• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERENTANAN KOROSI BATAS BUTIR BAJA TAHAN KARAT TIPE 316 DENGAN METODE ELEKTROKIMIA ROHMATULLOH NABHANI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERENTANAN KOROSI BATAS BUTIR BAJA TAHAN KARAT TIPE 316 DENGAN METODE ELEKTROKIMIA ROHMATULLOH NABHANI"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

KERENTANAN KOROSI BATAS BUTIR BAJA TAHAN

KARAT TIPE 316 DENGAN METODE ELEKTROKIMIA

ROHMATULLOH NABHANI

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

ABSTRAK

ROHMATULLOH NABHANI. Kerentanan Korosi Batas Butir Baja Tahan Karat Tipe

316 Dengan Metode Elektrokimia. Dibimbing oleh SRI MULIJANI dan MAMAN

KARTAMAN.

Baja tahan karat (SS) digunakan dalam industri nuklir sebagai kelongsong bahan

bakar nuklir. Sifat ketahanan korosi SS sangat baik, tetapi pada interval suhu

425°C-815°C rentan terjadi korosi batas butir. Pada penelitian ini, sampel SS 316 diberi

perlakuan pelarutan terlebih dahulu, yaitu dipanaskan pada suhu 1000°C selama 3 jam

lalu dipadamkan (quenching) dalam air selama 30 menit. Setelah itu, sampel SS 316

dipanaskan pada variasi suhu yang berbeda, yaitu 350, 450, 550, dan 650°C selama 5

jam. Preparasi metalografi meliputi pengampelasan, pemolesan (polish) (khusus untuk uji

reaktivasi potensiokinetik elektrokimia (EPR)), dan dicuci dengan larutan alkohol

dilakukan sebelum ditentukan laju korosi (potensiodinamik) dan muatan reaktivasinya.

Muatan reaktivasi diukur menggunakan uji EPR yang menunjukkan kerentanan sampel

terhadap korosi batas butir. Permukaan sampel yang telah diuji EPR lalu diamati

morfologinya menggunakan scanning electron microscope. Blangko dan SS 316 dengan

perlakuan pelarutan dicirikan dengan difraksi sinar-X.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu pemanasan semakin

tinggi pula laju korosi dan muatan rektivasinya. Sampel SS 316 yang dipanaskan pada

suhu 650°C menghasilkan laju korosi dan muatan reaktivasi paling tinggi, yaitu 118.37

miliinci per tahun dan 2767 mC/cm

2

. Sampel yang dipanaskan pada suhu 350, 450, dan

550°C setelah perlakuan pelarutan tidak menimbulkan korosi batas butir dengan nilai

muatan reaktivasi secara berturut-turut sebesar 81.72, 92.42, dan 2720.58 mC/cm

2

. Laju

korosi dan muatan reaktivasi SS 316 pada suhu 550°C dan 650°C tanpa pelarutan lebih

besar dibandingkan dengan pelarutan. Spektrum difraksi sinar-X SS 316 dengan

perlakuan pelarutan menunjukkan ketiadaan puncak serapan kromium karbida. Hal ini

menunjukkan bahwa perlakuan pelarutan telah melarutkan endapan kromium karbida di

batas butir.

(3)

ABSTRACT

ROHMATULLOH NABHANI. Susceptibility to Intergranular Corrosion in Stainless

Steel 316 Type by Electrochemical Method. Supervised by SRI MULIJANI and

MAMAN KARTAMAN.

Stainless steel (SS) was used in nuclear industry as cladding. Resistance of

stainless steel is very good, but in the temperature range of 425°C-815°C is susceptible to

intergranular corrosion. In this research, solution treatment on samples at 1000°C for 3

hours and then all of them were quenched in water for 30 minutes. They were heat treated

at 350, 450, 550, and 650°C for 5 hours. Preparation for metallographic test were

grinding, polishing (for electrochemical potentiokinetic reactivation, EPR test), and

rinsing in alcohol were performed before determining corrosion rates and charge

reactivation. Charge reactivation of SS 316 was determined using EPR test that showed

susceptibility to intergranular corrosion. The surface of samples is tested by EPR were

observed using scanning electron microscope. Blank and solution treatment of SS 316

were characterized by X-ray diffraction method.

The result showed that the corrosion rates and reactivation charge increased with

the increasing temperature. The corrosion rate and reactivation charge of samples heat

treated at 650°C were 118.37 milliinches per year and 2767 mC/cm

2,

the samples were

heat treated at 350, 450 and 550°C after solution treatment did not exhibit intergranular

corrosion. The reactivation charges of samples at 350, 450 and 550°C respectively were

81.72, 92.42, and 2720.58 mC/cm

2 .

The corrosion rates and reactivation charge of

samples that were heat treated at 550°C and 650°C without solution treatment, revealed

were higher than with solution treatment. Diffraction X-ray spectrum of the solution

treated sample showed the absence of chromium carbide. This is an indication that the

solution treatment at 1000°C had dissolved chromium carbide in grain boundary.

(4)

KERENTANAN KOROSI BATAS BUTIR BAJA TAHAN

KARAT TIPE 316 DENGAN METODE ELEKTROKIMIA

ROHMATULLOH NABHANI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(5)

Judul : Kerentanan Korosi Batas Butir Baja Tahan Karat Tipe 316 Dengan Metode

Elektrokimia

Nama : Rohmatulloh Nabhani

NIM : G44204012

Menyetujui,

Pembimbing I

Pembimbing II

Dra. Sri Mulijani, MS

NIP 131950978

Maman Kartaman, ST

NIP 330005228

Mengetahui:

Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Institut Pertanian Bogor

Dr. drh. Hasim, DEA

NIP 131578806

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas ridho, rahmat, dan

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian

yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2007 ini ialah Kerentanan Korosi Batas Butir

Baja Tahan Karat Tipe 316 Dengan Metode Elektrokimia.

Terima kasih penulis ucapkan kepada ibu Dra. Sri Mulijani, MS dan Bapak Maman

Kartaman, ST selaku pembimbing atas bimbingan, dorongan, semangat, dan ilmu yang

diberikan kepada peneliti selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Terima

kasih tak terhingga juga disampaikan kepada kedua orang tua (mama dan papa) serta

seluruh keluarga yang memberikan dorongan semangat, bantuan materi, kesabaran, dan

kasih sayang kepada penulis.

Terima kasih juga tak lupa penulis ucapkan kepada Bapak Budi Briyatmoko, Bapak

Yusuf Nampira, Bapak Nusin Samosir, Bapak Slamet, dan Bapak Joko atas segala

fasilitas dan kemudahan yang telah diberikan. Rekan-rekan kimia 41 terima kasih atas

motivasi dan dukungan yang diberikan, semoga Allah senantiasa membalas kebaikan

semuanya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2008

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 6 Maret 1986 dari ayah Muchlis

Badruzzaman dan ibu Cucu Habibah. Penulis merupakan putra keempat dari enam

bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus dari MAN Cipasung Tasikmalaya dan pada tahun yang sama

lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis

memilih Program Studi Kimia, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia

TPB pada tahun ajaran 2006/2007 dan asisten praktikum mata kuliah Kimia Anorganik 2

pada tahun ajaran 2007/2008. Tahun 2007 penulis melaksanakan praktik lapangan di

Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Selain itu, pada tahun 2006 penulis aktif sebagai

pengurus Ikatan Mahasiswa Kimia (Imasika) di Departemen Kewirausahaan.

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

PENDAHULUAN ... 1

TINJAUAN PUSTAKA

Baja Tahan Karat ...

2

Korosi Batas Butir...

2

Metode Elektrokimia ... 3

SEM (Scanning Electron Microscope)... 3

XRD (X- ray Diffraction) ...

3

XRF (X- ray Fluorescence) ...

3

Spektrofotometer Emisi...

4

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan ... 4

Prosedur ... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Kimia Dengan XRF dan Spektrofotometer Emisi Optik...

5

Laju Korosi...

6

Kurva Potensiodinamik ...

7

Derajat Sensitisasi ... 8

Mikrostruktur SEM ... 9

Ciri Berdasarkan XRD ... 11

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan... 14

Saran... 14

DAFTAR PUSTAKA ... 14

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1

Komposisi kimia sampel SS 316

menggunakan XRF

... 6

2

Komposisi kimia sampel SS 316

menggunakan Spektrofometer Emisi Optik ... 6

3

Laju korosi sampel SS 316 ... 6

4

Muatan reaktivasi sampel SS 316 ... 9

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

Pengaruh suhu

pemanasan pada laju korosi SS 316

... 7

2

Kurva potensiodinamik SS 316 suhu 350°C-650°C setelah perlakuan

pelarutan (ST)

... 7

3

Kurva potensiodinamik SS 316 suhu 650°C setelah ST dan tanpa ST ...

7

4

Kurva potensiodinamik SS 316 suhu 550°C setelah ST dan tanpa ST ...

8

5

Pengaruh suhu

pemanasan pada muatan reaktivasi SS 316 ...

9

6

Kurva potensiokinetik reaktivasi SS 316 suhu 350°C-650°C setelah ST ...

