• Tidak ada hasil yang ditemukan

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH UWAIS ALQARNI (Telaah Hadits Riwayat Muslim) SKRIPSI Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH UWAIS ALQARNI (Telaah Hadits Riwayat Muslim) SKRIPSI Disusun Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

DALAM KISAH UWAIS ALQARNI

(Telaah Hadits Riwayat Muslim)

SKRIPSI

Disusun Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

ISTI KOMARIAH NIM 111-13-066

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)

NILAI-NILAI PENDIDIKAN AKHLAK

DALAM KISAH UWAIS ALQARNI

(Telaah Hadits Riwayat Muslim)

SKRIPSI

Disusun Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

ISTI KOMARIAH NIM 111-13-066

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(4)
(5)
(6)
(7)

MOTTO



Artinya:

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat

pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.

(Q.S Yusuf ayat

(8)

PERSEMBAHAN

Penulis persembahkan sebuah karya kecil ini untuk:

1. Kedua orang tua yang sangat penulis hormati dan cintai Bapak Kaslan serta Ibu Sri Wahyuni atas perjuangannya, kalimah do‟a dan seluruh pengorbanannya telah mengukir segala asa, cita dan harapan membimbing dan mendidik dengan penuh kesabaran serta memberikan segalanya baik moral maupun spiritual bagi kelancaran skripsi ini.

2. Kepada Bapak Prof. Dr. H. Budihardjo selaku pembimbing dan sekaligus sebagai motivator serta pengarah sampai selesainya penulisan skripsi ini. 3. Kepada Bapak Dr. H. Miftahuddin, M.Ag selaku dosen pembimbing

akademik sekaligus motivator.

4. Keluarga besar yang selama ini mendukung penuh setiap langkah juga memfasilitasi segala apa yang penulis butuhkan.

5. Kepada seluruh teman yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

(9)

KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikumWr.Wb

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya. Sholawat dan salam tercurah kepada khotamul anbiya Muhammad Saw, beserta keluarga dan sahabatnya.

Skripsi yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kisah

Uwais Al-Qarni (Telaah Hadits Riwayat Muslim)” ini disusun untuk

memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Stara Satu (S.1) pada fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam di IAIN Salatiga.

Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan juga arahan serta saran dari berbagai pihak, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karna itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. Selaku Rektor IAIN Salatiga 2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. 3. Ibu Siti Rukhayati, M.Pd. selaku ketua jurusan PAI

(10)
(11)

ABSTRAK

Komariah, Isti. 2017.Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kisah Uwais Al-Qarni (Telaah Hadits Riwayat Muslim). Skripsi, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Prof. Dr. H. Budihardjo, M.Ag.

Kata Kunci : Pendidikan Akhlak, Uwais Al-Qarni, Hadits

Degradasi moral sekaligus mental anak bangsa sangat memprihatinkan. Hal ini terlihat dari sikap remaja yang semakin tidak berarah. Tawuran bahkan pembunuhan tak lagi menjadi asing didengar. Sehingga untuk menyelamatkan bangsa, seluruh masyarakat, orang tua, pendidik harus membiasakan anak dengan akhlak yang baik agar tercipta generasi yang berakhlak mulia. Kembali kepada ajaran Al-Qur‟an dan Sunnah merupakan solusi untuk menyelesaikan krisis akhlak. Penelitian yang berjudul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kisah Uwais Al-Qarni (Telaah Hadits Riwayat Muslim)” ini, bertujuan untuk menjawab pertanyaan dari permasalahan: 1. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam hadits Imam Muslim tentang Uwais Al-qarni? 2. Bagaimanakah karakter Uwais Al-qarni yang patut diteladani menurut hadits Imam Muslim? 3. Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam hadits tentang Uwais Al-qarni yang diriwayatkan oleh Imam Muslim?

Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan, atau bahan-bahan bacaan untuk mencari pendapat para ahli hadits dan ahli pendidikan tentang pendidikan akhlak. Kemudian dianalisis untuk mencpai tujuan. Metode analisis data yang penulis gunakan adalah analisis maudhu‟i dan analisis semantik.

(12)

DAFTAR ISI

SAMPUL ... i

HALAMAN BERLOGO ... ii

HALAMAN SAMPUL ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

NOTA PEMBIMBING ... v

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Penegasan Istilah ... 7

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II KAJIAN TEORI ... 15

A. Konsep Pendidikan Akhlak ... 15

B. Tujuan Pendidikan Akhlak ... 23

C. Metode Pendidikan Akhlak ... 24

D. Hadits keutamaan Uwais Al-Qarni ... 26

BAB III ANALISIS DATA ... 30

(13)

B. Asbab Al-wurud Hadits ... 34

C. Takhrij Hadits ... 35

D. Langkah-langkah Takhrij Hadits ... 38

BAB IV PEMBAHASAN ... 49

A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak Dalam Kisah Uwais Al-Qarni ... 49

B. Relevansi Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam Kisah Uwais Al-Qarni dengan kehidupan Generasi sekarang ... 59

BAB V PENUTUP ... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

C. Penutup ... 66

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Persoalan pendidikan akhlak sampai saat ini masih sangat perlu untuk dicari dan kemudian dirumuskan kembali. Hal ini ditujukan agar pendidikan dapat mencapai sasarannya dengan baik. Pada masa sekarang ini sangat sulit mencari sosok seorang guru yang dapat dijadikan sebagai panutan, baik dalam hal ilmu maupun amal. Kedua hal tersebut harus ada keserasian, agar dapat menjadikan seorang manusia cerdas yang berbudi.

Saat ini ummat islam mengalami degredasi moral. Khususnya pada kalangan remaja. Istilah Kebo nyusul gudel sekarang mungkin lebih pantas untuk menyatakan realita. Orang tua yang mengikuti kemauan anak bukan anak yang patuh terhadap orang tua.Semua menjadi terbalik. Anak-anak semaunya sendiri tanpa menghormati orang tua.

(15)

mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah “.

Dalam ayat ini dapat dipahami bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad saw. sebagai contoh atau suri tauladan bagi ummatnya. Beliau selalu terlebih dahulu mempraktikkan apa yang Allah perintahkan sebelum perintah tersebut disampaikan kepada ummat. Sehingga tak ada celah bagi orang-orang yang memusuhinya untuk mengatakan bahwa nabi Muhammad hanya pandai berbicara dan tidak bisa mengamalkan. Bahkan “ Uswah” dapat meningkatkan pengaruh untuk melakukan segala perintah dan larangan yang diajarkan.

(16)

moral masyarakat. Karena itu, bahwa pendidikan akhlak dapat membentuk watak seseorang. Ia bisa berkembang secara sistematis dan harmonis sesuai dengan perkembangan hidupnya (Damanhuri, 2014: 47).

Yang dimaksud dengan moral adalah perilaku yang diyakini banyak orang sebagai benar dan salah, terbukti tidak menyusahkan orang lain, bahkan sebaliknya (Linda &Richard Eyre, 1997:xv)

Lingkungan keluarga sungguh-sungguh merupakan pusat pendidikanyang penting dan menentukan, karena itu tugas pendidikan keluarga adalah mencari cara membantu para ibu dalam tiap keluarga agar dapat mendidik anak-anaknya dengan optimal. Anak-anak yang biasa turut serta mengerjakan segala sesuatu pekerjaan di dalam keluarganya, dengan sendirinya mengalami dan mempraktekkan bermacam-macam kegiatan yang amat berfaedah bagi pendidikan keluarga, watak dan budi pekerti seperti kejujuran, keberanian, ketenangan dan sebagainya. Keluarga juga membina dan mengembangkan perasaan sosial anak seperti hidup hemat, menghargai kebenaran, tenggangrasa, menolong orang lain, hidup damai dan sebagainya (Tirtarahardja, 2005:170).

