• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PANKREAS

2.1.1 Anatomi Pankreas

Pankreas merupakan organ yang memanjang dan terletak pada epigastrium dan kuadran kiri atas. Strukturnya lunak, berlobus, dan terletak pada dinding posterior abdomen di belakang peritoneum. Pankreas menyilang planum transpyloricum. Pancreas dapat dibagi dalam caput, collum, corpus, dan cauda. Pankreas merupakan kelenjar retroperitoneal dengan panjang sekitar 12-15 cm (5-6 inchi) dan tebal 2,5 cm (1 inchi). Pankreas berada di posterior kurvatura mayor lambung. Pankreas terdiri dari kepala, badan, dan ekor dan biasanya terhubung ke duodenum oleh dua saluran, yaitu duktus Santorini dan ampula Vateri (lihat Gambar 2.1) (Tortora & Derrickson, 2012).

Gambar 2.1. Anatomi Pankreas dan Saluran-salurannya

(Sumber: Tortora & Derrickson, 2010: Principles of Anatomy & Physiology, 13th Edition)

2.1.2. Fisiologi dan peran pankreas

Fungsi pankreas merupakan kelenjar eksokrin dan endokrin. Bagian eksokrin kelenjar menghasilkan sekret yang mengandung enzim-enzim yang dapat menghodrilisis protein, lemak, dan karbohidrat. Bagian endokrin kelenjar yaitu

(2)

pulau-pulau pancreas (pulau-pulau langerhans), menghasilkan hormon insulin dan glukagon yang mempunyai peranan penting pada metabolisme karbohidrat.

Pulau pankreas (Langerhans) masing-masing berisi empat jenis sel:

1. Sel alpha, sekitar 20 % menghasilkan hormon glukagon. Glukagon memiliki peran penting dalam regulasi glukosa darah sehingga kadar glukosa darah rendah.

2. Sel beta , menghasilkan sekitar 75 % hormon insulin.

3. Sel delta, mengeluarkan sekitar 4 % hormon somatostatin peptida.

4. Sel PP, mengeluarkan sekitar 1 % hormon polipeptida pankreas. Hormon polipeptida memainkan peran dalam nafsu makan, serta dalam regulasi eksokrin pankreas dan sekresi endokrin. (Rice University, 2013).

2.2 DIABETES MELITUS 2.2.1 Definisi

Diabetes melitus adalah sindrom metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang terganggu disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin dari penurunan sensitivitas jaringan pada insulin (John E. Hall, 2016).

Diabetes merupakan kondisi kronis yang terjadi saat tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tidak dapat menggunakan insulin, dan didiagnosis dengan mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah. Insulin adalah hormon yang diproduksi di pankreas; Hal ini diperlukan untuk mengangkut glukosa dari aliran darah ke sel-sel tubuh dimana ia digunakan sebagai energi. Kurangnya atau ketidakefektifan insulin pada seseorang dengan diabetes berarti glukosa tetap beredar dalam darah (IDF, 2015).

Diabetes melitus berhubungan dengan risiko aterosklerosis dan merupakan predisposisi untuk terjadinya kelainan mikrovaskular seperti retinopati, nefropati dan neuropati (PERKENI, 2015).

Ada dua jenis umum diabetes melitus:

1. Diabetes tipe 1, juga disebut diabetes melitus tergantung insulin disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin.

2. Diabetes tipe 2, juga disebut diabetes melitus non-insulin-dependent. Pada awalnya disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan target terhadap efek

(3)

metabolik insulin. Hal ini mengurangi sensitivitas terhadap insulin yang sering disebut resistensi insulin (John E. Hall, 2016).

2.2.2 Epidemiologi

Pada tahun 1995, diperkirakan sebanyak 171 juta orang (2,8% dari penduduk dunia) menderita kencing manis. Diperkirakan pada tahun 2030 akan menjadi 366 juta (4,4% dari penduduk dunia). Kemudian 50 tahun kemudian, pada tahun 2050, penduduk yang berusia 60 tahun ke atas akan mengalami peningkatan menderita kencing manis sebanyak 2.000 juta penduduk. Penduduk yang paling banyak menderita adalah penduduk dengan usia antara 45-65 tahun. (RISKESDAS, 2013)

Diabetes Mellitus tipe 2 telah di katalogkan sebagai epidemi abad kedua puluh satu baik untuk frekuensi dan dampaknya dalam hal penyakit kardiovaskular dan neuropati perifer. Dalam beberapa tahun terakhir, telah menjadi penyebab utama kematian di negara maju; Prevalensi Diabetes Mellitus tipe 2 sangat tinggi di beberapa negara Eropa barat (Jerman, Spanyol, Italia, Prancis, dan Inggris). Di Spanyol, sebuah studi institusional baru-baru ini menemukan prevalensi 12,5% (Valdés S, et al., 2014).

Gambar 2.2. Perbandingan kasus dan kematian karena kencing manis di Indonesia menurut WHO tahun 2010 dan 2013.

Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan bahwa kasus kencing manis (berdasarkan diagnosis atau gejala klinis) di Indonesia

(4)

sebesar 2,1% setelah diadakan pemeriksaan darah di laboratorium terhadap penduduk yang terkena sampel biomedis, ternyata kasus tersebut lebih besar, yaitu 6,9% (sama dengan menurut data WHO). Angka ini memberikan informasi kepada kita bahwa dari 100 orang Indoneosia yang berusia 15 tahun ke atas, sebnayak 7 orang telah menderita diabetes mellitus. Tingginya kasus diabetes melitus tersebut menempatkan indonesia pada urutan ke-4 terbesar di dunia yang mempunyai penduduk menderita diabetes melitus setelah India (79.400.000 jiwa tahun 20130), Cina (42.300.000 jiwa pada tahun 2030) dan Amerika (30.300.000 jiwa pada tahun 2030).

WHO memprediksi kenaikan jumlah pasien DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009 memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah pasien DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (PERKENI, 2011).

Berdasarkan data diatas menunjukan kecenderungan prevelensi DM di Indonesia berdasarkan wawancara tahun 2013 adalah 2,1 persen (Indonesia) lebih tinggi dibanding tahun 2007 (1,1%). Dua provinsi, yaitu Papua Barat dan Nusa Tenggara Barat terlihat ada kecenderungan menurun, 31 provinsi lainnya menunjukkan kenaikan prevalensi DM yang cukup berarti seperti Maluku (0,5% menjadi 2,1%), Sulawesi Selatan (0,8% menjadi 3,4%), dan Nusa Tenggara Timur (1,2% menjadi 3,3%) (RISKESDAS, 2013).

(5)

Grafik 2.3. prevalensi Diabetes Mellitus dibeberapa provinsi (RISKESDAS, 2013)

2.2.3 Etiologi Diabetes Melitus a. Diabetes Mellitus Tipe 1

Kerusakan pada sel beta dari pankreas atau penyakit yang mengganggu produksi insulin dapat menyebabkan diabetes tipe 1. Infeksi virus atau gangguan autoimun terlibat dalam kerusakan sel beta dalam banyak pasien dengan tipe 1. Meskipun faktor keturunan juga memainkan peran utama dalam menentukan kerentanan sel beta terhadap penghancuran oleh kerusakan ini. Dalam beberapa kasus, orang memiliki kecenderungan turun-temurun untuk degenerasi sel beta bahkan tanpa infeksi virus atau kelainan autoimun (John E. Hall, 2016).