9

7

Mikrostruktur SS 316 setelah ST ... 10

8

Mikrostruktur SS 316 blangko SS 316 ... 10

9

Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 350°C dengan ST ... 10

10

Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 450°C dengan ST ... 10

11

Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 550°C tanpa ST ... 10

12

Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 550°C dengan ST ... 10

13

Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 650°C dengan ST ... 10

14

Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 650°C tanpa ST

(perbesaran 500 kali) ... 10

15

Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 650°C tanpa ST

(perbesaran 3500 kali)... 11

16

Spektrum difraksi sinar-X SS 316 tanpa perlakuan panas (blangko) ... 12

17

Spektrum difraksi sinar-X SS 316 dengan perlakuan ST... 13

18

Spektrum difraksi sinar-X SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 650°C

dengan ST ... 13

(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1

Pengujian standar korosi batas butir baja tahan karat ... 17

2

Komposisi unsur berbagai jenis baja tahan karat... 18

3

Perbandingan sifat mekanik berbagai jenis baja tahan karat ... 19

4

Deret galvanik beberapa paduan logam ... 20

5

Diagram alir penelitian kerentanan korosi batas butir SS 316... 21

6

Analisis ragam dan uji Duncan pengaruh suhu pemanasan ... 22

7

Rumus dan contoh perhitungan laju korosi dengan tafel plot... 22

8

Uji-t pengaruh ST sampel SS 316... 23

9

Kurva potensiokinetik reaktivasi blangko dan SS 316 dengan ST ... 23

10

Kurva potensiokinetik reaktivasi SS 316 suhu 550°C setelah ST dan tanpa

ST... 24

11

Kurva potensiokinetik reaktivasi SS 316 suhu 650°C setelah ST dan tanpa

ST... 24

12

Mekanisme korosi batas butir ... 25

13

Daerah pemanasan (heat affected zone) baja tahan karat... 26

(11)

1

PENDAHULUAN

Pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) merupakan sumber energi listrik yang efisiensinya lebih besar dibandingkan dengan pembangkit-pembangkit listrik lainnya. Energi yang dihasilkan sebesar 17 milyar kilokalori, atau setara dengan energi yang dihasilkan dari pembakaran 2,4 juta kilogram batubara. Energi ini berasal dari panas yang dilepaskan dari pembelahan inti satu kilogram bahan nuklir 235U. Oleh karena itu, PLTN memerlukan suatu pengamanan yang lebih besar dibandingkan dengan pembangkit listrik lainnya. Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah kelongsong (cladding) bahan bakar nuklir (Akhadi 1997).

Masalah kelongsong sangat penting karena bahan bakar yang digunakan dalam PLTN (235U) dapat menghasilkan radiasi. Syarat utama suatu bahan dapat digunakan sebagai kelongsong adalah mampu mengungkung unsur-unsur hasil fisi sehingga unsur-unsur tersebut tidak larut dalam air pendingin atau keluar dari reaktor. Selain itu, bahan yang digunakan tahan terhadap korosi pada suhu tinggi baik dalam kondisi uap dan air. Hal ini dilakukan agar efisiensi daya dari bahan bakar dapat dicapai dengan mudah. Efisiensi daya akan mudah dicapai jika suhu operasi selalu berada pada interval suhu 400°C–600°C (Sugondo & Futichah 2005).

Baja tahan karat (SS) austenitik merupakan kelompok baja tahan karat yang paling banyak jenis paduan dan kegunaanya dalam industri umum maupun nuklir. Spesifikasi baja tahan karat yang banyak digunakan ialah SS tipe 304, 316, 321, dan 347. Aplikasi baja tahan karat di industri umum, antara lain sebagai bahan peralatan rumah tangga seperti pisau, panci oven, dan lain-lain. Selain itu, baja ini digunakan di industri kapal, otomotif, makanan dan petrokimia. Untuk mengetahui masa pakai alat, mesin, dan instalasi pabrik tersebut, maka perlu diketahui ketahanan korosinya. Selain di industri umum, baja tahan karat juga digunakan untuk kelongsong bahan bakar nuklir yang operasinya mencapai suhu 500°C. Baja tahan karat, paduan alumunium, dan zirkonium digunakan dalam industri nuklir sebagai komponen pendukung reaktor daya dalam bentuk tangki bertekanan, pipa, kelongsong, dan bahan struktur. SS 304 dan 304 L digunakan sebagai bejana bertekanan reaktor liquid metal

fast breeder reactor (LMFBR), SS 316 dan 316

L digunakan sebagai kelongsong bahan bakar LMFBR, dan SS 347 untuk bejana bertekanan

atau bahan struktur reaktor LMFBR (Benjamin 1983).

Sifat ketahanan korosi baja tahan karat sangat baik. Akan tetapi, pada interval suhu 425°C–815°C rentan terjadi korosi batas butir (Jones 1992). Kartaman & Junaedi (2006) mengemukakan bahwa tidak dianjurkan melakukan pemanasan pada baja tahan karat di atas suhu 450°C tanpa perlakuan pelarutan terlebih dahulu karena pemanasan pada suhu tersebut akan menyebabkan sensitisasi pada baja tahan karat atau mengalami korosi batas butir. Pada penelitian ini, sebelum bahan dipanaskan pada variasi suhu yang berbeda, bahan diberi perlakuan pelarutan agar kromium karbida yang telah ada dapat larut kembali (Trethwey & Chamberlain 1991). Variasi suhu pemanasan dilakukan mengikuti Kartaman & Junaedi (2006).

Uji Strauss dan Huey merupakan metode umum untuk mengevaluasi kerentanan baja tahan karat terhadap korosi batas butir. Kelemahan uji Strauss dan Huey ialah memerlukan waktu pengujian yang cukup lama. Oleh karena itu, digunakan metode elektrokimia untuk mengevaluasi ketahanan terhadap korosi batas butir. Metode elektrokimia bersifat cepat, nondestruktif, dan pengukuran dilakukan secara

in situ (Silva et al. 2003). Metode elektrokimia

yang digunakan ialah metode electrochemical

potensiokinetic reactivation (EPR) untuk menentukan kecenderungan terjadinya korosi batas butir dan metode potensiodinamik untuk mengukur laju korosi dan pasivasi material. Jones (1992) mengemukakan bahwa metode EPR dapat dikondisikan pada berbagai suhu dengan menggunakan konsentrasi larutan asam yang lebih rendah dibandingkan metode kimia konvensional yang terdapat pada ASTM A262 (Lampiran 1). Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakn metode elektrokimia seperti yang telah dilakukan oleh Silva et al. (2003).

Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh suhu pemanasan dan perlakuan pelarutan (ST) baja tahan karat terhadap ketahanan korosi batas butir.

(12)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Baja Tahan Karat

Baja tahan karat (SS) merupakan paduan besi dengan ketahanan terhadap korosi tergantung pada selaput permukaan pasif kromium oksida. Kandungan oksigen dan kromium ± 11 persen dalam bahan pengikat

diperlukan untuk mempertahankan

keberadaan selaput permukaan itu (Trethwey & Chamberlain 1991).

Korosi utama yang dialami baja tahan karat adalah korosi batas butir dan korosi celah. Kedua jenis korosi itu dipercepat oleh ion-ion klorida yang agresif menyerang selaput kromium oksida. Kandungan karbon yang tinggi (lebih dari 0.03 %) dapat mengganggu perilaku korosi baja tahan karat akibat penggumpalan kromium karbida yang menyebabkan kadar kromium di beberapa tempat pada bahan pengikat kurang dari batas minimum untuk mempertahankan selaput oksida (Trethwey & Chamberlain 1991).

Baja tahan karat memiliki empat kelompok besar, yaitu baja tahan karat austenitik, dengan penambahan nikel dan nitrogen untuk memantapkan fase austenit yang memiliki struktur kubus pusat muka pada suhu kamar. Baja tahan karat jenis ini baik untuk digunakan pada suhu rendah disebabkan unsur nikel yang membuat baja ini tidak rapuh pada suhu tersebut. Baja tahan karat austenitik memiliki sifat nonmagnetik, tahan terhadap suhu rendah maupun tinggi, kuat, keras, mengkilat, tahan terhadap oksidasi, dan dapat ditempa (Nugroho 2007).

Kelompok kedua ialah baja tahan karat feritik yang memiliki struktur kubus pusat ruang. Baja ini bersifat peka terhadap korosi batas butir dengan menggumpalnya karbida dan nitrida. Penambahan unsur titanium dan niobium pada baja ini dapat mencegah berkurangnya unsur kromium di batas butir.

Kelompok ketiga ialah baja tahan karat martensit yang memiliki unsur utama kromium (lebih sedikit dari baja feritik) dan kadar karbon relatif tinggi, contohnya jenis 410 dan 416. Kelompok terakhir ialah baja dupleks yang mempunyai fase campuran feritik-austenitik. Perbandingan sifat mekanik dan komposisi kimia berbagai jenis baja tahan karat terdapat di Lampiran 2 dan 3. (Trethwey & Chamberlain 1991)

Korosi Batas Butir

Korosi adalah penurunan mutu logam akibat reaksi elektrokimia dengan lingkungan. Korosi melibatkan reaksi oksidasi-reduksi terhadap lingkungan. Kekuatan dan sifat-sifat fisik logam/paduan menurun akibat terjadinya korosi. Pada dasarnya korosi adalah reaksi pelarutan (dissolution) logam menjadi ion pada permukaan logam yang berkontak dengan lingkungan yang mengandung air dan oksigen melalui reaksi elektrokimia. Permukaan logam akan diselimuti oleh lapisan oksida tipis yang tersebar tidak merata. Proses ini mengakibatkan terjadinya perbedaan potensial antara sistem dengan oksida logam menjadi suatu sel korosi (Trethwey & Chamberlain 1991). Ketika atom logam mengalami suatu reaksi korosi, atom itu diubah menjadi sebuah ion melalui reaksi dengan suatu unsur yang terdapat di lingkungannya. Jika digunakan simbol M untuk logam yang terdapat dalam struktur padatnya, maka korosi dapat digambarkan melalui persamaan berikut:

M Mz+ + 2 e

Deret galvanik beberapa paduan logam yang menunjukkan ketahanan logam tersebut terhadap korosi terdapat pada Lampiran 4.