(17)

dan bahaya-bahaya sesuatu, memberikan contoh yang baik (teladan), sehingga mendorong anak untuk berbudi pekerti luhur dan menghindari segala hal yang tercela. Hal ini tentunya tidak terlepas dari sikap Guru dan perilaku Guru sebagai contohnya. Kecenderungan anak untuk meniru apa yang dilihatnya, maka dengan keteladanan pribadi seorang Guru tanpa disadari telah terpengaruh dan tertanam pada diri anak. Dari sikap tersebut akhirnya tertanamlah suatu akhlak yang baik dan diharapkan pada diri anak, sehingga pembentukan akhlaqul karimah dapat terealisasikan.

Menyadari pernyataan di atas dapat diambil pengertian bahwa kebutuhan manusia akan keteladanan lahir dari suatu gharizah (naluri) yang bersemayam di dalam jiwa manusia yaitu jiwa taqlid (peniruan). Sebagai contoh bahwa manusia suka meniru adalah sekelompok anak remaja yang sedang mengalami perkembangan, pada prisnsipnya keteladanan menjadi dua, pertama keteladanan yang baik dan kedua keteladanan yang buruk

(Sa‟ad,2005:312).

(18)

Rasa cinta terhadap Nabi Muhammad pun mulai tergusur, para remaja lebih suka menonton konser, dangdut dan sebagainya dibandingkan bershalawat untuk Nabi. Sangat berbeda jauh dengan seorang sahabat Nabi yang ikut menanggalkan giginya ketika mendengar Nabi perang dan tanggal giginya. Begitu besar cintanya, dia sangat ingin bertemu dengan Nabi Muhammad. Dia adalah seorang yang zuhud dan sangat patuh terhadap ibunya. Pemuda itu adalah Uwais Al-Qarni, pemuda yang sangat istimewa dimata Nabi. Dia tak dikenal di Bumi namun terkenal di langit.

Dengan adanya fenomena seperti yang telah disebut diatas penulis mengangkat skripsi dengan judul “Nilai-nilai Pendidikan Akhlak dalam

Kisah Uwais Al-Qarni (Telaah Hadits Riwayat Muslim)” dengan

pengangkatan judul ini penulis berharap dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak yang membutuhkan.

B. Rumusan Masalah

(19)

1. Bagaimanakah nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam hadits Imam Muslim tentang Uwais Al-Qarni?

2. Bagaimanakah relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam hadits tentang Uwais Al-Qarni yang diriwayatkan oleh Imam Muslim terhadap generasi sekarang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka ada beberapa tujuan yang hendak dicapai, antara lain:

1. Untuk mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam hadits tentang Uwais Al-Qarni yang diriwayatkan oleh Imam Muslim

2. Untuk mendiskripsikan relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam hadits tentang Uwais Al-Qarni yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kehidupan generasi sekarang.

D. Kegunaan Penelitian

(20)

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoritis, dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam.

2. Manfaat praktis a. Bagi Penulis

Menambah wawasan penulis mengenai nilai-nilai pendidikan dalam kisah Uwais Al-Qarni yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku. Dapat juga dijadikan sebagai bekal untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam keluarga, masyarakat dan kepada anak didiknya.

b. Bagi Pembaca

Memberikan pengetahuan mengenai betapa pentingnya nilai-nilai pendidikan akhlakyang harus diterapkan dalam kehidupannya.

E. Penegasan Istilah

a. Nilai

(21)

memberi acuan, titik tolak dan tujuan hidup. Nilai adalah sesuatu yang dijunjung tinggi, yang dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang. Nilai itu lebih dari sekedar keyakinan, nilai selalu menyangkut pola pikir dan tindakan, sehingga ada hubungan yang amat erat antara nilai dan etika (Adisusilo, 2012: 56).

b. Pendidikan Akhlak

Pengertian pendidikan akhlak terbentuk dari dua kata yaitu

“pendidikan” dan “akhlak”, sehingga untuk memudahkan dalam

memahami pengertian pendidikan akhlak harus dipahami kedua kata tersebut.

1) Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu mendapat awalan pe- dan akhiran -an yang artinya proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajuan dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidikan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2007: 263).

(22)

2) Akhlak

Secara etimologis “akhlak” berasal dari bahasa arab, yaitu khalaqa-yakhluqu-khalqan yang artinya tingkah laku, perangai, tabiat, watak, moral atau budi pekerti (Yunus, 2007: 120).

Sedangkan secara terminologis ada beberapa definisi tentang akhlak. Diantaranya:

a. Imam Ghazali menerangkan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Ilyas, 2006: 2).

b. Muhammad bin Ali asy-Syarif al-Jurnaji mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuataan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berfikir dan merenung. Jika dari sifat tersebut terlahir perbuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan sifat yang buruk (Mahmud,2004:32).

(23)

c. Kisah

Menurut bahasa, kata kisah berasal dari bahasa arab, yaitu qassas. Kata qassas sendiri merupakan jamak dari kata qisas yang berarti mengikuti jejak atau menelusuri bekas atau cerita (Djalal, 2008: 29-294).Sedangkan menurut istilah qasas al-Qur‟an adalah pemberitaan a

l-Qur‟an tentang hal ihwal ummat yang telah lalu, kenabian yang terdahulu

dan kejadian-kejadian yang telah terjadi. Al-Qur‟an banyak berisi cerita peninggalan jejak setiap ummat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara menarik dan mempesona (Al- Qattan, 2000: 300).

d. Hadits

Hadits atau menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru. Hadits juga sering disebut dengan al-khabar, yang berarti berita. Yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadits (Suparta, 1993: 1).

Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi hadits:

1) Ulama hadits pada umumnya menyatakan, bahwa hadits adalah segala ucapan, perkataan, taqrir (pengakuan) dan keadaan Nabi.

(24)

3) Sebagian ulama, seperti Al-Thibbi menyatakan bahwa hadits adalah perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi, perkataan, perbuatan, dan taqrir Sahabat, perkataan, perbuatan dan taqrir Tabi‟in.

4) „Abd al-Wahhab Ibn Shubbi dalam Matn al-Jami‟ al-Jawami‟ menyatakan bahwa: hadits adalah segala perkataan dan perbuatan Nabi saw (Noor Sulaiman, 2008: 1).

Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa hadits adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan dari Nabi saw.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa teknik untuk sampai pada tujuan penelitian. Teknik tersebut meliputi:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis lakukan melalui dua cara. Pertama, penelitian kepustakaan (library research), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka (Hadi, 1981: 3). Kedua, dilakukan dengan metode mawdhu‟i. Menurut Budihardjo (2012: 150) yang dikutip dari

(25)

Metode tafsir al-maudhu‟i menurut istilah adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan menghimpun ayat-ayat Al-Qur‟an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topik dan menyusunnya berdasarkan kronologi, dan sebab turunnya ayat-ayat tersebut (Budihardjo, 2012: 150-151). Penulis menggunakan metode ini dalam penelitian hadits.Sehingga memepermudah penulis dalam melakukan penelitian.

2. Metode Pengumpulan Data

Di mana data-data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah berbagai tulisan yang temanya sama dengan judul yang penulis angkat.

Adapun sumber data yang digunakan penulis adalah: a. Sumber data primer

Sumber data primer merupakan sumber data yang berkaitan langsung dengan penelitian yaitu Kitab Shahih Muslim.

b. Sumber data sekunder atau studi dokumen

(26)

mencari, menganalisis buku-buku, internet dan informasi lainnya yang berkaitan dengan judul skripsi.

3. Metode Analisis

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode analisis isi (content analysis). Menurut Sumadi Suryabrata (2010: 85), metode analisis isi adalah data deskriptif atau textular yang sering dianalisis menurut isinya atau pesan yang terkandung dalam teks tersebut.

Metode ini digunakan penulis untuk mendeskripsikan isi atau kandungan yang ada dalam hadits riwayat Imam Muslim dalam bab keutamaan Uwais Al-Qarni serta nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung di dalamnya.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dalam pembahasan penelitian, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi ini secara garis besar sebagai berikut:

Bab I berisi Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, penegasan istilah dan sistematika penulisan.

