• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab VII Pemberdayaan Sekolah Untuk Pembangunan SDM Bermutu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab VII Pemberdayaan Sekolah Untuk Pembangunan SDM Bermutu"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 103

Bab VII

Pemberdayaan Sekolah

Untuk Pembangunan SDM Bermutu

A. Reformasi Konsep Pendidikan

Sejak tahun1970-an Indonesia telah melakukan enam kali perubahan kurikulum, namun pelaksanaannya di lapangan belum menghasilkan peningkatan mutu pendidikan, bahkan tertinggal jauh dari Malaysia yang pada tahun 1970-an meminta bantuan guru-guru MIPA SMA/SMK Indonesia dalam peningkatan mutu pendidikannya.

Bagaimana konsep pendidikan yang dapat diyakini kebenarannya?

Firman Allah Swt, apabila kita berbeda pendapat dalam sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (AlQur‟an) dan rasulNya (sunnah), [Qs. An Nisa (4): 59].

Reformasi pendidikan yang dimulai pada tahun 2003, melalui Undang–Undang No 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengubah kurikulum dari Kurikulum 1994 yang berbasis mata pelajaran menjadi Kurikukum Berbasis Kompetensi (KBK), yang dilandasi oleh konsep Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) dan Pendidikan Berbasis Luas, yang dikenal dengan istilah BBE–Life Skill (Broad-based Education

and Life Skill Education). Pendidikan berbasis kompetensi

diharapkan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan hidup. Namun dalam perjalanannya selama kurang lebih delapan tahun, ternyata implementasi KBK di lapangan, belum menghasilkan peningkatan mutu pendidikan yang diharapkan. Wajarlah kalau Pemerintah merencanakan memperbaiki dan menyempurnakan Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013.

(2)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 104

Konsep pendidikan Ar-Rafi‟ yang berbasis pendidikan Islam, yang dikemukakan pada bab-bab terdahulu merupakan masukan bagi perbaikan dan penyempurnaan Kurikulum 2006 menjadi Kurikulum 2013, yang implementasinya di SD Ar-Rafi‟ Bandung telah dimulai pada tahun 2004, dan di SD Ar-Rafi‟ Bale Endah dimulai pada tahun 2005.

B.

Konsep Pendidikan Ar-Rafi’ Berlandaskan Al

Qur’an

Pendidikan adalah proses fasilitasi peserta didik agar mendapatkan pengalaman belajar dan berlatih mengaktualisasikan semua potensi yang diberikan Allah Swt [Qs.An Nahl (16): 78] menjadi kompetensi, khususnya kompetensi berpikir sehingga menjadikan manusia sebagai makhluk yang dimuliakan dimuka bumi, dan membedakannya dari binatang ternak [Qs.Al A‟Raaf (7): 179]. Dalam hal ini pendidikan berfungsi menjadikan manusia sebagai animal

rationale atau binatang berpikir.Kalau pendidikan tidak bisa

membangun kemampuan berpikir peserta didik, maka pendidikan belum mampu memanusiakan manusia, atau belum mampu mengubah derajat peserta didik menjadi manusia seutuhnya.

Fungsi pendidikan lainnya adalah memfasilitasi peserta didik untuk memberdayakan seluruh potensi yang dimilikinya menjadi sosok muslim yang kaaffah [Qs. Al Baqarah (2): 208], yang berpribadi integral, satu kesatuan antara nilai sikap, ucapan dan perbuatannya, sehingga tidak tergoda untuk mengikuti jalan syetan, sebagai musuh manusia yang nyata. Kalau pendidikan belum mampu memfasilitasi peserta didik untuk mengaktualisasikan potensi kognitif, afektif dan motoriknya, secara terintegrasi menjadi sosok manusia yang berilmu, beriman dan dapat mengamalkan ilmunya dalam iman, maka pendidikan belum mampu membangun peserta didik menjadi pribadi yang integral (integrated personality).

