• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Respon Masyarakat Lokal terhadap Kawasan Konservasi Laut di Kabupaten Batang, Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dinamika Respon Masyarakat Lokal terhadap Kawasan Konservasi Laut di Kabupaten Batang, Indonesia"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Dinamika Respon Masyarakat Lokal terhadap Kawasan Konservasi Laut di Kabupaten Batang, Indonesia

The Dynamic of Local Community Responses Towards Marine Conservation Area In Batang District, Indonesia

Arif Satria 1, Alfian Helmi 2, Ilham Tawakal 1

(1) Department of Communication and Community Development, Faculty of Human Ecology, Bogor Agricultural University, Indonesia

(2) Division of Human Science, Graduate School of Letters, Hokkaido University, Japan

alfianahelmi@gmail.com

Abstract

Reconciling fishers –while sometimes regarded as enemy by conservation managers —becomes critical issues in developing marine conservation area in Indonesia. Conflict between fishers and the managers is rooted on establishment of conservation area that avoiding interests among the social actors. However, local community members have multiple perspectives in regard to the marine conservation areas and their impact. This paper seeks to analyze local community response (especially for fisher’s response) towards marine conservation area in Indonesia. The local responses consist of zonation, rule of the game, sanctions, monitoring and evaluation, authority and the bundle of rights. The research involved in-depth interviews, observation and household questionnaires. It was found that over all the data indicated that local community member support marine conservation area. Nevertheless, it was also found that there were considerable difference responses among local government, community, and conservation managers. The reasons for those differences are outlined.

(2)

[2] I. PENDAHULUAN

Penetapan suatu wilayah laut menjadi kawasan konservasi merupakan kebutuhan saat kerusakan sumberdaya alam telah menyebabkan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan kekeringan; kepunahan spesies tertentu; dan dalam jangka panjang mengancam kehidupan secara umum melalui perubahan iklim global (Argandy 1994). Pada kawasan laut, kerusakan lingkungan laut tampak dari kerusakan terumbu karang, jumlah tangkapan yang terus-menerus berkurang dan pendangkalan laut (Helmi 2012; Satria 2009; Dahuri 1996) . Kerusakan ini tentunya memerlukan respon untuk memperbaiki kerusakan dan menjaga lingkungan agar tetap dalam kondisi baik. Penetapan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi merupakan salah satu responnya (Gjerde KM et. al. 2003; Kelleher et. al. 1992).

Namun sayangnya, penetapan suatu kawasan menjadi kawasan konservasi seringkali harus berhadapan dengan masalah konflik dengan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Penelitian Damanik et. al. (2006) pada 5 kawasan konservasi laut menunjukkan penetapan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi telah mengurangi akses masyarakat pada sumberdaya pesisir. Pengurangan akses tersebut disebabkan karena tidak dilibatkannya masyarakat pesisir pada proses pengelolaan wilayah konservasi.

Satria (2009) juga menyatakan bahwa penetapan suatu daerah menjadi zona inti kawasan konservasi akan membatasi akses nelayan terhadap daerah tangkapannya. Hal ini berkenaan dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 (tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya) dan Undang-undang Nomor 31 tahun 2004 (tentang Perikanan), yang menyebutkan bahwa zona inti merupakan zona yang mutlak dilindungi, di dalamnya tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia, kecuali yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian. Inilah yang seringkali menimbulkan konflik ketika suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Pada dasarnya, pengelolaan konservasi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 menjadi tanggung jawab dari pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Namun dalam praktiknya, pengelolaan sumberdaya perikanan masih sangat bersifat sentralistis. Menurut PKSPL IPB (2007) kelemahan model sentralistis yang menutup pintu partisipasi masyarakat, memakan biaya pengawasan hukum yang cukup mahal, lemahnya penegakan hukum, serta bias terhadap pemilik modal, terbukti telah menghancurkan sumberdaya perikanan itu sendiri.

