SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Jurusan Ilmu Ekonomi
Oleh :
EDITH APRILANA
0611010019 / FE / IE
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
JAWA TIMUR
PAJAK HIBURAN DAN RETRIBUSI PARKIR DI KOTA SURABAYA
Disusun oleh : Edith Aprilana 0611010039/ FE/ IE
Telah Dipertahankan Dihadapan Dan Diterima Oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada Tanggal 03 September 2010
Pembimbing Utama : Tim Penguji :
Ketua
Dr. Syamsul Huda, SE, MT Dr. Syamsul Huda, SE, MT Sekretaris
Drs. Ec. Wiwin Priana, MT Anggota
Drs. Ec. Hj. Titiek Nur H
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
ABSTRAKSI ... xi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian ... 11.2. Perumusan Masalah ... 6
1.3. Tujuan Penelitian ... 6
1.4. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hasil-hasil Penelitian Terdahulu... 82.2 Landasan teori... 11
2.2.1 Pengertian Pajak……… 11
2.2.1.1 Jenis-jenis Pajak ... 13
2.2.1.2 Fungsi Pajak ... 14
2.2.1.3 Tarif Pajak ... 15
2.2.1.4 Prinsip Pajak ... 16
2.2.1.5 Teori Pemungutan Pajak ... 17
2.2.2 Pajak Daerah... 18
2.2.2.1 Pengertian Daerah ... 18
2.2.2.1.1 Pembangunan Daerah………. 19
2.2.2.2 Pengertian Pajak Daerah ... 20
2.2.2.3 Ruang Lingkup Pajak Daerah ... 22
2.2.2.4 Sumber-sumber Keuangan Daerah di kota Surabaya ... 22
2.2.2.5 Sumber-sumber Pendapatan Daerah ... 23
2.2.3 Pajak Hiburan Sebagai Komponen Pajak Daerah ... 24
2.2.3.1 Pengertian Pajak Hiburan ... 24
2.2.3.2 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hiburan ... 25
2.2.4 Retribusi Parkir ... 25
2.2.4.1 Definisi Retribusi Parkir ... 25
2.2.4.2 Penggolongan Retribusi Parkir ... 27
2.2.4.3 Hambatan yang dihadapi dalam pemungutan retribusi parkir di kota Surabaya ... 28
2.2.5 Pendapatan Perkapita ... 29
2.2.5.1 Pengertian Pendapatan Perkapita ... 29
2.2.5.2 Fungsi Pendapatan Perkapita ... 32
2.2.6 Tingkat Inflasi ... 33
2.2.6.1 Definisi Inflasi ... 33
2.2.6.2 Penggolongan Inflasi ... 34
2.2.6.3 Cara Mengatasi Inflasi ... 37
2.2.7 Jumlah Tempat Hiburan ... 38
2.2.7.1 Pengertian Tempat Hiburan ... 38
2.2.7.2 Subyek Pajak Hiburan ... 39
2.2.7.3 Obyek Pajak Hiburan ... 39
2.3 Kerangka Pikir ... 41
2.4 Hipotesis ... 45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Definisi Operasional Dan Pengukuran Variabel... 46
3.2 Teknik Penentuan Sampel... 47
3.3 Tehnik Pengumpulan Data... 48
3.4 Teknik Analisis dan Uji Hipotesis ... 48
3.4.1 Teknik Analisis ... 48
3.4.2 Uji Hipotesis ... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Obyek Penelitian………….……….. 55
4.1.1 Kondisi Geografis... 55
4.1.2 Kependudukan... 56
4.2 Deskripsi Hasil Penelitian……….……… 57
4.2.1 Perkembangan Penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir ……… 57
4.2.2 Perkembangan Pendapatan Perkapita……….……….. 58
4.2.3 Perkembangan Inflasi……….... 4.2.4 Perkembangan Tempat Hiburan……….………... 60
vii
4.3 Hasil Analisis Asumsi Regresi Klasik
(BLUE / Best Linier Unbiased Estimator)……… 61
4.3.1 Analisis Dan Pengujian Hipotesis…...………... 65
4.3.2 Uji Hipotesis Secara Parsial………...……….… 67
4.3.3 Pembahasan………….……….……...…... 68
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan... 71
5.2 Saran... 73
Gambar 2 Kriteria Uji F ... 51
Gambar 3 Kriteria Uji t ... 52
Gambar 4 Daerah Keputusan Uji Durbin Watson ... 53
Gambar 5 Kurva Statistik Durbin Watson………. ... 63
ix
viii
Surabaya... 58
Tabel 2 Perkembangan Pendapatan Perkapita Kota Surabaya... 59
Tabel 3 Perkembangan Tingkat Inflasi Kota Surabaya... 60
Tabel 4 Perkembangan Tempat Hiburan Kota Surabaya... 61
Tabel 5 Tes Autokorelasi ... 63
Tabel 6 Tes Multikolinieritas ... 64
Tabel 7 Tes Heterokedastisitas dengan Korelasi Rank Spearman ... 64
Tabel 8 Analisis Varian (Anova) ... 67
Tabel 9 Hasil Analisis Variabel Pendapatan Perkapita (X1), Inflasi (X2), dan Jumlah Tempat Hiburan (X3), terhadap Penerimaan Pajak Hiburan (Y1) dan Retribusi Parkir (Y2) kota Surabaya ... 68
x
Lampiran 2 Analisa Regresi Linier Berganda dengan Progra SPSS 13.0
Lampiran 3 Tabel Uji F
Lampiran 4 Tabel Uji t
EDITH APRILANA
Abstraksi
Surabaya sebagai daerah yang heterogen penduduk, budaya, bahasa dan beraneka ragam kegiatan serta ditambah dengan kesibukan-kesibukan yang mewarnai setiap saat, maka tepat sekali pemerintah melalui instansi terkait bekerja sama dengan swasta untuk mengadakan jenis dan tempat hiburan bagi masyarakat yang membutuhkan, karena dari jenis dan tempat hiburan itu dapat dipungut pajak, yaitu Pajak Hiburan. Salah satu usaha yang dapat meningkatkan pendapatan kota Surabaya diusahakan bersumber dari pajak hiburan dan retribusi parkir yang perlu terus ditingkatkan.
Adapun tujuan penelitian Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pendapatan Perkapita, Tingkat Inflasi dan Jumlah Tempat Hiburan terhadap peningkatan penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir di Kota Surabaya baik secara simultan maupun parsial. Untuk mengetahui manakah dari ketiga variabel yang paling dominan pengaruhnya terhadap Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir di Kota Surabaya.
Setelah dilakukan uji statistik untuk mengetahui pengaruh secara simultan antara variabel bebas Pendapatan Perkapita (X1), Inflasi (X2), dan Jumlah Tempat Hiburan (X3), terhadap variabel terikatnya Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya (Y1) dan Retribusi Parkir kota Surabaya (Y2) diperoleh F hitung > F tabel maka Ho ditolak dan Hi diterima, yang berati bahwa secara keseluruhan faktor-faktor variabel bebas berpengaruh secara simultan dan nyata terhadap Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya (Y1) dan Retribusi Parkir kota Surabaya (Y2).
Variabel yang berpengaruh paling dominan diantara tiga variabel bebas terhadap Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya dan Retribusi Parkir kota Surabaya : Dapat diketahui dengan melihat koefisien determinasi parsial yang paling besar, dimana dalam perhitungan ditunjukkan oleh variabel Pendapatan Perkapita dengan koefisien determinasi parsial (r2) sebesar 0,872 atau sebesar 87,2 % untuk Penerimaan Pajak Hiburan kota Surabaya dan 0,556 atau sebesar 55,6 % Retribusi Parkir kota Surabaya.
Kata Kunci : Penerimaan Pajak Hiburan (Y1), Retribusi Parkir (Y2), Pendapatan Perkapita (X1), Tingkat Inflasi (X2), Jumlah Tempat Hiburan (X3)
1.1. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang giat-giatnya
melakukan pembangunan di segala bidang, pembangunan tersebut dilakukan
dengan tujuan mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan
makmur, Dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka,
berdaulat, bersatu dan ber kedaulatan rakyat dalam suatu perikehidupan bangsa
yang aman, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka,
bersahabat, tertib dan damai.