(3)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 105

Bukankan pendidikan seperti itu hanya akan membangun manusia yang berpribadi terpecah (split personality) atau manusia munafik? Allah Swt mengingatkan bahwa pendidikan harus mampu membangun muslim yang kaaffah (sosok muslim yang berpribadi integral), dan jangan mengikuti jalan syetan, yaitu pendidikan yang hanya membangun peserta didik dengan ilmu saja, atau ilmu dan amal saja, tanpa mengintegrasikan nilai-nilai iman, karena hanya akan membangun sosok manusia munafik (sosok manusia pengikut syetan). Peringatan dari Allah Swt tersebut merupakan peringatan bagi guru-guru, agar berhati-hati dalam membelajarkan peserta didik, karena apabila guru memberdayakan peserta didik hanya dalam domain kognitif, atau hanya dalam domain kognitif dan motorik, tanpa domain afektif, maka guru tersebut diingatkan Allah Swt sebagai membelajarkan peserta didik dengan jalan syetan? Mengapa? Karena pembelajaran yang difasilitasi oleh guru tersebut hanya akan membangun manusia munafik, sebagai sosok manusia pengikut syetan. Bagaimana Kepala Sekolahnya? Bagaimana pula Pengawasnya?Bukankah Kepala Sekolah dan Pengawas juga termasuk sebagai pendidik?

Allah Swt menciptakan manusia untuk mengabdi atau beribadah kepadaNya [Qs. Adz Dzariyat (51): 56]serta menjadi pemimpin dimuka bumi [Qs. Al Baqarah (2): 30] yang akan diminta pertanggung jawabannya kelak. Inilah tujuan dari pendidikan dalam Islam yaitu agar manusia dapat menjadi khalifah yang abdullah, sesuai dengan kepemimpinan yang dicontohkan Rasulullah Muhammad Saw, yang adil,

siddiq, tabligh, amanah, fathonah dan

istiqomah.Kepemimpinan yang diharapkan dimiliki oleh

lulusan sekolah harus dimulai dari guru-guru, kepala sekolah dan para pengawas dan penilik pendidikan, melalui konsep keteladanan. Mengapa harus dimulai dari para guru, kepala sekolah dan pengawas? Karena merekalah yang akan memfasilitasi pendidikan peserta didik, maka kepada mereka

(4)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 106

Allah Swt mengingatkan agar segala sesuatu yang dikemukakan kepada peserta didik mereka harus melakukannya terlebih dahulu, kalau mereka tidak mencontohkannya, maka mereka akan memperoleh kebencian yang besar dari Allah [Qs. Ash Shaff (61): 2-3].

Allah Swt memerintahkan umatNya yang beriman untuk belajar hingga menguasai dan memiliki ilmu, sebagai sosok ulil albab [Qs. Ali „Imron (3): 190] dan dapat menggunakan ilmunya dalam kehidupan dengan penuh kebermanfaatan [Qs. Ali „Imron (3): 191] bagi dirinya, keluarganya, bangsa dan negaranya serta agamanya (rahmatan lil‟alamin), seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Saw, dan dikukuhkan oleh Allah Swt dalam firmanNya [Qs. Al Anbiyaa‟ (21): 107].

Bagi mereka yang beriman dan memiliki ilmu Allah Swt berjanji akan meningkatkan derajatnya [Qs. Al Mujadillah (58): 11], inilah landasan teologis konsep pendidikan Ar-Rafi‟ dalam membangun manusia unggul.

Pelaksanaan semua konsep pendidikan Ar-Rafi‟ dalam membangun manusia unggul harus dimulai dari guru, kepala sekolah dan pengawas, oleh karena itulah mereka semua termasuk orang-orang yang yang beriman yang ditingkatkan derajatnya oleh Allah Swt sebagai manusia unggul. Semua kegiatan guru, kepala sekolah dan pengawas, dalam memfasilitasi peserta didik agar menjadi manusia unggul merupakan amal salih mereka yang dibalas Allah Swt dengan pahala yang terus menerus, sehingga mereka terhindar dari “neraka” [Qs. At Tiin (95): 5-6]. Bagaimana kalau guru dan kepala sekolah sebagai orang yang beriman, tetapi tidak melaksanakan konsep pendidikan Ar-Rafi‟ yang berbasis Al Qur‟an tersebut? Maka mereka belum termasuk pada muslim yang kaaffah, yang belum mampu menghindar dari gangguan

(5)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 107

syetan yang selalu membisiki kepada dada manusia [Qs. An Naas (114): 4-6].

Peran guru dalam memfasilitasi peserta didik memberdayakan dirinya menjadi khalifah yang abdullah, fasilitator dan motivator pembelajaran, sehingga peserta didik belajar aktif, inovatif kreatif dan menyenangkan. Dalam hal ini pembelajaran terpusat pada peserta didik (student center), karena Allah mengingatkan bahwa tiada seseorang memperoleh sesuatu kecuali apa yang diupayakannya [Qs. An Najm (53): 39]. Artinya peserta didik tidak akan menguasai dan memiliki kompetensi personal, kompetensi sosial, kompetensi akademik dan kompetensi vokasional tanpa ia sendiri mengusahakannya dengan belajar dan berlatih (self learning, self exploration and self evaluation).

