• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENI KARAWITAN SEBAGAI SARANA PENGHAYATAN IMAN UMAT AKAN EKARISTI DI PAROKI SANTO YAKOBUS, BANTUL, YOGYAKARTA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SENI KARAWITAN SEBAGAI SARANA PENGHAYATAN IMAN UMAT AKAN EKARISTI DI PAROKI SANTO YAKOBUS, BANTUL, YOGYAKARTA SKRIPSI"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

SENI KARAWITAN SEBAGAI SARANA PENGHAYATAN IMAN UMAT AKAN EKARISTI

DI PAROKI SANTO YAKOBUS, BANTUL, YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh:

Andreas Ardhana Prihatmoko NIM: 051124020

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

Dengan penuh syukur dan cinta skripsi ini kupersembahkan kepada: Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai,

bapak, ibu yang selalu menyemangatiku, buah hatiku tercinta Vincentia Paska Galuh Palupi,

istriku Bernadeta Reni Meidi Wijayanti,

kedua adikku Bernardinus Narendra Widyasmoro dan Clara Gresswasti Nareswari serta seluruh keluarga

bapak, ibu mertua beserta keluarga besar, alma mater,

(5)

v

“Marilah kepadaKu,

semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”

(6)

vi

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 14 Januari 2011 Penulis,

(7)

vii

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Andreas Ardhana Prihatmoko

Nomor Mahasiswa : 051124020

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

SENI KARAWITAN SEBAGAI SARANA PENGHAYATAN IMAN UMAT

AKAN EKARISTI DI PAROKI SANTO YAKOBUS, BANTUL,

YOGYAKARTA.

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta,

Pada tanggal 14 Januari 2011 Yang menyatakan,

(8)

viii

Skripsi ini berjudul SENI KARAWITAN SEBAGAI SARANA PENGHAYATAN IMAN UMAT AKAN EKARISTI DI PAROKI SANTO YAKOBUS, BANTUL, YOGYAKARTA. Pemilihan judul skripsi ini didasari oleh keprihatinan penulis akan seni budaya yang mulai hilang dan rasa keingintahuan penulis akan seni karawitan yang digunakan oleh Gereja sebagai media penghayatan iman dan sebagai bentuk pelestarian budaya. Banyak paroki khususnya di Yogyakarta yang setia menyelenggarakan Ekaristi dengan iringan seni karawitan terutama pada hari-hari raya Gerejani.

Skripsi ini akan menguraikan tentang seni karawitan sebagai sarana penghayatan iman umat akan Ekaristi. Pembahasan masalah dikaji dengan pengumpulan data-data melalui wawancara lisan tentang gambaran seni karawitan di Paroki Santo Yakobus, Bantul yang diberikan kepada beberapa umat Paroki Santo Yakobus Bantul secara pilihan. Wawancara tersebut meliputi pelaksanaan seni karawitan di dalam Ekaristi di Paroki Santo Yakobus, Bantul dan sumbangan seni karawitan terhadap penghayatan iman umat akan Ekaristi di Paroki Santo Yakobus, Bantul.

Melalui studi pustaka, penulis akan menguraikan seni karawitan dalam inkulturasi Ekaristi. Seni adalah ungkapan ekspresi jiwa manusia dan karawitan berarti rumit, halus, dan merdu, instrumen sebagai pernyataan musikal atau seni karawitan adalah ungkapan ekspresi manusia yang tertuang dalam instrumen yang rumit, halus, dan merdu. Ekaristi berarti syukur atas perbuatan-perbuatan ajaib Allah dalam mencipta dan menyelamatkan umat manusia melalui Yesus Kristus. Seni karawitan di dalam perayaan Ekaristi berfungsi sebagai musik pengiring. Musik di dalam Liturgi merupakan bagian liturgi meriah yang penting karena bertujuan sebagai sarana untuk memuliakan Allah dan menguduskan umat beriman.Seni karawitan sebagai usaha inkulturasi di dalam perayaan Ekaristi khususnya di Jawa mempengaruhi emosi umat di dalam mengikuti perayaan Ekaristi. Sifat dari musik karawitan bersifat ‘kontemplatif’ mengarahkan pada pemusatan perasaan atau konsentrasi. Maka, fungsi seni karawitan dapat dikatakan mendukung umat didalam suasana doa. Ekaristi yang inkulturatif merupakan sarana yang cocok untuk membantu umat menghayati iman kristiani karena umat menyelami iman kristiani melalui budayanya sendiri.

(9)

ix

This thesis is entitled THE TRADITIONAL JAVANESE ORCHESTRA AS A MEANS TO HELP THE PARISHIONERS OF PAROKI SANTO YAKOBUS, BANTUL, YOGYAKARTA. The choosing of this title was based by the author’s concern Javanese traditional arts and cultures which start disappearing and the curiosity to the arts of karawitan (Javanese traditional music instruments) used by the Churches as the faith comprehension media and as the form of culture reservation. There are many churches especially in Yogyakarta which always run Eucharists using karawitan especially in church’s special events.

This thesis discusses karawitan as the medium for the people to live through their faith of the Eucharist. The data were be gathered through interviews to the people about the use of these Javanese musical instruments in Paroki Santo Yakobus Bantul. The samples were some of the parishioners were chosen randomly. The interviews covered the implementation of karawitan in Eucharists in the Parish and its contribution to the people’s faith comprehension.

Through the library study, the author gathered data of this traditional musical orchestra in Eucharist enculturation. Arts is human’s soul expression and this Javanese orchestra is complicated, soft, and gentle which is expressed through the instrument. Where as the Eucharist means a gratitude expression to the God’s magical deeds in creating and saving humans through Jesus Christ. In the Eucharist, the orchestra functions as accompanying instruments. In liturgy, music is an important part of liturgy because it is used as the medium to praise God and to hallow the faithful people. Using the traditional Javanese orchestra as the enculturation affort in Eucharists especially in Java has affected people’s emotion in joining the Eucharists. Karawitan is completative and directs people to centralized the mind or concentration. Therefore, it can be said that karawitan supports the prayer atmosphere. Enculturative Eucharist is a suitable medium to help the people to comprehend Christianity’s faith because they live through the Christianity’s faith using their own culture.

(10)

x

Puji dan syukur kepada Allah Bapa atas segala rahmat, kasih dan bimbingan-Nya yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul SENI KARAWITAN SEBAGAI SARANA PENGHAYATAN IMAN UMAT AKAN EKARISTI DI PAROKI SANTO YAKOBUS, BANTUL, YOGYAKARTA. Skripsi ini disusun atas ketertarikan penulis pada seni karawitan yang sering digunakan dalam perayaan Ekaristi di Paroki Santo Yakobus Bantul. Penyusunan skripsi ini bukan hanya menambah wawasan, pemahaman penulis mengenai seni karawitan dan Ekaristi, tetapi diharapkan dapat memberi masukan baru bagi umat yang melaksanakan perayaan Ekaristi menggunakan seni karawitan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa tersusunnya skripsi ini karena bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis dengan tulus hati mengucapkan banyak terima kasih kepada:

(11)

xi

wali, yang selalu mendampingi dan berkenan memberi masukan, perhatian dan semangat untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Yoseph Kristianto SFK., M.Pd., selaku dosen penguji III, yang telah mendidik dan membimbing penulis dengan segala perhatian selama belajar hingga selesainya skripsi ini.

4. Segenap Staf Dosen Prodi IPPAK, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta yang telah mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini.

5. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan Prodi IPPAK-USD, dan seluruh karyawan lain yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak, Ibu, kedua adikku, dan semua sanak saudara yang memberikan semangat dan dukungan moral, material dan spiritual selama penulis menempuh studi di IPPAK-USD Yogyakarta.

7. Istriku Bernadeta Reni Meidi Wijayanti dan anakku Vincentia Paska Galuh Palupi, yang telah memberikan perhatian, semangat, inspirasi, dan cinta selama ini.

(12)

xii

telah memberikan semangat, perhatian, dan bantuan banyak hal sehingga selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman sehingga penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sumbangan berupa saran dan kritikan dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi siapa saja yang membutuhkannya.

Yogyakarta, 14 Januari 2011 Penulis

(13)

xiii

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vii

ABSTRAK ... viii

B. Pelaksanaan Perayaan Ekaristi di Paroki Santo Yakobus Bantul ... 10

1. Pelaksanaan Ekaristi Secara Umum di Gereja Santo Yakobus Bantul ... 10

a. Misa Harian ... 10

(14)

xiv

1. Sumbangan Seni Karawitan dalam Penghayatan Iman Umat Paroki Santo Yakobus Bantul ... 20

(15)

xv

C. Seni Karawitan dalam Usaha Inkulturasi Ekaristi ... 57

1. Inkulturasi dalam Gereja ... 57 UNTUK MENINGKATKAN PENGHAYATAN IMAN UMAT DI PAROKI SANTO YAKOBUS BANTUL ... 70

A. Latar Belakang Pemilihan Program ... 70

(16)
(17)

xvii

Lampiran 9: Notasi Gamelan Lagu-lagu Usulan Program Ekaristi

(18)

xviii A. Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan

kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, h. 8.

B. Singkatan Dokumen Resmi Gereja CD

Christus Dominus, Dekrit Konsili Vatikan II tentang Tugas

Pastoral para Uskup dalam Gereja, 28 Oktober 1965.