Ini berarti bahwa pembangunan itu berdasarkan keselarasan, keserasian,
dan keseimbangan antara mengejar kemajuan lahiriah dan batiniah. Jadi
Pembangunan Nasional dilaksanakan merata di seluruh tanah air dan tidak untuk
satu golongan atau sebagian masyarakat, tetapi untuk seluruh masyarakat
Indonesia, serta harus dapat dirasakan seluruh rakyat. (Suparmoko 2006 : 5)
Pembangunan pada hakekatnya adalah proses perubahan yang terus
menerus, yang merupakan kemajuan dan perbaikan menuju ke arah tujuan yang
ingin dicapai.Dalam rangka mewujudkan ini maka dilaksanakan pembangunan di
segala bidang yang dilaksanakan melalui repelita dan pelaksanaan operasionalnya
melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tiap tahunnya.
Disisi lain, pembangunan Daerah merupakan bagian integral dari
Pembangunan Nasional, sehingga setiap daerah berkewajiban mensukseskan
pembangunan daerah terutama yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah
(PAD).Dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, setiap daerah harus
mampu menggali segala sumber dana yang ada di daerahnya sendiri, yang
berguna sebagai pembiayaan pembangunan daerahnya masing-masing, sehingga
kegiatan pembangunan berjalan dengan baik dan lancar.
Pajak merupakan salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan tanpa
terkecuali. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang
pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dijelaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sehingga
Pendapatan Asli Daerah yang antara lain diperoleh dari Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah untuk meningkatkan
dan memeratakan kesejahteraan masyarakat, serta membangun daerahnya sendiri
dengan pemberian hak otonomi. Daerah otonomi adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan
berkewajiban mengatur dan mengurusi rumah tangga sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (Siahaan 2005 : 14)
Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah
kesiapan daerah dalam hal keuangan, baik dari sisi pengeluaran dan penerimaan
bervariasi, tergantung pada kondisi masing-masing daerah yang memiliki
kekayaan sumber daya alam atau tidak,ataupun daerah yang intensitas kegiatan
ekonomi yang tinggi maupun rendah. Hal ini berdampak pada besar tidaknya
basis pajak di daerah-daerah yang bersangkutan. Di sisi lain, dilihat dari
kebutuhan belanja untuk pelaksanaan berbagai fungsi publik setiap daerah juga
sangat bervariasi, dimana saranaprasarana dan infrastruktur lainnya masih ada
yang belum memadai.
Dengan demikian, Pemerintah Kota Surabaya sebagai ibu kota Jawa
Timur, yang juga kota terbesar ke-2 setelah Jakarta dan merupakan salah satu
pusat dagang dan industri, maka harus dapat menyelenggarakan dan
melaksanakan pembangunan daerahnya yang sebagian harus dengan kekuatan
sendiri. Untuk itu perlu adanya sumber-sumber pendapatan, dalam hal ini adalah
Pendapatan Asli Daerah.
Surabaya sebagai daerah yang heterogen penduduk, budaya, bahasa dan
beraneka ragam kegiatan serta ditambah dengan kesibukan-kesibukan yang
mewarnai setiap saat, maka tepat sekali pemerintah melalui instansi terkait
bekerja sama dengan swasta untuk mengadakan jenis dan tempat hiburan bagi
masyarakat yang membutuhkan, karena dari jenis dan tempat hiburan itu dapat
dipungut pajak, yaitu Pajak Hiburan.
Peningkatan penerimaan Pajak Hiburan dari tahun ke tahun diupayakan
untuk dapat meningkat terus menerus.Pajak Hiburan sebagai salah satu
Penerimaan Asli Daerah dan merupakan komponen dari pajak daerah ada di
sekali untuk selalu meningkatkan penerimaan Pajak Hiburan, Mengingat
kebutuhan hiburan di kota Surabaya sangat besar sekali karena dengan adanya
hiburan dapat mengurangi kepenatan yang selalu dirasa sebagian besar penduduk
di Surabaya. Pemasukan pajak hiburan dilihat dari data Realisasi penerimaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kota Surabaya yang dapat dilihat dari
Badan Pusat Statistik Surabaya pada tahun 2002 sebesar Rp.7.711.516.000.00,
pada tahun 2003 sebesar Rp.8.784.662.000.00 atau mengalami perkembangan
sebesar 13,91 %, pada tahun 2004 penerimaan pajak hiburan naik menjadi
Rp.10.540.421.843.00 atau mengalami perkembangan sebesar 19,98 %, kemudian
pada tahun 2005 sebesar Rp.11.515.307.018.00 atau mengalami perkembangan
sebesar 9,24 %. Dengan naiknya penerimaan pajak hiburan akan dapat menambah
penerimaan daerah yang pada akhirnya dapat membiayai pembangunan daerah di
Kota Surabaya. (Anonim, 2005 : 423)
Salah satu sumber dana yang diharapkan adalah dari sector retribusi parkir
karena mempunyai potensi serta prospek yang cerah, karena melihat
perkembangan kendaraan bermotor yang semakin meningkat tidak tertutup
kemungkinan untuk meningkatkan penerimaan retribusi dari sektor parkir.dengan
ditingkatkannya pungutan tersebut diharapkan hasil yang diperoleh dari retribusi
dalam pelaksanaan parkir, sistem pemungutannya mengacu pada peraturan daerah
yang berlaku yaitu dengan memberikan tanda penerimaan berupa karcis. Dimana
yang dimaksud disini, karcis parkir oleh petugas harus diletakkan atau
ditempatkan pada kendaraan yang di parkir ada tempat yang mudah dilihat,
Semakin banyaknya tempat parkir yang ada di Kota Surabaya saat ini
tidak dikung oleh peningkatan pendapatan daerah dari sektor retribusi parkir,
justru semakin memprihatinkan. Adapun penerimaan retribusi parkir pada tahun
2002 sebesar Rp. 6.398.176.000, pada tahun 2003 sebesar Rp. 6.404.181.000 atau
mengalami perkembangan sebesar 9.38 %, tahun 2004 sebesar Rp. 6.603.156.500
atau mengalami perkembangan sebesar 3,10 %, kemudian pada tahun 2005
mengalami kenaikan sebesar Rp. 7.071.901.100 atau mengalami perkembangan
sebesar 7,09 %. ( Anonim, 2005 : 423 )
Pembangunan yang yang akan dilaksanakan tersebut diperlukan adanya
suatu penyusunan perencanaan yang sistematis, khususnya sumber-sumber
keuangan daerah yang tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara daerah. Sumber pendapatan daerah diartikan secara luas bukan saja
penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat yang dalam praktek biasa bagi
hasil pungut daerah atau subsidi langsung kepada daerah untuk keperluan tertentu,
tetapi juga penerimaan yang berasal dari pemerintah itu sendiri atau pendapatan
asli daerah sendiri. (Rimu, 1992 : 20)
Perbandingan antara pajak hiburan dengan retribusi parkir adalah sebagai
berikut :
1. Pajak Hiburan adalah pungutan daerah atas penyelenggaraan hiburan,
hiburan adalah semua jenis pertunjukkan, permainan, permainaan
ketangkasan dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun yang
2. Retribusi parkir adalah pungutan yang dikenakan atas penyediaan jasa
pelayanan parkir bagi kendaraan angkutan orang atau barang yang
memanfaatkan parkir di tepi jalan umum atau tempat khusus parkir.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka salah satu usaha yang dapat
meningkatkan pendapatan kota Surabaya diusahakan bersumber dari pajak
hiburan dan retribusi parkir yang perlu terus ditingkatkan.
Dengan demikian, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih tentang
pengaruh Pendapatan Perkapita, Tingkat Inflasi dan Jumlah Tempat Hiburan
terhadap penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya maka
perumusan masalah yang diuraikan adalah sebagai berikut :
1. Adakah pengaruh antara Pendapatan Perkapita, Tingkat Inflasi dan Jumlah
Tempat Hiburan terhadap penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir
di Kota Surabaya ?
2. Manakah dari ketiga variabel yang paling dominan pengaruhnyaterhadap
penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir di Kota Surabaya ?
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh Pendapatan Perkapita, Tingkat
Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir di Kota Surabaya baik secara simultan
maupun parsial.
2. Untuk mengetahui manakah dari ketiga variabel yang paling dominan
pengaruhnya terhadap Pajak Hiburan dan Retribusi Parkir di Kota
Surabaya.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk
digunakan :
1. Sebagai bahan informasi mengenai faktor-faktor yang menentukan
penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di kota Surabaya
2. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang mengadakan penelitian
berkaitan dengan masalah tersebut.
