• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anatomi Jalan Napas Atas old

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Anatomi Jalan Napas Atas old"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Anatomi Jalan Napas Atas Anatomi Jalan Napas Atas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang menuju Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (parsoralis). Kedua bagian ini di nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (parsoralis). Kedua bagian ini di  pisahkan

 pisahkan oleh oleh palatum palatum pada pada bagian bagian anteriornya, anteriornya, tapi tapi kemudian kemudian bergabung bergabung di di bagian bagian posteriorposterior dalam faring.

dalam faring.

Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Anatomi jalan Anatomi jalan napas atas napas atas (Morgan, 2006).(Morgan, 2006).

2.1.1.

2.1.1. Hidung dan mulutHidung dan mulut

Hidung dan mulut merupakan jalan pertama udara memasuki tubuh. Dengan panjang dari Hidung dan mulut merupakan jalan pertama udara memasuki tubuh. Dengan panjang dari lubang hidung ke nasofaring sekitar 10-14 cm pada orang dewasa. Fossa nasal dibatasi oleh lubang hidung ke nasofaring sekitar 10-14 cm pada orang dewasa. Fossa nasal dibatasi oleh konka inferior, media dan superior. Konka inferior membatasi ukuran

konka inferior, media dan superior. Konka inferior membatasi ukuran tubetube yang dapat masuk keyang dapat masuk ke lubang hidung bila dilakukan intubasi nasal. Setiap fossa nasal memiliki 60 cm area untuk lubang hidung bila dilakukan intubasi nasal. Setiap fossa nasal memiliki 60 cm area untuk menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk. (Applegate, 2004; Larson 2006).

(2)

2.1.2. Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang besar di  bagian atas dan sempit di bagian bawah serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra (Arjun

S Joshi, 2011). Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di  bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan esophagus.

Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal (Rusmarjono dan Bambang H ermani, 2007).

Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring) (Arjun S Joshi, 2011). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, selaput lendir (mukosa blanket) dan otot (Rusmarjono dan Bambang Hermani, 2007).

2.1.3. Laring

Laring merupakan bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas dan terletak setinggi vertebra cervicalis IV-VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi. Bentuk laring menyerupai limas segitiga terpancung dengan bagian atas lebih terpancung dan  bagian atas lebih besar dari bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring sedangkan batas

kaudal kartilago krikoid.

Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang (os hioid) dan beberapa tulang rawan,  baik yang berpasangan ataupun tidak. Komponen utama pada struktur laring adalah kartilago

(3)

dengan bentuk huruf U dan dapat dipalpasi pada leher depan serta lewat mulut pada dinding faring lateral. Dibagian bawah os hioid ini bergantung ligamentum tirohioid yang terdiri dari dua sayap / alae kartilago tiroid. Sementara itu kartilago krikoidea mudah teraba dibawah kulit yang melekat pada kartilago tiroidea lewat kartilago krikotiroid yang berbentuk bulat penuh. Pada  permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago aritinoid ini mempunyai dua buah  prosesus yakni prosesus vokalis anterior dan prosesus muskularis lateralis (Boies, 1997).

Pada prosesus vokalis akan membentuk 2/5 bagian belakang dari korda vokalis sedangkan ligamentum vokalis membentuk bagian membranosa atau bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung bebas dan permukaan superior korda vokalis suara membentuk glotis. Kartilago epiglotika merupakan struktur garis tengah tunggal yang berbentuk seperti bola  pimpong yang berfungsi mendorong makanan yang ditelan kesamping jalan nafas laring. Selain

itu juga terdapat dua pasang kartilago kecil didalam laring yang mana tidak mempunyai fungsi yakni kartilago kornikulata dan kuneiformis (Boies, 1997)

2.1.3.1 Kartilago laring

Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu : 1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :

 Kartilago Tiroidea, 1 buah  Kartilago Krikoidea, 1 buah  Kartilago Aritenoidea, 2 buah

2. Kartilago minor, terdiri dari :

 Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah  Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah

(4)

 Kartilago Epiglotis, 1 buah (Ballenger, 1993)

Gambar 2.3. Struktur pembentuk laring (Morgan, 2006).

• Kartilago Tiroidea

Kartilago Tiroidea merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding anterior dan lateral laring, dan merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri dari 2 sayap(alaetiroidea)berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu di bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut Adam’s Apple.

Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120 derajat. Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau ineiseura tiroidea, dimana di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan dengan os hyoid oleh ligamentum tiroidea, sedangkan di bagian bawah membentuk kornu inferior yang berhubungan dengan permukaan  posterolateral dari kartilago krikoidea dan membentuk artikulasio krikoidea.Dengan adanya

(5)

artikulasio ini memungkinkan kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di sebelah dalam perisai kartilago tiroidea terdapat bagian dalam laring, yaitu : pita suara, ventrikel, otot-otot dan ligamenta,kartilago aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata (Ballenger, 1993).

Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur yang berjalan oblik dari bawah kornu superior ketuberkulum inferior. Alur ini merupakan tempat perlekatan muskulus sternokleidomastoideus, muskulus tirohioideus danmuskulus konstriktor faringeus inferior (Ballenger, 1993).

Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan tepi bawah kartilago tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan tendokomisura anterior. Tangkai epiglotis melekat 1 cm diatasnya olehligamentum tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada umur 20 – 30 tahun (Ballenger, 1993).

• Kartilago Krikoidea

Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan kartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alasnya terdapat di belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit daripada bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya dengan kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan trakeostomi, krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus (Ballenger, 1993).

Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI-VII dan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III-IV. Kartilago ini mengalami osifikasi setelah kartilago tiroidea.

(6)

Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang kartilago  berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan rotasi. Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis yang merupakan tempat melekatnya muskulus krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral, dan di bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita suara. Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke prosesus vokalis. Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan  berinsersi pada garis tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian membranosa

atau vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita suara ini disebut glottis (Scott, 1997). Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis dari aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan terbuka dan tertutupnya glotis. Kalsifikasi terjadi  pada dekade ke 3 kehidupan (Ballenger, 1993).

• Kartilago Epiglotis

Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior aditus laringeus tangkainya disebut petioles dan dihubungkan oleh ligamentum tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara. Sedangkan bagian atas menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang mendorong makanan ke sebelah laring (Ballenger, 1993).

• Kartilago Kornikulata

Kartilago ini merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago Santorini dan merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika (Ballenger, 1993).

(7)

• Kartilago Kuneiforme

Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago kecil yang terletak di dalam plika ariepiglotika (Ballenger, 1993).

2.1.3.2 Pita suara

Pita suara menonjol dari dinding lateral laring ke arah tengah glottis. Pita suara ini diregangkan dan diatur posisinya oleh beberapa otot spesifik yang ada pada laring. Tepat disebelah dalam setiap pita terdapat ligament elastik yang kuat yang disebut sebagai ligamen vokalis. Ligamen ini melekat disebelah anterior dari kartilago tiroid yang besar. Disebelah  posterior, ligamen vokalis terlekat pada prosesus vokalis dari kedua kartilago krikoid. Pita suara

dapat direganggkan baik oleh rotasi kartilago tiroid kedepan maupun oleh rotasi posterior dari kartilago aritenoid, yang diaktivasi oleh otot-otot yang meregang dari kartilago tiroid dan kartilago aritenoid ke kartilago krikod (Guyton and Hall, 2007).

.

2.1.4 Persarafan

Jalur saraf sensoris saluran nafas atas berasal dari saraf kranialis. Selaput mukosa hidung  bagian anterior diinervasi oleh cabang ophtalmikus (V1) dari saraf trigeminus (nervus

ethmoidalis anterior) dan pada bagian posterior oleh cabang maxillaris (V2) (nervus sphenopalatina). Nervus palatina memberikan jaras sensoris dari nervus trigeminus pada  permukaan superior and inferior palatum durum dan palatum molle. Nervus lingualis (cabang mandibularis (V3) nervus trigeminus) dan nervus glossofaring (saraf kranial kesembilan) menginervasi 2/3 anterior dan sepertiga posterior dari lidah. Cabang dari nervus facialis (VII) dan glossofaring memberikan sensasi rasa ke daerah lidah tersebut. Nervus glossofaring juga

(8)

menginervasi atap faring, tonsil, dan permukaan bawah dari palatum molle. Nervus vagus (saraf kranial kesepuluh) menginervasi daerah jalan nafas di bawah epiglotis. Cabang nervus laringeus superior dari nervus vagus terbagi menjadi jaras eksternal (motorik) dan jaras internal (sensoris) yang memberikan saraf sensoris ke daerah laring antara epiglotis dan pita suara. Cabang lain dari nervus vagus, nervus laringeus rekurent, menginervasi daerah laring di bawah pita suara dan trachea (Morgan, 2006).

Gambar 2.4. Jaras sensorik jalan nafas (Morgan, 2006)

Otot-otot laring diinervasi oleh nervus rekurent laringeus kecuali otot krikotiroid, yang diinervasi nervus laringeus eksternal (motorik), cabang dari nervus laringeus superior. Otot krikoaritenoid posterior berfungsi sebagai abduktor pita suara, sedangkan krikoaritenoid sebagai adduktor. Fonasi merupakan suatu proses yang berlangsung simultan dan kompleks dari

(9)

 beberapa otot laring. Kerusakan pada saraf motorik yang menginervasi laring mengakibatkan  berbagai jenis gangguan bicara. Denervasi unilateral pada otot krikotiroid mengakibatkan gejala klinis yang susah ditemukan. Bilateral palsy pada nervus laringeus superior mengakibatkan suara serak dan pita suara yang mudah lelah. Tetapi hal ini tidak mengganggu kontrol jalan nafas.

