• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mudhofir, Nurwulan Purnasari, Sabariyanto,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Mudhofir, Nurwulan Purnasari, Sabariyanto,"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Sosio-Economic and Environmentally Impact of Waste to Energy Mudhofir, Nurwulan Purnasari, Sabariyanto,

UIN Raden Mas Said Surakarta

Abstract

1. Introduction

Based on the Law No 30 2007, local government which produced energy should be primary target to receive the energy sources.

Energy memiliki peranan penting yang tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan manusia, dimana hampir semua aktivitas manusia bergantung pada keberadaan energy. Keterbatasan cadangan energi fosil yang selam ini dikenal seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara, serta ancaman dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemakainnya merupakan persoalan mendesak untuk ditangani.

Permasalahan energy merupakan permasalahan nasional maupun global, hal ini tercermin juga dari keterkaitan antara ketersediaan energi tehadap tingkat perekonomian suatu negara.

Dalam pembangunan energi, seringkali identik dengan kerusakan lingkungan yang tentu saja memberi dampak buruk pada manusia di sekitarnya. Polusi dan limbah industry memberi dampak buruk industri energi cukup signifikan pada masyarakat. Padahal, dalam sustainable energy dalam konsep sustainable development di dalam Brundtland Commission’s Report 1987 adalah pasokan energi yang dibangun harus yang mencukupi kebutuhan manusia, melakukan efisiensi dan konservasi energi, memperhatikan masalah kesehatan dan keselamatan lingkungan dari penggunaan sumber energi, dan menjaga biosfer dan mencegah penyebaran polusi (Jefferson, 2006). Ini harus diperhatikan oleh pemerintah supaya ke depannya pembangunan energi tidak malah merusak kehidupan masyarakat dan makhluk alam di sekitarnya.

Solusi dari persoalan energi fosil salah satunya adalah secara bertahap mencari dan beralih ke sumber energy terbarukan yang ramah lingkungan, serta secara bersamaan dapat pula menggalakan pola hidup hemat energy (efisiensi energy).

Kebutuhan energi Indonesia semakin lama semakin meningkat. Beberapa kali terjadi pemadaman listrik bergilir di beberapa daerah adalah wujud dari krisis energi yang dialami oleh Indonesia. Tentu saja, ini merugikan banyak pihak termasuk di dalamnya adalah industry, institusi pemerintahan sendiri, dan masyarakat. Karena kebutuhan energi yang masih cukup banyak, maka perlu melakukan pembangunan pembangkit energi yang cukup signifikan.

Alam Indonesia secara geografis mempunya potensi besar terhadap energy yang ramah lingkungan (energy terbarukan). Terkait pembangunan pembangkit listrik di Indonesia, sekitar 96%

pembangkit listrik yang dimiliki oleh Indonesia menggunakan sumber energi fosil (Erinofiardi et al., 2017). Meski pembangkit listrik di Indonesia didominasi energi fosil, setelah Paris Agreement pada tahun 2015, Indonesia memiliki target untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030 (Handayani et al., 2017). Pada tahun 2015, total instalasi renewable energy di Indonesia adalah 15 GW dengan penggunaan energi mikro-hidro dan energi geothermal mendominasi (Handayani et al., 2019). Untuk mempercepat proses pembangunan pembangkit listrik dari energi baru terbarukan, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Perpres No 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang untuk menetapkan tiga kota yaitu Semarang, Makassar dan Tangerang sebagai kota percontohan program Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Tahun 2018, melalui Perpres No 56, jumlah kota percontohannya ditambah menjadi delapan dengan menambahkan Jakarta, Bandung, Surakarta, Surabaya, dan Denpasar sebagai pilot project. Surabaya sudah mempunyai PLTSa di Benowo yang merupakan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) di Surabaya.

Hingga proposal ini diusulkan, sudah 80 persen PLTSa Benowo siap beroperasi (Felisiani, 2019). Oleh karena itu, penelitian ini akan berfokus pada PLTSa Benowo di Surabaya.