3. Sebagai bahan informasi dan pertimbangan yang diharapkan dapat
2.1. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai Pajak Hiburan telah banyak dilakukan oleh banyak
peneliti dari berbagai pihak dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda.
Penulis memperoleh informasi kepustakaan dari penelitian sebelumnya
yang berhubungan dengan Pajak Hiburan, yaitu oleh:
Agustyarini (2003) dengan judul penelitian : “Analisis Beberapa Faktor
Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Hiburan Sebagai Salah Satu Pendapatan Daerah di Kotamadya Surabaya.” Variabel bebas yang digunakan
adalah Jumlah Penduduk, Pendapatan Perkapita, Tingkat Inflasi. Dari hasil
analisis pengujian secara simultan dapat disimpulkan bahwa Jumlah Penduduk
(X1),Pendapatan Perkapita (X2), Tingkat Inflasi (X3) berpengaruh secara
signifikan terhadap penerimaan Pajak Hiburan di Kotamadya Surabaya.
Sedangkan secara parsial dapat disimpulkan bahwa Jumlah Penduduk (X1) dan
Pendapatan Perkapita (X2) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pajak
Hiburan dan menunjukkan hubungan positif, sedangkan variabel Tingkat Inflasi
(X3) tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pajak Hiburan dan
menunjukkan hubungan negatif (berbanding terbalik).
Saputra (2006) dengan judul penelitian : “Analisis Beberapa Faktor
Yang Mempengaruhi Penerimaan Pajak Hiburan Sebagai Salah Satu Pendapatan Daerah di Kota Surabaya.” Variabel bebas yang digunakan adalah
Tingkat Partisipasi Kerja, Pendapatan Perkapita, Tempat Hiburan. Dari hasil
analisis pengujian secara simultan dapat disimpulkan bahwa Tingkat Partisipasi
Kerja (X1), Pendapatan Perkapita (X2), Tempat Hiburan (X3) berpengaruh secara
signifikan terhadap penerimaan Pajak Hiburan di Kota Surabaya. Sedangkan
secara parsial dapat disimpulkan bahwa Tingkat Partisipasi Kerja (X1) tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap Pajak Hiburan dan menunjukkan
hubungan negatif, sedangkan variabel Pendapatan Perkapita (X2) dan Tempat
Hiburan (X3) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap Pajak Hiburan dan
menunjukkan hubungan positif. Hal ini berarti dengan meningkatnya pendapatan
perkapita Surabaya mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi atau
menggunakan tempat hiburan.
Penulis memperoleh informasi kepustakaan dari penelitian sebelumnya
yang berhubungan dengan Retibusi Parkir, yaitu oleh:
Inayati (1994) dengan judul penelitian “Beberapa Faktor Yang
Berpengaruh Terhadap Penerimaan Retribusi Parkir di Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya”. Variabel bebas yang digunakan adalah Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
dan Jumlah Kendaraan Bermotor. Dari hasil analisis pengujian secara simultan
dapat disimpulkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) (X1),
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (X2) dan Jumlah Kendaraan Bermotor
(X3) berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Retribusi Parkir di
Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya. Sedangkan secara parsial disimpulkan
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan Retribusi Parkir di
Daerah Tingkat II Kotamadya Surabaya dan mempunyai hubungan positif.
Hartanti (1996) dengan judul penelitian “Faktor-faktor Yang
Mempengaruhi Penerimaan Retribusi Pasar di Kabupaten Sidoarjo”.
Variabel bebas yang digunakan adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB),
Jumlah Pedagang, dan Jumlah Petugas Pemungut Retribusi. Dari hasil analisis
pengujian secara simultan dapat disimpulkan bahwa Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) (X1), Jumlah Pedagang (X2), dan Jumlah Petugas Pemungut
Retribusi (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan Retribusi Pasar
di kabupaten Sidoarjo. Sedangkan secara parsial disimpulkan bahwa variabel
PDRB (X1) dan Jumlah Petugas Pemungut Retribusi (X3) berpengaruh secara
signifikan terhadap penerimaan Retribusi Pasar di kabupaten Sidoarjo. Sedangkan
variabel Jumlah Pedagang (X2) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
penerimaan Retribusi Pasar di kabupaten Sidoarjo.
Selain itu penelitian terdahulu juga di dapat dari berbagai jurnal, antara
lain sebagai berikut :
Riduansyah (2003) dengan judul penelitian ”Kontribusi Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah Terhadap Pendapatan Asli (PAD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Guna Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Kasus Pemerintah Daerah Kota Bogor)”. Dalam
penelitian tersebut tidak dicantumkan variabel apa yang akan digunakan.
Sofwani, Wahab, Fuad (1997) dengan judul penelitian “Mobilisasi
Pembangunan Daerah (Studi di Kabupaten Muara Enim)” Dalam penelitian
tersebut tidak dicantumkan variabel apa yang akan digunakan.
Penelitian yang diteliti sekarang berbeda dengan penelitian yang terdahulu
dimana terdapat persamaan dan perbedaan dengan penelitian-penelitian yang akan
dilakukan. Persamaan tersebut terletak pada variabel terikat yaitu penerimaan
pajak hiburan dan retribusi parkir, sedangkan perbedaanya adalah waktu, tempat,
masalah, dan beberapa variabel yang menjadi obyek penelitian. Perbedaan antara
variabel sebagai berikut:
a) Penelitian sekarang menggunakan variabel pendapatan perkapita, tingkat
inflasi, dan jumlah tempat hiburan.
b) Variabel yang digunakan pada penelitian terdahulu antara lain tingkat
partisipasi angkatan kerja, produk domestik regional bruto (PDRB), jumlah
kendaraan bermotor, dan jumlah penduduk.
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Pengertian Pajak
Pandiangan (2002 : 19) mendefinisikan Pajak adalah pembayaran
(pengalihan) sebagian harta kekayaan yang dimiliki oleh masyarakat yang dapat
dipaksakan berdasarkan undang-undang, namun pembayarnya tidak mendapatkan
suatu balas jasa secara langsung, untuk digunakan membiayai pengeluaran negara
guna meningkatkan kualitas masyarakatnya.
Mardiasmo (2003 : 1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan
untuk membayar pengeluaran umum.
Saragih (2003 : 61) pajak merupakan iuran wajib yang dapat dipaksakan
kepada setiap orang (wajib pajak) tanpa kecuali. Ditegaskan pula bahwa hasil dari
pajak daerah ini diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan daerah.
Suparmoko (2000 : 94) dalam bukunya Keuangan Negara dalam teori dan
praktek menyatakan bahwa pajak adalah pembayaran iuran oleh rakyat kepada
pemerintah yang dapat dipaksakan dengan tanpa balas jasa yang secara langsung
dapat ditunjuk.
Meskipun pendapat dari para ahli diatas berbeda-beda, maka dapat
disimpulkan pengertian pajak adalah sebagai berikut :
A. Pajak yang dipungut oleh negara berdasarkan atau dengan kekuatan
Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya.
B. Dalam pembayarannya pajak tidak dapat ditunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah (tidak ada hubungan langsung
antara pembayaran pajak dengan kontraprestasi individual).
C. Pajak dipungut disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu pada seseorang.
D. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pembayaran pemerintah, sehingga
tujuan utama pajak sebagai keuangan negara.
E. Pajak dipungut oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
2.2.1.1. Jenis-jenis Pajak
Menurut Waluyo dan Wirawan, 2002 : 11 Pengelompokan pajak dapat
didasarkan atas sifat-sifat tertentu yang terdapat dalam masing-masing pajak.
A. Pembagian Berdasarkan Golongan
1. Pajak Langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib
pajak yang bersangkutan sebagai contoh: Pajak Penghasilan
2. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat
dilimpahkan ke pihak lain, sebagai contoh: Pajak Pertambahan
Nilai.
B. Pembagian Berdasarkan Pemungutannya
1 Pajak Negara atau Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang penyelenggaraan pemungutannya di
daerah-daerah, dilakukan oleh kantor pelayanan pajak setempat
dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan Rumah Tangga Negara
pada umumnya, misalnya : Pajak Penghasilan, Pajak Ekspor, Pajak
Minyak Bumi.
2 Pajak Daerah adalah pajak yang wewenang pemungutannya berada pada Pemerintah Daerah, baik Tingkat Propinsi, Kabupaten dan
Kotamadya yang hasil pemungutannya digunakan untuk
Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Reklame, Pajak Tontonan, Pajak
Radio, Bea Balik Nama.