DM tipe 1 juga dapat disebabkan oleh virus diantaranya cocksakie, rubella, CM virus, herpes yang dapat memicu terjadinya serangan autoimun terhadap sel β pada individu sehingga individu menjadi rentan secara genetis. Pada keadaan ini virus memicu terjadinya reaksi autoumin terhadap antigen sel beta bereaksi silang atau bisa menyebabkan kerusakan pada sel beta sehingga merangsang respon imun terhadap antigen sel beta yang mengalami perubahan dan dapat terjadi defisiensi insulin dan pada kondisi yang lebih berat sel-sel beta sehingga tidak mampu lagi untuk memproduksi insulin (Kumar et al., 2007 ; Dipiro et al., 2011).

(6)

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes Melitus tipe 2 diproduksi dengan penurunan sensitivitas insulin yang progresif pada jaringan targetnya dan atau ketidakcukupan pankreas untuk meningkatkan produksi insulin berkembang menjadi resistensi terhadap insulin. Jenis ini menghasilkan 90-95% dari semua kasus diabetes (ADA, 2014).

Diabetes tipe 2 jauh lebih umum daripada tipe 1, terhitung sekitar 90 sampai 95 persen dari semua kasus diabetes mellitus. Pada kebanyakan kasus, onset diabetes tipe 2 terjadi setelah usia 30 tahun bahkan seringkali antara usia 50 dan 60 tahun, dan penyakitnya berkembang secara bertahap. Oleh karena itu, sindrom ini sering disebut sebagai diabetes onset dewasa. Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan jumlah orang di bawah usia 20 tahun dengan diabetes tipe 2 (John E. Hall, 2016).

Usia merupakan faktor risiko penting untuk tipe Diabetes Mellitus tipe 2. Di Eropa 37% penduduknya berusia di atas 50 tahun dan diperkirakan akan meningkat menjadi 44% pada tahun 2030. Peningkatan jumlah pasien diabetes kemungkinan akan semakin meningkat di tahun-tahun mendatang (Espelt A et al., 2014).

Defisit insulin mengakibatkan penurunan transportasi dan penggunaan glukosa di banyak sel tubuh sehingga kadar glukosa darah naik (hiperglikemia). Kelebihan tumpahan glukosa ke dalam urin (glukosuria) karena tingkat batas transport tubular membatasi reabsorbsinya. Glukosa dalam urin mengandung tekanan osmotik dalam filtrat, menghasilkan sejumlah besar urin untuk diekskresikan (poliuria), dengan hilangnya cairan dan elektrolit (misalnya sodium dan potassium) dari jaringan tubuh. Kehilangan cairan melalui urin dan kadar glukosa darah tinggi menarik air dari sel, mengakibatkan dehidrasi. Dehidrasi menyebabkan haus (polidipsia). Kurangnya nutrisi memasuki sel merangsang nafsu makan (polifagia) (Barbara et al., 2011).

(7)

2.2.4 PATOFISIOLOGI

2.2.4.1. DIABETES MELLITUS TIPE 1

Grafik 2.4 Skema Patofisiologi Diabetes Mellitus 1 (Carrera et al., 2013) 5-10 % kasus diabetes melitus terjadi pada masa anak-anak dan masa remaja. Umumnya disebabkan oleh kehancuran autoimun yang dimediasi oleh sel β-pankreas yang akhirnya menyebabkan terjadinya defisiensi absolut insulin. Proses autoimun ini dimediasi oleh sel makrofag dan limfosit T dengan bantuan autoantibodi antigen sel β. Ada pula DM tipe 1 ini disebabkan oleh virus Cocksakie, Rubella, CM virus, herpes dan lain-lain (Barbara et al., 2015).

Bukti determinan genetik diabetes melitus tipe 1 adalah HLA1 (Human Leukocyte Antigen) spesifik tipe gen ini yang berkaitan dengan diabetes melitus tipe 1 adalah DW3 dan DW4 yang merupakan protein-protein penting untuk interaksi monosit-limfosit, protein-protein inilah yang mengatur respon sel T. Jika terjadi kelainan fungsi limfosit T maka akan terjadi pula kerusakan pada pulau-pulau sel langerhans dan terjadi peningkatan antibodi-antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans yang ditunjukkan pada komponen antigen terbentuk sel beta (Schteingart , 2006).

Penghancuran autoimun sel β pankreas, menyebabkan defisiensi sekresi insulin yang menyebabkan gangguan metabolik yang terkait dengan IDDM. Selain hilangnya sekresi insulin, fungsi sel α pankreas juga abnormal dan ada sekresi glukagon yang berlebihan pada pasien IDDM. Biasanya hiperglikemia menyebabkan sekresi glukagon berkurang. Namun, pada pasien dengan IDDM

(8)

sekresi glukagon tidak ditekan oleh hiperglikemia (Raju dan Raju, 2010). Hasilnya, tingkat glukagon yang tidak tepat menghasilkan perburukan defek metabolik akibat defisiensi insulin. Contoh yang paling menonjol dari gangguan metabolik ini adalah bahwa pasien dengan IDDM dengan cepat mengembangkan ketoasidosis diabetik dengan tidak adanya pemberian insulin. Meskipun defisiensi insulin adalah cacat utama pada IDDM, ada juga kekurangan dalam pemberian insulin. Ada beberapa mekanisme biokimia yang menyebabkan gangguan respon jaringan terhadap insulin. Kekurangan insulin menyebabkan lipolisis yang tidak terkontrol dan peningkatan kadar asam lemak bebas di dalam plasma, yang menekan metabolisme glukosa pada jaringan perifer seperti otot rangka (Raju dan Raju, 2010).

2.2.4.2. DIABETES MELLITUS TIPE 1I

Grafik 2.4 Skema Patofisiologi Diabetes Melitus 2 (Carrera et al., 2013) Diabetes melitus tipe 2 merupakan gangguan metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia kronis yang disebabkan oleh resistensi terhadap insulin pada jaringan perifer, tidak memadainya jumlah insulin yang diproduksi dan adanya gangguan sekresi glukagon sehingga diabetes melitus tipe 2 melibatkan setidaknya dua mekanisme patogen yaitu sebagai berikut :

 Penurunan secara progresif fungsi sel ß-pankreas sehingga jumlah insulin yang disekresi tidak cukup untuk mensekresi glukagon.

(9)

Resistensi insulin adalah penyebab utama NIDDM, namun beberapa peneliti berpendapat bahwa kekurangan insulin adalah penyebab utama karena tingkat resistensi insulin moderat tidak cukup untuk menyebabkan NIDDM (Raju dan Raju, 2010).

2.2.5. MANIFESTASI KLINIS DIABETES MELLITUS

Para penderita diabetes Melitus biasanya mengalami gejala yang khas polidipsi, poliuria, polifagia, penurunan berat badan dan adanya pemeriksaaan gula darah yang memenuhi salah satu dari kriteria diagnostik berikut :

A. Pada pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia glukosa darah acak ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l)

B. Gula darah puasa ≥ 126 mg/dl (7.0 mmol/l) puasa disini didefinisikan sebagai tidak adanya asupan kalori yang masuk minimal 8 jam.

C. Gula darah 2 jam ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l) selama OCTT (Oral Glukosa Tes Toleransi), asupan glukosa yang direkomendasikan WHO pada tes ini adalah 75 gram glukosa yang dilarutkan di air (ADA, 2011).