Gaudium et Spes, Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang

Gereja dam Dunia Modern, 7 Desember 1965.

Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang

Gereja, 21 November 1964.

Presbyterorum Ordinis, Dekrit Konsili Vatikan II tentang

Pelayanan dan Kehidupan para Imam, 7 Desember 1965.

Sacrosanctum Concilium, Konstitusi Konsili Vatikan II tentang

(19)

xix

Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Kidung Adi, buku doa dan nyanyian diterbitkan oleh Pusat Musik

(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Era globalisasi memberi banyak pengaruh terhadap segala tatanan kehidupan manusia, termasuk kebudayaan. Kebudayaan adalah suatu keseluruhan kompleks yang terbentuk di dalam sejarah dan diteruskan dari angkatan ke angkatan melalui tradisi yang mencakup organisasi sosial, ekonomi, agama, kepercayaan, kebiasaan, hukum, seni, teknik, dan ilmu pengetahuan.

Kebudayaan menunjuk pada relasi hidup manusia, misalnya: kebersamaan, kerja sama, dan media yang mengungkapkan diri dalam acara bersama. Manusia tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan, lebih-lebih dari kebudayaan lokal atau tradisional di mana seseorang itu berada. Oleh sebab itu budaya tradisi selalu mewarnai Gereja-gereja di Indonesia. Dalam konstitusi pastoral Gaudium et Spes art 53 kebudayaan dideskripsikan sebagai berikut:

Kebudayaan dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa-raganya. ... Akhirnya di sepanjang masa ia mengungkapkan, menyalurkan, dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani serta aspirasi-aspirasinya yang besar melalui karya-karyanya, supaya berfaedah bagi kemajuan banyak orang, bahkan segenap manusia. ... Begitulah dari tata hidup yang diwariskan muncullah pusaka nilai-nilai khas bagi setiap masyarakat manusia.

(21)

seperti seni karawitan, tari, wayang, ketoprak, berkembang sedemikian rupa sehingga media penghayatan iman Gereja di tanah jawa (Gereja Lokal) mengalami proses inkulturasi.

Meskipun sudah tidak seperti saat berdiri dan berkembangnya Gereja di Jawa, dewasa ini masih banyak paroki khususnya di Yogyakarta yang setia menyelenggarakan Ekaristi dengan iringan seni karawitan terutama pada hari-hari raya. Hal ini menggambarkan bahwa ada kerinduan untuk terus melestarikan, menghidupkan, dan bahkan mengembangkan budaya jawa khususnya seni karawitan agar tetap dapat menjadi media penghayatan iman umat.

Seni karawitan dalam pandangan Gereja Katolik ditempatkan sebagai pengiring perayaan liturgi yang membawa pesan keagamaan, sehingga umat lebih menghayati di dalam perayaan liturgi. Alunan musik karawitan yang khas menggugah hati umat untuk dapat mendekatkan diri saat berdialog langsung dengan Tuhan, serta mempertegas suasana upacara liturgi ekaristi.

(22)

B. Rumusan Permasalahan

1. Sejauh mana penghayatan iman umat Paroki Santo Yakobus, Bantul akan Ekaristi melalui Ekaristi menggunakan seni karawitan?

2. Apakah peranan seni karawitan dalam inkulturasi Ekaristi?

3. Bagaimana Ekaristi inkulturatif dapat membantu umat Paroki Santo Yakobus, Bantul menghayati iman Kristiani?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sejauh mana penghayatan iman umat Paroki Santo Yakobus, Bantul akan Ekaristi melalui Ekaristi menggunakan seni karawitan. 2. Untuk melihat bagaimana peranan seni karawitan dalam inkulturasi Ekaristi. 3. Untuk melihat bagaimana Ekaristi inkulturatif dapat membantu umat Paroki

Santo Yakobus, Bantul menghayati iman Kristiani.

4. Penulisan skripsi ini sebagai salah satu persyaratan kelulusan sarjana Strata 1 (S1) Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

D. Manfaat Penulisan 1. Bagi Gereja

(23)

2. Bagi Umat

Umat terdorong untuk semakin mencintai budayanya dan mendalami imannya kepada Yesus. Umat juga memperoleh wawasan tentang seni karawitan dan dapat melestarikan seni karawitan.

E. Metode Penulisan

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode deskriptif analisis yaitu menguraikan kenyataan konkret umat pada bab II, memaparkan idealitasnya pada bab III dan menganalisa realitasnya pada usulan program dalam keterkaitannya dengan sumbangan seni karawitan terhadap penghayatan iman umat. Data-data diperoleh melalui wawancara lisan yang diberikan kepada umat Paroki St. Yakobus Bantul dan diolah dengan studi pustaka. Wawancara dilakukan oleh penulis dengan mengambil sejumlah 23 umat yang terdiri dari 30 % umat pengurus dewan paroki, 30 % orang tua, 30 % pemuda-pemudi katolik (mudika), dan 10 % remaja.

F. Sistematika Penulisan

Judul dari skripsi ini adalah SENI KARAWITAN SEBAGAI SARANA PENGHAYATAN IMAN UMAT AKAN EKARISTI DI PAROKI SANTO YAKOBUS, BANTUL, YOGYAKARTA. Untuk menguraikan judul tersebut, maka skripsi ini dipaparkan oleh penulis dalam lima bab yaitu sebagai berikut:

(24)

Bab II terdiri dari tiga bagian. Bab ini membahas tentang gambaran umum sumbangan seni karawitan terhadap penghayatan umat dalam Ekaristi di Paroki Santo Yakobus, Bantul. Bagian pertama membahas gambaran umum Paroki Santo Yakobus yang meliputi letak geografis Paroki Santo Yakobus, Bantul dan situasi umat Paroki Santo Yakobus, Bantul. Bagian kedua membahas tentang pelaksanaan perayakan Ekaristi di Paroki Santo Yakobus yang meliputi pelaksanaan Ekaristi secara umum di Gereja Santo Yakobus, Bantul dan pelaksanaan Ekaristi menggunakan seni karawitan di Paroki Santo Yakobus, Bantul. Bagian terakhir membahas tentang seni karawitan dalam penghayatan iman umat di Paroki Santo Yakobus, Bantul yang terdiri dari sumbangan seni karawitan dalam penghayatan iman umat dan seni karawitan sebagai salah satu sarana media penghayatan iman.

Bab III terdiri dari tiga bagian. Bagian ini membahas tentang seni karawitan dalam inkulturasi Ekaristi. Pada bagian pertama menguraikan gambaran umum pengertian seni karawitan diantaranya: pengertian seni, pengertian karawitan, sejarah seni karawitan, fungsi seni karawitan, dan unsur-unsur seni karawitan. Bagian kedua membahas pengertian Ekaristi dalam Gereja yang terdiri dari arti Ekaristi, tujuan Ekaristi, struktur Ekaristi, dan sikap-sikap di dalam Ekaristi. Bagian terakhir membahas tentang seni karawitan dalam usaha inkulturasi Ekaristi yang terdiri dari inkulturasi dalam Gereja, seni karawitan di dalam Gereja, inkulturasi dalam Liturgi Ekaristi, dan contoh Ekaristi yang menggunakan seni karawitan.

(25)

pemilihan program, alasan pemilihan tema dan tujuan, rumusan tema dan tujuan, penjabaran program, petunjuk pelaksanaan program, dan contoh panduan Ekaristi inkulturatif.

(26)

BAB II

GAMBARAN UMUM SENI KARAWITAN SEBAGAI SARANA PENGHAYATAN IMAN UMAT DALAM EKARISTI DI PAROKI SANTO

YAKOBUS, BANTUL, YOGYAKARTA

Banyak cara umat untuk menghayati iman di dalam perayaan Ekaristi. Ekaristi menjadi milik umat apabila Ekaristi benar-benar dekat dan dirindukan oleh umat. Ekaristi yang dekat dengan umat adalah Ekaristi yang memiliki unsur-unsur kehidupan umat atau sesuai dengan situasi dan kondisi umat. Salah satu cara tersebut menggunakan media seni, misalnya: seni karawitan. Seni karawitan sering digunakan Paroki Santo Yakobus Bantul untuk mendukung perayaan Ekaristi dan sebagai media umat untuk menghayati Ekaristi. Seni karawitan dalam Ekaristi di Paroki Santo Yakobus Bantul menjadi suatu ciri khas tersendiri yang sering dipakai oleh umat.

A. Gambaran Umum Paroki Santo Yakobus Bantul

Paroki Santo Yakobus Bantul merupakan salah satu paroki tua di Yogyakarta. Paroki ini berdiri pada tahun 1934, dan terletak di pusat kota kabupaten Bantul, dengan alamat di Jalan MGR. Soegiyopranoto No. 1 tepatnya di dusun Klodran, Bantul Warung RT 08, Bantul. Luas bangunan gedung gereja Santo Yakobus Bantul adalah 1.188 m2 dan luas tanah 8.099 m2 (Paroki Santo

(27)

1. Letak Geografis Paroki Santo Yakobus Bantul

Batas-batas wilayah Paroki Santo Yakobus Bantul adalah sebagai berikut (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2009: 62):

- sebelah Utara : Paroki Pugeran

- sebelah Selatan : Paroki Ganjuran

- sebelah Timur : Paroki Administratif Bandung Wonosari

- sebelah Barat : Paroki Sedayu dan Paroki Wates

Paroki Santo Yakobus Bantul meliputi 7 kecamatan, yaitu kecamatan Bantul, Sewon, Jetis, Dlingo, Imogiri, Pajangan, Pandak, dan 1 kelurahan brosot dari kabupaten Kulon Progo.