(27)

Bab III menguraikan takhrij hadits tentang Uwais Al-Qarni yang meliputi pengertian, tujuan dan metode takhrij serta asbabul wurud hadits tersebut.

Bab IV mengemukakan analisis mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak dalam hadits keutamaan Uwais Al-Qarni yang meliputi:hasil temuan penulis mengenai nilai-nilai pendidikan akhlak dalam hadits keutamaan Uwais Al-Qarni dan contoh kepribadian Uwais Al-Qarni yang patut dijadikan teladan, serta relevansi nilai-nilai pendidikan akhlak dalam hadits keutamaan Uwais Al-Qarni.

(28)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Konsep Pendidikan Akhlak

1. Pengertian Pendidikan Akhlak

Istilah pendidikan berasal dari kata “didik”, yang artinya

“memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak

dan kecerdasan pikiran” (KBBI, 2008:425).

Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara (UU RI No. 20, 2003: 2-3).

Sedangkan arti pendidikan menurut istilah yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan beranekaan ragam. Diantaranya sebagai berikut:

Menurut Marimba sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Tafsir

pendidikan adalah “Bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama” (Tafsir, 1994:24).

Sementara itu, Ahmad Tafsir mendefinisikan pendidikan sebagai

(29)

bahwa yang dimaksud pengembangan pribadi ialah yang mencakup pendidikan oleh diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh lingkungan, dan pendidikan oleh orang lain(guru). Seluruh aspek mencakup jasmani , akal, dan hati. Jelasnya pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal (Tafsir, 1994: 26-27).

Tokoh Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata berpendapat bahwa:

Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan penuh keinsyafan yang ditujukan untuk keselamatan dan kebahagiaan manusia.Pendidikan tidak hanya bersifat pelaku pembangunan tetapi sering merupakan perjuangan pula.Pendidikan berarti memelihara hidup tumbuh ke arah kemajuan, tidak boleh melanjutkan keadaan kemarin menurut alam kemarin. Pendidikan adalah usaha kebudayaan, berasas peradaban, yakni memajukan hidup agar mempertinggi derajat kemanusiaan(Nata,2003:11)

(30)

Dari definisi-definisi di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses atau usaha dari orang dewasa yang telah sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, melatih, mengajar dan menanamkan nilai-nilai dan dasar-dasar pandangan hidup kepada generasi muda, agar nantinya menjadi manusia yang sadar dan bertanggungjawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat dan ciri-ciri kemanusiaannya.

Selanjutnya pengertian akhlak, ditinjau dari segi bahasa, pengertian akhlak diambil dari bahasa arab khuluqun yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabi‟at (Alim, 2006: 151).

Adapun menurut istilah dapat dilihat dari pendapat beberapa pakar sebagai berikut:

Ibnu Maskawih secara singkat mendefinisikan akhlak sebagai

“Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan” (Anwar,2010:13).

Menurut Imam Ghazali, akhlak ialah “sikap yang mengakar dalam jiwa manusia yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal

(31)

perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk (Anwar,2010: 13).

Menurut Ahmad Amin akhlak adalah “kehendak yang dibiasakan.

Artinya kehendak itu bila membiasakan sesuatu, maka kebiasaan itu

dinamakan akhlak” (Mustofa, 2007: 13).

Sedangkan menurut M. Diroz definisi akhlak adalah“ Akhlak adalah suatu kesatuan dalam kehendak yang mantap, kekuatan dan kehendak mana berkombinasi membawa kecenderungan pada pemilihan pihak yang benar( dalam hal akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (dalam hal akhlak yang jahat) (Mustofa, 2007: 14).

Selanjutnya menurut Abdullah Diroz, perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestassi dari akhlaknya, apabila dipenuhi dua syarat, yaitu:

a. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan berulangkali dalam hal yang sama, sehingga menjadi kebiasaan.

b. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan emosi jiwanya, bukan karena adanya tekanan yang datang dari luar seperti paksaan orang lain sehingga menimbulkan ketakutan, atau bujukan dengan harapan-harapan yang indah dan lain sebagainya, (Mustofa, 2007: 14).

(32)

lainnya.Ketiga definisi di atas saling melengkapi. Yakni, suatu sikap yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.

Dari definisi pendidikan dan akhlak di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan akhlak ialah usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik untuk membentuk tabiat yang baik pada peserta didik sehingga terbentuk manusia yang taat kepada Allah. 2. Dasar Pendidikan Akhlak

Dasar secara bahasa berarti “ fundamen, pokok atau pangkal suatu pendapat (ajaran, aturan), atau asas” (KBBI: 318). Lebih lanjut dikatakan

bahwa dasar adalah “Landasan berdirinya sesuatu yang berfungsi memberikan arah kepada tujun yang akan dicapai” (Ramayulis, 1994: 12). Adapun yang menjadi dasar akhlak dalam Islam adalah al-Qur‟an dan Sunnah

a. Al-Qur‟an

(33)

Al-Qur‟an merupakan wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad saw. dengan cara berangsur-angsur dimulai di Mekkah dan disudahi di Madinah menggunakan lafal bahasa Arab dan maknanya yang benar, sebagai petunjuk-petunjuk bagi manusia (Alim, 2006: 171-172). Al-Qur‟an diturunkan untuk menjadi pegangan bagi manusia yang ingin mencapai kebahagiaan dunia akhirat.Kitab suci al-Qur‟an tidak pernah membisu untuk menjawab setiap permasalahan hidup manusia.Namun pertimbangan dan petunjuk al-Qur‟an baru bisa ditangkap jika manusia secara bijak dan cermat dapat mengenal sifat-sifat yang dikandungnya dengan metode yang tepat.

Di antaranya ayat al-Qur‟an yang menjadi dasar pendidikan akhlak adalah seperti ayat di bawah ini:

Artinya“ Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah ( Manusia ) berbuat yang makruf dan cegahlah ( mereka) dari yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perkara yang diwajibkan. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh.Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang

(34)

Ayat di atas menerangkan tentang akhlak manusia terhadap Allah dan akhlak terhadap sesama manusia.Akhlak terhadap Allah yaitu melaksanakan shalat sebagai ibadah wajib.Sedangkan akhlak terhadap sesaama manusia adalah jangan berjalan dengan angkuh di muka bumi.Maksudnya jangan sombong.

Isi kandungan Al-Qur‟an, pada garis besarnya mengandung pokok-pokok ajaran sebagai berikut:

1. Prinsi-prinsip akidah (keyakinan), seperti iman kepada Allah, Malaikat, kitab, rasul, hari akhir, qadha dan qadar.

2. Prinsip-prinsip syari‟ah yakni hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia dan manusia dengan makhluk lainnya atau alam sekitarnya.

3. Janji dan ancaman 4. Ilmu pengetahuan

5. Sejarah atau kisah masa lalu b. Sunnah

Dasar pendidikan akhlak berikutnya adalah sunnah. Menurut

bahasa, sunnah berarti “perjalanan atau sejarah, baik atau buruk masih

(35)

Sebagai contoh kewajiban melaksanakan ibadah shalat dalam surat Al-baqarah ayat 43. Allah berfirman:







Artinya: dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.

Sunnah berfungsi memperjelas atau merinci (menafsirkan) apa yang telah digariskan dalam al-Qur‟an. Untuk itu hanya ada satu jalan untuk mencapai keridhaan Allah swt.dan mendapatkan kecintaan-Nya. Yaitu mengikuti jejak nabi Muhammad saw.dan berjalan di atas

Artinya: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(36)

contoh serta teladan sempurna bagi umat manusia yang mengajarkan serta menanamkan nilai-nilai akhlak terpuji kepada umatnya.

B. Tujuan Pendidikan Akhlak

Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang berproses dan terencana sudah tentu mempunyai tujuan.Tujuan tersebut berfungsi sebagai titik pusat perhatian dalam melaksanakan kegiatan serta sebagai pedoman guna mencegah terjadinya penyimpangan dalam kegiatan.

