• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. hubungan sosial dengan keluarga, kemudian pada masa kanak-kanak menengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. hubungan sosial dengan keluarga, kemudian pada masa kanak-kanak menengah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia dalam hidupnya, selalu membentuk hubungan sosial dengan orang lain. Menurut Forgas dan Fitness (2008), hubungan sosial ini akan meningkat seiring dengan pertambahan usia manusia itu sendiri, seperti yang dijelaskan oleh Connolly, Craig, Goldberg, & Pepler (dalam Marcus, 2007), bahwa pada masa kanak-kanak awal, hubungan sosial yang terbentuk adalah hubungan sosial dengan keluarga, kemudian pada masa kanak-kanak menengah sampai akhir, hubungan sosial yang terbentuk adalah pertemanan sesama gender, namun terdapat perubahan dramatik atas hubungan sosial dari masa kanak-kanak ke masa remaja. Perubahan dramatik tersebut adalah dari hubungan sesama gender dan hubungan orangtua-anak, menjadi hubungan mixed gender dan hubungan romantis.

Hubungan romantis ini sering juga disebut dengan dating. Dating dimulai pada masa remaja. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis (Hurlock, 1999).

Remaja menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan dan meningkatkan interaksi dengan lawan jenis mereka yaitu lawan jenis yang mereka sukai. Rasa suka ini akan mempengaruhi perilaku dan pandangan hidup individu,

(2)

seperti sikap individu tersebut akan lebih positif terhadap dunia secara keseluruhan (Hendrick & Hendrick dalam Fiske, 2008).

Individu ini juga tidak ingin dipisahkan dengan orang yang disukai oleh mereka (Aron, Paris, & Aron dalam Fiske, 2008). Harapan individu untuk tidak dipisahkan dari orang tersebut akan membuat individu ingin mengekspresikan cinta atau rasa sukanya, dan akhirnya individu tersebut juga ingin memiliki ikatan yang disebut dengan pacaran atau dating (Connolly dkk dalam Furman, Mc Dunn & Young, 2005).

Menurut Tucker (2004) dating dimulai dari berkenalan, berteman dan kemudian pacaran. Pacaran atau dating didefinisikan sebagai interaksi dyadic, termasuk didalamnya adalah mengadakan pertemuan untuk berinteraksi dan melakukan aktivitas bersama dengan keinginan secara eksplisit atau implisit untuk meneruskan hubungan setelah terdapat kesepakatan tentang status hubungan mereka saat ini (Straus, 2004).

Dating memiliki beberapa fungsi penting dalam kehidupan seseorang, yaitu: rekreasi dan hiburan, meningkatkan status, belajar bersosialisasi, kesempatan eksplorasi, dan salah satu cara untuk memilih pasangan hidup (Green dalam DeGenova, 2008). Masa pacaran (dating) penting untuk dilalui karena tujuan dari dating itu sendiri adalah saling mengenal pasangan lebih lanjut, agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan setelah menikah (Cate & Lloyd, dalam DeGenova 2008).

Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan selama dating berbeda-beda berdasarkan banyak dimensi seperti karakteristik individual, kelompok

(3)

sosioekonomi yang berbeda, era historis dan konteks budaya. Terlepas dari perbedaan ini, terdapat persamaan secara struktural, yaitu hubungan ini selalu memakan waktu dan energi yang cukup besar (Straus, 2004).

Kegiatan yang menghabiskan waktu dan energi yang cukup besar dalam

dating diantaranya adalah pergi berbelanja, nonton film bersama, makan bersama atau sekedar mengunjungi pasangan di rumah mereka (Straus, 2004). Sekilas, hal ini terlihat cukup membahagiakan pasangan masing-masing, padahal data di lapangan dan kondisi aktivitas dating di kalangan remaja terjadi secara besar-besaran dalam intensitas jumlah dan kualitas pelanggaran atau kekerasan yang semakin menunjukkan angka yang mencengangkan (Set, 2009).

