• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA WANITA DALAM PERJANJIAN KERJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA WANITA DALAM PERJANJIAN KERJA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA WANITA DALAM PERJANJIAN KERJA

Imas Rosidawati Wiradirja

Universitas Islam Nusantara, Jl. Soekarno Hatta No.530 Bandung, Indonesia.

(022) 7507421, E-mail: i_rosida_df@yahoo.co.id Abstrak

Menurut Pasal 27 Ayat (2) UUD 945, Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan, termasuk kesempatan kepada kaum wanita sehingga mempunyai kesempatan untuk berperan aktif dalam proses pembangunan. Hak dan kewajiban wanita untuk mendapatkan pekerjaan telah dianggap sejajar dengan kaum pria.

Namun demikian, sesuai dengan kodratnya, maka perlindungan hukum terhadap kaum wanita dalam kedudukannya sebagai tenaga kerja, tidaklah dapat disamaratakan dengan kaum pria.Untuk itu, diperlukan suatu aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita yang harus tertuang dalam suatu perjanjian kerja, yang harus ditaati oleh para pihak dan ada konsekuensi hokum apabila dilanggar.

Key Word : Perlindungan , Tenaga Kerja Wanita, Perjanjian Kerja

Pendahuluan

Pada prinsipnya setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan, tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, tcrmasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.

Hal ini selaras dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, bahwa : tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, sesuai juga dengan Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Lapangan kerja yang tersedia tidak saja diberikan kepada laki-laki, juga kepada kaum wanita sehingga kaum wanita mempunyai kesempatan untuk berperan aktif dalam suatu proses pembangunan.

(2)

Untuk bekerja di sektor formal, calon tenaga kerja umumnya melalui proses seleksi penerimaan lowongan kerja. Apabila lulus dari proses seleksi maka biasanya antara tenaga kerja dengan pengusaha akan membuat perjanjian kerja secara tertulis, yang akan melahirkan suatu hubungan kerja yang berisi hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi masing-masing pihak. Perjanjian kerja yang dibuat pada dasarnya mempunyai kekuatan yang mengikat kedua belah pihak. Pada pekerjaan yang informal, seperti pembantu rumah tangga, perjanjian kerja dilakukan melalui kesepakatan lisan. Kesepakatan tersebut memuat jenis pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan dan besarnya upah yang harus dibayar.

Bagi perusahaan, perjanjian kerja ini dapat menjadi pedoman dalam sebuah hubungan kerja yang akan mendukung kepentingan perusahaan. Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial telah membawa nuansa baru dalam dunia ketenagakerjaan, yaitu nuansa Hukum Formal & Hukum Acara-nya yang menempatkan dokumen-dokumen tertulis pada tingkat kepentingan yang tinggi dalam proses peradilan. Di sisi lain, pekerja/buruh juga perlu berhati-hati dengan perjanjian kerja. Melihat proses pembuatan perjanjian kerja yang saat ini seolah-olah lebih banyak menjadi wewenang dari perusahaan dengan memakai perjanjian yang bersifat baku atau take it or leave it dan mengecilkan peranan kesepakatan sebagai hasil dari perundingan.1 Hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja termasuk pekerja wanita adalah adanya kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha yang kadang menyimpang dari aturan yang berlaku.

Merancang suatu perjanjian kerja yang benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku merupakan hal yang sangat penting dan strategis, karena perjanjian kerja memuat segala konsekuensi yang menjadi hak dan kewajiban baik pengusahan maupun pekerja/buruh dan merupakan pegangan/dasar hukum bila terjadi perselisihan di kemudian hari.

Oleh karena itu dengan memahami ketentuan hukum tentang perjanjian kerja serta menguasai perencanaan perjanjian kerja secara baik akan memberikan kemudahan bagi pengusaha dan/atau pekerja/buruh dalam persidangan, baik secara litigasi atau non litigasi jika terjadi perselisihan hubungan industrial di

1Sutan Remy Sjahdeni, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Grafiti, Jakarta, 2009, hlm. 21

(3)

kemudian hari. Untuk sengketa yang lebih menekankan pada kepastian hukum metode penyelesaian yang tepat adalah litigasi.2 Begitu juga pada saat berbicara bila terjadi perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha.

