• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diklat PIM IV pimp4ETIKAAPARATUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Diklat PIM IV pimp4ETIKAAPARATUR"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEPEMIMPINAN TINGKAT IV

Lembaga Administrasi Negara – Republik Indonesia

Jakarta, 2008

Hak Cipta ©

Pada : Lembaga Administrasi Negara

Edisi Tahun 2008

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia

Jl. Veteran No. 10, Jakarta, 10110

Telp. (62 21) 3868201, Fax. (62 21) 3800188

Etika Kepemimpinan Aparatur

Jakarta - LAN - 2008

xxx hlm : 15 x 21 cm

(2)

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

REPUBLIK INDONESIA

KATA PENGANTAR

undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menegaskan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional, diperlukan Pegawai Negeri Sipil yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional. Untuk mewujudkan profesionalisme PNS ini, mutlak diperlukan peningkatan kompetensi, khususnya kompetensi kepemimpinan bagi para pejabat dan calon pejabat Struktural Eselon IV baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah. Sebagai pejabat struktural yang berada pada posisi paling depan atau ujung tombak, pejabat struktural eselon IV memainkan peran yang sangat penting karena bertanggung jawab dalam mensukseskan pelaksanaan kegiatan-kegiatan secara langsung, sehingga buah karyanya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Untuk mempercepat upaya peningkatan kompetensi tersebut, Lembaga Administrasi Negara (LAN) telah menetapkan kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan Tingkat IV. Dengan kebijakan ini, jumlah penyelenggaraan Diklat dapat lebih ditingkatkan sehingga kebutuhan akan pejabat struktural eselon IV yang profesional dapat terpenuhi. Agar penyelenggaraan dan alumni tersebut menghasilkan kualitas yang sama, walaupun diselenggarakan dan diproses oleh Lembaga Diklat yang berbeda, maka LAN menerapkan kebijakan standarisasi program Diklat Kepemimpinan Tingkat IV. Proses

standarisasi meliputi keseluruhan aspek penyelenggaraan Diklat, mulai dari aspek kurikulum yang meliputi rumusan kompetensi, mata Diklat dan strukturnya, metode dan skenario pembelajaran sampai pada pengadministrasian penyelenggaranya. Dengan proses standarisasi ini, maka kualitas penyelenggaraan dan alumni dapat lebih terjamin. Salah satu unsur penyelenggaraan Diklat Kepemimpinan Tingkat IV yang mengalami proses standarisasi adalah modul atau bahan ajar untuk para peserta (participants’ book). Disadari sejak modul-modul tersebut diterbitkan, lingkungan strategis khususnya kebijakan-kebijakan nasional pemerintah juga terus berkembang secara dinamis. Di samping itu, konsep dan teori yang mendasari substansi modul juga mengalami perkembangan. Kedua hal inilah yang menuntut diperlukannya penyempurnaan secara menyeluruh terhadap modul-modul Diklat Kepemimpinan Tingkat IV ini.

Oleh karena itu, saya menyambut baik penerbitan modul-modul yang telah mengalami penyempurnaan ini, dan mengaharapkan agar peserta Diklat Kepemimpinan Tingkat IV dapat memanfaatkannya secara optimal, bahkan dapat menggali kedalaman substansinya di antara sesama peserta dan para Widyaiswara dalam berbagai kegiatan pembelajaran selama Diklat berlangsung.

Kepada penulis dan seluruh anggota Tim yang telah berpartisipasi, kami haturkan terima kasih. Semoga modul hasil perbaikan ini dapat dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 14 Maret 2008

KEPALA

LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

SUNARNO

(3)

v vi Lembar Judul. ...

Lembar Pengesahan ISBN. ... Kata Pengantar. ... D. Indikator Hasil Belajar... E. Materi Pokok ... F. Manfaat. ...

BAB II Penjelasan ... A. Tujuan... B. Sasaran... C. Latihan... D. Rangkuman...

BAB III Penjabaran Tema. ... A. Pengertian... B. Pembahasan... C. Latihan... D. Rangkuman.....

BAB IV Proses/Kegiatan Penulisan Kertas Kerja Kelompok (KKK)... A. Pengorganisasian dan Diskusi Kelompok... B. Proses Penulisan... C. Sistematika Penulisan... D.Latihan... E. Rangkuman...

BAB V Teknik Penulisan. ... A.Perwajahan. ... B. Penggunaan Bahasa yang Baik dan Benar... C. Latihan... D. R a n g k u m a n . . . .

BAB VI Presentasi dan Seminar. ... A. Presentasi. ... B. Seminar. ... C. Latihan... D. Rangkuman. ...

BAB VII PenulisanKertas Kerja Angkatan (KKA) ... A. Diskusi Penyusunan Ringkasan... B. Makanisme Presentasi KKA. ... C. Masukan dari Fasilitator dan Narasumber... D. Penyempurnaan KKA. ... E. Latihan... F. Rangkuman. ...

BAB VIII Penutup. ... A. Simpulan. ... B. Tindak Lanjut. ...

(4)
(5)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam lingkungan organisasi pemerintahan, seorang aparatur dituntut untuk bekerja sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.

Secara etis, seorang aparatur terpanggil untuk melayani kepentingan publik secara adil tanpa membedakan kelompok, golongan, suku, agama serta status sosial. Seorang aparatur harus dapat menjadikan dirinya sebagai panutan tentang kebaikan dan moralitas pemerintahan terutama yang berkenaan dengan pelayanan publik.

Pada era demokratisasi dan reformasi dewasa ini perilaku kepemimpinan kepemerintahan harus mengarahkan orientasi kepada masyarakat luas dengan meningkatkan kepekaan untuk mendengarkan aspirasi yang berkembang termasuk saran, tanggapan, keluhan, bahkan kritik terhadap penyelenggaraan kepemerintahan publik.

Untuk itu diperlukan pemahaman tentang bagaimana seorang aparatur khususnya pemimpin kepemerintahan berperilaku.

B. Deskripsi Singkat

Mata pendidikan dan pelatihan ini menjelaskan sistem nilai budaya dan pola perilaku birokrasi yang ideal yang membentuk pola etika kepemimpinan birokrasi yang harus diterapkan dalam pelaksanaan tugas di instansi masing-masing.

C. Hasil Belajar

Setelah membaca modul Etika Kepemimpinan Aparatur ini, peserta mampu memahami, menjelaskan dan menerapkan pemahaman tentang nilai-nilai budaya yang berpengaruh terhadap birokrasi serta menjadikannya sebagai acuan dalam mewujudkan etika kepemimpinan aparatur.

D. Indikator Hasil Belajar

Indikator-indikator hasil belajar adalah :

1. Peserta mampu memahami dan menjelaskan nilai-nilai budaya yang berpengaruh terhadap organisasi pemerintah;

2. Peserta mampu memahami dan menjelaskan arti dan pentingnya etika dalam organisasi, pola perilaku kepemimpinan, dan ciri-ciri kepemimpinan aparatur yang ideal;

3. Peserta mampu memahami dan menjelaskan etika kepemimpinan aparatur yang ideal.

E. Materi Pokok

Materi pokok yang dibahas pada modul ini adalah :

1. Nilai-nilai budaya yang berpengaruh terhadap organisasi pemerintah;

2. Arti dan pentingnya etika dalam organisasi, pola perilaku kepemimpinan, dan ciri-ciri kepemimpinan aparatur yang ideal;

(6)

4

4. Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme;

5. Etika kehidupan berbangsa.

F. Manfaat

Berbekal hasil belajar pada modul Etika Kepemimpinan Aparatur, peserta diharapkan mampu menerapkan etika kepemimpinan aparatur yang ideal tersebut guna peningkatan kinerja instansinya.

BAB II

NILAI-NILAI BUDAYA YANG

BERPENGARUH TERHADAP ORGANISASI

PEMERINTAH

Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu memahami nilai-nilai budaya yang berpengaruh terhadap organisasi pemerintah.

