• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.55 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.55 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR KM.55 TAHUN 2006

TENTANG

TATA CARA PEMERIKSAAN KECELAKAAN KAPAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang:

a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2004, telah diatur ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan pendahuluan dan lanjutan terhadap kecelakaan kapal;

b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud tersebut di atas, perlu mengatur tata cara pemeriksaan kecelakaan kapal dengan Peraturan Menteri Perhubungan.

Mengingat:

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3734);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2000 tentang Kepelautan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3929);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4227);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pemeriksaan Kecelakaan Kapal (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4369);

6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Fungsi, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Perhubungan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2005;

7. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Perhubungan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor Tahun 2006.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

(2)

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal adalah kegiatan penyelidikan atau pengusutan suatu peristiwa kecelakaan kapal yang dilaksanakan atas dasar laporan kecelakaan kapal untuk mencari keterangan dan/atau bukti-bukti awal atas terjadinya kecelakaan kapal.

2. Pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal adalah kegiatan penyelidikan atau pengusutan dan persidangan suatu peristiwa kecelakaan kapal sebagai tindak lanjut pemeriksaan pendahuluan.

3. Tersangkut adalah Nakhoda atau Pemimpin Kapal dan/atau Perwira Kapal yang diduga melakukan kesalahan dan/atau kelalaian dalam penerapan standar profesi kepelautan yang menyebabkan kecelakaan kapal.

4. Saksi adalah setiap orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan pemeriksaan mengenai suatu peristiwa kecelakaan kapal yang didengar sendiri, dilihat sendiri atau dialami sendiri, atau pihak lain yang berwenang yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kapal yang mengalami kecelakaan atau peristiwa kecelakaan tersebut.

5. Saksi Ahli adalah orang yang memiliki keahlian di bidang tertentu yang memberikan keterangan sesuai dengan keahliannya dalam pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal untuk membuat terang suatu peristiwa kecelakaan kapal.

6. Perwira Kapal adalah para mualim, masinis, dan perwira radio kapal.

7. Penasehat Ahli adalah orang yang karena keahliannya ditunjuk oleh Tersangkut untuk mendampingi Tersangkut selama berlangsungnya pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal.

8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang perhubungan laut.

BAB II

PEMERIKSAAN PENDAHULUAN

Bagian Pertama Laporan Kecelakaan Kapal

Pasal 2

(1) Pemeriksaan kecelakaan kapal dilakukan terhadap semua kecelakaan kapal yang terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia dan kecelakaan kapal berbendera Indonesia yang terjadi di luar wilayah perairan Indonesia.

(2) Kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: a. kapal tenggelam;

b. kapal terbakar; c. kapal tubrukan;

(3)

d. kecelakaan Kapal yang menyebabkan terancamnya jiwa manusia dan kerugian harta benda; e. kapal kandas.

Pasal 3

(1) Setiap orang yang berada di atas kapal yang mengetahui di kapalnya terjadi kecelakaan kapal, sesuai batas kemampuannya wajib melaporkan kecelakaan kapal kepada:

a. Syahbandar pelabuhan terdekat bila kecelakaan terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia; b. Pejabat Perwakilan RI terdekat dan Pejabat Pemerintah Negara setempat yang berwenang apabila

kecelakaan kapal atau pelabuhan pertama yang disinggahi sesudah kecelakaan kapal terjadi di luar wilayah perairan Indonesia.

(2) Kewajiban melaporkan kecelakaan kapal kepada Syahbandar atau Pejabat Perwakilan RI atau Pejabat Pemerintah Negara setempat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), setelah kewajiban penyampaian laporan oleh Nakhoda atau Pemimpin Kapal atau Perwira Kapal tidak dapat dilaksanakan. (3) Laporan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan secara lisan atau

bahasa isyarat lainnya atau tertulis.

Pasal 4

(1) Nakhoda atau Pemimpin Kapal, yang:

a. kapalnya mengalami kecelakaan kapal;

b. menyebabkan kapal lain mendapat kecelakaan kapal; c. mengetahui kapal lain mendapat kecelakaan kapal;

d. membawa awak kapal atau penumpang dari kapal yang mengalami kecelakaan kapal,

wajib melaporkan kecelakaan kapal kepada Syahbandar pelabuhan terdekat bila kecelakaan kapal terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia.