Batas butir merupakan daerah antara dua buah butir, tempat pola kristal berubah orientasi. Korosi batas butir terjadi bila daerah batas butir terserang akibat terdapat endapan di dalamnya.

Batas butir sering menjadi tempat pengendapan (precipitation) dan pemisahan (segregation) yang teramati pada banyak paduan. Pisahan dan endapan terdapat dalam struktur logam dalam dua macam

(a) Logam antara (intermetalik), yaitu unsur-unsur yang terbentuk dari atom-atom logam. Unsur ini dapat bersifat anoda atau katoda terhadap logam utama.

(b) Senyawa, yaitu bahan yang terbentuk dari logam dan unsur-unsur bukan logam, seperti hidrogen, karbon, silikon, nitrogen, dan oksigen. Setiap logam yang mengandung logam antara atau senyawa pada batas-batas butirnya akan rentan terhadap korosi batas butir (Trethwey & Chamberlain 1991).

Beberapa cara untuk menghambat terjadinya korosi batas butir:

(a) Melakukan perlakuan pelarutan pada suhu tinggi yang diikuti pencelupan (quenching) ke air atau minyak agar

(13)

3

kromium karbida yang terbentuk dapat larut kembali.

(b) Menambahkan unsur pembentuk karbida yang kuat pada baja, seperti titanium, niobium, dan tantalum. (c) Menggunakan baja dengan kadar

karbon 0.03% atau lebih rendah sehingga karbida-karbida yang terbentuk tidak mantap (Vlack 1986).

Metode Elektrokimia

Pengukuran ketahanan korosi baja tahan karat menggunakan metode elektrokimia berdasarkan potensial yang dihasilkan dari reaksi elektrokimia antara logam dan larutan. Oleh karena peristiwa korosi merupakan suatu proses elektrokimia, maka metode elektrokimia dapat digunakan untuk mempelajari dan mengukur suatu sistem korosi (Supardi & Ikhsan 2007).

Bila logam dimasukan ke dalam larutan, maka akan terjadi reaksi elektrokimia pada permukaan logam dan larutan. Reaksi ini menghasilkan suatu potensial elektrokimia yang disebut potensial korosi (Ecorr). Potensial ini ditentukan oleh banyaknya muatan negatif yang terbentuk ketika logam itu dimasukkan ke dalam larutan.

Metode elektrokimia yang digunakan pada penelitian ini, yaitu polarisasi potensiodinamik dan reaktivasi potensiokinetik elektrokimia (EPR). Teknik polarisasi potensiodinamik digunakan untuk menentukan karakteristik daerah aktif (anodik) maupun pasif (katodik) dari sistem logam-larutan. Pasivasi terjadi akibat pembentukan lapisan pelindung pada permukaan logam terhadap larutan. Teknik ini memungkinkan untuk memperoleh perhitungan laju korosi dengan teori tafel plot atau tahanan polarisasi (Supardi & Ikhsan 2007).

Uji EPR merupakan penyempurnaan dari metode potensiodinamik dari daerah pasif ke daerah aktif. Uji EPR mengukur jumlah muatan yang dihubungkan dengan korosi pada daerah yang kekurangan unsur kromium dikelilingi oleh endapan kromium karbida (ASTM 1992). Uji EPR digunakan untuk mengukur derajat sensitisasi suatu material yang telah diberi perlakuan panas. Derajat sensitisasi akan menentukan besarnya korosi batas butir pada material tersebut (Jones 1992).

SEM

SEM merupakan alat yang digunakan untuk mengamati dan menganalisis struktur mikro dan morfologi pada bidang-bidang, antara lain ilmu

dan teknologi bahan, kedokteran, dan biologi. SEM mempunyai daya pisah yang tinggi, yaitu 5 µm sehingga SEM dapat menghasilkan pembesaran maksimum 500.000 kali.

Analisis komposisi bahan dapat diperoleh dengan memonitor sinar-X yang dihasilkan dari interaksi elektron dengan spesimen. Ketika berkas elektron mengenai spesimen, elektron akan menembus sampai ke suatu kedalaman yang bergantung secara langsung pada energi elektron dan nomor-nomor atom dari atom-atom yang ada di dalam spesimen. Pembentukan gambar pada SEM berasal dari berkas elektron yang direfleksikan ke permukaan sampel. Perbedaan panjang gelombang dari sumber pencahayaan ini mengakibatkan perbedaan tingkat resolusi yang dapat dicapai (Samosir 2005).

Fluoresensi Sinar-X (XRF)

XRF adalah alat untuk menganalisis kandungan unsur dalam bahan dengan menggunakan metode spektrometri. Analisis menggunakan XRF dilakukan berdasarkan identifikasi dan pencacahan sinar-X karakteristik yang terjadi dari peristiwa efek fotolistrik. Efek fotolistrik terjadi karena elektron dalam atom target (sampel) terkena sinar berenergi tinggi (radiasi gama sinar-X) Spektrometri XRF memanfaatkan sinar-X yang dipancarkan oleh bahan yang selanjutnya ditangkap detektor untuk dianalisis kandungan unsur dalam bahan. Detektor yang digunakan ialah detektor semikonduktor SiLi. Bahan yang dianalisis menggunakan XRF berupa padatan yang mempunyai bentuk pelat dan serbuk. Intensitas sinar-X yang dihasilkan oleh atom bahan sangat dipengaruhi oleh jumlah atom yang mengalami efek fotolistrik. Kebolehjadian terjadinya efek tersebut dapat menimbulkan sinar-X dan partikel atmosfer antara sampel dan detektor (Nugroho & Rosika 2005).

Keunggulan analisis menggunakan XRF ialah cepat dan tidak memerlukan preparasi yang rumit. Waktu yang dibutuhkan untuk satu kali pengukuran ialah 300 detik dan preparasi sampel tidak perlu dilakukan dengan uji merusak, sehingga sampel dapat segera diukur (Nugroho & Rosika 2005).

.

Difraksi Sinar X (XRD)

Adanya struktur kristal dapat dilihat menggunakan difraksi sinar-X. Gelombang elektromagnetik berfrekuensi tinggi mempunyai panjang gelombang yang lebih

(14)

4

besar dari jarak antarbidang dalam kristal. Berkas gelombang elektromagnetik yang mengenai kristal mengalami difraksi sesuai hukum fisika. Hukum Bragg menyatakan bahwa jika suatu material dikenai sinar-X, maka intensitas sinar yang ditransmisikan sebagian diserap dan sebagian dihamburkan oleh atom-atom dalam material tersebut. Hukum Bragg secara matematis dirumuskan sebagai berikut

θ

λ

2d

sin

n

=

dengan n adalah bilngan bulat; λ adalah panjang gelombang sinar-X; d adalah jarak antarbidang; dan θ adalah sudut difraksi (Vlack 1986).

Difraktometer merupakan alat yang menggunakan prinsip difraksi sinar-X melalui goniometer. Prinsip alat ini adalah penyinaran secara langsung oleh sinar-X primer dari tabung sinar-X. Sinar-sinar yang didifraksikan oleh kisi-kisi kristal cuplikan ditangkap oleh detektor Geiger. Pola difraksi yang diperoleh berupa kurva 2θ terhadap intensitas (Atkins 1999).

Spektrofotometer Emisi

Spektrofotometer emisi merupakan spektroskopi atom yang menggunakan sumber eksitasi seperti busur listrik atau bunga api. Sumber eksitasi memengaruhi bentuk dan intensitas emisi. Molekul tereksitasi akibat transisi dari suatu energi tereksitasi (E2) ke suatu tingkat energi yang lebih rendah (E1).

hv =

E2 - E1

Unsur yang terdapat dalam suatu sampel dapat ditentukan dengan membandingkan spektrum sampel dengan spektrum zat murni. Analisis kuantitatif menggunakan metode standar dengan membandingkan intensitas garis sampel dengan standar (Khopkar 1990).

BAHAN DAN METODE

Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan adalah tungku tabung Naber, ultrasonic cleaner, potensiostat EG&G Princeton model 273, mesin potong Buehler, mesin ampelas dan poles Buehler, SEM J-Seoul, XRF EDAX-DX 95 Philips, spektrofotometer emisi, dan XRD.

Bahan-bahan yang digunakan adalah baja tahan karat austenitik jenis 316 komersial, kertas amplas SiC grade 600, 800, dan 1200, pasta diamond 1µm, larutan etanol, larutan

H2SO4 1N, campuran larutan H2SO4 0.5M + 0.01M KSCN, dan air destilata.

Prosedur

Penelitian ini terdiri atas empat tahap. Tahap pertama adalah penentuan komposisi unsur bahan SS 316 dengan XRF dan spektrofotometer emisi. Tahap kedua ialah perlakuan panas pada sampel SS 316. Tahap ketiga ialah preparasi metalografi sampel SS 316. Tahap keempat ialah penentuan laju korosi dan derajat sensitisasi dengan metode potensiodinamik dan EPR. Tahap kelima ialah pencirian SS 316 dengan SEM dan XRD (Lampiran 5).

