• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Karya sastra ditulis oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENGANTAR. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Karya sastra ditulis oleh"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB I

PENGANTAR

Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Karya sastra ditulis oleh sastrawan yang terikat pada paham, pikiran, atau pandangan dunia masyarakat pada zamannya dan zaman sebelumnya (Teeuw, 1983: 11). Demikian halnya dalam karya sastra bergenre puisi. Puisi sebagai sebuah bentuk karya seni, selalu berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi, antara keterikatan dan kebebasan mencipta (Teeuw, 1983: 11).

1.1. Latar Belakang Masalah

Puisi-puisi karya A. Mustofa Bisri tidak lahir dari kekosongan budaya. Umar Kayam dalam pengantar antologi Tadarus menyatakan bahwa puisi-puisi yang ditulis oleh A. Mustofa Bisri bersumber dari Alquran dan matan hadits1 Nabi Muhammad saw. sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut.

... Inilah kelanjutan perjalanan Mustofa Bisri dalam berpuisi. Seorang kyai yang memimpin sebuah pondok pesantren, yang “profesinya” melakukan perjalanan spiritual menatap dan mempertimbangkan firman Allah dan sabda nabi, tetapi dengan kesimpulan sudut pandang manusia sehari-hari... (Bisri, 2003: vii-viii)

Pernyataan Umar Kayam tersebut menyaran bahwa A. Mustofa Bisri menafsirkan nash Alquran dan matan hadits dalam bentuk puisi. Penulisan ulang tafsir dalam bentuk puisi ini tampaknya terpengaruh oleh kecenderungan, kemampuan, tingkat keilmuan dan lingkungan sosial A. Mustofa Bisri. Penulisan ulang tafsir yang terpengaruh oleh kecenderungan, kemampuan, tingkat keilmuan dan lingkungan sosial ini dijelaskan oleh M. Quraish Shihab dalam pengantar Tafsir Al-Mishbah sebagai berikut.

1

Matan: materi atau teks hadits , berupa ucapan, perbuatan dan takrir yang terletak setelah sanad terakhir (KBBI, 2008: 887)

(2)

12 Tafsir alquran adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai kemampuan manusia. Kemampuan itu bertingkat-tingkat sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seorang penafsir dari alquran bertingkat-tingkat pula. Kecenderungan manusia juga berbeda-beda sehingga apa yang dihidangkan dari pesan-pesan Ilahi dapat berbeda antara yang satu dan yang lain. Jika Fulan memiliki kecenderungan hukum, tafsirnya banyak berbicara tentang hukum. Kalau kecenderungan si Anti adalah filsafat, tafsir yang dihidangkannya bernuansa filosofis. Kalau studi yang diminatinya bahasa, tafsirnya banyak berbicara tentang aspek-aspek kebahasaan. Demikian seterusnya.

Keberadaan seseorang pada lingkungan budaya atau kondisi sosial, dan perkembangan ilmu, juga mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam menangkap pesan-pesan alquran. Keagungan firman Allah dapat menampung segala kemampuan, tingkat, kecenderungan, dan kondisi yang berbeda-beda itu. (Shihab, 2009: xix)

Umar Kayam juga menyebut bahwa A. Mustofa Bisri mempunyai kesimpulan-kesimpulan pendek yang merupakan penulisan ulang tafsir Alquran dan hadits dalam bentuk puisi. Sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut.

Dalam berbagai perjalanannya, Mustofa juga membuat kesimpulan-kesimpulan pendek yang indah.

Semula dengkurnya mengganggu tidurku. Kini tak lagi. (NURANI)

Jika terbit disini

Aku tak peduli akan tenggelam dimana (MATAHARI)

Laut,

Aku ingin meminum habis airmu Tapi untuk apa?

(LAUT) Bulan,

Ayo berpandang-pandangan Siapa yang lebih dahulu berkedip

Menemukan atau kehilangan pesona wajahNya (BULAN)

Semua kesimpulan-kesimpulan pendek di atas, saya percaya, adalah hasil perjalanan pertimbangan yang rumit (Bisri, 2003: x) ...Akan tetapi, rumit di sini tidak usah berarti rumit dalam penampilan akhir satu puisi. Yang rumit itu bukan

(3)

13 terutama produk akhir dari sebuah pertimbangan. Produk akhir adalah sebuah kesimpulan (Bisri, 2003: vii)

‘Puisi kesimpulan pendek’ tersebut merupakan hasil dari perjalanan spiritual, menatap dan mempertimbangkan firman Allah dan sabda nabi. Kesimpulan puitis tersebut uniknya memakai sudut pandang manusia sehari-hari, bukan lagi menggunakan syarah sebagaimana dalam tafsir firman dan hadits yang biasa digunakan dalam kalangan pesantren. Hal tersebut tersebut dijelaskan dalam kutipan berikut.