Demikian juga perubahan kurikulum dan bahan ajar yang disiapkan Pemerintah tidak akan berhasil dengan baik dalam pelaksanaannya, bila guru dan kepala sekolah tidak ikut terlibat, atau tidak mau belajar tentang landasan konseptual teoritis, landasan filosofis dan teologis dari perubahan dan penyempurnaan kurikulum yang harus dilaksanakan di sekolah.

Mengingat bahwa manajemen pendidikan di Indonesia selama ini terjadi secara sentralistik, maka kepemimpinan pendidikan kepala sekolah dan guru menjadi rendah, sehingga pemberdayaan sekolah sebagai pusat pembangunan SDM yang bermutu akan sulit terlaksana. Mengembalikan fungsi guru sebagai pengembang dan pelaksana kurikulum di sekolah akan sangat sulit. Oleh karena itu program Pemerintah akan menyiapkan bahan ajar bagi peserta didik di sekolah, dalam arti menyiapkan: Buku Bahan Ajar Peserta Didik, Buku Latihan Peserta Didik, Tes Terstandar dan Buku

(6)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 108

mutu pembelajaran di sekolah. Keseluruhan buku tersebut akan membantu peserta didik bagaimana belajar dan membantu guru bagaimana mempromosikan pembelajaran

(teaching the student how to learn and teaching the teacher

how to promote learning/teaching).

Oleh karena itu pemberdayaan sekolah sebagai Pusat Pemberdayaan Masyarakat (Social Development Center), harus terlaksana karena peningkatan mutu pendidikan terjadi di sekolah.

Kesadaran akan hal tersebut maka Pemerintah merencanakan reformasi yang kedua dalam bidang pendidikan, yaitu perubahan manajemen pendidikan dari yang bersifat sentralistis menjadi desentralisasi (dalam otonomi daerah), melalui pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (MBS) seperti yang ditetapkan dalam pasal 51 ayat (1) UU Sisdiknas Tahun 2003.

C.

MBSSebagai Reformasi Manajemen

Pendidikan

Secara faktual, pelaksanaan pendidikan terjadi di sekolah, tidak di Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten/Provinsi dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu bagaimanapun baiknya konsep pendidikan yang dicanangkan dalam reformasi pendidikan yang pertama, keberhasilannya tergantung pada mutu manajemen pendidikan di sekolah.Fakta-fakta empiris inilah yang melandasi strategi reformasi pendidikan, yaitu manajemen berbasis sekolah (MBS) yang ditetapkan pada pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003, sebagai berikut:

(7)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 109 “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan

dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan

berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip

manajemen berbasis sekolah/madrasah”.[Pasal 51 ayat (1),

UU Sisdiknas Tahun 2003].

Berdasarkan pasal ini, manajemen pendidikan yang sentralistik berubah sejalan dengan era desentralisasi dan otonomi daerah menjadi MBS, dimana kurikulum sebagai “ujung tombak perencanaan peningkatan mutu pendidikan” disusun dan dikembangkan oleh guru-guru di sekolah. Hal ini ditetapkan pada pasal 38 ayat (2):

Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan

dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. [Pasal 38

ayat (2), UU Sisdiknas Tahun 2003].

Pasal tersebut menetapkan bahwa kurikulum sekolah yang disebut dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) disusun oleh satuan pendidikan yaitu guru-guru bersama kepala sekolah dengan mengacu kepada standar nasional pendidikan dengan prinsip diversifikasi seperti yang ditetapkan dalam pasal 36, sebagai berikut:

“(1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi

(8)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 110 daerah, dan peserta didik. (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan: [a]. peningkatan iman dan takwa; [b]. peningkatan akhlak mulia; [c]. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; [d]. keragaman potensi daerah dan lingkungan; [e]. tuntutan pembangunan daerah dan nasional; [f]. tuntutan dunia kerja; [g]. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; [h]. agama; [i]. dinamika perkembangan global; dan [j]. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan”.[Pasal 36 ayat (1-3), UU Sisdiknas Tahun 2003].

Keberagaman kurikulum antar daerah ditandai dengan muatan lokal yang bisa berbentuk mata pelajaran seperti mata pelajaran bahasa Sunda bagi Provinsi Jawa Barat.

Mata palajaran yang dikembangkan di sekolah dalam KTSP, ditetapkan dalam pasal 37 ayat (1).