Analisis Komposisi Kimia Dengan XRF dan Spektrofotometer Emisi

Baja tahan karat (SS 316) komersial yang mempunyai permukaan yang rata berdiameter 3 mm ditentukan komposisi unsur Fe, Ni, dan Cr menggunakan XRF. Selain itu, SS 316 komersial ditentukan komposisi unsur-unsurnya terutama unsur nonlogam menggunakan spektrofotometer emisi optik. Perlakuan Panas

SS 316 komersial dipotong menggunakan mesin potong Buehler dengan tebal 3 mm sebanyak 32 buah dengan diameter 15 mm. Sebelum sampel baja tahan karat diberikan pemanasan pada berbagai suhu, maka dilakukan perlakuan pelarutan terlebih dahulu. Jumlah sampel yang diberi perlakuan ialah 20 buah. Perlakuan pelarutan dilakukan dengan cara memanaskan SS 316 pada suhu 1000°C selama 3 jam dalam tungku tabung Naber yang dialirkan gas argon lalu didinginkan cepat melalui pemadaman (quenching) dalam air selama 30 menit. Setelah itu, sampel kemudian dipanaskan kembali pada suhu 350, 450, 550, dan 650°C selama 5 jam (Kartaman & Junaedi 2006). Setiap suhu pemanasan masing-masing sebanyak 4 buah sampel.

Sebanyak 8 buah sampel tanpa solution

treatment dipotong dengan ketebalan 3 mm

lalu dipanaskan pada suhu 550°C dan 650°C selama 5 jam. Setiap suhu pemanasan masing-masing sebanyak 4 buah sampel.

Preparasi Metalografi

Sampel SS 316 diampelas dengan kertas amplas SiC grade 600, 800, dan 1200 menggunakan mesin ampelas Buehler sampai permukaan baja halus dan bersih dari zat pengotor seperti lemak atau oksida yang melekat pada sampel (ASTM 1992).

(15)

5

Sampel dan blangko yang akan diuji dengan metode EPR setelah diampelas kemudian dipoles dengan mesin poles Buehler menggunakan pasta diamond berukuran 1µm. Sampel dan blangko baja tahan karat yang telah diampelas dan dipoles kemudian direndam dalam larutan etanol selama lima menit untuk menghilangkan lemak-lemak yang masih melekat pada sampel. Sampel dikeringkan dengan hair dryer dan dimasukkan ke dalam wadah yang kering (ASTM 1992).

Penentuan Laju Korosi dengan Potensiodinamik

Penentuan laju korosi sampel SS 316

dilakukan menggunakan metode

potensiodinamik. Alat yang digunakan ialah Potensiostat EG&G Princeton model 273 dengan media larutan H2SO4 1N sebanyak 600 ml. Potensiostat dioperasikan pada kisaran potensial -0.5 V sampai +1.2 V dengan scan

rate 2 mV per detik dan kisaran arus keluaran

anoda dari 1.0 sampai 105 µ A (ASTM 1992). Penentuan Derajat Sensitisasi (EPR)

Penentuan derajat sensitisasi sampel SS 316 dilakukan menggunakan metode reaktivasi potensial elektrokimia (EPR). Derajat sensitisasi akan menentukan besarnya korosi batas butir (intergranular) suatu material. Alat yang digunakan ialah Potensiostat EG&G Princeton model 273 menggunakan media campuran larutan H2SO4 0.5 M + 0.01 M KSCN sebanyak 600 ml. Potensiostat dioperasikan dengan scan rate 1.67 ± 0.08 mV perdetik dan kisaran densitas arus dari 1 µA sampai 100 mA/cm2 (ASTM 1992).

Pencirian dengan XRD

Pencirian XRD dilakukan untuk melihat fase yang terbentuk akibat pemanasan dan perlakuan pelarutan. Blangko, sampel ST dan sampel SS 316 yang telah dipanaskan suhu 650°C dengan perlakuan ST dicirikan menggunakan XRD. Alat ini telah dihubungkan dengan sebuah komputer yang dilengkapi dengan JCPDS database

Pencirian Mikrostruktur dengan SEM Pencirian mikrostruktur bertujuan melihat kemungkinan terjadinya korosi batas butir pada SS 316. Permukaan SS 316 yang telah diuji dengan metode EPR dicirikan menggunakan SEM.

Rancangan Percobaan

Pengaruh suhu pemanasan pada laju korosi baja taha karat dianalisis secara statistika dengan metode rancangan acak lengkap (RAL) yang dilanjutkan dengan uji Duncan (Mattjik & Sumertajaya 2002). Model rancangan tersebut adalah

Yij = µ + τi + εij Keterangan:

Yij = pengaruh suhu pemanasan ke-i, serta ulangan ke-j terhadap laju korosi baja tahan karat, dengan i = 1, 2, 3, 4, 5 dan j = 1, 2.

µ = rataan umum

τi = pengaruh suhu pemanasan ke-i

εij = pengaruh acak dari perlakuan suhu pemanasan ke-i serta ulangan ke-j Hipotesis yang diuji

Pengaruh suhu pemanasan

Ho : τ1 = τ2 = τ3 = τ4 = τ5 = 0 (pengaruh suhu pemanasan memberikan respon yang sama terhadap laju korosi)

H1 : minimal ada satu i dengan τi ≠ 0, i = 1, 2, 3, 4, 5

Pengaruh suhu pemanasan terhadap muatan reaktivasi baja tahan karat dianalisis secara statistika dengan cara yang sama dengan laju korosi.

Pengaruh perlakuan pelarutan baja tahan karat dianalisis secara statistika menggunakan uji-t dengan nilai α = 5 %.

Hipotesis yang diuji

Ho :µx ≥ µy (laju korosi dan muatan reaktivasi tanpa perlakuan pelarutan lebih besar dari laju korosi dan muatan reaktivasi dengan perlakuan pelarutan) H1 :µx < µy (laju korosi dan muatan

reaktivasi tanpa perlakuan pelarutan lebih kecil dari laju korosi dan muatan reaktivasi dengan perlakuan pelarutan).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Kimia dengan XRF dan Spektrofotometer emisi optik Baja tahan karat austenitik (SS 316) merupakan paduan besi dengan unsur pemadu seperti karbon, nikel, kromium, dan molibdenum. Komposisi kimia SS 316

ditentukan menggunakan XRF dan

spektrofotometer emisi yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan 2.

(16)

6

Tabel 1 Komposisi kimia sampel SS 316 menggunakan XRF

Unsur Ulangan Kadar (%b/b) Kadar rerata (%b/b) 1 73.66 2 72.27 Fe 3 73.44 73.12 1 9.90 2 11.14 Ni 3 10.07 10.37 1 16.43 2 16.59 Cr 3 16.49 16.51

Tabel 2 Komposisi kimia sampel SS 316 menggunakan spektrofometer emisi optik Unsur Kadar (% b/b) Unsur Kadar (% b/b) Fe 57.20 Zr 0.02 Cr 22.20 V 0.11 Ni 13.30 Cu 2.82 Mo 1.79 W 0.03 C 0.08 Ti 0.01 Si 0.60 Sn 0.01 S <0.0001 Al 0.02 P 0.01 Pb 0.03 Mn 1.68 Nb 0.04 Zn 0.06

Pengukuran kandungan unsur Fe

menggunakan XRF lebih besar dari hasil pengukuran menggunakan spektrofotometer emisi optik, sedangkan unsur Cr dan Ni hasil pengukuran spektrofotometer emisi optik lebih besar dari XRF. Hal ini terjadi disebabkan unsur-unsur nonlogam tidak teridentifikasi oleh XRF sehingga kandungan Fe yang terukur lebih besar. Pengukuran

komposisi SS 316 menggunakan

spektrofotometer emisi lebih akurat disebabkan unsur-unsur logam maupun nonlogam dapat teridentifikasi.

Laju Korosi

Pengukuran laju korosi SS 316 dalam larutan H2SO4 1 N dilakukan dengan metode potensiodinamik menggunakan potensiostat dan sel elektrokimia dengan tiga buah elektroda. Baja tahan karat diberi perlakuan panas pada interval suhu 350°C–650°C. Sebelum bahan dipanaskan pada interval suhu tersebut, bahan diberi perlakuan pelarutan dengan cara

memanaskan sampel pada suhu 1000°C selama 3 jam yang diikuti dengan pencelupan dalam air. Laju korosi baja tahan karat dengan perlakuan ST akan dibandingkan dengan sampel tanpa ST. Hasil uji korosi sampel SS 316 ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Laju korosi sampel SS 316

Suhu perlakuan panas (°C)* Ulangan Arus korosi (Icorr) Laju korosi (MPY) Laju korosi rerata (MPY)* 1 188.96 77.88 Blangko 2 181.68 74.88 76.38 1 345.95 142.59 550 2 341.72 140.84 141.72 1 350.92 144.63 650 2 344.65 142.05 143.34 1 131.60 54.24 ST 2 143.02 58.95 56.59 1 225.21 92.82 ST-350 2 208.58 85.97 89.39 1 234.83 96.57 ST-450 2 207.06 88.27 91.06 1 250.75 103.35 ST-550 2 263.12 108.45 105.90 1 283.24 116.74 ST-650 2 291.16 120.00 118.37

Keterangan: *ST ialah pemanasan dengan perlakuan pelarutan terlebih dahulu. *MPY: milliinches per year.