Praktik hukum dalam kehidupan masyarakat Indonesia menggambarkan bahwa konsep hukum yang memperkenalkan model penyelesaian sengketa melalui pengadilan ( In Court System ) tidak selamanya berhasil menyelesaikan kasus – kasus perdata atau pidana dalam ketenagakerjaan, sekalipun para pihak menghendaki penggunaan instrument tersebut.3

Berkaitan dengan hubungan kerja, telah banyak peraturan dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh termasuk pekerja wanita dengan tujuan agar diketahui dan dilaksanakan oleh mereka yang terlibat dalam proses produksi, sehingga dapat menciptakan suatu hubungan kerja yang harmonis serta ketenangan kerja di lingkungan perusahaan.

Namun demikian, sesuai dengan kodratnya sebagai wanita, maka perlindungan hukum terhadap kaum wanita dalam kedudukannya sebagai tenaga kerja, tidaklah dapat disamaratakan dengan kaum pria.Untuk itu, maka diperlukan suatu aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kerja kaum wanita ini.

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, mengamanatkan adanya peraturan pelaksana, yaitu berupa 2 Undang-undang (UU), 12 Peraturan Pemerintah (PP), 5 Keputusan Presiden (Keppres) dan 28 Keputusan Menteri (Kepmen). Yang berkaitan dengan tenaga kerja wanita telah lahir Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 224/Men/2003 Tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan Pukul 07.00.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : Kep.

49/Men/IV/2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah.

Kepmenakertrans ini sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 78 ayat (4) . Hak

2 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum serta Kendala Implementasinya , Kencana, Jakarta, 2008, hlm : 127.

3 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Kencana. Jakarta, 2003, hlm:

47

(4)

untuk menerima upah timbul pada saat adanya hubungan kerja dan berakhir pada saat hubungan kerja putus. Pengusaha dalam menetapkan upah tidak boleh diskriminasi antara buruh laki-laki dan buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.

Hak-hak pekerja wanita yang dilindungi oleh undang-undang tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pekerja wanita yang berusia dibawah 18 tahun berhak untuk tidak bekerja pada pukul 23.00 s.d 07.00 , Pasal 76 ayat (1).

2. Pekerja wanita yang hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi keselamatan dan kesehatan kandungan maupun dirinya berhak untuk tidak bekerja bekerja pada pukul 23.00 s.d 07.00 (Pasal 76 ayat (2)

3. Pekerja wanita yang bekerja antara pukul 23.00 s.d 07.00 berhak Mendapatkan makanan dan minuman bergizi, keamanan selama ditempat kerja, dan tersedia angkutan antar jemput bagi yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 s.d 05.00. (Pasal 76 ayat (3)

4. Pekerja wanita yang merasakan sakit pada saat haid dan memberitahukan keadaannya kepada pengusaha berhak untuk tidak bekerja pada hari pertama dan kedua waktu haidnya (Pasal 81 )

5. Pekerja wanita berhak atas istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter atau bidan (pasal 82 ayat (1).

6. Pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan (pasal 82 ayat (2)

7. Pekerja wanita yang anaknya masih menyusui berhak atas kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja (pasal 83 )

8. Pekerja wanita berhak atas upah penuh selama ia menjalani cuti. Setiap pekerja / buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 79 ayat ( 2 ) huruf b, c dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh, Pasal 84.