Beberapa daerah merespon permasalahan ini dengan memunculkan Zona Pemanfaatan Tradisional. Penelitian Anggraini (2002) di konservasi Kepulauan Seribu, tepatnya

(3)

[3]

di daerah Pulau Panggang, menunujukan bahwa sebagian besar pulau-pulau yang berada di daerah Pulau Panggang, termasuk ke dalam Zona Pemanfaatan Tradisional. Zona Pemanfaatan Tradisional ini diperuntukkan bagi masyarakat Kepulauan Seribu untuk memenuhi kebutuhan hidup nelayan dan kegiatan perikanan yang diperbolehkan pun terbatas pada pemanfaatan dengan alat tangkap yang tergolong tradisional. Sehingga masyarakat yang mempunyai kapal jaring, tidak dapat menangkap ikan di zona pemanfaatan tradisional tersebut.

Dalam penentapan zona inti atau zona larang tangkap, seringkali pemerintah tidak melalui proses konsultasi dan pelibatan masyarakat setempat. Kurangnya keikutsertaan masyarakat setempat ini menyebabkan masyarakat, khususnya nelayan, tidak dapat menerima kehadiran kawasan konservasi, bahkan cenderung merespons negatif keberadaan konservasi.

Padahal partisipasi masyarakat merupakan kunci keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi (Pollnac et. al. 2001; Hind et. al. 2010; Pietri et. al. 2009; and Salm et. al. 2000). Kusumawati and Huang (2014), dalam penelitiannya di Aceh juga mengungkapkan bahwa salah satu pilar penting dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah pelibatan masyarakat lokal.

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi ini tentu sangat erat kaitannya dengan respon masyarakat itu sendiri terhadap penetapan kawasan konservasi. Sehingga penting untuk diketahui, bagaimana respon masyarakat terhadap pengelolaan kawasan konservasi. Respon tersebut dinilai dari berbagai aspek, yakni zonasi, aturan, otoritas, hak dan monitoring evaluasi. Hal ini didasarkan pada pendapat Ruddle (1999) yang menyatakan bahwa lembaga pengelolaan berbasis masyarakat umumnya terdiri dari beberapa aspek berikut: zonasi, aturan, otoritas, hak, dan monitoring evaluasi.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respon komunitas lokal (khususnya respon nelayan) terhadap kawasan konservasi laut di Indonesia. Respon ini berkaitan dengan zonasi, aturan, otoritas, hak, dan monitoring evaluasi. Pengetahuan mengenai respon komunitas setempat sangat penting untuk menjaga agar keberlanjutan kawasan konservasi tetap terjaga.

II. METODE

Metode Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif.

Metode kualitatif ini digunakan untuk mengetahui lebih jauh dinamika pengelolaan kawasan pesisir ujungnegoro beserta perubahan-perubahan kebijakan yang mengikutinya, penelusuran sejarah penetapan kawasan sebagai kawasan konservasi dan dinamika pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di kawasan tersebut.

(4)

[4]

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif berguna untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Hal ini terutama yang berkaitan dengan perubahan-perubahan kebijakan terkait penetapan status kawasan. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Kasus yang dipilih dalam penelitian ini adalah dinamika pengelolaan dan respon masyarakat terhadap status kawasan sebagai kawasan konservasi. Pengambilan data dilapangan dilakukan melalui pengamatan langsung dan wawancara mendalam terhadap responden.

Penelitian ini dilakukan di Desa Ujungnegoro, Kecamatan Kandeman, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan:

 Status sebagai kawasan konservasi yang ada pada Desa Ujungnegoro selalu berubah-ubah mengikuti dinamika politik lokal setempat.