Berdasarkan pengujian statistika menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), kenaikan suhu pemanasan pada sampel SS 316 dengan ST sangat memengaruhi laju korosi SS 316. Secara umum, kenaikan suhu pada interval suhu 350°C–650°C akan menyebabkan kenaikan pula pada laju korosinya (Gambar 1), walaupun setelah dilakukan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai yang nyata antara sampel dengan perlakuan panas pada suhu 350°C dan 450°C (Lampiran 6). Kenaikan laju korosi sebanding dengan kenaikan kerapatan arus korosi (Icorr). Laju korosi suatu logam dalam asam dipengaruhi oleh garis polarisasi anoda logam dan kerapatan arus pembentukan hidrogen pada logam. Kedua faktor ini sangat menentukan besarnya Icorr (Trethwey & Chamberlain 1991). Setelah diperoleh nilai Icorr setiap sampel, maka laju korosi dapat dihitung menggunakan tafel plot (Lampiran 7).

(17)

7

0 20 40 60 80 100 120 140 160 0 200 400 600 800

Suhu p erlakuan p anas (°C )

tanpa ST ST

Gambar 1 Pengaruh suhu pemanasan pada laju korosi SS 316.

Berdasarkan pengujian statistika menggunakan uji-t, sampel SS 316 dengan perlakuan ST memiliki nilai laju korosi yang lebih rendah dibandingkan tanpa perlakuan ST (Lampiran 8). Hal ini disebabkan adanya pemanasan pada suhu 1000°C selama 3 jam yang diikuti dengan pendinginan cepat dalam air dapat menekan pembentukan karbida pada batas butir yang bersifat katodik terhadap logam utama (Trethwey & Chamberlain 1991). Adanya perlakuan pelarutan dapat melarutkan semua inti kromium karbida dan menyebabkan fase padatan dalam paduan menjadi homogen (Lim et al. 2000). Ketahanan korosi sampel SS 316 tanpa perlakuan ST lebih rendah disebabkan ketika proses pembuatan sampel dimungkinkan terjadi proses peluluhan las pada baja tahan karat. Proses ini menyebabkan terbentuknya daerah heat affected zone (HAZ), yang secara mikro mengakibatkan inti-inti kromium karbida sudah ada lebih dahulu di batas butir (Jones 1992). Terbentuknya inti-inti kromium karbida di batas butir akan menyebabkan daerah di sekitar batas butir kekurangan unsur kromium yang akan menyebabkan mudah terjadinya korosi (Aydogdu 2004).

Kurva Potensiodinamik

Kurva potensiodinamik digunakan untuk melihat perilaku pasivasi logam dalam larutan elektrolit setelah diberi potensial tertentu. Gambar 2, 3, dan 4 menunjukkan pengeplotan potensial terhadap log i bahan SS 316.

Titik O atau Ekor menyatakan kondisi terkorosi secara bebas. Kurva pada potensial yang lebih negatif daripada Ekor, menggambarkan logam dalam kondisi katodik atau terjadi reaksi reduksi pada logam dan larutan. Jika potensial ditingkatkan, maka kerapatan arus akan meningkat. Kondisi ini merupakan daerah aktif sampel atau terjadi reaksi oksidasi pada sampel. Apabila potensial dibuat semakin positif dibanding Ekor,

kerapatan arus meningkat sampai suatu harga maksimum (Imaks). Potensial saat kerapatan arus maksimum (Imaks) disebut potensial pasif primer (Epp) (Gambar 2, 3, dan 4).

Gambar 2 Kurva potensiodinamik SS 316 suhu 350°C-650°C setelah ST.

Gambar 3 Kurva potensiodinamik SS 316 suhu 650°C setelah ST dan tanpa ST.

(18)

8

Gambar 4 Kurva potensiodinamik SS 316 suhu 550°C setelah ST dan tanpa ST.

Secara umum nilai Imaks pada sampel dengan perlakuan ST meningkat dengan meningkatnya suhu perlakuan panas sedangkan nilai Epp pada berbagai suhu bersifat konstan (Gambar 2). Nilai Imaks sampel yang dipanaskan pada suhu 550°C dan 650°C tanpa ST lebih besar dari sampel dengan perlakuan ST (550°C & ST-650°C) (Gambar 3 dan 4). Nilai Imaks menunjukkan kemudahan suatu logam dalam membentuk lapisan pasif. Nilai Imaks dipengaruhi oleh suhu dan pH larutan. Pada suhu yang tinggi dan pH yang rendah, nilai Imaks akan meningkat (Aydogdu 2004).

Perubahan kurva polarisasi sangat tergantung pada kemudahan logam tersebut membentuk lapisan pasif. Gambar 2, 3, dan 4 menunjukkan bahwa lapisan pasif kromium oksida akan mudah terbentuk pada saat nilai Epp dan Imaks rendah. Semakin tinggi nilai Epp dan Imaks maka semakin sulit pula terjadinya pasivasi. Nilai Imaks dan Epp juga mempengaruhi kestabilan lapisan pasif kromium oksida. Nilai Imaks dan Epp yang rendah menyebabkan lapisan pasif kromium oksida yang lebih stabil (Aydogdu 2004).

Setelah kerapatan arus mencapai nilai maksimum (Imaks), namun tiba-tiba turun ke nilai yang sangat rendah (Ipas). Pada titik tersebut logam mencapai kondisi pasif karena terlindung oleh permukaan pasif kromium oksida. Nilai Imaks dan Ipas merupakan nilai kerapatan arus yang saling berkaitan, yaitu nilai yang diperlukan untuk memasifkan logam (Imaks) dan nilai yang dibutuhkan untuk mempertahankan selaput pasif ketika telah terbentuk. Berbeda dengan Imak, nilai Ipas tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap suhu

perlakuan panas dan ketahanan korosi pada sampel (Gambar 2, 3, dan 4 ). Nilai Ipas sampel yang dipanaskan pada suhu 550°C dan 650°C tanpa ST lebih besar daripada sampel dengan perlakuan ST (ST-550°C & 650°C) (Gambar 3 dan 4). Secara umum, nilai Imaks sebesar 100 sampai 1000 kali lebih besar dari nilai Ipas. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pertama kali dibutuhkan kerapatan arus yang tinggi, tetapi ketika logam terpasifkan permukaannya yang cukup luas dapat terlindungi secara efisien dengan kerapatan arus yang sangat kecil (Trethwey & Chamberlain 1991).

Penambahan potensial lebih lanjut hampir tidak menimbulkan pengaruh, sampai pada potensial yang cukup tinggi sehingga energi bebas yang tersedia untuk korosi melebihi kemampuan proteksi. Ketika hal ini terjadi, selaput permukaan kromium oksida pecah dan korosi mengalami percepatan kembali. Daerah ini disebut transpasif (Trethwey & Chamberlain 1991). Potensial terbentuknya daerah transpasif pada berbagai perlakuan suhu baik ST maupun nonST yaitu pada kisaran potensial 400-450 mV (Gambar 2, 3, dan 4). Pada interval potensial ini, selaput pasif kromium oksida akan larut akibat penerapan potensial yang sangat positif (Bundjali et al. 2004).

Derajat Sensitisasi

Derajat sensitisasi sampel SS 316 diukur menggunakan metode EPR dalam campuran larutan 0.5 M H2SO4 dan 0.01 M KSCN. Penggunaan larutan H2SO4 saja walaupun dalam konsentrasi yang tinggi tidak dapat merusak selaput pasif kromium oksida dan memunculkan endapan kromium karbida. Oleh karena itu, ditambahkan larutan KSCN sebagai aktivator (Aydogdu 2004). Menurut Lim et al. (2000), KSCN merupakan larutan korosif yang kuat serta aktivator daerah batas butir yang terbaik. Selain KSCN, senyawa organosulfur yang dapat digunakan sebagai aktivator ialah natrium tiosulfat, tioasetamida, dan sulfokarbamida (Fang 1998 diacu dalam Aydogdu 2004).

Apabila baja tahan karat mengalami perlakuan panas pada suhu tertentu dapat mengakibatkan sensitisasi atau pembentukan kromium karbida di batas butir yang selanjutnya menghasilkan korosi batas butir. Pengukuran derajat sensitisasi sampel berdasarkan jumlah muatan selama reaktivasi yang diberikan (Jones 1992). Hasil pengukuran muatan reaktivasi sampel SS 316 ditunjukkan pada Tabel 4.

(19)

9

Tabel 4 Muatan reaktivasi SS 316

Suhu perlakuan panas (°C)* Ulangan Muatan reaktivasi (mC/cm2) Muatan reaktivasi rerata (mC/ cm2 ) 1 44.77 Blangko 2 49.59 47.18 1 2741.95 550 2 2754.00 2747.98 1 2772.98 650 2 2764.55 2768.77 1 43.12 ST 2 40.06 41.59 1 79.14 ST-350 2 84.31 81.72 1 96.57 ST-450 2 88.27 92.42 1 2702.48 ST-550 2 2738.68 2720.58 1 2760.44 ST-650 2 2773.56 2767.00

Keterangan: *ST ialah pemanasan dengan perlakuan pelarutan terlebih dahulu.

Berdasarkan pengujian statistika menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), kenaikan suhu pemanasan pada sampel SS

316 dengan perlakuan ST sangat

memengaruhi muatan reaktivasi SS 316. Secara umum, kenaikan suhu pada interval suhu 350°C-650°C akan menyebabkan kenaikan pula pada jumlah muatan reaktivasi (Gambar 5), walaupun setelah dilakukan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai yang nyata antara sampel dengan perlakuan panas pada suhu 350°C dan 450°C (Lampiran 6). 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 2200 2400 2600 2800 3000 0 100 200 300 400 500 600 700

Suhu p erlakuan p anas (°C )

tanpa ST ST

Gambar 5 Pengaruh suhu pemanasan pada muatan reaktivasi SS 316.

