PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan runtutan pengkajian dan pemaknaan serta memahami pelaku komunitas pengusaha bordir di Desa Padurenan Kecamatan Gebog-Kabupaten Kudus, dapat disimpulan sebagai berikut:
Pertama, Gus-ji-gang merupakan pengalaman spiritual keagamaan (Islam) sebagai objektivitas atau konkretisasi cara bersikap etis pada tata krama Jawa bermakna spiritual internal yang menjadikan seseorang merasa dalam suatu tatanan keyakinan sebagai dasar cara bersikap etik baik dalam hidup beragama (Islam) maupun sosial-budaya yang mampu memtransformasi spiritualnya secara kompatibel dengan dunia usaha, sehingga pengusaha akan mencapai kesuksesan sebagai etika berbisnis baik bersifat individual (mempribadi) maupun komunal (memasyarakat).
Hal itu menunjukkan pengejawantahan akulturasi antara budaya Arab (agama Islam) dengan budaya Jawa (kearifan lokal) yang
dilakukan oleh Sunan Kudus sebagai “waliyyul ilmi” dan “wali saudagar” dalam melaksanakan dakwah ajaran agama Islam yang
Artinya melakukan kegiatan dagang untuk memenuhi kebutuhan fisik (sandang, pangan dan papan), kemudian baru memenuhi kebutuhan aktualisasi diri dengan menunaikan ibadah haji/kaji. Namun dapat juga sebaliknya yaitu melaksanakan nilai-nilai perilaku “gus” dan “ji’
barulah “gang” yaitu dengan menumbuhkan kesadaran diri dengan
berperilaku “bagus” dan “menunaikan ibadah haji” agar terbangun kekuatan spiritualitas yang tinggi, justru memegang peranan penting dalam memenuhi seluruh kebutuhan melalui kegiatan ekonomi misalnya berdagang, membutuhkan sikap jujur, dipercaya, hubungan timbal balik yang baik, dan bersyukur.
Komunitas pengusaha kecil bordir berbasis keluarga di Kudus di dalam melakukan kegiatan ekonomi selalu didasarkan pada nilai-nilai
“gus” yang menekankan nilai-nilai hubungan sosial yang bagus dan nilai “ji” didasarkan pada nilai-nilai spiritual atau nilai-nilai Ketuhanan sebagai pengejawantahan ngaji dan haji/kaji. Sehingga dalam melakukan kegiatan ekonomi pengusaha bordir Kudus selalu mendasarkan nilai-nilai “Sak titahe (sesuai jalannya/kodratnya), pasrah
(berserah diri) ,rila (iklas), mati ora gowo bondo (meninggal tidak membawa harta), sepi ing pamrih (tanpa minta imbalan), tuna sathak bati sanak (rugi sedikit tetapi tambah saudara), rejeki soko sangkan paran (rejeki berasal dari Allah), aja mitunani wong liya (jangan
kapitalisme yang menghalalkan segala cara mengejar keuntungan-keuntungan individu dengan mengorbankan kepentingan sosial.
Kedua, menjadi kebiasaan atau habitus komunitas pengusaha bordir di Kudus memiliki nilai-nilai sosial yang dihayati, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Keyakinan dan sikap budaya Jawa dan budaya Islam terakulturasi menjadikan komunitas pengusaha bordir Kudus sangat kental dengan keyakinan tentang asal mula kehidupan yang disebut sebagai sangkan atau “asal atau kelahiran” dan paran dumadi (tujuan hidup).