Paralisis unilateral dari nervus laringeus rekurent mengakibatkan terjadin ya paralisis pada daerah pita suara ipsilateral, yang ditandai dengan adanya penurunan dari kualitas suara. Dengan asumsi bahwa nervus laringeus superior berfungsi dengan baik, paralisis akut dari nervus laringeus rekurent bilateral mengakibatkan terjadinya stridor dan distress pernafasan, akibat dari menetapnya tekanan oleh otot krikotiroid. Masalah jalan nafas jarang terjadi pada kerusakan kronis dari nervus laringeus rekurent bilateral, karena adanya berbagai mekanisme kompensasi (misalnya, atrofi dari otot-otot laring)

Cedera nervus vagus bilateral mempengaruhi baik nervus laringeus superior dan nervus laringeus rekurent. Oleh karena itu, denervasi nervus vagus bilateral mengakibatkan flasiditas dan midposisi dari pita suara, hal yang sama terjadi pada pemberian suksinil kolin. Pada pasien ini, jarang terjadi masalah pada jalan nafas walaupun terjadi gangguan berat pada proses fonasi (Morgan, 2006).

2.1.5. Suplai darah

Suplai darah pada laring berasal dari cabang-cabang arteri tiroid. Arteri krikotiroid  berasal dari arteri tiroid superior yang merupakan cabang pertama dari arteri karotis eksternal, arteri ini berjalan melintasi membran krikotiroid atas, yang memanjang dari kartilago krikoid ke kartilago tiroid. Arteri tiroid superior berjalan sepanjang tepi lateral membran krikotiroid. Ketika akan melakukan krikotirotomi, anatomi arteri tiroid dan arteri krikotiroid harus diperhatikan

(10)

dengan baik tetapi hal ini jarang mempengaruhi saat pelaksanaannya. Cara yang terbaik adalah tetap berada pada garis tengah, yaitu di antara kartilago tiroid dan kartilago krikoid.

2.2. Evaluasi jalan napas

2.2.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Riwayat jalan nafas pasien harus dievaluasi untuk menentukan ada tidaknya faktor medis,  bedah maupun anestesi yang berpengaruh terhadap manajemen jalan nafas. Pasien yang

sebelumnya memiliki masalah dengan manjemen jalan nafas harus diinformasikan kepadanya masalah jalan nafas yang dialaminya, alasan mengapa itu terjadi, bagaimana intubasi trakheal dilakukan, serta bagaimana implikasinya terhadap anestesi selanjutnya. Catatan anestesi sebelumnya harus berisi deskripsi permasalahan jalan nafas yang dihadapi. Teknik manjemen  jalan nafas apa yang digunakan dan apakah teknik tersebut sukses atau tidak dikerjakan.

Penelitian mengenai variabel anatomis dan implikasinya untuk manajemen jalan nafas sulit, menunjukkan bahwa tes ini jika dikerjakan sendiri –  sendiri memiliki sensitivitas, spesifitas dan  postive predictive value  yang rendah. Korelasi akan lebih baik jika sejumlah tes ini dikombinasikan. Sejumlah tes ini didasarkan pada pemeriksaan oropharyngeal space, mobilitas leher, submandibular space, dan submandibular compliance. Sejumlah penyakit kongenital dan dapatan memiliki korelasi dengan manajemen jalan nafas (Latto,1997).

2.2.2 Ruang orofaringeal (

oropharyngeal space)

Mallampati menyarankan sebuah sistem klasifikasi ( Mallampati Score) untuk menghubungkan antara tampilan oropharyngeal space  dengan kemudahan laringoskopi direk

(11)

(direct laryngoscopy)  dan intubasi trakeal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan kepala pasien dalam posisi netral, membuka mulut maksimal, dan menjulurkan lidah tanpa fonasi. Jika Mallampati yang dijumpai selain I dan II, pasien diperintahkan untuk melakukan fonasi.

Terdapat korelasi antara skor malampati dengan apa yang terlihat saat dilakukan laringoskopi direk, dan kemudahan dilakukan intubasi. Penampakan saat dilakukan laringoskopi diklasifikasikan berdasarkan skor Cormack dan Lehane.

