Laporan Analisis Kebijakan
TELAAH SOSIAL EKONOMI DALAM PENGEMBANGAN
PANGAN DI KAWASAN TIMUR INDONESIA
Herlina Tarigan Sri Hery Susilowati
Ketut Kariyasa
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN 2015
DAFTAR ISI 1. Pendahuluan ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan ... 4 1.4. 1.5. Hasil Yang Diharapkan ... Manfaat dan Dampak Kajian ... 4 4 2. Metodologi ... 5
2.1. Kerangka Pemikiran ... 5
2.2. Lokasi Kajian, Data dan Responden ... 6
2.3. Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data ... 6
3. Hasil dan Pembahasan ... 6
3.1. Evaluasi Program Pengembangan Pangan Merauke Sebelumnya.... 6
3.2. Kemampuan LKM-A Melaksanakan Kegiatan Agribisnis ... 14
3.3. LKM-A sebagai Lembaga Keuangan Mandiri Perdesaan: Sintesis .. 16
4. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan ... 19
4.1. Kesimpulan ... 19
4.2. Implikasi Kebijakan ... 20
1
1. Pendahuluan 1.1. Latar belakang
Beras merupakan pangan pokok yang masih mendominasi konsumsi masyarakat Indonesia. Program Diversifikasi Pangan belum mampu menggeser posisi pentingnya beras dibanding pangan lainnya. Selain untuk konsumsi masyarakat, beras juga digunakan sebagai bahan baku dalam berbagai industri. Kedudukan beras sebagai komoditi politis ditunjukkan oleh realita bahwa kelangkaan penyediaan beras dan melonjaknya harga beras, baik secara langsung ataupun tidak langsung, dapat mengakibatkan krisis ekonomi, sosial, dan politik.
Hingga saat tahun 2015 beras masih merupakan penyumbang terbesar PDB pada kelompok tanaman pangan, sumber pendapatan sebagian besar petani, penyedia lapangan kerja, dan merupakan sumber pangan pokok penting. Oleh karena itu, upaya pencapaian swasembada pangan berkelanjutan merupakan agenda penting yang terus diupayakan pemerintah mengingat persoalan pangan tidak saja terkait dengan konsumsi penduduk tetapi menjadi persoalan kedaulatan bangsa. Upaya meningkatkan produksi beras dalam rangka mempercepat terwujudnya kemandirian dan kedaulatan pangan, pemerintah menilai penting melakukan pengembangan kawasan pangan dengan memanfaatkan lahan sub optimal dan kawasan didaerah-daerah yang memiliki sumberdaya lahan dan air cukup potensial, khususnya di kawasan Timur Indonesia.
Salah satu pulau terbesar di kawasan Timur Indonesia adalah Pulau Papua. Agroekosistem wilayah ini sangat bervariasi mulai dari daerah pantai, dataran rendah, hingga dataran tinggi atau pegunungan yang dihuni oleh penduduk dengan suku-suku yang berbeda. Adaptasi masyarakat terhadap kondisi alam dan tantangan yang ada melahirkan sistem sosial-budaya-ekonomi yang berbeda pula. Interaksi masyarakat setempat dengan masyarakat luar atau pendatang memberi dampak tersendiri yang berpengaruh terhadap perkembangan dan dinamika masyarakat.
Pada era Orde Baru, pemerintah memiliki wacana untuk mengembangkan Merauke (wilayah yang terletak di bagian Selatan Pulau Papua) sebagai area
2
pertanian tanaman pangan, khususnya komoditas padi. Merauke ditetapkan sebagai salah satu lumbung pangan nasional. Hasil studi menunjukkan bahwa secara teknis Merauke sangat layak sebagai wilayah pengembangan pangan, khususnya padi (BBSDL dan Litbang, 2006). Potensi lahan basah sangat luas dengan faktor internal (fisik maupun kimia tanah) dan faktor eksternal (iklim dan ketersediaan air) menjadikan daerah ini strategis dikembangkan dengan model rice estate (Oka Adnyana, 2007). Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas dan dukungan teknologi pertanian yang sudah dihasilkan Badan Litbang Pertanian, pada tahun 2015 pemerintah memutuskan untuk memulai membangun kawasan pangan (food estate) di Merauke dengan membagi luas lahan satu juta hektar untuk dikelola BUMN (750 ha) dan swasta (250 ha).
Pengembangan kawasan pangan di Merauke merupakan perubahan paradigma dari pertanian konvensional yang dicirikan oleh pengelolaan secara
manual, skala kecil, dan business as usual ke pertanian modern yang dicirikan
oleh pengelolaan secara full mekanisasi, skala ekonomi dan unbusiness as usual.
Pertanian modern ini diharapkan mampu mengatasi beberapa persoalan yang menjadi kendala pertanian di Indonesia maupun di kawasan Merauke yakni keterbatasan tenaga kerja pertanian, kehilangan hasil pertanian akibat penanganan pasca panen yang kurang baik, ketidakstabilan harga produksi dan sebagainya.
Kementerian Pertanian telah membentuk tim advance yang telah
menyusun konsep pembangunan food estate termasuk menyusun anggaran
secara rinci. Pelaksanaannya bekerjasama dengan instansi pemerintah terkait seperti Bappenas, Kementerian Keuangan, Kementerian Agraria/BPN, Kementrian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta Pemerintah Daerah Merauke. Kerjasama ini diharapkan menjadi kekuatan sinergitas yang mempercepat pencapaian tujuan.