Pendekatan ekologis dalam studi administrasi negara/publik menekankan perlu dipahaminya keterkaitan, hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi antara administrasi negara dengan faktor faktor lingkungan. Organisasi dan manajemen pemerintahan yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan, tidak akan dapat berfungsi dengan efisien dan efektif, bahkan mungkin gagal sama sekali. Oleh karena itu, mengenali faktor-faktor lingkungan apa saja yang mempengaruhi dan yang sebaliknya juga dipengaruhi oleh organsiasi pemerintah, adalah sangat penting.

(7)

1. Tri Gatra, 3 faktor lingkungan alami, yaitu : a. Geografi;

b. Demografi;

c. Kekayaan alam.

2. Panca Gatra, 5 faktor lingkungan sosial, yaitu : a. Ideologi;

b. Politik;

c. Ekonomi;

d. Sosial budaya;

e. Hankam.

(Lemhanas, 1989 Tolok ..., S.Pamudji, 1986:41, 66-141),

Berdasarkan pendekatan ekologis, dalam studi administrasi negara sebagaimana dikatakan oleh Raphaeli dalam artikelnya “Comparative Public Administration : An Overview”, bahwa kebudayaan merupakan variabel yang signifikan, dan ditegaskan bahwa perilaku administrasi (administrative behavior) adalah hasil interaksi dari ciri-ciri dan nilai-nilai budaya (cultural traits and values) dengan administrasi. Budaya administrasi merupakan perpanjangan dari budaya masyarakat (social culture) yang lebih luas (Raphaeli dalam Raphaeli, ed 1967:21).

Kebudayaan, menurut Kuntjaraningrat (1987:9), berasal dari kata Sankskerta (buddhayah) (bentuk jamak dari “buddha”), yang berarti : “budi” atau “akal”. Dengan demikian, kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal” Kuntjaraningrat juga mengatakan, bahwa ada pendirian lain yang menyatakan bahwa asal kata “kebudayaan” itu adalah suatu perkembangan dari majemuk budi daya, yang artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Kemudian sebagai konsep, kebudayaan antara lain diartikannya sebagai “keseluruhan

gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya”. Linton mengemukakan, bahwa “kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu, yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan” (Johanes Basuki, 1997:21). Engel, Blokwell dan Miniard berpendapat bahwa budaya adalah “nilai-nilai, gagasan-gagasan, artifak dan simbol-simbol bermakna lainnya yang membantu individu dalam berkomunikasi, memberikan tafsiran dan melakukan evaluasi dalam kedudukannya sebagai anggota suatu kelompok masyarakat” (ibid:22). Sedangkan Sir Edward Burneth Tylor mendifinisikannya. “culture or civilization is the complex whole which include knowledge, belief, art, morals, laws, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as member of society” (Bintoro, Pembahasan dalam artikel Harsya Bachtiar, dalam Alfian, ed, 1985). Sir Edward Tylor juga menyatakan bahwa “Culture is that complex whole of ideas and things produced by men in their historical experience” (Soerjanto, 1989 ; 219).

Keseluruhan definisi yang ada menurut Soerjanto kiranya dapat secara padat dirangkum dalam kalimat : “Kebudayaan adalah keseluruhan proses dan hasil perkembangan manusia yang disalurkan dari generasi ke generasi untuk kehidupan manusiawi yang lebih baik”. Batasan ini mencakup gagasan-gagasan pokok, bahwa :

1. Kebudayaan mencakup segala perkembangan dan kemajuan masyarakat;

2. Kebudayaan adalah hasil bersama;

(8)

A. Kebudayaan Ideel

Wujud pertama adalah wujud ideel dari kebudayaan, bersifat abstrak, dan lokasinya ada didalam kepala, atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran dari warga masya rakat tempat kebudayaan itu. Apabila gagasan dinyatakan dalam tulisan, maka lokasi kebudayaan ideel sering berada dalam karangan dan buku hasil karya warga masyarakat yang bersangkutan. Sekarang kebudayaan ideel juga banyak tersimpan dalam disk, tape, arsip, micro file dan sebagainya. Kebudayaan ideel dapat disebut adat tata kelakuan , atau secara singkat adat atau adat istiadat (jamak). Sebutan tata kelakuan itu untuk menunjukkan bahwa kebudayaan ideel itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada kelakukan dan perbuatan manusia dalam masyarakat, seperti misalnya aturan sopan santun dalam mem-berikan sumbangan pada waktu kondangan. Adat menurut Kuntjaraningrat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat, yaitu;

a. tingkat nilai budaya;

b. tingkat norma-norma;

c. tingkat hukum;

d. tingkat aturan khusus.

a. Tingkat pertama, sistem nilai budaya. Tingkat ini merupakan lapisan yang paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Sistem nilai budaya mencakup ide-ide yang mengkonsepkan hal hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi-konsepsi ini biasanya luas dan kabur; tetapi walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari atau jiwa manusia. Jumlah nilai-nilai budaya tingkat pertama ini dalam suatu kebudayaan biasanya tidak banyak.

Contoh dari suatu nilai budaya, terutama dalam masyarakat kita, adalah konsepsi bahwa hal yang bernilai tinggi adalah apabila manusia itu suka bekerja sama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Konsepsi ini, yang biasanya kita sebut nilai gotong royong, mempunyai ruang lingkup yang amat luas karena memang hampir semua karya manusia itu biasanya di-lakukan dalam rangka kerjasama dengan orang lain, dengan per-kataan lain : konsep tersebut diatas hanya berarti bahwa semua kelakuan manusia yang bukan bersifat bersaing atau berkelahi itu adalah baik. Jelaslah bahwa nilai itu sebenarnya tidak rasional. Contoh lain : Suatu nilai budaya yang penting terutama dalam masyarakat kebudayaan Barat adalah konsepsi bahwa hal yang bernilai tinggi adalah apabila manusia itu dapat berhasil sama sekali atas usahanya sendiri. Ideal yang disebut nilai individua-lisme ini, juga kabur dan tak rasional, karena dalam kenyataan jarang terjadi bahwa manusia itu dapat sesuatu hasil yang sama sekali terlepas dari usaha atau bantuan orang lain.

(9)

c. Tingkat ketiga, sistem hukum. Sistem ini lebih konkrit lagi. Hukum, baik hukum adat maupun hukum tertulis, sudah jelas pula batas-batas ruang lingkupnya. Jumlah hukum dalam suatu masyarakat jauh lebih banyak dari pada jumlah norma yang menjadi pedomannya.

d. Tingkat keempat, aturan khusus. Aturan-aturan khusus mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, aturan aturan khusus ini sangat konkrit dan banyak di antaranya terkait dalam sistem hukum. Contoh aturan khusus yang terkait dengan sistem hukum adalah peraturan lalu lintas. Contoh aturan khusus yang tidak tersangkut dengan sistem hukum misalnya adalah aturan sopan-santun.

B. Sistem Sosial

Wujud kedua dari kebudayaan, sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial terdiri dari aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu sama lain, yang dari detik ke detik, dari hari ke hari, dan dari tahun ke tahun, selalu mengikuti pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkrit, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, di foto dan di dokumentasikan, contoh upacara-upacara, tradisi dalam merayakan Idul Fitri dll (penulis).

C. Kebudayaan Fisik

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Karena merupakan keseluruhan jumlah hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkrit dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan di foto; barang bergerak dan barang tidak bergerak, besar maupun kecil, serta kompleks dan njlimet (sophisticated) seperti komputer dan satelit maupun yang sangat sederhana.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kenyataan kehidupan masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ideel dan adat istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia (Kuntjaraningrat, 1987:5-12).