2.2.6. KLASIFIKASI DIABETES MELLITUS

Klasifikasi etiologi DM menurut American Diabetes Association 2010 (ADA 2010), dibagi dalam 4 jenis,yaitu:

a. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus / IDDM DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.

b. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Mellitus / NIDDM

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi

(10)

relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi. c. Diabetes Melitus Tipe Lain

DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada tabel 1.

d. Diabetes Melitus Gestasional

DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

(11)

Tabel II. 1. Klasifikasi Diabetes Melitus Klasifikasi

I

Diabetes Tipe 1 (Destruksi sel, umumnya mengarah kepada defisiensi insulin absolut)

Immune mediated Idiopathik

Klasifikasi II

Diabetes tiep 2 diabetes (dari predominan resisten insulin dengan defisiensi insulin relative hingga predominan defek dengan resistensi insulin)

Klasifikasi III

Tipe Lain

 Defek genetik dari fungsi sel beta  Defek genetik kerja insulin  Penyakit eksokrine pankreas  Endokrinopati

 Imbas obat atau zat kimia  Infeksi

 Jenis tidak umum dari diabetes yang diperantarai imun  Sindrom genetik lainnya yang kadang berhubungan dengan

DM Klasifikasi

IV

Diabetes melitus gestasional

(ADA,2010)

2.2.7. Faktor Resiko

2.2.7.1 Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi a. Riwayat Keluarga

Adanya hubungan antara riwayat keluarga yang menderita diabetes melitus dengan angka kejadian diabetes melitus. Seseorang akan beresiko tinggi menderita diabetes melitus jika salah satu keluarganya mempunyai riwayat penyakit diabetes melitus baik dari orang tua, kakek / neneknya dan saudara yang menderita (Rahayu, 2012).

b. Umur

Dengan semakin bertambanya usia seseorang maka akan meningkatkan resiko terhadap suatu penyakit, hal ini dikarenakan penurunan fungsi organ tubuh

(12)

seseorang terutama gangguan organ pankreas dalam menghasilkan insulin sehingga diabetes melitus akan meningkat terutama pada umur 40 tahun keatas (Suyanto et al., 2007).

c. Riwayat Pernah Menderita Diabetes Gestasional

Ibu yang menderita diabetes akan melahirkan bayi besar dengan berat badan lebih dari 4000 gram. Apabila hal ini terjadi memungkinkan ibu bayi tersebut mengidap diabetes melitus tipe 2 (Rahayu, 2012).

d. Bangsa dan etnik

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bangsa asia cenderung lebih rentan terhadap penyakit diabetes melitus karena bangsa asia kurang melakukan aktivitas olahraga dibandingkan dengan bangsa eropa dan amerika. Kelompok etnis tertentu juga mempengaruhi faktor terjadinya diabetes melitus terutama China, India, Melayu (Suyanto et al., 2007).

2.2.7.2 Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi a. Kurangnya Aktivitas Fisik

Kurangnya aktivitas fisik yang eringkali dilakukan akan berpengaruh pada produksi insulin di tubuh. Prevalensi diabetes melitus mencapai 2-4 kali lipat terjadi pada individu yang kurang melakukan aktif dibandingkan dengan individu aktif. Olahraga yang kurang efektif juga dapat berpengaruhterjadinya obesitas bila pola makan yang tidak sehat, hal ini juga mengakibatkan rentannya seseorang mengalami diabetes melitus (Rahayu, 2012).

b. Pola Makan

Probabilitas untuk terjadinya diabetes melitu pada orang dengan pola makan yang tidak sehat. Pola makan yang tidak sehat seperti makan makanan junk food, makanan yang berminyak, soda, karbohidrat yang tinggi merupakan faktor pencentus terjadinya obesitas yang nantinya akan meyebabkan terjadinya resistensi insulin (Rahayu, 2012).

c. Obesitas

Peningkatan resiko terjadinya diabetes melitus terhadap obesitas cukup besar, bisa mencapai empat kali lebih beresiko. Obesitas sendiri berhubungan dengan hiperinsulinemia dan insulin melalui downregulation dari reseptor insulin. Potensi suatu substansi yang dihasilkan oleh lemak yang dapat menyebabkan

(13)

resistensi insulin, peningkatan kadar asam lemak bebas juga berpengaruh pada pada produksi insulin (Rahayu, 2012).

2.2.8. KOMPLIKASI DIABETES MELITUS

Orang dengan diabetes memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan sejumlah masalah kesehatan yang melumpuhkan dan mengancam kehidupan daripada orang yang tidak menderita diabetes. Kadar glukosa darah secara konsisten tinggi dapat menyebabkan penyakit serius yang mempengaruhi jantung dan pembuluh darah, mata, ginjal dan saraf. Orang dengan diabetes juga berisiko tinggi terkena infeksi. Pada hampir semua negara berkembang, diabetes adalah penyebab utama penyakit kardiovaskular, kebutaan, gagal ginjal dan amputasi anggota tubuh bagian bawah.

2.2.8.1. Komplikasi Akut a. Hipoglikemik

Hipoglikemia adalah suatu kondisi yang ditandai dengan glukosa dalam darah rendah, kadar gula darah tubuh kurang dari 70 mg / dl. Hipoglikemia dapat menyebabkan gejala atau tanda-tanda seperti perubahan status mental dan / atau stimulasi sistem saraf simpatik. Kondisi ini biasanya muncul dari kelainan pada mekanisme yang terlibat dalam homeostasis glukosa. Penyebab paling umum dari hipoglikemia pada pasien dengan diabetes menyuntikkan suntikan insulin dan melewatkan makan atau kelebihan dosis insulin (ADA, 2015). Gejala-gejala yang ditimbulkan meliputi berkeringat, gemetar, sakit kepala dan palpitasi bahkan dapat menyebabkan koma (Sudoyono, 2009).

b. Diabetes Ketoasidosis

Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon pertumbuhan), keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara

(14)

berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati ini menyebabkan metabolik asidosis (Sudoyono, 2009).

c. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik

Ketoasidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) merupakan komplikasi akut/emergensi diabetes melitus (DM). HHNK ini disebabkan oleh jumlah insulin yang tersedia tidak mampu untuk menghambat ketogenesis tetapi tidak mampu mencegah hiperglikemia serta resistensi hati terhadap glukagon, keadaan ini menyebabkan jumlah glukosa dalam darah meningkat yang akhirnya merangsang diuresis osmotik yang mengakibatkan menurunnya cairan tubuh karena protein plasma juga ikut terbuang. Hal ini jika tidak dikompensasi maka akan menyebabkan koma yang berkaitan dengan gangguan elektrolit berat dan hipotensi. Sindrom HHNK ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disetai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis (Sudoyono, 2009).

2.2.8.2. Komplikasi Kronik

2.2.8.2.1. Komplikasi Makrovaskular a. Penyakit kardiovaskular

Penyakit kardiovaskular adalah penyebab paling umum kematian dan kecacatan di antara penderita diabetes. Penyakit kardiovaskular yang menyertai diabetes meliputi angina, infark miokard (serangan jantung), stroke, penyakit arteri perifer dan gagal jantung kongestif. Tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, glukosa darah tinggi dan faktor risiko lainnya berkontribusi terhadap peningkatan risiko komplikasi kardiovaskular.

b. Peripheral Vascular Disease

Peripheral vascular disease (PVD) disebbakan oleh plak aterosklerosis yang mengarah pada penyempitan arteri distal di lengkungan aorta. Hal ini menyebakan iskemia tungkai akut atau kronis (AHA, 2015).