Pengembangan kawasan pangan akan mulai digarap tahun 2015 secara bertahap dengan membagi 250.000 ha terlebih dahulu, 250.000 ha tahun 2016 dan 250.000 lainnya tahun 2017. Alokasi 75 persen dikelola oleh BUMN yakni
3
anak usaha dari Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) yakni PT Pangan sedang sisanya, 25 persen diserahkan kepada swasta nasional. Berdasarkan tahapan ini telah ditetapkan lokasi lahan (masing-masing distrik) dan luas lahannya masing-masing.
Langkah penting dalam kegiatan ini mengarah pada pengembangan
infrastruktur, land clearing dan percetakan sawah, pengadaan sarana produksi
dan alat mesin pertanian, peningkatan kapasitas SDM, dan pembangunan agroindustri. Salah satu aspek yang masih menjadi persoalan bahkan tantangan besar dalam pengembangan kawasan pangan ini adalah aspek sosial ekonomi yang menyangkut budaya masyarakat setempat, baik terkait budaya bertani, orientasi berusahatani, maupun persoalan-persoalan agraria (Makarim, 2006; Adnyana, 2007). Pengabaian pada aspek ini berdampak pada analisis kelayakan usahatani dan risiko usaha karena berpotensi menjadi penghambat besar dalam proses pengembangan kawasan pangan.
1.2. Rumusan Masalah
Merauke merupakan daerah pengembangan yang banyak didatangi suku seperti Jawa, Sunda, Bugis, Manado bahkan suku Batak. Kehadiran pendatang telah mempengaruhi sistem sosial dan ekonomi masyarakat setempat, termasuk dalam sistem usahatani dan komoditas yang dikembangkan. Budaya bertani padi dengan sistem persawahan, kosumsi beras, dan sistem transaksi pasar merupakan sistem asing yang akhirnya diadopsi oleh masyarakat setempat dengan perubahan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang berakulturasi secara lambat.
Rencana pemerintah melaksanakan pengembangan pertanian padi secara modern di Merauke merupakan salah satu alternatif pengadaan beras nasional di bagian Timur Indonesia yang potensial dilihat dari kondisi fisik dan luas lahan potensial dan letaknya yang strategis dalam perdagangan pangan antar negara bahkan benua. Namun demikian, letak dan kondisi lahan, status pemilikan, sumberdaya manusia yang tersedia, kesiapan masyarakat setempat menghadapi sistem usahatani dan teknologi pertanian modern yang akan diterapkan masih merupakan pertanyaan yang membutuhkan penggalian
4
informasi dan data yang akurat. Aspek sosial ekonomi pengembangan pertanian padi modern dan dampaknya terhadap resiko kegagalan program maupun dampak terhadap sistem sosial ekonomi masyarakat merupakan aspek yang penting ditelaah sebelum program diluncurkan.
1.3. Tujuan
Tujuan umum adalah mengkaji pengembangan kawasan pangan di Merauke dalam rangka mendukung terwujudnya Lumbung Pangan Nasional.
Secara khusus tujuan kajian ini adalah :
1. Mengkaji aspek sosial ekonomi yang potensial mendukung dan
menghambat pengembangan kawasan pangan Merauke.
2. Merumuskan usulan kebijakan dalam program pengembangan kawasan
pangan Merauke.
1.4. Hasil Yang Diharapkan
Keluaran umum dari kajian ini adalah hasil analisis sosial ekonomi dalam pengembangan kawasan pangan Merauke sebagai upaya mewujudkan Lumbung Pangan Nasional.
1. Kajian potensi, peluang dan hambatan pengembangan kawasan pangan
Merauke dari sisi sosial ekonomi.
2. Usulan langkah-langkah kebijakan dalam program pengembangan kawasan
pangan Merauke.
1.5. Manfaat dan Dampak Kajian
Hasil kajian diharapkan bermanfaat bagi pemangku kepentingan, baik pemerintah, BUMN maupun swasta nasional yang terlibat dalam program pengembangan kawasan pangan Merauke. Informasi, hasil analisis, dan pertimbangan dari aspek sosial ekonomi diharapkan menjadi masukan yang penting agar program ini bisa mencapai sasaran dan dapat mengantisipasi faktor-faktor yang potensial menjadi penghambat percapaian tujuan program.
5
2. METODOLOGI
2.1. Kerangka Pemikiran
Upaya pencapaian swasembada pangan berkelanjutan merupakan agenda penting bagi Indonesia. Pertumbuhan jumlah penduduk menuntut pertambahan pangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Konsumsi beras penduduk Indonesia paling tinggi di dunia (Suswono, 2013), mencapai 139 kg/tahun (Wirjawan, 2012). Sebaliknya, usaha untuk meningkatkan produksi pertanian menghadapi berbagai permasalahan yang serius diantaranya lahan pertanian produktif yang semakin menyempit akibat alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang berlangsung sangat pesat.
Pengembangan pertanian tanaman pangan beras harus diarahkan ke lahan-lahan di luar Jawa, baik lahan potensial subur maupun lahan sub optimal seperti rawa pasang surut maupun rawa lebak. Merauke adalah salah satu lokasi yang dinilai memiliki potensi lahan dan air yang sesuai untuk tanaman padi. Topografi yang datar dan terhampar luas dengan penduduk transmigran Jawa yang berpengalaman sebagai petani padi sawah yang ditargetkan sebagai daerah pengembangan komoditas padi untuk kawasan Timur Indonesia.