Muatan reaktivasi (Q) dihitung berdasarkan luas daerah di bawah kurva puncak reaktivasi yang dibatasi oleh nilai Ekor (Gambar 6). Kenaikan jumlah muatan

reaktivasi pada suhu 550°C dan 650°C secara signifikan menunjukkan bahwa pada suhu tersebut, sampel SS 316 mulai tersensitisasi korosi batas butir (Gambar 6). Korosi pada daerah batas butir yang kekurangan kromium akan menyebabkan kenaikan kerapatan arus secara cepat ketika potensial elektrokimia diubah dari daerah pasif ke daerah aktif (Clark 2005).

Gambar 6 Kurva potensiokinetik reaktivasi SS

316 suhu 350°C-650°C setelah ST. Berdasarkan pengujian statistika menggunakan uji-t, sampel SS 316 dengan perlakuan pelarutan (ST, 550°C, dan ST-650°C) memiliki nilai muatan reaktivasi yang lebih rendah dibandingkan tanpa perlakuan ST (blangko, suhu 550°C, dan 650°C) (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ST pada suhu 1000°C telah efektif dalam mengurangi intensitas sensitisasi baja tahan karat (Silva et al. 2003). Perbandingan kurva potensiokinetik reaktivasi SS 316 dengan ST dan tanpa ST terdapat pada Lampiran 9, 10, dan 11.

Mikrostruktur SEM

Gejala korosi batas butir sampel SS 316 juga dapat diamati pada mikrostruktur yang dapat dilihat menggunakan scanning electron

microscope (SEM). Hasil pengamatan menggunakan SEM ini dapat diperlihatkan pada Gambar 7 sampai dengan Gambar 15.

(20)

10

Gambar 7 Mikrostruktur SS 316 setelah perlakuan ST.

Gambar 8 Mikrostruktur blangko SS 316.

Gambar 9 Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 350°C dengan ST.

Gambar 10 Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 450°C dengan ST.

Gambar 11 Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 550°C tanpa ST.

Gambar 12 Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 550°C dengan ST.

Gambar 13 Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 650°C dengan ST.

Gambar 14 Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 650°C tanpa ST (pembesaran 500 kali ).

(21)

11

Gambar 15 Mikrostruktur SS 316 setelah dipanaskan pada suhu 650°C tanpa ST (pembesaran 3500 kali).

Mikrostruktur blangko SS 316 dan ST terlihat tidak terdapat inti kromium karbida (Gambar 7 dan 8). Hal ini sangat sesuai dengan laju korosi dan muatan reaktivasi yang dihasilkan memilki nilai yang rendah dibandingkan perlakuan sampel lainnya. Perlakuan ST pada suhu 1000°C tidak akan menyebabkan terbentuknya endapan kromium karbida bila dilakukan pendinginan dengan cepat, tetapi bila didinginkan secara perlahan-lahan atau dibiarkan selama beberapa waktu pada suhu ± 650°C, karbon akan mengendap membentuk endapan kromium karbida di batas butir (Vlack 1986).

Mikrostruktur SS 316 yang dipanaskan pada suhu 350°C dan 450°C juga tidak terdapat endapan kromium karbida. Energi yang dihasilkan oleh pemanasan sampel SS 316 dengan perlakuan ST pada suhu 350°C dan 450°C selama 5 jam belum cukup untuk menyebabkan difusi unsur karbon ke batas butir sehingga belum menghasilkan endapan kromium karbida (Gambar 9 dan 10). Hal ini sesuai dengan pengujian derajat sensitisasi dengan metode EPR yang menghasilkan nilai muatan reaktivasi yang rendah.

Mikrostruktur SS 316 yang dipanaskan pada suhu 550°C dan 650°C tanpa ST terlihat adanya endapan kromium karbida berwarna hitam, walaupun endapan tersebut belum membentuk butiran yang sempurna. Berdasarkan ASTM A 262, mikrostruktur batas butir ini termasuk pada tahap step ’permulaan’ karena tidak ada satu butir pun yang secara menyeluruh dikelilingi endapan kromium karbida. Endapan kromium karbida pada sampel dengan suhu pemanasan 650°C lebih banyak dari suhu 550°C (Gambar 11, 14, dan 15).

Gambar 12 dan 13 menunjukkan bahwa adanya perlakuan ST dapat mengurangi pembentukan endapan kromium karbida di batas butir. Hal ini terbukti pada sampel yang

dipanaskan pada suhu 550°C dan 650°C dengan perlakuan ST memiliki jumlah endapan kromium karbida yang lebih kecil. Proses pemanasan pada suhu 650°C adalah proses pemanasan yang berada dalam interval suhu kritis baja tahan karat austenitik. Pemanasan pada suhu tersebut menyebabkan terjadinya pembentukan endapan kromium karbida di batas butir melalui mekanisme difusi unsur karbon (Kartaman & Junaedi 2006) (Lampiran 12). Pada suhu 650°C, laju difusi unsur kromium pada SS 316 sebesar 2×10-16 cm/detik, sedangkan unsur karbon sebesar 6×10-6 cm/detik. Atom karbon memiliki laju difusi yang besar disebabkan memiliki jari-jari dan bobot atom yang lebih rendah dari kromium (Aydoĝdu 2004).

Kromium karbida yang terbentuk pada batas butir akan mengakibatkan daerah kekurangan unsur kromium atau chromium

depleted zone dan secara mikro dapat

menyebabkan beda potensial antara daerah sekitar batas butir sehingga bahan tersebut mudah mengalami korosi batas butir dengan laju korosi cukup tinggi. Menurut Silva et al. (2003), bila daerah sekitar batas butir yang tersensitisasi dicirikan menggunakan energy

dispersive X-ray (EDX) akan menunjukkan

puncak karbon tinggi dan puncak kromium yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah tersebut kekurangan kromium dan kaya unsur karbon. Sensitisasi pada baja tahan karat menyebabkan kegagalan bahan atau retak korosi akibat tegangan (stress corrosion

cracking) (Trethwey dan Chamberlain 1991). Ciri Berdasarkan XRD

Tujuan pencirian menggunakan XRD ialah untuk melihat perubahan fase akibat perlakuan ST dan perlakuan panas pada suhu 650°C. Gambar 16 menunjukkan spektrum difraksi sinar-X blangko SS 316. Puncak-puncak pada sudut 43.31°, 50.57°, dan 74.29° menunjukkan adanya fase austenit (FeNiCr). Fase austenit baja tahan karat memiliki struktur kubus pusat muka (fcc). Hal ini sesuai dengan parameter kisi fase austenit baja tahan karat (a=3.591=b=c) (Lampiran 13). Struktur kubus pusat muka pada fase ini menyebabkan baja tahan karat austenitik bersifat nonmagnetik.

(22)

12

Puncak 44.31° dan 17.93° menunjukkan adanya inti kromium karbida (Cr23C6) dan senyawa pengotor. Adanya kromium karbida disebabkan oleh pengelasan pada proses pabrikasi baja. Proses pengelasan dapat menyebabkan terbentuknya heat affected zone (HAZ) yang berada pada interval suhu krits terjadinya korosi batas butir (Lampiran 13) (Jones 1992).

Gambar 17 menunjukkan spektrum difraksi sinar-X SS 316 setelah perlakuan ST. Puncak-puncak pada sudut 43.47°, 50.65°, dan 74.45° menunjukkan adanya fase austenit (FeNiCr). Perlakuan ST menyebabkan hilangnya puncak serapan kromium karbida dan senyawa pengotor yang terdapat pada blangko. Menurut Lim et al. (2000), perlakuan ST dapat melarutkan inti-inti kromium karbida dan menyebabkan homogenitas fase dalam paduan yang akan meningkatkan ketahanan korosi.

Gambar 18 menunjukkan spektrum difraksi sinar-X SS 316 setelah pemanasan suhu 650°C dengan perlakuan ST. Puncak-puncak pada sudut 43.55°, 50.69°, dan 74.37° menunjukkan adanya fase austenit (FeNiCr). Adanya pemanasan suhu 650°C menyebabkan terbentuknya endapan kromium karbida pada puncak 44.57°. Senyawa oksida yang muncul signifikan pada spektrum ini ialah Cr2O3 dan Fe2O3 pada puncak 24.37° dan 35.71°. Senyawa-senyawa lain yang muncul dengan intensitas rendah antara lain Fe3O4 (35.07°), Ni2O3 (56.09°), dan CrO2 (36.77°). Referensi penentuan puncak-puncak hasil difraksi sinar-X terdapat pada Lampiran 14.

Gambar 16 Spektrum difraksi sinar-X blangko SS 316. 0 500 1000 1500 2000 2500 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Sudut 2θ / o In te n s it a s ( a rb . u n it ) Fe-Ni-Cr (γ) Cr23C6 Fase-fase lain/ (pengotor) Fe-Ni-Cr (γ) Fe-Ni-Cr (γ)

(23)

13

0 500 1000 1500 2000 2500 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Sudut 2θ / o In te n s it a s ( a rb . u n it ) Fe-Ni-Cr (γ) Fe-Ni-Cr (γ) Fe-Ni-Cr (γ) 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Sudut 2θ / o In te n s it a s ( a rb . u n it ) Fe-Ni-Cr (γ) Cr2O3 Fe3O4 CrO2 Ni2O 3 Cr23C6 Fe-Ni-Cr (γ) Fe-Ni-Cr (γ)

Gambar 17 Spektrum difraksi sinar-X SS 316 dengan perlakuan ST.