Secara geografis wilayah Paroki Santo Yakobus Bantul meliputi kecamatan Dlingo, Imogiri, Jetis, Bantul, Sewon bagian selatan, Pajangan, Pandak bagian utara, Srandakan bagian utara, dan satu kelurahan dari Kabupaten Kulon Progo yaitu kelurahan Brosot. Batas-batas wilayah Paroki Santo Yakobus Bantul secara geografis adalah sebagai berikut [Lampiran 1: (1)]:

- sebelah Utara : kelurahan Sedayu, Sewon bagian utara, dan kelurahan Pleret.

- sebelah Selatan : Samudra Hindia, kelurahan Srandakan bagian selatan, Pandak bagian selatan, Pundong, dan kabupaten Gunung Kidul.

- sebelah Timur : kabupaten Gunung Kidul.

(28)

2. Situasi Umat Paroki Santo Yakobus Bantul

Berdasarkan data statistik per September 2009 jumlah umat Paroki Santo Yakobus Bantul terdiri dari 1.291 KK yang meliputi 3.948 jiwa (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2009: 60).

Untuk memudahkan di dalam pengkoordinasian umat, Paroki Santo Yakobus Bantul dibagi menjadi 7 Wilayah: Wilayah Santa Maria Tak Bernoda, Cepit; Wilayah Santa Maria Assumta, Melikan; Wilayah Santa Maria Immaculatae Cordis, Bantul Krajan; Wilayah Santo Yusuf, Palbapang; Wilayah Brayat Minulyo, Nogosari; Wilayah Fransiscus Xaverius, Gabusan; dan Wilayah Santa Theresia, Brosot dan 2 Stasi yaitu Stasi Santa Maria Rosari, Gesikan dan Stasi Santa Maria Mater Dei, Imogiri [Paroki Santo Yakobus Bantul, 2009: 60; bdk. Lampiran 1: (1)].

Sebagian besar umat Paroki Santo Yakobus Bantul adalah orang asli suku Jawa dengan bahasa Jawa sebagai pengantar kehidupan sehari-hari. Umat Paroki Santo Yakobus Bantul memiliki ciri masyarakat ‘urban yang tanggung’, artinya: masyarakat yang bertempat tinggal bukan di kota tetapi bukan juga di desa. Kondisi sosial ekonomi umat bervariasi seperti guru, petani, buruh, polisi, dan lain-lain (Deparo Santo Yakobus Bantul, 2010: 3).

(29)

dalam kehidupan bermasyarakat, seperti pada waktu gempa bumi 2006 umat Paroki Santo Yakobus Bantul ikut membantu korban gempa bumi tanpa membedakan agama.

B. Pelaksanaan Perayaan Ekaristi di Paroki Santo Yakobus Bantul

Paroki Santo Yakobus Bantul adalah sebuah paroki yang memusatkan kehidupan iman umat di dalam Ekaristi. Umat Paroki ini memiliki pola hidup sebagai jemaat yang berhimpun untuk merayakan Ekaristi. Semua kegiatan di Paroki selalu menggunakan Ekaristi sebagai puncak kegiatannya.

1. Pelaksanaan Ekaristi Secara Umum di Gereja Santo Yakobus Bantul Perayaan Ekaristi di gereja Paroki Santo Yakobus Bantul dilaksanakan setiap hari. Perayaan Ekaristi di gereja Santo Yakobus Bantul menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.

Dalam perayaan Ekaristi di gereja Paroki Santo Yakobus Bantul, umat sekarang merasakan senang karena gedung gereja lama yang rusak akibat gempa telah dibangun dan diresmikan dengan Ekaristi Syukur pada 27 Desember 2009 [Paroki Santo Yakobus Bantul, 2009: 107-130; bdk. Lampiran 3: (3)].

a. Misa Harian

(30)

lagu pembuka dan lagu penutup. Tuhan Kasihanilah Kami, Kemuliaan, Kudus, Bapa Kami, Anak Domba Allah tidak dinyanyikan tetapi didoakan dan Lagu Komuni tidak ada. Bacaan yang digunakan hanya dua bacaan yaitu bacaan pertama dan Injil, untuk mazmur tanggapan dibacakan. Homili Imam sangat singkat berupa peneguhan. Ekaristi harian ditutup dengan doa Malaikat Tuhan (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 26).

b. Misa Hari Minggu

Misa Minggu di gereja Paroki Santo Yakobus Bantul dilaksanakan pada Sabtu dan Minggu. Misa Sabtu dilaksanakan pukul 16.00 WIB dengan menggunakan bahasa Jawa, Misa Minggu pagi pertama dilaksanakan pukul 05.30 WIB dengan menggunakan bahasa Indonesia, dan Misa Minggu ke dua dilaksanakan pukul 07.30 WIB menggunakan bahasa Indonesia (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 26). Jumlah umat yang hadir mengikuti misa Minggu antara 800-1500 orang: Misa Sabtu sore antara 800-1000 orang, Misa Minggu pertama antara 800-1000 orang dan Misa Minggu ke dua antara 1200-1500 orang.

Umat Paroki Santo Yakobus Bantul memaknai pentingnya mengikuti perayaan Ekaristi sebagi suatu kebutuhan dan ungkapan syukur. Beberapa umat masih menganggap Ekaristi khususnya Ekaristi hari minggu sebagai suatu rutinitas belaka kewajiban orang katolik [Lampiran 3: (3)].

c. Misa Khusus

(31)

juga melaksanakan misa-misa khusus. Perayaan Ekaristi di Gereja Paroki Santo Yakobus Bantul secara khusus adalah sebagai berikut:

1) Misa Jumat Pertama

Misa jumat pertama dilaksanakan pada hari jumat minggu pertama dalam bulan pukul 16.00 WIB, pada saat jumat pertama misa pagi ditiadakan. Misa jumat pertama menggunakan bahasa Indonesia. Jumlah umat yang datang pada misa harian ± 800 orang.

Secara keseluruhan pelaksanaan perayaan Ekaristi jumat pertama sama dengan pelaksanaan Ekaristi yang lain. Pelaksanaan perayaan Ekaristi jumat pertama yang berbeda dengan perayaan Ekaristi lain adalah adanya astuti atau penghormatan pada sakramen Maha Kudus pada akhir perayaan Ekaristi (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 27).

2) Misa Hari Raya

Misa hari raya adalah perayaan-perayaan Ekaristi hari raya yang telah terjadwal dalam penanggalan Liturgi, seperti Paska, Natal, Kenaikan Tuhan, Rabu Abu, Kamis Putih. Pelaksanaan Misa hari raya di gereja Santo Yakobus Bantul selalu meriah karena dipersiapkan khusus dan dengan lagu-lagu yang diolah secara khusus. Umat yang hadir dalam perayaan misa hari raya sangat banyak ± 2.000 orang.

3) Misa Yakobusan

(32)

Yakobus Bantul, yang dilaksanakan pada minggu terakhir bulan Juli setiap tahun. Pada Misa Yakobusan selalu menggunakan bahasa Jawa dalam perayaan Ekaristinya dan menggunakan seni karawitan sebagai pengiring koornya. Selain itu, dalam misa Yakobusan sangat kental sekali dengan nuansa Jawa. Umat yang hadir saat misa Yakobusan sangat banyak ± 4.000 orang (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 1).

4) Misa Pelajar

Misa pelajar dilaksanakan oleh para pelajar Katolik di kabupaten Bantul di bawah organisasi Paguyuban Siswa-siswi Kabupaten Bantul (PASIKA). Misa pelajar dilaksanakan setiap bulan sekali tetapi tidak terjadwal hari dan minggunya. Misa pelajar menggunakan lagu-lagu yang bersifat meriah.

5) Misa Lansia

Misa lansia adalah misa yang diperuntukkan bagi umat yang berusia lanjut. Misa lansia dilaksanakan satu bulan sekali yaitu setiap hari Kamis kliwon pukul 15.00 WIB. Jumlah yang hadir dalam misa lansia sangat sedikit ± 50 orang. Misa lansia dilaksanakan di bawah organisasi Paguyuban Santa Monika (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 27).

2. Pelaksanaan Ekaristi menggunakan Seni Karawitan di Paroki Santo Yakobus Bantul

(33)

menggunakan seni karawitan dan terjadwal adalah pada ulang tahun Gereja atau oleh umat Paroki Santo Yakobus Bantul disebut Yakobusan. Selain pada hari ulang tahun Gereja, penggunaan seni karawitan dalam perayaan Ekaristi pada Ekaristi hari besar seperti natal dan paska. Agenda lain yang terjadwal penggunaan seni karawitan adalah pada jalan salib terakhir masa pra paska dan pada tuguran setelah Ekaristi kamis putih.

a. Seni Karawitan di Paroki Santo Yakobus Bantul

Paroki Santo Yakobus Bantul memiliki seperangkat gamelan yang secara terbuka boleh digunakan untuk kegiatan-kegiatan di seputar paroki. Dengan fasilitas dan dorongan dari Romo Paroki, umat memiliki semangat untuk belajar karawitan.