(2) Nakhoda atau Pemimpin Kapal berbendera Indonesia yang mengalami kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan kecelakaan kapal kepada Pejabat Perwakilan Republik Indonesia terdekat dan Pejabat Pemerintah Negara setempat yang berwenang apabila kecelakaan kapal atau pelabuhan pertama yang disinggahi sesudah kecelakaan kapal terjadi berada di luar wilayah perairan Indonesia.

Pasal 5

(1) Laporan Kecelakaan Kapal (LKK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dibuat secara tertulis oleh Nakhoda atau Pemimpin Kapal.

(2) Apabila Nakhoda atau Pemimpin Kapal meninggal dunia atau hilang dalam kecelakaan kapal, laporan kecelakaan kapal dibuat oleh Perwira Kapal dengan urutan tanggung jawab di atas kapal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(3) Pembuatan Laporan Kecelakaan Kapal (LKK) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mengisi blangko sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan ini dan disampaikan kepada Syahbandar pada pelabuhan terdekat atau pelabuhan tujuan atau pelabuhan pertama yang disinggahi. (4) Kapal berbendera Indonesia yang mengalami kecelakaan di luar wilayah perairan Indonesia, Laporan

(4)

Pemerintah negara setempat yang berwenang atau pelabuhan pertama yang disinggahi.

(5) Laporan Kecelakaan Kapal (LKK) disampaikan selambat-lambatnya satu dua puluh empat jam setelah Nakhoda atau Pemimpin Kapal tiba di pelabuhan pertama yang disinggahi sesudah terjadinya kecelakaan kapal.

Pasal 6

Laporan Kecelakaan Kapal (LKK) yang dilaporkan kepada Pejabat Perwakilan Indonesia terdekat atau Pejabat Pemerintah negara setempat sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (4) diteruskan kepada Direktur Jenderal untuk digunakan sebagal dasar penyusunan Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP) yang

ditandatangani Pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal.

Bagian Kedua

Tata Cara Mencari Keterangan dan Pemanggilan

Pasal 7

Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal yang dilakukan oleh Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal dapat mencari keterangan yang diperlukan dari:

a. Nakhoda atau Pemimpin Kapal; b. Perwira Kapal;

c. Anak Buah Kapal; d. Pihak lainnya.

Pasal 8

(1) Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal setelah menerima Laporan Kecelakaan Kapal (LKK) melakukan pemanggilan terhadap Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal, Anak Buah Kapal dan pihak lainnya, dibuat secara tertulis.

(2) Surat panggilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memuat hari, tanggal, waktu dan tempat

diadakan dengan menyebut nama, jabatan/pekerjaan dan kapasitasnya dalam pemeriksaan pendahuluan, yang disampaikan langsung kepada Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal, Anak Buah Kapal dan pihak lainnya, melalui Perusahaan Pelayaran, keluarga yang bersangkutan, Pejabat Pemerintah setempat atau orang lain yang dianggap patut menyampaikan surat panggilan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan ini.

(3) Apabila Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal, Anak Buah Kapal dan pihak lainnya tidak

memenuhi panggilan harus menyampaikan alasan secara tertulis yang disampaikan kepada Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya surat panggilan.

(4) Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal melakukan panggilan yang kedua dan apabila panggilan kedua tetap tidak dipenuhi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja,

dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau dilaporkan kepada pihak yang berwajib.

(5)

bagian Ketiga

Tata Cara Pembuatan Hasil Pemeriksaan Pendahuluan

Pasal 9

(1) Hasil pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya laporan kecelakaan kapal.

(2) Hasil pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilampiri dengan:

a. kesimpulan hasil pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal; b. laporan kecelakaan kapal;

c. dokumen lain yang diperlukan.

Pasal 10

(1) Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal dituangkan secara tertulis dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP) dengan bentuk sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan ini, dilakukan dengan cara interogasi dan/atau tanya jawab dan tidak boleh dilakukan penekanan, pemaksaan, dan pengaruh kepada yang diperiksa.

(2) Untuk mempermudah Pemeriksaan Pendahuluan dapat mempergunakan Alat Perekam atau Radio Tape yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan dalam pembuatan Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP).

Pasal 11

Pemeriksaan pendahuluan dapat dilakukan oleh Tim yang dipimpin Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal.

Pasal 12

(1) Hasil pemeriksaan dibacakan kembali oleh Pemeriksa dengan jelas dan dapat dimengerti oleh Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal, Anak Buah Kapal dan pihak lainnya.