(10)

Selanjutnya Harsya W. Bachtiar dalam tulisannya “Birokrasi dan Kebudayaan” (Alfian,ed, 1985:67-72) menguraikan bahwa dalam suatu birokrasi (organisasi pemerintah) dapat dijumpai lebih dari satu sistem budaya. Batasan antara berbagai sistem budaya tersebut bagi anggota-anggota birokrasi yang bersangkutan dalam berbagai hal tidak begitu jelas, bahkan adanya berbagai sistem budaya yang mempengaruhi sikap, pemikiran dan tindakan mereka itu, sering tidak disadari, apalagi diketahui. Menurut Harsya Bachtiar, pada umumnya di suatu birokrasi pemerintah dapat dibedakan adanya paling sedikit empat, dan biasanya bahkan lima sistem budaya, yaitu :

1. sistem budaya birokrasi yang universal;

2. sistem budaya nasional;

3. sistem budaya daerah;

4. sistem budaya agama;

5. sering pula sistem budaya asing.

1. Sistem Budaya Birokrasi Yang Universal

Terdapat seperangkat kepercayaan, pengetahuan, nilai-nilai, aturan-aturan dan simbol-simbol pengungkapan perasaan yang pada hakekatnya adalah sama dalam birokrasi dari negara mana-pun. Perangkat simbol-simbol budaya ini yang membentuk dan mempertahankan struktur-struktur sosial yang bersangkutan sebagai birokrasi. Tanpa perangkat simbol-simbol itu, suatu struktur sosial tidak dapat dianggap sebagai birokrasi, mungkin hanya struktur sistem kekerabatan atau sistem patrimonial; tetapi jelas bukan birokrasi.

Max Weber, Bapak teori birokrasi, telah menunjukkan beberapa unsur sistem budaya birokrasi yang universal itu, antara lain adalah adanya aturan-aturan tertulis yang mengatur hubungan

antara para pejabat dan bawahan mereka masing-masing; hak-hak dan kewajiban masing-masing, kedudukan; pengangkatan, kenaikan pangkat, dan pemberhentian anggota birokrasi; gaji dan bentuk-bentuk balas jasa lain; pemisahan antara pengemban jabatan dan jabatannya (seseorang tidak memiliki jabatan) serta pemisahan antara milik birokrasi dan milik pribadi masing-masing anggota. Adanya aturan aturan tertulis ini memberikan ciri-ciri khas pada semua struktur sosial yang terwujud sebagai birokrasi. Bahwa dalam kenyataan terjadi penyimpangan-penyimpangan dari aturan-aturan tertulis yang berlaku disebabkan oleh adanya sistem-sistem budaya lain.

2. Sistem Budaya Nasional

(11)

Berbagai nilai dan aturan-aturan tertentu yang dijadikan pedoman dalam bertindak adalah khas nilai nilai dan aturan-aturan Indonesia, setidak-tidaknya sebagai suatu perangkat pedoman tersendiri. Tentu sebagian nilai-nilai dan aturan-aturan ini terdapat juga pada birokrasi banyak negara lain yang juga mengalami proses modernisasi, karena keadaan-keadaan obyektif dan masyarakat dan negara, termasuk Indonesia, banyak persamaannya.

3. Sistem Budaya Daerah

Anggota-anggota birokrasi pemerintah berasal dari berbagai masyarakat daerah yang masing-masing mewujudkan kebudayaan sendiri, warisan dari nenek moyang penduduk pribumi daerah yang bersangkutan. Karena biasanya masing-masing anggota birokrasi dibesarkan dalam lingkungan budaya daerah asal masing-masing, dan pada umumnya hidup dalam lingkungan keluarga yang juga mewujudkan kebudayaan daerah asal, pemikiran para anggota birokrasi sedikit banyak terpengaruh oleh kebudayaan asal masing-masing, yang dalam keadaan-keadaan tertentu tercermin juga pada cara berfikir dan tingkah laku mereka dalam penyelenggaraan pekerjaan dinas.

Banyak anggota birokrasi yang sama-sama berasal dari Jawa menggunakan bahasa Jawa dalam pembicaraan kedinasan. Anggota birokrasi yang berasal dari Tapanuli berbicara bahasa Batak bilamana menghadapi orang lain, sesama anggota biro-krat atau bukan, (penulis) yang juga berasal dari Tapanuli, supaya pembicaraan lebih akrab ketimbang menggunakan bahasa Indonesia. Kadang-kadang penggunaan bahasa daerah memper-sulit orang lain yang diharapkan ikut serta dalam pembicaraan yang bersangkutan, karena tidak mengerti bahasa daerah yang

bersangkutan. Secara umum (penulis), anggota birokrasi yang bekerja di suatu daerah tertentu, perlu memahami budaya daerah yang bersangkutan, paling tidak untuk lebih mengefektifkan komunikasi nya dengan warga masyarakat.

Di birokrasi yang banyak beranggotakan orang orang yang ber-asal dari daerah tertentu terdapat kecenderungan didominasi sistem budaya daerah yang bersangkutan, terutama dalam penggunaan bahasa, tetapi sering pula meliputi tata cara per-gaulan antar anggota birokrasi : cara memberi hormat, cara menyatakan terima kasih, bahkan juga cara menyatakan rasa tidak puas, kesal, marah. Contoh (penulis), dominasi budaya Jawa dalam birokrasi Indonesia : “Ing ngarso sung tulado, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” telah diucapkan dan dipahami dan diterima sebagai kepemimpinan Pancasila oleh para pejabat pemerintah Indonesia dari semua daerah, “sungkan” dan “ewuh pakewuh” telah biasa diucapkan manakala anggota birokrasi Indonesia membicarakan pengawasan melekat; dan masih banyak lagi istilah-istilah Jawa telah masuk dalam khasanah bahasa Indonesia dan dalam sistem Administrasi Negara Indonesia.

(12)

15

4. Sistem Budaya Agama

Hari Minggu libur, kita warisi dari kebudayaan agama orang Belanda yang dahulu menjajah kita. Bagi orang Belanda, yang beragama Kristen, hari pertama dari setiap pekan merupakan hari Tuhan; hari yang khusus digunakan untuk mengadakan kebaktian keagamaan atau misa untuk memperingati kebangkitan kembali Yesus. Maka, pekerjaan birokrasi pun harus dihentikan pada hari Minggu itu.

Setiap hari Jumat, menjelang tengah hari, banyak anggota biro-krasi yang beragama Islam meninggalkan pekerjaan untuk menunaikan ibadah sholat Jum’at di mesjid. Anggota birokrasi yang tidak beragama Islam pun juga meninggalkan/berhenti bekerja, karena mayoritas anggota masyarakat/birokrasi beragama Islam. Bahkan (penulis), dalam sistem 6 hari kerja dengan 37,5 jam kerja, pada hari Jumat jam kerja birokrasi hanya sampai jam 11.30.

Karena masing-masing agama mempunyai budayanya sendiri, maka di negara yang memberi kesempatan berkembangnya semua agama dan warga negara bebas memeluk agamanya masing-masing, seperti di Indonesia ini (Islam, Kristen, Hindu dan Budha), maka dalam birokrasi dijumpai lebih dari satu sistem budaya agama. Walau pun demikian, harus dicatat, bahwa kita di Indonesia telah sepakat memisahkan agama dari kebudayaan, karena agama bukan berasal dari manusia tetapi dari Tuhan. (penulis).

5. Sistem Budaya Asing

Unsur-unsur budaya asing terdapat di birokrasi pemerintah kita, diperlukan dan digunakan oleh anggota birokrasi yang pernah belajar di luar negeri, berkunjung ke luar negeri, ataupun memperolehnya melalui pendidikan, pertemuan-pertemuan atau media massa di negara kita sendiri.