Paroki Santo Yakobus Bantul memiliki grup pengrawit atau penabuh gamelan yang bernama ‘Santya Laras’ sebagai grup inti pengrawit di Paroki Santo Yakobus Bantul. Grup pengrawit ini bergerak di bawah sub seksi Musik Liturgi dewan Paroki Santo Yakobus Bantul. Grup pengrawit inti memiliki anggota dari berbagai lingkungan yang bertugas mengiringi semua kegiatan paroki yang menggunakan seni karawitan [Lampiran 3: (7)].

(34)

b. Tata Laksana Ekaristi dengan Karawitan

Awal tahun 2010, Paroki Santo Yakobus Bantul mulai memperbaiki susunan tata perayaan Ekaristi yang sesuai dengan khaidah-khaidah yang seharusnya [Lampiran 3: (3)].

Sebagian besar musik karawitan dalam Ekaristi di Paroki Santo Yakobus Bantul bersumber dari buku Kidung Adi dan yang diolah oleh Bapak RB. Danurdono dan Bapak FA. Didik Supriantara.

1) Lagu Pembuka

Lagu pembuka dari Kidung Adi nomor 240, Amba Asih Mring Pangeran. Lagu ini menggunakan gending ladrang irama satu, irama laras pelog pathet nem [Lampiran 4: (9)].

Pada saat lagu pembukaan ini, umat berdiri dan menyambut perarakan Imam, Misdinar, dan Prodiakon. Lagu pembuka ini mengajak umat untuk menghadap Allah, meminta Allah agar selalu mendampingi seluruh umat selamanya (PUMR 47; bdk. Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 1)

2) Tuhan Kasihanilah Kami

Lagu Tuhan Kasihanilah Kami menggunakan lagu Gusti Nyuwun Kawelasan dari Kidung Adi nomor 173. Lagu ini menggunakan gending laras

pelog barang [Lampiran 4: (9)]. Intro pada lagu ini menggunakan instrumen

(35)

3) Kemuliaan

Lagu kemuliaan yang dipakai adalah Kamulyan dari Kidung Adi nomor 183. lagu ini menggunakan gending laras pelog barang dan lagu Kamulyan dinyanyikan langsung tanpa berhenti dari lagu Gusti Nyuwun Kawelasan [Lampiran 4: (9)].

Lagu Kamulyan mengungkapkan suatu kegembiraan dan pujian umat atas kemuliaan Allah. Kemuliaan Allah terlihat dalam diri Yesus Kristus yang wafat dan bangkit untuk menebus dosa manusia. Sebagai wujud kegembiraan dan pujian, umat berdiri saat menyanyikan lagu kamulyan (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 1).

4) Antar Bacaan

Lagu antar bacaan diambil dari Mazmur tanggapan, tetapi sudah digubah oleh Bapak FA. Didik Supriantara dan syairnya dibuat oleh Bapak Petrus Suyadi. Lagu antar bacaan menggunakan Kidung Panglimbang menggunakan laras pelog nem [Lampiran 4: (10)]. Ayat-ayat Kidung Panglimbang dinyanyikan dengan

pangkur [Lampiran 5: (14)].

Kidung Panglimbang mengungkapkan iman umat yang sangat dalam

bahwa umat yang selalu menyandarkan hidup hanya kepada Allah. Umat duduk saat menyanyikan lagu ini (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 4).

5) Alleluya

(36)

Asmorondono [Lampiran 5: (14)]. Lagu Alleluya menggambarkan iman umat yang selalu beriman akan Yesus Kristus sebagai Sang penebus. Umat berdiri saat menyanyikn lagu Alleluya (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 5).

6) Persembahan

Lagu persembahan menggunakan lagu Anglarapaken Pisungsung dari Kidung Adi nomor 652. lagu persembahan ini menggunakan laras pelog nem

[Lampiran 4: (10)]. Lagu persembahan ini menggambarkan wujud syukur umat dengan mempersembahkan segala jiwa dan raga umat. Wujud syukur ini dinyatakan dengan sikap berdiri (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 9).

7) Kudus

Lagu kudus menggunakan lagu Suci dari Kidung Adi nomor 218. lagu ini menggunakan irama ketawang laras pelog barang [Lampiran 4: (11)]. Lagu Suci menyatakan pujian umat Allah atas kedatanganNya dalam diri Yesus Kristus. Pujian dan syukur dinyatakan umat dengan berdiri (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 10).

8) Anamnese

(37)

9) Bapa Kami

Lagu Bapa Kami menggunakan lagu Rama Kawula dari Kidung Adi nomor 140. lagu Rama Kawula ini menggunakan irama pelog nem, garap ladrang [Lampiran 4: (11)]. Lagu Bapa Kami ini merupakan doa pemersatu umat untuk mohon rejeki. Karena lagu Bapa Kami merupakan lagu pemersatu, maka umat menyanyikan lagu ini dengan berdiri (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 10).

10) Salam Damai

Lagu salam damai menggunakan lagu Ayem Tentrem dengan gendhing lancaran pelog barang [Lampiran 4: (12)]. Lagu ini memiliki sifat yang meriah

dan membuat hati gembira dan damai. Lagu Ayem Tentrem mengungkapkan cinta kasih antar umat yang bersamaan dengan lagu umat saling berjabat tangan.

11) Anak Domba Allah

Lagu Anak Domba Allah menggunakan lagu Cempening Allah dari Kidung Adi nomor 228. Lagu ini menggunakan laras pelog pathet barang,

ketawang dados [Lampiran 4: (12)]. Lagu Cempening Allah mengungkapkan doa

umat yang memohon kepada Allah akan belas kasihNya dan memohon kedamaian. Wujud kepasrahan umat dalam memohon kepada Allah dinyatakan oleh umat dengan berlutut saat menyanyikan lagu Anak Domba Allah (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 10).

12) Komuni

(38)

Pusat Musik Liturgi, hasil lokakarya Yogyakarta tahun 2002. Lagu ini menggunakan bentuk kemuda pelog barang [Lampiran 4: (12)]. Lagu Sabda Rahayu berisi tentang Sabda bahagia dari Mat 5:3-12.

13) Lagu Penutup

Lagu penutup menggunakan lagu dari Pusat Musik Liturgi, hasil lokakarya Yogyakarta tahun 2002. lagu penutup yang digunakan berjudul Wasana Adi. Lagu Wasana Adi menggunakan laras pelog pathet nem [Lampiran 4: (14)].

Lagu ini berisi peneguhan yang diambil dari Mazmur 30:10-15. Saat menyanyikan lagu Wasana Adi umat berdiri menghantar arak-arakan misdinar, prodiakon, dan imam (Paroki Santo Yakobus Bantul, 2010: 12).

C. Seni Karawitan dalam Penghayatan Iman Umat di Paroki Santo Yakobus Bantul

Seni karawitan bagi umat Paroki Santo Yakobus Bantul dipahami sebagai seni musik orang Jawa atau seni musik tradisional Jawa yang memiliki lagu ciri khas Jawa. Paroki Santo Yakobus Bantul sendiri adalah paroki yang sebagian besar umat adalah asli orang Jawa, dengan demikian seni karawitan memiliki prioritas tersendiri di hati umat Paroki Santo Yakobus Bantul [Lampiran 3: (5)-(6)].

(39)

1. Sumbangan Seni Karawitan dalam Penghayatan Iman Umat Paroki Santo Yakobus Bantul

Seni Karawitan di dalam perayaan Ekaristi memiliki ruang tersendiri di hati umat Paroki Santo Yakobus Bantul. Bagi umat Paroki Santo Yakobus Bantul baru mendengarkan alunan musik yang dihasilkan seni karawitan dapat membuat rileks dan menentramkan hati [Lampiran 3: (6)].

Sifat seni karawitan yang menentramkan hati membantu umat mempermudah terciptanya suasana doa yang sakral di dalam perayaan Ekaristi [Lampiran 3: (4)]. Adanya seni karawitan di dalam perayaan Ekaristi di Paroki Santo Yakobus Bantul menjadikan umat lebih khusuk dan bersemangat dalam mengikuti Ekaristi dan menjadikan Ekaristi sebagai suatu kebutuhan [Lampiran 3: (8)].

2. Seni Karawitan sebagai Salah Satu Sarana Penghayatan Iman di Paroki Santo Yakobus Bantul

Seni Karawitan adalah salah satu sarana media penghayatan iman umat di Paroki Santo Yakobus Bantul karena selain seni karawitan masih banyak media yang lain. Seni karawitan dibandingkan dengan musik yang lain memberikan kesan yang berbeda terlebih untuk suasana walaupun beberapa orang berpendapat bahwa seni karawitan menjadikan Ekaristi menjadi semakin lama [Lampiran 3: (5)].

(40)

[Lampiran 3: (7)]. Selain itu juga seni karawitan sesuai dengan situasi dan kondisi umat karena umat paroki Santo Yakobus Bantul adalah orang asli suku Jawa dan hal ini terbukti dengan kehadiran umat yang banyak apabila Ekaristi menggunakan seni karawitan [Lampiran 3: (8)].