(24)

14

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemanasan pada suhu 350°C–650°C setelah perlakuan pelarutan dapat memengaruhi laju korosi dan muatan reaktivasi SS 316. Semakin tinggi suhu pemanasan semakin tinggi pula laju korosi dan muatan reaktivasinya. Sampel SS 316 yang dipanaskan pada suhu 650°C menghasilkan laju korosi dan muatan reaktivasi paling tinggi, yaitu 118.37

milliinches per year (MPY) dan 2767

mC/cm2. Muatan reaktivasi menunjukkan kerentanan terhadap korosi batas butir. Sampel yang dipanaskan suhu 350, 450, dan 550°C setelah ST tidak menimbulkan korosi batas butir dengan muatan reaktivasi berturut-turut sebesar 81.72, 92.42, dan 2720.58 mC/cm2.

Laju korosi dan muatan reaktivasi SS 316 pada suhu 550°C dan 650°C tanpa ST lebih besar dari ST dengan perlakuan panas yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ST telah cukup meningkatkan ketahanan korosi batas butir pada SS 316.

Saran

Bila baja tahan karat austenitik (SS 316) digunakan pada suhu di atas 550°C, dianjurkan modifikasi material terlebih dahulu. Modifikasi paduan dilakukan dengan penambahan unsur pemadu, seperti Mo, Nb, dan TI pada konsentrasi tertentu serta mengurangi kadar karbon hingga 0.03 %. Kedua hal ini akan mencegah terbentuknya endapan kromium karbida di batas butir.

DAFTAR PUSTAKA

Akhadi, Muklis. 1997. Pengantar Teknologi Nuklir. Jakarta: PT Rineka Cipta.

ASTM. 1992. Annual Book of ASTM

Standards. Section 3. Vol 03.02. Philadelphia: American Society for Testing and Materials.

Atkins PW. 1999. Kimia Fisika Jilid 2. Edisi ke-4. Kartohadiprodjo II, penerjemah; Indarto PW, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Physical Chemistry.

Aydoĝdu GH. 2004. Determination of susceptibility to intergranular corrosion in AISI 304 L type stainless steel by electrochemical reactivation method. [tesis]. Teheran: Department of Metallurgical and Material Engineering of Teheran.

Benjamin M. 1983. Nuclear Reactor Materials and Aplications. New York:

Van Nostrand Reinhold.

Bundjali B, Surdia NM, Liang OB. 2004. Konstruksi diagram potensial pH baja karbon dalam buffer asetat secara potensiodinamik. Jurnal Matematika dan

Sains;9:307–312.

Clark TD. 2005. An analysis of microstructure and corrosion resistance in underwater friction stir welded 304 L stainless steel. [tesis]. Brigham: Department of Mechanical Engineering Brigham Young University.

Jones DA. 1992. Principles and Prevention of

Corrosion. New York: Macmillan.

Kartaman MA, Junaedi. 2006. Efek perlakuan panas terhadap korosi intergranular baja tahan karat austenitik menggunakan metode kimia (Heuy test). Hasil-hasil

penelitian EBN. Tangerang: PTBN Batan.

Khopkar SM. 1990. Konsep Dasar Kimia

Analitik. Saptorahardjo A, penerjemah;

Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Basic

Concepts of Analytical Chemistry.

Lim YS et al. 2001. Influence of laser surface melting on the susceptibility to intergranular corrosion of sensitized Alloy 600. J Corrosion Science;43: 1321–1335. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002.

Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Jilid I. Bogor: IPB Pr.

Nugroho A, K Rosika. 2005. Aplikasi XRF untuk analisis unsur dalam bahan. Seminar

Nasional MIPA, Universitas Indonesia;

Depok, 24–26 November 2005. Depok: Universitas Indonesia.

Nugroho D. 2007. Klasifikasi stainless steel. http://www.tasteel.com/klasifikasistainles

(25)

15

Samosir N. 2005. Karakterisasi struktur mikro pelat elemen baker (PEB) U3Si2Al dengan

menggunakan scanning electron

microscope (SEM). Presentasi Peneliti Muda Bidang Metalurgi. Tangerang:

PTBN Batan.

Silva MJG, Sousa AA, Lima PD. 2003. Microstruktural and electrochemical characterization of the low temperature sensitzation of AISI 321 SS tube used in petroleum refining plants. Kluer Academic

Publishers;38:1007-1011.

Sugondo, Futichah. 2006. Karakterisasi ukuran kristalit, regangan mikro, dan kekuatan luluh Zr-1%Sn-1&Nb-1% Fe, dengan difraksi sinar X. Jurnal Sains

Materi Indonesia;6:150–160.

Supardi, Ikhsan M, Grace TJS. 2007.

Praktikum pengujian korosi dengan metode elektrokimia. Jakarta: Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir Batan. Trethwey KR, Chamberlain J. 1991. Korosi

Untuk Mahasiswa dan Rekayasawan.

Widodo AT, penerjemah. Jakarta: PT Gramedia. Terjemahan dari: Corrosion for

Student of Science and Engineering.

Vlack V. 1986. Ilmu dan Teknologi bahan. Djaprie S, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Element of Materials

(26)
(27)

17

Lampiran 1 Pengujian standar korosi batas butir (Intergranular) baja tahan karat ASTM

(Nama umum) Larutan uji

Waktu

pengujian Daerah yang terserang A708-86 (Strauss) 16 % H2SO4 + 6 % CuSO4

mendidih 72 jam Daerah kekurangan kromium A262-86 Prosedur A (Etsa oksalat) 10 % H2C2O4 1.5 menit pada suhu ruang

Berbagai jenis karbida A262-86 Prosedur B

(uji Streicher)

50 % H2SO4 + 2.5 % Fe2(SO4)3 mendidih

120 jam Daerah kekurangan

kromium A262-86 Prosedur C

(Huey) 65 % HNO3 mendidih 48 jam

Daerah kekurangan kromium, fase sigma, dan

karbida A262-86 Prosedur D

(Warren) 10 % HNO3 + 3 % HF 2 jam

Daerah kekurangan kromium pada baja yang

mengandung Mo A262-86 Prosedur E

(Uji tembaga Strauss)

16 % H2SO4 + 6 % CuSO4

mendidih 24 jam

Daerah kekurangan kromium

(28)

18

Lampiran 2 Komposisi unsur berbagai jenis baja tahan karat

% Komposisi kira-kira (selain Fe) Tipe bahan

No. AISI Cr Ni Mo C N Lain-lain

Austenik 201 16-18 3.5-5.5 – 0.15 0.25 5.5-7.5 Mn 202 17-19 4-6 – 0.15 0.25 7.5-10 Mn 205 16-18 1-1.75 1-1.7 0.25 0.5 – 304 18-20 8-10.5 – 0.08 0.10 – 304L 18-20 8-12 – 0.03 0.10 – 304N 18-20 8-10.5 – 0.08 0.1-0.16 – 304LN 16-18 8-12 – 0.03 0.1-0.16 – 316 16-18 10-14 2-3 0.08 0.1 – 316L 16-18 10-14 2-3 0.03 0.1 – 316N 16-18 10-14 2-3 0.08 0.1-0.16 – 306LN 16-18 10-14 2-3 0.03 0.1-0.16 – 317 18-20 11-15 3-4 0.08 – – 317L 18-20 11-15 3-4 0.03 – – 321 17-19 9-12 – 0.08 – <0.4 Ti 254SMO 19.5-20.5 17.5-18.5 6-6.5 0.02 0.18-0.22 0.5-1 Cu 20MO-6 22-26 33-37 5-6.7 0.03 – 2-4 Cu

(29)

19

Lampiran 3 Perbandingan Sifat Mekanik Berbagai Jenis Baja Tahan Karat

Jenis Baja Tahan karat Respon magnet Ketahanan korosi Metode Hardening Keliatan Ketahanan suhu tinggi Ketahanan Suhu rendah Welding

Austenitik Tidak Sangat tinggi Cold work Sangat Tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi

Duplex Ya Sedang Tidak

ada Sedang Rendah Sedang Tinggi

Ferritik Ya Sedang Tidak

ada Sedang Tinggi Rendah Rendah

Martensit Ya Sedang Q & T Rendah Rendah Rendah Rendah

(30)

20

Lampiran 4 Deret galvanik beberapa paduan logam

Grafit Katodik Nikel–A

Perak Timah putih

Baja 12% Ni, 18% Cr, 3% Mo–P Timah hitam

Baja 20% Ni, 25% Cr–P Timah patri, Pb–Sn

Baja 23 –30% Cr–P Baja12% Ni, 18% Cr, 3%

Mo–A

Baja 14% Ni, 23% Cr–P Baja 20% Ni, 25% Cr–A

Baja 8% Ni, 18% Cr–P Baja14% Ni, 23% Cr–A

Baja 7% Ni, 17% Cr–P Baja 8% Ni, 18% Cr–A

Baja 16–18%Cr–P Baja 7% Ni, 17% Cr–A

Baja 12–14%Cr–P Ni–resist

Baja 80% Ni, 20%Cr–P Baja 23–30% Cr–A

Inconel–P Baja 16–18% Cr–A

60% Ni, 15% Cr–P Baja 12–14% Cr–A

Nikel–P Baja 4–6% Cr–A

Logam monel Besi cor

Tembaga–nikel Baja tembaga

Nikel–perak Baja karbon

Perunggu Paduan aluminium 2017–T

Tembaga Kadmium

Kuningan Aluminium.1100

80% Ni, 20% Cr–A Seng

Inconel–A Paduan magnesium

80% Ni, 20% Cr–A anodik Magnesium

(31)