Generasi tua cenderung mengarahkan perhatian pada kebudayaan Belanda yang banyak mempengaruhi mereka ketika menjadi pelajar ELS, HIS, MULO, AMS atau HBS atau sebagai mahasiswa di perguruan tinggi dalam zaman Belanda dahulu. Mereka banyak menggunakan bahasa Belanda baik dalam pembicaraan kedinasan maupun di luar kedinasan. Bahasa hukum banyak sekali mengandung istilah-istilah Belanda. Orang yang tidak mampu ber-bahasa Belanda dianggap kurang terpelajar. Sebaliknya orang-orang sekarang cenderung mengarahkan perhatian pada kebudayaan Amerika, atau orang-orang yang berbahasa Inggris. Mereka banyak menggunakan bahasa Inggris dan bertindak seolah-olah orang terpelajar kalau mengetahui kebudayaan Amerika. Bahasa Inggris telah menjadi bahasa internasional. Banyak (penulis) istilah asing yang telah diadopsi dan dieja menurut ejaan Indonesia, seperti presiden, direktur, prinsip, norma, akseptabel, kapabel, efisiensi, efektif, akuntabilitas, produktivitas, sistim/sistem dan lain-lain.

Dari keseluruhan uraian diatas, dapatlah kiranya dinyatakan bahwa pengaruh budaya dalam organisasi pemerintah sangatlah komplek. Dilihat dari wujud budayanya maka organisasi pemerintah dipengaruhi oleh budaya ideel, sistem sosial dan budaya fisik, serta sekaligus pula dilihat dari asal budayanya dipengaruhi oleh budaya birokrasi universal, budaya nasional, budaya daerah, budaya agama dan budaya asing.

D. Latihan

1. Benarkah kebudayaan merupakan variabel yang sangat signifikan dalam studi administrasi suatu negara ?

2. Apakah ujud kebudayaan ideel yang paling mempengaruhi sistem administrasi negara Indonesia ?

(13)

18

4. Apakah pengaruh budaya yang menghambat modernisasi aparatur di Indonesia ini ?

5. Mengacu kepada pengaruh budaya secara keseluruhan, pada dasarnya; dapatkah pendekatan dalam modernisasi birokrasi disamakan dengan di negara lain ?

E. Rangkuman

Eksistensi organisasi Pemerintah tidak dapat terlepas dari keterkaitannya dengan faktor-faktor lingkungan, yang terdiri atas faktor-faktor geografi, demografi, kekayaan alam, idiologi, politik, ekonomi, sosial-budaya dan hankam. Pengaruh faktor budaya sangat signifikan. Perilaku administrasi adalah hasil interaksi dari ciri-ciri dan nilai-nilai budaya dengan administrasi. Budaya administrasi merupakan perpanjangan dari budaya masyarakat yang lebih jelas. Kebudayaan dapat diartikan sebagai “keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan hasil dan karyanya”. Kebudayaan mempunyai tiga wujud, yaitu kebudayaan ideel, sistem sosial dan kebudayaan fisik. Kebudayaan ideel dapat disebut adat istiadat dan terdiri atas tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan tingkat aturan khusus. Ketiga wujud kebudayaan tersebut berpengaruh terhadap organisasi pemerintah. Kebudayaan ideel akan banyak mempe-ngaruhi antara lain visi, misi dan sistem nilai organisasi. Sistem sosial akan banyak mempengaruhi perilaku anggota organisasi pemerintah, seperti dalam komunikasi, hubungan kerja, kerjasama dan sistem kerja. Kebudayaan fisik juga mempengaruhi perilaku, sistem kerja dan alat-alat kerjanya.

Disamping itu birokrasi sekaligus juga dipengaruhi oleh sistem budaya birokrasi yang universal, sistem budaya nasional, sistem budaya daerah, sistem budaya agama dan sistem budaya asing.

BAB III

ARTI DAN PENTINGNYA ETIKA

DALAM ORGANISASI

Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu memahami arti dan pentingnya etika dalam organisasi.

Etika adalah suatu sikap dan perilaku yang menunjukkan kesediaan dan kesanggupan seorang secara sadar untuk mentaati ketentuan dan norma kehidupan yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat atau satu organisasi. Etika organisasi menekankan perlunya seperangkat nilai yang dilaksanakan setiap orang anggota. Nilai nilai tersebut berkaitan dengan pengaturan bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku dengan baik seperti sikap hormat, kejujuran, keadilan dan tanggung jawab. Seperangkat nilai-nilai tersebut biasanya dijadikan sebagai acuan dan dianggap sebagai prinsip-prinsip etis atau moral.

(14)

kehidupan organisasi. Beberapa alasan mengapa norma moral dan etika itu diperlukan dalam organisasi antara lain :

1. Karena etika berkaitan dengan perilaku manusia. Hal ini menyangkut aplikasi seperangkat nilai luhur dalam bertindak bagi kehidupan seorang dan organisasi dan menyangkut berbagai prinsip yang menjadi landasan bagi perwujudan nilai nilai tersebut dalam berbagai hubungan yang terjadi antar manusia dan lingkungan hidup.

2. Agar bisa mengikuti kehidupan sosial yang tertib manusia memerlukan kesepakatan, pemahaman, prinsip dan ketentuan lain yang menyangkut pola perilaku. Etika memberikan prinsip yang kokoh dalam berperilaku sehingga kehidupan dalam organisasi semakin bermakna. Setiap bentuk kerja sama didasarkan pada kesepakatan yang dicapai bersama.

3. Karena dinamika manusia dengan segala konsekuensinya baik bersifat norma moral maupun etika perlu dianalisa dan dikaji ulang, hal ini di-maksudkan agar tetap relevan dalam memperkaya makna kehidupan seseorang, kelompok, organisasi dan masyarakat luas yang pada gilirannya memperlancar interaksi antar manusia.

4. Pentingnya etika dalam era modern sekarang ini lebih jelas terlihat bila diingat bahwa etika menunjukkan kepada manusia nilai hakiki dari kehidupan sesuai dengan keyakinan agama, pandangan hidup dan sosial. Dapat dikata kan bahwa etika berkaitan langsung dengan sistem nilai manusia, etika mendorong tumbuhnya naluri moralitas, nilai-nilai hidup yang hakiki dan memberi inspirasi kepada manusia untuk secara bersama-sama menemukan dan menerapkan nilai-nilai tersebut bagi kesejahteraan dan kedamaian umat manusia. (Sondang Siagian, 1996, 335-337).

Didalam lingkungan organisasi pemerintahan seorang aparatur dituntut untuk bekerja sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Secara etis seorang aparatur merasa terpanggil untuk melayani kepentingan publik secara adil tanpa membedakan kelompok, golongan, suku, agama serta

status sosial. Menurut etika organisasi pemerintahan RI seorang aparatur harus dapat menjadikan dirinya sebagai model panutan tentang kebaikan dan moralitas pemerintahan terutama yang berkenaan dengan pelayanan kepada publik. Dia akan senantiasa menjaga kewibawaan dan citra pemerintahan melalui kinerja dan perilaku sehari hari dengan menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela yang dapat merugikan masyarakat dan negara. Jadi etika pada dasarnya merupakan upaya menjadikan moralitas sebagai landasan bertindak dan berperilaku dalam kehidupan bersama termasuk di lingkungan profesi administrasi. (Ryass Rasyid, 1996, 43-44).

Profesi dimaksudkan sebagai pekerjaan untuk mencari nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian dan keterampilan sesuai dengan tuntutan dan persyaratan organisasi pemerintahan, dengan melibatkan komitmen pribadi (moral) yang mendalam atas pekerjaannya itu. Ia melibatkan seluruh kepribadiannya sehingga mendorong untuk menjalankan tugasnya dengan tekun, giat serius untuk melayani kepentingan publik. Ia tidak mengerjakan pekerjaannya sekedar sebagai hobi, sebagai sambilan apalagi asal-asalan, komitmen pribadi inilah yang melahirkan tanggung jawab yang besar atas tugas yang diembannya.

Dari pemahaman ini diharapkan bahkan dituntut bahwa seorang pegawai negeri, seorang aparatur haruslah memiliki persyaratan seorang profesional yang mendapat kepercayaan publik atau masyarakat yang dilayani. Dia dipercayai dan diandalkan memiliki keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. Lebih dari itu seorang aparatur yang profesional dipercaya masyarakat karena mempunyai komitmen moral/ etis, serta bertanggung jawab penuh atas pekerjaannya kepada publik (public accountability).