Jumlah sampah sangat berhubungan dengan jumlah populasi di suatu wilayah. Gaya hidup masyarakat dan ekonomi yang mendorong over consumption memberi dampak pada penambahan bi-

(2)

produk (sampah) baik yang degradable dan undegradable (Moya et al., 2017). Juga masalah perkotaan menyebabkan munculnya masalah persampahan (Hadidi & Omer, 2016) karena di kota banyak populasinya. Negara seperti India dan Cina yang memiliki jumlah penduduk banyak, bahkan terbanyak di dunia, pada tahun 1995 adalah negara-negara yang memberi kontribusi besar pada jumlah sampah padat (Bercegol, 2018). Kota seperti Surabaya yang merupakan ibukota propinsi dan merupakan kota terbesar kedua di Indonesia, tentu saja memiliki masalah dalam penanganan sampah.

Sampah merupakan masalah yang masih sulit diatasi terutama untuk kota-kota besar(Nurdiansah et al., 2020) yang menyebakan permasalah lingkungan bila tidak ditangani secara efektif. Permasalahn terkait sampah tidak hanya terjadi di kota besar di Indonesia namun juga terjadi di kota-kota besar di dunia. Hal ini tentu tidak lepas dari kegiatan manusia sebagai penghasil sampah.

Sampah-sampah yang tak tertangani itu harus dicarikan solusinya (Iacovidou et al., 2012). Selain mengurangi nilai estetika (Damghani et al., 2008), bahan beracun dan polutan di sekitar pembuangan sampah akan merusak lingkungan dan mengganggu kesehatan manusia. Sebagian besar sampah adalah sampah organik (Hadidi & Omer, 2016) yang sangat dimungkinkan berasal dari sampah makanan.

Sampah organik ini menghasilkan leachate. Jika sampah ini maka akan berdampak buruk pada kesehatan penduduknya. Selain itu, metana (CH4) dari sampah organik memberi kontribusi terhadap pemanasan global.

Persoalan penanganan sampah tidak hanya berfokus pada menciptakan kenyamanan suatu kota atau daerah penduduk, namun juga merupakan pemecahan atas permasalahan lingkungan yang harus segera dicari solusinya. Data memperlihatkan bagwa ada kenaikan jumlah samapah yang dikelola di tiap tahunnya, seperti pada salah satu Tempat Pembuangan Akhir di Semarang, dimana pada tahun 2011 sejumlah 150 ton/hari, meningkat menjadi 200 ton/hari pada tahun berikutnya (Nurdiansah et al., 2020) Penelitian dilakukan untuk mencari model pembangunan instalasi energi yang berbasis pada keberlanjutan (sustainability) yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Karena selama ini pembangunan dilakukan sewenang-wenang tanpa memperhatikan keberlanjutan masyarakat yang nantinya menjadi boomerang bagi masyarakat ke depannya. Sampah – sebagai masalah bagi lingkungan dan berdampak pada masyarakat – yang diolah dengan menggunakan teknologi untuk menjadi energi sangat berguna dalam upaya mengatasi masalah pencemaran lingkungan. Upaya ini tentu saja memberi kontribusi dalam kegiatan pencegahan pemanasan global yang diakibatkan oleh penumpukan sampah yang menjadi tujuan dari Sustainable Development Goal yang ke-13. Pemanfaatkan sampah yang dikelola oleh pemerintah daerah yang mampu menciptakan keberlanjutan dalam suatu wilayah juga menjadi tujuan SDGs ke-11 dalam menciptakan kota dan komunitas yang berkelanjutan.

Surabaya sebagai salah satu daerah di Indonesia telah melakukan pembangunan wilayah yang bervisi sustainability adalah role model bagi daerah-daerah yang lain untuk menciptkan sustainable city yang berorientasi masa depan. Surabaya merupakan salah satu kota tersukse yang telah menerapkan konsep Smart City (Smart Governance, Smart Environment, Smart People, Smart Ekonomy, Smart Living, Smart Mobility) (Nurdiansah et al., 2020).

