• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUSUT MASAK DAN ph DAGING ITIK LOKAL AFKIR BERDASARKAN SISTEM PEMELIHARAAN DAN LOKASI YANG BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUSUT MASAK DAN ph DAGING ITIK LOKAL AFKIR BERDASARKAN SISTEM PEMELIHARAAN DAN LOKASI YANG BERBEDA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

221

SUSUT MASAK DAN pH DAGING ITIK LOKAL AFKIR BERDASARKAN SISTEM PEMELIHARAAN DAN LOKASI YANG BERBEDA

(COOKING LOSS AND pH OF LOCAL SPENT DUCK MEAT BASED ON DIFFERENT SYSTEMS AND FARMING LOCATION)

Ershandy Prissa, Imam Suswoyo, dan Samsu Wasito Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

e-mail: ershandy.prissa@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian berjudul Susut Masak dan pH Daging Itik Lokal Afkir Berdasarkan Sistem Pemeliharaan dan Lokasi yang Berbeda dilaksanakan dari 18 Maret sampai dengan 30 April 2013 di Kecamatan Binangun dan Kecamatan Sampang, Kabupaten Cilacap serta Laboratorium Produksi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar sistem dan lokasi pemeliharaan yang berbeda terhadapsusutmasak dan pH daging itik lokal afkir. Materi yang digunakan adalah itik lokal (Mojosari) afkir sebanyak 47 ekor. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan rancangan percobaan pola tersarang (Nested Clasification). Perlakuan yang diberikan terdiri dari lokasi pemeliharaan yaitu daerah pertanian (L1) dan pesisir (L2) sebagai grup, sistem pemeliharaan terkurung (K) dan gembala (G) sebagai sub grup. Variable yang diukur adalah Susut Masak (%) dan pH daging. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis variansi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem dan lokasi pemeliharaan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap susut masak daging itik, sedangkan sistem pemeliharaan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pH daging itik tetapi lokasi pemeliharaan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap pH daging itik. Rataan susut masak daging itik adalah 31,69%, rataan pH daging itik adalah 6,47. Kesimpulan dari penelitian ini adalah lokasi pemeliharaan tidak berpengaruh terhadap susut masak dan pH daging itik sedangkan sistem pemeliharaan berpengaruh terhadap pH daging itik. Pemelilharaan terkurung menghasilkan pH daging itik yang lebih rendah daripada pH daging itik yang dipelihara secara gembala.

Kata kunci : itik lokal, sistem pemeliharaan, lokasi, susut masak, pH. ABSTRACT

A research entitled “Cooking Loss and pH of Local Spent Duck Meat Based on Different Systems and Farming Location” was held from March 18th 2013 to April 30th 2013 at District of Binangun and District of Sampang, Regency of Cilacap and Laboratory of Animal Production, Faculty of Animal Science Jenderal Soedirman University Purwokerto. The purpose of the research was to study the effects of system and farming location on cooking loss and pH of local spent duck meat. The materials used were female local (Mojosari) spent duck as many as 47 heads. This research was held by survey method, using Nested Classification, the treatments were farming location (agricultural areas (L1) and in coastal areas (L2)) as group; intensive (K) and extensive (G) farming systems, as sub group.The variables measured were cooking loss and pH of local spent duck meat. The results showed that the production system and farming location had no significant effect

(2)

222

(P>0,05) on cooking loss whereas production system had highly significant effect (P<0.01) on pH but farming location had no significant effect (P>0,05) on pH of duck meat. The average of cooking loss duck meat was 31,69%, the average of pH duck meat was 6,47. As conclusion, the farming location had no effect on cooking loss and pH. The production system had effect on pH of duck meat. Intensive system produced lower pH of duck meat than extensive system.

Keywords : Local duck, productions system, farming location, cooking loss, pH. PENDAHULUAN

Itik merupakan salah satu komoditas ternak yang sudah populer di masyarakat pedesaan dan perkotaan yang umumnya masih dipelihara dengan cara sederhana atau tradisional. Itik di Indonesia utamanya dipelihara sebagai penghasil telur, namun tidak menutup kemungkinan itik jantan dan itik petelur afkir dapat dijadikan sebagai penghasil daging. Sistem pemeliharaan pada itik yang biasa dilakukan peternak-peternak di Indonesia, yaitu sistem pemeliharaan terkurung dimana peternak menyediakan fasilitas dan pakannya sendiri, dan sistem pemeliharaan digembala dimana itik mencari makanannya sendiri dengan digembala. Itik dapat dipelihara di daerah pertanian maupun daerah perikanan. Daerah pertanian merupakan daerah dengan komoditas utama hasil pertanian sehingga ketersediaan pakan untuk ternak sebagian besar berasal dari sisa hasil pertanian, seperti padi, dedak, serangga dan keong. Sedangkan daerah perikanan dekat dengan pantai pakan utamanya tetap berasal dari limbah pertanian, seperti dedak namun diberi tambahan berupa ikan sisa tangkapan nelayan dan lancang (sejenis kerang laut). Perbedaan sistem dan lokasi pemeliharaan memungkinkan berpengaruh terhadap kualitas daging itik. Kualitas daging itik yang akan dikonsumsi dapat dilihat dari beberapa parameter, diantaranya susut masak dan pH daging.