21

Lampiran 5 Diagram alir kerentanan korosi batas butir SS 316 Sampel SS 316 komersial

Analisis komposisi unsur dengan XRF dan spektofotometer emisi

Perlakuan pelarutan Blangko Pemanasan suhu 650ºC selama 5 jam Perlakuan pelarutan Pemanasan suhu 550ºC selama 5 jam Pemanasan suhu 450ºC selama 5 jam Pemanasan suhu 350ºC selama 5 jam Pemanasan suhu 550ºC

selama 5 jam Pemanasan suhu

650ºC selama 5 jam

Pencirian dengan XRD

Blangko dan sampel SS 316 setelah berbagai perlakuan

panas

Preparasi metalografi

Uji korosi

Pencirian dengan SEM

(32)

22

Lampiran 6 Analisis ragam pengaruh suhu pemanasan

Laju Korosi (ST, ST-350°C, ST-450°C, ST-550°C, ST-650°C)

H0 : µ1 = µ2 = µ3 = µ4= µ5 (semua perlakuan memberikan respon yang sama terhadap laju korosi)

H1 : minimal ada satu perlakuan yang memberikan respon yang berbeda terhadap laju korosi. Berdasarkan tabel ANOVA, model yang diperoleh nyata, artinya terdapat perbedaan pengaruh antara ST, ST-350, ST-450, ST-550, dan ST-650°C terhadap laju korosi.

Untuk dapat melihat perlakuan mana yang berbeda maka dilakukan uji lanjut Duncan.

Berdasarkan uji Duncan, terlihat bahwa ST memiliki perbedaan perlakuan dengan semua perlakuan.

ST-350°C memiliki perbedaan perlakuan dengan ST, ST-550°C, dan ST-650°C. ST-450°C memiliki perbedaan perlakuan dengan ST, ST-550°C, dan ST-650°C. ST-550°C memiliki perbedaan perlakuan dengan semua perlakuan.

ST-650°C memiliki perbedaan perlakuan dengan semua perlakuan. Muatan reaktivasi (ST, ST-350°C, ST-450°C, ST-550°C, ST-650°C)

Berdasarkan tabel ANOVA, model yang diperoleh nyata, artinya terdapat perbedaan pengaruh antara ST, ST-350, ST-450, ST-550, dan ST-650°C terhadap muatan reaktivasi.

Untuk dapat melihat perlakuan mana yang berbeda maka dilakukan uji lanjut Duncan. Dari output terlihat bahwa ST memiliki perbedaan perlakuan dengan semua perlakuan. ST-350°C memiliki perbedaan perlakuan dengan ST, ST-550°C, dan ST-650°C. ST-450°C memiliki perbedaan perlakuan dengan ST, ST-550°C, dan ST-650°C. ST-550°C memiliki perbedaan perlakuan dengan semua perlakuan.

ST-650°C memiliki perbedaan perlakuan dengan semua perlakuan. Lampiran 7 Rumus dan contoh perhitungan laju korosi dengan tafel plot

CR =

d

A

Ew

Ikor

×

×

×

13

.

0

keterangan:

CR = laju korosi (milliinches per year (MPY

))

A = luas permukaan sampel (cm2)

Ew = bobot ekivalen (gram) d = densitas sampel (gram/cm3) Ikor = arus korosi (µA)

Contoh perhitungan laju korosi blangko SS 316 pada ulangan 1 Diketahui: Bobot ekivalen SS 316 = 25.3 gram

Densitas SS 316 = 7.98 gram/cm3 CR =

d

A

Ew

Ikor

×

×

×

13

.

0

=

98

.

7

1

3

.

25

96

.

188

13

.

0

×

×

×

(33)

23

Lampiran 8 Uji-t pengaruh perlakuan pelarutan SS 316 Laju Korosi

Blangko dengan perlakuan pelarutan

H0 : µx≥µy (Laju korosi suhu blangko lebih besar dari laju korosi perlakuan pelarutan) H1 : µx < µy (Laju korosi suhu blangko lebih kecil dari laju korosi perlakuan pelarutan) Suhu 550°C dengan ST-550°C

H0 : µx≥µy (Laju korosi suhu 550°C lebih besar dari ST-550°C) H1 : µx < µy (Laju korosi suhu 550°C lebih kecil dari ST-550°C) Suhu 650°C dengan ST-650°C

H0 : µx≥µy (Laju korosi suhu 650°C lebih besar dari ST-650°C) H1 : µx < µy (Laju korosi suhu 650°C lebih kecil dari ST-650°C)

Berdasarkan uji-t didapatkan p-value=0.997 yang lebih besar dari α (0.05) sehingga terima H0, artinya laju korosi suhu 650°C lebih besar dari ST-650°C.

Muatan Reaktivasi

Blangko dengan perlakuan pelarutan

H0 : µx≥µy (Muatan reaktivasi blangko lebih besar dari perlakuan pelarutan) H1 : µx < µy (Muatan reaktivasi blangko lebih kecil dari perlakuan pelarutan)

Berdasarkan uji-t didapatkan p-value=0.905 yang lebih besar dari α (0.05) sehingga terima H0, artinya muatan reaktivasi blangko lebih besar dari perlakuan pelarutan.

Suhu 550°C dengan ST-550°C

H0 : µx≥µy (Muatan reaktivasi suhu 550°C lebih besar dari ST-550°C) H1 : µx < µy (Muatan reaktivasi suhu 550°C lebih kecil dari ST-550°C)

Berdasarkan uji-t didapatkan p-value=0.856 yang lebih besar dari α (0.05) sehingga terima H0, artinya muatan reaktivasi suhu 550°C lebih besar dari ST-550°C.

Lampiran 9 Kurva potensiokinetik reaktivasi blangko dan SS 316 dengan perlakuan pelarutan

*Keterangan: ST = SS 316 dengan perlakuan pelarutan tanpa perlakuan panas. BK= Blangko SS 316.

(34)

24

Lampiran 10 Kurva potensiokinetik reaktivasi SS 316 suhu 550°C dan ST-550°C.

*Keterangan: ST55 = SS 316 yang dipanaskan pada suhu 550°C dengan perlakuan pelarutan. A55 = SS 316 yang dipanaskan pada suhu 550°C tanpa perlakuan pelarutan.

Lampiran 11 Kurva potensiokinetik reaktivasi SS 316 suhu 650°C dan ST-650°C.

*Keterangan: ST55 = SS 316 yang dipanaskan pada suhu 550°C dengan perlakuan pelarutan. A55 = SS 316 yang dipanaskan pada suhu 550°C tanpa perlakuan pelarutan.

(35)

25

Lampiran 12 Mekanisme korosi batas butir

*Sumber: Jones 1992. Daerah kekurangan kromium Presipitat kromium karbida karbida Butir Butir Batas butir Logam terlarut

(36)

26

Lampiran 13 Daerah pemanasan (heat affected zone) baja tahan karat

Heat Affected Zone (HAZ)

*Sumber: Jones 1992.

Lampiran 14 Referensi PCPDF difraksi sinar X SS 316 Referensi fase austenit (FeNiCr)

Parameter kisi (a = 3.591 = b = c) menunjukkan struktur kristal kubus pusat muka (fcc). Referensi kromium karbida (Cr23C6)

(37)

27

Lanjutan Lampiran 13

Referensi kromium oksida (CrO2)

Referensi kromium oksida (Cr2O3)

(38)

28

Lanjutan Lampiran 13 Referensi Fe2O3

Gambar

Tabel 2 Komposisi kimia sampel SS 316                menggunakan spektrofometer emisi                optik  Unsur  Kadar (%  b/b)  Unsur  Kadar (% b/b)  Fe  57.20  Zr  0.02  Cr  22.20  V 0.11  Ni  13.30  Cu 2.82  Mo  1.79  W 0.03 C  0.08  Ti 0.01 Si  0.60
Gambar 3 Kurva potensiodinamik SS 316                   suhu 650°C setelah ST dan tanpa                    ST
Gambar 4 Kurva potensiodinamik SS 316                    suhu 550°C setelah ST dan tanpa                    ST
Tabel 4 Muatan reaktivasi SS 316
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan upaya perancangan body mobil yang lebih aerodinamis dan mendesain kembali mobil Antawirya Turangga Veda terdahulu dengan nama

Masyarakat Desa Ngloram hendaknya ditingkatkan terus dalam melaksanakan zakat dari harta kekayaan yang diberikan Allah SWT agar makna zakat benar-benar dapat menyentuh

Trust in brand di beberapa perusahaan manufaktur dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian loyalitas pada merek, meskipun banyak merek produk dari perusahaan

Dari sisi operator, penelitian ini dapat merekomendasikan bahwa untuk dapat menentukan offset handover yang optimal untuk load balancing maka base station target mesti

Menurut Abu Bakar, mazahab Syafi‟i memisahkan harta kekayaan itu dengan mata pencarian yang dimaknainya, karena dengan pendapat atau pekerjaan itu bisa dijadikan

Alhamdulillahirabbilalamin, puji syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan akhir ini yang

Terkait perencanaan karier dalam Transformasi TNI AD, di awal telah disinggung tentang masalah penumpukan personel yang berakibat pada stagnasi jabatan ditubuh TNI AD. Berkaca

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa perencanaan pengelolaan Keuangan desa (Alokasi Dana Desa) dalam pembangunan fisik di Desa Batu Timbau telah