(2) Apabila Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal. Anak Buah Kapal dan pihak lainnya tidak keberatan atas hasil pemeriksaan yang dibacakan, yang bersangkutan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP) pada kolom yang telah ditentukan.

(3) Dalam hal Nakhoda atau Pemimpin Kapal, Perwira Kapal, Anak Buah Kapal dan pihak lainnya tidak mau menanda tangani Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP), dicatat dalam Berita Acara

Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP).

(4) Setelah Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP) selesai dibuat, Pemeriksa membuat Resume atau Kesimpulan dengan bentuk sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan ini.

Bagian Keempat

(6)

Pasal 13

(1) Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BAPP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan dokumen-dokumen pendukungnya yang diperlukan telah lengkap, disampaikan kepada Direktur Jenderal rangkap 3 (tiga).

(2) Dokumen-dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berdasarkan ukuran dan jenis kapal dan disusun sesuai urutan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan ini.

(3) Dokumen-dokumen pendukung yang merupakan fotokopi harus dilegalisir oleh Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal dengan membubuhkan tandatangan dan cap stempel kantor.

(4) Setelah dokumen-dokumen pendukung diperiksa, dipelajari dan dievaluasi Direktur Jenderal, apabila terdapat kekurangan dokumen-dokumen pendukung dikembalikan kepada Syahbandar atau Pejabat Pemerintah yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal, untuk dilengkapi dan diberi petunjuk.

Pasal 14

Direktur Jenderal mengirim Berkas Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BBAPP) dan kelengkapan dokumen pendukung kepada Mahkamah Pelayaran untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal.

Bagian Kelima Penghentian Pemeriksaan

Pasal 15

(1) Direktur Jenderal mengeluarkan surat penghentian pemeriksaan kecelakaan kapal dengan surat penetapan penghentian pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal yang tidak dimintakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Peraturan ini,

(2) Surat penghentian pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan mengenai dasar alasan tidak dimintakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal dan penetapan sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal.

Pasal 16

(1) Alasan tidak dimintakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal dan penetapan sebab-sebab terjadinya kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), didasarkan pada pertimbangan secara menyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan sekurang-kurangnya menyangkut aspek keselamatan pelayaran yang meliputi nautis teknis dan pengawakan.

(2) Alasan tidak dilakukannya pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud ayat (1), dilaporkan kepada Menteri.

BAB III

PEMERIKSAAN LANJUTAN

(7)

Penetapan Majelis

Pasal 17

(1) Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya Berkas Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan (BBAPP) dan kelengkapan dokumen pendukung dan tercatat pada Mahkamah Pelayaran, Ketua Mahkamah Pelayaran menetapkan Majelis untuk pemeriksaan lanjutan terhadap berkas perkara kecelakaan kapal.

(2) Pembentukan Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan menunjuk beberapa anggota Mahkamah Pelayaran sesuai keahlian yang dibutuhkan dalam Pemeriksaan Lanjutan Kecelakaan Kapal.

Pasal 18

(1) Susunan keanggotaan Majelis Hakim harus berjumlah ganjil dan sekurangkurangnya terdiri dari 5 (lima) orang yang ditunjuk dan ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Pelayaran dengan susunan terdiri dari Ahli Nautika Tingkat I, Ahli Teknika Tingkat I, atau Ahli Teknika Tingkat II, Sarjana Teknik Perkapalan dan seorang Sarjana Hukum dan diketuai seorang Ahli Nautika Tingkat I yang merangkap sebagai anggota. (2) Dalam melaksanakan tugas, Majelis Hakim dibantu seorang Sekretaris yang berfungsi sebagai pencatat

dalam Sidang Majelis dan selanjutnya Sekretaris Majelis dapat dijabat oleh Sekretaris Mahkamah Pelayaran atau seorang Sekretaris Pengganti.

(3) Sekretaris Majelis adalah seorang Sarjana Hukum.

(4) Ketua Mahkamah Pelayaran dapat menjadi Ketua Majelis Hakim dalam pemeriksaan kecelakaan kapal.

Pasal 19

(1) Majelis dipimpin oleh seorang Ketua Majelis, apabila Ketua Majelis berhalangan, maka Ketua Mahkamah Pelayaran menunjuk penggantinya.

(2) Anggota Majelis yang tidak hadir dalam persidangan karena suatu alasan, Ketua Mahkamah Pelayaran harus menunjuk pengganti sesuai keahliannya.