Susut masak merupakan salah satu penentu kualitas daging yang penting, karena berhubungan dengan banyak sedikitnya air yang hilang serta nutrien yang larut dalam air akibat pengaruh pemasakan. Semakin kecil persen susut masak berarti semakin sedikit air yang hilang dan nutrien yang larut dalam air. Begitu juga sebaliknya semakin besar persen susut masak maka semakin banyak air yang hilang dan nutrien yang larut dalam air (Prayitno, dkk., 2010). Pada umumnya susut masak bervariasi antara 1,5%-54,5% dengan kisaran 15%-40% (Soeparno, 1998). Nilai pH merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas daging (Prayitno, dkk., 2010). Menurut Bernacki et al. (2008), daging dada dan paha itik memiliki nilai pH di kisaran 5,82 sampai 5,94.

METODE

Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik lokal (Mojosari) betina afkir sebanyak 47 ekor yang terdiri atas 10 ekor itik Mojosari betina afkir yang dipelihara secara terkurung dan 9 ekor itik Mojosari betina afkir yang dipelihara secara gembala di lokasi pertanian (Kecamatan Sampang) serta 14 ekor itik Mojosari betina afkir yang dipelihara secara terkurung dan 14 ekor itik Mojosari betina afkir yang dipelihara secara gembala di lokasi pesisir (Kecamatan Binangun). Alat

(3)

223

yang digunakan antara lain kantong plastik, pisau, timbangan analitik, blender, tissue, waterbath, pH meter sedangkan bahan yang digunakan antara lain aquades dan buffer.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dengan pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Pengambilan sampel yang digunakan berdasarkan jumlah peternak itik di dua lokasi yang berbeda, yaitu lokasi pertanian sebanyak 20 peternak itik dan lokasi pesisir sebanyak 30 peternak itik, dengan rumus :𝑛 (𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙) =𝑁 (∑ 𝒑𝒆𝒕𝒆𝒓𝒏𝒂𝒌)𝑁 (0,05)2 + 1

Jumlah sampel yang digunakan berdasarkan rumus tersebut adalah 19 sampel untuk lokasi pertanian dan 28 sampel untuk lokasi pesisir, sehingga total sampel yang digunakan sebanyak 47 sampel itik yang terdiri atas 10 ekor itik untuk pemeliharaan terkurung dan 9 ekor itik pemeliharaan gembala dilokasi pertanian serta 14 ekor itik untuk pemeliharaan terkurung dan 14 ekor itik pemeliharaan gembala di lokasi pesisir (Sugiyono, 2011).

Metode analisis yang digunakan adalah Pola Tersarang (Nested Classification). Faktor perlakuan terdiri atas lokasi pemeliharaan itik (Kecamatan Binangun dan Kecamatan Sampang) dan sistem pemeliharaan (gembala dan terkurung). Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah susut masak (%) dan pH daging itik lokal afkir.

HASIL DAN PEMBAHASAN Susut Masak

Rataan susut masak daging itik lokal afkir dengan sistem dan lokasi pemeliharaan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:

Tabel 1. Rataan Nilai Susut Masak Daging Itik Lokal Afkir yang Dipelihara secara Terkurung dan Gembala di Lokasi Pesisir dan Pertanian

Lokasi (Grup) Pemeliharaan (Subgrup)Sistem Daging Itik (%) Susut Masak Pertanian (L1) Pesisir (L2) Terkurung (K) Gembala (G) Terkurung (K) Gembala (G) 32,23±1,79 32,65±3,26 30,30±3,27 32,09±3,36 Rataan 31,69±3,09

Keterangan : perbedaan sistem dan lokasi pemeliharaan berpengaruh tidak nyata terhadap susut masak daging itik (P>0,05).

Rataan susut masak daging itik lokal afkir bervariasi. Rataan susut masak daging itik lokal afkir sebesar 31,69% dengan kisaran antara 30,30% sampai 32,65%. Hasil penelitian didapat berdasarkan tabulasi data susut masak daging itik.

Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa lokasi pemeliharaan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap susut masak daging itik lokal afkir. Sistem pemeliharaan dalam lokasi berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap susut masak daging itik lokal afkir.