Dari analisis tersebut di atas dapatlah ditarik beberapa manfaat nilai etika bagi organisasi sebagai berikut :

(15)

2. Empati, memahami dan dapat menyelami dan merasakan masalah yang dihadapi orang lain.

3. Kepedulian, kesediaan untuk memberikan bantuan secara ikhlas.

4. Kedewasaan, kematangan dalam mengatasi permasalahan bersama.

5. Orientasi Organisasi, perilaku yang diatur dalam organisasi dalam memecahkan masalah.

6. Respect, saling menghormati dan menghargai sesama mitra kerja.

7. Kebajikan, berperilaku santun, rendah hati serta memberikan kedamaian dalam setiap pertemuan.

8. Integritas, mengutamakan kepribadian yang utuh.

9. Inovatif, kreatif dalam menciptakan gagasan dan tindakan yang baru dan memberikan nilai tambah serta bermanfaat bagi organisasi.

10.Keunggulan, tampil dengan gagasan dan karya yang lebih baik dari yang terbaik.

11.Keluwesan, Sikap dan tindakan yang luwes, tidak kaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dan hati nurani.

12.Kearifan, sikap dan perilaku yang berorientasi pada prinsip keseimbangan antara rasionalitas dan moralitas.

A. Pola Perilaku Kepemimpinan Aparatur

Nilai-nilai etika yang dikembangkan bukan hanya sekedar untuk menjadi keyakinan pribadi para anggota pegawai negeri (personal values) tetapi diterima dan disepakati menjadi seperangkat norma organisasi (share values). Etika menjadi acuan atau pedoman dalam bersikap dan bertindak dari seluruh jajaran organisasi pemerintahan dan pelanggaran atasnya membawa konsekuensi

moral. Setiap anggota aparatur dituntut untuk mentaatinya dengan sadar dan penuh disiplin. Yang melanggar disiplin dapat dikenakan sanksi adminstratif sesuai dengan jenis dan sifat pelanggaran, (penurunan pangkat dan sejenisnya). Pegawai yang taat atas etika mendapat ganjaran (tanda penghargaan dan sebagainya).

Nilai-nilai etika yang disepakati bersama sebagai pola perilaku dan dirumuskan dalam apa yang dikenal dengan kode etik. Kode etik ini dijadikan pedoman bagi setiap anggota dalam bersikap dan berperilaku untuk menentukan mana yang baik atau tidak baik, benar atau salah.

Sebagai contoh Kode etik dari suatu perusahaan antara lain memuat:

1. Pengaturan mengenai keselamatan kerja, kesehatan dan keamanan;

2. Rasa hormat, kejujuran, kesopanan, dan keadilan;

3. Kehadiran karyawan yang tepat waktu;

4. Penggunaan bahasa yang baik dan benar;

5. Tidak menerima atau menawarkan suap;

6. Menjaga kerahasiaan informasi perusahaan;

7. Tidak menyalahgunakan sarana organisasi untujk kepentingan pribadi;

8. Mematuhi ketentuan dan keamanan masyarakat.

Pada tahun 1981, American Society for Public Administration (ASPA) merumuskan kode etik administrasi publik sebagai berikut:

1. Pelayanan kepada masyarakat adalah pelayanan di atas pelayanan kepada diri sendiri;

(16)

3. Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Apabila hukum atau peraturan dirasa bermakna ganda, tidak bijaksana, atau perlu perubahan, kita akan mengacu kepada sebesar-besarnya kepentingan rakyat sebagai patokan;

4. Manajemen yang efektif dan efisien adalah dasar bagi adminis-trasi negara. Subversi melalui penyalahgunaan pengaruh, penggelapan, pemborosan atau penyelewengan tidak dapat dibenarkan. Para pegawai bertanggung jawab untuk melaporkan jika ada tindak penyimpangan;

5. Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas-asas itikad baik akan didukung, dijalankan, dan dikembangkan;

6. Perlindungan terhadap kepercayaan rakyat adalah sangat penting. Konflik kepentingan, penyuapan, hadiah, atau favoritisme yang merendahkan jabatan publik untuk keuntungan pribadi tidak dapat diterima;

7. Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetensi, dan kasih sayang. Kita menghargai sifat-sifat seperti ini dan secara aktif mengembangkannya;

8. Hati nurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan. Ini memerlukan kesadaran akan makna ganda moral dan kehidupan, dan pengkajian tentang prioritas nilai; tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yang tidak bermoral (good ends never justify immoral means).

9. Para administrator negara tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang salah, tetapi juga untuk mengusahakan hal yang benar melalui pelaksanaan tanggung jawab dengan penuh semangat dan tepat pada waktunya. (Wahyudi Kumorotomo, 1992, 337-338).

Demikianlah, kode etik berusaha merumuskan nilai-nilai etis ke dalam bidang tugas administrasi negara. Mengenai pelaksanaannya

dalam perilaku nyata, tergantung pada niat baik dan kepekaan hati nurani aparatur itu sendiri. Kode etik dirumuskan dalam rangka upaya pencegahan terhadap kemungkinan perilaku yang tidak santun, dan demi kepentingan organisasi. Setiap aparatur diharapkan mentaatinya dengan kesadaran penuh. Ini didasarkan kepada asumsi bahwa pada dasar nya setiap manusia adalah baik dan suka hal-hal yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kebaikan, itu semata-mata karena dia tidak tahu norma untuk bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-cara bertindak yang menuju ke arah kebaikan.

Kode etik organisasi pemerintah Rl memuat pokok-pokok rumusan sebagai berikut (UU Nomor 8/1974 Pasal 28) :

1. Pegawai Negeri sipil adalah warga negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan bersikap hormat menghormati antara sesama warga negara yang memeluk agama/kepercaya-an yagama/kepercaya-ang berlainagama/kepercaya-an.

2. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat, setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah serta meng-utamakan kepentingan negara di atas kepentingan diri sendiri, seseorang atau golongan.

3. Pegawai Negeri Sipil penjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri Sipil serta mentaati segala peraturan kedinasan dan perintah-perintah atasan dengan penuh kesadaran, pengabdian dan tanggungjawab.

(17)

5. Pegawai Negeri Sipil tetap memelihara keutuhan, kekompakan, persatuan, dan kesatuan Negara dan Bangsa Indonesia serta Korps Pegawai Negeri Sipil.

Namun kode etik yang memuat isi dan semangat sebagaimana tersebut di atas sampai kini belum dapat diterapkan secara penuh dan konsisten mengingat berbagai kendala yang bersifat sistemik, struktural mulai dari pendekatan, sumber daya dan sistem insentif dalam arti luas. Melalui kode etik tersebut setiap aparatur terikat untuk berperilaku sebagai pendukung moral sekaligus pelaksana nilai-nilai pemerintahan tersebut secara nyata. Didalam melaksana-kan tugasnya setiap aparatur harus memperhatimelaksana-kan nilai-nilai etis dalam mengambil keputusan demi kepentingan publik. Dia melakukan pertimbangan teknis dan ketentuan yang melekat kepada kedudukannya sebagai pembuat keputusan dengan senantiasa berpedoman kepada nilai nilai kejujuran, kearifan, tanggung jawab. Disamping kode etik, dilingkungan jajaran birokrasi pemerintah ditetapkan berbagai peraturan kepegawaian yang menyangkut disiplin kerja, sumpah jabatan dan daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan (DP-3) yang berisi unsur-unsur kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerjasama, prakarsa dan kepemimpinan. Kode etik yang berlaku selama ini dilingkungan administrasi pemerintahan RI terasa verbalistik dan kaku dan memuat daftar keharusan dan larangan tanpa disertai alasan yang mendasarinya, sehingga kurang menyentuh hati nurani dan kesadaran.

