• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE SYSTEM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "EFEKTIVITAS DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE SYSTEM"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA ANAK MELALUI PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE SYSTEM

(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Demak) Zakki Mubarok*, Gunarto **

*Mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA Semarang

** Dosen Fakultas Hukum UNISSULA Semarang

ABSTRACT

The purpose of this study is to know and analyze how the effectiveness of diversion in settling cases of child crime through restorative justice system approach and any obstacle in the effectiveness of diversion in settling case of child crime through restorative justice system approach and its solution. In this study the authors use sociological juridical approach method. While to find the problems in this study the authors use the research specifications descriptively analysis and image results then analyzed by qualitative data analysis techniques. The results showed that: (1) the effectiveness of diversion in settling cases of child crime through restorative justice system approach can be done at each level of examination, that is the level of investigation, prosecution and examination in court. The results showed that during the last 3 (three) years the success rate diversion reach 50% (fifty percent). Thus it can be said that the application of diversion through the approach of restorative justice system in the jurisdiction of Demak Regency has been said to be quite effective. Although in practice it is still technically constrained, ie always have to pick up the parties involved in the process of diversion, especially reported and parents / guardians and witnesses. The absence of a Government Regulation governing implementation guidelines in the diversified process to date does not limit and diminish the essence of the application of the diversion itself. So that at the examination level in the district court refers to Supreme Court Regulation Number 4 of 2014 on Guidelines for Implementation of Diversity in the Criminal Justice System of Children. (2) obstacles in the effectiveness of diversion in settling cases of child crime through restorative justice system approach in Demak Regency equal to obstacles faced to the handling of criminal acts committed by adults, ie in the form of community factors, legal factors, law enforcement factors, And infrastructure. However, so far actions have been attempted to solve it.

Keywords: Diversion, Restorative Justice System, Child Crime.

PENDAHULUAN

Arus globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positf yaitu pesatnya perkembangan antara lain terciptanya berbagai macam produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui satelit dan meningkatnya pendapatan masyarakat. “Dampak negatifnya antara lain semakin meningkatnya krisis nilai moral di masyarakat yang berpotensi meningkatnya jumlah orang melawan hukum pidana dalam berbagai bentuk”.1

1 Marlina, 2012, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hal. 1.

(2)

Dengan berkembangnya masyarakat yang disertai dengan kemajuan teknologi, menjadikan tantangan yang harus dihadapi dalam proses penegakan hukum menjadi semakin kompleks. Seiring meningkatnya kejahatan dalam masyarakat, diantara peristiwa kejahatan yang menggelisahkan masyarakat adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak, di dalamnya terdapat unsur penyimpangan tingkah laku. Sedangkan definisi anak diartikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.2

Hampir setiap tahun anak yang menjadi pelaku tindak pidana selalu meningkat, dalam kasus-kasus tertentu, anak yang menjadi pelaku tindak pidana menjadi perhatian khusus bagi aparat penegak hukum.

Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, perlu segera dilakukan. Salah satu upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum saat ini yaitu melalui penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak melalui pendekatan restorative justice system.

Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada pertanggungjawaban pelaku terhadap korban tindak pidana, demi kesejahteraan anak yang bersangkutan, tanpa mengurangi perhatian dan kepentingan masyarakat.3

Secara Internasional dikehendaki bahwa tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak, mengutamakan pada tujuan untuk kesejahteraan anak. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam peraturan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam United Nations Standard Minimum Rule for the Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) atau The Beijing Rule, bahwa tujuan peradilan anak (Aims of Juvenile Justice), terjemahannya sebagai berikut:

“Sistem peradilan pidana bagi anak/remaja akan mengutamakan kesejahteraan remaja dan memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum berusia remaja akan selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar hukum maupun pelanggaran hukumnya”.