Hal diatas diperkuat oleh data statistik yang mengindikasikan bahwa remaja memiliki resiko yang lebih besar untuk terlibat dalam kekerasan dalam hubungan pacaran dibandingkan dengan orang dewasa (Women of Color Network, 2008). Bahkan remaja yang usianya lebih muda, akan lebih sering menjadi korban kekerasan dibandingkan dengan remaja dengan usia yang lebih tua (Bachman & Saltzman dalam National Center for Injury Prevention and Control, 2000). Menurut Wolfe (2009), hal ini disebabkan harapan peran gender memainkan peranan penting dalam pembentukkan strategi remaja untuk mencocokkan diri dan agar mendapatkan penerimaan di lingkungannya terutama di masa awal remaja. Periode ini mengakibatkan perasaan stressful pada remaja, sehingga remaja cenderung menggunakan taktik melukai.

Varia (2006) menyebutkan bahwa, 21 persen remaja memiliki pacar yang membatasi mereka untuk bertemu dengan keluarga dan teman-teman mereka,

(4)

64% memiliki pacar yang cemburuan dan ingin tahu segalanya tentang pasangannya setiap waktu. Sebuah lembaga pencegahan terjadinya violence di Amerika Family Prevention Fund (2009) menemukan bahwa terdapat 26% remaja putri yang mendapatkan ancaman dari pacar mereka, satu dari empat remaja mengatakan bahwa dirinya mendapatkan hinaan dan direndahkan melalui telepon dan pesan singkat di telepon seluler. Zwicker (dalam America Bar Assocciation, 2006), menyebutkan bahwa 39% dari remaja putri mengaku berpacaran dengan orang yang selalu mengontrol dan mengatur mereka setiap waktu. Survey yang dilakukan di Amerika menemukan bahwa setidaknya 1 dari 10 siswa sekolah menengah akhir mendapatkan pukulan dan tamparan dari pacar mereka (Family Prevention Fund, 2009). Laporan baru tentang kekerasan pada remaja di Amerika adalah lebih dari 8 miliar remaja putri per tahun menderita akibat kekerasan yang dilakukan oleh pasangan mereka, yang kira-kira berumur remaja juga (Murray, 2007). Berdasarkan Federal Bureau of Investigation’s (1993-1999)

Supplementary Homicide Reports, 10% dari semua remaja putri usia 12 sampai 15 tahun dan 22% dari semua remaja putri usia 16 sampai 19 tahun, dibunuh oleh pacar mereka (Hickman, Jaycox & Aronoff, 2004).

Youth Risk Behavior Surveillance (YRBS) (dalam Teen Dating Violence

Fact, 2006) menyebutkan bahwa 9% dari semua remaja diperkosa oleh pacarnya. Selanjutnya Cram & Seymour (dalam Family Prevention Fund, 2009). menemukan bahwa sebanyak 77% dari remaja putri dan 67% dari remaja putra mendapatkan pemaksaan secara seksual, termasuk diantaranya ciuman yang tidak

(5)

dinginkan, pelukan, kontak kelamin, dan hubungan seksual yang tidak diinginkan. 37% remaja mendapatkan video telanjang atau semi telanjang dari pacar mereka.

Kasus kekerasan ini juga dialami oleh artis remaja seperti Rihanna (20) dan Chris Brown (19), seperti yang dituliskan oleh wartawan Wartakota, Brown menghempaskan kepala sang pacar Rihanna ke jendela mobil yang mereka kendarai, kemudian memukul Rihanna berulangkali (Antara, 2009).

Di Indonesia, menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, terdapat satu dari lima remaja yang mengalami kekerasan seksual, kesimpulan ini didasarkan pada survey terhadap 300 remaja (Rahmawati, 2008).

Lebih lanjut, Kota Medan sendiri sebagai kota metropolitan dengan angka kenakalan remaja tertinggi bersama-sama dengan DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Sulawesi Selatan, dan Pontianak, ditemukan bahwa terdapat 800 kasus kekerasan di Medan, dan 30 %-nya dilakukan oleh pacar (dalam Gatra Online, 2004). Laporan kekerasan dalam pacaran di Kota Medan, juga dilansir oleh beberapa surat kabar, sebut saja kasus O (21 tahun) yang melakukan pemukulan kepada N (19 tahun) pacarnya (dalam SIB online, 2009).