Pada dasarnya tujuan pendidikan akhlak adalah agar setiap muslim berbudi pekerti, bertingkah laku, berperangai, atau beradat-istiadat yang baik sesuai dengan ajaran islam. Isalm memiliki tujuan pendidikan akhlak seperti shalat bertujuan untuk mencegah sesorang melakukan perbuatan tercela, zakat untuk menyucikan harta dan membantu sesama, puasa mendidik diri dari berbagai syahwat, haji untuk memunculkan tenggang rasa dan kebersamaan dengan sesama (Anwar, 2010: 25).

(37)

Dalam hal ini, Zakiah menekankan bahwa akhlak merupakan implementasi dari iman.Tujuan pendidikan akhlak dengan demikian adalah untuk membuat peserta didik mampu mengimplementasikan keimanan dengan baik.

C. Metode Pendidikan Akhlak

Berkaitan dengan pendidikan akhlak, ada beberapa metode yang dapat di gunakan (Zuhriyah, 2011: 65).

1. Metode Ceramah

Yaitu penerangan dan penuturan secara lisan oleh guru terhadap anak didik di kelas. Dengan kata lain bahwa metode ceramah atau lecturing itu adalah salah satu cara penyajian informasi melalui penerangan dan penuturan secara lisan oleh guru terhadap siswanya.

2. Metode Keteladanan (Uswah Hasanah)

Melalui metode ini orang tua atau pendidik dapat memberi contoh atau teladan bagaimana cara berbicara, bersikap, beribadah, dan sebagainya. Maka anak atau peserta didik dapat meniru apa yang telah dicontohkan tersebut.

3. Metode Pembiasaan

(38)

4. Metode Nasihat

Metode ini yang sering digunakan oleh orang tua atau pendidik terhadap anak atau peserta didik dalam proses pendidikannya.

5. Metode Kisah atau Cerita

Metode atau Kisah adalah suatu cara dalam menyampaikan materi pelajaran dengan menuturkan secara kronologis bagaimana terjadinya suatu hal, baik yang sebenarnya ataupun yang rekaan saja. Adapun tujuan yang diharapkan melalui metode ini adalah: agar anak atau peserta didik dapat memetik hikmah dan mengambil pelajaran dari kisah yang disampaikan.

6. Metode Pemberian Hadiah dan Hukuman

Metode pemberian hadiah atau reward ini tujuannya memberikan apresiasi kepada peserta didik karena telah melakukan tugas dengan baik. Sedangkan hukuman dimaksudkan untuk memberi efek jera kepada peserta didik agar tidak mengulangi kesalahannya lagi.

(39)

D. Hadits Keutamaan Uwais Al-Qarni Riwayat Imam Muslim

Ada dua hadits yang menjelaskan tentang Uwais Al-Qarni dalam kitabnya Shahih Muslim pada bab keutamaan para sahabat Nabi yaitu: 1. Hadits Muslim No.2542

(40)

[Muhammad bin Al Mutsanna] keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami ['Affan bin Muslim]; Telah menceritakan kepada kami [Hammad] yaitu Ibnu Salamah dari [Sa'id Al Jurairi] melalui jalur ini dari ['Umar bin Al Khaththab] dia berkata; Sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik tabi'in, adalah seorang laki-laki yang dibiasa dipanggil Uwais, dia memiliki ibu, dan dulu dia memiliki penyakit belang ditubuhnya. Carilah ia, dan

(41)
(42)

menjawab; 'Saya Iebih senang berada bersama rakyat jelata ya Amirul mukminin.' Usair bin Jabir berkata; 'Pada tahun berikutnya, seorang pejabat tinggi Kufah pergi melaksanakan ibadah haji ke Makkah. Selesai melaksanakan ibadah haji, ia pun pergi mengunjungi Khalifah Umar bin Khaththab. Lalu Khalifah pun menanyakan tentang berita Uwais kepadanya.Pejabat itu menjawab; 'Saya membiarkan Uwais tinggal di rumah tua dan hidup dalam kondisi yang sangat sederhana.' Umar bin Khaththab berkata; 'Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Kelak Uwais bin Amir akan datang kepadamu bersama rombongan orang-orang Yaman. Ia berasal dari Murad dan kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sebesar mata uang dirham. Kalau ia bersumpah dengan nama Allah, niscaya akan dikabulkan sumpahnya. Jika kamu dapat meminta agar ia berkenan memohonkan ampunan untukmu, maka laksanakanlah! ' Setelah itu, pejabat Kufah tersebut Iangsung menemui Uwais dan berkata kepadanya; 'Wahai Uwais, mohonkanlah ampunan untukku! ' Uwais bin Amir dengan perasaan heran menjawab; 'Bukankah engkau baru saja pulang dari perjalanan suci, ibadah haji di Makkah? Maka seharusnya engkau yang memohonkan ampunan untuk saya.'Pejabat tersebut tetap bersikeras dan berkata; 'Mohonkanlah ampunan untukku hai Uwais?' Uwais bin Amir pun menjawab; 'Engkau baru pulang dari ibadah haji, maka engkau yang Iebih pantas mendoakan saya.' Kemudian Uwais balik bertanya kepada pejabat itu; 'Apakah engkau telah bertemu dengan Khalifah Umar bin Khaththab di Madinah? ' Pejabat Kufah itu menjawab; 'Ya. Aku telah bertemu dengannya.' Akhirnya Uwais pun memohonkan ampun untuk pejabat Kufah tersebut. Setelah itu, Uwais dikenal oleh masyarakat luas, tetapi ia sendiri tidak berubah hidupnya dan tetap seperti semula. Usair berkata; 'Maka aku memberikan Uwais sehelai selendang yang indah, hingga setiap kali orang yang melihatnya pasti akan bertanya; 'Dari mana Uwais memperoleh selendang itu?(Al-Mundziri, 2002: 1013-1014).

Dari kedua hadits tersebut diterangkan bahwa sebaiknya-baiknya

tabi‟in adalah Uwais Alqarni.Akhlak beliau yang patut dijadikan suri tauladan

(43)

BAB III

ANALISIS DATA

A. Kisah Uwais Al-Qarni

Rasulullah menuturkan secara singkat bagaimana ciri-ciri dan jati diri Uwais bin Amir itu, dengan bersabda, “Dia itu (Uwais) adalah seorang penduduk Yaman yang bersama ibunya. Uwais adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ibunya.Uwais pernah menderita penyakit kusta. Kemudiania ber‟doa kepada Allah agar disembuhkan penyakitnya dan

disehatkan seperti sedia kala. Maka Allah mengabulkan do‟anya, sehingga ia

bisa sembuh dari penyakitnya. Namun masih terlihat bekasnya sebesar biji mata uang dirham di tangannya.Uwais termasuk tokoh tabi‟in.”

Tentu saja setelah mendengar penuturan Rasulullah, Abu Bakar dan Umar menjadi sangat penasaran terhadap sosok Uwais bin Amir Al- Qarni. Mereka ingin bertemu dan berhadapan langsung dengan orang yang bernama Uwais bin Amir itu, agar bisa minta untuk dido‟akan olehnya. Sayangnya, sampai mangkat, Abu Bakar belum sempat bertemu dengannya (Saiful Hadi, 2009: 9-10).