Dengan demikian, tujuan sistem peradilan pidana anak yaitu memajukan kesejahteraan anak dan memperhatikan prinsip proporsionalitas. Tujuan memajukan kesejahteraan anak merupakan fokus utama, berarti menghindari penggunaan sanksi pidana yang semata-mata bersifat menghukum. Tujuan pada prinsip proporsionalitas, karena mengekang penggunaan sanksi-sanksi, yang kebanyakan dinyatakan dalam batasan-batasan ganjaran yang setimpal dengan beratnya pelanggaran hukum. Tetapi juga memperhatikan pada pertimbangan keadaan-keadaan pribadinya.4

2 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

3 Mayasari, 2015, “Implementasi Diversi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak”, Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, hal. 1.

4 Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Genta Publising, Yogyakarta, hal. 2.

(3)

Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya dalam Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi: “Negara Indonesia adalah negara hukum”.5 Salah satu ciri-ciri yang dinyatakan secara tegas oleh Julius Stahl adalah negara hukum mengakui adanya suatu pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.6

Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subyek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.7

Menurut Hadi Supeno, di dalam bukunya Kriminalisasi Anak menyatakan bahwa secara umum dalam rentang sejarah kehidupan manusia ada dua jenis nilai anak yang dominan dalam masyarakat kita yaitu anak sebagai nilai sejarah dan anak sebagai nilai ekonomi. Anak sebagai nilai sejarah yang pada perspektif ini anak semata-mata sebagai objek untuk melampiaskan keinginan orangtuanya, anak sejak awal dikondisikan untuk menjadi apa yang sesuai dengan keinginan orangtuanya, yang mengakibatkan dia kehilangan hak pengasuhan wajar yang berpotensi terjadinya praktik kekerasan dan diskriminasi. Anak dianggap sebagai nilai ekonomi karena dari anak-anak akan membantu menyangga kehidupan ekonomi keluarga sehingga memungkinkan besar terjadinya kehidupan sosial yang buruk.8

Secara hukum, Negara Republik Indonesia telah meratifikasi konvensi hak anak melalui Keppress Nomor 36 Tahun 1990. Peratifikasian ini sebagai upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Dari berbagai isu yang ada dalam konvensi hak anak salah satunya yang sangat membutuhkan perhatian khusus adalah anak-anak yang memerlukan perlindungan khusus diantaranya anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam hukum nasional perlindungan khusus tindak pidana oleh anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam Pasal 6 (enam) sampai dengan Pasal 15 (lima belas) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak terdapat diversi.

Namun dalam perjalanan panjangnya hingga saat ini apa yang diamanatkan dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak masih terkendala dengan sarana dan prasarana yang disediakan oleh Pemerintah, misalnya penjara khusus

5 Pasal 1 butir 3 UUD NKRI Tahun 1945.

6 Dahlan Thaib, dkk., 2010, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta, hal. 2.

7 Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 1.

8 Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, PT.

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 21.

(4)

anak yang hanya ada di kota-kota besar. Berdasarkan data terakhir jumlah penghuni perwilayah khususnya Kanwil Jawa Tengah yang mengacu pada Sistem Database Pemasyarakatan hingga tanggal 1 Mei tahun 2017 tercatat sebanyak 115 narapidana anak laki-laki, 2 narapidana anak perempuan dan 25 tahanan anak laki-laki. Sedangkan untuk tahanan anak perempuan tidak dijumpai. Sekitar 13% diantaranya berada pada lembaga pemenjaraan orang dewasa.9 Salah satu sebabnya adalah kultur kerja aparat penegak hukum belum mengacu pada perspektif hak asasi manusia, selalu mendahulukan pendekatan kekerasan dan penyiksaan dalam menggali informasi dan pengakuan pada proses penyidikan.10 Hal ini tentu saja menyebabkan tidak terpenuhinya hak- hak anak sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang dan konvensi hak anak. Selain itu kurangnya sosialisasi yang terpadu dan menyeluruh yang dilakukan oleh aparat penegak hukum termasuk kejaksaan hingga ke jajaran paling bawah menyebabkan tidak efektifnya pemberian perlindungan hukum terhadap anak.