Inilah perjalanan berpuisi yang unik. Dalam menatap alam semesta dan polah tingkah manusia Mustofa Bisri mendengarkan firman Allah dan sabda Muhammad, yang sesungguhnya adalah puisi-puisi. Kemudian ia merenungi, mempertimbangkan, serta menyimpulkannya dalam puisi-puisi juga. Gayung puisi surgawi disambut dengan puisi bumi. (Bisri, 2003: vii-viii)

Adapun latar belakang keilmuan dan lingkungan budaya A. Mustofa Bisri dapat disebutkan bahwa beliau adalah putra KH. Bisri Mustofa pendiri Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin. A. Mustofa Bisri lahir di Rembang tanggal 10 Agustus 1944. Pada tahun 1950-1956 menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat. Tahun 1956-1958 menempuh pendidikan di Pesantren Lirboyo, Kediri. Tahun 1958-1962 menempuh pendidikan di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Tahun 1962-1964 menempuh pendidikan di Pesantren Roudlotut Thoibin, Rembang. Tahun 1964-1970 menempuh pendidikan di Al Qism Al ‘Alie lid-Dirasat al-Islam wal-‘Arabiyyah, Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Saat ini A. Mustofa Bisri menjadi pengasuh sekaligus pengajar di pesantren Roudlotut Tholibin.

Disebutkan oleh D Zawawi Imran dalam Kata Penutup antologi Tadarus, bahwa dalam tradisi pesantren, menulis puisi merupakan bagian dari kegiatan kebudayaan, sekaligus dakwah kultural (Bisri, 2003: 105). D Zawawi Imran juga menjelaskan bahwa

(4)

14 Gus Mus menggunakan puisinya untuk berdakwah. Hal ini sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut.

Dari sajak Gus Mus, pembaca bisa belajar hikmah dan akal sehat seperti orang yang mengaji di pesantren. Dari situ kita berupaya untuk menemukan fitrah sekaligus pencerahan. Apa yang ditulis Gus Mus, substansinya tidak berbeda dengan apa yang diajarkan para kyai di pesantren (Bisri, 2003: 111).

Berdasarkan pernyataan Umar Kayam dan D Zawawi Imran tersebut, dapat dikatakan bahwa A. Mustofa Bisri sebagai pengasuh sekaligus pengajar di pesantren Roudlotut Tholibin menggunakan puisi untuk melakukan dakwah. Ajaran A. Mustofa Bisri melalui puisi dalam antologi Tadarus dapat ditemukan dengan menemukan signifikansi puisi-puisi tersebut. Signifikansi tersebut dapat ditemukan dengan menganalisis puisi-puisi tersebut dengan pendekatan semiotika Riffaterre.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yakni ‘Apakah signifikansi puisi dalam antologi Tadarus karya Ahmad Mustofa Bisri?’

1.3. Tujuan Penelitian

Terdapat dua tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni tujuan teoretis dan tujuan praktis. Rincian kedua tujuan penelitian tersebut sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan Teoretis

Secara teoretis, tujuan penelitian ini berupaya untuk mengakumulasi ilmu sastra, khususnya dalam bidang penerapan analisis puisi dengan pendekatan semiotika Riffaterre sebagai bentuk sumbangan terhadap ilmu pengetahuan humaniora.

(5)

15 a. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan kepada pembaca puisi sebagai tambahan wawasan, apresiasi dan alternatif pemahaman, khususnya terhadap signifikansi puisi dalam antologi Tadarus karya Ahmad Mustofa Bisri.

b. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi dan bahan pertimbangan bagi mahasiswa sastra yang akan mengkaji signifikansi puisi, sehingga dapat memberikan alternatif wacana dan sudut pandang signifikansi.

