• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI I TENTANG MAHAR MUQADDAM. A. Analisis Pendapat Imam Syafi i Tentang Mahar Muqaddam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI I TENTANG MAHAR MUQADDAM. A. Analisis Pendapat Imam Syafi i Tentang Mahar Muqaddam"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR MUQADDAM

A. Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Mahar Muqaddam

Pembahasan pada bab sebelumnya penulis telah menguraikan pendapat Imam Syafi’i tentang pembayaran mahar yang boleh dibayarkan sebelum akad nikah. Sedangkan dalam bab ini penulis akan menganalisis pendapat Imam Syafi’i tentang masalah yang berkaitan dengan mahar muqaddam.

Ulama madzhab sepakat bahwa mahar merupakan salah satu syarat nikah dan tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya. Diakui secara ijma’, bahwa dalam hukum Islam untuk sahnya pemenuhan menjalankan suatu perbuatan harus selalu disertai dengan syarat dan rukun.

Demikian juga dalam pernikahan, dapat dikatakan sah apabila syarat dan rukun tadi terpenuhi. Sedangkan salah satu syarat atau rukun dalam pernikahan tersebut adalah mahar (maskawin).

Hukum memberikan mahar adalah wajib, sebagaimana firman Allah SWT :

ﹰﺎﺌﻴِﻨﻫ ﻩﻮﹸﻠﹸﻜﹶﻓ ﹰﺎﺴﹾﻔﻧ ﻪﻨﻣ ٍﺀﻲﺷ ﻦﻋ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﻦﺒِﻃ ﻥِﺈﹶﻓ ﹰﺔﹶﻠﺤِﻧ ﻦِﻬِﺗﺎﹶﻗﺪﺻ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﹾﺍﻮﺗﺁﻭ ﹰﺎﺌﻳِﺮﻣ . } { 4

Artinya : ”Berikan lah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan

(2)

senang hati, maka makan lah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik”. (Q: 4 :4)1

Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT. telah memerintahkan kepada suami untuk membayar mahar kepada isterinya. Karena perintah itu tidak disertai dengan tanda (qarinah) yang menunjukkan kepada sunnah atau mubah, maka ia menghendaki kepada makna wajib. Jadi mahar adalah wajib

bagi suami terhadap isterinya, karena tidak ada qarinah yang memalingkan dari makna wajib kepada makna yang lain.

Dari segi lain, nihlah dalam ayat di atas juga bermakna al-Faridhah al-Wajibah (ketentuan yang wajib), jadi makna ayat tersebut adalah dan

berikanlah kepada wanita (isterimu) maharnya sebagai sebuah ketentuan yang wajib.

Pemberian mahar tersebut sama sekali bukanlah untuk menghargai atau menilai perempuan, melainkan mahar diberikan sebagai bukti bahwa suami sebenarnya cinta kepada calon isterinya, sehingga dengan sukarela ia mengorbankan hartanya untuk diserahkan kepada isterinya sebagai cuci hati dan sebagai pendahuluan bahwa calon suami akan terus menerus memberi nafkah kepada isterinya. Demikian pula sebaliknya, calon isteri dengan kesediaannya menerima mahar dari calon suami, membuktikan pula bahwa ia dengan rela hati bersedia untuk menjadi isteri dari suaminya, atau ia rela menerima kekuasaan dan kepemimpinan suami terhadap dirinya.

1 Departemen Agama RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putera, t.t, hlm.

115

(3)

Selain itu menurut penulis pemberian mahar hukumnya wajib guna membuktikan kesetiaan suami terhadap isterinya, dan hal itu tergantung kepada kemampuan suami itu sendiri.