Salah satu solusi yang dapat ditempuh dalam penanganan perkara tindak pidana anak adalah melalui pendekatan restorative justice system, yang dilaksanakan dengan cara diversi (pengalihan).

Diversi merupakan satu-satunya cara untuk menjawab segala tantangan-tantangan yang diragukan di atas pada saat ini.11 Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.12 Sedangkan sistem keadilan restoratif (restorative justice system) merupakan proses penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.13 Restorative justice system dianggap sebagai cara berfikir atau paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang.

Diversi merupakan pembaharuan dalam sistem peradilan pidana anak. Pengalihan (diversion) yang mengakibatkan pengalihan dari proses peradilan kepada bantuan pelayanan masyarakat bisa dilakukan pada suatu dasar formal dan informal di dalam beberapa sistem hukum. Praktik pelayanan demikian perlu diprioritaskan untuk menghindari akibat negatif yang ditimbulkan dalam administrasi peradilan anak, karena keterlibatan anak dalam proses peradilan sebenarnya telah mengalami stigmatisasi. Dengan demikian, pengalihan dilakukan pada setiap tingkat pembuat keputusan baik pada tingkat penyidikan (kepolisian), penuntutan (kejaksaan) maupun pada tingkat pengadilan.14 Diversi dilakukan pada tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri berpedoman pada Pasal 7 ayat (1) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang berbunyi:

9 http//:www.smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/ current/monthly yang diakses pada tanggal 1 Mei Tahun 2017 Pukul 20:28 WIB.

10 Hadi Supeno, Op.Cit., hal. 10.

11 Nandang Sambas, 2010, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, hal. 25.

12 Pasal 1 butir 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

13 Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

14 Dwidja Priyatno, 2012, Wajah Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, Gratama Publishing, Bekasi, hal. 303.

(5)

diupayakan diversi”.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan pengaturan yang jelas dan komprehensif tentang perlindungan anak yang pada pokoknya bertujuan untuk memberikan jaminan dan melindungi hak- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal, serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.15

Upaya perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum perlu secara terus menerus diupayakan demi tetap terpeliharanya kesejahteraan anak mengingat anak merupakan salah satu aset berharga bagi kemajuan suatu bangsa di kemudian hari.16 Perlindungan hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak. Jadi, masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup lingkup yang sangat luas.17

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka pokok permasalahan yang ingin diangkat penulis tentang efektivitas diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak melalui pendekatan restorative justice system ini adalah:

1. Bagaimanakah efektivitas diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak melalui pendekatan restorative justice system?

2. Hambatan apa saja dalam efektivitas diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak melalui pendekatan restorative justice system dan solusinya?

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Efektivitas Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak Melalui Pendekatan Restorative Justice System

Dari hasil penelitian yang dilakukan di tingkat pemeriksaan di Pengadilan Negeri Demak dengan Yustisiana, SH mengemukakan bahwa efektivitas diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak melalui pendekatan restorative justice system dapat dilakukan pada tiap-tiap tingkat pemeriksaan, yaitu pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Hasil penelitian menunjukkan selama 3 (tiga) tahun terakhir tingkat keberhasilan diversi mencapai 50% (lima puluh persen).18 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan diversi melaui pendekatan restorative justice system di wilayah hukum Kabupaten Demak sudah dapat dikatakan cukup efektif. Meskipun dalam praktiknya masih terkendala teknis, yakni harus selalu melakukan penjemputan para pihak yang

15 Muhadar, Abdullah, Husni Thamrin, 2009, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Cv Putra Media Nusantara, Surabaya, hal. 74.