1.4. Tinjauan Pustaka

Penelitian puisi-puisi karya Ahmad Mustofa Bisri dapat disebutkan beberapa diantaranya sebagai berikut. Penelitian yang dilakukan oleh Ida Nurul Chasanah pada tahun 1999 berjudul Bahasa puisi sebagai sarana ekspresi realita sosial dalam sajak-sajak K.H. A. Mustofa Bisri :: Analisis semiotik (Riffaterre). Tesis pada program studi S2 Ilmu Sastra, UGM ini mengkaji tentang segi pemakaian bahasa yang khas pada puisi-puisi karya A. Mustofa Bisri. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa bahasa puisi-puisi

dalam puisi karya A. Mustofa Bisri mengekspresikan realitas sosial yang meliputi realitas

pribadi dan keluarga, realitas negara, dan realitas nilai-nilai kehidupan.

Penelitian lain dilakukan oleh Abdul Wachid BS pada tahun 2007 berjudul Konsep Cinta dalam Gandrung karya A. Mustofa Bisri :: Interpretasi Hermeneutik. Tesis pada program studi S2 Ilmu Sastra, UGM ini mengkaji tentang konsep cinta dalam antologi Gandrung. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa konsep cinta dalam

antologi Gandrung adalah konsep cinta ilahiah. Penelitian lain dilakukan oleh Mytha

Candria pada tahun 2008 berjudul Social critique in Mustofa Bisri's poems :: The interplay of religion, modernity and the ancestral culture. Tesis pada program studi

(6)

16 budaya nenek moyang terhadap puisi-puisi kontemporer karya A. Mustofa Bisri. Selain itu, penelitian ini berfokus pada kritik sosial A. Mustofa Bisri terhadap modernitas, agama serta budaya nenek moyang, dan/atau pada kritik sosial penyair terhadap isu-isu yang berhubungan dengan ketiga jejaring makna tersebut.

Penelitian lain atas nama Abdul Jalil S pada tahun 2010 berjudul Antologi Puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus Karya A. Mustofa Bisri (Kajian Sosiologi Sastra, Nilai Religius, dan Nilai Pendidikan) merupakan sebuah tesis pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Pascasarjana, Universitas Sebelas Maret. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mendeskripsikan: 1) hubungan antara sikap penyair dengan gagasan tentang corak kehidupan sosial masyarakat dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus; 2) nilai-nilai religius dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus; dan 3) nilai-nilai pendidikan dalam antologi puisi Tadarus dan Pahlawan dan Tikus.

Adapun penelitian yang menggunakan teori semiotika Riffaterre dilakukan oleh Wahyu Rouf Dhiana pada tahun 2009 dari Program studi S2 Ilmu Sastra, UGM. Penelitian berjudul Religiusitas dalam antologi puisi Cinta Ladang Sajadah karya D. Zawawi Imron: Pemaknaan semiotika Riffaterre ini bertujuan menemukan makna religiusitas yang terdapat dalam antologi puisi Cinta Ladang Sajadah karya D. Zawawi Imron. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antologi puisi Cinta Ladang Sajadah menggunakan berbagai unsur ketaklangsungan ekspresi dalam pengungkapannya, baik yang berupa penggantian arti, pemencongan arti, maupun penciptaan arti. Sajak-sajak tersebut kental dengan makna religiusitas yang berhipogram dengan ajaran agama Islam.

(7)

17 Semua makna religiusitas mengacu pada ajaran agama Islam yang berkait dengan masalah akidah, syariah, maupun akhlak.

Penelitian lain yang menggunakan teori semiotika Riffaterre adalah tesis yang dikerjakan oleh Septina Krismawati pada tahun 2013 dari Program studi S2 Sastra UGM berjudul Signifikansi Enam Puisi dalam Antologi Puisi Mantra Orang Jawa Karya Sapardi Djoko Damono: Kajian Semiotika Riffaterre. Penelitian ini berupaya mendeskripsikan signifikansi mantra-mantra Jawa dalam antologi Mantra Orang Jawa karya Sapardi Djoko Damono. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan puisi-puisi dalam antologi Mantra Orang Jawa memiliki tema kesempurnaan hidup menurut masyarakat Jawa.

Berdasarkan penelitian relevan yang disebutkan di atas, penelitian yang akan membahas mengenai signifikansi puisi-puisi pendek karya A. Mustofa Bisri ini mempunyai kajian yang berbeda dengan penelitian yang telah ada terlebih dahulu.