 Di kawasan pesisir Desa Ujungnegoro terdapat 3 objek penting dalam menjaga ekosistem, yaitu: (i) kawasan Karang Kretek yang berperan melindungi potensi sumberdaya ikan bagi nelayan tradisional; (ii) kawasan situ Syeikh Maulana Maghribi yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Batang; dan (iii) kawasan wisata pantai Ujungnegoro yang memberikan andil pada perkembangan industry pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Batang (DKP Kabupaten Batang, 2009). Hal tersebut menyebabkan kawasan ini sangat penting bagi kehidupan sosial maupun lingkungan masyarakat setempat.

 Sebagian besar penduduk Desa Ujungnegoro bermatapencaharian sebagai nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut.

Pengumpulan Data. Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.

Data primer yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik wawancara dengan alat bantu panduan wawancara yang telah dipersiapkan. Sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara.

Selain data primer, pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan data sekunder. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari Kantor Desa Ujungnegoro, Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Batang, Biro Pusat Statistik Batang, perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitasnya disekitar kawasan tersebut, serta buku, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

(5)

[5]

Analisis Data. Teknik analisis data dilakukan sejak awal pengumpulan data. Hasil

wawancara mendalam dan pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus yang terdiri dari pengumpulan data, analisis data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Dinamika Pengelolaan Kawasan Ujungnegoro

Desa Ujungnegoro merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kademan, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah. Walaupun Desa ini sebagian besar bekerja di bidang perikanan khususnya nelayan, namun masyarakat desa ini tidak bekerja sekitar perairan Ujungnegoro, hanya kurang lebih 40 orang menjadi nelayan di perairan Ujungnegoro sebagai nelayan pencari rebon, dan selebihnya menjadi nelayan kapal-kapal besar pencari ikan cakalang maupun tuna di daerah Pekalongan, Semarang, ataupun Jakarta (BPS, 2011).

Kawasan ini bersama dengan Roban ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) melalui SK Bupati Batang Nomor 523/283/2005 tanggal 15 Desember 2005 dengan luas mencapai 6.893,75 Ha dengan bentang pantai sejauh 7 km. Empat desa yang termasuk dalam kawasan KKLD Ujungnegoro-Roban ini meliputi, Desa Ujungnegoro, Desa Karanggeneng, Desa Ponowareng, dan Desa Kedung Segog Kecamatan Roban. Penetapan kawasan ini sebagai kawasan konservasi laut dilatarbelakangi oleh beberapa hal sebagai berikut: (i) kawasan Karang Kretek yang berperan melindungi potensi sumberdaya ikan bagi nelayan tradisional; (ii) kawasan situ Syeikh Maulana Maghribi yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Batang; dan (iii) kawasan wisata pantai Ujungnegoro yang memberikan andil pada perkembangan industry pariwisata dan kebudayaan Kabupaten Batang (DKP Kabupaten Batang, 2009). Sehingga untuk melindungi kawasan-kawasan tersebut, Pemerintah Kabupaten mengeluarkan SK Bupati Batang Nomor 523/283/2005 tersebut.

Penetapan kawasan tersebut juga salah satunya dilatarbelakangi oleh adanya ancaman rusaknya terumbu karang, hutan bakau dan alih fungsi lahan diluar peruntukannya (Yusmanto, et al., 2012). Hasil penelitian pada tahun 2007 menunjukkan bahwa kondisi ekosistem terumbu terumbu karang mengalami tekanan ekologi yang sangat kuat dan berada pada kategori buruk sekali dengan persentase penutupan karang keras sebesar 6 persen. Sedangkan mangrove, terutama dari jenis mangrove sejati seperti misalnya tanaman bakau (Rhizophora mucronata) tidak banyak ditemukan di kawasan pantai Ujungnegoro (Yusmanto, et

(6)

[6]

Namun demikian, penetapan kawasan ini sebagai kawasan konservasi selalu berubah-ubah. Paling tidak selama 7 tahun dari masa penetapannya (2005 – 2012) telah terjadi enam kali perubahan status kawasan termasuk perubahan area dan zona kawasan. Adapaun kebijakan yang merubahn kawasan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Keputusan Bupati Nomor: 523/283/2005 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Ujungnegoro-Roban;