C. Pembagian Berdasarkan Sifatnya
1. Pajak yang bersifat perorangan (Subyektif) adalah pajak-pajak
yang pemungutannya berpangkal pada diri orangnya (subyeknya),
keadaan diri wajib pajak mempengaruhi besar kecilnya jumlah
pajak yang harus dibayar. Daya pikul dari wajib pajak diukur
dengan memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak
Pendapatan dan Pajak Kekayaan.
2. Pajak yang bersifat kebendaan (Obyektif) adalah pajak-pajak yang pemungutannya berpangkal pada obyeknya dan pajak tersebut
dipungut karena keadaan perbuatan dan kejadian yang dilakukan
atau terjadi dalam wilayah negara Indonesia dengan tidak
mengindahkan kediaman atau sifat subyeknya. Contoh: Pajak
Perseroan, Bea Naterai, Pajak Rumah Tangga.
2.2.1.2. Fungsi Pajak
Penarikan pajak yang dilakukan pemerintah pada dasarnya mempunyai
dua fungsi pokok, yaitu:
1. Fungsi Penerimaan (Budgeter)
Adalah sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan
pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Contoh: Dimasukkannya pajak
2. Fungsi Mengatur (Reguler)
Adalah alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial
dan ekonomi, atau fungsi pengatur ini banyak ditujukan terhadap sektor
swasta. Contoh: Dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman
keras sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan. (Waluyo dan
Wirawan, 2002 : 8-9) 2.2.1.3.Tarif Pajak
Jenis pajak dapat mempengaruhi jenis tarif pajak yang akan ditetapkan.
Dan umumnya setiap jenis pajak mempunyai tarif pajak yang berbeda dengan
jenis pajak yang lain.
Pada dasarnya terdapat empat jenis tarif pajak, yaitu :
1. Tarif Pajak Proporsional
Adapun yang dinamakan tarif pajak proporsional adalah suatu tarif yang
menggunakan prosestase yang tetap (tidak berubah), berapapun jumlah
dasar pengenaan pajaknya.
2. Tarif Pajak Progresif
Tarif pajak progresif adalah suatu tarif bertingkat atau berlapis, yang
dinyatakan dalam prosentase dan persentasenya akan makin besar atau
makin tinggi apabila jumlah dasar pengenaan pajaknya makin besar.
3. Tarif Pajak Degresif
Yang dimaksud tarif pajak degresif adalah suatu tarif pajak yang
persentasenya makin kecil apabila jumlah dasar pengenaan pajaknya
4. Tarif Pajak Tetap
Yang dimaksud tarif pajak tetap adalah suatu tarif pajak yang besarnya
tetap (biasanya langsung dinyatakan dalam nilai uang) berapapun besarnya
dasar pengenaan pajak. (Pandiangan, 2003 :20-26).
2.2.1.4. Prinsip Pajak
Dalam pengenaan pajak tersebut, prinsip-prinsip perpajakan yang paling
terkenal adalah dikemukakan oleh Adam Smith, yang biasa disebut dengan
“Smith Canons” yaitu :
1. Prinsip Kesamaan atau Keadilan (Equality)
Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada
orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak
dan sesuai dengan manfaat yang diterima.
2. Prinsip Kepastian (Certainty)
Artinya pengenaan pajak harus jelas, tegas, dan pasti. Peraturan pajak
hendaknya dibuat sederhana sehingga mudah dimengerti oleh wajib pajak
dan akan mempermudah administrasi pemerintah.
3. Prinsip Kecocokan atau kelayakan (Convenience)
Artinya bahwa pemungutan pajak hendaknya jangan sampai terlalu
menekan wajib pajak, dengan kata lain harus disesuikan dengan keadaan
4. Prinsip Ekonomi (Economy)
Artinya secara ekonomi biaya pemungutan dan biaya pemenuhan
kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin,
demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak. (Waluyo dan Wirawan,
2002 : 8-9)
2.2.1.5 . Teori Pemungutan Pajak
Atas dasar apakah negara mempunyai hak untuk memungut pajak, terdapat
beberapa teori yang menjelaskan justifikasi pemberian hak kepada negara untuk
memungut pajak. Menurut Mardiasmo (2003 : 3-4) teori tersebut antara lain
adalah :
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harga benda, dan hak-hak rakyatnya.
Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang diibaratkan sebagai suatu
premi asuransi karena memperoleh jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat di dasarkan pada kepentingan
(misalnya perlindungan) masing-masing orang. Semakin besar kepentingan
seseorang terhadap negara, makin tinggi pajak yangharus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya pajak harus
dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang. Untuk mengukur
Unsur Obyektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau
kekayaan yang dimiliki seseorang.
Unsur Subyektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan
materiil yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan
negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti, rakyat harus selalu
menyadari bahwa pemungutan pajak adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya
memungut pajak berarti menarik daya beli dari rumah tangga masyarakat
untuk rumah tangga negara. Selanjutnya negara akan menyalurkan kembali
ke masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat.
2.2.2. Pajak Daerah 2.2.2.1. Pengertian Daerah
Dalam pokok-pokok pemerintahan Daerah, yang dimaksud daerah
otonom yang selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas daerah tertentu yang berhak, berwenang dan
berkwajiban mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
A. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam daerah
Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah kota yang bersifat otonom.
B. Daerah Propinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administratif.
2.2.2.1.1. Pembangunan Daerah
Pembangunan daerah dapat diartikan sebagai semua kegiatan
pembangunan yang ada atau dilakukan didaerah yang unsurnya terdiri dari :
1 Kegiatan dan proyek pembangunan nasional yang ada didaerah itu ;
2 Kegiatan dan proyek pembangunan daerah itu sendiri diluar yang telah
direncanakan oleh pemerintah pusat.
Sasaran pembangunan daerah yang diinginkan adalah berkembangnya
otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab dititik
beratkan pada daerak Kabupaten / Kota, meningkatnya kemandirian dan
kemampuan daerah dalam merencanakan dan mengelola pembangunan didaerah
dan makin terkoordinasinya pembangunan antar sektor dan antar daerah serta
antar pembangunan sektoral dengan pembangunan daerah.
Masalah pokok pembangunan daerah terletak pada penekanan-penekanan
kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang
bersangkutan (endegeoneous development) dengan menggunakan potensi sumber
daya manusia, kelembagaan, dan sumber daya fisik secara lokal (daerah).
Orientasi ini mengarahkan pada pengambilan inisiatif yang berasal dari daerah
dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja dan merangsang
peningkatan kegiatan ekonomi. Terdapat 2 teori mengenai konsep pembangunan
1 Konsep pembangunan dari atas (top-down planning).
Teori ini mengatakan bahwa timbulnya pembangunan itu karena adanya
dorongan dari luar dan tuntutan inovasi. Dengan melalui beberapa kelompok
sektoral yang dinamis atau kelompok geografis, pembangunan diharapkan
dapat merembes ke daerah-daerah sekitarnya, baik merata spontan maupun
secara diarahkan. Konsep pembangunan ini memerlukan pengaruh dari
pemerintah pusat, dan perencanaanya dilakukan dari atas kebawah.
(Sjafrizal, 1997 : 41)
2 Konsep pembangunan dari bawah (bottom-up planning).
Konsep ini didasarkan pada mobilitas maksimal sumber-sumber daya alam,
sumber daya manusia, kelembagaan yang tujuan utamanya adalah pemenuhan
kebutuhan pokok bagi masyarakat daerah itu. Adapun wujud
pembangunannya adalah proyek-proyek kecil dengan system padat karya
(labor intensive system), menggunakan teknologi tepat guna dan
potensi-potensi daerah itu sendiri, perencanaan pembagunannya dilakukan dari
bawah. (Sjafrizal, 1997 : 40)
2.2.2.2. Pengertian Pajak Daerah
Dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, yang dimaksud Pajak Daerah yang selanjutnya disebut pajak,
adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah
tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan
penyelenggaran Pemerintahan Daerah dan Pembangunan Daerah. (Anonim, 1999
: 20)
Saragih ( 2003 : 61) pajak daerah merupakan iuran wajib yang dapat
dipaksakan kepada setiap orang (wajib pajak) tanpa kecuali. Ditegaskan pula
bahwa hasil dari pajak daerah ini diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintah
dan pembangunan daerah.
Menurut Suandy (2000 : 29) pembagian administratif daerah maka pajak
daerah dapat digolongkan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:
1) Pajak Provinsi.