1.5. Landasan Teori

Berikut adalah penjabaran pendekatan semiotika Riffaterre yang akan digunakan dalam mengkaji signifikansi puisi-puisi dalam Tadarus karya Ahmad Mustofa Bisri.

1.5.1 Semiotika Riffaterre

Teori yang dapat digunakan untuk menganalisis data sekaligus menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah teori semiotika. Adapun yang disebut semiotika adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti (Van Zoest, 1993: 1; Preminger, dkk, 1974: 980). Sementara itu, teori yang digunakan untuk

(8)

18 menemukan signifikansi puisi-puisi pendek karya A. Mustofa Bisri adalah teori semiotika Riffaterre.

Dalam Semiotics of Poetry secara umum terdapat empat hal pokok yang terkait dengan signifikansi puisi. Empat hal tersebut adalah 1) ketidaklangsungan ekspresi, 2) pembacaan heuristik dan hermeneutik, 3) matriks, model, dan varian, serta 4) hipogram. Berikut adalah penjabaran dari masing-masing empat hal tersebut.

Pertama, ketidaklangsungan ekspresi. Puisi dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan disebabkan oleh evolusi selera dan konsep estetik yang berubah, namun terdapat satu esensi puisi yang tetap dan tidak berubah yaitu “poetry expresses concepts and things by indirection. To put it simply, a poem says one thing and mean another.” Dengan demikian, puisi selalu menyebutkan suatu hal untuk menyatakan hal lain. Dengan kata lain, ketakberubahan yang terdapat dalam puisi adalah senantiasa menyatakan sesuatu secara tidak langsung. Keajegan inilah yang kemudian disebut sebagai sebuah dialektika antara teks dengan pembacanya (Riffaterre, 1978: 1).

Ada tiga penyebab ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi, yaitu displacing of meaning (penggantian makna), distorting of meaning (penyimpangan atau perusakan makna), dan creating of meaning (penciptaan makna) sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut.

... there are three possible ways for semantic indirection to occur. Indirection is produced by displacing, distorting, or creating meaning. Displacing, when the sign shifts from one meaning to another, when one word “stands for” another, as happens with methapor and metonymy. Distorting, when there is ambiguity, contradiction, or nonsense. Creating, when textual space serves as a principle of organization for making signs out of linguistics items that may not be meaningful otherwise (for instance, symmetry, rhyme, or semantic equivalences between positional homologues in a stanza) (Riffaterre, 1978: 2).

(9)

19 Berdasarkan kutipan di atas, dapat diikatakan bahwa penggantian arti terjadi apabila suatu tanda mengalami perubahan dari satu makna ke makna yang lain atau ketika suatu kata mewakili kata yang lain. Perusakan makna terjadi apabila terdapat ambiguitas, kontradiksi, atau nonsense. Sementara penciptaan arti terjadi apabila suatu ruang tekstual bertindak sebagai prinsip pengaturan untuk membuat tanda-tanda keluar dari sistem kebahasaan yang memungkinkan tidak bermakna.

Kedua, pembacaan heuristik dan hermeneutik. Menifestasi semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda-tanda dari tingkat mimetik ke tingkat pemaknaan yang lebih tinggi. (Riffaterre, 1978: 4). Pembacaan heuristik merupakan pembacaan tahap awal yang harus dilalui pembaca untuk memperoleh signifikansi puisi. Berikut ini merupakan kutipan tentang pembacaan heuristik.

Decoding the poem starts with a firt reading stage that goes on from beginning to end of the text, from top to bottom of the page, and follows the syntagmatic unfolding. The first, heuristic reading is also where the first interpretation takes place, since it is during this readin that meaning is apprehended. The reader’s input is his linguistic competence, which includes an assumption that language s referential-and at this stages words do indeed seem to relate first of all to things (Riffaterre, 1978: 5)

Proses dekoding karya sastra diawali dengan pembacaan tahap pertama yang dilakukan dari awal hingga akhir teks. Pembacaan tahap pertama ini disebut sebagai pembacaan heuristik dan pada tahap inilah terjadi interpretasi tahap pertama. Pada tahap ini, kompetensi kebahasaan dan kesastraan memainkan peran penting. Pada tahap pembacaan heuristik pembaca dapat mengenali adanya ketidaksesuaian dalam kalimat-kalimat bahasa puisi. Hambatan atau ketidaksesuaian tersebut disebabkan oleh adanya ungrammaticality (ketidakgramatikalan). Ungrammaticality inilah yang dapat mengancam fungsi mimesis kebahasaan. Mimesis dalam unsur kebahasaan yang