Dari ketentuan Pasal 76, 81, 82, 83, dan 84 Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 tersebut diatas diketahui bahwa undang – undang ini telah cukup memberikan perlindungan hukum bagi pekerja wanita. Namun demikian, apakah perlindungan hukum yang diberikan terhadap tenaga kerja wanita ini telah memuaskan bagi semua pihak yang terlibat didalamnya yaitu pihak tenaga kerja wanita dan pihak pengusaha. Selain itu dalam implementasi-nya masih banyak kendala dan peyimpangan dari peraturan yang ada, sehingga menimbulkan permasalahan yang sepenuhnya belum dapat terselesaikan dengan adil dan

(5)

bijaksana. Pada praktek di lapangan, sering dijumpai beberapa penyimpangan yang terjadi, diantaranya:

1. Mengenai perlindungan terhadap tenaga kerja wanita yang sedang mengalami haid, pengusaha tidak mewajibkan pekerja wanita untuk bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Dengan adanya perkataan “ tidak mewajibkan “ dalam bunyi Pasal 81 ayat ( 1 ) berdasarkan undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 mengandung pengertian bahwa jika seseorang tenaga kerja wanita sedang mengalami haid pengusaha tidak mewajibkan pekerja wanita untuk bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada hari pertama dan kedua saat haid, tenaga kerja wanita diberikan kebebasan untuk bekerja atau tidak.

Pekerja wanita yang merasakan sakit pada saat haid hanya diberikan kesempatan untuk beristirahat di poliklinik ataupun ruangan khusus pelayanan kesehatan perusahaan saja. Ada pula pekerja wanita yang dipaksa untuk memperlihatkan darah haid sebagai bukti untuk mendapatkan cuti haid. Sebagian lagi pengusaha tidak keberatan pekerja wanita cuti haid tetapi tidak membayar upah selama tidak bekerja.

2. Pekerja wanita tidak diijinkan cuti hamil selama 1,5 bulan sebelum melahirkan tetapi diberikan ijin cuti melahirkan selama 3 bulan. Padahal cuti hamil diberikan untuk menjaga agar wanita hamil tidak membahayakan diri dan kandungannya selama bekerja. Ada juga sebagian pengusaha yang mengijinkan pekerja wanita cuti hamil dan melahirkan tetapi tidak membayar upah selama tidak bekerja. Bahkan banyak terdengar bahwa pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada pekerja wanita yang hamil ataupun melahirkan.

3. Pekerja wanita yang mengalami gugur kandungan tidak diberikan cuti dengan alasan menggugurkan dengan sengaja. Apabila pekerja tersebut tidak masuk kerja maka dianggap menjalani cuti tahunan.

4. Pekerja wanita tidak diberi kesempatan untuk menyusui. Andaipun diberikan kesempatan tetapi tidak diberikan tempat yang layak untuk menyusui.

5. Pekerja wanita yang bekerja antara pukul 23.00 s.d 07.00 tidak disediakan makanan bergizi dan angkutan antar jemput.

Pembahasan :

a. Perlindungan Hukum Terhadap Perjanjian Tenaga Kerja Wanita

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh

(6)

berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Suatu perjanjian antara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat ditarik beberapa unsur dari hubungan kerja (perjanjian kerja) yakni:

1) Adanya unsur work atau Pekerjaan. Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan (pengusaha) dapat menyuruh orang lain.

2) Adanya Unsur Perintah. Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan.

3) Adanya Upah. Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (perjanjian kerja), bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah.

Dengan dipenuhinya ketiga unsur tersebut diatas, jelaslah ada hubungan kerja baik yang dibuat dalam bentuk perjanjian kerja tertulis maupun lisan, untuk memenuhi rasa keadilan.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menegakkan hukum yang adil atau berkeadilan, yaitu :4

1. Aturan hukum yang ditegakkan 2. Pelaku penegakan hukum

3. Lingkungan sosial sebagai tempat hukum yang berlaku.5

Dalam merealisasikan rasa keadilan beberapa perlindungan terhadap pekerja, salah satunya adalah perlindungan terhadap harkat dan martabat sebagai manusia. Tenaga kerja wanita memerlukan perlindungan khusus yang berbeda dengan tenaga kerja pria, hal ini antara lain disebabkan oleh harkat dan martabat

4 Mochtar Kusumaatmadja, “ Konsep – Konsep Hukum Dalam Pembangunan “. Alumni.

Bandung, 2000, hlm.19

5 Bagir Manan, Sistem Peradilan Beribawa( suatu pencarian ), Fakultas Hukum UII, UII Press, Yogyakarta,2005, hlm. 9 - 11

(7)

kaum wanita sangat berbeda dengan kaum pria. Selain itu, perbedaan yang sangat mendasar antara kaum pria dan wanita ini adalah dari sudut biologis.