Keberhasilan pengembangan pangan di Merauke dipengaruhi juga oleh faktor-faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Sumberdaya lahan dan air, status penguasaan lahan, lembaga pendukung pengembangan pertanian, analisis usahatani, tenaga kerja dan pemasaran hasil, serta infrastruktur pendukung lainnya sangat menentukan keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan Merauke sebagai kawasan pangan. Selain itu, masyarakat lokal Merauke perlu diajak, diarahkan dan dilibatkan menjadi pelaku utama program pengembangan yang dilaksanakan didaerahnya sehingga memperoleh dampak yang positif bagi kemajuan masyarakat setempat.
Penelitian ini semula akan dilakukan berulang sampai program terealisasi. Terkait alasan teknis, penelitian ini akhirnya hanya dilakukan sekali kunjungan lapang sehingga pembahasannya terbatas pada identifikasi dan analisis cepat terhadap langkah-langkah lanjutan yang bisa dilaksanakan agar program
6
pengembangan kawasan pangan Merauke ini bisa terwujud dan berjalan secara berkelanjutan. Temuan-temuan yang dicapai masih sebatas informasi awal yang bisa dijadikan landasan langkah ke depan.
2.2. Lokasi Kajian, Data dan Responden
Kajian ini difokuskan pada Program Pengembangan Kawasan Pangan Merauke di beberapa distrik, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua yang sudah ditetapkan sebagai lahan kawasan pengembangan. Jenis data yang pakai meliputi data sekunder dan primer. Data dan informasi sekunder dikumpulkan dari berbagai Instansi Pemerintah di Pusat maupun di daerah (Papua dan Merauke). Data dan informasi sekunder juga diperoleh melalui penelusuran dokumen baik yang dipublikasi maupun tidak dipublikasi terkait potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, sosial budaya masyarakat setempat, dan teknologi usahatani yang sudah berkembang dilokasi. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan aparat maupun tokoh masyarakat, termasuk diskusi dengan sesama peneliti dari latar belakang keilmuan yang berbeda. Pengumpulan data juga meliputi analisis ekonomi, nilai dan norma yang berlaku di masyarakat terkait dengan pertanian, pangan, inovasi teknologi dan lahan.
2.3. Pengumpulan, Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif dengan metode analisis cepat (quick assessment), didiskusikan, dan dilaporkan secara deskriptif.
7
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan utama survai ini adalah mengidentifikasi lahan 50.000 ha
pengembangan kawasan pangan Merauke yang akan menjadi starting point
program besar sejuta ha, dan mengkaji aspek sosial ekonomi yang potensial mendukung dan menghambat perencanaan program tersebut. Selanjutnya mencoba merumuskan usulan kebijakan sebagai pertimbangan dalam rangka memperlancar program pengembangan kawasan pangan Merauke.
Beberapa kegiatan yang dilaksanakan selama survei adalah diskusi dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke, Bappeda Merauke, dan Asisten Dua Pemda Provinsi Papua, Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi, serta kunjungan ke lapangan dengan mewawancara petani (transmigrasi maupun lokal), kelompok tani, pengusaha RMU, petugas BBU dan BBI. Hasil dari lapangan kemudian dianalisis dan didiskusikan dengan sesama peneliti yang berlatar belakang keilmuan yang berbeda, dengan pemda setempat, maupun dengan dinas terkait tingkat provinsi.
3.1. Evaluasi Program Pengembangan Pangan Merauke Sebelumnya
Secara agro ekosistem, Merauke sangat potensial sebagai wilayah pengembangan kawasan pangan. Topografi yang relatif datar dengan sumber air berupa sungai dan rawa yang luas. Dari 4.453.843 ha luas Merauke, hampir 90-an persen berupa hut90-an d90-an seluas 1.240.606,04 ha saat ini dinyatak90-an sebagai hutan produksi konversi. Namun sebagian besar lahan tersebut adalah tanah ulayat milik suku Marind Arin.
Rencana menjadikan Merauke sebagai kawasan pangan energi secara terintegrasi sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2000-an dengan program MIREE (Merauke Integrated Rice and Energy Estate) dilanjutkan dengan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Belajar dari pengalaman kegagalan kedua program ini setidaknya ada 2 (dua) masalah besar yang menjadi penyebab utama yaitu pelibatan dominan investor swasta dan pengabaian keberadaan masyarakat lokal dengan rencana mendatangkan tenaga kerja dari luar Merauke. Pemusnahan hutan sebagai sumber kehidupan dan kedatangan sejumlah besar tenaga kerja luar Merauke (lebih besar dari jumlah
8
jiwa masyarakat lokal) dinilai sebagai genosida atau pemusnahan sebuah
komunitas). Akibatnya, program menghadapi beragam hambatan baik dari masyarakat lokal, LSM, dan generasi muda Papua. Di tingkat perencanaan program sudah mendapat ganjalan dari tokoh setempat maupun tokoh luar yang berpihak pada masyarakat lokal.