2. Keputusan Bupati Nomor 523/306/2011 tentang perubahan Keputusan Bupati Batang tahun 2005;

3. SK Bupati Nomor 523/194/2012 tanggal 27 April 2012 tentang Pecadangan Kawasan Taman Pesisir Ujugnegoro-Roban dan sekitarnya di Kabupaten Batang;

4. Peraturan Bupati Batang Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) / Taman Pesisit Ujungnegoro Kabupaten Batang;

5. Peraturan Bupati Batang Nomor 47 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Bupati Batang Nomor 07 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)/ Taman Pesisir Ujungnegoro Kabupaten Batang;

6. Peraturan Bupati Batang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Kawasan Taman Pesisir Ujungnegoro-Roban dan sekitarnya di Kabupaten Batang.

Perubahan pertama bermula pada tahun 2009. Berdasarkan pasal 28 ayat 4 Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil menyebutkan bahwa kewenangan penetapan wilayah konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditetapkan melalui Peraturan Menteri. Hal ini mengakibatkan Bupati Batang melalui surat tanggal 25 Februari 2010 nomor 523/278/2010 mengusulkan penetapan pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Ujungnegoro Kabupaten Batang kepada Menteri Kelautan dan Perikanan. Proses ini kemudian diikuti dengan ditetapkannya Peraturan Kabupaten Batang nomor 7 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Batang tahun 2011-2031 tanggal 26 Agustus 2011. Sehingga dipandang perlu melakukan rezoning batas kawasan konservasi perairan daerah Ujungnegoro sesuai dengan pola pemanfaatan ruang.

Berdasarkan pada pertimbangan bahwa terdapat perkembangan pemanfaatan perairan laut pada jalur penangkapan nelayan tradisional, maka diterbitkan Peraturan Bupati Batang Nomor 47 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Bupati Batang Nomor 7 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)/ Taman Pesisir Ujungnegoro Kabupaten Batang. Dengan adanya perubahan keputusan Bupati dan Peraturan Bupati, maka Bupati Batang mengusulkan kembali penetapan KKLD, melalui Surat Bupati Batang Tanggal 20 September 2011 nomor: 523/0983/2011 perihal Perubahan Zonasi KKPD Ujungnegoro.

(7)

[7]

3.2. Respons Nelayan Terhadap Kawasan Konservasi

Dinamika respon masyarakat terhadap keberadaan kawasan konservasi laut daerah dikategorikan kedalam beberapa hal sebagai berikut: zonasi, aturan, otoritas, hak, dan monitoring evaluasi, sehingga aspek-aspek tersebut harus diperhatikan dalam setiap kawasan konservasi (Ruddle 1999). Adapun respon masyarakat diuraikan sebagaimana yang tercantum dalam table 2.

Tabel 2. Respon Masyarakat terhadap Pengelolaan Kawasan Konservasi

Respon Zonasi Aturan Sanksi Monev Otoritas Hak

n % n % n % n % n % n %

Negatif 9 25,71 3 8,60 4 11,43 15 42,90 2 5,71 1 2,90

Positif 26 74,29 32 91,40 31 88,57 20 57,10 33 94,29 34 97,10

Jumlah 35 100 35 100 35 100 35 100 35 100 35 100

1. Respons Mengenai Zonasi

Dalam penetapan zonasi, peran serta masyarakat harus diikutsertakan agar tujuan dalam pembentukan kawasan konservasi dapat tercapai. Satria (2002) menyatakan bahwa dengan adanya partisipasi masyarakat semakin mendekatkan upaya menemukan titik temu antara kepentingan teknis-ekologis yang dilakukan suprastruktur dengan kepentingan sosial yang dilakukan masyarakat.