Pada Th. 2016 Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surabaya telah melakukan kajian konversi energy dengan melakukan analisis dan peninjauan ulang terhadap energy terbarukan. Adapun analisis ini merupakan lanjutan dari apa yang pernah dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup Kota Surabaya pada Th. 2012. Adapun potensi energy terbarukan yang dianalisa meliputi surya, potensi energy biomassa, potensi energy limbah, potensi bioethanol dari sektor pertanian dan potensi biodiesel dari minyak jelantah. Dalam rangka mendukung program pemerintah pusat dn provinsi dalam mengembangkan pemanfaatan energy terbarukan, pada Tahun 2018 Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Lingkungan Hidup melakukan pemetaan energy terbarukan di Kota Surabaya. Potensi energy biomassa dari sampah telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Surabaya dengan mendirikan PLTSa Benowo.

PLTSa merupakan program yang masih relative baru diterapkan di Indonesia, dan sebagian sudah berjalan di Surabaya, Jakarta juga Semarang. PLTSa di Surabaya telah beroperasi selama 3 tahun dan telah bekerja sama dengan PLN dalam penjualan hasil produksi listriknya, dalam menyokong keberhasilan dan keberlanjutan PLTSa tentu dibutuhkan mekanisme atau sistem yang lebih kompleks, dimana pembangkit listrik ini tidak akan dapat beroperasi tanpa adanya pasokan sampah. Meskipun sampah selalu akan tersedia pada lokasi hunian namun partisipasi masyarakat juga memiliki andil dalam sistem yang dijalankan.

(3)

Terakhir, tujuan ketiga dalam penelitian ini adalah mengetahui dampak PLTSa terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan di Kotamadya Surabaya. Dampak sosial dan masyarakat atas PLTSa Benowo tentu saja akan berdampak terhadap ekonomi dan lingkungannya. Sementara, dampak PLTSa pada masyarakat di lingkungan yang jauh dari lokasi pembangkit adalah dampak akses terhadap energi.

2. Methods

Studi ini dilakukan di wilayah Kotamadya Surabaya. Ada beberapa lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo berada di Kelurahan Romo Kalisari, Kecamatan dan Kelurahan Sumber Rejo, Surabaya. TPA ini adalah peralihan TPA Keputih yang mulai beroperasi pada tahun 2001. Luas Lahan TPA/PLTSa Benowo adalah 37,4 ha ; Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka HIjau (DKRTH) Kota Surabata yang beralamatkan di Jl. Raya Menur No.31A Manyar Sabrangan, Kecamatan Mulyorejo, Surabaya; Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya dengan alamat Jl. Jimerto No.25-27, Ketabang, Kec. Genteng, Kota SBY; DPRD Kota Surabaya dengan alamat Jl. Yos Sudarso 18 – 22 Surabaya; Dinas Lingkungan Hidup Surakarta dengan alamat Jl. Menteri Supeno No.10, Manahan, Kec. Banjarsari, Kota Surakarta; DPRD Kota Surakarta dengan alamat Jl. Adi Sucipto No.143A, Karangasem, Kec. Laweyan, Kota Surakarta; Masyarakat di daerha kecamatan Pakal dan Kecamatan Benowo Kota Surabaya; Konsultan pengembangan PLTSa

Waktu studi secara total adalah satu tahun dengan rincian minimal 5 bulan melakukan studi lapangan ke TPA/PLTSa Benowo dan kota Surabaya. Untuk studi lapangan, dilakukan dilakukan pada bulan Mei– September pada tahun 2021.

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan melakukan observasi, wawancara dan dokumentasi, pengumuplan data dilakukan dengan tetap menerapkan protocol kesehatan guna menghindari virus Covid-19 karena penelitian ini berlangsung di tengah pandemic sedangkan teknik analisis data yang digunakan adalah data reduction (data reduksi), data display (penyajian data) dan conclusion drawing/verification.