(44)

halaqoh tentang akhirat) maka nasehatnya sangat mengena hati kami tidak sebagaimana nasehat orang lain. Suatu hari aku (yaitu Usair bin Jabir) tidak melihatnya maka aku bertanya kepada teman-teman duduk (halaqoh) kami,

“Apakah yang sedang dikerjakan oleh orang yang (biasa) duduk dengan kita, mungkin saja ia sakit?”, salah seorang berkata, “Orang yang mana?”, aku

berkata, “Orang itu adalah Uwais Al-Qarni”, lalu aku ditunjukkan dimana

tepat tinggalnya, maka akupun mendatanginya dan berkata, “Semoga Allah merahmatimu, dimanakah engkau?, kenapa engkau meninggalkan kami?”, ia

berkata, “Aku tidak memiliki rida‟ (selendang untuk menutup tubuh bagian

atas), itulah yang menyebabkan aku tidak menemui kalian.”, maka akupun melemparkan rida‟ku kepadanya (untuk kuberikan kepadanya), namun ia melemparkan kembali rida‟ tersebut kepadaku, lalu akupun mendiamkannya

beberapa saat lalu ia berkata, “Jika aku mengambil rida‟mu ini kemudian aku memakainya dan kaumku melihatku maka mereka akan berkata, “Lihatlah orang yang cari muka ini (riya‟) tidaklah ia bersama orang ini hingga ia

menipu orang tersebut atau ia mengambil rida‟ orang itu”.

Aku terus bersamanya hingga iapun mengambil rida‟ku, lalu aku berkata kepadanya, “Keluarlah hingga aku mendengar apa yang akan mereka katakan!”.Maka iapun memakai rida‟ pemberianku lalu kami keluar

(45)

orang yang tukang cari muka ini, tidaklah ia bersama orang itu hingga ia

menipu orang itu atau mengambil rida‟ orang itu”. Akupun menemui mereka

dan aku berkata, “Tidak malukah kalian, kenapa kalian menggangunya

(menyakitinya)?, demi Allah aku telah menawarkannya untuk mengambil

rida‟ku namun ia menolaknya!” (http://www.firanda.com/index.php/artikel/7-adab-a-akhlaq/17-tabiin-terbaik-uwais-al-qoroni?showall=1).

Dia adalah pemimpin para ahli ibadah, tokoh para pribadi pilihan dari para ahli zuhud. Dialah Uwais bin Amir Abu Amr Qarni Muradi al-Yamani rahimahullah.

(46)

Allah swt.memelihara keberuntungan pria yang shaleh ini berupa pahala dan kemuliaan. Ia memang tidak sempat meraih kemuliaan sebagai sahabat Rasulullah, namun Ia mendapatkan kemuliaan lain melalui baktinya kepada orang tua. Ia memperoleh kedudukan luhur yang tidak digapai kecuali oleh orang-orang yang suci yang terdiri atas sahabat Nabi. Sungguh, ini adalah kesaksian Ilahiyah.Kesaksian yang tidak ada lagi kesaksian setelahnya. Betapa Umar ibnul Khatab rindu ingin berjumpa dengan Uwais setelah Ia mendengar kesaksian ini yang meluncur dari mulut Rasulullah saw. Seorang pria seperti ini dinyatakan oleh Rasulullah sebagai orang yang bergelimang kebaikan dan keshalehan, padahal Ia tidak pernah bersua dengan Rasulullah saw.

Tidaklah diragukan, laki-laki yang keadaannya seperti ini mempunyai kedudukan istimewa.Umar ibnul Khatab Al-Faruq kagum sebagaimana kita, sehingga bertekad untuk mencarinya agar dapat berjumpa dengannya.

Bila petang datang, Uwais rahimahullah menyedekahkan makanan dan pakaian, kemudian berkata, “Ya Allah, barang siapa yang mati karena kelaparan, janganlah Engkau menyiksaku karenanya.Siapa saja yang mati dalam keadaan tidak memiliki pakaian, janganlah Engkau menghukum aku

karenanya!”Kemurahan Uwais bukanlah karena kaya atau karena banyak

memiliki harta, melainkan kemurahan orang miskin.

(47)

wara‟, imam dalam ibadah, imam dalam hikmah, dan imam dalam ibadah,

imam dalam hikmah dan imam dalam ketaqwaan.Ia mencapai martabat luhur dengan ilmu dan amalnya. Kezuhudan dan kewara‟an sang imam ini sampai membuatnya tidak pernah merasa segan mengambil makanan dari tempat sampah lalu ia membersihkannya kemudian sebagian dimakan atau disedekahkan. Apabila mendatangi tempat sampah lalu anjing

menggonggong, ia berkata, “makanlah yang ada di dekatmu dan aku akan menyantap yang ada dihadapanku! Jika aku berhasil melintasi jembatan shirat (pada hari kiamat) berarti aku lebih baik darimu.Sebaliknya, manakala aku gagal melaluinya, engkau lebih baik dariku!”Wejangan darinya selalu memiliki keuatan dan hikmah yang kuat (Mahmud, 2006:133-141).

B. Asbab al-Wurud Hadits

1. Pengertian Asbab al-Wurud

Kata asbab adalah jama‟ dari sabab. Menurut ahli bahasa diartikan

dengan “al-habl” (tali), saluran yang artinya dijelaskan sebagai: “segala yang

menghubungkan satu benda dengan benda lainnya”. Sedangkan kata wurud

bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir (Suparta, 1993: 38-39).

Dari uraian pengertiaan tersebut, asbab al-wurud al-hadits dapat

diberi pengertian yakni “suatu ilmu yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi saw.menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.” Urgensi asbab al-wurud terhadap hadits, sebagai salah satu jalan untuk memahami

(48)

2. Asbab al-Wurud Hadits Keutamaan Uwais Al-Qarni

Sebab adanya hadits tersebut adalah ketika Rasulullah berkata tentang orang yang mencarinya. Nabi Muhammad saw.menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan Rasulullah saw., istrinya, „Aisyah ra., dan para sahabatnya tertegun mengingat Uwais hanyalah seorang penggembala unta dan domba yang fakir.

Menurut informasi „Aisyah ra., memang benar ada yang mencari

Rasulullah dan segera pulang kembali ke Yaman. Karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama (Maksum, 2010: 55).

C. Takhrij Hadits

1. Pengertian Takhrij Hadits

Secara etimologi takhrij berasal dari kata kharraja-yukharriju, yang mempunyai beberapa arti; (1) Al-istinbath (mengeluarkan); (2) al-tadrib (melatih atau membiasakan); (3) al tawjih (memperhadapkan). Menurut Dr. Mahmud Thahhan kata takhrij menurut bahasa ialah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan dalam satu persoalan”(Muhammad Al-Thahhan, 1974: 9).

(49)

b. Ulama hadits mengeluarkan berbagai hadits yang telah dikemukakan oleh para guru hadits, atau berbagai kitab atau lainnya, yang susunannya dikemukakan berdasarkan riwayatnya sendiri, atau para gurunya atau temannya atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan c. Menunjukkan asal-usul hadits dan mengemukakan sumber

pengambilannya dari berbagai kitab hadits yang disusun oleh mukharrijnya.

d. Mengemukakan hadits berdasarkan sumber pengambilannya yang di dalamnya disertakan metode periwayatan dan sanadnya masing-massing dengan menjelaskan keadaan perawi dan kualitas haditsnya.

e. Menunjukkan letak asal hadits pada sumber aslinya, yang di dalamnya dikemukakan hadits itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing (Al-Asqalani: 234).

berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Takhrij hadits adalah menyebutkan hadits beserta para sanadnya dan keadaan para sanad hadits tersebut.

2. Pentingnya Kegiatan Takhrij Hadits

(50)

kualitas sanad hadits. Ada beberapa hal yang menyebabkan kegiatan takhrij hadits penting untuk dilaksanakan terutama dalam kaitannya dengan penelitian hadits, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti. Jika suatu hadits tersebut sulit untuk diteliti status dan kualitasnya. Dengan demikian sanad dan matan hadits tersebut juga sulit diketahui sumber pengambilannya. Justru itu terlebih dahulu perlu dilakukan kegiatan takhrij b. Untuk mengetahui seluruh riwayat hadits yang akan diteliti. Jika hadits

yang akan diteliti memiliki lebih dari satu sanad, maka untuk mengetahui kulitas sanadnya terlebih dahulu harus diketahui seluruh riwayat hadits yang bersangkutan. Untuk itu, terlebih dahulu dilakukan kegiatan takhrij. c. Untuk mengetahui ada atau tidaknya syahid atau mutabi‟ pada sanad yang

diteliti. Jika hadits yang diteliti memiliki periwayat yang mendukung sanadnya, maka periwayat pertama dari hadits tersebut(sahabat nabi) disebut syahid. Apabila yang mendukung sanadnya bukan periwayat

pertama (bukan sahabat nabi) maka periwayat itu disebut muttabi‟.

d. Untuk mengetahui bagaimana pandangan para ulama tentang ke sahihan suatu hadits.

e. Dapat menetapkan muttasil kepada hadits yang diriwayatkan dengan

(51)

f. Dapat memastikan identitas para perawi, baik yang berkaitan dengan kuniyah (julukan), laqab (gelar) atau nasab (keturunan), dengan nama yang jelas(Sulaiman, 2008: 156-158).

