• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KASUS KONFLIK ANTARA KELOMPOK PEMUDA ISLAM DENGAN PENGELOLA CAFE X DI KECAMATAN TIRTO, KABUPATEN PEKALONGAN (KASUS 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV KASUS KONFLIK ANTARA KELOMPOK PEMUDA ISLAM DENGAN PENGELOLA CAFE X DI KECAMATAN TIRTO, KABUPATEN PEKALONGAN (KASUS 1)"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

KASUS KONFLIK ANTARA KELOMPOK PEMUDA ISLAM DENGAN PENGELOLA CAFE X DI KECAMATAN TIRTO, KABUPATEN

PEKALONGAN (KASUS 1)

4.1 Gambaran Umum Konflik

Kasus konflik ini merupakan konflik yang terjadi di antara dua kelompok masyarakat yang “berbeda”, yaitu antara kelompok identitas dengan kelompok non identitas (kelompok pekerja). Kelompok identitas yang menjadi aktor utama konflik adalah kelompok pemuda Islam, sedangkan kelompok non identitas yang menjadi “lawan” kelompok identitas adalah kelompok pekerja yang tergabung dalam pengelolaan Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Isu utama yang menjadi “sorotan” dalam konflik ini adalah masalah penjualan minuman keras dan keberadaan tempat hiburan malam yang sangat ditentang oleh kelompok identitas.

Kebrutalan/kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pemuda Islam terhadap kelompok pengelola Cafe X merupakan “puncak” dari kemarahan kelompok pemuda Islam terhadap ketidaksesuaian Peraturan Daerah Kabupaten Pekalongan yang mengesahkan penjualan dan konsumsi minuman keras dengan kadar alkohol tertentu dengan kondisi masyarakat Pekalongan serta tindakan aparat keamanan yang dinilai kurang tegas terhadap pihak-pihak yang mengkonsumsi/mengedarkan minuman keras di wilayah Pekalongan. Sebelum mencapai kekerasan, konflik antara kelompok identitas dan kelompok non identitas ini diawali oleh konflik laten antara kelompok identitas dan aparat keamanan. Tahap krisis dalam konflik terjadi pada saat kelompok identitas melakukan tindakan kekerasan berupa penyerangan, pemukulan, dan perusakan terhadap kelompok non identitas dan fasilitasnya.

4.2 Pemetaan Aktor-Aktor Konflik

Kasus konflik antar Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola Cafe X melibatkan aktor-aktor lain yang berperan dan terlibat dalam konflik. kasus konflik yang terjadi tampak dalam Gambar 2.

(2)

Gambar 2. Pemetaan Konflik

Keterangan:

konflik atau perselisihan konflik laten hubungan yang dekat mempengaruhi tidak ada hubungan

      Aparat kepolisian Masyarakat yang pro terhadap keberadaan Cafe X (MP) Masyarakat yang kontra terhadap keberadaan Cafe X (MK) Pemuda Islam At-Taqwa Pihak pengelola Cafe X

Gambar 2. Pemetaan Aktor-Aktor Konflik (Kasus 1).

Selain dua aktor utama, ada tiga aktor lain yang berhubungan dengan aktor utama konflik atau menjadi penyebab konflik. Dalam kasus konflik ini, pihak aparat kepolisian dengan Pemuda Islam At-Taqwa memperlihatkan hubungan yang kurang baik atau konflik dalam wujud laten. Hubungan tersebut dianalisis dalam urutan kejadian/kronologi konflik, dimana sebelum terjadi konflik dengan Cafe X, Kelompok Pemuda At-Taqwa berkonflik laten dengan aparat kepolisian karena perbedaan cara dan sasaran dalam bertindak. Aparat kepolisian selaku penegak hukum beranggapan bahwa mereka bertindak sesuai tugas dan kewenangan yang mereka miliki. Acuan dalam bertindak adalah Undang-Undang, sedangkan Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa beranggapan bahwa aparat kepolisian bersikap tidak netral karena cenderung melindungi Cafe X yang mereka anggap dapat merusak masyarakat. Akibat perbedaan cara pandang ini, terjadi konflik laten yang terlihat dari sikap masing-masing pihak yang

(3)

menunjukkan “ketidaksukaan”. Hal ini dikemukakan oleh salah satu orang yang berperan penting dalam Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa:

“Polisi itu tidak netral, mereka tidak tahu keadaan sebenarnya di masyarakat, sedangkan kami yang sehari-hari hidup di sekitar masyarakat lebih tahu, tapi namanya juga aparat, benar atau salahnya tindakan mereka ya selalu dianggap benar, masalah kalau mereka ikut-ikutan berlaku salah seperti ikut masuk di klab-klab malam dianggap wajar-wajar saja” (TOK, 37 tahun).