Didalam pelaksanaan tugas-tugas administrasi negara, terutama yang terkait dengan pelayanan kepada masyarakat yang majemuk dituntut kehati-hatian, kecermatan. Kewenangan yang dimiliki seorang aparatur jangan sampai tergelincir pada kesewenangan-kewenangan. Kelengahan terhadap nilai moral dan kode etik serta ketentuan lain dapat membawa dampak dan konsekuensi moral, rasa keadilan dan nasib manusia.

Beberapa tindakan untuk mencegah kecenderungan kepada hal hal yang negatif oleh seorang aparatur pemerintah telah dituangkan dalam ketentuan yang membuat rambu-rambu peringatan, larangan dan sanksi terhadap pelanggaran atas ketentuan tersebut. Dalam organisasi pemerintahan ada ketentuan yang melarang aparatur untuk melakukan tindakan sebagai berikut (Paul H. Douglas, dalam Wahyudi Kumorotomo, 1992, 345-346) :

a. lkut serta dalam transaksi bisnis pribadi atas perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan.

b. Menerima segala bentuk imbalan dari pihak swasta pada saat ia melaksanakan transaksi untuk kepentingan kedinasan atas pemerintah.

c. Membicarakan masa depan peluang kerja di luar instansi pada saat ia berada dalam tugas sebagai pejabat pemerintah.

d. Membocorkan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak yang tak berhak.

e. Terlalu erat berurusan dengan orang di luar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari ijin pemerintah.

(18)

lingkungan yang makin longgar bahkan tanpa batas sehingga pemahaman tentang loyalitas menjadi makin sulit diindetifikasikan.

3. Kekuatan dan daya tahan emosi untuk mengelola kecemasan dirinya dan orang lain berbarengan dengan berlangsungnya pembelajaran dan perubahan menjadi kebutuhan dan cara kerja (way of life).

3. Keterampilan baru dalam mengkaji berbagai asumsi budaya, menentukan asumsi yang fungsional dan proses yang berjalan yang memperluas budaya melalui pembangunan kekuatannya dan unsur-unsur fungsional.

4. Kesanggupan dan kesediaan untuk menyertakan pihak lain menggalakkan peran serta mereka. Ini disebabkan tugas dan tanggung jawab yang terlalu kompleks dan informasi menjadi semakin meluas disebarkan bagi pemimpin untuk menyelesaikan permasalahan secara mandiri.

5. Kesanggupan dan kesediaan untuk berbagi kekuasaan sesuai dengan keterampilan dan kemampuan. Ini berarti untuk memungkinkan dan menggalakkan kepemimpinan untuk bertumbuh subur di seluruh organisasi. (Frances Hesselbein, et al; 1996; 66-69).

Kepemimpinan aparatur dituntut untuk mampu menghadapi perubahan paradigma kepemerintahan (governance) atau yang kini dikenal dengan istilah good governance (Kepemerintahan yang amanah). Pemahaman atas konsep pengelolaan kepemerintahan yang amanah kini terus berkembang. Adapun prinsip-prinsipnya adalah :

1. Akuntabilitas, Tanggung Gugat (accountability). Akun tabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertang gungjawaban atas kinerja dan tindakan pimpinan suatu Seorang aparatur harus senantiasa mawas diri, peka dan tanggap

terhadap aspirasi masyarakat dengan membuka diri secara lapang dada terhadap berbagai keluhan sehat dan saran yang membangun dari masyarakat serta waspada terhadap berbagai godaan atau pengaruh yang bisa berakibat serius terhadap integritas kepe-mimpinannya.

Mungkin yang perlu mendapat perhatian adalah, peringatan, pengawasan, penyadaran dan sentuhan rohani yang terus menerus untuk menggugah kesadaran mereka dan kepekaan etis untuk melestarikan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan dan interaksi para warga anggota pemerintah dengan lingkungan masyarakat yang lebih luas.

B. Ciri-Ciri Kepemimpinan Aparatur yang Ideal

Organisasi pemerintahan berkembang pesat mengikuti perubahan yang cepat dan bersifat global dari lingkungan strategis yang mencakup bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan militer. Hal ini menyebabkan sistem dan lembaga pemerintah yang lampau mungkin menjadi kuno dan bentuk-bentuk baru kepemerintahan dan kepemimpinan tersebut perlu dikaji ulang. Sederap dengan dinamika perubahan tersebut pengkajian perlu dilakukan secara terus menerus. Kepemimpinan aparatur dituntut memiliki kompetensi yang diperlukan untuk secara kreatif mampu menyelesaikan berbagai permasalahan dan tantangan akibat dari perubahan yang cepat dan penuh ketidakpastian, sebagai berikut:

1. Persepsi dan pemahaman terhadap kenyataan dunia dan tentang kepemimpinan itu sendiri.

(19)

organisasi kepada publik yang memiliki hak meminta pertanggungjawaban. Kalau salah pemerintah dapat digugat oleh rakyat penerima pelayanan masyarakat.

2. Transparansi (Transparency). Dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan mengenai kebijakan pemerintah, organisasi, badan usaha. Seleksi jabatan berdasarkan fit and proper test, tender pelelangan, pemberian izin dilakukan secara transparan.

3. Keterbukaan (Openess). Pemberian informasi secara terbuka, terbuka terhadap saran dan kritik yang dianggap sebagai partisipasi masyarakat untuk perbaikan.

4. Berdasarkan Hukum (Rule of Law). Keputusan, kebijakan pemerintah, organisasi, badan usaha yang menyangkut kepentingan publik/masyarakat dilakukan berdasarkan hukum (peraturan perundangan yang berlaku). Jaminan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Conflict Resolution (Penyelesaian Konflik) berdasarkan hukum (termasuk abritase dan Out of Court Settlement).

5. Jaminan Fairness, a level playing field (perlakuan yang adil/perlakuan kesetaraan). Ini berlaku bagi pemerintah kepada masyarakat dalam pelayanan publik, perusahaan kepada pelanggan dan sebagainya. (Bintoro; 2001, 75-78).

Salah satu hal yang mendasar adalah perubahan dari government ke governance. Konsep good governance yang melibatkan interaksi antara ketiga domain (unsur pemerintah, unsur swasta, dan unsur masyarakat) yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tersebut di atas akan mengasilkan transaksional output yang efisien, ekonomis. Good governance mungkin sudah berjalan di negara maju tertentu seperti Skandinavia, Belanda, Jepang. Tetapi di banyak

negara lain, terutama negara berkembang, hal ini masih merupakan suatu proses. Di Indonesia tekad dan komitmen pemerintah untuk melaksanakan good governance perlu terus ditingkatkan. Sudah mulai dilakukan tindakan perampingan organisasi administrasi publik dan desentralisasi (otonomi) serta debirokratisasi. Itu semua merupakan bagian dari proses good governance. (Ibid, 2001, 75-81).

Menurut Bintoro ada lima hal yang perlu mendapat perhatian yaitu aparatur publik yang ramping, efisien dan efektif, birokrasi yang netral dari organisasi/partai politik, pengembangan meritrokasi atas dasar profesionalisme yang fair, pendidikan dan pelatihan pegawai, Clean Government yaitu pemerintahan yang bebas KKN.

Kepemimpinan aparatur mendatang dihadapkan kepada per-masalahan global yang makin kompleks, berat dan luas. Ini menuntut karakteristik kompetensi kepemimpinan yang kreatif dan kompetitif di arena persaingan global yang makin tajam. Kepemimpinan formal dalam jajaran administrasi publik diharapkan memahami dan meng-amalkan kepemimpinan non formal dan dunia usaha. Hal ini disebab-kan keberhasilan kepemimpinan aparatur mendatang adisebab-kan banyak berkaitan dengan stakeholders yang sebagian besar berada di arena luar administrasi publik.

(20)

mem-bawa nilai tambah produktivitas dan efisiensi organisasi. Disamping itu keluar, pemimpin aparatur hendaknya mampu berperan sebagai direction setter yakni suatu kemampuan untuk memberikan arah yang tepat dalam rangka perwujudan visi, misi, tujuan dan program-program kerja organisasi.