(4)

224

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi pemeliharaan itik baik itik yang dipelihara di lokasi pertanian dan di lokasi pesisir tidak berpengaruh terhadap susut masak daging. Pengaruh yang relatif sama diduga karena itik yang digunakan pada penelitian ini sama-sama dipelihara pada kondisi lingkungan yang relatif sama (Kabupaten Cilacap). Besarnya nilai susut masak yang diperoleh pada penelitian ini lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai susut masak dari penelitian Ermariza (2012) rataan susut masak daging itik sebesar 40,83%. Pendapat ini didukung oleh penelitian Soeparno (1998) susut masak daging berkisar antara 1,5% - 54,5%. Hasil penelitian Saifudin (2000), menyebutkan rataan susut masak daging paha itik afkir adalah 32,86%.

Berdasarkan analisis variansi sistem pemeliharaan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap susut masak daging itik lokal afkir. Hasil ini menunjukkan bahwa susut masak daging itik yang dipelihara secara terkurung relatif sama dengan susut masak daging itik yang dipelihara secara gembala, ini sesuai dengan pendapat Lacin et al. (2008), sistem pemeliharaan pada itik tidak mempengaruhi kualitas dagingnya. Hal ini dimungkinkan karena itik yang digunakan waktu pemotongannya relatif sama, umurnya dan jenis itik seragam yaitu itik Mojosari afkir, selain itu bobot potong itik pada penelitian ini juga relatif sama, maka akan menghasilkan nilai susut masak yang sama pula, hal ini sesuai dengan pernyataan dari Soeparno (1998), berat potong mempengaruhi susut masak, terutama bila terdapat perbedaan deposisi lemak intramuskular.

pH

Rataan pH daging itik lokal afkir dengan sistem dan lokasi pemeliharaan yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini:

Tabel 2. Rataan pH Daging Itik Lokal Afkir yang Dipelihara secara Terkurung dan Gembala di Lokasi Pesisir dan Pertanian

Lokasi (Grup) Sistem Pemeliharaan (Subgrup) Daging Itik pH

Pertanian (L1) Pesisir (L2) Terkurung (K) Gembala (G) Terkurung (K) Gembala (G) 6,49±0,22 6,65±0,26 6,29±0,17 6,53±0,24 Rataan 6,47±0,25

Keterangan : perbedaan lokasi pemeliharaan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) sedangkan perbedaan sistem pemeliharaan berpengaruh sangat nyata terhadap pH daging itik (P<0,01).

Rataan pH daging itik lokal afkir bervariasi. Rataan pH daging itik lokal afkir sebesar 6,47 dengan kisaran antara 6,29 sampai 6,65. Hasil penelitian didapat berdasarkan tabulasi data pH daging itik.

Hasil analisis variansi pH daging menunjukkan bahwa lokasi pemeliharaan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap pH daging itik lokal afkir. Sistem pemeliharaan dalam lokasi berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pH daging itik lokal afkir.

(5)

225

Hasil peneliltian menunjukkan bahwa lokasi pemeliharaan itik baik yang dipelihara di lokasi pertanian maupun lokasi pesisir tidak berpengaruh terhadap pH daging. Hal ini diduga karena jenis itik yang digunakan sama, yaitu itik Mojosari afkir. Menurut Soeparno (1998), spesies, tipe otot, glikogen otot dan variabilitas diantara ternak dapat mempengaruhi nilai pH. Itik yang digunakan juga berasal dari wilayah yang sama, yaitu Kabupaten Cilacap yang memiliki kondisi lingkungan relatif sama, ini sesuai dengan pernyataan Soeparno (1998), faktor ekstrinsik yang mempengaruhi pH adalah temperatur lingkungan, perlakuan bahan aditif sebelum pemotongan dan stres sebelum pemotongan.