Seni karawitan dalam perayaan Ekaristi di Paroki Santo Yakobus Bantul bertujuan sebagai pengiring lagu-lagu di dalam Ekaristi. Selain itu banyak umat yang berpendapat bahwa sifat musik yang dihasilkan menciptakan suasana keheningan yang dapat membantu umat masuk ke dalam suasana doa. Faktor penghambat pelaksanaan Ekaristi menggunakan seni karawitan di Paroki Santo Yakobus Bantul adalah jumlah umat yang bisa memainkan alat musik gamelan sebagai unsur seni karawitan sedikit, dengan demikian para pemain seni karawitan hanya itu-itu saja. Faktor penghambat yang lain adalah kekurang perhatian dewan paroki dengan seni karawitan juga persepsi umat bahwa penggunaan seni karawitan di dalam Ekaristi membuat perayaan Ekaristi menjadi lama karena lagunya panjang-panjang. Tetapi, persepsi tersebut hilang dengan sendirinya karena banyak umat yang merasa senang dengan penggunaan seni karawitan di dalam Ekaristi karena Ekaristi menggunakan seni karawitan terlihat meriah dan gayeng [Lampiran 3: (4)]. Hal yang mendukung pelaksananaan Ekaristi

(41)

BAB III

SENI KARAWITAN DALAM INKULTURASI EKARISTI

Dewasa ini, kebudayaan dan seni yang bersifat kedaerahan atau tradisional banyak dijumpai di dalam perayaan Ekaristi. Seni-seni tradisional yang masuk ke dalam perayaan Ekaristi sering dinamakan inkulturasi Ekaristi. Salah satu kesenian tersebut adalah seni karawitan yang digunakan dalam tradisi Jawa sebagai usaha inkulturasi dalam Perayaan Ekaristi.

A. Pengertian Seni Karawitan

Seni Karawitan terdiri dari dua kata: ‘seni’ dan ‘karawitan’. ‘Seni’ dan ‘karawitan’ sendiri memiliki arti dan makna tersendiri juga. Seni Karawitan memiliki sejarah yang panjang sehingga dapat dipelajari dan bermanfaat. Seni karawitan bukan berarti sesuatu yang memiliki unsur seni dan karawitan, tetapi memiliki unsur-unsur tersendiri yang membentuk seni karawitan.

1. Pengertian Seni

Menurut Padma Puspita (2010: 1), kata ‘seni’ dari segi etimologis berasal dari bahasa Belanda, ‘genie’. ‘Genie’ ini berasal dari bahasa Latin ‘genius’, yang menunjuk orang yang sejak dari kelahiran mempunyai kemampuan yang menakjubkan. Berdasarkan arti seni dari segi etimologis tersebut, Padma Puspita memberi pengertian seni sebagai hasil dari proses kreatif yang dilakukan oleh manusia.

(42)

made a sacrament. Art is finite human expression made infinite by love”. Maksud

pengertian tersebut adalah bahwa seni adalah keindahan yang diangkat ke taraf sakramen dan manusia yang terbatas namun menjadi tak terbatas oleh cinta. Keindahan seni diangkat ke taraf sakramen yang mengacu pada sifat mencipta keindahan dalam seni dan ikut ambil bagian dalam anugerah Tuhan,karena Tuhan pemilik keindahan sejati. Keindahan di dalam seni merupakan bagian dari kebaikan dan kebenaran. Keindahan, kebaikan, dan kebenaran merupakan tiga serangkai yang bersumber dari Tuhan, maka ketiga hal tersebut tidak boleh dipisahkan. Seni adalah ungkapan atau ekspresi jiwa manusia bukan binatang. Binatang membangun sarang berdasar insting yang telah diprogram oleh sang Pencipta dalam diri binatang. Sedangkan manusia berbeda, Ia tidak semata dikendalikan oleh insting, melainkan oleh akal budi dan diberi daya kreatif. Seni yang dimiliki manusia merupakan ungkapan dari jiwanya. Seni adalah ekspresi manusia yang terbatas, terbatas oleh bahasa, oleh cara gambar, oleh budaya, oleh kebiasaan, dan oleh zaman. Namun, seni menjadi tidak terbatas oleh cinta maksudnya bahwa di dalam memahami seni haruslah ada rasa mencintai seni tersebut.

2. Pengertian Karawitan

(43)

sebagai unsur dari karawitan tidak dapat dipukul kuat-kuat tetapi membutuhkan sentuhan yang halus dan penuh perasaan secara berirama sehingga menciptakan keindahan bunyi yang selaras. Pengertian ini selaras dengan pengertian karawitan yang dipaparkan oleh Indra Munawar (2010: 2). Karawitan adalah dunia yang manis, halus, penuh rasa, indah, dan penuh pesona. Indra Munawar (2010: 2) juga menyebutkan dalam karawitan terdapat aspek-aspek kemanusiaan. Satu penabuh tidak akan mungkin berdiri sendiri, melainkan secara ritmis saling mendukung dan mewujudkan kepaduan yang mapan.

Karawitan menurut Purwadi dan Afendy Widayat (2006: 30) merupakan seperangkat instrumen sebagai pernyataan musikal dan merupakan seni suara yang menggunakan laras (nada atau tangga nada) slendro dan pelog baik suara manusia atau suara instrumen gamelan. Seni gamelan Jawa mengandung nilai-nilai historis dan filosofis bagi bangsa Indonesia. Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral, dan spiritual. Pengertian tersebut selaras dengan pengertian karawitan menurut Martopangrawit (1975: 1) yang mengatakan bahwa karawitan adalah seni suara vokal dan instrumen yang mempunyai laras pelog dan slendro.

3. Sejarah Seni Karawitan

(44)

a. Sejarah Musik Jawa

Seni karawitan yang dikenal di kraton-kraton Jawa Tengah, memiliki dua laras (tangga nada): pelog dan slendro tidak diketemukan dalam kehidupan musik

periode Hindu-Jawa. Baru pada abad XIX notasi yang berlaraskan slendro dan pelog muncul (Sumarsan, 2003: 24; bdk. Lindsay, 1991: 206).

Mempelajari sejarah karawitan berarti pula mempelajari sejarah musik di Jawa. Seni karawitan disebut juga dengan kebudayaan mestizo (kebudayaan yang terbentuk berdasarkan berbagai pengaruh yang berlainan). Musik karawitan yang ada sekarang terjadi karena pengaruh dari elemen-elemen budaya Hindu, Budha, India, Islam karena interaksi antara Jawa, kolonialisme Eropa, dan Cina peranakan (Sumarsan, 2003: 3-9).

Sejarah musik di Jawa dapat ditelusuri dari periode awal kerajaan Hindu Jawa Tengah pada abad VIII sampai dengan abad X yang dapat dilihat dari beberapa kasusastraan dan relief-relief candi. Contoh kasusastraan tersebut adalah puisi Wangbang Wideya ditulis di Bali pada abad XVI, puisi kakawin abad XIV kakawin Negarakertagama, puisi Bharatayudha pada abad X. Kasusastraan tersebut memunculkan alat musik awal seperti salukat (sebuah alat musik dengan bilah kuningan yang dimungkinkan sebagai bentuk awal saron, salah satu unsur alat musik gamelan), samahepas (alat ini sekarang belum dapat diidentifikasi), merdangga (genderang upacara), salunding (cikal bakal gender, salah satu unsur

alat musik gamelan), gong-gong kecil, redep (rebana), guntang (alat musik petik dari bambu sampai sekarang masih ada di Bali), kamanak (cikal bakal simbal atau kecrek) (Sumarsam, 2003: 19-20).

(45)

suling, gong-gong kecil, kemanak (instrumen dari perunggu atau besi yang berbentuk seperti buah pisang), dan salunding. Beberapa waktu sesudahnya muncul keanekaragaman alat musik, mungkin tergantung jenis wayang yang dipertunjukkan atau merupakan perubahan ujud alat musik (Sumarsam, 2003: 17-22). Alat musik awal dapat dilihat pada relief candi Borobudur, misalnya: gambar harpa, alat musik seperti organ, dan berbagai macam instrumen dari kawat yang hampir punah sama sekali dalam periode sejarah Jawa. Gambar dalam relief jelas menunjukkan instrumen musik India, dan beberapa diantaranya dianggap sama dengan kethuk dan saron masa kini (Sumarsam, 2003: 358-359).

Transmisi kebudayaan India mulanya dikonsentrasikan pada tingkat kraton, terutama melalui bahasa dan ekspresi kasusastraan yang secara dekat berhubungan dengan upacara-upacara kraton kemudian secara berangsur orang Jawa melokalisir dan mempopulerkannya dalam masyarakat umum (Sumarsam, 2003: 7).

Pada abad XV, ekspansi Islam mempengaruhi juga musik di Jawa, tetapi sebenarnya pertemuan dan interaksi antara kebudayaan Hindu-Jawa dan Islam telah terjadi sebelumnya melalui perdagangan (Sumarsam, 2003: 25). Alat musik yang diduga dari kebudayaan Islam atau Timur Tengah adalah rebab, yang awalnya dengan tiga kawat yang bernama samepa (Sumarsam, 2003: 361).

(46)

Belanda (Sumarsam, 2003: 27). Perkembangan musik disebabkan oleh raja yang menyuguhkan pertunjukan pada tamu-tamu Belanda. Dari sinilah perkembangan ansambel gamelan dimulai (Sumarsam, 2003: 91).