16 Ibid, hal. 76.

17 Waluyadi, 2009, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung, hal. 1.

18 Hasil Wawancara dengan Hakim Anak Pengadilan Negeri Demak, 31 Juli 2017

(6)

terlibat dalam proses diversi terutama terlapor dan orang tua/wali dan saksi. Belum adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan dalam proses diversi sampai saat ini tidak membatasi dan mengurangi esensi dari penerapan diversi itu sendiri. Sehingga pada tingkat pemeriksaan di Pengadilan Negeri Demak mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Tujuan diversi menurut hakim anak adalah sedapat mungkin menghindarkan anak dari proses peradilan. Hal ini dimaksudkan supaya menghindarkan anak dari gangguan psikis. Dalam melaksanakan diversi di tingkat peradilan hakim yang ada di Pengadilan Negeri Demak akan memperhatikan jenis tindak pidana yang dilakukan, umur pelaku dan ancaman pidana, selain itu penentuan hari sidang dan diversi dilakukan di hari yang sama, hal demikian dilakukan sebagai upaya proses diversi terakhir sampai ditemukan kesepakatan diversi atau tidak, jika kesepakatan diversi tidak menemui kata sepakat maka pada hari yang sama proses peradilan akan dilangsungkan. Dalam proses ini hakim akan mendatangkan korban, pelaku, orang tua/wali dari kedua belah pihak dan Bapas.

Proses diversi tersebut di atas sudah sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, khususnya pada Pasal 8 yang mensyaratkan proses diversi dilakukan melalui musyawarah. Untuk mengetahui lebih jelasnya mengenai apa syarat yang ada dalam Pasal 8 adalah sebgai berikut:

a. Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

b. Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat.

Dalam melaksanakan diversi Hakim Pengadilan Negeri Demak tetap mempertimbangkan ketentuan yang termuat dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, antara lain jenis tindak pidana, umur anak, hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas dan dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat, Hakim juga harus mempertimbangkan kebijakan Ketua Pengadilan. Artinya meskipun dalam proses diversi dinyatakan berhasil, sebagai Ketua Pengadilan dapat menolak kesepakatan jika dirasa bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain diversi hanya dapat dijalankan apabila seseui dengan amanah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Selama melakukan proses diversi, hakim juga memeperhatikan kepentingan korban, kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat serta kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum, hal tersebut tertuang dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Hasil penelitian yang dilakukan di Pengadilan Negeri Demak menemukan bahwa Pengadilan telah memiliki ruang sidang khusus anak, dimana antara pelaku dan korban terpisah namun tetap bisa

(7)

2. Hambatan Dalam Efektivitas Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak Melalui Pendekatan Restorative Justice System dan Solusinya.

Dari hasil penelitian di Pengadilan Negeri Demak (wilayah hukum Kabupaten Demak) yang berkaitan dengan penerapan atau implementasi atau efektivitas diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak melalui pendekatan restorative justice system sesuai dengan amanah Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ditemukan hambatan-hambatan diantaranya:

a. Faktor Masyarakat

1) Pada proses penyidikan, penuntutan dan peradilan hambatan yang dihadapi para penegak hukum (Penyidik Anak, Jaksa Anak, Hakim Anak) cenderung sama yaitu adanya pihak-pihak yang enggan untuk hadir dalam proses diversi terutama pihak korban dan/atau keluarga korban karena adanya keinginan dari pihak ini untuk melanjutkan proses selanjutnya. Solusi yang dilakukan yaitu dengan cara memanggil ulang para pihak supaya dapat dipertemukan atau bahkan sampai adanya penjemputan yang dilakukan oleh para penegak hukum (Penyidik Anak, Jaksa Anak, Hakim Anak) secara langsung ke rumah-rumah para pihak yang bertanggungjawab atas perkara yang sedang dihadapi oleh anak tersebut.

2) Adanya keinginan dari pihak korban dan/atau keluarga korban untuk meminta ganti rugi untuk biaya pengobatan dan sebagainya dengan jumlah yang terlalu tinggi yang tidak dapat disanggupi oleh pihak pelaku dan/atau keluarga pelaku sehingga proses diversi gagal atau tidak berhasil.

Solusi yang dilakukan yaitu dengan cara memberi pemahaman dan merayu pihak korban dan/atau keluarga korban untuk menurunkan permintaan biaya pengobatan secara wajar atau memberikan maaf kepada pelaku.

3) Kurangnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang hukum, terkadang menjadikan antara pihak korban dan keluarga korban tidak menyetujui penyelesaian perkara dengan cara diversi melalui pendekatan restorative justice system atau dengan cara damai. Padahal dalam pelaksanaan diversi dibutuhkan persetujuan dari pihak korban untuk diupayakan diversi.

Solusi yang dilakukan yaitu memberikan pemahaman dan menganalogikan kepada para pihak mengenai tipologi pelaku. Apabila pelaku anak tersebut adalah bagian dari keluarganya. Serta memberikan pemahaman mengenai dampak yang ditimbulkan apabila prinsip diversi melalui pendekatan restorative justice system itu tidak di upayakan.

b. Faktor Hukum

a. Belum adanya Peraturan Pemerintah yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau mekanisme formal prosedural pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

19 Ibid

(8)

Pidana Anak ini. Solusi yang dilakukan yaitu dengan cara mengikuti Pedoman yang dikeluarkan oleh lembaga masing-masing (Penyidik mengacu sesuai amanah dari Telegram Rahasia Kabareskrim Polri Nomor 1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian, Penuntut Umum mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia, pedoman tersebut berjudul “Penuntutan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak” yang diterbitkan pada tahun 2015 sebagai bentuk kerja sama antara Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum dengan Tim Asistensi Reformasi Birokrasi Kejaksaan Republik Indonesia, Hakim mengacu pada Perma Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak). Sehingga tidak mempengaruhi implementasi dari Undang-undang itu sendiri.

b. Kurangnya waktu yang diberikan oleh Undang-undang bagi para penegak hukum (Penyidik Anak, Jaksa Anak, Hakim Anak) untuk mengupayakan diversi. Karena Undang-undang hanya memberikan batas maksimal adalah 7 (tujuh) hari. Solusi yang dilakukan yaitu dengan cara mengefektifkan waktu dengan sebaik-baiknya supaya tidak melebihi batas waktu yang telah ditentukan oleh Undang-undang.

c. Faktor Penegak Hukum

a. Masih adanya kekawatiran atau ketakutan bagi para penegak (Penyidik Anak, Jaksa Anak, Hakim Anak) hukum yang akan dipermasalahkan oleh pimpinan/atasan atau dipermasalahkan pada pengawasan dan pemeriksaan oleh institusi pengawas dan pemeriksa internal yang menggunakan parameter formal prosedural. Solusi yang dilakukan yaitu dengan cara berpegang teguh pada keyakinan atas petunjuk dan perintah atasan.

b. Masih kurangnya jumlah penegak hukum (Penyidik Anak, Jaksa Anak, Hakim Anak) yang sudah memenuhi kriteria yang telah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Solusi yang dilakukan yaitu menambah jumlah para penegak hukum (Penyidik Anak, Jaksa Anak, Hakim Anak) dengan cara mengikutkan para penegak hukum tersebut untuk mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan anak.

d. Faktor Sarana dan Prasarana

Minimnya sarana dan prasarana yang dimiliki sehingga proses diversi dapat terhambat.

Misalnya belum adanya ruang tahanan khusus anak. Solusi yang dilakukan yaitu tidak menahan anak selama proses diversi. Selain itu masih kurangnya kendaran dan sopir yang digunakan untuk menjemput para pihak apabila enggan untuk hadir selama proses diversi berlangsung.

e. Faktor dari Bapas

Hasil penelitian kemasyarakatan pihak Bapas yang diberikan terkadang masih kurang meyakinkan para penegak hukum (Penyidik Anak, Jaksa Anak, Hakim Anak). Misalnya masih adanya masih adanya beda penafsiran antara pihak Bapas dan penegak hukum (Penyidik Anak, Jaksa Anak, Hakim Anak) mengenai pemahaman residivis yang dapat menghambat upaya diversi. Solusi yang dilakukan oleh pihak Bapas dan penegak hukum (Penyidik Anak, Jaksa Anak, Hakim Anak)

(9)

dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya diversi.