Pasal 20

(1) Anggota Majelis harus mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga atau semenda sampai derajat ketiga dengan Tersangkut, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan Tersangkut.

(2) Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 2x24 jam (dua kali dua puluh empat jam) sebelum persidangan dimulai.

(3) Ketua Mahkamah Pelayaran menunjuk pengganti anggota majelis hakim dengan keahlian yang sama dengan jumlah anggota tetap ganjil dan tidak boleh kurang dari 5 (lima) anggota majelis.

Pasal 21

Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah hasil sidang diputuskan, diketahui anggota majelis hakim terkena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) Ketua Mahkamah Pelayaran menunjuk penggantinya sesuai kualifikasi ijasah dan dilakukan sidang ulang.

(8)

Pasal 22

(1) Pengunduran diri yang disebabkan oleh selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), dikarenakan berhalangan, Ketua Majelis atau Anggota Majelis yang berhalangan wajib mengajukan permohonan baik secara lisan atau tertulis kepada Ketua Mahkamah Pelayaran sebelum sidang dimulai. (2) Permohonan pengunduran diri tersebut pada ayat (1) harus memuat alasan ketidakhadiran secara jelas. (3) Dalam hal permohonan pengunduran diri dapat diterima maka Ketua Mahkamah Pelayaran segera

menunjuk penggantinya disesuaikan dengan keahlian.

(4) Apabila permohonan pengunduran diri ditolak maka yang bersangkutan tetap melaksanakan tugasnya.

Bagian Kedua

Penelitian Berkas Perkara dan Pemanggilan

Pasal 23

(1) Majelis melakukan penelitian dengan mempelajari berkas perkara yang diterima, kemudian menentukan Tersangkut, Saksi dan Saksi Ahli serta kelengkapan Dokumen Kapal yang diperlukan dalam persidangan. (2) Apabila dari hasil penelitian yang dimaksud pada ayat (1) menyatakan perkara layak disidangkan maka

selanjutnya Ketua Majelis meneruskan berkas perkara kepada Sekretaris Mahkamah Pelayaran untuk dibuatkan Surat Panggilan kepada Tersangkut dan Saksi-saksi terkait untuk hadir dalam persidangan yang telah ditentukan waktu dan tempatnya.

Pasal 24

(1) Pemanggilan sidang dibuat secara tertulis dan jelas dikirimkan kepada yang bersangkutan dan harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum sidang dimulai. (2) Surat panggilan harus memuat hari, tanggal, waktu dan tempat diadakan dengan menyebutkan nama,

jabatan/pekerjaan, dan kapasitasnya dalam pemeriksaan lanjutan pada sidang Mahkamah Pelayaran. (3) Surat panggilan terhadap Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli dianggap sah apabila dilakukan dengan surat

yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Pelayaran sesuai format baku yang telah ditentukan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII Peraturan ini.

(4) Ketua Mahkamah Pelayaran dapat menugaskan Sekretaris Mahkamah Pelayaran untuk menandatangani surat panggilan atas nama Ketua Mahkamah Pelayaran.

Pasal 25

(1) Apabila Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli tidak dapat hadir sesuai dengan panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, yang bersangkutan harus menyampaikan secara tertulis alasan

ketidakhadirannya kepada Mahkamah Pelayaran selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum hari sidang dimulai,

(2) Apabila Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli tidak dapat hadir sesuai dengan panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, akan dilakukan pemanggilan kedua dengan dikirimkan kepada yang

bersangkutan dan harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum sidang dimulai.

(9)

(3) Apabila Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli tidak dapat hadir sesuai dengan panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, maka sidang tetap dilaksanakan dan diputus tanpa kehadiran yang bersangkutan.

Pasal 26

(1) Dalam hal yang bersangkutan berkedudukan atau berada di luar wilayah Republik Indonesia, pemanggilan dapat dilakukan dengan cara pengiriman melalui perwakilan Republik Indonesia di luar negeri untuk diteruskan ke tempat yang bersangkutan berkedudukan atau berada dan harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sebelum sidang dimulai. (2) Apabila Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli tidak dapat hadir sesuai dengan panggilan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 24, yang bersangkutan harus menyampaikan secara tertulis alasan

ketidakhadirannya kepada Mahkamah Pelayaran selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja sebelum hari sidang dimulai.