3. Result and discussion

According to Law No 330 2007, the energy company should be aware to local community empowerment and all of their activity should be environmentally safe . Berdasarkan UU tersebut maka upaya yang harus dilakukan adalah memberdayakan masyarakat setempat, menjaga dan memelihara fungsi kelestarian lingkungan, memfasilitasi kegiatan penelitian dan pengembangan energi; dan memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bidang energi. Dalam tulisan ini akan dibahas efek terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

3.1. Dampak social dan ekonomi

Dalam konteks proses perubahan pastilah selalu ada penolakan/resistensi baik secara individu maupun secara kelompok/organisasi. Resitensi individu biasanya berwujud persepsi yang apriori terhadap rencana rancangan perbuhana, meskipun terkadang informasi yang dioterima belum sepenuhnya utuh dan benar. Sedangkan secara organisasi, resistensi bisa beragam bentuknya, yang paling sering adalah penentangan dari kempok konservatif, yang menjadi rumit jika kebetulan kelompok tersebut berkuasa (Muchtar, 2010). Sejauh ini proses perubahan biasanya berlangsung dalam siklus yang diawali dengan siklus penentangan/resistensi, dimulai dari menyangkal, menentang, diikuti menjajaki dan diakhiri dengan memberikan komitmen.

Dalam konteks ini, perubahan pengelolaan sampah oleh Pemerintah Kota Surabaya dari open dumpling dan sanitary landfill menjadi teknologi pembangkit listrik tenaga sampah atau waste to energy. Sebagaimana yang diketahui, permasalah sampah menjadi permasalahan Kota

(4)

Surabaya, karena keberadaannya yang kian hari kian menumpuk dan perlu dilakukan tindak lanjut untuk mereduksi tumpukan sampah. Rencana PLTSa tentu menjadi pilihan utama karena kondisi Kota Surabaya yang sudah memasuki fase darurat sampah dan tidak memadai menggunakan sistem open duming maupun sanitary landfill, karena keterbatasan lahan serta banyaknya masalah yang timbul karena sistem open dumping tersebut.

Secara Geografis, PLTSa Bonoewo berada di dua wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Pakal dan Kecamatan Benowo Kota Surabaya, dengan jumlah KK yang tersebar di kedua kecamatan tersebut mencapai 29.651 jiwa dan 25.214 jiwa. Rata-rata penduduk merupakan lulusan Sekolah menengah atas.

Kebijakan pembangunan PLTSa Benowo tidak lepas dari visi Pemerinatak Kota Surabaya yang akan berubah menjadi Smart City. Mata pencaharian penduduk asli umumnya pada sektor tambak, buruh tani dan pedagang.

Pandangan masyarakat yang kontra terhadap pendirian PLTSa setidaknya berkaitan dengan ketidaknyamanan hidup. Berdasarkan pemahaman mereka, meskipun bertransformasi menjadi PLTSa, tetap saja stigma nya adalah tempat pembuangan sampah akhir yang menimbulkan polusi atau pencemaran lingkungan baik air, udara dan tanah. Salah satu pemahaman tentang pencemaran udara adalah adanya gas yang dibuang ke udara lewat cerobong, yang apabila kondisi hujan gas yang keluar tidak bisa jauh terbawa angina tapi langsung jatuh ke tanah bersamaan dengan air huja (penuturan salah satu warga Kec. Pakal). Dikhawatirkan partikel zat beracum banyak menyebar di wilayah Pakal maupun Benowo bersamaan dengan turunnya air hujan.

Selain itu muncul juga kekhawatiran terhadap dampak kesehatan yang disebabkan oleh PLTSa, salah satunya adalah asap PLTSa memicu frigiditas yang tidak hanya terjadi di kalangan ibu- ibu namun juga bapak-bapak, seperti yang disampaikan oleh satu ibu di daerah Kec. Benowo.