Pelaksanaan pembayaran mahar menurut Imam Syafi’i boleh dibayarkan sebelum akad nikah. Hal ini menurut penulis adalah sebuah pendapat yang tidak menyalahi syari’at hukum Islam karena menurut analisis penulis hal itu dilakukan, pertama, lebih aman dari segi bahwa suami sudah tidak lagi mempunyai tanggungan terhadap isteri yaitu membayar mas kawin, sebagai sesuatu hal yang wajib dan harus dibayarkan. Kedua, pemberian yang disegerakan (mu’ajjal) lebih baik dari pada pemberian yang diutang (muajjal). Akan tetapi menurut penulis dalam pendapat Imam Syafi’i perlu adanya penegasan, yaitu suami harus jelas maksudnya saat memberikan harta kepada isteri, apakah itu sebagai hadiah atau mahar sehingga di kemudian hari tidak terjadi adanya perselisihan antara suami isteri tentang harta mas kawin.

Apabila terjadi perselisihan antara calon suami dan isteri, maka menurut imam Syafi’i posisi mahar muqaddam adalah tetap bisa dikatakan sebagai mahar asal suami bersumpah. Dalam kitab al-Hawi al-Kabir dikatakan : ”ketika terjadi bahwa ucapan yang dimenangkan adalah ucapan laki-laki bukan ucapan calon isteri. Apabila isteri mengakui bahwa apa yang diberikan adalah sebagai hibah (hadiah), maka isteri berhak mengambil sumpah laki-laki. Ketika laki-laki mau bersumpah maka ucapan yang diterima adalah ucapan laki-laki dengan sumpahnya. Dan apabila menolak

(4)

bersumpah maka dikembalikan pada isteri, dan dimenangkan atasnya apabila isteri mau bersumpah.

Kemudian ketika terjadi perbedaan antara mahar yang diminta oleh isteri dengan yang diberikan suami, maka menurut imam Syafi’i sebagai berikut :

Ada dua macam bentuk pemberian suami pada isteri : pertama adakalanya mahar yang diberikan suami sesuai dengan jenis mahar yang diminta isteri. Kedua adakalanya bentuk mahar yang diberikan suami tidak sesuai dengan yang diminta isteri, misalnya yang diminta adalah dirham, sedangkan yang diberikan adalah dinar, maka untuk yang kedua ini tidak diterima. Artinya yang diterima adalah isteri.

Jadi mahar yang diberikan suami terhadap isteri sebelum akad nikah dilangsungkan adalah sah dan nikahnya pun sah. Karena pemberian atau penyebutan mahar saat akad nikah tidak termasuk salah satu syarat syahnya nikah, sebagaimana :

ﻴﻤﺴﺗ ﺐﺤﺘﺴﻳﻭ ﺔ

ﺪﻘﻌﻟﺍ ﺢﺻ ﻢﺴﻳ ﱂ ﻥﺎﻓ ﺡﺎﻜﻨﻟﺍ ﰱﺮﻬﳌﺍ

Artinya : “Dan sunnah menyebutkan mahar dalam akad nikah, Maka seandainya tidak disebut maka sah akad nikahnya.”2

Di samping itu juga penulis juga melihat bahwa Nabi SAW bersabda:

ﱴﺣ ﺔﻤﻃﺎﻔﺑ ﻞﺧﺪﻳ ﻥﺍ ﺎﻴﻠﻋ ﻊﻨﻣ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱮﻨﻟﺍ ﻥﺍ ﺱﺎﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﻦﻋ ﺌﻴﺷ ﺎﻬﻴﻄﻌﻳ ﺎ.

2 Ibnu Qasim al-Ghazy, Khasiyah Syaih Ibrahim al-Bajury, juz II, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah t.t. hlm. 221-223.

(5)

Artinya : “Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa nabi SAW melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya."3

Penulis melihat bahwa pendapat Imam Syafi’i di atas akan lebih sesuai dengan hadits nabi di atas karena seorang suami sudah tidak lagi mempunyai tanggungan kepada isterinya dengan mahar, sehingga suami dapat melaksanakan tugas seorang suami dengan baik sebagai kepala keluarga. Di samping itu juga Hadits tersebut menunjukkan bahwa larangan ini dimaksudkan sebagai tindakan lebih baik yang secara hukum dipandang sunnah lebih dulu memberikan mahar kepada isterinya.