Secara biologis, tenaga kerja wanita ini akan mengalami haid, kehamilan bahkan melahirkan. Dalam hal ini akan terjadi kontradiksi antara pengusaha yang menginginkan agar tenaga kerjanya terus bekerja secara aktif untuk menjalankan pekerjaan dan sebaliknya dengan keadaan biologis demikian tenaga kerja wanita memerlukan waktu istirahat pada saat mengalami hal – hal tertentu juga berbeda dari segi keamanan dan keselamatan kerja.

Ketentuan beberapa pasal dalam Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 cukup memberikan perlindungan bagi tenaga kerja wanita, hal ini sesuai pula dengan Pasal 49 Ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia , yang menyatakan bahwa wanita berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal- hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.

“Perlindungan khusus terhadap kesehatan reproduksi” merujuk pada layanan kesehatan yang berkaitan dengan fungsi reproduksi wanita, seperti menstruasi, kehamilan, kelahiran anak dan memberikan kesempatan untuk menyusui anak-anak mereka.

Sesuai pula dengan Pasal 128 (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.

Implementasi ketentuan tersebut masih akan tergantung dari para pengusaha untuk mematuhinya atau tidak, oleh karena itu diperlukan suatu sanksi tegas terhadap para pengusaha yang tidak mematuhi / melaksanakan ketentuan – ketentuan tersebut agar perlindungan terhadap tenaga kerja wanita dapat terwujud sebagaimana yang diharapkan. Agar langkah ini dapat efektif maka negara harus menegakkannya dengan cara mengajukan para pelanggarnya ke muka sidang pengadilan. Perempuan harus sadar bahwa hak-haknya dilindungi. Konvensi CEDAW memerintahkan kepada seluruh negara di dunia untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan. Perempuan mempunyai perlindungan yang khusus sesuai dengan fungsi reproduksinya sebagaimana diatur pada pasal 11 ayat

(8)

(1) CEDAW huruf f bahwa hak atas perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi reproduksi.

b. Sanksi Terhadap Pengusaha Yang Melakukan Pelanggaran Terhadap Ketentuan UU Ketenagakerjaan dikaitkan dengan Perjanjian Kerja

Pengusaha diwajibkan memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja wanita sesuai undang - undang. Apabila terjadi pelanggaran hukum maka pengusaha dapat dikenakan sanksi pidana , Sanksi Administrasi , dan perdata.

Untuk sanksi pidana baik itu berupa pidana penjara maupun denda, dinyatakan bahwa :

1. Pasal 185 ayat ( 1 ) : “ Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 , dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun. Dan / atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan palng banyak Rp.

400.000.000,- (empat ratus juta rupiah).

2. Pasal 187 ayat (1) pasal ini berisikan sanksi pidana terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran : “ Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat1(satu) bulan dan Paling lama 12 (dua belas) bulan. Dan / atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).

Dari isi kedua pasal tersebut sangatlah jelas , perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah terhadap pekerja wanita bukanlah suata hal yang main- main . Pemerintah begitu memperhatikan dan menjamin kaum wanita dalam hal melaksanakan pekerjaannya.

Ketentuan Pasal 187 dan Pasal 183 Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 , pelanggaran berdasarkan Pasal 76,81, 82, 83 & 84, pengusaha dapat dikenakan sanksi administratif oleh menteri ataupun sanksi yang berupa hukuman pidana penjara paling lama 1 ( satu ) tahun dan / atau denda paling banyak Rp.

100.000.000,- ( seratus juta rupiah ) dengan perincian sebagai berikut :

a. Bagi pengusaha yang melanggar / tidak melaksanakan ketentuan pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 akan dikenakan sanksi administratif oleh menteri.

b. Bagi pengusaha yang melanggar / tidak melaksanakan pasal 76,81, 82, 83

& 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 yang

(9)

berupa hukuman pidana penjara paling lama 1 ( satu ) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ).

