nakuti sesorang agar tidak melakukan tindak pidana menjadi berkurang dan pada akhirnya ditakutkan peningkatan korupsi menjadi sulit dibendung. Selain itu, sebenarnya Sistem Pemasyarakatan Indonesia mengandung arti pembinaan narapidana yang berintegritas dengan masyarakat dan menuju kepada integritas kehidupan dan penghidupan. Pemasyarakatan sebagai proses bergerak dengan menstimulir timbulnya dan berkembangnya self-propelling adjusment menuju ke arah perkembangan pribadi melalui asosiasinya sendiri menyesuaikan dengan integritas kehidupan dan penghidupan.35 Pengurangan masa tahanan yang akan mengurangi efek juga juga mengurangi esensi penting dari sistem pemasyarakatan yaitu masa tahanan adalah masa pembinaan, mengingat karakterikstik tindak pidana korupsi yang luar biasa ini.

Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya penolakan terhadap pemberian remisi bagi terpidana korupsi bukanlah suatu bentuk pelanggaran terhadap hak terpidana. Namun, yang dilakukan adalah pemberian standar yang lebih tinggi dalam pemberian remisi yang kemudian menghilangkan terpidana korupsi dari definsi terpidana yang memiliki hak untuk mendapatkan remisi sebagai solusi untuk menangani permasalahan tindak pidana korupsi.

III.PENUTUP

(14)

menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat yang pro dan kontra terhadap pemberian remisi bagi terpidana korupsi.

Pandangan yang pro terhadap pemberian remisi bagi terpidana korupsi melihat bahwa remisi merupakan hak dasar setiap terpidana yang harus dijamin akses terhadap haknya oleh Indonesia sebagai negara hukum. Selain itu, hal ini juga sesuai dengan tujuan pemidanaan relatif. Bahkan sesungguhnya, pencabutan hak remisi bagi terpidana korupsi merupakan bentuk ketidakadilan dan diskriminasi terhadap terpidana.

(15)

1

Putri Adityowati, Ini Penjelasan Menteri Yasonna Soal Obral Remisi,

http://nasional.tempo.co/read/news/2015/03/17/063650533/Ini-Penjelasan-Menteri-Yasonna-Soal-Obral-Remisi, diakses pada 19 Mei 2015.

2 P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.

34.

3 Indonesia, Peraturan Pemerintah Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan,

PP No. 32 Tahun 1999. Pasal 1 angka 6.

4 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, UUD NRI 1945, Pasal 1 ayat (3)

5 Hamid Basyaib, Membela Kebebasan Percakapan tentang Demokrasi Liberal, (Jakarta: Pustaka Alvabet dan

Freedom Institute, 2006), hlm. 145.

6 YLBHI dan PSHK, Panduan Bantuan Hukum di Indonesia: Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan

Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007), hlm. 237.

7 Redaksi Grhatama, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka

Grhtama, 2009), hlm. 179.

8 Indonesia, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 31 Tahun 1999, LN No. 40

Tahun 1999, TLN No. 3874, Pasal 2 ayat (2).

9 Indonesia, Peraturan Pemerintah Perubahan Kedua Atas Perubahan Peraturan Pemerintah No.32 Tahun

1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 99 Tahun 2012, LN No. 225 Tahun 2012, TLN No. 5359, Lihat pasal 34A.

10 Wawancara dengan Prof. Mardjono Reksodiputro pada tanggal 25 April 2012 di FH Universitas Indonesia,

Jakarta oleh Widya Puspa Rini sebagaimana dikutip didalam Widya Puspa Rini S, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi ditinjau dari Sistem Pemasyarakatan, Tesis Magistter Hukum pada Fakultas Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012

11 Harkristuti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi dan

Pemidanaan di Indonesia, Orasi Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia (Depok: 8 Maret 2003) hlm. 15

12 Romli Atmasasmita, Dari Pemenjaraan ke Pembinaan Narapidana, (Bandung: Alumni, 1975), hlm. 72 13 CL Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 25

14 Andy Faisal, Pembalikan Beban Pembuktian dalam Perkara Korupsi, (Medan: USU Press, 2010), hlm. 15 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 38.

16 Andy, Op. Cit, hlm. 2

17 Indonesia, Undang Undang tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 Tahun 2001, LN No. 134 Tahun 2001, TLN No. 4150, Lihat bagian Penjelasan Umum

18 Marshall Clinard dan Richard Quinney, Criminal Behavior Systems: A Typology, (New York: Holt Pinehart

and Winstons Inc, 1973), hlm. 14-15.