Dalam kitab lain juga dijelaskan :

ﺖﻟﺎﻘﻓ ﻻﺎﻣ ﺎﻫﺎﻄﻋﺍﻮﻟﻭ ﺪﻘﻌﻟﺍ ﻞﺒﻗ ﻻﺎﻣ ﺎﻬﻴﻟﺍ ﻆﻔﻟ ﻼﺑ ﻊﻓﺩﻭﺍ ﻞﺳﺭﺍ ﰒ ﺓﺃﺮﻣﺍ ﺐﻄﺧﻮﻟ ﻪﻨﻴﻤﻴﺑ ﻕﺪﺻ ﺎﻗﺍﺪﺻ ﻝﺎﻗﻭ ﺔﻳ ﺪﻫ

Artinya : “Jika seorang laki-laki melamar perempuan, kemudian memberikan padanya harta tanpa adanya perkataan sebelum akad, dan apabila ia memberikan padanya harta kemudian perempuan tersebut mengatakan hadiah, dan laki-laki mengatakan maskawin, maka ia dibenarkan dengan sumpahnya”.4

3 Imam al-Khafidz Abi Daud Sulaiman bin al-Asy’ad, Sunan Abi Daud, juz II, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t, hlm. 106. Lihat Muhammad al-Syaukani, Nailul Authar, juz. V, hlm.

257

4 ….., I’anat al-Thalibin, juz. III, Beirut : Dar al-Kutub, t.t., hlm. 355

(6)

Begitu juga dalam kitab Al-Fatawi al-Kubra yang menerangkan bahwa :

ﳍﺍ ﺔﻴﻨﺑ ﻊﻓﺩ ﻥﺎﻓ ﻊﻓﺍﺪﻟﺍ ﺐﻃﺎﳋﺍ ﺔﻴﻨﺑ ﺓﱪﻌﻟﺍ ﻥﺎﺑ ﻪﻧﺎﺴﺣﺍ ﺔﻴﻨﺑﻭﺍ ﺔﺑﻮﻄﺨﳌﺍ ﻪﺘﻜﻠﻣ ﺔﻳﺪ

ﻪﺴﻨﺟ ﲑﻏ ﻦﻣ ﻥﺎﻛ ﻥﺍﻭ ﻪﻨﻣ ﺐﺴﺣ ﺮﻬﳌﺍ ﻦﻣ

Artinya : “Bahwa dalam hal tersebut tergantung dengan niat laki-laki yang melamar, apa bila memberikan dengan niat memberikan hadiah maka wanita yang dilamar memilikinya sebagai hadiah, atau dengan niat baik memberikan mas kawin, maka dihitung sebagai maskawin walaupun tidak dari jenisnya maskawin”.5

Penulis melihat dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin kalimat yang digunakan adalah (makhtubah) bukan (zaujah) sehingga penulis mengartikannya dengan calon isteri bukan isteri, dan penulis menyimpulkan apa yang terkandung dalam kalimat tersebut adalah tentang mahar yang diberikan sebelum akad nikah atau sebelum resmi menjadi suami isteri.

Begitu juga redaksi yang terdapat dalam kitab Fatawi al-Kubra juga menggunakan kata (khataba).

Dalam pembayaran mahar itu tidak ada syara’ yang menentukan harus dibayar tunai atau hutang, maka dari itu dikembalikan menurut adat kebiasaan yang berlaku pada daerah tersebut. Karena antara daerah yang satu dengan yang lain adatnya tidaklah selalu sama. Pada prinsipnya hukum Islam bukanlah hukum yang memberatkan atau mempersulit. Akan tetapi sebaliknya, hukum Islam memberikan kemudahan dan menjauhkan dari kesulitan dan kesempitan bagi pemeluknya, sebagaimana firman Allah SWT:

5 Ibnu Hajar al-Haitamy, Al-Fatawi al-Kubra al-Fiqhiyah, juz. IV, Beirut : Dar al-Fikr, t.t., hlm. 111.

(7)

ٍﺝﺮﺣ ﻦِﻣ ِﻦﻳﺪﻟﺍ ﻲِﻓ ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﹶﻞﻌﺟ ﺎﻣﻭ .