Adapun sanksi administrasi terhadap pengusaha yang tidak melaksanakan kewajibannya ditegaskan atau diatur dalam pasal 190 ayat (2) , yaitu berupa : Teguran ; Peringatan tertulis ; Pembatasan kegitan usaha ; Pembekuan kegiatan usaha ; Pembatalan persetujuan ; Pembatalan pendaftaran ;Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi ; dan Pencabutan izin.

Tuntutan Perdata terhadap pengusaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 76 Dan 82 Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003, dengan sendirinya menimbulkan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan perlindungan hukum. Dengan adanya hak tenaga kerja wanita untuk memperoleh perlindungan hukum tersebut, maka dapat menuntut kepada pengusaha agar hak yang diperolehnya tersebut dapat dipenuhi oleh pengusaha, yakni dapat melakukan tuntutan ganti rugi kepada pengusaha yang bersangkutan.

Dalam KUH Perdata, salah satu ketentuan yang mengatur masalah ganti rugi ini adalah Pasal 1243 yang berbunyi sebagai berikut :

“ Ganti kerugian karena tidak sepenuhnya suatu perikatan barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikan, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukan”.

Dari ketentuan pasal 1243 KUH Perdata diatas diketahui bahwa ganti kerugian yang diatur dalam pasal ini adalah yang menyangkut masalah tidak dipenuhinya perikatan oleh salah satu pihak. Tidak dipenuhinya perikatan ini, dalam hukum perdata dikenal dengan istilah wanprestasi. Menurut R. Subekti, wanprestasi seorang debitur terdiri dari empat macam, yaitu :

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan

b. Melakukan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan

c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan Kalau diperhatikan mengenai unsur – unsur dari wanprestasi seperti yang diuraikan diatas maka untuk adanya wanprestasi itu terlebih dahulu telah ada

(10)

suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak tersebut dianggap telah melakukan wanprestasi, sehingga memberikan hak kepada orang lain untuk menuntut ganti rugi.

Sehubungan dengan perlindungan hukum bagi tenaga kerja wanita ini, maka apabila jenis perlindungan tersebut telah dibuat dalam suatu perjanjian antara pengusaha dengan tenaga kerja wanita dan ternyata pengusaha tidak melaksanakannya berarti pengusaha tersebut dianggap telah melakukan wanprestasi sehingga memberikan hak kepada tenaga kerja wanita tersebut untuk melakukan / menuntut ganti rugi kepada pengusaha yang bersangkutan.

Dengan demikian dapat diartikan bahwa apabila pengusaha tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan Pasal 76,81, 82, 83 & 84 Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003, karena tidak tertuang dalam perjanjian ,tidaklah relevan jika pengusaha tersebut dapat dituntut ganti rugi berdasarkan wanprestasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 1243 KUH Perdata. Dalam praktek banyak pengusaha berlindung di balik pasal ini untuk menghindari kewajibannya. Selain dari ketentuan tentang ganti rugi yang diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata, masalah ganti rugi kerugian ini juga diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut : “ Tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang lain karena salahnya menerbitkan kerugian tersebut “.

Sehubungan dengan tidak dilaksanakannya berdasarkan Pasal 76,81, 82, 83 & 84 diatur berdasarkan Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 oleh pengusaha apakah dapat dikategorikan bahwa pengusaha tersebut telah melakukan wanprestasi. Perbuatan melanggar hukum tidak hanya perbuatan yang melanggar undang – undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat sendiri atau bertentangan dengan kesusilaan atau dengan kepatutan di dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri maupun barang orang lain.6

Perbuatan pengusaha yang tidak melaksanakan atau melanggar Pasal 76,81, 82, 83 & 84 Undang – Undang nomor 13 tahun 2003 dapat dikategorikan

6 Herlien Budiono, Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, 2008, hlm. 379

(11)

sebagai perbuatan melanggar hukum, maka dengan sendirinya ia dapat dituntut secara perdata agar memberikan ganti rugi kepada tenaga kerja wanita yang dirugikan.