(3) Apabila Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli tidak dapat hadir sesuai dengan panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, akan dilakukan pemanggilan kedua dengan dikirimkan kepada yang

bersangkutan dan harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum sidang dimulai.

(4) Apabila Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli tidak dapat hadir sesuai dengan panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, maka sidang tetap dilaksanakan dan diputus tanpa kehadiran yang bersangkutan.

Pasal 27

(1) Perusahaan pelayaran wajib menghadirkan Tersangkut dan Saksi untuk memenuhi panggilan Mahkamah Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

(2) Perusahaan pelayaran yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1), dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 28

(1) Apabila Sidang Majelis memandang ketidakhadiran Saksi dan/atau Saksi Ahli dalam sidang disebabkan oleh hal atau alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan yang bersangkutan berkehendak memberikan kesaksian atau keterangannya, maka Sidang Majelis dapat meminta kepada yang bersangkutan memberikan kesaksian atau keterangannya secara tertulis di luar tempat dilaksanakan Sidang Majelis

(2) Kesaksian atau keterangan di luar tempat dilaksanakan Sidang Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan:

a. di kantor Syahbandar tempat terjadinya kecelakaan; atau

b. di kantor Syahbandar di luar tempat terjadinya kecelakaan yang mudah dijangkau oleh saksi dan/atau saksi ahli.

(3) Kesaksian atau keterangan dibuat secara tertulis di atas kertas bermaterai dan diketahui Syahbandar.

Pasal 29

(10)

ayat (1) Saksi dan/atau Saksi Ahli mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agama dan kepercayaannya dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal.

(2) Sumpah dan janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat oleh Mahkamah Pelayaran dalam bentuk berita acara sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII Peraturan ini, yang ditandatangani oleh yang bersangkutan yang isinya sebagai berikut:

a. bagi Saksi dan/atau Saksi Ahli yang beragama Islam sumpah sebagai berikut:

"Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya sebagai Saksi dalam peristiwa ini akan memberi keterangan yang benar dan tidak lain dari yang sebenarnya";

b. bagi Saksi dan/atau Saksi Ahli yang beragama Kristen Katolik janji sebagai berikut

"Saya berjanji, bahwa saya sebagai Saksi dalam peristiwa ini akan memberi keterangan yang benar dan tidak lain dari yang sebenarnya, semoga Tuhan menolong saya";

c. bagi Saksi dan/atau Saksi Ahli yang beragama Hindu janji sebagai berikut: " Om atah

paramawisesa, saya bersumpah bahwa saya sebagai saksi dalam perkara ini, akan memberikan keterangan yang benar tidak lain dari pada yang sebenarnya, om canti, canti, canti, om";

d. bagi Saksi dan/atau Saksi Ahli yang beragama Budha sumpah sebagai berikut:

" Demi sang Hyang Adi Budha, saya bersumpah bahwa saya sebagai saksi dalam perkara ini, akan memberikan keterangan yang benar tidak lain dari pada yang sebenarnya";

e. bagi Saksi dan/atau Saksi Ahli yang beragama Kong Hu Cu sumpah sebagai berikut:

" Hong Tian Kam Ciat Bonggan Cia Cwee, saya bersumpah bahwa saya sebagai saksi dalam perkara ini, akan memberikan keterangan yang benar tidak lain dari pada yang sebenarnya, om canti, canti, canti, om'.

(3) Pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Syahbandar sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) yaitu Syahbandar di tempat terjadinya kecelakaan atau Syahbandar di luar tempat terjadinya kecelakaan yang mudah dijangkau oleh Saksi dan/atau Saksi Ahli.

Bagian Ketiga

Perlengkapan Atribut Persidangan

Pasal 30

(1) Ruang Sidang Majelis Mahkamah Pelayaran disusun menurut tata cara sebagai berikut:

a. Meja ditutup kain warna hijau dan kursi Majelis letaknya lebih tinggi dari tempat Sekretaris Majelis, Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli, Penasehat Ahli dan Pengunjung.

b. Meja dan kursi Sekretaris Majelis terletak di sisi kiri depan Majelis, c. Kursi Tersangkut, Saksi, dan Saksi Ahli terletak di hadapan Majelis. d. Kursi Penasehat Ahli terletak di sebelah kanan Majelis.

e. Tempat pengunjung terletak di belakang tempat Tersangkut.

f. Bendera merah putih terletak di sisi kanan meja Majelis dan lambang Negara ditempatkan pada dinding bagian atas di belakang Majelis.

g. Meja peta laut diletakkan diantara meja Majelis dengan tempat kursi Tersangkut.