Di samping memiliki sikap perilaku yang sangat kental dengan keyakinan yang dianutnya, komunitas pengusaha bordir Kudus juga memiliki etos kerja yang kuat dan disiplin tinggi. Etos kerja ini diajarkan pertama kali oleh para orang tua kepada anaknya ketika mereka sudah berumur akil baligh (menginjak dewasa). Nilai-nilai yang ditanamkan orang tua secara terus-menerus kepada anaknya terkait dengan kewajiban dalam mencari kehidupan (memenuhi kebutuhan sehari-hari). Akhirnya menjadi habitus (kebiasaan). Orang tua terus mendorong anaknya dengan memberikan nilai-nilai yang arif serta memberikan contoh. Seperti ungkapan Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur artinya segala perilaku manusia diawasi Tuhan). Demikian pula nilai-nilai keagamaan (Islam) diberikan orang tua kepada anak-anaknya sejak kecil, misalnya anak-anak disamping mengikuti belajar di sekolah formal (SD,SMP,SMA) tetapi setiap sore diwajibkan mengikuti kegiatan keagamaan melalui pengajian yang diselengarakan
di masjid atau Taman Baca Al Qur’an. Demikian pula bagi orang dewasa atau orang tua dalam masyarakat Kudus melakukan kegiatan keagamaan Islam seperti pengajian, sholat berjamaah di masjid, ziarah kubur, khaul, manaqiban. burdahan, terbangan dan lain-lain merupakan ciri khas masyarakat Kudus dalam meningkatkan internalisasi kehidupan keagamaannya yang dilakukan pada hari Selasa
sehingga bisa dikatakan di Kudus setiap hari pasti ada kegiatan keagamaan (Islam).
Gus-ji-gang bagi komunitas pengusaha bordir Kudus yang beragama Non Muslim telah dimengerti, dipahami dan pada gilirannya mampu meningkatkan kehidupan spiritual yang baik sesuai dengan agama yang dipeluknya dengan menumbuhkan toleransi yang tinggi. Buktinya, kegiatan bisnis bordir yang dijalankan pengusaha non Muslim di Kudus selalu memberikan kesempatan bagi karyawannya untuk melakukan kegiatan ibadah pada setiap jam-jam melaksanakan sholat dengan menghentikan kegiatan bisnis untuk sementara atau setiap hari Jumat kegiatan bisnis ditutup.
Ketiga, Gus-ji-gang sebagai identitas karakter dan kepribadian yang unggul masyarakat Kudus merupakan satu kesatuan kata “gus
(bagus rupa dan bagus akhlak)”, “ji (kaji atau pinter ngaji)” dan “gang
(pintar dagang) yang memiliki sifat holistik dan koherensi.” Konsep
”gus” dan “ji” yaitu beraklak baik dan melakukan pembelajaran dengan mengaji atau pergi kaji/haji itu merupakan kekuatan membangun “spiritualitas” yang memiliki nilai-nilai yang mempunyai keter-hubungan hati dan pikiran seseorang dengan Tuhan, atau transenden.
Sebaliknya di sisi lain kata “gang” yaitu dagang yang identik dengan rasionalitas yang memiliki parameter yang terukur berbicara keuntungan, kerugian, transaksi.
Kekuatan spiritualitas yang dimiliki komunitas usaha bordir
Kudus dengan melakukan “gus” dan “ji” tersebut sebagai dasar
kekuatan-kekuatan transendensi untuk membentuk spirit dagang yang tidak hanya mengekpresikan dalam keuntungan, transaksi, manajemen tetapi juga mempersoalkan pelayanan, tanggung jawab sosial,
berusaha, dalam batas-batas tertentu, merupakan sumber nilai bagi masyarakat di Kudus yang umumnya Muslim yang taat dalam beribadah dan ulet dalam berdagang memiliki status yang tinggi di masyarakat. Hal ini bisa dimengerti jika pada masa lalu di Kudus berkembang mitos larangan menikahkan anak gadis dengan pegawai negeri karena pengusaha yang memiliki status sosial apalagi kalau sudah berhaji. Namun sebaliknya sekarang, dengan adanya perkembangan jaman, pilihan pekerjaan masyarakat Kudus lebih pada pegawai negeri.
Pentingnya social capital dalam suatu komunitas pengusaha bordir adalah kebaikan publik atau kebaikan bersama, yang berarti keadaan ini tergantung pada good will (niat baik), sedangkan niat baik tersebut dibangun masyarakat Kudus melalui beraklak baik (bagus) dan kemampuan ngaji (pintar ngaji) yang mampu membangun spiritualitas yang tinggi sebagai dasar berniat baik para pengusaha bordir dalam melakukan perdagangan, sangat dibutuhkan untuk membentuk fungsi struktural menjadi nilai dan norma kejujuran, saling mempercayai, hubungan timbal balik kepada konsumen maupun sesama pengusaha bordir, dan membangun jejaring menjadi hal yang penting dalam menopang social capital di bisnis IKBK bordir sehingga terbangun kinerja ekonomi yang unggul.