3. Metode Men-takhrij Hadits

Ada beberapa cara atau jalan yang dapat ditempuh untuk men-takhrij hadits, yaitu (1) melalui pengenalan nama sahabat atau perawi hadits; (2) mengenai pengenalan awal lafadz atau matan suatu hadits; (3) melalui pengenalan topik yang terkandung dalam matan hadits; (4) melalui pengamatan tertentu yang terdapat dalam suatu hadits; (5) melalui pengenalan kata-kata yang merupakan bagian dari matan hadits.

Dari kelima cara tersebut yang terakhir dianggap paling praktis dalam melakukan kegiatan takhrij hadits. Alat yang dipakai ialah al-Mu‟jam al -Mufahras Li Alfazh al-Ahadits al-Nabawiyyah oleh A. J. Wensink, yang

menerjemahkan ke dalam bahasa arab oleh Muhammad Fu‟ad Abd al -Baqi (Sulaiman, 2008:158-159).

1. Langkah-langkah Takhrij Hadits

Teks Hadits Muslim nomor 2542

ِةَريِغُمْلا ُنْب ُناَمْيَلُس اَنَ ثَّدَح ِمِساَقْلا ُنْب ُمِشاَى اَنَ ثَّدَح ٍبْرَح ُنْب ُرْ يَىُز يِنَثَّدَح

ِةَفوُكْلا َلْىَأ َّنَأ ٍرِباَج ِنْب ِرْيَسُأ ْنَع َةَرْضَن يِبَأ ْنَع ُّيِرْيَرُجْلا ٌديِعَس يِنَثَّدَح

َّمِم ٌلُجَر ْمِهيِفَو َرَمُع ىَلِإ اوُدَفَو

اَنُىاَى ْلَى ُرَمُع َلاَقَ ف ٍسْيَوُأِب ُرَخْسَي َناَك ْن

(52)

ٌسْيَوُأ ُوَل ُلاَقُ ي ِنَمَيْلا ْنِم ْمُكيِتْأَي الًُجَر َّنِإ َلاَق ْدَق َمَّلَسَو ِوْيَلَع

Telah menceritakan kepadaku [Zuhair bin Harb]; Telah menceritakan kepada kami [Hasyim bin Al Qasim]; Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Al Mughirah]; Telah menceritakan kepadaku [Sa'id Al Jurairi] dari [Abu Nadhrah] dari [Usair bin Jabir] bahwa penduduk Kufah mengutus beberapa utusan kepada [Umar bin Khaththab], dan di antara mereka ada seseorang yang biasa mencela Uwais. Maka Umar berkata; "Apakah di sini ada yang berasal dari Qaran.Lalu orang itu menghadap Umar. Kemudian Umar berkata: 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Sesungguhnya akan datang kepadamu seorang laki-laki dari Yaman yang biasa dipanggil dengan Uwais. Dia tinggal di Yaman bersama Ibunya.Dahulu pada kulitnya ada penyakit belang (berwarna putih).Lalu dia berdo'a kepada Allah, dan Allahpun menghilangkan penyakit itu, kecuali tinggal sebesar uang dinar atau dirham saja.Barang siapa di antara kalian yang menemuinya, maka mintalah kepadanya untuk memohonkan ampun kepada Allah untuk kalian." Telah menceritakan kepada kami [Zuhair bin Harb] dan [Muhammad bin Al Mutsanna] keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami ['Affan bin Muslim]; Telah menceritakan kepada kami [Hammad] yaitu Ibnu Salamah dari [Sa'id Al Jurairi] melalui jalur ini dari ['Umar bin Al Khaththab] dia berkata; Sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sebaik-baik tabi'in, adalah seorang laki-laki yang dibiasa dipanggil Uwais, dia memiliki ibu, dan dulu dia memiliki penyakit belang ditubuhnya. Carilah ia, dan

mintalah kepadanya agar memohonkan ampun untuk kalian”.

(53)

Imam Muslim - Zuhair bin Harb- Hasyim bin Al Qasim- Sulaiman bin Al Mughirah- Sa'id Al Jurairi- Abu Nadhrah- Usair bin Jabir- Umar bin Khattab – Rasulullah saw.

3. Riwayat Akademik atau Jarh wa Ta‟dil a. Imam Muslim

Nama lengkap beliau ialah Imam Abdul Husain bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Dia dilahirkan di Naisabur tahun 206 H. Sebagaimana dikatakan oleh al-Hakim Abu Abdullah dalam kitabnya "Ulama'ul Amsar.Imam Muslim adalah penulis kitab syahih dan kitab ilmu hadits.Dia adalah ulama terkemuka yang namanya tetap dikenal sampai kini (Pramono, 2012:273).

Kehidupan Imam Muslim penuh dengan kegiatan mulia.Beliau merantau ke berbagai negeri untuk mencari hadits.Dia pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya.Dia belajar hadits sejak masih kecil, yakni mulai tahun 218 H. Dalam perjalanannya, Muslim bertemu dan berguru pada ulama hadis.

(54)

Imam Muslim berulangkali pergi ke Bagdad untuk belajar hadits, dan kunjungannya yang terakhir tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Muslim sering berguru kepadanya. Sebab dia mengetahui kelebihan ilmu Imam Bukhari. Ketika terjadi ketegangan antara Bukhari dengan az--Zuhali, dia memihak Bukhari. Sehingga hubungannya dengan az-Zuhali menjadi putus.Dalam kitab syahihnya maupun kitab lainnya, Muslim tidak memasukkan hadits yang diterima dari az-Zuhali, meskipun dia adalah guru Muslim.Dan dia pun tidak memasukkan hadits yang diterima dari Bukhari, padahal dia juga sebagai gurunya. Bagi Muslim, lebih baik tidak memasukkan hadits yang diterimanya dari dua gurunya itu. Tetapi dia tetap mengakui mereka sebagai gurunya.

Setelah mengarungi kehidupan yang penuh berkah, Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di makamkan di kampong Nasr Abad daerah Naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun. Selama hidupnya, Muslim menulis beberapa kitab yang sangat bermanfaat.

(55)

Sa'id al-Aili, Qutaibah bin sa'id dan lain sebagainya. Murid yang meriwayatkan Haditsnya.

Banyak para ulama yang meriwayatkan hadits dari Imam Muslim, bahkan di antaranya terdapat ulama besar yang sebaya dengan dia. Di antaranya, Abu Hatim ar-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Abu Bakar bin Khuzaimah, Yahya bin Said, Abu Awanah Isfarayini, Abi isa at-Tirmidzi, Abu Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abul Abbas Muhammad bin Ishaq bin as-Sarraj, Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan al-Faqih az-Zahid. Nama terakhir ini adalah perawi utama bagi Syahih Muslim. Dan masih banyak lagi muridnya yang lain.

(56)

Imam Muslim mendapat pujian dari ulama hadis dan ulama lainnya. Al-Khatib al-Bagdadi meriwayatkan dari Ahmad bin Salamah, katanya "Saya me-lihat Abu Zur'ah dan Abu Hatim selalu mengutamakan Muslim bin al-Hajjaj dari pada guru- guru hadits lainnya. Ishak bin Mansur al-Kausaj berkata kepada Muslim: "Kami tidak akan kehilangan kebaikan selama Allah menetapkan engkau bagi kaum muslimin."Ishak bin Rahawaih pernah mengatakan: "Adakah orang lain seperti Muslim?".