2.2.8.2.2. Komplikasi Mikrovaskular a. Penyakit mata

Banyak penderita diabetes mengembangkan beberapa bentuk penyakit mata (retinopathy), yang bisa merusak penglihatan atau kebutaan. Tingkat glukosa

(15)

darah yang terus-menerus tinggi merupakan penyebab utama retinopati. Jaringan pembuluh darah yang memasok retina bisa menjadi rusak dalam retinopati, yang menyebabkan hilangnya penglihatan permanen. Retinopati bagaimanapun dapat menjadi sangat maju sebelum mempengaruhi penglihatan, dan oleh karena itu penting bahwa penderita diabetes memiliki pemeriksaan mata secara teratur. Jika terdeteksi dini, pengobatan bisa diberikan untuk mencegah kebutaan. Menjaga kontrol glukosa darah yang baik sangat mengurangi risiko retinopati (IDF, 2015). b. Komplikasi kehamilan

Wanita dengan jenis diabetes berisiko mengalami sejumlah komplikasi selama kehamilan, karena kadar glukosa yang tinggi dapat mempengaruhi perkembangan janin. Wanita dengan diabetes memerlukan pemantauan hati-hati sebelum dan selama kehamilan untuk meminimalkan risiko komplikasi ini. Glukosa darah tinggi selama kehamilan dapat menyebabkan perubahan pada janin yang menyebabkannya mendapatkan ukuran dan berat berlebih. Hal ini pada gilirannya dapat menyebabkan masalah saat melahirkan, luka pada anak dan ibu, dan glukosa darah rendah (hipoglikemia) pada anak setelah lahir. Anak-anak yang terpapar glukosa darah tinggi di rahim berisiko tinggi terkena diabetes tipe 2 di kemudian hari (IDF, 2015).

c. Kesehatan mulut

Diabetes bisa menjadi ancaman bagi kesehatan mulut. Ada peningkatan risiko radang jaringan di sekitar gigi (periodontitis) pada orang dengan kontrol glukosa yang buruk. Periodontitis adalah penyebab utama kehilangan gigi dan dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Penatalaksanaan periodontitis sangat penting pada penderita diabetes karena kebersihan mulut yang optimal dapat mencegah kehilangan gigi, memperlancar diet sehat dan memperbaiki kontrol glukosa. ( IDF, 2015 )

d. Penyakit ginjal

Penyakit ginjal (nefropati) jauh lebih sering terjadi pada orang dengan diabetes dibandingkan pada orang tanpa diabetes; Diabetes adalah salah satu penyebab utama penyakit ginjal kronis. Penyakit ini disebabkan oleh kerusakan pembuluh darah kecil, yang bisa menyebabkan ginjal menjadi kurang efisien, atau

(16)

gagal sama sekali. Mempertahankan tingkat glukosa darah normal di dekat normal dan tekanan darah sangat mengurangi risiko nefropati (IDF, 2015).

e. Kerusakan saraf

Kerusakan saraf (neuropati) juga diakibatkan oleh kadar glukosa darah tinggi yang berkepanjangan. Hal ini dapat mempengaruhi syaraf manapun di dalam tubuh. Tipe yang paling umum adalah neuropati perifer, yang terutama mempengaruhi saraf sensorik di kaki. Hal ini bisa menimbulkan rasa sakit, kesemutan, dan kehilangan sensasi. Hal ini sangat penting karena dapat menyebabkan cedera tidak diketahui, menyebabkan ulserasi, infeksi serius dan beberapa kasus amputasi. Neuropati juga dapat menyebabkan disfungsi ereksi, serta masalah dengan pencernaan, buang air kecil dan sejumlah fungsi lainnya (IDF, 2015).

f. Kaki diabetik

Serta kerusakan saraf, penderita diabetes bisa mengalami masalah dengan sirkulasi yang buruk ke kaki, akibat kerusakan pembuluh darah. Masalah ini meningkatkan risiko ulserasi, infeksi dan amputasi. Orang dengan diabetes menghadapi risiko amputasi yang mungkin lebih dari 25 kali lebih besar daripada pada orang tanpa diabetes. Dengan manajemen yang bagus, sebagian besar amputasi bisa dihindari. Bahkan ketika seseorang mengalami amputasi, sisa kaki - dan kehidupan seseorang - dapat diselamatkan dengan perawatan tindak lanjut yang baik dari tim kaki multidisiplin. Mengingat risiko ini, penting bagi penderita diabetes memeriksa kaki mereka secara teratur (IDF,2015).

2.2.9. PENATALAKSANAAN DIABETES MELLITUS a. Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari pengelolaan DM secara holistik. Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan materi edukasi tingkat lanjutan.

Materi edukasi pada tingkat awal dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Primer yang meliputi:

(17)

2. Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan.

3. Penyulit DM dan risikonya.Intervensi non-farmakologis dan farmakologis serta target pengobatan.

4. Interaksi antara asupan makanan, aktivitas fisik, dan obat antihiperglikemia oral atau insulin serta obat-obatan lain.

5. Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia). 6. Mengenal gejala dan penanganan awal hipoglikemia.

7. Pentingnya latihan jasmani yang teratur. 8. Pentingnya perawatan kaki.

9. Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

10. Materi edukasi pada tingkat lanjut dilaksanakan di Pelayanan Kesehatan Sekunder dan / atau Tersier, yang meliputi:

a. Mengenal dan mencegah penyulit akut DM. b. Pengetahuan mengenai penyulit menahun DM. c. Penatalaksanaan DM selama menderita penyakit lain. d. Rencana untuk kegiatan khusus (contoh: olahraga prestasi).

e. Kondisi khusus yang dihadapi (contoh: hamil, puasa, hari-hari sakit). f. Hasil penelitian dan pengetahuan masa kini dan teknologi mutakhir

tentang DM.

g. Pemeliharaan/perawatan kaki.

Edukasi perawatan kaki diberikan secara rinci pada semua orang dengan ulcus maupun neuropati perifer atau peripheral arterial disease (PAD)

1. Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir dan di air.

2. Periksa kaki setiap hari, dan dilaporkan pada dokter apabila kulit terkelupas, kemerahan, atau luka.

3. Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.

4. Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim pelembab pada kulit kaki yang kering.

(18)

6. Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki secara teratur setelah dari kamar mandi.

7. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada ujung-ujung jari kaki.

8. Kalau ada kalus atau mata ikan, tipiskan secara teratur.

9. Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kaki yang dibuat khusus. 10. Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi. 11. Hindari penggunaan bantal atau botol berisi air panas/batu untuk

menghangatkan kaki (Konsensus, 2015).

Perilaku hidup sehat bagi penyandang Diabetes Melitus adalah memenuhi anjuran:

1. Mengikuti pola makan sehat.

2. Meningkatkan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur

3. Menggunakan obat DM dan obat lainya pada keadaan khusus secara aman dan teratur.

4. Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan hasil pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan. 5. Melakukan perawatan kaki secara berkala.

6. Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit akut dengan tepat.

7. Mempunyai keterampilan mengatasi masalah yang sederhana, dan mau bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga untuk mengerti pengelolaan penyandang DM.

8. Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Prinsip yang perlu diperhatikan pada proses edukasi DM adalah:

1. Memberikan dukungan dan nasehat yang positif serta hindari terjadinya kecemasan.

2. Memberikan informasi secara bertahap, dimulai dengan hal-hal yang sederhana dan dengan cara yang mudah dimengerti.

3. Melakukan pendekatan untuk mengatasi masalah dengan melakukan simulasi.

(19)

4. Mendiskusikan program pengobatan secara terbuka, perhatikan keinginan pasien. Berikan penjelasan secara sederhana dan lengkap tentang program pengobatan yang diperlukan oleh pasien dan diskusikan hasil pemeriksaan laboratorium.

5. Melakukan kompromi dan negosiasi agar tujuan pengobatan dapat diterima ( KONSENSUS, 2015).

b. Terapi Nutrisi Medis

Terapi nutrisi medis (TNM) merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Adapun komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari : karbohidrat tidak boleh lebih dari 55-65 % dari total kebutuhan energi sehari, protein 10-20 %, lemak 20-25 % kebutuhan kalori (PERKENI, 2011).

c. Latihan Jasmani

Latihan jasmani dilakukan secara teratur dapat menurunkan dan menjaga agar kadar glukosa darah teteap normal. Prinsipnya adalah olah raga ringan yang dilakukan secara teratur dan tidak perlu olah raga yang berat. Olah raga yang disarankan bersifat CRIPE (Continous, Rhytmical, Interval, Progresive, Endurance Training), sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85 % denyut nadi maksimal 220-umur disesuaikan dengan kondisi pasien. Adapun beberapa contoh olaraga yang disarankan, meliputi berenang, jogging, berenang, dan lain sebagainya. Untuk melakukan latihan jasmani perlu diperhatikan sebagai berikut pemanasan cukup dilakukan selama 5-10 menit, latihan inti (conditioning) diusahakan pada tahap ini mencapi THR, pendinginan (cool-down) dialakukan selama ± 5-10 menit, peregangan (Sudoyono, 2009).

(20)

2.2.10. Farmakologi a. Insulin

Gambar 2.6 Struktur Proinsulin Manusia (Katzung, 2008)

Insulin merupakan hormon peptida yangmengandung rantai A dari 21 asam amino dan rantai B dari 30 asam amino yang dihubungkan oleh satu subunit dan dua ikatan disulfida. Insulin awalnya berasal dari diekstraksi pankreas babi dan sapi dan seiring berkembangnya ilmu kedokteran dan teknologi sekarang ini, insulin dapat diproduksi oleh teknologi DNA rekombinan sehingga atau yang disebut dengan human insulin. Terapi insulin diindikasikan untuk pasien diabetes melitus tipe 1, hiperglikemia yang disertai dengan ketosis, ketoasidosis diabetik, serta pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengalami kegagalan dengan terapi obat oral antidiabetik (PERKENI, 2011 ; Laurance et al., 2008)

Berdasarkan mula kerja, lama dan puncak kerjanya insulin dapat dibedakan sebagai berikut :

(21)

Gambar 2.7 Farmakokinetika Berbagai Macam Insulin (Gibbon et al., 2013) Pemilihan rejimen insulin harus disesuaikan oleh pola hidup pasien dan kebutuhan pasien, karena insulin memberikan efek samping seperti hipoglikemia yang paling sering terjadi akibat dari kelebihan dosis penggunaan insulin (Petzinick , 2015; Gibbon et al., 2013).

b. OAD

Insulin Secretagogue – Sulfonilurea

Mekanisme kerja sulfonilurea adalah merangsang sekresi insulin dari sel-sel ß pankreas, melalui interaksi dengan ATP-sensitive K chanel pada membran sel ß yang meninmbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca++ akan masuk ke sel ß pankreas, merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin. Sulfonilurea terdapat dua generasi, generasi yang pertama terdiri dari tolbutamid, tolazamid, asetoheksimid dan klorpropamid. Generasi kedua yang berpotensi hipoglikemik lebih besar adalah gliburid (glibenklamid), glipizid, gliklazid dan glimepirid (Gan et al., 2011)

Biguanide

Mekanisme kerja metformin adalah dengan cara meningkatkan sensitivitas insulin di hati dan perifer (otot) jaringan, memungkinan untuk penyerapan

(22)

glukosa meningkat sehingga penggunaan metformin jarang sekali menyebabkan hipoglikemia. Efek samping paling umum dari metformin adalah ketidaknyamanan di perut, gangguan lambung, diare dan anoreksia (Gan et al.,2011)

Thiazolidindione

Thiazolindindion bekerja meningkatkan sensitivitas terhadap insulin dnegan memodulasi aksi peroxisome proliferator-actived receptor ɤ-1 (PPAR- ɤ-1). PPAR- ɤ merupakan reseptor nuclear yang mengatur ekspresi gen dalam mengikat asam lemak tertentu (Gan et al., 2011).

α – Glukosidase Inhibitor

Mekanisme kerja α – Glukosidase Inhibitor dengan menghambat enzim yang ada di usus untuk memecah karbohidrat kompleks, sehingga menunda penyerapan polisakarida (Garber et al., 2011).

2.3. Ulcus 2.3.1. Definisi

Ulcus adalah kerusakan sebagian (partial thickness) atau keseluruhan (full thickness) pada kulit yang dapat meluas kejaringan dibawah kulit, tendon, otot, tulang dan persendian yang terjadi pada seseorang yang menderita penyakit Diabetes Mellitus (DM), kondisi ini timbul sebagai akibat terjadinya peningkatan kadar gula darah yang tinggi. Jika ulcus berlangsung akan menjadi terinfeksi. Ulcus, infeksi, neuroarthropati dan penyakit arteri perifer sering mengakibatkan gangren dan amputasi ekstremitas bawah (Tarwoto, 2012).

Ulcus merupakan luka kronis yang memiliki dampak jangka panjang dan besar pada tingkat morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien. Kadar LDL yang tinggi berperan penting untuk terjadinya ulcus melalui pembentukan plak atherosklerosis pada dinding pembuluh darah (Chadwick et al., 2013).

2.3.2 Epidemiologi Ulcus

Jumlah angka kejadian ulcus berkisar antara 2% - 10% diantara pasien diabetes melitus. Diperkirakan bahwa 15 % dari pasein diabetes melitus berisiko mengalami ulcus pada beberapa waktu selam perjalan penyakit diabetes. Dan tiap individu dengan ulcus beresiko untuk mengalami amputasi ekstermitas bawah dibandingan dengan individu yang tidak mengalami diabetes (Jude et al., 2012),

(23)

85 % dari amputasi tungkai bawah dialami lebih banyak oleh penderita diabetes, hal ini disebabkan oleh terjadinya kegagalan penyembulan ulcus. Keadaan ulcus yang sudah lanjut juka tidak ditangani dengan baik dan tepat akan berkembang menjadi amputasi kaki karena infeksi dapat menyebar dengan cepat (Pramana et al., 2012).

2.3.3 Etiologi Dan Patofisiologi Ulcus Diabeticum

Gambar 2.8 Patofisiologi ulcus (Mendes et al., 2012)

Ulcus disebabkan oleh adanya hiperglikemia pada penderita diabetes melitus , mekanisme pertama adalah kelainan neuropati dan mikrosirkulasi pada pembuluh saraf yang menyebabkan berkurangnya aliran darah yang mensuplai oksigen dan nutrisi pada serabut saraf. Neuropati perifer dan autonomik merupakan kompikasi yang paling sering terjadi dan di temukan pada kasus diabetes melitus dengan ulcus dimana neuropati perifer menyebabkan hilangnya sensasi nyeri sehingga tidak disadari oleh pasien (Mendes et al., 2010).