Akhir abad XVIII dan awal abad XIX seni karawitan semakin semarak dalam perayaan-perayaan yang diadakan di Kraton (Sumarsam, 2003: 79), hingga adanya dua perangkat model gamelan yaitu gamelan slendro dan gamelan pelog. Informasi mengenai dua perangkat gamelan terdapat dalam Serat Babad Nitik yang terbit tahun 1929 yang ditulis oleh prajurit wanita atau prajurit carik estri sebagaimana yang ditulis Sumarsam (2003: 80) yang menerangkan bahwa Gamelan slendro dimainkan musisi laki-laki dan gamelan pelog oleh musisi wanita.

Musik gamelan memiliki nada atau tangga nada hampir sama dengan tangga nada Barat karena Raffles memesan gamelan dengan tangga nada Barat pada tahun 1817 sebagaimana ditulis dalam History of Java sebagaimana dikutip oleh Sumarsam (2003: 83). Gamelan juga mempengaruhi perkembangan baik penyederhanaan bentuk maupun penambahan instrumen, seperti slentho (saron yang memiliki pencon/permukaan yang mencembung di tengah). Pencon dari slentho ini kemudian dihilangkan dan diberi nama ‘saron’. Penambahan instrumen

meliputi gender panembung, gender panerus, suling, dan kendang batangan (Sumarsam, 2003: 82).

b. Sejarah Perkembangan Karawitan

(47)

untuk mewartakan agama Islam di kalangan penduduk kelas menengah ke bawah pada masyarakat Jawa. Hal tersebut sampai sekarang masih tetap dilestarikan dalam seni karawitan pada acara pesta rakyat di Kraton seperti sekaten, untuk memperingati kelahiran dan kematian Nabi Muhammad yang diselenggarakan setiap tahun sekali (Sumarsam, 2003: 80).

Pada abad XX atau sekitar tahun 1970 seni karawitan mulai berkembang dengan hadirnya musikolog Belanda dan Amerika di Jawa. Teoritikus Jawa mendapat kesempatan bertukar pikiran dan bekerja sama dengan peneliti Barat hingga didirikannya sekolah yang mendalami seni karawitan (Sumarsam, 2003: 160).

4. Fungsi Seni Karawitan

Seni karawitan telah berkembang berabad-abad menjadi suatu kesenian tradisional yang sampai sekarang masih bertahan. Seni karawitan memiliki fungsi yang begitu banyak. Seni karawitan memiliki fungsi yang saling terkait dengan seni yang lain dan dapat juga berdiri sendiri. Salah satu fungsi seni karawitan yang memiliki keterkaitan dengan seni yang lain terungkap dalam seni karawitan yang dapat mendukung seni yang lain misalnya seni tari, wayang, kethoprak. Seni karawitan sebagai musik pengiring berfungsi untuk membangun suasana pertunjukan.

(48)

Jennifer Lindsay (1991: 13) mengemukakan bahwa musik karawitan memiliki sifat yang ‘kontemplatif’ mengarahkan pada pemusatan perasaan (konsentrasi). Dengan sifat tersebut seni karawitan dapat berfungsi untuk menenangkan diri atau sebagai fungsi meditasi.

5. Unsur-unsur di dalam Seni Karawitan

Sebagaimana pengertian dari seni karawitan yang dijabarkan sebelumnya maka di dalam seni karawitan terdapat beberapa unsur-unsur di dalamnya yang membentuk satu kesatuan.

a. Gamelan

Gamelan atau ‘gongso’ (bhs. Jawa), kemungkinan terdiri dari kata ‘gong’ dan ‘so’ atau ’sa’. ‘Gong’ yang berarti gegandulaning urip (pegangan hidup) dan ‘sa’ yang berarti rasa, sehingga dapat diartikan sebagai pegangan hidup dan rasa masyarakat Jawa. Nada dasar musik dan bentuk-bentuk gamelan Jawa memiliki hubungan emosi yang erat dengan masyarakat Jawa, seperti yang diutarakan oleh Musikolog Amerika Profesor Mantle Hood dan yang dikutip oleh Bambang Yudoyono (1984: 17) dalam Gamelan Jawa Awal Mula, Makna Masa Depannya: “we can say least that the basic tonal of music and the modes of the

Javanese gamelan seem to have a more predictable emotional assosiation for the

Javanese than does the tonal material of western music for the western

audiences”.

(49)

gong, kempul, kendang, kenong, kethuk, rebab, saron, slenthem, dan suling [Lampiran 6: (20)].

1) Bonang

Bonang adalah alat musik gamelan yang tersusun dari sepuluh sampai empat belas gong-gong kecil dalam satu set secara horisontal dalam dua deret dan diletakkan di atas tali yang direntangkan pada bingkai kayu [Sumarsam, 2003: 333; bdk. Lampiran 6: (15)].

Istilah ‘bonang’ mungkin berasal dari kata ‘nong-nang’, kata ‘nang’ kemungkinan berarti ‘menang’ yang dapat dihubungkan induk kemenangan, karena berfungsi sebagai penunjuk arah gending baik mengulang gending maupun mengganti gending (Bambang Yudoyono, 1984: 17).

Bonang dibedakan menjadi tiga macam yang dibedakan menurut ukuran, oktaf, dan fungsinya di dalam ansambel. Macam dari bonang tersebut adalah bonang barung, bonang panembung, dan bonang panerus (Sumarsam, 2003: 333).

2) Celempung atau siter

Celempung atau siter adalah alat musik petik terbuat dari kawat yang terdiri dari tiga belas pasang berfungsi sebagai pengolah lagu pokok atau pembentuk melodi [Sumarsam, 2003: 333; bdk. Lampiran 6: (15)].

3) Gambang

(50)

bilah [Lampiran 6: (16)]. Istilah ‘gambang’ untuk menyebut alat musik ini terdiri dari suku kata ‘gam’ dan ‘bang’, kata ini dihubungkan dengan kata dari bahasa Jawa ‘gamblang’ dan ‘imbang’, yang berarti jelas dengan dipertimbangkan secara masak-masak sehingga menjadi seimbang. Gambang di dalam karawitan berfungsi sebagai iringan dan penghias lagu atau variasi (Bambang Yudoyono, 1984: 17; bdk. Sumarsan, 2003: 335).

4) Gender

Gender adalah alat musik gamelan yang terbuat dari bilah-bilah metal ditegangkan dengan tali di atas bumbung-bumbung resonator [Lampiran 6: (16)]. Gender berfungsi sebagai iringan dan penghias lagu. Menurut fungsi lagu, wilayah nada, dan ukuran gender dibedakan menjadi dua macam: gender barung dan gender penerus (Sumarsam, 2003: 336).

5) Gong

Gong adalah alat musik yang terbuat dari metal yang diletakan menggantung berposisi vertikal [Lampiran 6: (17)]. Istilah ‘gong’ berarti gegandulaning urip atau tempat bergantung hidup.

(51)

6) Kempul

Kempul adalah alat musik seperti Gong gantung yang memiliki ukuran kecil [Lampiran 6: (17)]. Istilah ‘kempul’ sendiri dihubungkan dengan kata ‘kumpul’ atau kumpul secara utuh atau bulat. Kempul berfungsi sebagai patokan lagu pokok pada gending (Bambang Yudoyono, 1984: 17; bdk. Sumarsan, 2003: 338).

7) Kendang

Kendang adalah alat musik gamelan yang berbentuk tabung dengan kedua sisi dasar terbuat dari kulit [Lampiran 6: (18)]. Istilah kendang terdiri dari kata ‘ken’ dan ‘dang’ yang dihubungkan dengan kata ‘kendali’ dan ‘padang’ atau terang. Maka, kendang dimengerti sebagai alat yang dikendalikan dengan pikiran dan hati yang jernih.

Kendang berfungsi menentukan irama dan tempo atau menjaga keajegan tempo, menuntun peraluhan tempo yang cepat atau lambat, dan menghentikan tabuhan gending (suwuk) (Sumarsan, 2003: 338).

Berdasarkan ukuran dan fungsinya, kendang dibedakan menjadi empat macam, yaitu kendang ageng, kendang wayangan, kendang ciblon, kendang ketipung (Sumarsan, 2003: 339).

8) Kenong

(52)

(diijinkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa). Kenong berfungsi sebagai irama dasar dengan bunyi yang dimainkan secara jarang atau berfungsi menggaris bawahi struktur gending (Sumarsan, 2003: 339-340).

9) Kethuk

Kethuk adalah alat musik gamelan yang berbentuk gong kecil sama dengan kenong tetapi hanya satu, mempunyai fungsi memainkan irama dasar atau pemberi tempo [Lampiran 6: (19)]. Istilah ‘kethuk’ berasal dari kata kecandak dan mathuk yang berarti tertangkap dan sesuai waktu (Bambang Yudoyono, 1984: 19;

bdk. Sumarsan, 2003: 340).

10) Rebab

Rebab adalah alat musik yang terbuat dari kawat yang ditegangkan pada selajur kayu dengan badan berbentuk hati ditutup dengan membaran dari kulit sapi, dimainkan dengan digesek [Lampiran 6: (19)]. Istilah ‘rebab’ berasal dari Arab yaitu dari kata re dan bab yang berarti mengganti keadaan atau bagian. Rebab berfungsi sebagai instrumen pembuka dalam gending dan tuntunan musikal untuk beralih dari lagu yang satu ke yang lain (Sumarsan, 2003: 340).