Macam atau jenisnya adalah:
A) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
B) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
C) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
D) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan
2) Pajak Kabupaten / Kota.
Macam atau jenisnya adalah:
A) Pajak Hotel
B) Pajak Restoran
C) Pajak Hiburan
D) Pajak Reklame
F) Pajak Parkir
2.2.2.3. Ruang Lingkup Pajak Daerah
Lapangan pajak Daerah hanya terbatas pada lapangan pajak yang
belum digunakan oleh Negara (pusat). Misalnya, pajak atas pendapatan tidak
boleh dipungut oleh daerah karena sedah dipungut negara. Sebaliknya, negara
juga tidak boleh memungut pajak yang telah dipungut daerah.
Selain itu , terdapat ketentuan bahwa pajak dari daerah yang lebih
rendah tingkatannya tidak boleh memasuki lapangan pajak dari Daerah yang
lebih tinggi tingkatannya
2.2.2.4. Sumber-sumber Keuangan Daerah di kota Surabaya
Dalam menunjang daripada pembangunan dan keberhasilan baik dari
program-program yang telah ada bagi kepentingan umum.
Adapun sumber-sumber dari penerimaan negara antara lain :
1. Hasil-hasil perusahaan daerah adalah : PDAM, yang tarifnya sangat
disesuaikan dengan kepentingan umum, tidak semata-mata untuk
mengejar keuntungan.
2. Hasil-hasil barang milik pemerintah atau yang dikuasai oleh
pemerintah.
3. Denda-denda dari perampasan untuk kepentingan umum.
4. Hak-hak waris atau harta peninggalan terlantar, harta waris yang tidak ada
5. Hibah, wasiat suatu sumber keuangan daerah yang paling menentukan dari sektor pajak (Nasution, 1996 : 20)
2.2.2.5. Sumber-sumber Pendapatan Daerah
Menurut Siahaan (2005 : 14) Sumber-sumber pendapatan daerah yaitu :
A. Pendapatan Asli Daerah sendiri, yang terdiri dari :
1. Hasil Pajak Daerah ;
2. Hasil Retribusi Daerah ;
3. Hasil Perusahaan Daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
lainnya, yang dipisahkan antara lain bagian laba, deviden, dan
penjualan saham milik daerah;
4. Lain-lain pendapatan asli daeah yang sah, antara lain hasil penjualan
asset tetap daerah dan jasa giro.
B. Pendapatan yang berasal dari dana perimbangan, yaitu dana yang
bersumber dari penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk
membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
C. Pinjaman Daerah, yaitu semua transaksi yang mengakibatkan daerah
menerima sejumlah uang atau manfaat bernilai uang dan pihak lain
sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
D. Lain-lain penerimaan yang sah, antara lain hibah atau penerimaan dari
daerah Propinsi atau daerah Kabupaten / Kota lainnya, dana darurat, dan
2.2.3. Pajak Hiburan Sebagai Komponen Pajak Daerah 2.2.3.1. Pengertian Pajak Hiburan
Pajak Hiburan adalah merupakan salah satu Pajak Daerah Tingkat II
yang dikenakan kepada semua lapisan penyelenggaran hiburan. Hiburan
adalah segala jenis pertunjukan, permainan dan atau keramaian dengan nama
dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan
dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolah raga.
Yang dimaksud pembayaran disini adalah jumlah uang yang dibayarkan
sebagai suatu tanda yang akan dipergunakan untuk menonton, mengunjungi,
atau menikmati sesuatu atau tontonan dan hiburan yang diselenggarakan.
Pengenaan Pajak hiburan tidak ada mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten
atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang
diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk mengenakan atau
tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota. Mengingat kondisi
kabupaten dan kota di Indonesia tidak sama, termasuk dalam hal jenis hiburan,
maka Pemerintah Daerah setempat harus megeluarkan peraturan daerah
tentang Pajak Hiburan yang akan menjadi landasan hokum operasional dalam
teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan Pajak Hiburan di daerah
kabupaten atau kota setempat. (Siahaan, 2005 : 297)
Dari pengertian diatas dan batasan mengenai hiburan atau tontonan,
maka definisi Pajak Hiburan dapat diringkas sebagai berikut:
B) Pajak Hiburan termasuk pajak tidak langsung yaitu pajak yang
dipungut tidak secara periodik dan pembayarannya dapat dilimpahkan
kepada orang lain atau penanggung pajak.
C) Pajak Hiburan adalah pajak yang dikenakan atas pertunjukan dan
keramaian yang pelaksaannya dapat dipaksakan.
2.2.3.2. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hiburan
Dasar hukum pemungutan Pajak Hiburan pada suatu kabupaten atau kota
adalah sebagai berikut :
1) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
3) Peraturan Daerah Kabupaten / Kota yang mengatur tentang Pajak Hiburan.
4) Keputusan Bupati / Walikota yang mengatur tenteng Pajak Hiburan
sebagai aturan pelaksanan peraturan daerah tentang Pajak Hiburan pada
kabupaten / Kota tersebut. (Siahaan, 2005 : 299)
2.2.4. Retribusi Parkir
2.2.4.1. Definisi Retribusi Parkir
Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 pasal 1, Retribusi
parkir adalah pungutan yang dikenakan atas penyediaan jasa pelayanan parkir
bagi bagi kendaraan angkutan orang atau barang yang memanfaatkan parkir di
tepi jalan umum atau tempat khusus parkir. Bahwa pungutan disini didasarkan
ditunjukkan kepada wajib bayar, karena disini harus ada pemberian jasa yang
nyata, maka pemerintah daerah harus mendahulukan jasa itu supaya ada dasar
atau alasan pungutan. (Anonim, 1998 : 5)
Dalam retribusi, yang dimaksud jasa adalah pelayanan riil yang dapat
menambah kesejahteraan atau melancarkan usaha bagi mereka yang
memerlukan, sedangkan retribusi daerah yang ada di daerah kota adalah
sebagai berikut :
A) Uang Leges
B) Uang Dispensasi Jalan atau Jembatan
C) Uang Penambangan atau Penyebrangan
D) Uang Sewa Tanah atau Bangunan
E) Uang Pemeriksaan atau Pembantaian
F) Uang Sepadan atau Izin Bangunan
G) Pemberian Izin Perusahaan Perindustrian Kecil
H) Uang Atas Pemakaian Tanah
I) Jembatan Timbang
J) Uang Terminal (Bus, Non bus, Taxi)
K) Rumah Sakit dan Balai Pengobatan
L) Tempat Rekreasi
M)Pasar
N) Pesanggrahan, Losmen, Hotel
O) Pemeriksaan Susu
Q) Sampah atau kebersihan lainnya
R) Sewa rumah, Gedung, Kost, Pondokan, Asrama
S) Pengeluaran Hasil Ternak dan Unggas
T) Agen Pariwisata dan Biro Perjalanan
U) Administrasi KTP, Surat Jalan, Akte Kelahiran
V) Penerbitan Sertifikat Tanah atau dari Agraria
W)Usaha retribusi Kaki Lima.(Anonim, 1999 : 54)
Dari pengertian diatas dan batasan mengenai parkir, maka definisi
Retribusi Parkir dapat diringkas sebagai berikut:
A) Retribusi Parkir termasuk lapangan Pajak Daerah
B) Retribusi Parkir termasuk pajak tidak langsung yaitu pajak yang dipungut tidak secara periodic dan pembayarannya dapat dilimpahkan kepada orang
lain atau penanggung pajak.
C) Retribusi Parkir adalah pungutan yang dikenakan atas penyediaan jasa pelayanan parkir bagi bagi kendaraan angkutan orang atau barang yang
memanfaatkan parkir di tepi jalan umum atau tempat khusus parkir.
2.2.4.2. Penggolongan Retribusi Parkir
Dasar hukum dari retribusi parkir adalah Perda No. 4 Th. 1990.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas tentang retribusi daerah. Jadi, yang
dimaksud dengan retribusi parkir adalah pembayaran atau imbalan jasa atas
penggunaan tempat-tempat parkir yang dikelola oleh pemerintah daerah.
ditentukan dan dijanjikan oleh kepala daerah sebagai wilayah atau fasilitas
umum tempat parkir. Tempat parkir dibagi menjadi :
1. Tempat parkir umum adalah tempat untuk memarkir kendaraan meliputi
jalan pelataran parkir lingkungan parkir, gedung parkir yang disediakan
oleh pemerintah.