(10)

20 mengacu pada realitas hanya dapat dipahami dengan kemungkinan komparasi-komparasi. (Riffaterre, 1978: 5)

Ungrammaticality inilah yang akan membawa pembaca puisi pada tahap kedua, yakni pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada tahap inilah terjadi proses interpretasi yang sesungguhnya. Pada tahap ini pembaca berada di dalam sebuah efek dekoding. Pembaca mulai dapat memahami bahwa segala sesuatu yang pada awalnya, pada pembacaan tahap pertama, terlihat adanya ungrammaticality, ternyata ungrammaticality merupakan fakta-fakta yang ekuivalen (Riffaterre, 1978: 6).

Adapun yang dimaksud dengan pembacaan tingkat kedua atau pembacaan hermeneutik dalam teori semiotika Riffaterre dapat dilihat dalam kutipan berikut.

The second stage is that of retroactive reading. This is the time for a second interpretation, for the truthly hermeneutic reading. As he progresses through the text, the reader remembers what he has just read and modifies his understanding of it ini the light of what he is now decoding (Riffaterre, 1978: 5).

Berkaitan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik, ada perbedaan pengertian antara meaning dan significance. Meaning (makna) adalah semua informasi dalam tataran mimetik yang disajikan teks kepada pembaca, sedangkan significance (arti) adalah kesatuan antara aspek bentuk dan semantik (Riffaterre, 1978: 2-3)∗. Dengan kata lain, meaning sepenuhnya bersifat referensial sesuai dengan bahasa dan bersifat tekstual, sedangkan significance dapat ‘terlepas’ dari referensi kebahasaan dan mengacu kepada hal-hal yang berada di luar teks puisi. (Riffaterre, 1978: 2). Pada pembacaan heuristik pembaca hanya mendapatkan meaning sebuah teks, sedangkan significance diperoleh

Terdapat perbedaan penerjemahan bahasa Indonesia antara meaning dan significance dalam beberapa

buku dan artikel semiotika. Ada yang menerjemahkan meaning sebagai arti dan significance sebagai makna. Ada juga yang menerjemahkan meaning sebagai makna dan significance sebagai arti. Penelitian ini merujuk pada terjemahan Prof. Faruk yang menerjemahkan meaning sebagai makna dan significance sebagai arti (Faruk, 2012: 141-142)

(11)

21 ketika pembaca telah melampaui pembacaan hermeneutik. Perubahan dari meaning menjadi significance pada akhirnya memunculkan konsep interpretan, yaitu sebuah tanda yang menafsirkan tanda-tanda permukaan teks dan menjelaskan hal-hal lain yang disajikan oleh teks. (Riffaterre, 1978: 81). Ada dua jenis interpretan, yakni interpretan leksematik dan interpretan teks. Interpretan leksematik adalah ‘tanda mendua’ (dual sign) atau kata ambigu yang menjadi mediasi interpretasi, sehingga mampu mencetuskan dua teks bersamaan dalam satu puisi. Interpretan teks adalah teks mediatif yang dikutip atau disinggung oleh puisi (Riffaterre, 1978: 81). Salah satu yang kerap menjadi dual sign adalah judul. Judul menjadi dual sign karena mampu memperkenalkan puisi yang dipayunginya, sementara pada waktu yang bersamaan judul juga menyaran pada suatu referensi di luar puisi tersebut (Riffaterre, 1978: 99). Adapun interpretan dalam semiotika Riffaterre mempunyai kaitan dengan apa yang disebut sebagai ghost text (teks bayangan). Ghost text merupakan tempat menemukan arti kata. Ghost text digunakan sebagai bahan referensi terhadap kata yang tidak dipahami. Dengan kata lain, Ghost text dapat menjadi pencetus hipogram (Riffaterre, 1978: 99).

Ketiga, matriks, model, dan varian. Pada proses pembacaan tahap kedua dikenali adanya matriks, model, dan varian. Matriks adalah kata kunci (Riffaterre, 1978: 12). Matriks merupakan konsep abstrak yang pada hakikatnya tidak pernah teraktualisasi. Matriks dapat berupa satu kata, frasa, bagian kalimat, atau kalimat sederhana yang mengarah pada tema (Riffaterre, 1978: 13). Model merupakan aktualisasi matriks. Model dapat berupa satu kata atau kalimat tertentu. Adapun varian merupakan transformasi dari model. Berikut kutipan mengenai matriks, model, dan varian dalam semiotik Riffaterre.