Persoalan pangan khususnya swasembada pangan merupakan persoalan kebijakan politik negara sehingga tidak bisa diserahkan menjadi urusan privat atau melalui mekanisme pasar secara konvensional (Rachmat et al, 2013). Oleh karena itu, rencana pemerintah menjadikan Merauke sebagai kawasan pangan di Timur Indonesia dengan pesan khusus menghindari dominasi kapitalisme dan tidak menjadikan masyarakat lokal sebagai penonton adalah langkah mendasar bagi keberhasilan upaya ini ke depan. Langkah pertama diperlukan identifikasi lahan (ordinat fisik dan peta ulayat) disamping kesiapan lembaga penunjang (benih, teknologi mekanisasi, pasca panen dan lain-lainl), dan SDM yang tersedia.
3.2. Potensi Lokasi dan Telaah Aspek Sosial Ekonomi
Sumberdaya Pendukung
Keseuaian lahan untuk pertanian tanaman pangan di Merauke seluas 1.311.473 ha, sebagian besar masih dalam bentuk lahan hutan (BBSDL dan Litbang, 2007). Merauke terdiri dari 20 distrik dengan curah hujan 1070 mm, dan curah hujan harapan 1700 mm. Sejauh ini di beberapa distrik belum ada irigasi teknis, melainkan lebih merupakan irigasi penyelamat saat kemarau, karena airnya dari hujan atau sungai yang digerakkan dengan pompa. Pemilihan Merauke sebagai kawasan pangan di bagian Timur Indonesia didasarkan pada potensi lahan dan air yang sangat memadai jika diolah dengan baik dan serius. Meski demikian, pencetakan sawah maupun pembuatan pengairan memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Lokasi pengembangan kawasan pangan Merauke tahun 2015 difokuskan dibeberapa wilayah utama pangan yang tersebar di 14 kecamatan dengan luasan yang beragam (Tabel 3.1.). Prioritas pemerintah terhadap lahan tersebut semata-mata mempertimbangkan aspek-aspek dasar dan teknis lahan, akses terhadap lokasi lahan, maupun peluang pemanfaatannya.
9
Tabel 3.1. Potensi Lahan Pertanian di Kabupaten Merauke, 2015
Distrik Potensi (ha) Eksisting (ha) Total
Total (2015) 294,349.87 34,675.34 329,025.21 Animha 47,213.38 544.54 47,757.92 Jagebob 74,000.00 1,609.48 75,609.48 Kimaam 0.00 565.90 565.90 Kurik 46,700.39 15,959.53 62,659.92 Marind 17,731.83 5,491.96 23,223.79 Merauke 1,549.97 2,413.75 3,963.72 Muting 0.00 1,896.13 1,896.13 Naukenjerai 0.00 2,884.96 2,884.96 Ngguti 0.00 359.76 359.76 Semangga 20,833.62 1,497.04 22,330.66 Sota 14,105.48 71.52 14,177.00 Tabonji 0.00 289.82 289.82 Tanah Miring 72,215.20 1,024.08 73,239.28 Ulilin 0.00 66.87 66.87
Ketersediaan lahan juga didukung juga oleh sumberdaya air dari empat sungai besar yang mengalir di wilayah Merauke yakni Sungai Bian, Sungai Digul, Sungai Kumbai, dan Sungai Maro. Keempat sungai tersebut berukuran (panjang dan lebar) cukup besar dengan arus yang relatif kecil. Sungai potensial dijadikan sumber pengairan sawah-sawah yang terdapat disekitarnya, terutama pada musim kemarau. Ketersediaan air dalam jarak yang dekat dengan volume air yang besar berfungsi menekan biaya irigasi menjadi jauh lebih mudah dan murah. Khusus Sungai Kumbai dan Sungai Maro memiliki arus yang memadai untuk ditarik menjadi sumber pengairan lahan pertanian sampai jarak tertentu yang cukup jauh.
10
Tabel 3.2. Karakteristik Sungai Utama Pendukung Pengairan di Merauke, 2015
Nama
Sungai Panjang (km) Lebar(m)
Kecepatan arus (km/jam) Luas DAS (km2) Debit air waktu surut (m3/dt) Bian 210 117-1.450 1,62 9.000 - Digul 800 215-1.209 3,50 8.000 - Kumbai 260 97-700 1,25 5.000 119 Maro 700 48-90 1,26 8.000 827
Selain sumberdaya lahan dan air, optimisme pengembangan kawasan pangan Merauke secara fisik didukung oleh kesiapan sarana BBI (Balai Benih Induk) dan BBU (Balai Benih Utama) yang memiliki lahan dan petani penangkar yang cukup, RMU (Rice Milling Unit) dibeberapa lokasi, ketersediaan saprodi terdapat di kios-kios yang terdapat di setiap desa sehingga bisa diakses dengan mudah karena dekat dengan pemukiman atau lahan petani.
Gambar 3.1. Lokasi Pengembangan Kawasan Pangan Merauke Usahatani
Sistem usahatani secara umum sudah relatif modern, menggunakan alat mesin pertanian pada beberapa kegiatan seperti traktor untuk mengolah tanah
Star Lokasi Pengembangan RMU Yaba Maru Petani Lokal
Lahan PT. Parama Pangan
11
dan mesin pemanen serta mesin perontok. Meski demikian, sebagian besar petani belum menggunakan pupuk sesuai anjuran, baik jenis maupun jumlahnya. Petani pada umumnya sudah menggunakan benih unggul. Varietas yang dominan ditanam adalah Ciherang pada musim hujan dan Inpari 13 untuk musim kemarau. Dasar pertimbangan utama dalam pilihan varietas adalah rasanya pulen, umurnya genjah, dan saat ini dipandang paling tahan serangan tungro. Sistem pengelolaan usahatani dinilai belum optimal terutama saat pemeliharaan sehingga masih memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas.