Tabel 2 menunjukan bahwa 74,29 persen responden menyatakan bahwa mereka merespons positif adanya zonasi di wilayah perairan ujungnegoro. Zonasi di Kawasan Perairan Daerah Ujungnegoro terdiri dari tiga zona yaitu, zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lainnya,. Nelayan merasa bahwa dengan adanya zonasi di kawasan perairan Ujungnegoro ini, maka kelimpahan sumberdaya laut akan tetap terjaga karena banyaknya terumbu karang yang ditanam di daerah perairan Ujungnegoro. Zonasi yang dilakukan oleh pihak pengelola KTP dalam hal ini Dinas Kelautan Perikanan Kab. Batang tidak menghalangi aktivitas nelayan dalam mencari sumberdaya laut terutama rebon. Tanggapan positif diungkapkan oleh responden Bapak waji (43 th) :

“...adanya penanaman terumbu karang ini tidak menghalangidaerah

tangkapan ikan, karena biasanya kita menangkap rebon, dan itu biasanya jauh dari karang...

(8)

[8]

Namun, tidak semua responden merespons positif dengan adanya zonasi di kawasan perairan Ujungnegoro. Penelitian menunjukan bahwa 25,71 persen responden merespons negatif adanya zonasi. Hal ini karena nelayan merasa bahwa dengan adanya zonasi, maka mereka menjadi terhambat jika mencari ikan ke tengah laut, terkadang jaring mereka terjerat terumbu karang buatan. Selain itu, tidak adanya tanda-tanda zonasi menyebabkan mereka merasa khawatir jika jaringnya terkena karang, yang dapat menyebabkan jaring menjadi rusak dan tidak dapat digunakan.

Hasil penelitian melalui wawancara mendalam dengan responden, banyak nelayan yang tidak mengetahui peta zonasi KTP Ujungnegoro. Nelayan bahkan tidak mengetahui apa yang dimaksud dengan zonasi, tetapi jika dijelaskan mengenai penanaman terumbu karang mereka mengetahui. Hal ini dapat disebabkan karena pada proses sosialisasi KTP tidak dijelaskan bagaimana peta zonasi yang ada di kawasan konservasi dan kurangnya keikutsertaan responden dalam sosialiasi pembentukan KTP. Responden hanya mengetahui bahwa di daerahnya terdapat terumbu karang (karang kretek) yang dilindungi dan juga karang-karang buatan. Pada saat melaut, nelayan berusaha untuk menghindari daerah yang terdapat terumbu karang, mereka hanya bisa mengira-ngira keberadaan terumbu karang. Kurangnya sosialiasi mengenai peta zonasi tidak mengurangi respons positif responden mengenai zonasi.

2. Respons Mengenai Aturan

Pada setiap kawasan konservasi selalu dibentuk suatu aturan yang mengatur tentang berbagai macam kegiatan yang dilarang dan diperbolehkan oleh para pihak berkepentingan. Aturan di daerah kawasn konservasi biasanya terdiri dari dua macam, yaitu aturan adat dan aturan formal. Nelayan di daerah KTP khususnya nelayan Ujungnegoro, tidak memiliki hukum adat seperti di daerah Aceh dengan panglima laot, atau Nusa Tenggara Barat yang memiliki awig-awig.

Sebagian besar responden mempunyai respons yang positif mengenai aturan di wilayah KTP. Dapat dilihat pada Tabel 2, bahwa responden yang merespons negatif sebesar 8,60 persen, sedangkan responden yang merespons positif sebesar 91,40 persen. Hal ini menunjukan bahwa nelayan memiliki respons positif dan menerima berbagai macam aturan yang ada di wilayah KTP. Nelayan merasa bahwa aturan yang telah ditetapkan seperti adanya pelarangan menggunakan bom dan mengganggu kawasan karang kretek telah sesuai dengan aspirasi mereka dan keadaan mereka. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden Bapak Suparno:

(9)

[9]

“...kalo disni tidak ada yang berani memakai alat bom atau pukat, alat itu

kan bisa merusakm jadi nanti hasil laut bakalan berkurang...”