19 Arsyad Sanusi, Relasi Antara Korupsi dan Kekuasaan, Jurnal Konstitusi, Volume 6 No. 2, hlm. 83

20 Indonesia, Keputusan Presiden Remisi, Keppres No. 174 Tahun 1999, LN No. 223 Tahun 1999, Lihat pasal

2.

21 Indonesia, Peraturan Pemerintah Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999

Tentang Tata Syarat dan Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, PP No. 99 Tahun 2012, LN Noi. 225 Tahun 2012, TLN No. 5359, lihat pasal 34 B ayat (4)

22 Oscar Ferri, Obral Remisi Untuk Koruptor,

http://news.liputan6.com/read/2193351/obral-remisi-untuk-koruptordiakses pada 21 Mei 2015.

23 Saldi Isra dan Eddy O.S Hiariej, Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi di Indonesia, dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Editor), Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Umum,2009). hlm. 564.

24 Alfira, Modus Operandi di Pidana Khusus di Luar KUHP: Korupsi, Money Laundering, dan Trafficking,

(Jakarta: Raih Asa Sukses, 2004), hlm. 11.

25 Muzni Fauzi, SE. MM, Membongkar Trik Penyimbangan Penggunaan Keuangan Negara, (Jakarta:

Gramediana, 2013), hlm. vi.

26 Robert Klitgaard, Ronald Maclean-Abaroa, dan H. Lindsey Parris, Penuntutn Pemberantasan Korupsi

dalam Pemerintahan Daerah, Ed.1, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 100.

27 Denny Indrayana, Negeri Para Mafioso Hukum di Sarang Koruptor, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2008), hlm. 91.

28

TRIBUNNEWS.COM, ICW: Kerugian Negara Tahun 2014 Akibat Korupsi Rp 5,29 Triliun, http://www.tribunnews.com/nasional/2015/02/17/icw-kerugian-negara-tahun-2014-akibat-korupsi-rp-529-triliun, diakses pada 20 Mei 2015.

29 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana: Reformasi Hukum, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm.

(16)

30 Tina Asmarawati, Pidana dan Pemidanaan dalam Sistem Hukum di Indonesia (Hukum Penitensier),

(Yogyakarta: Deepublish, 2015), hlm. 82.

31 Saldi Isra, Catatan Hukum Saldi Isra Kekuasaan dan Perilaku Korupsi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2009), hlm. 60.

32 Redaksi RAS, Tip Hukum Praktiks: Menghadapi Kasus Pidana, (Depok: Raih Asa Sukses, 2010), hlm. 165. 33 Denny Indrayana, Op.Cit, hlm. 77.

34 Alfred Hutauruk dan Marulan Hutauruk, Garis Besar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 1961),

hlm. 68.

35 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, (Yogyakarta: Liberty, 1986), hlm. 186.

36

Putri Adityowati, Ini Penjelasan Menteri Yasonna Soal Obral Remisi,

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Sistem Penggunaan lahan berpengaruh signifikan (p<0,05) terhadap kepadatan cacing tanah musim penghujan dan berpengaruh

Dari pola pergerakan arus ini dapat diketahui juga pola pergerakan sedimen yang mungkin terjadi .Model hidrodinamika dalam model ini meliputi pemodelan pasang surut, kecepatan arus

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat sekitar hutan lindung berkultur asli Minang dan Mandailing dengan pendidikan rendah (SD), berpendapatan relatif

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat dan penyertaan-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini

Data yang disajikan ini merupakan data pengukuran awal (pre-test), yang digunakan untuk mengetahui kondisi awal subjek yang akan dijadikan sampel dalam penelitian.

Jika persediaan kurang maka perusahaan dapat langsung meminta ke pabrik untuk dikirimkan atau apabila persediaan barang dari supplier lain yang kurang maka akan menghubungi

Tujuan dari perancangan ini adalah merancang infografis tutorial Comic Preparation untuk komikus pemula yang memiliki daya tarik secara visual. Sehingga dapat

Hasil penelitian menyatakan bahwa kemampuan membaca puisi siswa mengalami peningkatan, Pada siklus I pertemuan I rata-rata kemampuan membaca puisi siswa memperoleh