Angka-angka mengenai kasus kekerasan di atas merupakan peristiwa yang berhasil diawasi atau dilaporkan. Kenyataannya, lebih banyak kasus yang tidak dapat dilaporkan karena umumnya para korban tidak menceritakan kepada pihak yang berwenang mengenai masalah kekerasan yang dialami, bahkan kepada orangtuanya sendiri. Korban dan pelaku biasanya selalu berusaha menutupi fakta yang ada dengan berbagai cara atau dalih, walaupun terkadang tanpa sengaja terungkap (Llyod & Emery dalam Few & Rosen, 2005).

(6)

Berikut adalah kutipan wawancara dengan salah satu korban kekerasan yang dilakukan oleh pacar di Kota Medan

E.C.Sari (19 Tahun): (Komunikasi Personal, 24 Januari 2010)

Cowokku pernah ngelarang aku untuk gak kerja lagi di tempat dulu aku kerja, kalo gak pindah aku dari sana, mau diputusinnya aku, dibilangnya gini, kau pilih aku atau teman-temanmu??..padahal aku dah sukak kali kerja disana Liv, dah akrab lagi sama teman-teman disana. Dia juga sering kali meriksa-meriksa hape ku.. trus dia juga sukak ngelarang aku nongkrong sama teman-teman yang gak gitu dia kenal, apalagi cowok.. cemburulah intinya Liv.. Kalo` aku gak ngelakuin apa yang dia mau, marah dia sama ku.. dan dulu dia pernah juga mukul aku Liv.. Cuma aku dan teman-temanku aja yang tau ini Liv, mana pernah kuaduin sama yang lain... Tapi gitulah Liv, masih jadian juga kami sampai sekarang, memang takut kali aku kalau dia ngulangin kesalahannya lagi.. tapi memang udah itu kekurangannya dan dia janji mau berubah”.

Kutipan wawancara diatas senada dengan yang disampaikan oleh Llyod & Emery (dalam Few & Rosen, 2005), bahwa korban kekerasan ini enggan untuk memutuskan hubungan dengan pacar mereka, karena mereka memiliki fantasi romantis, mereka juga memiliki keyakinan bahwa pacar mereka nantinya akan berubah, mereka dapat meminimalisir dampak kekerasan, dan menganggap bahwa diri merekalah yang bertanggung jawab atas semua kekerasan yang diperbuat pacar mereka .

Kasus-kasus yang sehubungan dengan kekerasan yang dilakukan oleh pacar, yang telah disebutkan sebelumnya disebut dengan dating violence. Dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berkencan (Kelly 2006). Lebih lanjut sebuah lembaga yang memberikan bantuan kepada remaja yang mengalami tindakah kriminal Teen tolls

(7)

melecehkan, perilaku kekerasan dalam hubungan romantis, yang bisa terjadi pada pasangan heteroseksual maupun homoseksual.

Peneliti The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh & Cope (dalam Murray, 2007) mendefsiniskan dating violence sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang dilakukan dengan menggunakan taktik (melukai) abusive dan paksaan fisik untuk memperoleh atau mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya.

Menurut Murray (2007), bentuk-bentuk datingviolence sendiri terdiri atas 3, yaitu (1) verbal and emotional abuse, (2) sexual abuse, (3) physical abuse.

Verbal and emotional abuse adalah ancaman yang dilakukan pasangan terhadap pacarnya dengan perkataan maupun mimik wajah, seperti: menuduh pasangannya berselingkuh, mengintimidasi, menginterogasi pacarnya setiap waktu, dan lain-lain. Sexual abuse adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pacar mereka tidak menghendakinya. Physical abuse adalah perilaku yang mengakibatkan pacar mereka terluka secara fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan sebagainya.

Kelly (2006), menyebutkan bahwa dating violence merupakan masalah sosial yang signifikan dan dapat terjadi pada siapa saja, dengan usia, orientasi seksual, status sosioekonomi, serta lokasi tempat tinggal dimana saja. Selanjutnya Lewis & Fremouw (dalam Rathigan & Street, 2005) menyebutkan bahwa dating violence merupakan masalah yang signifikan bukan hanya karena akan membahayakan dari segi fisik tetapi juga mental; seperti dapat mengakibatkan

(8)

luka, dan rendahnya self esteem. Terlebih lagi dating violence sendiri bisa mengakibatkan kematian, dan jika terjadi pada masa remaja, maka datingviolence

akan mengakibatkan terganggunya hubungan romantis dan pola interaksi yang akan terbawa ke masa dewasa.