Tingginya kesadaran nelayan dalam menjaga lingkungan perairan ujungnegoro, telah mnyebabkan kawasan ini terjaga dalam hal ekosistem, selain itu, mudahnya nelayan menerima aturan yang ditetapkan oleh dinas kelautan dan perikanan kabupaten Batang.

3. Respons mengenai sanksi

Sanksi merupakan salah satu aspek yang dapat menguatkan pelaksanaan pengelolaan kawasan konservasi. Sanksi juga merupakan indikator berjalan tidaknya suatu aturan. Pada pelaksanaan pengelolaan KTP Ujungnegoro, sanksi yang diterapkan hanya berdasarkan sanksi hukum yang berlaku di negara Indonesia (hukum formal), sedangkan untuk sanksi adat yang berasal dari masyarakat sendiri di daerah Ujungnegoro ini tidak ada.

Tabel 2 menunjukan bahwa respons nelayan Ujungnegoro terhadap sanksi di sekitar Kawasan Taman Pesisir ini menujukan respons yang positif. Respons positif ini dipengaruhi oleh adanya kesadaran masyarakat terhadap perilaku menjaga lingkungan dan ekosistem di kawasan ini. Keberadaan Pokmaswas (Kelompok Masyarakat Pengawas) juga turut memberikan andil yang besar terhadap keberadaan sanksi di kawasan ini. Pokmawas sendiri mempunyai peran untuk mengawasi dan menjaga daerah Kawasan Taman Pesisir inim dan juga memberikan sanksi kepada para pelanggar, seperti yang diungkapkan oleh salah satu anggota Pokmawas, bapak taat:

“ tugas pokmawas itu mengawasi daerah ujungnegoro, biasanya jika ada nelayan atau

warga yang merusak dan menggunakan alat-alat yang dilarang, nelayan Ujungnegoro pasti akan menegurnya, kalau masih melakukan nya kita akan lapor kepada dinas dan polisi”

4. Respons Mengenai Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi (monev) merupakan suatu aspek yang sangat penting dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suatu kawasan konservasi. Monev dilakukan terhadap institusi, lingkungan, dan berbagai macam sarana yang ada. Monev ini dilakukan bersama-sama masyarakat untuk melihat hasil dari pembentukan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). Nelayan di daerah KKPD Ujungnegoro sebagian besar mempunyai respons yang positif mengenai evaluasi di wilayah KKPD.

(10)

[10]

Dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa responden yang merespons negatif sebesar 57,10 persen, sedangkan responden yang merespons positif sebesar 42,90 persen. Hal ini menunjukan bahwa nelayan memiliki respons negatif mengenai evaluasi di wilayah KKPD. Respons negatif mengenai evaluasi ini disebabkan karena banyak nelayan atau responden yang merasa bahwa tidak adanya evaluasi yang secara teratur dan terencana yang dilakukan oleh pihak pengelola dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan. Dengan tidak adanya evaluasi ini menyebabkan nelayan tidak mengetahui perkembangan dari pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Menurut beberapa nelayan, pelaksanaan evaluasi hanya dilakukan pada awal-awal pembentukan KKPD saja, setelah itu jarang diadakan lagi evaluasi atau monitoring. Selain itu, keberadaan Pokmaswas (Kelompok Pengawas Masyarakat) yang dibentuk oleh pihak Dinas Kelautan dan Perikanan bersama masyarakat ternyata menurut beberapa responden dirasakan vakum dari kegiataannya. Hal ini diungkapkan oleh Tar (52).

“...dulu ada pokmaswas dan sampai sekarang pun pokmaswas masih ada, tapi kegiatan

pokmaswas menurut saya sekarang ini vakum, kalaupun ada kegiatan biasanya kalau ada acara dari dinas...”