Peripheral Vascular Disease terjadi adanya perubahan atherogenik struktural dan fungsional pada pembuluh darah dimana pada penderita diabetes melitus dengan kontrol glukosa yang buruk serta kadar lemak yang tinggi rentan terjadi atherosklerosis, hiperglikemia, dan resistensi insulin menyebabkan

(24)

gangguan pada dinding pembuluh darah dengan menurunkan bioavaibilitas nitric oxide (NO) ditambah dengan stress oksidatif yang memicu pembentukan sel busa pada dinding pembuluh darah dan akhirnya memicu pembentukan sel otot polos, dinding pembuluh darah yang menebal menyebabkan aliran darah kejaringan menurun selain itu pada daerah penebalan pembuluh darah juga rentan terjadinya ruptur plak yang akan mengaktivasi agregasi platelet yang dapat berkembang menjadi thrombosis kondisi ini akan semakin memperparah suplai oksigen dan nutrisi pada jaringan dan ulcus yang ditambah dengan kerentanan terhadap infeksi bakteri karena keadaan hiperglikemia pada penderita diabetes melitus yang menyediakan nutrisi untuk berkembangnya bakteri patogen (Elftherios et al., 2010).

2.3.4 Manifestasi Klinik Ulcus

Gejala ulcus diawali dengan timbulnya kemerahan pada kulit, timbul rasa nyeri (bisa tidak), lama-lama menjadai dingin, tidak berasa, pucat dan berubah warna menjadi coklat lalu coklat kehitaman. Karena terdapat gas yang disebut dengan gas gangren akibat dari infeksi bakteri maka akan timbul bau yang tidak enak, timbul pus dan oedema pada daerah luka ulcus. Ulcus yang tidak diobati dengan baik menyebabkan toksin dari bakteri dapat masuk ke sirkulasi darah dan menyebabkan sepsis dan dalam keadaan lebih parah dapat menyebabkan shock sepsis. (Dipiro et al., 2011)

2.3.5 Faktor Resiko Ulcus

Ulcus disebabkan oleh beberapa faktor resiko yang mempanguruhi proses terjadinya ulcus yaitu sebelumnya pernah melakukan amputasi, adanya riwayat ulcus terdahulu, neuropati perifer, foot deformitas, penyakit vaskuler perifer, gangguan penglihatan, nefropati diabetik (terutama untuk pasien yang dialisi), kontrol glukosa yang buruk dan merokok. Apabila faktor resiko tersebut tidak diperhatikan maka akan menyebabkan bertambahkan parahnya ulcus tersebut. (Armstrong, 2008)

2.3.6 Klasifikasi Ulkus

Ada beberapa macam klasifikasi gangren yang salah satunya dalah klasifkasi wagner tahun 2012 yang mengklasifikasi menjadi 6 tingkatan :

(25)

b. Grade 1 : ulcus superficial terbatas pada kulit c. Grade 2 : ulcus telah menembus tulang dan tendon

d. Grade 3 : ulcus dengan abses, osteomiltis dan sepsis sendi e. Grade 4 : ulcus dibagian depan kaki atau tumit

f. Grade 5 : ulcus pada seluruh kaki atau sebagian tungkai

(26)

Tabel II.2 Klasifikasi tingkat infeksi ulcus diabagi menjadi 4 kelas, meliputi :

Klasifikasi Penjelasan

1 (Unifected) Tidak ada gejala sistemik atau lokal, tanda-tanda infeksi

2 (Mild Infection) Adanya infeksi ringan lebih dari 2 disertai dengan trombosis,eritema, statis vena

3 (Moderate Infection) Terdapat infeksi pada bagian dalam jaringan kulit dan subkutan (tendon, tulang, sendi, otot) dan tidak ada gejala sistemik

4 (Severe Infection) Adanya infeksi pada kaki dengan Systemic Inflamation Respone Syndrome (SIRS)

(IDSA, 2012 ; Ilker et al., 2015).

Gambar 2.10 Klasifikasi ulcus (IDSA, 2012 ; Ilker et al., 2015). 2.3.7 Penatalaksanaan Terapi Ulcus Diabeticum

a. Debridement

Debridement merupakan salah satu terapi penting pada ulcus. Debridement merupakan upaya pengangkatan jaringan mati dan upaya pembersihan jaringan nekrotik pada luka. Hal ini bertujuan untuk melindungi jaringan sehat agar tidak

(27)

terinfeksi dan meningkatkan absorbsi antibiotik di daerah luka sehingga obat dapat terpenetrasi dengan baik (NHS, 2012 ; Alexiadou et al., 2012).

b. Dressing

Setelah dilakukan debridement luka harus diirigasi luka menggunakan larutan garam atau larutan pembersih lainnya dan dilakukan dressing (kompres), kecuali untuk ulcus kering dimana daerah harus tetap kering untuk menghindari infeksi. Dressing yang tersedia dimasudkan untuk meningkatkan proses penyebuhan luka (Alexiadou et al., 2012).

c. Pembedahan

Apabila ulcus sudah terjadi kematian pada jaringan dapat dilakukan vaskularisasi untuk memperbaiki pembuluh darah sehinggan sirkulasi darah ke daerah luka dapat diperbaiki (NHS, 2012).

d. Amputasi

Amputasi merupakan alternatif cara terakhir apabila ulcus sudah sangat parah dan jaringan yang mengalami luka tidak dapat diselamatakan dengan beberapa cara diatas seperti debridement, dressing dan pembedahan dan untuk mencegah terjadinya infeksi yang semakin parah (NHS, 2012).

2.3.8.Terapi Antibiotik

Pada pasien diabetes melitus dengan ulcus didapatkan infeksi gabungan dari bakteri aerob dan anerob, antibiotik yang dianjurkan harus sesuai dengan hasil kultur dan resistensi pasien terhadap antibiotik. Karena itu pemilihan antibiotik yang pertama harus diberikan antibiotik golongan spektrum luas agar infeksinya tidak bertambah parah yang dapat memperparah keadaan luka ulcus antibiotik yang diberikan harus berdasarkan tingkat keparahan infeksi, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya resistensi selama terapi (Waspadji, 2009 ; IDSA, 2012).

2.4 Tinjauan Tentang Antibiotik 2.4.1 Definisi Antibiotik

Dalam arti sebenarnya, antibiotik merupakan zat anti bakteri yang diproduksi oleh berbagai spesies mikroorganisme (bakteri, jamur, dan actinomycota) yang dapat menekan pertumbuhan dan atau membunuh

(28)

mikroorganisme lainnya. Penggunaan umum sering meluas kepada agen antimikroba sintetik, seperti sulfonamid dan kuinolon (Brunton et al., 2008) 2.4.2 Pendekatan Terapi Antibiotik Pada Ulcus

Ulcus disebabkan oleh infeksi nekrosis jaringan lunak, infeksi pada jaringan ini disebabkan oleh bakteri aerob dan anaerob. Sehingga tujuan terapi antibiotik pada ulcus adalah untuk mengatasi adanya infeksi yang disebabkan oleh bakteri penyebab ulcus. Apabila tidak ditangani secara tepat, infeksi tersebut akan menyebabkan septikemia dan amputasi. Pemberian terapi antibiotik pada ulcus harus didasari adanya hasil kultur dan sensitivitas terhadap antibiotik. Selain itu penggunaan antibiotik harus didasarkan pada tingkat keparahan infeksi yang terjadi (Uckay et al., 2015)

Berdasarkan Guideline yang dikeluarkan IDSA (Infection Diseases Society of America) pada tahun 2012 mengenai tatalaksana antibiotik pada infeksi kaki diabetik (ulcus). Ada beberapa antibiotik yang dapat diberikan pada pasien ulcus berdasarkan tingkat keparahan infeksi. Pada infeksi ringan diberikan antibiotik per oral yaitu klindamisin, amoksisilin-klavulanat, levofloxacin, sephaleksin, doksisiklin. Untuk infeksi sedang dapat diberikan antibiotik per oral dan rute parenteral yaitu ampisilin-sulbactam, levofloxacin, ceftriaxone, piperasilin-tazobaktam,vankonmisin, impenem-cilastatin, cefotaxime, ertapenem. Sedangkan untuk infeksi berat diberikan antibiotik melalui rute intravena yaitu vankomisin, seftazidim, sefepim, piperasilin-tazobaktam, aztreonam, karbapenem (Lipsky et al., 2012).