Beliau mencontohnkan beberapa kasus di Inggris yang dalam waktu kurang dari 10 tahun masalah frigiditas terjadi. Kekhawatiran seperti ini muncul karena sifat ingin tahu masyarakat tidak selaras dengan program edukasi. Selain itu pembangunan PLTSa akan mematikan mata pencaharian masyarakat yang bekerja sebagai pemulung, karena otomatis jika berubah menjadi PLTSa maka pemulung tidak bisa lagi mencari sampah berharga di TPA Benowo, dan perlu diketahui bahwa pemulung dan pengepul di sekitar Benowo jumlahnya ratusan, otomatis ini berdampak secara langsung terhadap perekonomian masyarakat. Namun ada pula yang mengalami peningkatan perekonomian setelah adanya PLTSa Benowo, diantaranya adalah para pedagang kopi disekitaran PLTSa. Kedai kopi mereka menjadi lebih laris setelah ada PLTSa, karena banyak dikunjungi oleh pekerja maupun sopir pengangkut sampah. Selain itu adanya PLTSa juga bearti ada penyerapan tenaga kerja, tentu saja bagi masyarakat yang bisa bekerja menjadi karyawan di PLTSa otomatis kehidupan perekonomiannya menjadi membaik.

Dari sini bisa dikatakan bahwa masyarakat memiliki persepsi bervariasi terhadap keberadaan PLTSa, yang didasarkan pada kondisi mereka masing-masing.

Selain itu, penerapan insenerasi pada PLTSa Benowo juga menuai polemic dari sisi lingkungan. Menurut salah satu organisasi masyarakat yang bergerak di bidang lingkunga, penerapan insenerasi hanya merupakan dalih dari ketidakmampuan Pemerintah Kota Surabata dalam pengelolaan tumpukan sampah. Hal ini lebih lanjut diperkuat dengan alasan bahwa insenerasi merupakan solusi jangka pendeka karena tidak memberikan solusi atas tata kelola sampah yang efektif, yang dilakukan ketika sampah sudah menumpuk. Lebih lanjut, kecaman pun datang dengan adanya penerapan insenerasi ini, karena selain tidak memberikan solusi efektid juga dapat merusak lingkungan di kemudian hari, mengingat kendungan berbahaya dalam emisi. Tentu saja hal ini dibantah oleh DKRTH Kota Surabaya selaku perwakilan

(5)

Pemerintah Kota Surabaya yang khusus membidangi persoalan sampah. Pihak DKRTH berdalih bahwa Pemerintah Kota sudah memiliki metode untuk antisipasi tumpukan dengan pengelolaan sampah di skala sumber utama atau tingkat rumah tangga. Beberapa metode yang dikebangkan mulai dari composting hingga bank sampah. Selain itu pemerintah juga sudah melakukan penginkatan kesadaran masyarakat terkait pengelolaan sampah melalui sosialisasi dan pengadaan Surabaya Smart City, salah satu lomba yang memicu masyarakat agar peduli terhadap lingkungan.

Namun kesadaran masyarakat secara sukarela untuk meningkatkan pengelolaan di tingkat rumah tangga agaknya masih sulit, untuk itu dibutuhkan regulasi yang tepat dan punishment yang kuat, diperparah dengan kondisi riil dimana masyarakat di Surabaya belum seluruhnya memiliki mindset yang baik terkait pengelolaan sampah. Hal ini dibuktikan dari banyaknya masyarakat Surabaya yang masih membuang sampah di lautan. Selain itu masyarakat juga ternyata tidak memanfaatkan fasilitas kotak Takakura yang disediakan oleh pemerintah, hal ini karena tidak adanya sosialisasi intensif dari pihak kelurahan sehingga tidak adanya pemahaman masyarakat. Tempat Penampungan Sementara di beberapa titik kelurahan juga tidak tersedia, karena TPS hanya tersedia di tingkat kecamatan. Selain itu tidak ada proses pemilahan sampah di tingkat rumah tangga, sehingga semua sampah yang masuk ek TPS bercampur antara sampah organik dengan anorganik. Kondisi ini terjadi justru di TPS yang menjadi percontohan, meskipun selanjutnya aka nada pengelolaan. Kondisi sampah yang tercampur tentu saja berbahaya karena TPS tidak memiliki mekanisme pengelolaan sampah yang baik, sampah yang tidak terkelola semuanya akan masuk dan menumpuk di TPA. Hal inilah yang kemudian memperkuat asumsi bahwa pemerintah hanya fokus mengelola sampah sejak dari TPS ke TPA, sedangkan dari titik-titik rumah tangga ke TPS seolah diserahkan begitu saja mekanismenya ke masing-masing tempat.