2. Tempat parkir khusus adalah tempat untuk memarkir kendaraan meliputi pelataran parkir dan gedung parkir disediakan oleh swasta atau instansi
bukan pemerintah daerah. (Anonim, 1993 : 58)
2.2.4.3. Hambatan yang dihadapi dalam pemungutan retribusi parkir di Kota Surabaya
Keberhasilan pemerintah kota Surabaya dalam meningkatkan
penerimaan pendapatan daerahnya dapat dikatakan sangat mengembirakan
karena selalu terdapat peningkatan dari tahun ke tahun. Keadaan yang
demikian ini bukan berarti usaha yang dilakukan oleh pemerintah Kota
Surabaya tidak menemui hambatan dan rintangan sama sekali. Pemerintah
daerah kotamadya Surabaya menghadapi berbagai hambatan dalam usahanya
meningkatkan penerimaan daerahnya, dalam hal ini retribusi parkir. Hambatan
tersebut antara lain :
A. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar retribusi parkir
khususnya penggunan parkir. Ini disebabkan kurangnya pengertian
masyarakat tentang fungsi retribusi parkir yang masuk Pendapatan Asli
B. Sanksi atas penyimpangan pelaksanaan pemungutan retribusi parkir yang
telah ditentukan menurut peraturan perundang-undangan seringkali sulit
dilaksanakan karena berbagai hal, antara lain :
1 Kurangnya tenaga atau personel pelaksanaan dan pengawasan
2 Kurangnya sarana dan prasarana yang menunjang pelaksanaan
pungutan retribusi parkir
3 Kurang baiknya pelayanan yang diberikan oleh para petugas parkir
sehingga dapat menimbulkan keengganan pada masyarakat atau
menimbulkan sikap negatif
4 Biaya pemungutan lebih besar dari nilai yang telah ditentukan bila dibandingkan dengan hasil yang diharapkan. (Anonim, 1993 : 55)
2.2.5. Pendapatan Perkapita
2.2.5.1. Pengertian Pendapatan Perkapita
Dalam segi perekonomian factor-faktor produksi dibedakan menjadi
empat golongan yaitu : tanah, tenaga kerja, modal, skill, apabila keempat
factor produksi tersebut digunakan dalam proses produksi akan diperoleh
pendapatan, yaitu tanah dan harta tetap lainnya memperoleh sewa, tenaga
kerja memperoleh upah/gaji, modal mendapatkan bunga, dan keahlian atau
skill.
Asumsi yang ada pada masyarakat mengenai pendapatan adalah
jumlah seluruh uang yang diterima oleh seseorang atau rumah tangga selama
berupa gaji dan upah, yang diterima oleh para pekerja sebagai
kompensasi atas pekerjaan yang telah dilakukannya dan dapat dipergunakan
untuk konsumsi. (Samuelson, 1993 : 258)
Pendapatan penting bagi setiap orang dalam usaha memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, semakin tinggi pendapatan seseorang maka
banyak pula kebutuhan hidup sehari-hari yang dapat terpenuhi. Oleh karena
itu sering negara berusaha meningkatkan pendapatan masyarakat karena
secara tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan nasional, karena
pendapatan nasional sampai sekarang ini tetap dianggap sebagai penyebab
politik ekonomi. Salah satu tujuan masyarakat dan negara kita dibidang
perekomian adalah keadilan dan kemakmuran untuk mencapai tujuan tersebut
kita membuat rencana dan melaksanakan pembangunan berjangka,
factor-faktor yang mempengaruhi tingginya kemakmuran dapat dilihat dari sector
pendapatan negara. Pendapatan nasional merupakan salah satu cara mengukur
kemakmuran suatu negara atau wilayah tertentu. Oleh sebab itu cara-cara
untuk meningkatkan kemakmuran negara adalah menaikkan pendapatan
nasional dan pendapatan perkapita.
Pendapatan perkapita seringkali digunakan pula sebagai indicator
pembangunan, selain untuk membedakan antara negara-negara maju dan
Negara Sedang Berkembang. (Anonim,1994 : 23)
Yang dimaksud dengan pendapatan perkapita adalah pendapatan
membagi jumlah total produksi barang dan jasa yang dihasilkan penduduk
atau dapat dirumuskan sebagai berikut :
Pendapatan Perkapita Penduduk =
Penduduk Jumlah
PDRB
(Sukirno, 1993 : 23)
Dimana :
PDRB (Produk Domesrik Regional Bruto) adalah total nilai produksi barang
dan jasa yang diproduksi suatu wilayah tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Jumlah penduduk adalah banyaknya jumlah yang menetap di suatu wilayah
atau daerah tertentu selama minimal 60 hari berturut-turut atau berada di suatu
wilayah dalam jangka waktu yang lama atau tidak dapat ditentukan.
Dari pengertian diatas, maka kesimpulan dari pendapatan perkapita
adalah sebagai berikut:
A) pendapatan perkapita adalah pendapatan rata-rata setiap jiwa dalam satu wilayah atau daerah
B) Pendapatan perkapita penting bagi setiap orang dalam usaha memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, semakin tinggi pendapatan seseorang maka
banyak pula kebutuhan hidup sehari-hari yang dapat terpenuhi. Oleh
karena itu sering negara berusaha meningkatkan pendapatan masyarakat
karena secara tidak langsung akan mempengaruhi pendapatan nasional,
karena pendapatan nasional sampai sekarang ini tetap dianggap sebagai
2.2.5.2. Fungsi Pendapatan Perkapita
Tingkat perkembangan pendapatan perkapita yang dicapai sering kali
digunakan sebagai ukuran tingkat kesejahteraan suatu negara dalam mencapai
cita-cita untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang pesat.
Disamping itu, pendapatan perkapita mempunyai beberapa kegunaan lain.
Dua diantara lainnya yang penting adalah :
1 Untuk membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat
2 Untuk membandingkan laju perkembangan ekonomi yang dicapai oleh
berbagai negara di dunia ini dari masa ke masa.
Dalam menggunakan data pendapatan perkapita sebagai bahan untuk
menjadi dasar perbandingan tingkat kesejahteraan masyarakat dan lajunya
pembangunan ekonomi berbagai negara, nilai pendapatan perkapita tidak lagi
dinyatakan dalam nilai mata uang negara itu sendiri, tetapi dinyatakan dalam
mata uang dollar Amerika Serikat, dan selalu digunakan nilai tukar resmi diantara
mata uang negara yang bersangkutan dengan dollar Amerika Serikat tersebut.
Data pendapatan perkapita dari berbagai negara yang telah dinyatakan dalam
Dollar Amerika Serikat tersebut selanjutnya diperbandingkan untuk menunjukkan
perbedaan tingkat kesejahteraan ekonomi diantara penduduk negara-negara
tersebut. Kalau yang diinginkan adalah membandingkan tingkat laju
pembangunan ekonomi pada suatu jangka waktu tertentu. Untuk setiap negara
paling sedikit harus tersedia data pendapatan perkapita dari tahun permulaan dan
2.2.6. Tingkat Inflasi 2.2.6.1. Definisi Inflasi
Nopirin (2000 : 25) definisi sederhana mengenai inflasi dinyatakan
bahwa inlasi merupakan proses kenaikan harga-harga umum barang-barang
secara terus menerus selama periode tertentu. Apabila kenaikan yang terjadi
hanya sekali saja (meskipun dengan persentase yang cukup besar) atau pada
suatu saat tertentu dan hanya sementara belum tentu menimbulkan inflasi.
Boediono (2001 : 155), Inflasi adalah Kecenderungan dari
harga-harga untuk naik secara terus menerus.
Dari pengertian diatas tersebut, maka dapat disimpulkan pengertian
inflasi adalah sebagai berikut:
A) Inflasi adalah proses kenaikan harga-harga umum barang-barang
secara terus menerus selama periode tertentu.
B) Inflasi menimbulkan tingkat bunga meningkat dan mengurangi
investasi. Dengan adanya inflasi, maka tingkat bunga meningkat,
sehingga akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan menurun.
Faktor-faktor yang dapat mendorong kenaikan harga dan
menimbulkan inflasi antara lain :
1. Pemerintah terlalu berambisi untuk menyerap sumber-sumber ekonomi
lebih besar daripada sumber-sumber ekonomi yang dapat dilepaskan
2. Masyarakat berusaha memperoleh tambahan pendapatan relatif lebih
besar daripada kenaikan produktifitas mereka.
3 Permintaan barang-barang dan jasa naik lebih cepat daripada
tambahan keluaran (output).