Sedangkan berdasarkan Guidance On The Diagnosis And Management Of Foot Infections In Person With Diabetic menyatakan bahwa antibiotik yang digunakan berdasarkan tingkat keparahan dari infeksi gangren diabetik yaitu, untuk infeksi ringan dapat diberikan golongan penicilin, clindamycin, fluoroquinolone, golongan makrolida, sedangkan untuk infeksi sedang sampaiberat dapat diberikan golongan penicilin, golongan sefalosporin generasi kedua/ketiga, ciprofloxacin, trimetoprim- sulfamethoxazole dan dapat dikombinasi dengan antibiotik untuk bakteri anaerob seperti metronidazole dan clindamycin (Lipsky et al., 2015).

(29)

Tabel II. 3 Rejimen Antibiotik yang Disarankan Berdasarkan Tingkat Infeksi pada Gangren Diabetik

Tingkat Infeksi Bakteri Penginfeksi Antibiotik

Mild Infection Staphylococcus aureus

(MSSA) ; Streptococcus spp S. Aureus (MRSA) Amoxicillin-clavulante (500 mg/125 mg/ 8 jam PO) Levofloxacin (500 mg/hari PO) Cephalexin (750-1000 mg/ 6 jam PO) Clindamycin 450 mg/ 6-8 jam PO) Doxycycline (100 mg / PO) Trimethoprim/ sulfamethoxazole (160mg/800 mg/ 12 jam PO)

Moderate Infection MSSA; Streptococcus

spp ; Enterobacteriaceae ; Obligate anaerobe Pseudomonas aeruginosa Levofloxacin (500 mg/ hari PO)

Ceftriaxone (1-2 g/ hari IV) Amipicillin-sulbactam (3 g / 6 jam IV)

Vancomycin (1g/12 jam IV) Metronidazole (500 mg/ 8 jam)

Severe Infection MSSA; Streptococcus

spp ;

Enterobacteriaceae; Obligate anaerobe Pseudomonas aeruginosa

Kombinasi antibiotik (IV) : (vankomycin 1 g /12 jam IV + clindamycin 450 mg / IV) (ceftriaxone 1-2 g/ hari IV + metronidazole 500 mg/ 12 jam IV) (vankomycin 1g/12 jam IV + metronidazole 500 mg/ 8 jam IV)

(30)

Tabel II. 4 Dosis Dan Mekanisme Kerja Antibiotik Untuk Ulcus Diabetik Antibiotik Mekanisme Kerja Dosis Spektrum Antibiotik Amoksisilin-Clavulanate Amoksisilin bekerja menghambat sintesis dinding sel dan asam clavulanate menginaktivasi enzim ß-laktamase 500 mg/ 125 mg/ 8 jam PO

Aktif pada anaerob gram + : Actinomyces spp ; anaerob gram - : Bacteroide fragilis Group (B. Distasonis, Ovatus, Thetaitaomicron, vulgatus) ; S. Aureus, E. Coli, H. Influenza Ampicilin-Sulbactam Ampicilin bekerja menghambat dinding sel dan sulbactam menghambat ß-laktamase (inhibitor ß-laktamase) 1,5 g – 3 g/ 6 jam IV

Aktif anaerob pada gram + Actinomyces spp ; anaerob gram - : Bacteroide fragilis Group (B. Distasonis, ovatus, Thetaitaomicron, vulgatus) ; S. Aureus, E. Coli, H. Influenza Ceftriaxone Merupakan generasi ketiga dari golongan selafosporin dan bekerja menghambat sintesa dinding sel bakteri

1 g -2 g / hari IV Aktif pada bakteri aerob gram + : Stapylococcus aureus (MSSA), S. Epidermidis (CoNS) ; anaerob gram + : Nocardia sp ; Shigella sp, Yersinia enterocolitia

Cephalexin Generasi pertama golongan

sefalosporin dan kerjanya

menghambat sistesa dinding sel bakteri

750 mg - 1000 mg / 6 jam PO

Aktif pada bakteri aerob gram + : Stapylococcus aureus (MSSA) Clindamycin Menghambat sintesa protein bakteri dengan berikatan pada 150 mg – 300 mg/ 6 jam PO

Aktif pada gram + : Actinomyces sp, Streptococcus dan penicillin yang

(31)

sub unit ribosom 600 mg/ 8 jam IV resisten pada Stapylococcus Doxycyline Merupakan generasi kedua golonga tetracycline dan Menghambat sintesa protein bakteri dengan berikatan pada sub unit ribosom

100 mg/ 12 jam PO/IV

200 mg/ 24 jam PO/IV

Aktif pada gram + Actinomyces spp ; gram - : Bacteroide fragilis Group (B. Distasonis, Ovatus, Thetaitaomicron, Vulgatus); Prevotella sp, Staphylococcus penghasil penisilin Metronidazole Masuk ke dalam

sel bakteri atau protozoa dan mengganggu sintesis DNA yang mengakibatkan kematian sel 500 mg/ 6 jam PO/IV 750 mg/hari PO 1 g/ 24 jam IV

Aktif pada basil anaerob gam negatif

dan protozoa misalnya vaginitis Trikomonas, bakteri Vaginosis, Entamoeba histolytica, Bacteroides fragilis, Clostridium difficle Vancomycin Menghambat sintesa dinding sel 1 g/ 12 jam IV 125 mg/ 6 jam PO

Aktif pada bakteri aerob dan anaerob gram + : Clostridium Difficile, termasuk multi resisten Staphlococci Levofloxacin Termasuk golongan quinolon yang menghambat sintesa asam lemak 500 mg – 750 mg/ hari PO/IV

Aktif pada bakteri aerob gram + (clusters) : S. Staphylococcus aureus (MSSA), S. Epidermidis (CoNS) ; bakteri aerob gram + (chains) : Enterococcusfaecium (VSE), Streptococci (group A,B,C,E,G), S. (bolvis) Galloyticus, Virindans streptococci ; bakteri

(32)

aerob : Bordetella sp, Brucella sp, Burkholderia cepacia Trimetropim/ Sulfametoksazol TMP/SMZ merupakan antibiotik golongan sulfonamide yang bekerja menghambat kompetitif PABA 80 mg/400 mg PO 160 mg/ 800 mg/ 12 jam PO

Aktif pada bakteri aerob gram + :Staphylococcus aureus, E. Faecalis,

S. Pneumoni

(Cunha et al., 2015)

2.5 Tinjauan Tentang Metronidazole 2.5.1 Definisi

Gambar 2.11 Struktur Kimia Metronidazole (Trivedi et al., 2015)

Metronidazole merupakan senyawa nitroimidazole yang memiliki efek sebagai antiprotozoa anaerobik dan anti bakteri anaerob. Obat ini memiliki aktivitas amebicidal yang ampuh melawan E. Histolytica dan memiliki aktivitas antibakteri terhadap semua coccuc anaerob, basil anaerobgram positif dan gram negatif (Bruton et al., 2008).