Pemilahan sampah ditingkat rumah tangga akhirnya menjadi solusi efektif berhasilnya proses pengolahan sampah. Sampah organik yang sudah dipilah dapat diolah sendiri dengan metode composting, dan sampah anorganik dapat dikelola sendiri, dipilah mana yang dapat didaur ulang, mana yang kemudian menjadi B3 bisa dikendalikan sendiri.

Salah satu kekurangan dalam pengolahan sampah berbasis kimia dengan menggunakan pembakaran adalah adanya polutan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang mengancam lingkungan PLTSa menjadi solusi parsial karena abu sisa pembakaran tetap membutuhkan TPA khusus B3. Selain itu insenirasi juga memiliki dampak buruk bagi lingkungan melalui kandungan emisi berbahaya dari proses pembakaran. Di negara lain, penolakan terhadap keberadaan insenerator juga terjadi, karena dianggap keberadaan insenerator tersebut mengancam keselamatan hidup mereka. Insenerator selain menghasilkan gas yang berbahaya untuk efek rumah kaca, juga mempunyai output dioksin, debu yang apabila terhirup manusia akan menyebabkan kerusakan pada paru-paru, terdapat fly ash yang apabila terkena tanaman, tanaman tersebut bisa mati. Dioksin yang menjadi hasil insenerasi nyatanya memiliki penyebaran masif melalui udata, dan udara yang sudah terkontaminasi itu secara langsung berdampak atau juga bisa menjadi penghantar masuknya dioksin ke berbagai media lain, seperti tanah dan air. Dioksin merupakan salah satu senyawa kimia yang tidak mudah larut dan dapat mengendap di dalam tubuh manusia, serta dampaknya bisa ke generasi setelahnya melalui proses menyusui, Keberadaaan dioksin pada tubuh manusia dan mengendap tentu saja dapat memicu kanker. Perlu diketahui, sampah plastic dapat mengandung logam berat berbahaya bagi lingkungan dan bagi tubuh manusai. Pembakaran sampah yang kemudia menghasilkan residu akibat pembakaran tidak sempuran akan berpotensi mecmeari tanah danari karena tidak lagi dapat dengan mudah dikontrol. Seperti dilansir mongabay.co.id, setidaknya terdapat 10- 25 persen residua tau abu sisa pembakaran yang dikategorikan sebagai limbah berbahaya atau

(6)

B3. Bentuk yang lebih berbahaya dan dapat dengan mudah berterbangan yang secara langsung berpotensi menjadi siklus yang berbahaya jika dikonsumsi hewan dan masyarakat. Jamil &

Anggraini (2015) menjelaskan bahwa hasil pembakaran yang dapat dikategorikan sebagai POPs (Persistent Organic Pollutants) yang terdiri dari dioksin, furan dan sampah yang mengandung logam berat sehingga berpotensi menimbulkan kanker, gangguan reproduksi, penurunan kualitas hidup manusia. Residu dari polutan tersebut memiliki ukuran partikel yang sangat kecil yang tidak dapat disaring dengan sempurna oleh tubuh manusia bahkan ketika sudah menggunakan masker sekalipun.

Kecepatan reduksi tumpukan sampah tentu menjadi pilihan menarik bagi pemerintah, sedangkan pengolahan limbah dengan menggunakan sistem AD dianggap lamban dalam mereduksi sampah, namun keunggulannya adalah teknik ini punya kepastian degradasi, dapat menambah unsut hara tanaman serta karbondioksida yang dirilis dapat digunakan untuk fotosintesis bagi vegetasi yang kemudia dapat menebarkan oksigen dari hasil fotosintesis.