“(1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib

memuat: [a].pendidikan agama; [b].pendidikan

kewarganegaraan; [c].bahasa; [d].matematika; [e]. ilmu pengetahuan alam; [f].ilmu pengetahuan sosial; [g].seni

dan budaya;[h].pendidikan jasmani

danolahraga;[i].keterampilan/kejuruan; dan [j]. muatan

lokal”. [Pasal 37 ayat (1), UU Sisdiknas Tahun 2003].

Pasal-pasal tersebut, mengembalikan fungsi guru dari sebatas “pengajar (pengecer bahan ajar)”menjadi guru profesional yang harus mampu mengembangkan dan menyusun kurikulum mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya, baik dilakukan sendiri-sendiri maupun berkelompok

(9)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 111

dalam MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) atau KKG (Kelompok Kerja Guru).

Tugas guru sebagai pendidik profesional yang harus mengembangkan dan menyusun kurikulum mata pelajaran, dalam bentuk silabus, RPP (Rencana Pembelajaran Pendidikan), bahan ajar yang meliputi LKS (Lembar Kerja Siswa) dan menyelenggarakan prosesnya di kelas,ditetapkan dalam pasal 39 ayat (2), sebagai berikut:

“Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan

tinggi”. [Pasal 39 ayat (2), UU Sisdiknas Tahun 2003].

Perolehan dan kewajiban pendidikan dan tenaga kependidikan ditetapkan dalam pasal 40, sebagai berikut:

“(1) Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh: [a]. penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai; [b]. penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja; [c]. pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; [d]. perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan [e]. kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas. (2) Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban: [a]. menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis; [b]. mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan [c]. memberi teladan

(10)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 112 dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan

sesuai dengan kepercayaan yang diberikan

kepadanya”. [Pasal 40 ayat (1-2), UU Sisdiknas Tahun

2003].

Berkaitan dengan kewajiban pendidik yang ditetapkan dalam Pasal 40 ayat (2) tersebut, khususnya komitmen dalam peningkatan mutu pendidikan, maka pastilah para guru akan meminta peserta didiknya untuk selalu belajar, memfasilitasinya, dan memberikan contoh keteladanan. Apabila guru memerintahkan peserta didik untuk belajar, tetapi ia sendiri tidak belajar, dan guru meminta pesertadidik untuk jujur, tetapi ia tidak memberi contoh, maka penulis mengingatkan atas firmanNya:

“(2). Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (3). Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan

apa-apa yang tidak kamu kerjakan. [Qs. Ash Shaff (61): 2-3].

Artinya, semua nasihat yang disampaikan para guru kepada peserta didik harus diikuti dengan contoh yang dapat diteladani oleh peserta didik. Guru harus berperilaku yang dapat digugu dan ditiru oleh peserta didik dan juga masyarakat, apabila tidak, maka guruakan mendapat kebencian Allah Swt,naudzubillahi mindzalik. Karena kita semua berharap untuk mendapatkan keridho‟anNya, yang didalamnya ada surga.

Disamping menyusun kurikulum dan menyelenggarakan proses pembelajaran, guru juga berkewajiban untuk melakukan evaluasi pembelajaran seperti yang ditetapkan dalam pasal 58 ayat (1):

(11)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 113 “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil

belajar peserta didik secara berkesinambungan”. [Pasal 58

ayat (1), UU Sisdiknas Tahun 2003]

Evaluasi berkesinambungan (continuous evaluation) dalam pendidikan berbasis kompetensi, merupakan suatu konsekuensi logis.Karena keberhasilan dan ketuntasan dalam mencapai SKL (Standar Kompetensi Lulusan) merupakan ketuntasan dalam pencapaian semua SK (Standar Kompetensi) yang dicapai peserta didik dalam suatu jenjang pendidikan.Ketuntasan dalam mencapai suatu SK merupakan ketuntasan pencapaian semua KD (Kompetensi Dasar) yang merupakan bagian integral dari SK tersebut.Hal ini hanya dapat dilaksanakan di sekolah dalam manajemen berbasis sekolah.

Bahkan evaluasi akhir peserta didik dari suatu jenjang pendidikan untuk menetapkan kelulusan yang berkaitan dengan pemberian sertifikat atau ijazah menjadi kewajiban guru di sekolah seperti yang ditetapkan dalam pasal 61, sebagai berikut:

“(1) Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi. (2) Ijazah diberikan kepada peserta didik sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu jenjang pendidikan setelah lulus ujian yang

diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang

terakreditasi”.[Pasal 61 ayat (1-2), UU Sisdiknas Tahun 2003].