11) Saron

(53)

saron, yaitu demung, saron barung, saron penerus atau peking (Sumarsan, 2003: 341).

12) Slenthem

Menurut konstruksinya, slenthem termasuk keluarga gender, sering diistilahkan sebagai gender penembung. Gender memiliki bilah sama dengan bilah yang dimiliki saron [Sumarsan, 2003: 342; bdk. Lampiran 6: (19)].

13) Suling atau seruling

Suling adalah alat musik tiup yang terbuat dari bambu, berfungsi sebagai penghias lagu pokok [Lampiran 6: (20)]. Istilah ‘suling’ melihat dari suku kata penyusunnya ‘su’ dan ‘ling’ dihubungkan dengan kata ‘nafsu’ dan ‘eling’ atau mengingat, secara keseluruhan berarti menahan nafsu dan mengingat-ingat (Sumarsan, 2003: 342).

b. Gending

Gending adalah istilah umum untuk komposisi gamelan (Sumarsam, 2003: 345). Menurut Bambang Yudoyono (1984: 15), gending didefinisikan sebagai suatu kesatuan hasil bunyi yang teratur dan serempak dari berbagai alat musik gamelan yang mempunyai macam warna suara yang berbeda. Gending memiliki unsur-unsur laras, pathet, dan irama.

1) Laras

(54)

sesuai harmoni, atau di dalam analisa karawitan berarti aturan nada yang enak didengar. ‘Laras’ menurut Sumarsam (2003: 349) adalah istilah untuk menyebut tangga nada dalam karawitan (Arintaka, 1981: 4). Menurut I Wayan Sinti (2003: 1), tangga nada yang dimiliki seni karawitan termasuk tangga nada pentatonik karena tidak memiliki patokan nada dan memiliki frekuensi nada dan interval tertentu [Lampiran 7: (21)]. Laras memiliki urutan nada dalam satu oktaf atau gembyangan. Laras di dalam seni karawitan memiliki dua laras yaitu laras

slendro dan pelog.

a) Slendro

Laras slendro adalah tangga nada yang memiliki lima nada penyusunnya.

Laras slendro menurut Widodo (2010: 3) memiliki interval yang sama yaitu 240

cent dalam satu oktaf yang berjarak 1200 cent [Lampiran 7: (21)]. Cent adalah satuan yang digunakan untuk mengukur jarak antar nada. Laras slendro menggunakan sistem kepatihan yang ditulis (1) ji – (2) ro – (3) lu – (5) mo – (6) nem (Arintaka, 1981: 5; bdk. Sastrowiryono, 1981: 15).

b) Pelog

Laras pelog adalah tangga nada yang memiliki tujuh nada penyusunnya.

Laras pelog menurut Widodo (2010: 3) memiliki jarak interval yang berbeda-beda

(55)

bem. Perbedaan dari pelog barang dan pelog bem adalahuntuk pelog barang tidak pernah membunyikan nada 1, sedangkan pelog bem tidak pernah membunyikan nada 7 (Yudhi P., 2010: 1; bdk. Arintaka 1981: 6).

2) Pathet

Pathet menurut Arintaka (1981: 4) adalah batasan nada yang menunjukkan

nada paling tinggi sampai nada yang paling rendah. Pengertian pathet menurut Sumarsam (2003: 351-352) adalah klasifikasi gending berdasarkan sistem yang ditentukan oleh fungsi nada-nada dan unsur-unsur musikal lainnya.

a) Pathet Manyuro

Pathet Manyuro adalah salah satu pathet dari tiga pathet laras slendro.

Pathet manyuro adalah laras slendro yang bertiti nada rendah. Pathet manyuro

memiliki ciri untuk gong ditabuh pada notasi ro atau nem (Sumarsam, 2003: 352).

Pathet manyuro memiliki nada dasar 6, 2, dan 3. Di dalam suatu

pertunjukan, pathet manyuro digunakan untuk menunjukan suasana pada pagi hari, hari menjelang malam, dan menunjukkan malam yang telah berlalu. Selain itu pathet manyuro juga digunakan sebagai pengiring upacara-upacara khusus (Wikimedia, 2010: 2).

b) Pathet Nem

Pathet Nem adalah salah satu dari tiga pathet laras slendro maupun laras

(56)

352). Secara umum pathet nem sering disebut slendro nem. Pathet nem memiliki nada dasar 2 dan 3 (Wikimedia, 2010: 2).

c) Pathet Sanga

Pathet Sanga adalah salah satu dari tiga pathet laras slendro. Pathet sanga

adalah nada dengan titi laras yang tinggi (Sumarsam, 2003: 352). Pathet sanga sering disebut slendro sanga. Pathet ini memiliki nada dasar 5 dan 1. Dalam pagelaran wayang purwa, pathet sanga dipakai bergantian dengan pelog pathet nem saat menjelang malam sampai pada malam hari (Wikimedia, 2010: 2).

d) Pathet Barang

Pathet Barang adalah salah satu pathet dari tiga pathet laras pelog. Pathet

barang memiliki ciri tidak menggunakan nada ji. Pathet barang adalah tangga

nada dengan titi laras yang tinggi (Sumarsam 2003: 352).

e) Pathet Lima

Pathet lima adalah salah satu dari tiga pathet laras pelog. Pathet lima

digunakan untuk titi laras rendah. Pathet lima biasa digunakan dalam pagelaran seni wayang purwa sebelum tengah malam (Wikimedia, 2010: 2; bdk. Sumarsam, 2003: 352).

3) Irama

(57)

irama lancar (sesegan), irama satu (tanggung), irama dua (dados), irama tiga (wilet), dan irama empat (wilet rangkep).

Kelima irama tersebut memiliki perbandingan antara ketukan gending dan tingkat kerapatan paling tinggi tabuhan instrumen-instrumen tertentu yang berbeda. Irama lancar (sesegan) memiliki perbandingan antara ketukan gending dan tingkat kerapatan paling tinggi tabuhan instrumen-instrumen tertentu adalah ½, irama satu (tanggung) memiliki perbandingan antara ketukan gending dan tingkat kerapatan paling tinggi tabuhan instrumen-instrumen tertentu adalah ¼, irama dua (dados) memiliki perbandingan antara ketukan gending dan tingkat kerapatan paling tinggi tabuhan instrumen-instrumen tertentu adalah , irama tiga (wilet) memiliki perbandingan antara ketukan gending dan tingkat kerapatan paling tinggi tabuhan instrumen-instrumen tertentu adalah 1/16, dan irama empat (wilet rangkep) memiliki perbandingan antara ketukan gending dan tingkat kerapatan paling tinggi tabuhan instrumen-instrumen tertentu adalah 1/

32

(Sumarsam, 2003: 347).

c. Tembang

(58)

1) Kakawin

Kakawin adalah tembang yang menggunakan bahasa Jawa kuno. Kakawin

memiliki empat baris dalam satu baitnya dan memiliki jumlah suku kata yang sama dalam tiap barisnya (Wiranto, 1986: 15). Kakawin bersifat memberi pengajaran kepada khalayak (Yusmilayati, 2011: 1). Contoh kakawin adalah kakawin “Bharatayuddha”, salah satu petikan kakawinnya adalah sebagai berikut:

Leng-leng ramyanikang cacangka kumenar mangrengga rumning puri, mangkin tan pasiring halepikang umah mas lwir murub ring langit, tekwan sarwa manik tawingnya sinawang sakshat sekarning suji, Unggwan Bhanumati yan amrem alango mwang natha Duryodhana.

2) Sekar Ageng

Sekar ageng adalah tembang yang memiliki kesamaan dengan kakawin, tetapi tidak menggunakan bahasa Jawa kuno dan memiliki irama bebas (Wiranto, 1986: 16). Sekar ageng bersifat keagamaan, seperti mantra (Yusmilayati, 2011: 1). Contoh sekar ageng adalah “Sekar Ageng Puspanjali” yaitu sebagai berikut:

Dhuh Gusti pujaningwang sotyaning wanita, myang maduning kusuma sekaring bawana, tuhu mustakaningrat dadya sudarsana, sagunging pra wanodya ambeg puspanjali.

3) Sekar Tengahan

Sekar tengahan adalah tembang yang memiliki irama bebas, tidak tentu jumlah baris dalam tiap bait, dan tidak tentu jumlah suku kata dalam tiap baris (Wiranto, 1986: 18). Tembang-tembang yang termasuk sekar tengahan yaitu balabak, wirangrong, jurudemung, girisa, kuswarini, palugon, pangajabsih,

lonthang, dan pranasmara (Arintaka, 1981: 3). Salah satu contoh sekar tengahan

(59)

Palugon laguning lekas, lukita linuding kidung, kadung kadereng amomong, mamangun manah rahayu, haywa na kang tan na golong, gumulung manadukara, karananira mangapus, puspita wangsalan semon.

4) Sekar Alit

Sekar alit dibedakan menjadi dua golongan, yaitu sekar dolanan dan sekar

macapat. Sekar dolanan adalah tembang yang dilagukan untuk anak-anak sebagai

sarana bermain. Sekar dolanan tidak memiliki syarat-syarat khusus dalam penyusunannya. Sekar dolanan memiliki sifat ritmis, gembira, dan mudah dihafal (Wiranto, 1986: 20).