5. Respons Mengenai Otoritas

Menurut Satria (2009), otoritas merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal maupun informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan. Ada pengurus dan susunan yang disesuaikan dengan kondisi.

Sebagian besar responden mempunyai respons yang positif mengenai otoritas di wilayah perairan Ujungnegoro. Dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa responden yang merespons negatif sebesar 5,71 persen, sedangkan responden yang merespons positif sebesar 94,29 persen. Hal ini menunjukan bahwa nelayan sebagian besar memiliki respons positif mengenai otoritas di wilayah KKPD. Tingginya respons positif nelayan terhadap otoritas ini disebabkan karena nelayan merasa bahwa adanya suatu kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam hal pengelolaan kawasan konservasi. Nelayan mempunyai penilaian bahwa pemerintah dan nelayan mempunyai peranan yang sangat penting dalam pengelolaan kawasan perairan Ujungnegoro, seperti yang diungkapkan oleh mbari:

“menurut saya antara pemerintah dengan nelayan sama-sama penting dalam mengelola perairan Ujungnegoro. Jadi dua-duanya ada kerjasama yang saling menguntungkan..”

(11)

[11] 6. Respons terhadap Hak

Pada tabel 2 diperoleh hasil bahwa, 97,10 persen nelayan merespons positif terhadap hak mereka setelah adanya kawasan konservasi. Tingginya respons positif nelayan terhadap hak di kawasan konservasi perairan ini diduga karena tidak hilangnya hak kepemilikan masyarakat khususnya nelayan Ujungnegoro terhadap kawasan tersebut. Pada umumnya nelayan merasa bahwa hak mereka untuk mengakses, memanfaatkan, dan mengelola kawasan perairan Ujungnegoro masih berjalan baik.

Meskipun kawasan Ujungnegoro telah menjadi kawasan konservasi, tetapi instansi terkait yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kab Batang tidak membatasi nelayan Ujungnegoro dalam mencari usaha utama mereka yaitu mencari rebon. Pada umumnya nelayan melaut dan mencari rebon berada bukan pada zona inti kawasan konservasi, sehingga hal ini tidak merusak zona inti dari kawasan konservasi, sehingga nelayan dengan bebas mengakses wilayah perairan Ujungnegoro.

IV. KESIMPULAN

Pada dasarnya pembentukan dan pengelolaan kawasan konservasi perairan ini telah mempunyai payung hukum yang kuat di tingkat internasional sampai kepada tingkat daerah. Dinamika yang terjadi di kawasan konservasi Batang ini disebabkan karena adanya perubahaan RTRW pada peraturan di tingkat daerah. Sementara itu Respons masyarakat terhadap pengelolaan KKPD Ujungnegoro ini dikatakan positif. Hal ini terlihat dari respons masyarakat terhadap lima elemen konservasi yaitu zonasi, aturan, sanksi, monitoring dan evaluasi, serta otoritas. Elemen-elemen tersebut direspons positif oleh nelayan, kecuali pada elemen monitoring dan evaluasi

REFERENCES

Dahuri, Rokhmin. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Bogor [ID]. IPB Press

Satria, A., et al. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta [ID]: PT. Pustaka Cidesindo Satria, et al. 2006. Questioning Community Based Coral Reef Management Systems: Case

Study of Awig-awig in Gili Indah, Indonesia. Environment, Development, and Sustainability 8: 99-118

________.2009a. Ekologi Politik Nelayan. Jakarta [ID]: LKiS Printing Cemerlang. ________.2009b. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor [ID]: IPB Press

(12)

[12]

PKSPL IPB dan Consevation International Indonesia. 2007. Menuju Rejim Kelembagaan yang

Berkelanjutan pada Kawasan Konservasi Laut dan Pesisr; Sebuah Kasus Pada Kawasan Konservasi Laut Berau, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Bogor: PKSPL

Institut Pertanian Bogor.