} { 78

Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Q.S. 22: 78)6

Kemudian memandang bahwa pendapat Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa mahar boleh dibayarkan sebelum akad nikah dilangsungkan, penulis menganalisis bahwa pendapat tersebut sesuai dengan kaidah fiqh :

ﺭﻮﻔﻟﺍ ﻰﻀﺘﻘﻳﺮﻣﻻﺍ ﰱ ﻞﺻﻻﺍ

Artinya : “Bermula suruhan menghendaki kesegeraan”7

Karena penulis melihat bahwa anjuran untuk memberikan mahar kepada isteri adalah wajib sebagaimana yang disebut dalam firman Allah dengan menggunakan kata perintah, di mana perintah tersebut menunjukkan atas wajibnya mahar dan wajibnya tersebut menurut penulis adalah menunjukkan makna segera atau secepatnya.

Di samping itu juga penulis menggunakan kaidah

B. ANALISIS TERHADAP ISTINBATH HUKUM IMAM SYAFI’I TENTANG MAHAR MUQADDAM

Sejak awal pertumbuhan dan perkembangan Islam, umat Islam telah sepakat bahwa dalam menghadapi berbagai masalah yang timbul di dunia yang membutuhkan legitimasi hukum Islam, prakteknya harus lebih dulu

6 Departemen Agama RI, al-Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putera, tt,

7 A. Hanafi, Ushul Fiqh, Cet. XII, Jakarta : Widjaya, hlm., 38.

(8)

dikembalikan kepada nash, apabila tidak dijumpai maka baru dipergunakan dasar-dasar yang lain. Sebagaimana firman Allah SWT:

ﹶﻝﻮﺳﺮﻟﺍ ﹾﺍﻮﻌﻴِﻃﹶﺃﻭ ﻪﹼﻠﻟﺍ ﹾﺍﻮﻌﻴِﻃﹶﺃ ﹾﺍﻮﻨﻣﺁ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃ ﺎﻳ

ﻢﹸﻜﻨِﻣ ِﺮﻣَﻷﺍ ﻲِﻟﻭﹸﺃﻭ .

} { 59

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul- Nya dan ulil amri diantara kamu.” (QS: 4: 59).8

Persoalannya adalah, al-Qur’an tidak mencakup rincian menyeluruh, tetapi hanya dengan garis-garis besar pandangan etis dan sebagian kecil saja memberikan pra skripsi konkrit. Kondisi seperti ini tentu saja membutuhkan suatu sistem pemikiran dan penalaran hukum, dan sekaligus mendorong gerakan pemikiran keagamaan.

Walaupun demikian, pengandalan intelektual bukan tanpa masalah.

Segi individualitas kegiatan intelektual menyebabkan pemikiran di luar nash (teks) tentang hukum selalu menunjukkan corak berbagai pemikiran pribadi, dan karenanya selalu rawan terhadap ancaman subyektivisme. Akibatnya, segi-segi positif pemikiran hukum Islam sering harus dibayar dengan ancaman terjadinya keruwetan, ketidakpastian, dan keadaan koatik.

Karenanya, sangat wajar jika kemudian aliran ra’yu (penalaran) pun menjadi persoalan, dan bahkan meningkat menjadi kontroversi umum.

Dalam kondisi seperti ini, diperlukan suatu acuan kepastian bagi hukum-hukum dan aturan-aturan guna menjaga kesatuan sosial politik dan keagamaan umat Islam. Acuan ini harus berlaku umum (universal). Tanpa terlalu banyak mengandalkan pendapat pribadi, kecuali pada tingkat interpretasi. Namun masalah ini tidak terlalu rumit, sebab umat Islam telah

8 Al-Qur’an dan Terjemahnya

(9)

sepakat menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam menangani berbagai masalah. Setelah al-Qur’an, pedoman berikutnya adalah konvensi- konvensi kaum salaf, yaitu Sunnah dan Atsar.