Ibnu Abi Hatim mengatakan: "Muslim adalah penghafal hadits. Saya menulis hadits dari dia di Ray." Abu Quraisy berkata: "Di dunia ini, orang yang benar- benar ahli hadits hanya empat orang. Di antaranya adalah Muslim."Mak-sudnya, ahli hadits terkemuka di masa Abu Quraisy.Sebab ahli hadits itu cukup banyak jumlahnya.

Imam muslim mempunyai kitab hasil tulisannya yang jumlahnya cukup banyak. Di antaranya:

1) Al-Jamius Syahih

2) Al-Musnadul Kabir Alar Rijal

3) Kitab al-Asma' wal Kuna

4) Kitab al-Ilal

5) Kitab al-Aqran

(57)

8) Kitab al-Muhadramain

9) Kitab Man Laisa Lahu illa Rawin Wahidin

10)Kitab Auladus Sahabah

11)Kitab Auhamul Muhadisin.

Kitabnya yang paling terkenal sampai kini ialah Al-Jamius Sahih atau Sahih Muslim.Di antara kitab-kitab di atas yang paling agung dan sangat bermanfaat luas, serta masih tetap beredar hingga

kini ialah Al Jami‟ as-Sahih, terkenal dengan Sahih Muslim.Kitab ini merupakan salah satu dari dua kitab yang paling sahih dan murni sesudah Kitabullah.Kedua kitab Sahih ini diterima baik oleh segenap umat Islam.

Imam Muslim telah mengerahkan seluruh kemampuannya untuk meneliti dan mempelajari keadaan para perawi, menyaring hadits-hadits yang diriwayatkan, membandingkan riwayat itu satu sama lain. Muslim sangat teliti dan hati-hati dalam menggunakan lafaz-lafaz, dan selalu memberikan isyarat akan adanya perbedaan antara lafaz-lafaz itu. Dengan usaha yang sedeemikian rupa, maka lahirlah kitab Sahihnya (Pramono, 2012: 273).

b. Zuhair bin Harb

(58)

Beliau tinggal di Baghdad.Beliau dilahirkan pada tahun 160 H, dan beliau wafat tahun 234 H.

Beliau ada pada tingkatan Thobaqoh ke 10 (Kibar Al-Akhidzina „an Taba‟ Al-Atba‟). Beliau adalah rawi yang sering disebut

dalam kutubus Sittah, diantaranya: Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, An-Nasaa-i, dan Ibn Majah. Ibn Hajar menilai baik kepadanya dengan ucapan “Tsiqqah Tsabat”. Sedangkan Adz-Dzahabi menilai baik kepadanya dengan ucapan “Al-Hafizh”.

Ya‟qub bin Syaibah berkata: Zuhair lebih tsiqqah dari pada Abu Bakr bin Abi Syaibah.

Beliau memiliki sekitar 111 guru diantaranya adalah Ya‟qub bin Ibrahim, AL-Walid bin Muslim, dan Yazid bin Harun. Dan beliau memiliki murid sekitar 25 Murid, diantaranya adalah Muslim bin Hajjaj, Muhammad bin Ismail Bukhari, dan Sulaiman bin

Al-Asy‟ats Abu Dawud (Tahzibu-tahdzib, Juz 1: 637). c. Hasyim ibnul Qosim

Hasyim Ibn Qosim Ibn Muslim Ibn Muqsim Laitsi Abu Al-Nadhr al-Baghdadi al-hafidh.Ia meriwayatkan hadits dari „Ikrimah Ibn

Umar, Huraiz Ibn Utsman, Waraqa‟ Ibn Amr, dan lain-lain. Abu al-Nadhr dilahirkan pada tahun 134 H dan wafat pada bulan Dzul-

(59)

Ibnu Mu‟in, Ibnu Al-Madini, Ibnu Sa‟id, dan Ibnu Hatim mengatakan bahwa Hasyim adalah seorang yang kuat hafalannya. Ajali Al-Baghdadi mengatakan bahwa penduduk Baghdad sangat senang dengan keberadaan Hasyim. Al-Abd al-Barr mengatakan bahwa para

ulama sepakat bahwa Hasyim adalah seorang yang jujur. Imam Nasa‟I

mengatakan bahwa Hasyim adalah seorang yang tidak bermasalah.Al-Hakim mengatakan bahwa Hasyim adalah seorang penghafal hadits yang kuat (Hafidz Tsabt) (Tahdzibu-tahdzib, Juz 4: 260).

d. Sulaiman bin Al-Mughirah

Ia adalah Sulaiman bin Al Mughirah Al-Qoisiyyu. Beliau berasal dari kalangan tabi‟in.memilik kuniyah Abu Sa'id. Ia hidup Madinah dan wafat pada tahun 165H

Komentar Ulama:

1) Yahya bin Ma'in : Tsiqah Tsiqah 2) Ahmad bin Hambal: tsabat tsabat 3) An Nasa'i : Tsiqah

4) Muhammad bin Sa'id: Tsiqah tsabat

5) Ibnu Syahin: Disebutkan dalam Ats-Tsiqaat 6) Ibnu Hibban : Disebutkan dalam Ats-Tsiqaat

(60)

e. Sa‟id Al-Jurairi

Sa‟id Al-Jurairi adalah Sa‟id Ibn Iyas.Memiliki kuniyah Abu

Mas‟ud.Laqobnya Al-Jurairi, Al-Basriy, dan Al-Azdy.Wafat pada tahun 144. Nama aslinya adalah Sa‟id Ibn Abi Iyas tingkatan ke lima. Yang mengeluarkan haditsnya adalah Bukhari, Muslim, Abu

Dawud, Tirmidzi, Nasa‟I dan Ibnu Majah.Beliau adalah seorang

yang tsiqqah (Rijalul Hadits, Juz 2: 28). f. Abu Nadhrah

Adalah Mundzir bin Malik bin quto‟ah perawi Bukhari dalam at

-ta‟liq, Muslim dan Ashabussunan. Ibnu ma‟in, Abu Zur‟ah, Nasa‟i,

Ibnu Sa‟ad, Ahmad bin Hanbal menyatakan tsiqqah (at-Tahzdib juz 10 no 528).Ibnu Hajar menyatakan Tsiqaat (at-Taqrib 2/213). g. Usair bin Jabir

Usair bin Jabir adalah Usair bin „Amr atau bin Jabir r.a. memiliki kuniyah Al-Khiyar. Dikatakan bahwa Ia adalah seorang tabi‟in. yangmengeluarkan hadits adalah Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan

Nasa‟i. Ia seorang yang Tsiqqah (Rijalul hadits, Juz 1: 139). h. Umar bin Khatabb

Nama lengkapnya adalah Umar bin Khattab bin Nufail bin Abd Uzza

bin Raba‟ah bin Abdillah bin Qurth bin Ady bin Ka‟ab bin Lu‟ay bin

(61)

Al-Beliau lahir pada Tahun 513 M dan wafat pada tanggal 23 Dzul Hijjah dengan syahid.Tingkatannya berada pada tingkatan sahabat.Yang mengeluarkan haditsnya adalah Bukhari, Muslim, Abu Dawud,

Tirmidzi, Nasa‟i, dan Ibnu Majah (Rijalul Hadits, Juz 3: 106). Ibnu Hibban mengatakan bahwa Iatsiqqat (Tahzibu-tahzib, 5: 286).