Ciri ciri kepemimpinan dari segi kompetensi dapat dikemukakan antara lain (Frances Hasselbein et. Al, editor, 1996, 67-69).

¾ Ciri pertama adalah kesadaran diri, seorang pemimpin harus mempunyai pemahaman tentang jati dirinya yang tercermin dari sikap sabar, teguh pendirian, memiliki integritas tinggi. Seseorang yang memiliki keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan emosional.

¾ Ciri kedua adalah kemampuan mengelola dan atau menangani perubahan, ketidakpastian (uncertainty), ketidakteraturan (chaos) dan keserbabertentangan (paradoxal). Hal ini disebab kan pengaruh globalisasi dan untuk itu dibutuhkan keluwesan dan kemampuan untuk mengatasi setiap keadaan, termasuk mengelola kendala menjadi peluang.

¾ Ciri ketiga adalah mempunyai visi ke depan. la harus mampu menggerakkan seluruh jajaran organisasi agar mempunyai per-samaan persepsi terhadap apa yang akan dicapai bersama, sehingga mampu menggerakkan organisasi sebagai organisasi pembelajaran yang dapat terus berkembang (learning organization).

¾ Ciri keempat mempunyai kejelasan sistem nilai (value system) yang dikembangkan bersama seluruh jajarannya sebagai pembentuk budaya organisasi (organization culture) yang akan mengembangkan jiwa, karsa, disiplin dan etos kerja.

¾ Ciri kelima mempunyai orientasi kepada pengguna jasa atau masyarakat yang seharusnya dilayani dan atau mendapat pelayanan dari organisasi yang dipimpinnya.

¾ Ciri keenam adalah keterbukaan (openness), keterbukaan terhadap kritik dan saran sehingga akan dapat terus meningkatkan dan memperbaiki diri dan produktivitas organisasi.

¾ Ciri ketujuh adalah kepercayaan (trust) yaitu dengan memberikan kepercayaan kepada yang dipimpinnya. Dengan mengasumsikan bahwa setiap orang mempunyai nilai positif yang perlu dipupuk dan diberikan kepercayaan untuk terus dikembang-kan, dengan demikian masing masing jajaran dibawahnya akan mengembangkan potensinya yang terbaik.

¾ Ciri kedelapan adalah kemampuan menggunakan kekuasaan secara arif dan bijaksana sehingga tidak terjadi penyalahgunaan jabatan dan penyimpangan dari amanah dan kekuasaan yang diemban. Bijaksana adalah puncak dari semua pemahaman, karena itu untuk melaksanakan kepemimpinan yang bijak me-merlukan pemahaman tentang banyak hal dengan lengkap dan baik.

C. Etika Kepemimpinan Aparatur yang Ideal

Dalam era demokratisasi dan reformasi dewasa ini pengembangan perilaku kepemimpinan kepemerintahan menuntut kelincahan dalam mengembangkan pendekatan yang bebas dan kecenderungan dominasi, serta berusaha mengarahkan orientasi kepada masyarakat luas dengan meningkatkan kepekaan untuk mendengarkan aspirasi yang berkembang termasuk saran, tanggapan, keluhan bahkan kritik terhadap penyelenggaraan kepemerintahan publik.

(21)

1. Kepekaan Terhadap Situasi Lingkungan

Yaitu kemampuan untuk mengamati perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat, sehingga bisa secara tepat mengantisipasi kecenderungan perubahan yang akan dihadapi. Untuk maksud itu seorang pemimpin harus terus berusaha menghimpun data dan informasi dalam rangka proses belajar untuk memperluas wawasan dalam berbagai bidang permasalahan kepemerintahan secara obyektif dan aktual. Dengan demikian seorang pemimpin aparatur selalu berada pada posisi yang tepat dalam semua situasi dan memberi respons sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Kepekaan dari segi kepemimpinan dapat dianggap sebagai unsur utama yang menentukan kualitas dari suatu pemerintahan.

2. Pengayom dan Pelindung atas Moral Masyarakat

Yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri agar tidak terjebak melakukan sesuatu yang dapat menciptakan atau meningkatkan keresahan dalam masyarakat. Seorang pemimpin yang demo-kratis tidak akan menghasut masyarakat untuk melakukan tindakan dengan cara-cara yang tidak etis melanggar HAM atau dengan kekerasan yang akan menimbulkan keresahan, kerusakan moral dalam masyarakat demi melaksanakan kebijakan perubahan. Tanggung jawab menjaga kepercayaan masyarakat atas sistem ketertiban dan keamanan yang berlaku, terletak pada setiap pemimpin yang demokratis.

3. Keterbukaan Pikiran

Kemampuan untuk memahami bahwa dalam kehidupan pemerintahan khususnya dalam pertarungan kepentingan, tidak ada “kebenaran” yang bersifat tunggal, dan tidak ada suatu kelompok yang memiliki hak dan monopoli atas dasar kebenaran. Dalam kehidupan pemerintahan, apa yang disebut kebenaran bersifat relatif, dan karena itu tidak mungkin

di-monopoli oleh suatu kelompok. Kapasitas untuk melihat segala sesuatu dengan pikiran terbuka merupakan jalan lurus menuju toleransi atas perbedaan pendapat yang menjadi salah satu ciri dari praktek demokrasi. Ia juga menjadi modal untuk bersikap jujur menerima pendapat pihak lain jika ternyata lebih rasional dan tepat. Perilaku kepemimpinan aparatur yang tidak mampu menampung berbagai pendapat pihak lain dan tidak toleran terhadap perilaku yang menegaskan adanya oposisi adalah wujud dari sikap kesewenang-wenangan atau otoritarianisme.

4. Memperhatikan Aspirasi Masyarakat.

Yaitu kemampuan untuk dekat bersedia memperhatikan kepentingan orang banyak. Dalam demokrasi dukungan orang banyak merupakan salah satu kunci pokok bagi keberhasilan seseorang pemimpin aparatur. Seorang pemimpin aparatur bersedia untuk mendengar suara, mempelajari harapan dan aspirasi mereka serta menerjemahkannya ke dalam serangkaian tindakan dan kebijakan publik. Di lingkungan pemerintahan yang demokratis efektifitas kepemimpinan selalu diukur melalui keberhasilan seseorang membawakan fungsi-fungsi utama pemerintahan itu sendiri yakni : pelayanan atau service, pember-dayaan atau empowerment dan pembangunan atau development.

(22)

36

D. Latihan

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan etika organisasi ?

2. Mengapa seorang pemimpin perlu memahami etika dalam berorganisasi?

3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan kode etik ?

4. Jelaskan ciri-ciri kepemimpinan yang ideal ?

E. Rangkuman

Etika organisasi menekankan perlunya seperangkat nilai yang dilaksanakan oleh setiap anggotanya. Nilai-nilai tersebut berkaitan dengan pengaturan bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku dengan baik. Dalam praktek kehidupan organisasi tak ada tolok ukur yang mutlak tentang yang benar dan yang salah. Pemahaman tentang yang benar dan yang salah itulah yang mendasari perlunya etika dalam organisasi.

Nilai-nilai etika yang dikembangkan diterima dan disepakati menjadi seperangkat norma organisasi dan menjadi acuan atau pedoman dalam bersikap dan bertindak dari seluruh jajaran organisasi pemerintahan.

Seiring dengankemajuan zaman, kepemimpinan seorang aparatur dituntut untuk memiliki kompetensi dalam memecahkan berbagai persoalan dan perubahan paradigma serta berperan sebagai direction setter atau memberikan arah.