The poem result from the transformation of the matrix, a minimal and literal sentence, into a longer, complex, and nonliteral periphrasis, actualization of a

(12)

22 structure. The matrix may be epitomized in one word, in wich case the word will not appear in the text. It is always actualized in successive variants; the form of these variants is governed by the first or primary actualization, the model. Matrix, model, and text are varians of the same structure (Riffaterre, 1978: 19).

Puisi merupakan hasil transformasi matriks, yaitu sebuah kalimat minimal yang harafiah, menjadi bentuk yang lebih panjang, kompleks, dan tidak harafiah. Matriks bisa saja berupa sebuah kata dan sebuah kata ini dapat tidak muncul di dalam teks. Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian tersebut diatur dalam aktualisasi primer yang disebut sebagai model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. (Riffaterre, 1978: 19). Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks.

Keempat adalah hypogram (hipogram). Hipogram merupakan invarian dari inti semantik teks. Kutipan berikut dapat memberi penjelasan mengenai hal itu.

In either case the production of the poetic signs is determined by hypogrammatic derivation: a word or phrase is poeticized when it refers to (and, if a phrase, patterns itself upon) a preexistent word group. The hypogram is already a system of signs comprising at least a predication, and it may be as large as text. The hypogramm be potential, therefore abserable in language, or actual, therefore observable in previous text (Riffaterre, 1978: 23).

Produksi tanda dalam puisi ditentukan oleh pembentukan hipogram. Hipogram adalah satu sistem tanda yang berisi setidak-tidaknya satu pernyataan dan dapat sama besar dengan sebuah teks. Pembentukan hipogram menentukan produksi tanda. Hipogram terdiri dari dua tipe. Pertama, tanda pada kata-kata (seme) dan praanggapan (presupposisi). Kedua, kutipan kata-kata (klise) dan sistem deskriptif. Seme dan presupposisi adalah hipogram yang dibentuk dari tanda pada kata-kata an praanggapan. Tanda puitik diaktualisasikan oleh hal tersebut dan dikaitkan dengan inti hipogram itu sendiri. Seme berfungsi seperti ensiklopedia. Aktualisasi tanda yang mewakili stau

(13)

23 signifikansi itu perlu dipresupposisi (ditanggapi) secara denotatif atau konotatif (Riffateree, 1978: 26). Hipogram dapat bersifat potensial dan aktual. Hipogram potensial dapat dilihat dalam bahasa. Hipogram aktual dalam suatu teks yang lebih dulu ada. Adapun kaitan antara puisi dengan hipogramnya, puisi pada dasarnya merupakan jawaban atau respon terhadap teks-teks sebelumnya. Respon tersebut dapat berupa penentangan atau penerusan tradisi dan dapat pula sekaligus penentangan maupun penerusan tradisi. Terdapat dua macam respon atau transformasi, pertama transformasi konversi (transformation expantion) yakni transformasi yang memutarbalikkan atau menentang hipogramnya. Kedua transformasi ekspansi (expantion transformation) yakni transformasi yang mengembangkan atau memperluas hipogram (Riffaterre, 1978: 5). Hipogram selain teks yang menjadi latar penciptaan puisi dapat berupa budaya masyarakat, peristiwa sejarah, ataupun fenomena kehidupan. Adapun keterkaitan antara signifikansi puisi dengan hipogramnya, sepenuhnya tergantung pada kemampuan pembaca untuk menemukan hubungan keterkaitan tersebut (Riffaterre, 1978: 23). Puisi mempunyai signifikansi yang utuh apabila pembaca mampu menghubungkan signifikansi puisi dengan teks-teks lainnya.

1.6. Metode Penelitian

Secara ringkas metode penelitian adalah cara untuk memperoleh pengetahuan mengenai objek yang kodrat keberadaannya dinyatakan oleh teori. (Faruk, 2012: 58). Dalam penelitian digunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif ini paling cocok diterapkan bagi fenomena sastra, karena karya sastra adalah dunia kata dan simbol yang penuh makna. Ciri penting dari penelitian kualitatif antara lain 1) peneliti merupakan instrumen penting yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra, 2)

(14)

24 penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan dalam bentuk angka, 3) lebih mengutamakan proses dari pada hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak mengundang penafsiran, 4) analisis dilakukan secara induktif, dan 5) makna merupakan andalan utama (Endraswara, 2011: 5). Secara umum, penelitian ini dilakukan melalui dua tahap, yakni tahap pengumpulan data dan dilanjutkan dengan tahap analisis data.