Berdasarkan analisis variansi, sistem pemeliharaan berpengaruh sangat nyata terhadap pH daging itik lokal afkir. Itik yang dipelihara secara terkurung memiliki rataan pH sebesar 6,39 lebih rendah dari itik yang dipelihara secara gembala yang memiliki rataan pH sebesar 6,59. Hasil ini menunjukkan bahwa pH daging itik yang dipelihara secara terkurung berbeda dengan pH daging itik yang dipelihara secara gembala. Hal diduga karena cara pemeliharaannya yang berbeda juga pakan yang diberikan berbeda. Pakan itik terkurung di lokasi pertanian biasanya berupa dedak, nasi aking dan konsentrat. Itik yang di pelihara secara terkurung di lokasi pesisir biasanya diberi pakan berupa nasi aking, dedak, ikan laut dan lancang (kerang laut), sedangkan pakan itik yang digembala baik di lokasi pertanian maupun lokasi pesisir relatif sama, yaitu butiran padi sisa panen, serangga, katak dan keong. Konsumsi pakan dapat mempengaruhi pH daging atau daging masak (Soeparno, 1998). Itik yang dipelihara secara terkurung memiliki pH yang rendah diduga karena aktivitas itik yang dipelihara secara terkurung lebih terbatas sehingga energi yang dihasilkan dari pakan disimpan dalam bentuk glikogen pada otot dan hati. Cadangan glikogen otot yang banyak akan menghasilkan asam laktat yang banyak sehingga pH menjadi rendah ketika ternak dipotong. Sebaliknya itik yang dipelihara secara gembala energi yang dihasilkan dari pakan digunakan untuk beraktivitas. Hal ini dapat mengakibatkan cadangan glikogen otot menjadi sedikit sehingga pH menjadi tinggi ketika ternak dipotong. Penimbunan asam laktat dan tercapainya pH ultimat otot pascamerta tergantung pada jumlah cadangan glikogen otot pada saat pemotongan (Soeparno, 1998).

SIMPULAN

lokasi pemeliharaan tidak berpengaruh terhadap susut masak dan pH daging itik sedangkan sistem pemeliharaan berpengaruh terhadap pH daging itik. Pemelilharaan terkurung menghasilkan pH daging itik yang lebih rendah daripada pH daging itik yang dipelihara secara gembala.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih disampaikan kepada peternak, pemerintah Kecamatan Binangun dan Kecamatan Sampang di Kabupaten Cilacap serta rekan-rekan satu tim penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Bernacki, Z., D. Kokoszynski and T. Mallek. 2008. Evaluation of Selected Meat Traits in Seven-old Duck Broilers. Animal Science Papers and Report. 26(3):165-174.

(6)

226

Ermariza, H. 2012. Pengaruh Penggunaan Azolla microphylla Fermentasi pada Ransum Itik Lokal Jantan Terhadap Daya Ikat Air dan Susut Masak. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Lacin, E., M.I. Aksu, M. Acit, A. Yildiz, M. Karaoglu, N. Esenbuga and M.A. Yoruk. 2008. Effects of different raising systems on colour and quality characteristics of Turkish Pekin duck meats. South African Journal of Animal Science. 38(3).

Prayitno, A.H., E. Suryanto dan Zuprizal. 2010. Kualitas Fisik dan Sensoris Daging Ayam Broiler yang Diberi Pakan dengan Penambahan Ampas Virgin Coconut Oil (VCO). Buletin Peternakan. 34(1): 55-63.

Saifudin. 2000. Perbedaan Produksi Karkas dan Karakteristik Daging Dada dan Paha Itik dan Entok Pasca Perebusan. Skripsi. Program Study Teknologi Hasil ternak. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Gambar

Tabel 1. Rataan Nilai Susut Masak Daging Itik Lokal Afkir yang Dipelihara secara Terkurung dan  Gembala di Lokasi Pesisir dan Pertanian
Tabel 2. Rataan pH  Daging Itik Lokal  Afkir  yang Dipelihara secara Terkurung dan Gembala di  Lokasi Pesisir dan Pertanian

Referensi

Dokumen terkait

Hoperflasia kelenjar adrenal dan pemberian kortikosteroid atau ACTH dapat pula menimbulkan sindrom cushing, mekanisme umpan balik normal untuk mengendalikan fungsi kortek

Hasil penelitian tentang Analisis Hasil Belajar Pengetahuan “Mengolah Hot And Cold Appetizer Atau Salad” Sebagai Kesiapan Tes Uji Kompetensi Makanan Kontinental pada

Nilai R Square atau nilai koefisien determinasi adalah sebesar 0,682 yang artinya perilaku atau variasi dari variabel independen mampu menjelaskan perilaku atau variasi dari

Penelitian yang akan penulis angkat memiliki perbedaan dengan penelitian-penetian yang telah dilakukan, yaitu “Analisis Penerapan PSAK No 102 tentang Pembiayaan

1) Mengembangkan kurikulum mata pelajaran IPS. a) Menelaah prinsip-prinsip pengembangan kurikulum IPS. b) Memilih pengalaman belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran IPS.

Dari penjelasan empat tema diatas, dapat disimpulkan bahwa tema-tema yang diutarakan sebagai hasil dari data yang telah dianalisis menunjukkan pola atau kegiatan

Kontribusi tenaga kerja dalam keluarga terhadap pendapatan usahatani bawang daun di Kelurahan Landasan Ulin Utara merupakan pendapatan tenaga kerja dalam maupun

Berdasarkan pada temuan di lapangan proses jual beli atau pemesanan di PT Bali Karisma Pratamajika dikaitkan dengan hukum islam khususnya pada akad salam, meliputi