Hasil analisis usahatani yang diambil dari kasus petani transmigran menunjukkan kegiatan usahatani padi di Merauke sangat menguntungkan (Tabel 3.3). Sistem usahatani masyarakat transmigrasi Jawa yang memiliki induk budaya petani sawah telah menjadi learning by doing process bagi masyarakat lokal yang sebelumnya cenderung berburu dan meramu. Sekalipun terdapat perbedaan dalam analisis usahatani, hal ini terletak pada tingkat produktivitas dan skala luasan lahan garapan.
Masyarakat lokal suku Marind masih memiliki ketergantungan hidup yang tinggi pada hasil hutan yang terdapat disekitarnya. Lahan hutan yang luas, secara teritorial telah dibagi habis pemilikannya oleh penduduk lokal, sekalipun tidak diperkuat oleh dokumen legal negara. Setiap marga dalam keluarga besar suku Marind menguasai luasan hutan tertentu, pemilikannya disepakati oleh masyarakat dan disahkan oleh pimpinan adat. Batas wilayah ditandai berupa jurang, sungai kecil atau tanaman tertentu yang ditanam sebagai tapal batas lahan. Batas pemilikan ini merupakan batas teritorial hak penguasaan terhadap lahan termasuk semua tumbuhan/hewan yang ada di atasnya. Pengalihan lahan antar internal komunitas maupun keluar komunitas dilakukan melalui seremonial tersendiri yang merupakan hasil konstruksi masyarakat.
Sampai saat penelitian, sebagian masyarakat suku Marind masih mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokok, terutama yang tinggal di wilayah pedalaman atau penduduk yang berusia tua. Adanya kelompok masyarakat yang masih tergantung pada sagu, menyebabkan penanganan usahatani padi oleh masyarakat lokal cenderung cenderung seadanya dan kurang efisien, dilakukan
12
pada luas lahan garapan yang lebih sempit dengan pengelolaan usaha tani yang seadanya.
Pengenalan beras sebagai konsumsi bahan pokok terjadi pada masa Orde Baru yang diperkuat ketika petani transmigran asal Jawa dihadirkan oleh negara diwilayah tersebut. Terjadi proses akulturasi sosial budaya termasuk budaya makan antara masyarakat lokal dan pendatang. Secara evolusi, bersamaan dengan semakin terbatasnya sagu yang merupakan makanan pokok suku Marind mengalami pergeseran. Ketersediaan beras yang bisa diakses setiap saat mempercepat pergantian makan pokok masyarakat lokal.
Masyarakat lokal sudah mempunyai pengalaman dan pengetahuan berusahatani padi yang diserap dari masyarakat pendatang. Kemampuan ini meningkat dengan meningkatnya kebutuhan terhadap beras, namun masih sangat potensial untuk ditingkatkan.
Tabel 3.1. Analisis Usahatani Petani Transmigrasi di Merauke, 2015
No Jenis kegiatan Nilai/Biaya
1 Olah Tanah (traktor) 1,200,000
2 Galengan/namping 600,000
3 Tanam 1,600,000
4 Cabut 600,000
5 Sisip 300,000
4 Herbisida/insektisida (termasuk tenaga) 600,000 5 Pupuk (dengan TKDK) 645,000
6 Angkut, air, pajak 200,000 (tergantung letak lahan) 7 Panen dengan Combain 2,000,000
8 Giling (10% produk) 2,176,000 (10% prod 3,2 ton beras)
9 TOTAL BIAYA 9,921,000
10 Penerimaan (provitas bersih 2,880 kg
beras) 19.584,000
11 PENDAPATAN BERSIH 9,663,000
Kelembagaan Pertanian
Sekalipun kebudayaan berburu meramu masih melekat pada masyarakat suku Marind, budaya bekerjasama dalam satu keluarga besar atau satu wilayah pemukiman masih menjadi penciri komunitas ini. Ikatan kebersamaan dibentuk oleh upaya mempertahankan hidup ditengah kawasan hutan yang luas dengan kemampuan mengelola sumberdaya alam secara terbatas. Secara internal
13
terbentuk lembaga dengan norma dan aturan yang disepakati bersama sebagai konstruksi sosial yang mengatur kehidupan masyarakat setempat. Seremonial menyambut orang asing, membuat perjanjian (biasanya perjanjian antar kelompok masyarakat, transaksi lahan, peperangan), potong gigi, perkawinan dan sebagainya dilaksanakan secara kolektif yang melibatkan lembaga kekerabatan dan lembaga teritorial. Kelembagaan memiliki aturan dan
kesepakatan yang mengikat dengan hak dan kewajiban serta reward dan
funishment yang tegas.