BAB IV

PENYELENGGARAAN NEGARA YANG

BERSIH DAN BEBAS DARI KORUPSI,

KOLUSI DAN NEPOTISME

Setelah membaca Bab ini, peserta Diklat diharapkan mampu memahami, menjelaskan serta menerapkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

A. Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas

Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

(23)

37

1. Asas-asas Umum Penyelenggaraan Negara

Dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sesuai dengan tuntutan reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi dan misi dari seluruh penyelenggaraan negara dan masyarakat. Persamaan visi. persepsi dan misi tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki terwujudnya penyelenggaraan negara yang mampu menjalankan tugas dan fungsinya secara sungguh-sunguh penuh tanggung jawab, yang dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Sehubungan dengan hal tersebut dengan UU Nomor 28 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN telah ditetapkan asas-asas umum penyelenggaraan negara yang mencakup asas kepastian hukum, asas tertib penyeleng-garaan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas.

a. Asas Kepastian Hukum

Yang dimaksud dengan asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, keputusan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan negara.

b. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara

Yang dimaksud dengan asas tertib penyelenggaraan negara adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaraan negara.

c. Asas Kepentingan Umum

Yang dimaksud asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan kolektif.

d. Asas Keterbukaan

Yang dimaksud asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif terhadap penyeleng-gara nepenyeleng-gara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.

e. Asas Proporsionalitas

Yang dimaksud dengan asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggaraan negara.

f. Asas Profesionalitas

Yang dimaksud dengan asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

a. Asas Akuntabilitas

(24)

40

B. Latihan

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan penyelenggaraan negara?

2. Penyelenggaraan Negara harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jelaskan asas umum pemerintahan negara ?

C. Rangkuman

Penyelenggara negara adalah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Penyelenggaraan negara harus bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme,

Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang seperti tersebut di atas, penyelenggara negara harus mampu menjalankan tugasnya secara bersungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab serta menjunjung tinggi azas-azas umum pemerintahan negara.

BAB V

P E N U T U P

A. Simpulan

Etika memainkan peranan penting dalam organisasi pemerintah karena setiap kebijakan publik mengandung pertimbangan dan keputusan etis yang berkaitan langsung dengan sistem nilai manusia, mendorong tumbuhnya naluri moralitas, untuk melakukan pilihan-pilihan yang baik dan benar demi kepentingan publik.

Di dalam lingkungan organisasi pemerintahan, aparatur dituntut untuk menjaga citra pemerintahan melalui kinerja dan perilaku dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dengan menghindarkan diri dari perbuatan yang tercela yang dapat merugikan masyarakat dan negara.

Kode etik merupakan pedoman bagi setiap aparatur untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang telah disepakati bersama untuk mencapai tujuan organisasi.

Pelanggaran terhadap kode etik membawa dampak dan konsekuensi moral, rasa keadilan dan nasib anggota organisasi.

Seorang pemimpin aparatur harus senantiasa mawas diri dan tanggap terhadap berbagai aspirasi yang berkembang dalam masyarakat dan senantiasa menjaga integritas kepemimpinannya.

(25)

Paradigma kepemerintahan berubah dari government kepada good governance, dimana melibatkan interaksi antara ketiga domain unsur pemerintah, unsur swasta dan unsur masyarakat. Ciri utama dari good governance adalah akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, supremasi hukum dan jaminan fairness.Ciri-ciri kepemimpinan rnendatang harus menunjukkan kemampuan untuk ke dalam memberdayakan anggota organisasi dan keluar menunjukkan kepekaan terhadap lingkungan strategis melalui dialog dan komunikasi dengan seluruh unsur yang terkait dan kepada anggota organisasi pemimpin aparatur dapat berperan sebagai pemberi arah yang tepat ke mana organisasi ini berkembang sesuai dengan visi, misi dan tujan organisasi.

Etika kepemimpinan aparatur yang ideal dicirikan dengan seperangkat kapasitas dan kompetensi yang meliputi kepekaan terhadap lingkungan strategis, pengayoman atas moral masyarakat, keterbukaan pikiran serta perhatian terhadap aspirasi masyarakat.

B. Tindak Lanjut

Berbekal dari pemahaman tentang etika kepemimpinan aparatur, peserta diharapkan dapat menerapkan pemahaman tersebut guna peningkatan kinerja instansinya. Pemahaman mengenai penyelenggaraan kepemerintahan yang baik dapat menunjang penerapan ketentuan-ketentuan yang ada pada modul ini.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian. (1985). ed. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. PT Gramedia. Jakarta.

Bachtiar, Harsya, W., Mattulada, Haryati Soebadio. (1987). Budaya Dan Manusia Indonesia. PT. Hanindita Graha Widya. Yogyakarta.

Basuki, Johanes., Drs, M.Psi. (1997). Budaya Organisasi (Konsep dan Terapan). Yayasan Pembina Manajemen. Jakarta.

Block, Peter. (1993). Stewardship. Berret Koehler Publishers. San Francisco. USA.

Fredericson, H. George. (1997). The Spirit of Public Administration, Jossey. Boss Publishers. San Francisco.

Hesselbein, Frances.(1996). et al. The Leader Of The Future. Yossey– Bass Publishers. San Francisco. USA.

Howard, Ann, P.hD. Wellins S Richard, P.hD. High-Involvement Leadership. Leadership Research Institute New Jersey. USA.

Kerof A, Sonny. (1998). Etika Bisnis. Kanisius. Yogyakarta.

Kumarotomo, Wahyudi. (1992). Etika Administrsi Negara. Rajawali Pers. Jakarta.

Kuntjaraningrat. (1997). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. P.T Gramedia. Jakarta.

(26)

Musanef, Drs. (1984). Manajemen Kepegawaian di Indonesia. Gunung Agung. Jakarta.

Osborne, David & Ted Gaebler. (1992). Reinventing Government, Addeson-Wesley Publishing Company. Inc. Reading. Massachusets.

Raphaeli, Nimrod. (1967). Reading In Comparative Public Administration. Alleign and Bacon. Inc. Boston.

Rasyid Muhammad, Ryaas, Prof, Dr. (1996). Makna Pemerintahan (Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan). PT. Yasrif Watampone. Jakarta.

Rubinstein, Moshe, F dan Iris R Frinstenberg. (1999). The Minding Organization. John Willey & Sons. New York. USA.

Siagian, Sondang, DR, MPA, Prof. (1996). Etika Bisnis. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.

Sugianto, Ir. (1987). Norma dan etika Pengawasan. Dunia Rafika. Jakarta.

Suseno, Franz Magnis. (1987). Etika Dasar, Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Kanisius. Yogyakarta.

Tim Hindle. (2000). Guide to Management Ideas. Profile Books Ltd. London. Great Britain.

(27)

Referensi

Dokumen terkait

organisasi perbankan yang mengamalkan prinsip dasar syariah atau hukum islam untuk mencapai sebuah tantangan organisasi, dalam hal ini sebuah kepuasan kerja dalam

Islam masuk dalam tataran budaya massa. Akhirnya, 'pasar' mendorong dan menancapkan strategi terhadap penyesuaian bentuk karya sastra islami agar diterima dan diapresiasi pembaca

Pada tahun akademik 2016-2017 semseter ganjil untuk matakuliah Algoritma dan Pemrograman di Prodi Pendidikan TIK Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendididikan..

Dan dari analisis tiga uji yang sudah dikerjakan maka bisa disimpulkan bahwa: Hasil belajar kelas eksperimen yang memakai modul aplikasi panorama 360° lebih

Perhitungan teknis yang dilakukan meliputi perhitungan batasan ukuran utama, koefisien kapal, hambatan dan propulsi, penentuan spesifikasi tenaga penggerak,

Berdasarkan hasil penelitian dapat disim- pulkan bahwa meski belum menunjukkan penca- paian kemampuan reflective judgment yang mak- simal, pembelajaran materi ekosistem berbasis

Sehingga etnomatematika dapat dikatakan sebagai salah satu kekuatan untuk mengenal dan memahami jati diri bangsa Indonesia, bangsa yang mempunyai peradaban besar, salah satunya

Data hasil uji coba terbatas pada guru mengenai aspek keterbacaan, konstruksi dan kesesuaian isi materi telah menunjukkan respon yang baik sehingga dapat disimpulkan