2.5.2 Mekanisme Kerja

Gugus nitro dari metronidazole pada posisi 5 secara kimiawi sangat berperan untuk aktifitas amubiasis karena mampu mereduksi dan berfungsi sebagai elektron aseptor terhadap gugus elektron donor protein amuba. Akibatnya, terjadi gangguan proses biokimia; terjadinya interaksi terhadap DNA sehingga menyebabkan perubahan struktur helik DNA (hilangnya struktur heliks DNA), pemecahan ikatan dan kegagalan fungsi DNA sehingga amuba mengalami kematian (Bruton et al., 2008).

(33)

2.5.3 Indikasi Dan Efek Samping

Metronidazole diindikasikan untuk pengobatan anaerobik dan atau infeksi intra-abdomen, vaginitis (trichomonas, bakteri vaginosis). Obat digunakan secara peroral dengan dosis 500 mg/ 8 jam dan 30 mg/kg/ hari secara intravena (Katzung,2009). Efek samping dari metronidazole termasuk mual, muntah, diare, stomatitis, dan neuropati perifer dalam jangka waktu yang panjang. (Katzung, 2009; Cunha et al., 2015).

2.5.4 Farmakokinetik

Metronidazole diabsorbsi di usus secara sempurna dan memiliki bioavaibilyas sebanyak 100 %, konsentrasi plasma puncka 26 mcg/mL untuk IV dan 12 mcg/mL secara PO, waktu paruh 8 jam, pengikatan protein plasma sebanyak 20 %, volume distribusinya adalah 0,25-0,85 L/kg dan metronidazole ini diekresikan melalui urin sebanyak 20 %, sediaan yang tersedia : 0,2 g, 0,4 g, 0,5 g dan 0,75 g (Cunha et al., 2015 ; BNF, 2011).

2.5.5. Sediaan Farmasi Metronidazole

Tabel II.5 Sediaan Farmasi Metronidazole

Nama Obat Sediaan

Metronidazole Farnat Flagsol

Flagyl IV/ Flagyl Forte Fortagyl Metrolet Metronidazole Ikapharmindo Vial 500 mg/100 ml x 1 hr Suspensi 125 mg/5 ml Lart. Infus 500 mg/100 ml x 1 hr Lart/ Infus 5 mg/ml x 1 hr Tab 250 mg, Vial 500 mg x 1 hari (MIMS, 2015; ISO, 2016)

2.5.6. Studi Penggunaan Antibiotik Metronidazole Pada Pasien Ulcus

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Aherrao N. Tahun (2012) dengan metode Randomizzed Controled Trial penelitian melibatkan Sampel jaringan dalam dari daerah luka dari 61 pasien ulcus diuji untuk infeksi bakteri anaerobik (Peptostreptococcus productus, Bacteroides, dan Clostridium) dengan polymerase chain reaction (PCR). Pasien PCR positif diacak menjadi 2 kelompok: Metronidazole dan non-Metronidazole. Antibiotik untuk pengendalian infeksi

(34)

diberikan pada kedua kelompok sesuai kondisi klinis pasien. Hasil pengobatan dinilai dengan penyembuhan lengkap luka. Hasilnya, bahwa tidak harus menggunakan metronidazole dalam penggunaan rejimen antibiotik untuk pngobatan ulcus.

Berdasarkan hasil studi oleh Anurag Ambroz Singh et al., pada tahun (2015) dengan metode Prospective dan Comperative Study penelitian melibatkan data sebanyak 82 subyek dianalisis. Sebagian besar pasien jatuh pada kelompok usia antara 40 sampai 70 tahun. . Jumlah pasien yang tidak memiliki jaringan nekrotik secara signifikan terjadi pada kelompok uji pada rerata 3, 4, 5, 6, dan 7 dengan nilai p signifikan <0.002, dibandingkan kelompok kontrol. Jaringan granulasi secara signifikan lebih tinggi pada kelompok uji pada minggu ke 3, 4, 5, dan 6 dengan nilai p <0,001. Pasien kelompok uji memiliki preparasi bed luka yang lebih cepat sehingga menghasilkan penutupan luka yang lebih cepat dengan menggunakan penjahitan sekunder, S.S.G., tutup flap pada minggu ketiga. Jumlah pasien luka 75-100% yang diisi oleh jaringan granulasi secara signifikan lebih tinggi pada kelompok uji pada minggu ke 3 follow up (P = 0,001), pada minggu ke 4 (P <0,001), pada minggu ke 5 (P <0,001), pada Minggu ke 6 (P <0,001) dan pada minggu ke 7 (P = 0,024) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Jadi kesimpulannya Studi kami menyimpulkan bahwa kolagenase dengan metronidazole adalah penggunaan topikal yang efektif dalam pengurangan lebih cepat dari pengelupasan, regenerasi jaringan granulasi dan re-ephitelisasi pada ulcus. Ini membantu dalam persiapan lebih cepat untuk penyembuhan, penjahitan, cangkok kulit dan flap.

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi Pankreas dan Saluran-salurannya
Gambar 2.2. Perbandingan kasus dan kematian karena kencing manis di Indonesia  menurut WHO tahun 2010 dan 2013
Grafik 2.3. prevalensi Diabetes Mellitus dibeberapa provinsi   (RISKESDAS, 2013)
Grafik 2.4 Skema Patofisiologi Diabetes Mellitus 1 (Carrera et al., 2013)  5-10  %  kasus  diabetes  melitus  terjadi  pada  masa  anak-anak  dan  masa  remaja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Rasio Ca/P dan hasil karakterisasi menunjukkan yield yang diperoleh adalah Calcium- defficient hydroxyapatite.. Kata kunci: Limbah gipsum, hidroksiapatit, hidrotermal,

Pengelolaan hutan rakyat sub sistem produksi (persiapan bibit) Reliability Statistics.. Cronbach's Alpha N

Begitu sentralnya fungsi masjid pada waktu itu, sehingga masjid tidak saja digunakan untuk melaksanakan sholat semata, tetapi lebih dari itu masjid berfungsi sebagai

Tesis yang berjudul “KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN KEDISIPLINAN GURU SD IT BAITUL JANNAH BANDAR LAMPUNG” ditulis oleh: ANNI SUHANAH, Nomor Pokok

Pada awal hingga akhir penelitian Optimasi PSO Untuk Metode Clustering Fuzzy C-Means Dalam Pengelompokan Kelas dengan variabel nilai akademik dan variabel nilai perilaku atau

Setelah penulis melakukan penelitian tentang nilai-nilai pendidikan multikultural dalam kearifan lokal masyarakat Maluku berdasarkan hasil pengadaan atau pengumpulan

Dalam Seksyen 6 (1) (C) mengenai kawalan masuk ke Malaysia, sesiapa yang memasuki dan tinggal di Malaysia tanpa permit dan pas yang sah adalah melakukan kesalahan dan apabila

Dalam hal besarnya tarif retribusi yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini perlu disesuaikan karena biaya penyediaan layanan cukup besar dan/atau