Keunggulan teknologi nyatanya bukan menjadi jaminan atas solusi sampah di Surabaya, terdapat aspek lain seperti ekonomi, politik social dan legal. Cahyana (2018) memaparkan ada beberapa aspek yang sengaja ditinggalkan dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah, diantaranya ekologi, interaksi manusia dan lingkunga. Konyugasinya disebut sosioekologi (sosiobudaya, ekonomi dan ekologi atau ekonomi). Kondisi berbeda dengan negara-negara maju layaknya negara-negara di Eropa, Amerika, maupun di China, Jepang dan Singapura yang mempunyai taraf kesehatan tinggi, Indonesia sebagai negara berkembang, agraris dan agamis masalah sampah dapat didekati dari sisi sosiobudaya. Seisi ini akan melibatkan kondisi social, tradisi, kepercayaan dan agama dengan memasukkan agamawan (ruhaniawan), tetua adat, tokoh masyarakat maka pembiasaan reduksi sampah dapat dilakukan.

Proses ini tentunya perlu didukung oleh dinas terakti melalui dinas-dinas maupun instansi terkait.

Pendekatan sosiobudaya akan sulit ditempuh di negara yang kaut individualismenya sebab sulitnya masyarakat dilibatkan dalam implementasi 7R (reduce, reuse, recycle, repair, repurpose, re-sale, rent) maka jelas proses insinerasi menjadi pilihan untuk pengolahan sampah yang mereka hasilkan. Namun berbeda dengan kondisi di Indonesia, dimana peluang pendekatan sosiobudaya masih terbuka lebar.

PLTSa bisa saja berpeluang melahirkan petaka ekologi (ecological disaster) maka yang dinilai bukan hanya aspek kecepatan reduksi tumpukan sampah namun juga efeknya atas manusia dan lingkungan.

Gerakan pendekatan sosiobudaya untuk mendukung reduksi sampah merupakan salah satu solusi yang solutif, murah dan tahan lama tanpa batas waktu. Proses ini dilakukan dengan penyuluhan dan promosi yang melibatkan pejabat serta perangkatnya juga organisasi masyarakat yang semuanya bergerak bukan hanya sekedar formalitas. Hal ini tentunya dikuatkan dengan kebijakan dewan (policy) agar dapat secara kuat memayungi salah satunya dengan UU tentang pengelolaan sampah.

3.2. Penghasil Listrik atau Solusi Permasalah Lingkungan?

Pembangkit Listrik Tenaga Sampah merupakan salah satu pembangkit listrik dengan menggunakan sumber energy terbarukan. Yang dimaksud dengan sumber energy terbarukan adalah sumber energy yang diperoleh dari sumber daya energy berkelanjutan, dapat diperoleh sepanjang masa jika dikelola dengan baik, seperti panas bumi, angina, sinar matahari, arus air, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut (ESDM, 2014). Pemanfaatan sampah menjadi energy listrik sudah lama dilakukan dalam perkembangan pembangkit listrik energy terbarukan. Data dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementrian ENergi dan Sumber Daya Mineral (Ditjen Gatrik KESDM) memperlihatkan bahwa pemanfaatan sampah menjadi energy listrik sudah lama dilakukan sejak hampir satu dekade yang lalu, yaotu sejak tahun 2014. Kapasitas terpasang PLTSa pada saat itu adalah 14,00 MW, sedangkan kapasitas terpasang pembangkit listrik nasional di tahun yang sama di seluruh pembangkit adalah 50,417 GW. Namun hingga

(7)

tahun 2018 tidak ada peningkatan signifikat pada kapasitas terpasang PLTSa, hanya naik sekitar 0,02% dari keseluruhan pembangkit listrik yang terbangun sebesar 64,92 GW (Ditjen Gatrik KESDM, 2019)

Dibandingkan dengan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan yang lain, PLTSa tidaklah terlalu besar sumbangannya listriknya, bahkan cenderung tidak ada peningkatan kapasitas. Sumbangan PLTSa untuk listrik nasional pun rasionya kecil jika dibandingkan dengan kebutuhan listrik yang ada. Maka, akan sulit jika diharapkan PLTSa mencapai target 23% bauran pembangkitan dari energy terbarukan pada tahun 2025 (Qodriyatun, 2021).

Menilik sumbangan PLTSa untuk mereduksi timbunan sampah justru terlihat dampaknya.