Yusmanto, et al. 2012. “Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (taman pesisir) Ujungnegoro-roban Kabupaten Batang”. Prosiding seminar nasional pengelolaan

sumberdaya alam dan lingkungan.Semarang.

Agardy, M. T. 1994. Advances in marine conservation: the role of marine protected areas. Trends in Ecology and Evolution Journal. Volume 9, Issue 7, July 1994, pp. 267–270. Helmi, A. dan Satria, A. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis. Makara,

Sosial Humaniora, Vol. 16, No. 1, Juli 2012: 68-78 Satria, A. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor: IPB Press

Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., & Sitepu, M.J. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramitha

Gjerde KM, BreideC. 2003. Towards a strategy for high seas marine protected areas. In: Proceedings of the IUCN, WCPA and WWF experts workshop on high seas marine protected areas, 15–17 January 2003, Malaga, Spain: IUCN.

Kelleher G, Kenchington R. 1992. Guidelines for establishing marine protected areas. A marine conservation and development report. Gland, Switzerland: IUCN.

Damanik, R., Satria, A., and Martani, BP. 2006. Menuju Konservasi Laut Pro Rakyat dan Pro Lingkungan

Pollnac RB, Crawford BR, MLG Gorospe. Discovering factors that influence the success of community-based marine protected areas in the Visayas . Philippines: Ocean & Coastal Management; 2001; 683–710.

Hind EJ, Hiponia MC, Gray TS. From community-based to centralised national management—a wrong turning for the governance of the marine protected area in Apo Island,

Philippines? Mar. Policy 2010; 34:54–62.

Pietri D, Christie P, Pollnac RB, Diaz R, Sabonsolin A. Information diffusion in two marine protected area networks in the central Visayas region, Philippines. Coast Manag, 37; 2009; 331–48

(13)

[13]

Salm RV, Clark JR, Siirila E. Marine and coastal protected areas: a guide for planners and managers. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources; Gland, Switzerland and Cambridge, UK 2000.

Kusumawati I, Huang HW. Key factors for successful management of marine protected areas: A comparison of stakeholders' perception of two MPAs in Weh island, Sabang, Aceh, Indonesia. Mar. Policy 2015; 51: 465-475.

Gambar

Tabel  2  menunjukan bahwa  74,29  persen  responden  menyatakan  bahwa  mereka  merespons positif adanya zonasi di wilayah perairan ujungnegoro

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini dida- patkan hasil bahwa responden yang mengalami kekera- san dengan pacar yang menggunakan narkoba 8 orang (100%), tetapi setelah dilakukan uji statistik tidak

Hipotesis kedua yang menyatakan bahwa faktor budaya mempunyai pengaruh signifikan secara parsial terhadap perilaku konsumen dalam keputusan membeli kosmetik

Hasil loading plot dari hubungan antara variabel rasa dengan F1 dan F2 dapat dilihat pada Gambar 5 yang menunjukkan rasa manis memiliki hubungan yang positif dengan

Selanjutnya hasil perbandingan dataset dengan menggunakan kedua metode klasifikasi, yakni algoritma C4.5 dan Naïve Bayes , menunjukkan bahwa algoritma C4.5 memiliki

Badan bubu terbuat dari jaring Polyethylene (PE) multifilament berwarna hijau dengan ukuran mesh size 20 mm. Umpan yang dipergunakan adalah ikan rucah. Penelitian

dapat meliputi permasalahan pribadi. Teman adalah seseorang yang dikenal namun tidak membicarakan hal pribadi, sedangkan sahabat adalah seseorang yang dapat dipercaya

Pengaruh penggunaan tongkol jagung dalam complete feed dan suplementasi undegraded protein terhadap pertambahan bobot badan dan kualitas daging pada sapi

Jika dilihat dari sebaran kawasan konservasi perairan berbasis ekoregion, pengelolaan kawasan konservasi perairan laut Indonesia sebagai tanggung jawab di bawah Kementerian