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Data diperoleh dengan melakukan studi pustaka. Adapun langkah kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, observasi untuk menentukan karya sastra yang akan dijadikan sebagai obyek penelitian. Kedua, menentukan objek formal dari penelitian ini yakni signifikansi puisi kesimpulan pendek karya A. Mustofa Bisri. Ketiga, menentukan data primer. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah seluruh puisi yang disebut oleh Umar Kayam sebagai ‘puisi kesimpulan pendek’. Secara umum puisi kesimpulan pendek dapat didefinisikan sebagai kesimpulan A. Mustofa Bisri terhadap spiritualitas islam yang ditulis dalam bentuk puisi pendek. Berdasarkan contoh yang diberikan oleh Umar Kayam, model puisi kesimpulan pendek ini mempunyai empat ciri sebagai berikut. (1) memuat pandangan tentang spiritualitas Islam. (2) Satu buah judul terdiri dari satu bait. (3) Setiap bait terdiri atas satu sampai delapan baris. (4) Jumlah diksi yang terdapat dalam satu judul tidak lebih dari dua puluh kata. Berdasarkan ciri tersebut, terdapat sepuluh judul puisi kesimpulan pendek dalam Tadarus. Kesepuluh judul puisi tersebut adalah Tidur (Tadarus, 2003: 14), Ratsaa (Tadarus, 2003: 21), Buta (semula, Gelap) (Tadarus, 2003: 60), Nurani (Tadarus, 2003: 72), Keadilan (Tadarus, 2003: 73), Matahari (Tadarus, 2003: 75), Bulan (Tadarus, 2003: 76), Laut (Tadarus,

(15)

25 2003: 77), Langit (Tadarus, 2003: 78), dan Tahu-Tahu (Tadarus, 2003: 81). Kesepuluh judul puisi tersebut merupakan sumber data primer dalam penelitian ini. Keempat, pengetikan ulang data primer yang berupa data fisik puisi meliputi judul puisi, naskah puisi, dan titimangsa penulisan puisi. Kelima, pencarian data sekunder yang berkait dan menunjang penelitian ini.

1.6.2 Metode Analisis Data

Metode analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian. Metode analisis data merupakan perpanjangan pikiran manusia fungsinya bukan untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antardata yang tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan (Faruk, 2012: 25).

Adapun untuk menganalis signifikansi puisi dalam penelitian ini digunakan langkah-langkah analisis yang ada pada teori semiotika Riffaterre sebagai berikut. Langkah pertama adalah pembacaan heuristik, dilakukan dengan menggunakan kode bahasa yang bersifat referensial. Tanda-tanda yang terdapat dalam puisi mengacu pada satuan-satuan kenyataan yang terdapat dalam dunia empirik. Dengan demikian, sebagai rujukan digunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk menganalisis meaning. Di dalam pembacaan heuristik ini pembaca akan menemukan serangkaian makna referensial yang heterogen sebagai rangkaian ungramatikal. Selanjutnya dibangun serangkaian oposisi biner, hubungan ekuivalensi atau paradigmatik dari ungramatikalitas yang terdapat dalam puisi. Ungramatikalitas akan ‘memaksa’ pembaca melakukan tahap pembacaan kedua yakni hermeneutik. Tahap pembacaan hermeneutik merupakan tahap pembacaan retroaktif yang bergerak secara dialektik dari bagian ke keseluruhan dan dari keseluruhan ke bagian. Pada tahap ini ketidaklangsungan ekspresi dan ungramatikalitas

(16)

26 susunan bahasa dibaca dengan menggunakan kompetensi sastra. Di dalam pembacaan ini terjadi proses semiotik, yakni proses peralihan dari meaning ke significance. Di dalam proses ini, pembaca dapat memberikan masukan-masukan terhadap teks dengan menggunakan kompetensi linguistik maupun kesastraannya, sehingga rintangan ungramatikalitas referensial dapat dilampaui.