Terganggunya hubungan romantis dan pola interaksi ditunjukkan oleh penelitian Amar dan Alexy (2005) terhadap 210 orang perempuan korban dating violence, yaitu ditemukan bahwa 44% dari korban dating violence menampilkan rasa waspada yang ekstrim dengan orang yang mereka kencani, 34 % melaporkan bahwa mereka sulit membangun hubungan yang intim dengan orang lain atau pacar.

Dampak dating violence yang telah disebutkan sebelumnya tentu saja tidak hanya dialami oleh remaja putri, karena remaja putra pun ada yang mengalami dating violence. Proporsi korban dating violence ini beraneka ragam berdasarkan bentuk, misalnya menurut penelitian wanita lebih sering menjadi korban physical abuse dan sexual abuse dibandingkan pria, sedangkan pria lebih sering menjadi korban verbalandemotionalabuse (Foshee, 1996).

Selain berdasarkan gender, kejadian dating violence juga berbeda berdasarkan penggunaan alkohol, yaitu sebanyak 75% dari korban kekerasan mengaku bahwa pasangan mereka sedang dibawah pengaruh alkohol ketika hendak melakukan kekerasan (Roudsari, Leahy & Walters, 2009). Menurut Billingham, Riggs & O’Leary (dalam Luthra & Gidycz, 2006) dating violence

lebih sering terjadi di hubungan yang lebih serius dan dalam durasi yang cukup lama yaitu setiap pertambahan durasi 6 bulan, maka violence dalam hubungan

(9)

tersebut akan semakin meningkat.Beberapa wanita menjadi korban pada kencan pertama, tetapi sebagian besar menjadi korban setelah berpacaran dalam waktu yang lama (The National Clearinghouse on Family Violence, 1995). Pelaku dating violence juga merupakan individu dengan pendidikan yang rendah (World Report On Violence and Health, 2002).

Maraknya kasus dan seriusnya dampak dating violence membuat banyak peneliti ingin meneliti mengapa mereka yang menjalin hubungan pacaran (saling mencintai) melakukan kekerasan kepada pasangannya. Arnett (dalam Marcus, 2007), mengatakan bahwa violence memang kerap terjadi di usia remaja, begitu juga dengan dating violence. Hal ini dikarenakan terdapat 3 bentuk disruption

selama masa remaja, yaitu: (1) conflict with parents. Remaja memiliki kecenderungan untuk menentang dan melawan otoritas orang dewasa, remaja ingin mendapatkan otonomi yang lebih sehingga remaja lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman sebaya, namun konflik dengan teman sebaya juga teman lawan jenisnya akan mengakibatkan violence; (2) mood disruptions. remaja cenderung lebih cepat meledak-ledak secara emosional daripada anak-anak atau orang dewasa, sehingga remaja juga lebih cepat bereaksi terhadap stimulus. Ketika terdapat stimulus yang tidak diinginkan, maka remaja akan marah dan cenderung menghasilkan violence. Begitu juga dalam hubungan dating, ketika pasangan mereka tidak bereaksi seperti yang mereka inginkan, maka mereka melakukan violence ; (3) risk behavior. Remaja cenderung terlibat dalam perilaku yang mengganggu aturan sosial, dan perilaku yang berpotensi membahayakan

(10)

dirinya sendiri dan oranglain disekitar mereka. Perilaku ini seperti meminum alkohol, merokok, dan menghamili pacar mereka.

Menurut Domestic and Dating Violence: An Information and Resource Handbook (dalam Murray, 2007), hal-hal yang berkontibusi bagi terjadinya dating violence pada remaja adalah penerimaan teman sebaya, harapan peran gender, pengalaman yang sedikit, jarang berhubungan dengan pihak yang lebih tua, sedikit akses ke layanan masyarakat, legalitas, penggunaan obat-obatan.