Sekar macapat memiliki 11 jenis tembang, yang masing-masing memiliki

syarat sendiri-sendiri. Sekar macapat yaitu mijil, maskumambang, kinanti, sinom, dhandanggula, asmaradana, gambuh, durma, pangkur, megatruh, dan pocung (Wiranto, 1986: 18–20; bdk. Arintaka, 1981: 3). Sekar macapat mungkin berasal dari kata dari bahasa Jawa ‘maca sipat’, yang berarti membaca sifat. Maksud dari membaca sifat adalah bahwa masing-masing sekar macapat menggambarkan proses perkembangan manusia dari sejak lahir hingga mati (Nischal Maniar, 2011: 1).

a) Mijil

Mijil berarti lahir. Mijil dihubungkan dengan gambaran kelahiran manusia

(60)

mabuk asmara (Yusmilayati, 2011: 1). Sekar Mijil terdiri dari enam baris dalam satu baitnya. Suku-suku kata penyusun dalam tiap barisnya secara berurutan dari baris pertama sampai baris keenam adalah 10 i, 6 o, 10 e, 10 i, 6 i, dan 6 u. Maksud dari 10 i adalah dalam satu baris terdiri dari sepuluh suku kata dengan vokal suku kata terakhir berbunyi ‘i’ dan seterusnya (Wiranto, 1986: 19). Contoh sekar mijil adalah “Mijil Rara Manglong” yang bunyinya sebagai berikut (Arintaka, 1981: 15):

Ilir-ilir tandure sumilir, Ijo royo-royo,

Ingsun sengguh anyaran panganten, Bocah angon penekna balimbing, Ginawe masuhi,

Dodod’ira iku.

b) Maskumambang

Maskumambang dihubungkan dengan gambaran orang tua yang takjub dan kagum terhadap tingkah polah anaknya yang masih bayi, tetapi orang tua merasa takut dan kuwatir apabila anaknya menangis (Aru Dewangga, 2011: 2). Tembang ini bersifat melahirkan perasaan sedih hati yang merana (Yusmilayati, 2011: 1). Sekar maskumambang terdiri dari empat baris dalam satu baitnya. Suku-suku kata penyusun dalam tiap barisnya secara berurutan dari baris pertama sampai baris keempat adalah 12 i, 6 a, 8 i, dan 8 a (Wiranto, 1986: 19). Contoh sekar maskumambang adalah “Maskumambang Layu” yang bunyinya sebagai berikut (Arintaka, 1981: 35):

Rowang ngguyu nora kurang jroning urip, Mung rowang karuna,

(61)

c) Kinanti

Kinanti berasal dari kata bahasa Jawa ‘dikanthi-kanthi kinantenan’, artinya

yang dinanti-nanti. Tembang ini dihubungkan dengan gambaran bahwa anak adalah tumpuan dan harapan orang tua (Aru Dewangga, 2011: 2). Tembang ini memiliki sifat gembira, kasih, dan cinta yang bertujuan untuk menguraikan suatu ajaran (Yusmilayati, 2011: 1). Sekar kinanthi terdiri dari enam baris dalam satu baitnya. Suku-suku kata penyusun dalam tiap barisnya secara berurutan dari baris pertama sampai baris keenam adalah 8 u, 8 i, 8 a, 8 i, 8 a, dan 8 i (Wiranto, 1986: 19). Contoh sekar kinanthi adalah “Kinanthi Mangu” yang bunyinya sebagai berikut (Arintaka, 1981: 12):

Kang aran bebuden luhur, Dudu pangkat dudu ngelmi, Uga dudu kapinteran, Lan dudu para winasis, Apa maneh kasugihan, Nanging mung sucining ati.

d) Sinom

Sinom berasal dari kata bahasa Jawa ‘isih enom’, artinya masih muda.

Tembang ini dihubungkan dengan gambaran manusia pada usia remaja (Aru Dewangga, 2011: 2). Tembang ini bersifat ramah dan meresap yang bertujuan untuk menyampaikan amanat dan nasihat (Yusmilayati, 2011: 1). Sekar sinom terdiri dari sembilan baris dalam satu baitnya. Suku-suku kata penyusun dalam tiap barisnya secara berurutan dari baris pertama sampai baris kesembilan adalah 8 a, 8 i, 8 a, 8 i, 7 i, 8 u, 7 a, 8 i, dan 12 a (Wiranto, 1986: 19). Contoh sekar sinom adalah “Sinom Kentar” yang bunyinya sebagai berikut (Arintaka, 1981: 28):

(62)

Kocapa Sri Narapati,

Mung Sri Kresna mangeksi Sang Padmanaba.

e) Dhandanggula

Dhandanggula dihubungkan dengan gambaran seorang remaja yang beranjak dewasa dan ingin mencoba hal-hal baru (Aru Dewangga, 2011: 3). Tembang ini memiliki sifat halus dan lemas yang umumnya untuk melahirkan suatu ajaran, berkasih-kasihan, dan untuk menutup suatu karangan (Yusmilayati, 2011: 1). Sekar dhandanggula terdiri dari sepuluh baris dalam satu baitnya. Suku-suku kata penyusun dalam tiap barisnya secara berurutan dari baris pertama sampai baris kesepuluh adalah 10 i, 10 a, 8 e, 7 u, 9 i, 7 a, 6 u, 8 a, 12 i, dan 7 a (Wiranto, 1986: 18). Contoh sekar dhandanggula adalah “Dhandanggula Pasowanan” yang bunyinya sebagai berikut (Arintaka, 1981: 25):

Sasmitane ngaurip puniki,

Asmaradana berasal dari kata bahasa Jawa’asmara dahana’, yang berarti

(63)

gambaran pemuda yang sedang jatuh cinta (Aru Dewangga, 2011: 3). Tembang ini memiliki sifat memikat hati dan sedih karena asmara yang bertujuan untuk menceritakan kisah asmara (Yusmilayati, 2011: 1). Sekar asmaradana terdiri dari tujuh baris dalam satu baitnya. Suku-suku kata penyusun dalam tiap barisnya secara berurutan dari baris pertama sampai baris ketujuh adalah 8 i, 8 a, 8 e, 8 a, 7 a, 8 u, dan 8 a (Wiranto, 1986: 19). Contoh sekar asmaradana adalah “Asmaradana Bawaraga” yang bunyinya sebagai berikut (Arintaka, 1981: 17):

Poma-poma wekas mami, Anak putu aja lena, Aja katungkul uripe, Lan aja duwe kareman, Marang pepaes donya, Siyang dalu dipun emut, Yen urip manggih hantaka.

g) Gambuh

Gambuh berasal dari kata bahasa Jawa ’Gampang Nambuh’, yang berarti sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh (Aru Dewangga, 2011: 3). Tembang ini bersifat memberikan nasihat dengan bersungguh-sungguh (Yusmilayati, 2011: 1). Sekar gambuh terdiri dari lima baris dalam satu baitnya. Suku-suku kata penyusun dalam tiap barisnya secara berurutan dari baris pertama sampai baris kelima adalah 7 u, 10 u, 12 i, 8 u, dan 8 o (Wiranto, 1986: 19). Contoh sekar gambuh adalah “Gambuh Lolo” yang bunyinya sebagai berikut (Arintaka, 1981: 20):

Sekar Gambuh ping catur,

Kang cinatur polah kang kalantur, Tanpa tutur katula-tula katali, Kadaluwarsa kapatuh,

(64)

h) Durma

Durma berasal dari kata bahasa Jawa ‘munduring tata krama’, artinya mundurnya tata krama. Tembang durma dihubungkan dengan gambaran manusia yang hanya menuruti hawa nafsu (Aru Dewangga, 2011: 4). Tembang ini memiliki sifat keras, bengis, dan marah yang bertujuan untuk melukiskan perasaan marah atau cerita perang, saling menantang, dan sebagainya (Yusmilayati, 2011: 1). Sekar durma terdiri dari tujuh baris dalam satu baitnya. Suku-suku kata penyusun dalam tiap barisnya secara berurutan dari baris pertama sampai baris ketujuh adalah 12 a, 7 i, 6 a, 7 a, 8 i, 5 a, dan 7 i (Wiranto, 1986: 19). Contoh sekar durma adalah “Durma Dhendha Rangsang” yang bunyinya sebagai berikut (Arintaka, 1981: 27):

Campuhing prang tambuh mungsuh lawan rowang, Bereg binereg genti,

Tanpa ngeman pejah, Sihing Gusti kaetang, Pra bupati angawaki, Ngangseg manengah, Ngembat watang kumitir.

i) Pangkur

Pangkur dihubungkan dengan kata dari bahasa Jawa ‘mungkur’,artinya menoleh ke belakang. Pangkur menggambarkan keadaan manusia yang sudah tua yang sedang merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu (Aru Dewangga, 2011: 4). Tembang ini memiliki sifat perasaan hati yang memuncak. Tembang pangkur bertujuan untuk cerita yang mengandung maksud kesungguhan

Gambar

Gambar Bonang
Gambar Gambang
Gambar Gong
Gambar Kendang
+3

Referensi

Dokumen terkait