PLTSa dengan teknologi termal nyatanya terbukti untuk mengurangi tumpukan sampah dan tidak menimbulkan dampak terhadap lingkungan. Salah satu teknologi pengolahan sampah, insinerasi, bahkan mampu mereduksi sampah hingga 1.300 ton/hari. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi termal yang lain. Kapasitas sampah yang tereduksi oleh Teknologi pirolisis hanya berkisar 70-270 ton/hari, sedangkan gasifikasi mampu mereduksi sampah hingga 900 ton/hari (The International Solid Waste Association, 2013). Negara-negara di dunia yang sudah berhasil mengembangkat pembangkit listrik tenaga sampah menggunakan prinsip termal, terutama PLTSa termal insinerasi, yang sudah lebih dari 1000 pembangkit dibangun di seluruh dunia. Sedangkan PLTSa termal dengan prinsip gasifikasi baru diadopsi oleh sekitar 150 pembangkit, selain itu ada pula PLTSa termal dengan teknologi pirolisi yang baru diadaptasi oelh 10 pembangkit (KESDM,2016). Dari paparan tersebut, bisa dilihat bahwa PLTSa termal lebih tepat dijadikan solusi instan terutama bagi kota-kota besar yang memproduksi sampah di atas 1000 ton/hari serta mengalami kesulitan dalam menyediakan lahan untuk TPA. Selain itu perlu juga upaya di bagian hulu (rumah tangga) untuk menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse dan recycle) guna mengurangi tumpukan sampah, dan juga mulai membudayakan proses pemilahan sampah sebelum sampah dibuang ke penampungan agar dapat mengoptimalkan energy listrik yang dihasilkan oleh PLTSa.

Conslcussion References

Cahyana, G. (2018). Sosioekologi PLTSa. 1–4. https://doi.org/10.31219/osf.io/6skfx

Jamil, A., & Anggraini, S. (2015). Potensi Limbah Pertanian sebagai Pupuk Organik Lokal di Lahan Kering Dataran Rendah Iklim Basah. Iptek Tanaman Pangan, 6(2), 193–202.

Muchtar. (2010). Resistensi masyarkat Terhadap Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, 15(01), 36–48.

Nurdiansah, T., P, E. P., & Kasiwi, A. (2020). IMPLEMENTASI PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SAMPAH (PLTSa) SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN SAMPAH PERKOTAAN; STUDI KASUS di KOTA SURABAYA. Jurnal Envirotek, 12(1), 87–92.

Qodriyatun, S. N. (2021). Pembangkit Listrik Tenaga Sampah: Antara Permasalahan Lingkungan dan Percepatan Pembangunan Energi Terbarukan. Aspirasi: Jurnal Masalah-Masalah Sosial, 12(1), 63–84. https://doi.org/10.46807/aspirasi.v12i1.2093

The International Solid Waste Association. (2013). ISWA White Paper on Alternative Waste Conversion Technologies.

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini ditujukan untuk membuat perancangan sebuah sistem akuisisi data berbasis arduino untuk pengenalan ciri sinyal suara paru dan jantung menggunakan wavelet

Pengukuran satelit dibuat dengan mengindera radiasi lautan dalam dua atau lebih panjang gelombang dalam bagian infra merah dari spektrum elektromagnetik atau

Bulan pertama penulis bekerja sebagai karyawan harian lepas (KHL). Bulan kedua penulis melakukan kegiatan penelitian sebagai pendamping mandor, baik mandor panen,

menggunakan nama tokoh sebagai namanya. Karya tulis ini diharapkan akan dapat memberikan pemahaman kepada pembaca tentang nama-nama jalur di Kuantansingingi yang

Di dalam Lambang Daerah terdapat Gunung/Pulau, melambangkan Daerah Kepulauan bahwa Kabupaten Halmahera Timur merupakan wilayah Provinsi Maluku Utara dengan jumlah gunung

Pelaksanaan pada penelitian ini memberikan perlakuan berbeda, di mana perlakuan untuk kelompok eksperimen berupa pembelajaran matematika dengan model kooperatif tipe

[r]

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa model pembelajaran 5E lebih mendukung peserta didik untuk memiliki kesadaran metakognitif yang tinggi dibandingkan dengan