Berdasarkan fakta dan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “gambaran bentuk-bentuk dating violence pada remaja yang berpacaran di Kota Medan”. Hal ini dilakukan sebagai respon dari semakin meningkatnya angka dating violence dan banyaknya dampak yang akan dirasakan oleh korban dating violence tersebut, terkhusus pada remaja, karena inilah tahap awal mereka menjalin hubungan romantis. Terlebih lagi remaja yang tinggal di daerah perkotaan yang cenderung memiliki angka dating violence yang tinggi (O’Keefe, & Watson dalam Hickman, Jaycox & Arronoff, 2004), karena remaja di Kota lebih banyak dipertunjukkan pada perilaku-perilaku agresi secara langsung. (Caims & Caims dalam Haberyan & Kibler, 2008).

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana gambaran dating violence pada remaja Kota Medan

(11)

3. Bagaimana gambaran bentuk-bentuk dating violence berdasarkan kelompok usia (remaja awal, tengah dan akhir).

4. Bagaimana gambaran bentuk-bentuk dating violence berdasarkan tingkat pendidikan

5. Bagaimana gambaran bentuk-bentuk dating violence berdasarkan penggunaanminumankerasataualkohol

6. Bagaimana gambaran bentuk-bentuk dating violence berdasarkan lamanya menjalin hubungan dating

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:

Gambaran dating violence pada remaja, dan ditinjau dari perbedaan jenis kelamin, kelompok usia, tingkat pendidikan, penggunaan alkohol, dan lamanya menjalin hubungan pacaran

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah Manfaat Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat menambah pengetahuan di bidang Psikologi, khususnya Psikologi Sosial mengenai dating violence.

(12)

Manfaat Praktis 1. Bagi Remaja

Memberikan informasi kepada remaja mengenai kekerasan yang umumnya terjadi dalam hubungan pacaran sehingga lebih selektif dalam memilih pacar dan lebih mawas diri atas tindakan-tindakan kekerasan yang terjadi.

2. Bagi Orangtua

Memberikan informasi kepada orangtua mengenai kekerasan yang umumnya terjadi dalam hubungan pacaran, sebagai pengetahuan awal bagi antisipasi lebih lanjut orang tua terhadap berkembanganya perilaku ini.

3. Bagi Lembaga Swadaya Masyarakat

Hasil penelitian ini juga bisa memberikan gambaran bentuk-bentuk dating violence pada remaja remaja yang berpacaran kepada LSM, supaya lebih tanggap dan mengadakan pembinaan lebih lanjut kepada remaja.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. Bab II: Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori- teori yang dinyatakan adalah teori-teori yang berhubungan dengan media pembelajarannya. Dalam bab ini juga diuraikan mengenai penggunaan internet dalam bidang pendidikan serta teori sikap.

(13)

Bab III:Metode Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji daya beda butir pernyataan dan reliabilitas, serta metode analisis data. Bab IV:Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian, interpretasi data dan pembahasan.

Bab V:Kesimpulan dan Saran

Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan pola hidup manusia adalah akibat dari dampak era globalisasi yang semakin dapat dirasakan dalam kehidupan sehari- hari, pola hidup dari dampak tersebut dapat

Sering terjadi perselisihan diantara mereka, saling mengejek dan memaki dengan kata-kata kasar, sering tidak saling berteguran satu sama lain, serta saling

Penelitian yang dilakukan oleh Junita (2012) tentang Hubungan Interaksi Sosial Dalam Kelas Lintas Fakultas dengan Identitas Diri Mahasiswa Reguler Angkatan 2009

Berbagai penelitian mengenai ide bunuh diri pada remaja telah dilakukan, Penelitian di kota Dangila Ethiopia bertujuan untuk mengetahui prevalensi ide bunuh diri dan di

Banyaknya minimarket modern di Kota Yogyakarta menimbulkan dampak bagi pemilik toko kelontong dan pasar tradisional, terutama yang berada di kawasan

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Victoria (2015) didapatkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri (self-esteem) dan citra tubuh (body image) pada remaja

Dengan kemungkinan lebih banyaknya eskternalitas atau dampak negatif yang diterima oleh masyarakat, maka perlu dilakukan penelitian mengenai “Estimasi Nilai Penurunan

Upaya yang pernah dilakukan guru untuk meningkatkan kemampuan anak mengenal warna pada anak melalui metode karyawisata dengan harapan agar anak dapat melihat langsung berbagai