Setelah serangkaian oposisi biner, hubungan ekuivalensi atau paradigmatik dari ungramatikalitas dilampaui dengan pembacaan hermeneutik, akan terlihat varian dari matriks struktural yang sama. Oleh sebab itu, teks merupakan suatu variasi atau modulasi dari sebuah struktur, baik tematik maupun simbolik. Adapun hubungan struktur yang terus bertahan ini akan membentuk signifikansi. Efek maksimal dari pembacaan retroaktif, klimaks dari fungsinya sebagai generator signifikansi, secara alamiah terjadi di akhir puisi. Signifikansi inilah yang berpusat pada matrik. Sementara matriks akan menjadi pemicu munculnya hipogram, baik hipogram potensial maupun hipogram aktual. Secara ringkas, analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara struktural dengan cara membangun serangkaian oposisi biner (apabila ada), hubungan ekuivalensi atau paradigmatik, hermeneutik atau retroaktif sampai ditemukannya invarian dari varian-varian yang ada. Invarian-varian ini adalah matriks atau hipogram.

1.6.3 Langkah Kerja Penelitian

Berdasarkan uraian mengenai metode pegumpulan data dan metode analisis data di atas, langkah-langkah kerja yang dilakukan dalam penelitian ini dapat dirangkum sebagai berikut.

a. Melakukan studi pustaka untuk menentukan objek penelitian b. Membaca puisi karya sastra karya A. Mustofa Bisri

(17)

27 c. Menentukan objek formal, yakni signifikansi sepuluh puisi pendek karya A.

Mustofa Bisri

d. Mengklasifikasi data untuk menentukan sampel

e. Menentukan sampel yang berjumlah lima belas judul puisi f. Pencatatan data fisik sampel puisi

g. Mencari sumber-sumber referensi lain yang berkaitan dengan penelitian h. Menentukan teori semiotika Riffaterre untuk menganalisis objek penelitian i. Melakukan analisis data sesuai teori semiotika Riffaterre untuk menemukan

signifikansi puisi-puisi dalam Tadarus karya A. Mustofa Bisri j. Menarik simpulan

k. Menyusun dan melaporkan hasil penelitian 1.7. Sistematika Penyajian

Penyajian hasil penelitian ini terdiri atas tiga bab yang dijabarkan sebagai berikut. Bab I adalah pengantar yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi uraian mengenai pembacaan heuristik puisi-puisi dalam Tadarus karya A. Mustofa Bisri. Bab III berisi uraian mengenai pembacaan hermeneutik puisi-puisi dalam Tadarus karya A. Mustofa Bisri. BAB IV berisi uraian matriks, model dan varian puisi-puisi dalam Tadarus karya A. Mustofa Bisri. BAB V berisi uraian hipogram puisi-puisi-puisi-puisi dalam Tadarus karya A. Mustofa Bisri. BAB VI berisi simpulan. Simpulan berisi hasil pokok pembahasan dalam penelitian yang sudah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Ciri-ciri yang dimiliki biasanya tidak jauh berbeda antar berbagai bentuk implementasi, baik dalam lingkup pertanian ataupun kehutanan, yaitu antara lain: (1) Komposisi hanya

BAGI MAHASISWA YANG ADA DI KELAS DIBAWAH INI AGAR SEGERA PINDAH KE KELAS LAIN YANG TERSEDIA... HENDRI

Proses aklimatisasi dibutuhkan untuk adaptasi mikroba, sehingga pada saat pengujian pengaruh kualitas air baku terhadap perbedaan waktu kontak, batu apung yang digunakan dalam

Tubus tengah merupakan tubus bagian tengah dari mikroskop, yang terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut (1) Lengan mikroskop, berfungsi sebagai penyangga tubus

Identifikasi Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, dilakukan terhadap Risiko Perangkat Daerah dan Risiko Kegiatan dengan cara mengidentifikasi penyebab

evaluasi formatif antara lain bertujuan untuk mengevaluasi bahan ajar (tujuan penelitian kedua) yang digunakan dengan melibatkan tiga kelompok ahli, yaitu ahli materi

Skema proses ekstraksi dan dehidrasi osmosis simultan ini diharapkan dapat memberikan sedikitnya lima keuntungan, yaitu (i) enzim gaultherase mengalami unfolding,

c. Lakukan identifikasi pasien dengan menanyakan identitas nama, tanggal lahir dan nomor rekam medik yang dicocokan dengan gelang pasien sebelum tindakan dilakukan seperti