Angkatan kerja muda Suku Marind Anim memiliki ketertarikan pada kegiatan yang bersifat bergerak dan dinamis, menggunakan teknologi atau mesin, namun bukan pada kegiatan yang membutuhkan ketelatenan, rutinitas, atau penanganan usahatani yang intensif. Karakter ini merupakan karakter bekerja masyarakat transisi dari berburu-meramu yang bergantung pada alam dengan masyarakat bertani intensif-menetap yang membutuhkan strategi usaha dan kerja keras. Proses transisi mengalami percepatan dengan kehadiran petani transmigasi Jawa yang memiliki ketrampilan bertani serta mengelola pertaniannnya lebih modern.
Pemasaran hasil pertanian padi di Merauke dimonopoli Bulog yang membeli padi produksi petani melalui perusahaan penggilingan padi sebagai mitra yang tersebar hampir disetiap desa. Pengusaha penggilingan menerima gabah petani dengan upah giling 10 persen dari produksi beras, bersedia membeli beras dengan harga Rp 6.700-Rp 6.800 per kg, sekitar Rp 500 dibawah harga ketetapan Bulog. Pasar setempat hanya mampu menampung kurang dari 10 persen produksi beras petani. Sisa produksi beras Merauke dijual keluar Merauke dan Papua seperti Provinsi Maluku Utara dan Jawa Timur. Sejak tahun 2015 sudah dibuat perjanjian antara Pemda Merauke dan Pemda Provinsi Papua untuk tidak akan menjual beras keluar Papua selama kebutuhan pangan internal Papua khususnya Jayapura tercukupi (prioritas internal).
Petani transmigrasi maupun petani lokal umumnya sudah membentuk kelompok tani. Ada kelompok tani yang sangat dinamis, namun sebagian hanya aktif ketika menerima bantuan. Bagi petani lokal, pembentukan kelompok tani
14
sepenuhnya hasil intervensi pemerintah, bukan merupakan kesadaran terhadap kebutuhan dalam rangka mengembangkan usaha pertanian. Pengalaman berkelompok dan percontohan kelompok maju menunjukkan fungsi kelembagaan kelompok masih potensial untuk ditingkatkan. Belajar bersama dinilai lebih efektif meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani (terutama petani lokal) dan merubah sistem usahatani menjadi lebih efektif dan efisien.
Sistem Penguasaan lahan dan
Kondisi lahan di Merauke sebagian besar berupa savana yang luas dan sebagian merupakan hutan ringan yang belum pernah dimanfaatkan secara intensif. Sebagian besar lahan merupakan lahan ulayat masyarakat Marind yang terdiri dari 7 marga. Sistem pemilikan lahan per marga bermakna bahwa segala yang terdapat didalamnya menjadi kekuasaan satu keluarga besar. Tiap keluarga inti atau perorangan pemilik berhak menjual lahannya dengan langkah harus mendapat keterangan dari 7 marga dan diresmikan dalam seremonial adat yang
disebut adat pelepasan. Tiap pemilik berhak menyewakan lahannya dengan
harga yang disepakati bersama hasil rembukan internal dengan penyewa melalui atau disaksikan oleh tokoh setempat.
Bagi masyarakat suku Marind, lahan memiliki keterkaitan dengan sumber air, karena keduanya menjadi pendukung utama kehidupan masyarakat Marind. Setiap marga memiliki hubungan dengan alam dan mempunyai tanggungjawab untuk memeliharanya agar alam tetap bersahabat dengan manusia. Selain menghindari konflik antar marga atau antar keluarga, hubungan dengan alam tersebut menjadi salah satu alasan mendasar mengapa setiap transaksi soal lahan dan air perlu melibatkan ke-7 marga. Langkah-langkah yang tidak menjunjung pemahaman inilah yang membuat warga lokal tidak ragu-ragu memasang palang pada proyek atau program pembangunan yang persoalan ijin lahannya belum diselesaikan dengan “baik”.
Telaah aspek sosial ekonomi hasil survei cepat ini dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut.
15
ASPEK
SOSEK POTENSI KENDALA TINDAK LANJUT
Lahan Tersedia lahan cukup luas
yang belum digarap Kepemilikan lahan sebagian besar merupakan hak ulayat masyarakat lokal
Sebagian besar lahan masih bentuk hutan belukar dan savana
Sosialisasi program, verifikasi dan menyepakati penggunaan lahan program (langkah operasional pada keterangan*))
Melakukan pencetakan sawah
Air Tersedia sumberdaya air
dengan 4 buah sungai (Bian, Digul, Kumbei, Maro)
Rawa yang luas (Mayo dan Burung, Biru, Senegi).
Sebagian sumber air belum dimanfaatkan secara optimal Beberapa saluran, pintu air, dan pompa yang digunakan mengalami kerusakan
Menyiapkan akses air ke lahan pertanian dengan tata kelola yang adil dengan masyarakat
SDM Sudah biasa berusahatani Terbuka dengan inovasi baru (VUB, pupuk, dan alsintan) Masih ada tenaga kerja yang sudah terlibat pertanian namun belum optimal.