(11)

(2) Ruang Sidang Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tergambar dalam denah yang tercantum dalam Lampiran IX Peraturan ini.

(3) Dalam hal Sidang Majelis dilaksanakan di luar tempat kedudukan Mahkamah Pelayaran, tata cara penyusunan ruang Majelis sedapat mungkin disusun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

(4) Pakaian Anggota Majelis berupa pakaian sipil harian dengan memakai atribut nama dan lencana hakim. (5) Sekretaris Majelis memakai pakaian sipil harian dengan atribut nama dan logo Departemen Perhubungan.

Bagian Keempat Sidang Majelis

Pasal 31

(1) Ketua Majelis membuka Sidang Majelis dan menyatakan sidang terbuka untuk umum.

(2) Ketua Majelis berwenang memeriksa tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli secara tersendiri atau bersama-sama.

(3) Pada permulaan sidang, Ketua Majelis menanyakan kepada Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli tentang nama lengkap, kesehatan, tempat tanggal lahir, timur, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihat dalam sidang.

(4) Ketua Majelis menanyakan kepada Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli apakah ia sudah benar-benar mengetahui alasan pemeriksaan lanjutan dan apabila Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli tidak mengerti maka Ketua Majelis memberi penjelasan yang diperlukan.

Pasal 32

(1) Dalam Sidang Majelis, Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli dapat menyanggah keterangan yang tercantum dalam Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan yang telah ditandatangani sesuai dengan kebenaran yang nyata,

(2) Sanggahan keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan sebagai bahan pertimbangan Keputusan Sidang Majelis.

Pasal 33

Saksi dapat ditetapkan sebagai Tersangkut apabila dalam Sidang Majelis ditemukan bukti-bukti yang cukup sebagai Tersangkut.

Pasal 34

Apabila dalam Sidang Majelis, Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli tidak dapat berbahasa Indonesia, maka Tersangkut, Saksi dan/atau Saksi Ahli harus didampingi penterjemah atas biaya yang bersangkutan.

Bagian Kelima Penasehat Ahli

(12)

Pasal 35

(1) Dalam Sidang Majelis, Tersangkut dapat didampingi Penasehat Ahli.

(2) Penasehat Ahli sebagaimana dimaksud ayat (1) harus memiliki keahlian di bidang Nautika atau Teknika atau Elektronika atau Teknik Perkapalan atau Hukum yang menguasai dan memahami tentang

perkapalan dan pelayaran.

(3) Penilaian keahlian seperti tersebut dalam ayat (2) dilakukan oleh Majelis. (4) Jumlah Penasehat Ahli sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang.

Pasal 36

Dalam Sidang Majelis Tersangkut dapat meminta kepada Ketua Majelis untuk berkonsultasi dengan Penasehat Ahli dan sidang dapat ditunda sementara.

Pasal 37

(1) Penunjukan Penasehat Ahli untuk mendampingi Tersangkut dibuat secara tertulis di atas kertas bermeterai cukup.

(2) Selambat- lambatnya sebelum sidang dimulai, surat penunjukan Penasehat Ahli harus sudah diterima oleh Ketua Majelis.

(3) Dalam hal Penasehat Ahli yang ditunjuk dianggap menghambat persidangan, Ketua Majelis meminta agar Penasehat Ahli diganti.

Pasal 38

Penasehat Ahli dapat memberikan keterangan apabila diminta oleh Majelis.

Bagian Keenam Putusan

Pasal 39

(1) Putusan Majelis ditetapkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah pemeriksaan dinyatakan selesai oleh Majelis dan setelah Majelis melakukan pembahasan tentang hasil pemeriksaan.

(2) Putusan diambil dengan cara:

a. masing-masing Anggota Majelis mengusulkan tentang ada atau tidaknya kesalahan Tersangkut dan berat ringannya sanksi yang akan dijatuhkan sesuai dengan keyakinannya dengan menjelaskan dasar pertimbangan dan ketentuan yang dijadikan acuan;

b. putusan diambil dengan suara bulat; atau

c. jika terdapat perbedaan pendapat diantara Anggota Majelis tentang ada atau tidaknya kesalahan Tersangkut dan berat ringannya sanksi, maka penetapannya diambil berdasarkan suara terbanyak.