Sedangkan pemberian sertifikat kompetensi untuk lulusan SMK ditetapkan pada pasal 61 ayat (3), sebagai berikut:

(12)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 114 “Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan

pendidikan yang terakreditasi atau lembaga

sertifikasi”.[Pasal 61 ayat (3), UU Sisdiknas Tahun 2003].

Lembaga sertifikasi yang dimaksud dalam ayat tersebut bisa berbentuk Asosiasi Profesi atau Asosiasi Perusahaan sejenis, yang bersama-sama dengan Sekolah Menengah Kejuruan melakukan Uji Kompetensi Keahlian peserta didik.

Dari keseluruhan pasal-pasal tersebut, menggambarkan adanya kewenangan sekolah dalam manajemen kurikulum, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan sertifikasi, dalam konteks manajemen berbasis sekolah.Artinya sekolah menjadi penanggungjawab penyelenggaraan pendidikan yang dapat menghasilkan SDM yang bermutu.

D. Mengapa Harus MBS?

Peraturan perundang-undangan terkait dengan manajemen berbasis sekolah yang diuraikan dalam subbab terdahulu, mendukung peran dan fungsi sekolah sebagai “pusat peningkatan mutu pendidikan”. Dalam hal ini sekolah berperan sebagai Pusat Pembanguna SDM yang cerdas, kompetitif, produktif dan berahlak mulia, yang dibutuhkan masyarakat dan pembangunan wilayah maupun pembangunan nasional. Dengan kata lain, berdasarkan UU Sisdiknas 2003 tersebut sekolah berperan sebagai Pusat Pembangunan Masyarakat.

(13)

Bab VIIPemberdayaan Sekolah Unt Pembangunan SDM Bermutu 115

Karena secara faktual proses pembelajaran terjadi di sekolah, artinya upaya peningkatan mutu pendidikan akan terjadi di sekolah, bukan di Dinas Pendidikan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Siapa yang bertanggung jawab?

Penanggung jawab yang pertama dan utama adalah kepala sekolah, bersama dengan guru-guru profesional, sehingga mereka dapat melaksanakan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), atau manajemen strategik dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.Dengan demikian MBS merupakan kunci pelaksanaan peningkatan mutu Sisdiknas. Artinya bagaimanapun baiknya konsep pendidikan yang dirumuskan dalam kurikulum (termasuk Kurikulum 2013), kunci keberhasilannya dalam peningkatan mutu Sisdiknas terletak pada MPMBS.

MPMBS bertumpu pada kepemimpin pendidikan dari kepala sekolah, seperti yang dikemukakan Sallis (1993): leadership is pivotalto the success of the management.

Atau sabda Rasululloh Muhammad Saw: “tunggulah kehancurannya apabila salah menunjuk pemimpin”.

Dengan demikian peningkatan mutu pendidikan harus diupayakan dengan profesionalisasi guru dan profesionalisasi kepemimpinan dan kecakapan manajerial kepala sekolah.Sudah pasti diperlukan dukungan dari sumberdaya pendidikan lainnya yaitu dana, sarpras dan lingkungan sekolah.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dimana pencairan kearah bawah lebih cepat oleh produksi tofografi daerah rendah “diamict” supraglacial pada prosese sedimentasi ulang secara umum diakibatkan oleh aliran

Untuk mengetahui kelimpahan beberapa megabentos, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting dan bisa dijadikan indikator dari kesehatan terumbu karang, dilakukan metode

Untuk tes awal ini, siswa akan diberikan suatu informasi dari media cetak maupun elektronik. Informasi yang digunakan dalam tes awal ini akan disesuaikan informasi yang

Tiba-tiba air datang, tiang listrik roboh, mobil juga diserang tsunami, anak-anak, istri dan semua keluargaku hilang karena tsunami (sambil menangis). Saya, saya berusaha

Meski begitu masih ada 43 KK yang memilih untuk tetap tinggal di Desa Ketapang dengan berbagai alasan, pertama karena uang ganti rugi yang diberikan tidak cukup untuk membeli

Aplikasi GA 3 dapat meningkatkan tinggi tanaman pada GMJ dan galur restorer, jumlah anakan produktif per rumpun pada GMJ, tingkat eksersi malai, persentase eksersi stigma, dan

Dengan penetapan karimunjawa sebagai kawasan taman nasional pada tanggal 14 maret 2000(Kep. Sebagai tempat wisata berbasis kelautan tentu banyak menggunaan moda