Ketrampilan berusahatani belum optimal
Ketrampilan menggunakan alat mesin pertanian masih rendah
Melibatkan petani setempat dalam program sesuai
kemampuan dan pengalaman (transmigran/pendatang dan lokal)
Melatih ketrampilan TK menggunakan alsintan
Melakukan pendampingan dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan bertani
Kelembagaan POKTAN (Petani rata-rata sudah membentuk kelompok)
RMU 190 buah yang terdapat langsung di desa sekitar lahan PEMASARAN HASIL langsung oleh mitra Bulog
Fungsi dan dinamika kelompok belum optimal
Hasil penggilingan banyak patahan (menurunkan kualitas produksi) Tidak terdapat peluang pemasaran hasil selain mitra bulog
Belum ada upaya pengolahan beras patahan/bermutu rendah
Melatih dinamika kelompok tani
Meningkatkan peran dan fungsi kelompok dalam peningkatan agribisnis padi
Meningkatkan mutu gabah dan hasil penggilingan dengan peningkatan jumlah lantai jemur dan mutu RMU
Mengembangkan pengolahan beras yang bernilai tambah
0
Pada penelitian tahap I, tim telah menetapkan ordinat lahan 50.000 ha, dan 40.000 ha diantaranya kondisi eksisting yang secara kepemilikan tidak bermasalah atau sudah mempunyai kepemilikan yang jelas. Lahan eksisiting menunjukkan lahan tersebut sudah memiliki kelayakan dari segi fisik lahan, maupun ketersediaan sumberdaya dan fasilitas pendukung. Namun demikian secara sosial-ekonomi-budaya, untuk melakukan sebuah program atau kegiatan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat diperlukan sosialisasi program tentang “Pengembangan Kawasan Pangan Merauke” kepada masyarakat yang berada didalam atau sekitar kawasan. Pemerintah perlu melibatkan masyarakat setempat dalam program, khususnya pada kegiatan-kegiatan yang memerlukan tenaga kerja. Langkah ini berfungsi untuk meningkatkan pendapatan masyarakat setempat dan rasa memiliki terhadap program. Program sekaligus berfungsi sebagai proses pembelajaran usahatani modern versi KPM. Bersamaan dengan terlaksananya program, perlu memperhitungkan ketersediaan air dan teknologi bagi usahatani masyarakat sekitar. Kehadiran program tidak menyebabkan terganggunya sistem sosial-ekonomi masyarakat serta menjaga agar tidak terjadi kesenjangan yang tinggi dalam proses maupun hasil usahatani.
Khusus untuk lahan perluasan (10.000 ha) memerlukan langkah-langkah yang lebih kompleks dan perlu segera dilakukan. Secara sederhana langkah berikut akan sangat membantu.
1. Pelepasan Lahan
Langkah awal dan mendasar dalam rangka pengembangan kawasan pangan di Merauke adalah mempersiapkan lahan yang akan lokasi program penanaman padi. Selain lahan dalam kondisi eksisting yang sudah biasa dikelola petani, target lahan pengembangan adalah lahan yang dimiliki suku Marind, baik hutan yang sudah dibuka masyarakat setempat atau masih dalam kondisi hutan produksi konversi. Langkah ini tidak bisa dilakukan secara terburu-buru. Tata etika pengusahaan lahan yang secara fisik dikuasai masyarakat lokal perlu diakses menggunakan tata etika yang berlaku pada sistem sosial masyarakat tersebut.
Peta pemilikan tanah ulayat melalui dialog dengan semua tokoh marga sekaligus sosialisasi program. Tim perlu membawa peta lahan versi
1
peneliti/litbang. Berdasarkan dialog dan peta peneliti, tim membuat peta bersama melalui diskusi atau kunjungan lahan. Peta yang dihasilkan perlu dilengkapi luas dan batas-batas yang jelas menurut internal masyarakat
2. Sosialisasi Program
Sebelum pelaksanaan program perlu dilakukan sosialisasi untuk menghindari social shock masyarakat. Kesepakatan mengenai lahan, program, sinergisitas dilakukan dengan rapport. Secara teknis perlu dilakukan kejelasan pemakaian lahan program, perjanjian yang berlaku (terkait hak dan tanggungjawab) dengan masyarakat pemilik lahan yang diperkuat dengan legalitas adat yang berlaku.
Masyarakat setempat perlu diberi keterangan yang jelas tentang gambaran program dan tujuan pemerintah melaksanakan program tersebut. Bahwa
pengembangan kawasan pangan dengan sistem pertanian modern
mmmemerlukan keterlibatan masyarakat agar berjalan dengan baik dan berdampak kepada kepentingan nasional dan perbaikan perekonomian masyarakat setempat.
3. Penyiapan lahan dan dukungan lembaga lain
Pasca pelepasan lahan dan sosialisasi program adalah penyiapan lahan dengan memperhatikan pentingnya mengidentifikasi lahan pertanian masyarakat sekitar kawasan program agar tidak terganggu/dirugikan dengan kehadiran program. Mengidentifikasi pemanfaatan pengairan pertanian masyarakat sekitar dan membangun sistem pengairan yang bersifat sinergis. Artinya, pengembangan kawasan pangan Merauke hadir di lokasi memberi dampak positif terhadap petani dan sistem pertanian yang selama ini digeluti.
Tujuan pemerintah membangun kawasan pangan Merauke
Membantu mengembangkan kegiatan pertanian (sumber
pendapatan masyarakat setempat, khususnya pemilik lahan program)
Melibatkan petani setempat dalam kegiatan di lahan program.
Membangun masyarakat partisipatif terhadap program pengembangan kawasan pangan perlu dilakukan sejak awal.