Bersama dengan klasifikasi Mallampati, jarak antar gigi seri, ukuran dan posisi gigi pada maksila dan mandibula serta bentuk palatum harus dievaluasi. Jarak antar gigi seri yang kurang dari 3 cm berkorelasi dengan kesulitan untuk mendapatkan gambaran yang jelas saat laringoskopi direk. Mandibula yang menonjol atau mundur juga berkaitan dengan tampilan laringoskopi yang kurang baik. Overbite  juga berakibat pada pengurangan celah antar gigi seri yang efektif ketika kepala dan leher pasien telah diposisikan secara optimal untuk dilakukan laringoskopi direk. Rahang yang kecil akan mengurangi pharyngeal space  (lidah terposisikan lebih posterior) dan akan mengurangi ruang yang akan ditempati jaringan lunak yang akan digeser selama laringoskopi direk. Ini menyebabkan struktur glotis akan lebih anterior pada  pandangan saat dilakukan laringoskopi direk. Sejumlah sindrom genetik dan penyakit dapatan dapat mengurangi pharyngeal space dan akan sulit dievaluasi pada pemeriksaan fisik (Morgan, 2006).

 2.2.3  Submandibular Complience

Submandibular space  merupakan area dimana jaringan lunak faring akan digeser untuk mendapatkan gambaran saat dilakukan laringoskopi direk. Segala sesuatu yang mengurangi ukuran space ini atau mengurangi compliance jaringan akan menurunkan jumlah pergeseran ke

(12)

anterior yang dapat dicapai,  Angina Ludwig’s, tumor, radiasi, jairngan ikat, luka bakar, dan operasi daerah leher sebelumnya merupakan kondisi  –   kondisi yang dapat menurunkan compliance submandibular (Morgan, 2006).

 2.2.4 Body Hiatus

Obesitas sering dikaitkan dengan peningkatan insiden kesulitan pengelolaan jalan nafas, Pengaturan posisi yang benar, dengan meletakkan wedge-shaped bolster   (bantal guling  berbentuk baji) di punggung pasien, dapat menciptakan sniffing position  yang lebih optimal. Meskipun demikian, masalah penurunan  functional residual capacity (FRC)  dengan makin menyempitnya rentang waktu untuk terjadinya desaturasi oksigen arteri serta kesulitan ventilasi dengan sungkup muka hingga penurunan compliance masih dapat djumpai (Morgan, 2006).

2.2.5 Membran Krikotiroid Dan Krikotirotomi

Ketika akses jalan napas dari mulut atau hidung gagal atau tidak tersedia (contoh, trauma maksilofacial, faringeal, laringeal, patologis atau deformitas), akses emergensi via ekstrathoracic trakhea adalah rute yang mungkin terhadap jalan napas. Klinisi harus terbiasa dengan teknik alternative oksigenasi dan ventilasi ini.

Krikotirotomi adalah membentuk saluran napas melalui membran krikotiroid. Membran krikotiroid memberikan perlindungan di ruang krikotiroid. Membran ini, berukuran 9 mm x 3mm, terdiri dari jaringan kekuningan yang elastis yang terletak tepat di bawah jaringan subkutan kulit dan di daerah wajah. Membran ini terletak di daerah anterior leher, yang  berbatasan dengan kartilago tiroid di superior dan kartilago krikoid di inferior. Membran ini

(13)

dapat dirasakan 1-1,5 jari di bawah tonjolan laringeal (thyroid notch, atau  Adam’s apple). Sebagai alternatif pada pasien dengan kartilago tiroid yang tidak menonjol, identifikasi kartilago tiroid bisa dilakukan dengan melakukan palpasi pada sternal notch kemudian susuri ke arah leher atas hingga teraba kartilago yang lebih lebar dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kartilago yang teraba sebelumnya. Dua pertiga atas dari membran ini dilalui oleh anastomosis dari arteri krikothiroid superior kiri dan kanan yang berjalan secara horisontal. Di tengah membran terdapat suatu tonjolan yang disebut conus elasticus, dan dua tonjolan besar lainnya yang terletak di daerah lateral, yang lebih tipis dan melekat di mukosa laring. Akibat adanya variasi anatomis terhadap jalannya pembuluh vena dan arteri serta letaknya yang berdekatan dengan plika vokalis ( yaitu 0,9 cm di atas ligamen teratas), maka disarankan bahwa segala bentuk insisi dan pungsi terhadap membran ini, dapat dilakukan pada sepertiga bawah dan diarahkan ke posterior (Stoelting, 2007).

Walaupun krikotirotomi adalah prosedur pilihan pada situasi emergensi, ini juga dapat diterapkan pada situasi tertentu ketika adanya akses terbatas ke trakhea (contoh kyphoscoliosis cervical  yang berat).

Gambar

Gambar 2.3.  Struktur pembentuk laring (Morgan, 2006).
Gambar 2.4.  Jaras sensorik jalan nafas (Morgan, 2006)

Referensi

Dokumen terkait