4. Kesimpulan

(62)

BAB IV

PEMBAHASAN

PENDIDIKAN AKHLAK DALAM KISAH UWAIS ALQARNI

(Hadits Riwayat Imam Muslim)

A. Nilai-nilai Pendidikan Akhlak

1. Berbakti kepada orang tua

Kedua orang tua adalah sepasang manusia yang paling berjasa dalam kehidupan kita. Karena cinta dan kasih sayang tulus mereka, kita mendapati kehidupan ini indah dan penuh bahagia. Karena perjuangan keras dan jerih payah mereka, terpenuhilah segala kebutuhan dan pendidikan kita.Kedua orang tua adalah orang yang tidak pernah mengharapkan balasan atas segala kebaikan yang telah mereka berikan, meskipun jasa mereka kepada kita sangatlah besar, tidak bisa dilukiskan dengan kata dan dijumlahkan dengan hitungan angka (Hadi, 2009: 1).

(63)

Adapun landasan berbakti kepada kedua orang tua diantaranya ayat al-Qur‟an

















































































Artinya: dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling.

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sehingga berbakti kepada kedua orang tua adalah kewajiban. Di bawah ini beberapa pribadi Uwais Al-Qarni yang mencerminkan kebaktiannya terhadap orang tuanya:

Seorang pribadi shaleh seperti ini sebetulnya dapat melihat Rasulullah saw dan meraih kedudukan sebagai seorang sahabat beliau. Apakah

yang menghalanginya untuk berjumpa dengan Rasulullah saw sehingga

ia tidak dapat meraih tujuan luhur, yakni menjadi sahabat rasul?

Penghalang itu adalah birrul walidain”(Mahmud, 2006: 133).

(64)

Uwais rahimahullah mempunyai seorang ibu yang kepadanya ia berkhidmat dan berbakti sehingga ia tidak memiliki kesempatan

berjumpa Rasul saw.” (Mahmud, 2006: 133).

“Ia tidak peduli kepada selain ibunya” (Mahmud, 2006: 137).

Ternyata Uwais bin Amir adalah seorang anak yang sangat berbakti kepada ibunya. Ia senantiasa menjaga dan merawat ibunya yang telah

renta dengan penuh kesabaran dan kasih sayang” (Hadi, 2009:13).

Ia selalu menggendong ibunya kemanapun ia pergi” (Hadi, 2009: 13).

Bahkan ia pernah menggendong ibunya dari Yaman menuju Mekkah untuk menunaikan haji” (Hadi, 2009: 13).

Banyak ayat al-Qur‟an yang menjelaskan betapa pentingnya berbakti kepada orang tua. Sehingga Allah selalu menyandingkan antara beribadah dengan berbakti kepada orang tua. Bahkan salah satu kunci kesuksesan seseorang dalam hidupnya adalah berbakti kepada orang tua.

Tidak hanya al-Qur‟an yang menyebutkan untuk berbakti kepada orang tua, hadits sebagai sumber hukum Islam yang ke dua pun menerangkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua adalah sebuah kewajiban anak. Sebuah hadits yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari yang artinya: Dari Al-Mughirah bin Syu‟ban r.a. ia berkata, Nabi Saw telah bersabda: “ Sungguh Allah ta‟ala mengharamkan kalian durhaka

(65)

mengubur hidup-hidup anak perempuan. Allah juga membenci orang

yang banyak bicara, banyak pertanyaan dan menyia-nyiakan harta.”

(H.R.Bukhari).

2. Zuhud

Secara etimologis Zuhud berasal dari kata berbahasa Arab Zuhd, yang berasal dari turunan fi‟il: zahada-yazhadu-zuhdun yang berarti meninggalkan dan tidak menyukai (digital_119808-T25361-Hubungan wara-literatur.pdf Failed-google.com). Sedangkan zuhud secara istilah adalah berpalingnya keinginan terhadap sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Ilmu yang mengantarkan manusia ke gerbang zuhud adalah ilmu tentang betapa hinanya sesuatu yang ditinggalkan jika dibandingkan dengan sesuatu yang diambil (Imtihan As-Syafi‟i, 2001: 67).

Menurut Amin Syukur dalam karyanya Zuhud di abad Modern, beliau berpendapat bahwa zuhud secara terminologi tidak bisa dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak dapat terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Makna

pertama, apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi

(66)

Dunia dipandang sebagai sarana ibadah untuk meraih keridhaan Allah swt. bukan untuk tujuan hidup. Zuhud adalah hilangnya ketergantungan hati terhadap harta, bukan berarti sepi dari harta (Syukur, 1997: 3).

Berikut sikap yang menunjukkan kezuhudan dari seorang Uwais Al-Qarni:

Kami meninggalknanya, karena ia hanya memiliki sedikit harta dan pakaian pun using” (Saiful Hadi, 2009: 10).

“Seseorang yang zuhud dan ahli ibadah” (Mahmud, 2006: 136).

Wahai saudaraku, mengapa engkau tidak datang ke majelis kita?” tanya Asir kepada Uwais rahimahullah. “Tidak ada baju” jawab Uwais

(Mahmud, 2006: 136).

Kezuhudannya yang membuat penduduk langit iri. Mengingat Uwais adalah seorang pemuda gagah dan tampan, namun Ia bisa menthalak

dunia dengan talak yang tak dapat kembali. Sungguh kehidupannya

hanyalah surga yang dia inginkan.Kemewahan apapun yang ditawarkan

dunia sudah tidak mampu membuatnya menoleh sedikitpun. Sehingga Ia

patut dijadikan panutan dalam akhlak kezuhudannya

(Mahmud,2006:136). 3. Syukur

(67)

diberikan oleh Allah kepada kita. Bersyukur artinya berbuat baik kepada diri sendiri dan orang lain (Effendy, 2012: 13).

Dalam kutipan buku Labib (2004: 223), menurut Ghazali syukur erat kaitannya dengan dzikrullah atau mengingat Allah.Karena rasa syukur tersebut dinyatakan dengan mengetahui bahwa tiada pemberian kenikmatan selain Allah swt. Sesuai firman Allah dalam surat al-baqarah ayat 152:















Artinya: karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

Syukur adalah salah satu sifat yang merupakan hasil refleksi dari sikap tawakal. Bersyukur dan bersabar adalah perbuatan yang paling disukai Allah. Jangan menunggu nikmat baru bersyukur, akan tetapi bersyukurlah maka nikmat akan datang.

Syukur dalam kisah Uwais tidak tersurat. Namun dapat dipahami bahwa Uwais adalah seorang yang besar syukurnya.Terlihat dari kalimat

“ketika malam datang Ia berkata „ini malam sujudku‟ hingga Ia akan sujud sampai pagi”.Ia bersyukur memiliki ibu yang dapat ia jadikan jalan menuju

surga-Nya. sehingga ketika Ia berdo‟a maka yang dia do‟akan cukup ibunya. 4. Wara‟

(68)

secara istilah wara‟ adalah menjauhkan diri dari barang yang haram dan syubhat (sifatnya meragukan, antara halal dan haram). Terhadap yang halal dan mubah mengambil sekadar yang diperlukan pula (Mahyuddin Ibrahim, 1990:112).

Diterangkan dalam sebuah hadits riwayat Al-Hakim bahwa orang yang makan makanan haram maka ibadahnya tidak akan diterima. Sebab segala hal yang dilakukan bersumber dari sari makanan yang haram. Sehingga yang ditimbulkan oleh gerakan tubuh kita berupa tindakan yang sumbernya busuk.

“kezuhudandan kewara‟an sang imam ini sampai membuatnya tidak

pernah merasa swgan mengambil makanan dari tempat sampah lalu Ia

membersihkannya kemudian sebagiannya dimakan atau

disedekahkan”(Mahmud, 2006: 136).

5. Qana‟ah

Qana‟ah ialah menerima dengan rela apa yang ada atau merasa cukup dengan apa yang dimiliki (Tatapangarsa, 1991:153). Qona‟ah

adalah sikap tidak merasa gelisah apabila terdapat kekurangan.Rela makan nasi dengan garam asal halal. Tidak perlu berutang, menggadai, atau menjual barang miliknya. Dengan pendapatan kecil pun, asal itu didapat dengan cara halal, ia akan berlapang dada. Itulah gambaran seorang yang

Referensi

Dokumen terkait