Penutup

Dari bahasan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kaum wanita mempunyai kesempatan untuk berperan aktif dalam proses pembangunan.

Namun demikian, sesuai dengan kodratnya maka perlindungan hukum terhadap kaum wanita dalam kedudukannya sebagai tenaga kerja, tidaklah dapat disamaratakan dengan kaum pria.untuk itu, maka diperlukan suatu aturan khusus yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kerja wanita yang harus tertuang dalam suatu perjanjian kerja, yang harus ditaati oleh para pihak dan ada konsekuensi hokum apabila dilanggar, seperti sanksi administrasi atau sanksi yang berupa hukuman pidana penjara dan tuntutan ganti rugi berdasarkan wanprestasi sebagaimana yang diatur dalam pasal 1243 KUH Perdata.

Agar Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 dapat dilaksanakan secara efektif, maka diharapkan Menteri Tenaga Kerja segera mengeluarkan berbagai peraturan pelaksana Undang – Undang tersebut , yang sampai saat ini masih belum optimal . Perlu adanya ketegasan aparat penegak hukum untuk dapat melaksanakan ketentuan tentang sanksi administratif dan pidana berdasarkan undang – undang.

Daftar Pustaka

Bagir Manan, 2005,Sistem Peradilan Beribawa ( suatu pencarian ), Fakultas Hukum UII, UII Press, Yogyakarta.

Herlien Budiono, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti.

Mochtar Kusumaatmadja, 2000, Konsep – Konsep Hukum Dalam Pembangunan ,Alumni, Bandung.

Romli Atmasasmita, 2003, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Kencana.

Jakarta.

Sutan Remy Sjahdeni, 2009, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang seimbang bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Grafiti, Jakarta.

Susanti Adi Nugroho, 2008,Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum serta Kendala Implementasinya , Kencana, Jakarta.

(12)

Undang –Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Undang-Undang No. 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan ILO Convention Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Riwayat Penulis :

Dr. Hj. Imas Rosidawati Wr, SH.,MH. Doktor dalam bidang Ilmu Hukum dari Universitas Padjadjaran Bandung. Pemerhati Hak Kekayaan Intelektual dan Hukum Perusahaan. Tenaga pengajar Kopertis Wilayah IV Jawa Barat – Banten dpk Universitas Islam Nusantara. Ketua Program Studi Pascasarjana Magister Ilmu Hukum. Dosen pada SESPIM & SESPATI POLRI di Lembang, juga pada Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Negeri seperti UIN Bandung.

.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk perlindungan hukum pada masa penempatan adalah apabila ada perselisihan antara Tenaga Kerja Indonesia dengan perusahaan Industri Malaysia, maka permasalahan dapat

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA DAN PENGUSAHA DALAM MENJALANKAN PERUSAHAAN (Studi Pada PT. Lajuperdana Indah Unit Pabrik Gula Pakis Baru).. Siti Anik Aliqoh C100120151

Perlindungan hukum Rahasia dagang setelah berakhirnya perjanjian kerja.. ini dapat disimpulkan bahwasecara hukum perlindungan

Kemudian menguraikan hasil penelitian mengenai Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja Wanita yang diberikan oleh Caecar Resto And Cafe Yogyakarta, serta faktor – faktor yang

Perlindungan hukum perlakuan diskriminasi terjadi terhadap tenaga kerja wanita dapat saja terjadi yaitu dalam hal: mendapatkan hak atas kesempatan kerja yang sama

Solusi selanjutnya atas perlindungan hukum TKI wanita ilegal di Malaysia adalah memutus mata rantai pengiriman TKI wanita ilegal. Memutus mata rantai pengiriman TKI ilegal

Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaksanaan perlindungan hukum tenaga kerja kontrak dalam perjanjian kerja

PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ALIH DAYA OUTSOURCING TENAGA ADMINISTRASI PERKANTORAN BERDASARKAN PERJANJIAN KERJA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA ABSTRAK