4 Adanya kebijakan pemerintah baik yang bersifat ekonomi atau non
ekonomi yang mendorong kenaikan harga-harga.
5 Pengaruh alam yang dapat mempengaruhi produksi dan kenaikan
harga.
6 Pengaruh inflasi Luar Negeri, ini terlihat melalui pengaruhnya terhadap harga barang-barang impor. (Insukindro 1996 : 2-3)
2.2.6.2. Penggolongan Inflasi
A. Penggolongan yang didasarkan atas besarnya laju inflasi dibagi dalam tiga
kategori :
1. Inflasi Merayap (Creeping Inflation)
Ditandai dengan laju inflasi yang rendah (kurang dari 10 per tahun).
Kenaikan harga berjalan secara lambat, dengan persentase yang kecil
serta dalam jangka relatif lama.
2. Inflasi Menengah (Galloping Inflation)
Ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar (biasanya double
digit atau bahkan triple digit) dan kadang kala berjalan dalam waktu
harga-harga minggu/bulan ini lebih tinggi dari minggu/bulan lalu dan
seterusnya.
3. Inflasi Tinggi (Hyper Inflation)
Merupakan inflasi yang paling parah akibatnya. Masyarakat tidak
lagi berkeinginan untuk menyimpan uang. Nilai uang merosot dengan
tajam sehingga ingin ditukarkan dengan barang. Pertukaran uang
makin cepat dan harga naik secara akselerasi. Biasanya keadaan ini
timbul akibat pemerintah mengalami defisit anggaran belanja yang
ditutupi dengan mencetak uang. (Nopirin, 2000 : 27)
B. Penggolongan yang didasarkan atas parah tidaknya inflasi tersebut, dibagi
dalam beberapa macam inflasi, yaitu :
1. Inflasi Ringan (dibawah 10% per tahun)
2. Inflasi Sedang (antara 10-30% per tahun)
3. Inflasi Berat (antara 30-100% per tahun)
4. Hyperinflasi (diatas 100% per tahun)
C. Macam inflasi berdasarkan asal inflasi :
1. Domestic Inflation
Adalah inflasi yang berasal dari dalam negeri misalnya karena defisit
anggaran belanja yang biasanya dengan pencetakan uang baru, panen
2. Imported Inflation
Adalah inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi ini timbul karena
kenaikan harga di luar negeri atau di negara-negara langganan
berdagang dalam negeri. (Boediono, 2001 : 158)
D. Jenis inflasi menurut sebabnya, dibedakan menjadi dua macam yaitu :
1.Inflasi Tarikan Permintaan (Demand-pull Inflation)
Inflasi ini timbul karena dalam Negeri (baik masyarakat maupun
pemerintah) akan berbagai barang sangat kuat dan besar, melebihi
keluaran (output) yang ada dalam perekonomian tersebut. Kedaan ini
terjadi misalnya pengeluaran pemerintah meningkat dan dibiayai
dengan pencetakan uang. Kebijakan tersebut akan mengakibatkan
naiknya harga barang-barang dan dengan sendirinya akan
mengakibatkan laju inflasi.
Gambar 2 : Terjadinya Demand Pull Inflation
Harga D2 S
P2 D1
P1 D2
D 1
Q1 Q2 Output
Sumber : Boediono, 2001, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro, Penerbit BPFE UGM,Yogyakarta, Halaman 156.
Sebagaimana dalam gambar perekonomian dimulai pada P1 dan
tingkat output riil dimana (P1,Q1) berada pada perpotongan antara kurva
permintaan D1 dan kurva penawaran S. Kurva permintaan bergeser keluar
D2 pergeseran seperti itu dapat berasal dari faktor kelebihan pengeluaran
permintaan.
Pergeseran kurva permintaan menaikkan output riil (dari Q1 ke Q2)
dan tingkat harga (dari P1 ke P2) maka inilah yang disebut demand pull
inflation (inflasi tarikan permintaan) yang disebabkan penggeseran kurva
permintaan menarik keatas tingkat harga dan menyebabkan inflasi.
2. Inflasi Dorongan Penawaran (Cost push Inflation)
Kenaikan biaya produksi pada gilirannya akan menaikkan harga dan
turunnya produksi. Jika proses ini berjalan terus maka timbullah cost
push inflation. (Nopirin, 2000 :30)
Gambar 3 :Terjadinya Cost Push Inflation
Harga S2
P2 S1
P1
D
Q1 Q2 Output
Pada gambar diatas bahwa bila ongkos produksi naik (misalnya
kenaikan sarana produksi naik dari luar negeri atau karena harga bahan
bakar minyak) maka kurva penawaran masyarakat bergeser dari S1 ke S2,
harga tentu saja naik dan menyebabkan inflasi dorongan biaya.
2.2.6.3. Cara Mengatasi Inflasi
Cara mengatasi inflasi dapat dilakukan melalui beberapa
kebijaksanaan antara lain :
A. Kebijaksanaan Moneter
Sasaran kebijaksanaan moneter di capai melalui jumlah yang beredar.
Uang diatur oleh bank sentral melalui cadangan minimum yang dinaikkan
agar jumlah uang menjadi lebih kecil sehingga dapat menekan laju inflasi.
B. Kebijaksaan Fiskal
Menyangkut pengaturan tentang pengeluaran pemerintah serta perpajakan
yang secara langsung dapat mempengaruhi harga kebijaksanaan fiskal
yang berupa pengurangan, pengeluaran pemerintah serta kenaikkan pajak
akan dapat mengurangi permintaan total sehingga inflasi dapat ditekan.
Pajak di masa inflasi dapat di gunakan untuk mencegah atau menghambat
inflasi, atau dapat digunakan untuk memberikan proteksi terhadap
C. Kebijaksanaan dan yang berkaitan dengan output
Kenaikkan jumlah output dapat dicapai dengan kebijaksanaan penurunan
bea masuk sehingga impor harga cenderung meningkat dan menurunkan
harga, dengan demikian kenaikkan output dapat memperkecil inflasi.
D. Kebijaksanaan penentuan harga dan indexing
Kebijaksanaan ini dilakukan dengan celling harga serta berdasarkan pada
index harga tertentu untuk gaji atau upah. (Anonim, 1999 : 10)
2.2.7. Jumlah Tempat Hiburan 2.2.7.1. Pengertian Tempat Hiburan
Hiburan adalah segala jenis pertunjukan, permainan, dan atau
keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh
setiap orang dengan dipungut bayaran.
Tempat Hiburan merupakan sarana yang disediakan dengan berbagai
jenis hiburan dan fasilitas didalamnya, sesuai dengan yang diinginkan bagi
setiap orang yang membutuhkan hiburan. Atau bisa diartikan suatu tempat
dimana orang atau masyarakat akan memperoleh kesenangan, hiburan untuk
mengisi liburan, menghilangkan kepenatan dan kejenuhan karena kesibukan
Pemerintah provinsi sebagai daerah otonom, telah memberikan
wewenang yang lebih luas kepada Kabupaten / Kota untuk mengatur dan
mengembangkan potensi dan sumber daya yang ada di daerah, termasuk
diantaranya wewenang pengaturan dalam bidang / sector kepariwisataan.
Dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya khususnya Dinas Pariwisata
memiliki tugas sebagai pembina terhadap obyek-obyek wisata di Surabaya
membutuhkan respon balik yang positif dalam mensosialisasikan Peraturan
Daerah dan Surat Keputusan Walikota tentang usaha kepariwisataan.
Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum di Kota Surabaya dari waktu ke
waktu telah menunjukkan perkembangan yang signifikan dengan
bertumbuhnya jumlah tempat-tempat hiburan seperti Karaoke Keluarga,
Karaoke Dewasa, Salon, Acara Musik atau Konser musik Gelanggang
permainan dan lain-lain. Baik secara kualitatif maupun kuantitatif, sehingga
diharapkan dapat berlangsung secara bertahap dan mencapai sasaran yang
optimal. (Anonim, 2004 : 5-6)
2.2.7.2. Subyek Pajak Hiburan
Subyek pajak hiburan dalam arti yang menanggung pajak adalah orang
pribadi atau badan yang menonton atau menikmati hiburan. Secara sederhana
subyek pajak adalah konsumen yang menikmati hiburan. Dengan demikian
setiap konsumen, selain membayar tiket hiburan, diwajibkan pula membayar
2.2.7.3. Obyek Pajak Hiburan
Obyek Pajak Hiburan adalah Penyelenggaraan hiburan atau tempat
hiburan itu sendiri dengan dipungut bayaran.