2
Kesimpulan
Telaah aspek sosial ekonomi terhadap rencana pengembangan kawasan pangan Merauke tidak dapat dilepaskan dari telaah terhadap potensi fisik sumberdaya lahan dan air. Secara fisik, sumberdaya lahan dan air yang tersedia dalam kondisi yang cukup memadai. Langkah pemanfaatan dan pengusahaan menjadi sistem usaha tani modern yang mendukung ketersediaan pangan lokal, nasional bahkan perdagangan regional, bisa dilaksanakan namun memerlukan dukungan dana yang cukup besar. Potensi ini didukung oleh faktor geografis yang sangat strategis.
Aspek sosial ekonomi yang bersifat mendukung rencana pengembangan kawasan pangan adalah: (1) Kemampuan dalam berusahatani yang masih bisa ditingkatkan; (2) Ketersediaan tenaga kerja siap latih untuk mengoperasionalkan alat pertanian modern; (3) Petani sekitar (transmigran) yang sudah menerapkan sistem usaha tani menggunakan benih varietas unggul, pemupukan, dan mesin pertanian atau alsintan; (4) Kelembagaan petani dalam berusahatani, panen maupun pemasaran hasil; (5) Penanganan panen yang efisien agar menghasilkan beras yang berkualitas dan mampu menekan kehilangan hasil; dan (6) Pemasaran hasil yang terbuka luas (dalam dan luar negeri) dengan akses pasar yang terjangkau.
Upaya pengembangan kawasan pangan Merauke menghadapi beberapa persoalan yang terdapat di tahap awal maupun dalam keberlanjutannya, diantaranya: (1) Persoalan pelepasan lahan yang sebagian besar masih merupakan hak ulayat suku asli Marind Arin yang menilai, memahami, dan memandang fungsi lahan/hutan yang berbeda; (2) Sebagian besar lahan yang akan dikonversi untuk pengembangan kawasan masih dalam bentuk hutan produksi, sehingga dibutuhkan waktu dan biaya yang lama dan besar sampai bisa ditanami padi; (3) Penduduk lokal yang diharapkan menjadi pelaku dalam program ini memiliki karakter peralihan (budaya berburu-meramu menjadi pertanian menetap) yakni kurang terbuka dan kurang terampil dalam penerapan teknologi pertanian modern; (4) Kehadiran petani transmigran asal Jawa menjadi
3
media percepatan proses peningkatan ketrampilan petani, adopsi inovasi tingkatserta keterbukaan terhadap perkembangan iptek.
Implikasi Kebijakan
Persoalan pangan sebagai persoalan kebijakan politik negara merupakan komitmen negara dan masyarakat. Diperlukan pengertian dan persepsi yang sama terhadap upaya pengembangan yang akan dilakukan di Merauke antara pemerintah dan masyarakat setempat, termasuk swasta yang direncanakan akan terlibat di dalamnya. Pengembangan kawasan pangan Merauke adalah inisiasi pemerintah dan perlu dilaksanakan dengan strategi yang sinergi dengan sistem sosial budaya yang spesifik.
Langkah operasional program pengembangan tahap awal, diperlukan tim pendekatan dan sosialisasi program kepada masyarakat lokal terkait pelepasan lahan sesuai ordinat yang telah ditetapkan, yang akan digunakan dan dicetak menjadi lahan pertanian sawah. Langkah ini berfungsi sebagai bentuk penghargaan dan pelibatan masyarakat dalam program.
Transaksi lahan sebaiknya dilakukan mengikuti aturan dan norma yang berlaku di wilayah setempat dengan kesepakatan dan perjanjian yang ketat dan tertulis. Kerja tim ini akan menentukan keamanan dan keberlanjutan program yang ada. Tim harus meliputi personal yang berlatar belakang antropologi, komunikasi, sosiologi, ekonomi, pemetaan, hidrologi dan pemerintahan. Guna mendukung pencapaian target pengembangan, diperlukan kebijakan yang menciptakan iklim yang kondusif bagi “dialog” dengan masyarakat tentang program maupun lahan dan sumberdaya lain.
Pengembangan kawasan hanya akan bermanfaat bagi masyarakat setempat jika sumberdaya yang selama ini bisa dikelola dan dinikmati, tetap berperan memberi kehidupan, melalui penghargaan terhadap sistem sosial budaya dan norma aturan yang berlaku, memberi kehidupan material dan kenyamanan, serta meningkatkan ketrampilan dan kualitas hidup yang baik bagi masyarakat setempat. Pra kondisi ini berfungsi menjaga keberlangsungan program ke depan.
4
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, M.O; Abdul Karim Makarim; IGM Subiksa. 2007. Model Pengembangan Lumbung Pangan di Kawasan Timur Indonesia: Merauke, Seram, Buru. Studi Kelayakan Pengembangan Rice Estate di Kabupaten Merauke,
BSDL dan Litbang Pertanian. 2007. Arahan Percepatan Pembangunan Pertanian Berbasis Sumberdaya Provinsi Papua. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Makarim, A.K; M,O,Adnyana; Adiwidjono; IGM Subiksa; Andi Hasanudin dan Djuber Pasaribu. 2006. Studi Kelayakan Pengembangan Sistem Usahatani Berbasis Tanaman Pangan di Kabupaten Merauke, Papua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian.
Rachmat, M; Pranadji, T; Ariani, M; Muslim, C; Adawiyah, C.R. 2013. Kajian Legislasi Lahan dan Air di Sektor Pertanian Mendukung Swasembada Pangan. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.