Seiring dengan perkembangan zaman, muncul berbagai masalah baru yang memerlukan ketetapan hukum Islam. Diantara masalah tersebut, ada yang tidak terjangkau oleh rumusan fiqh di dalam kitab-kitab kuning. Di samping itu, kesempatan untuk mengamalkan ajaran Islam semakin hari semakin bertambah. Untuk memenuhi kebutuhan itu, warisan fiqh di dalam kitab-kitab kuning klasik menjadi bekal yang sangat berharga. Namun perlu disadari, kitab-kitab kuning itupun memiliki kelemahannya sendiri. Rumusan hukumnya perlu diformulasikan ke dalam bentuk baru dengan bahasa yang komunikatif. Juga perlu dilakukan kajian fiqh pendekatan metodologi (ushul fiqh). Untuk memahami terbentuknya suatu rumusan hukum agar lebih dapat

memastikan hukum. Dengan itu pula, upaya mencari hukum dan menafsirkan baru terhadap ayat-ayat atau hadits hukum sebagai alternatif dapat dilakukan.

Berangkat dari kondisi yang demikian itulah Imam Syafi’i menyetujui konsep nasakh mansukh, suatu konsep yang memandang kemungkinan suatu hukum dapat dihapuskan oleh hukum yang lain karena terdapat pertimbangan-pertimbangan baru. Berdasarkan metodologi inilah kemudian terkenal suatu rumusan hukum yang menyatakan: “hukum berubah seiring dengan perubahan zaman dan waktu”, (tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-azman wa al-waktu). Sehingga tidak heran jika Imam Syafi’i ketika di Irak mengeluarkan fatwa yang disebut Qaul al-Qadim (pemikiran lama), dan ini

(10)

jelas berbeda ketika ia berada di Mesir. Di mesir Imam Syafi’i memberikan fatwanya dengan sebutan Qaul al-Jadid (pemikiran baru).

Berkaitan dengan pendapat imam Syafi’i tentang mahar muqaddam, dia merujuk pada nash al-Qur’an dan hadits yang menjelaskan tentang kewajiban mahar (an-Nisa’ : 4) dan ketidakbolehan bersenggama (dukhul) sebelum membayar mahar (H.R Abu dawud, Nasa’i dan Hakim). Karena pada dasarnya tidak ada nash ataupun hadits yang secara khusus membahas tentang mahar muqaddam. Dalil-dalil tersebut adalah :

ﹰﺎﺴﹾﻔﻧ ﻪﻨﻣ ٍﺀﻲﺷ ﻦﻋ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﻦﺒِﻃ ﻥِﺈﹶﻓ ﹰﺔﹶﻠﺤِﻧ ﻦِﻬِﺗﺎﹶﻗﺪﺻ ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﹾﺍﻮﺗﺁﻭ ﹰﺎﺌﻴِﻨﻫ ﻩﻮﹸﻠﹸﻜﹶﻓ

ﹰﺎﺌﻳِﺮﻣ . } { 4

Artinya : ”Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik”. (Q: 4 :4)9

ﱴﺣ ﺔﻤﻃﺎﻔﺑ ﻞﺧﺪﻳ ﻥﺍ ﺎﻴﻠﻋ ﻊﻨﻣ ﻢﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ﱮﻨﻟﺍ ﻥﺍ ﺱﺎﺒﻋ ﻦﺑﺍ ﻦﻋ ﺎﺌﻴﺷ ﺎﻬﻴﻄﻌﻳ .

Artinya : “Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa nabi SAW melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia mmberikan sesuatu kepadanya."