(13)

Pasal 40

Keputusan Mahkamah Pelayaran adalah Putusan Majelis yang dibuat dalam bentuk tertulis, sebagaimana tercantum dalam Lampiran X Peraturan ini.

Pasal 41

(1) Keputusan Mahkamah Pelayaran yang terdiri dari:

a. Ihtisar kejadian kecelakaan kapal sesuai pemeriksaan pendahuluan.

b. Keterangan yang diperoleh di hadapan Sidang Majelis Mahkamah Pelayaran. c. Pendapat Mahkamah Pelayaran, tentang:

1) Kapal, dokumen kapal dan awak kapal; 2) Keadaan cuaca;

3) Muatan/penumpang; 4) Navigasi dan olah gerak; 5) Sebab-sebab kecelakaan kapal; 6) Upaya penyelamatan; 7) Kesalahan dan/atau kelalaian. d. Diktum, yang terdiri dari

1) Kesimpulan sebab-sebab terjadinya kecelakaan; 2) Peraturan yang diberlakukan;

3) Sanksi yang dijatuhkan.

(2) Keputusan Mahkamah Pelayaran ditandatangani oleh ketua, para anggota dan Sekretaris Majelis.

Pasal 42

(1) Keputusan Mahkamah Pelayaran dibacakan oleh Ketua Majelis dalam Sidang terbuka untuk umum. (2) Hari dan tanggal pembacaan putusan Majelis diberitahukan kepada Pihak yang terkait,

selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum putusan dibacakan.

Pasal 43

(1) Keputusan Mahkamah Pelayaran dapat berupa pembebasan atau pengenaan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa:

a. Peringatan;

b. Pencabutan sementara sertifikat keahlian pelaut untuk bertugas dalam jabatan tertentu dikapal untuk waktu paling lama 2 (dua) tahun.

BAB IV

(14)

Pasal 44

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan Di Jakarta, Pada Tanggal 17 Oktober 2006

MENTERI PERHUBUNGAN, Ttd.

M. HATTA RAJASA

SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada: 1. Presiden RI;

2. Wakil Presiden RI;

3. Ketua Badan Pemeriksa Keuangan; 4. Menko Bidang Perekonomian;

5. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas; 6. Menteri Dalam Negeri;

7. Menteri Keuangan; 8. Menteri Perindustrian; 9. Menteri Perdagangan; 10. Menteri Pertanian;

11. Menteri Kelautan dan Perikanan;

12. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral; 13. Menteri Pertahanan;

14. Menteri Negara BUMN; 15. Panglima TNI;

16. Kapolri;

17. Para Gubenur/ Bupati/ Walikota seluruh Indonesia;

18. Sekjen, Irjen, Para Dirjen dan Para Kepala Badan di lingkungan Departemen Perhubungan; 19. Para Kepala Biro di lingkungan Sekretariat Jenderal Departemen Perhubungan;

20. Para Kepala Kantor Administrator Pelabuhan/Kepala Kantor Pelabuhan; 21. Ketua Mahkamah Pelayaran.

Referensi

Dokumen terkait

(6) Pemeriksaan dokumen tentang pengendalian fungsi dan manfaat hasil pembangunan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b meliputi pemenuhan

Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model pembelajaran penemuan terbimbing yang merupakan salah satu alternatif

(4) Segala hal yang timbul dari dan yang berhubungan dengan pelaksanaan ketentuan tersebut dalam ayat (2) diatur oleh Menteri Pertahanan- Keamanan/Panglima

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 10 Tahun 2014 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Izin Penggunaan Kapal Asing untuk Kegiatan Lain yang

Nakhoda atau pemimpin kapal yang tidak melaporkan setiap kecelakaan yang melibatkan kapalnya atau kapal lain yang diketahuinya, yang telah mengakibatkan atau dapat

untuk kapal dengan panjang lebih dari 24 m (dua puluh empat meter), yaitu lingkaran dengan garis tengah luar 300 mm (tiga ratus milimeter) dengan lebar garis 25

(1) Untuk dapat dilakukan pembebanan hipotek atas kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), pemilik kapal dan penerima hipotek atau penerima hipotek

(1) Untuk dapat dilakukan pembebanan hipotek atas kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), pemilik kapal dan penerima hipotek atau penerima hipotek secara sendiri atas