Melalui nilai-nilai etika berdagang yang baik yaitu
mengimplementasikan “gus” dan “Ji” dalam Gus-ji-gang merupakan akulturasi budaya Jawa dan budaya Islam dalam berdagang pasti akan memperoleh keuntungan yang berlimpah, meskipun tidak mesti kaya harta (sugih bondo), yang pasti akan memperoleh kekayaan hati telah menjalankan laku hidup yang luhur dan benar dan para pengusaha IKBK bordir akan dapat memelihara keberlangsungan (sustainability) usaha IKBK bordir karena dengan itu pengusaha bordir akan memiliki jejaring usaha yang luas dan meningkatkan kepercayaan yang kuat dari konsumen pelanggannya maupun konsumen baru serta agen-agen pemasok bahan baku. Mengharapkan kinerja IKBK bordir tetap berlangsung tidak cukup hanya dari pengusaha saja, tetapi peran pemerintah sebagai institusi negara sebagai kendali utama dalam penentuan berbagai kebijakan ekonomi masyarakat khususnya public goods, seperti menyediakan modal dengan bunga murah maupun pembinaan dari institusi yang terkait sehingga dapat memperbaiki kinerja pengusaha IKBK bordir secara proporsional, memfasilitasi dan memberikan pelayanan secara semestinya sehingga mendukung kinerja pengusaha IKBK bordir, bahkan dukungan regulasi untuk melindungi produk-produk kreatif yang dimiliki masing-masing daerah, seperti Surat Edaran Gubenur Jawa Tengah No.065.5/001068 tanggal 27 Januari 2015 tentang penggunaan pakaian adat Jawa Tengah yang isinya mewajibkan menggunakan Pakaian Adat Jawa Tengah pada hari kerja/jam Dinas setiap tanggal 15 untuk setiap bulannya (lengkap dengan atribut) mampu mendorong dan membangkitkan usaha bordir.
komunitas pengusaha bordir yang mulai meninggalkan produk bordir yang memiliki keunggulan dan memiliki ciri khas Kudus serta
memiliki nilai ekonomi tinggi yaitu “bordir Icik” mulai ditingggalkan
karena semakin kurangnya tenaga kerja yang memproduksi “bordir icik”.
Penelitian tentang Gus-ji-gang dalam praktik bisnis akan dapat memberikan kontribusi nyata guna ikut memecahkan berbagai permasalahan pembangunan ekonomi, yang saat ini semakin kompleks dan serius serta dapat dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan untuk mengembangkan IKBK bordir agar dapat memiliki daya saing dan tetap mempertahankan kearifan lokal sebagai ciri khas bordir Kudus, yaitu melalui: (a) Diperlukan dukungan dari Pemerintah Propinsi/Daerah (Dinas Terkait) dalam menyediakan infrastruktur fisik (sarana dan prasarana fisik) yang memadai dengan tuntutan perkembangan fasilitas pelayanan, maupun dukungan infrastruktur kelembagaan seperti pemberdayaan SDM melalui pendidikan formal dan informal khususnya dalam bidang “bordir Icik”, peraturan daerah yang secara proporsional memiliki keberpihakan pada term of trade pengusaha IKBK bordir dan peningkatan daya kemampuan dalam permodalan serta pemasaran. (b) Memahami Gus-ji-gang sebagai
habitus dasar kekuatan dagang Jawa di Kudus terhadap nilai-nilai moral budaya Jawa tentang Gus-ji-gang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari dengan melaksanakan: (1) Kebaikan tingkah laku sama
dengan kebagusan moral mengacu pada kata “gus” dikembangkan
pemahamannya melalui internalisasi sebagai proses pembelajaran (learning) lebih konkritnya Gus-ji-gang sebagai konsep
entrepreneurship model Kudus perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan formal dan non formal. (2)Proses pembelajaran seperti
dimaksud pada kata “ji” dalam satu kesatuan pengalaman keagamaan
menentukan ciri khas keutamaan moral. Ciri khasnya diobyektifkan melalui cara bersikap baik dalam pergaulan melalui prinsip hormat dan