10

Hal ini juga penulis kemukakan dari kitab al-Hawi al-Kabir yang menyebutkan perbedaan pendapat imam Syafi’i dan imam Malik tentang

9 Departement AgamaRI, al-Qur’an Dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putera, tt, hlm.

115

10 Imam al-Khafidz Abi Daud Sulaiman bin al-Asy’ad, Sunan Abi Daud, juz II, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t, hlm. 106. Lihat Muhammad al-Syaukani, Nailul Authar, juz. V, hlm.

257

(11)

perbedaan suami isteri dalam hal pemberian suami (calon suami) apakah mahar atau hadiah.

Imam Syafi’i berpendapat yang juga disepakati oleh al-Mawardi bahwa apakah suami memberikan harta kepada wanita (isteri) kemudian isteri berkata yang saya terima adalah hadiah, sedangkan suami berkata yang saya berikan adalah mahar. Maka yang dibenarkan adalah ucapan suami, baik yang diberikan itu jenis mahar atau tidak, baik seperti yang berlaku dalam adat atau tidak.

Sedangkan Imam Malik berpendapat jika apa yang diberikan suami biasanya berlaku sebagai hadiah seperti pakaian atau perhiasan, maka yang dibenarkan adalah ucapan isteri. Bahkan dalam pendapatnya Imam Malik mengatakan bahwa pembayaran mahar boleh ditunda.11

Perbedaan pendapat antara imam Syafi’i dan Malik berpangkal pada perbedaan metode yang ditempuh masing-masing dalam menggali ketentuan hukum mengenai kasus yang belum jelas ketetapan hukumnya dalam al- Qur’an dan al-Hadits.

Dalam hal ini penulis sependapat dengan pendapat Imam Syafi’i yang memperbolehkan pembayaran mahar muqaddam. Karena penulis melihat lebih mendekati dengan dalil-dalil al-Qur’an dan Hadits tentang pembayaran mahar. Disamping itu juga menurut penulis mengenai pembayaran mahar, baik dibayarkan sebelum atau sesudah akad tergantung pada kejelasan dan kesepakatan kedua belah pihak disamping melihat adat

11 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz I, Beirut : Dar al- Kutub al Ilmiyyah, t.t., hlm. 17.

(12)

dan kebiasaan yang berlaku. Karena antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya tentunya tidak selalu sama.

Di samping itu juga penulis melihat dalam masalah ini tidak bertentangan dengan prinsip maslahah, karena penulis melihat bahwa pembayaran mahar sebelum akad nikah justru akan membuat kedua belah pihak antara suami isteri beserta keluarganya akan lebih tenang dalam menjalani kehidupan keluarga barunya tanpa adanya tanggungan dalam pembayaran mahar. Karena pada prinsipnya hukum Islam tidak memberatkan atau mempersulit. Akan tetapi hukum Islam memberikan kemudahan dan menjauhkan dari kesulitan dan kesempitan bagi pemeluknya.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor internal yang memiliki hubungan secara nyata dengan partisipasi kontaktani adalah pendidikan, pengalaman sebagai kontaktani, pekerjaan, dan pendapatan, sedangkan

Kemampuan pasien skizofrenia yang masih membutuhkan dan memerlukan perawatan keluarga serta memiliki masalah dalam pemenuhan kebutuhan dasar sehari–hari perlu

Konsep yang diterapkan pada rumah sakit unggul karsa medika ini ialah seperti rumah sakit pada umumnya, namun pada pembagian zona akan sedikit berbeda dimana rumah sakit

Berdasarkan pemaparan tentang permasalahan dan fenomena diatas yang terkait dengan Locus of Control dan Prokrastinasi akademik, menimbulkan permasalahan yang dapat

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 01 Tahun 2005 tentang Penundaan Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18 dan 19 Tahun 2004 tentang

Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa sebelum pemberian layanan orientasi minat berwiarusaha siswa berada dalam kategori rendah dan sedang, setelah pemberian layanan orientasi

Bimbingan kelompok dengan teknik games adalah layanan yang diberikan secara kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok, dan games sebagai media untuk meningkatkan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai perbandingan persepsi audience antara dua buah iklan yang dibandingkan yaitu iklan mengandung humor, Ramayana