PENUTUP Kesimpulan

1. Efektifitas diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak melalui pendekatan restorative justice system dapat dikatakan cukup efektif meskipun masih ditemukannya kekurangan dan kendala teknis. Sedangkan proses diversi dapat dilaksanakan pada tiap-tiap tingkat pemeriksaan yaitu dimulai pada tingkat penyidikan, tingkat penuntutan dan tingkat pemeriksaan di pengadilan anak.

2. Hambatan dalam efektivitas diversi dalam penyelesaian perkara tindak pidana anak melalui pendekatan restorative justice system di Pengadilan Negeri Demak, yaitu berupa faktor masyarakat, faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana dan prasarana. Akan tetapi, sejauh ini telah diupayakan tindakan-tindakan atau solusi untuk mengatasinya.

Saran

1. Pemerintah diharapkan untuk segera membuat dan mengesahkan Peraturan Pelaksana yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) sebagai wujud atas amanah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, supaya tidak menimbulkan multitafsir dikalangan aparat penegak hukum.

2. Pemerintah harus memaksimalkan fungsi-fungsi lembaga-lembaga sosial yang berhubungan dengan pelaksanaan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan juga memperkuat posisi BAPAS pada setiap tingkat pemeriksaan, sehingga hasil penelitiannya tidak hanya bersifat rekomendasi sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tolak ukurnya yaitu seperti kejahatan yang dilakukan ringan, masyarakat tidak memberontak, antara pelaku dan korban telah damai, orang tua pelaku sanggup membimbing, kondisi lingkungan dapat menerima anak tersebut, dan pelaku anak tersebut bukan residivis anak.

DAFTAR PUSTAKA Buku-buku:

Dahlan Thaib, dkk., 2010, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Jakarta.

Dwidja Priyatno, 2012, Wajah Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, Gratama Publishing, Bekasi.

Hadi Supeno, 2010, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Marlina, 2012, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.

(10)

Muhadar, Abdullah, Husni Thamrin, 2009, Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana, Cv Putra Media Nusantara, Surabaya.

Nandang Sambas, 2010, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Nashriana, 2011, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Setya Wahyudi, 2011, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Genta Publising, Yogyakarta.

Waluyadi, 2009, Hukum Perlindungan Anak, Mandar Maju, Bandung.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Jurnal Ilmiah:

Mayasari, 2015, “Implementasi Diversi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak”, Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Lain-lain:

http//:www.smslap.ditjenpas.go.id/public/grl/current/monthly yang diakses pada tanggal 1 Mei Tahun 2017 Pukul 20:28 WIB.

Hasil Wawancara dengan Hakim Anak Pengadilan Negeri Demak, 31 Juli 2017

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan proses penerapan diversi dilakukan oleh penyidik dengan musyawarah atau mediasi terhadap para pihak sampai terbentuknya suatu kesepakatan diversi yang

Tujuan Utama dari suatu restorative justice atau dengan kata lain para pihak yang dalam hal ini adalah pelaku (debitor) dan korban (kreditor) maupun pihak-pihak yang

Upaya represif adalah tindakan yang dilakukan pihak kepolisian setelah tindak pidana tersebut terjadi. Upaya represif baru diterapkan apabila upaya lain sudah

1. Jenis tindak pidana yang paling banyak dilakukan oleh anak adalah pencurian, narkoba, pengeroyokan, dan kecelakaan lalu lintas. Kejahatan yang dilakukan anak

1. Jenis tindak pidana yang paling banyak dilakukan oleh anak adalah pencurian, narkoba, pengeroyokan, dan kecelakaan lalu lintas. Kejahatan yang dilakukan anak

Penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum bagi anak yang menjadi korban tindak pidana keasusilaan yang dilakukan oleh anak diatur

Selanjutnya dalam mengimplementasikan Surat Keputusan Bersama (SKB) Penanganan Anak Berhadapan dengan Hukum, telah mengeluarkan kebijakan melalui surat Jaksa Agung Muda

Pada prinsipnya UU SPPA mengedepankan pendekatan Keadilan Restoratif dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga penerapan Keadilan