Obyek Pajak Hiburan meliputi berbagai Jenis Hiburan. Dengan
demikian, Obyek Pajak Hiburan meliputi :
A. Pertunjukan Film;
B. Pertunjukan Kesenian;
C. Pertunjukan Pagelaran;
D. Penyelenggaraan Diskotik, musik hidup, karaoke, klab malam, ruang
musik, balai gita (singing hall), pub, ruang selesa musik, klub
eksekutif, dan sejenisnya.
E. Permainan Bilyard, Bowling;
F. Permainan Ketangkasan, termasuk mesin keping dan sejenisnya;
G. Panti Pijat, mandi uap, usaha Kebugaran jasmani;
H. Pertandingan Olah Raga;
I. Penyelenggaraan tempat-tempat Wisata, taman rekreasi, seluncur,
kolam pemancingan, kolam renang, pasar malam, sirkus dan
sejenisnya;
J. Rental kaset VCD dan sejenisnya;
Pada beberapa daerah, obyek pajak hiburan diperluas menjadi
termasuk pelayanan yang disediakan pada tempat hiburan, termasuk penjualan
makanan dan minuman.
Pada Pajak Hiburan, tidak semua penyelenggaraan hiburan dikenakan
pajak. Yaitu penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti
hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan, upacara adat, dan
kegiatan keagamaan. (Siahaan, 2005 : 300)
Dalam pemungutan Pajak Hiburan, dengan semakin bertambah dan
banyaknya tempat hiburan yang ada di Surabaya, yang menjadi obyek pajak
atau Jumlah Tempat Hiburan yang kena pajak. Maka diharapkan potensi
pemungutan terhadap Pajak Hiburan akan semakin besar pula, yang berarti
bahwa penerimaan pajak untuk Kota Surabaya akan semakin besar, tentu saja
hal tersebut akan menyebabkan pendapatan pajak untuk Kota Surabaya ikut
meningkat.
2.3. Kerangka Pikir
Pajak adalah peralihan kekayaan dari sector swasta ke sector
pemerintah, berdasarkan peraturan-peraturan yang dapat dipaksakan dan
mengurangi income anggota masyarakat yang digunakan untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Titik berat atau fokus pemanfaatan pajak
selalu berbeda dari waktu ke waktu. Reformasi perpajakan tahun 2000
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara periode tahun 2000 dan
seterusnya. ( Soemitro R 1992 : 53)
Penerimaan Pajak Hiburan dapat diartikan sebagai pemasukan
keuangan dari wajib pajak kepada pemerintah daerah yang digunakan sebagai
sumber pembangunan daerah. Penerimaan pajak hiburan diharapkan setiap
tahunnya mengalami peningkatan,karena Pajak Hiburan telah memberikan
sumbangan terbesar bagi penerimaan Pendapatan Daerah. Dimana dalam
penerimaan Pajak Hiburan ini dipengaruhi oleh variabel pendapatan perkapita,
tingkat inflasi dan jumlah tempat hiburan.
Retribusi Parkir adalah pungutan yang dikenakan atas penyediaan jasa
pelayanan parkir bagi bagi kendaraan angkutan orang atau barang yang
memanfaatkan parkir di tepi jalan umum atau tempat khusus parkir. Dimana
dalam penerimaan Retribusi Parkir ini juga dapat dipengaruhi oleh variabel
pendapatan perkapita, tingkat inflasi, jumlah tempat hiburan.
( Anonim, 1998 : 5 )
Dalam penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di kota Surabaya,
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya pendapatan perkapita, tingkat
inflasi, dan jumlah tempat hiburan
Faktor yang pertama adalah pendapatan perkapita, dimana
Pendapatan perkapita seringkali digunakan sebagai ukuran tingkat
kesejahteraan masyarakat. Apabila jumlah pendapatan perkapita meningkat
dan membayar retribusi parkir akan meningkat juga, sehingga pada akhirnya
penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir juga meningkat. (Soemarso,
1998 : 337)
Faktor yang kedua adalah tingkat inflasi, dimana Inflasi adalah
kenaikan harga barang dan jasa secara terus menerus dalam periode tertentu.
Apabila terjadi inflasi maka biaya-biaya umum (harga beras, bahan bakar,
tingkat upah, harga tanah, sewa barang-barang modal dan lain sebagainya)
akan mengalami kenaikan maka penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir
akan menurun, maksudnya kenaikan tingkat inflasi akan mengakibatkan
menurunnya pendapatan riil masyarakat sehingga bila pendapatan riil
menurun maka masyarakat akan cenderung hanya memenuhi kebutuhan
primernya saja, sehingga menyebabkan turunnya penerimaan pajak hiburan
dan retribusi parkir. Sebaliknya apabila inflasi turun maka harga-harga barang
ikut turun, sehingga masyarakat mampu untuk pergi ke tempat hiburan,
tentunya hal ini akan mempengaruhi Penerimaan Pajak Hiburan dan Retribusi
Parkir di Kota Surabaya. (Samuelson, 1993 : 296)
Faktor yang ketiga adalah jumlah tempat hiburan, dimana semakin
banyak dan bertambahnya jumlah, tempat dan jenis hiburan di Daerah atau
Wilayah Kota Surabaya, maka akan mempengaruhi obyek pajak untuk
mengunjungi tempat-tempat hiburan yang akan semakin meningkatkan
potensi penerimaan Pajak Hiburan di daerah Kotamadya Surabaya. Hal ini
tersebut merupakan wajib pajak yang harus memenuhi kewajiban perpajakan
di bidang pajak hiburan. (Siahaan, 2005 : 301)
Gambar 1: Kerangka pikir .
Pendapatan Kemampuan
Apabila jumlah pendapatan perkapita meningkat maka kebutuhan primer
masyarakat dapat terpenuhi, sehingga kemampuan masyarakat untuk
mengunjungi tempat hiburan dan membayar retribusi parkir akan
meningkat juga serta pada akhirnya penerimaan pajak hiburan dan
retribusi parkir di Surabaya juga meningkat.
Apabila inflasi turun akan mengakibatkan naiknya pendapatan riil
masyarakat sehingga kebutuhan primer masyarakat dapat terpenuhi maka
akan meningkatkan penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di kota
Surabaya.
Apabila semakin strategis atau semakin baik suatu tempat hiburan maka
akan semakin banyak atau semakin tertarik orang untuk mengunjunginya.
Karena bila semakin banyak orang yang ingin mengunjungi tempat
hiburan maka akan semakin banyak obyek pajak. Dengan semakin
tingginya obyek pajak tentu akan menambah penerimaan pajak hiburan
dan retribusi parkir di kota Surabaya.
2.4. Hipotesis
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan yang telah dikemukakan diatas
maka dapat dirumuskan hipotesis yang merupakan kesimpulan sementara
terhadap permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Diduga pendapatan perkapita, tingkat inflasi dan jumlah tempat hiburan
berpengaruh terhadap penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di Kota
Surabaya.
2. Diduga variabel pendapatan perkapita mempunyai pengaruh paling dominan
terhadap variabel penerimaan pajak hiburan dan retribusi parkir di Kota
3.1. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Definisi operasional dan pengukuran variabel adalah suatu definisi yang
diberikan kepada variabel dengan cara memberi arti atau spesifikasi kegiatan yang
diperlukan untuk mengukur variabel tersebut. Definisi operasional dan
pengukuran variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :
A. Variabel Terikat (Independent Variable)
1. Y1 Yaitu Penerimaan Pajak Hiburan
Merupakan tingkat penerimaan pajak hiburan Kota Surabaya, dimana
yang dikenakan terhadap semua pembayaran dari sector hiburan,
dimana segala jenis hiburan yang penyelenggaraannya dipungut
bayaran (yang menjadi obyek pajak) sebagai penanggung pajak yang
menyetorkan ke kas Pemereintah Daerah Kota Surabaya. Jumlah
penerimaan pajak hiburan ini dihitung dalam satuan rupiah.
2. Y2 Yaitu Retribusi Parkir
Merupakan pembayaran atau imbalan jasa atas penggunaan
tempat-tempat parkir yang dikelola oleh pemerintah daerah, sedangkan yang
dimaksud dengan tempat parkir disini adalah tempat yang ditentukan
dan diijinkan oleh kepala daerah sebagai wilayah atau fasilitas umum
tempat parkir. Jumlah retribusi parkir ini dihitung dalam satuan rupiah.