Meskipun kelompok pemuda Islam At-Taqwa memiliki pandangan yang kurang baik terhadap aparat kepolisian, namun aparat kepolisian tetap sebagai pihak yang berpengaruh terhadap pengendalian kegiatan di masyarakat, termasuk menindak aksi kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk menghentikan kekerasan.

Hubungan antara masyarakat yang kontra terhadap keberadaan Cafe X (MK) dengan Kelompok pemuda At-Taqwa ditandai dengan hubungan yang dekat serta hubungan pengaruh. Secara langsung, keputusan Kelompok Pemuda At-Taqwa dipengaruhi oleh pengaduan dan laporan MK mengenai keberadaan Cafe X. Hal ini menguatkan analisis bahwa terdapat hubungan yang dekat diantara mereka karena kepercayaan MK kepada kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk menangani Cafe X.

Menurut masyarakat sekitar, pada awal berdirinya Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, sebagian masyarakat mengaku terganggu dengan keberadaan Cafe X tersebut karena keadaannya yang tertutup dan “mencurigakan”, karena seluruh karyawannya adalah wanita muda, dan sebagian besar pengunjungnya adalah pria yang berusia setengah baya. Menurut mereka, jarang sekali ada remaja-remaja yang berkunjung ke Cafe X tersebut. Oleh karena itu, Cafe X tersebut dianggap tidak baik berada di lingkungan mereka, terlebih lagi masyarakat sering melihat pengunjung-pengunjung yang mabuk setelah keluar dari Cafe X tersebut. Maka, masyarakat mensinyalir bahwa Cafe X tersebut menjual minuman keras. Karena keberadaan Cafe X tersebut dianggap meresahkan, maka masyarakat yang cukup mengenal kelompok pemuda Islam At-Taqwa melakukan pengaduan mengenai keberadaan Cafe X tersebut.

(4)

Masyarakat menganggap bahwa kelompok pemuda Islam tersebut dapat mengatasi masalah Cafe X dan mengambil tindakan yang semestinya.

Namun ternyata, keberadaan Cafe X ini tidak sepenuhnya ditanggapi buruk oleh masyarakat. Masyarakat yang cukup beranggapan positif (bersikap pro) terhadap Cafe tersebut menilai bahwa Cafe X cukup “sopan” dalam menjalankan bisnisnya dibandingkan dengan cafe-cafe lain di Pekalongan. Mereka juga cukup mengenal pemilik cafe dan sejumlah karyawan cafe yang mereka nilai cukup ramah. Beberapa warga yang bersikap pro terhadap keberadaan Cafe X mengaku bahwa mereka justru merasa “diuntungkan” dengan keberadaan Cafe X tersebut. Salah satu responden yang pro terhadap dikemukakan dalam kutipan pernyataannya; “…yo saya sih ngerasa diuntungkan, PL-PL di cafe itu kan jadi langganan warung saya, jadi warung saya laris” (UMI, 48 tahun).

Masyarakat yang memiliki hubungan baik dengan pihak cafe cenderung beranggapan positif terhadap bisnis Cafe X dan orang-orang yang mengelolanya karena secara langsung mereka merasakan “manfaat” keberadaan Cafe X tersebut di sekitar lingkungan mereka. Tanggapan responden yang lain terhadap Cafe X dapat dilihat dalam kutipan pernyataan SHR sebagai berikut :

“…ndak merugikan masyarakat kok, malahan saya sering dapat penghasilan tambahan dengan iseng-iseng “markiri” mobil-mobil pengunjung, anak-anak muda di sini juga seneng kok duduk-duduk di depan cafe” (SHR, 50 tahun, buruh).

4.2.1 Aktor Utama yang Berkonflik

Gambar 2 menggambarkan secara umum pihak-pihak yang terlibat dalam konflik serta hubungan-hubungannya. Dalam pemetaan konflik, aktor-aktor yang terlibat telah terlebih dulu diidentifikasi dan dari hasil identifikasi para aktor, terdapat dua aktor utama yang berkonflik yaitu Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dan pihak pengelola Cafe X. Garis bergelombang yang menghubungkan kedua aktor utama tersebut menandakan bahwa terjadi konflik atau perselisian yang nyata/terbuka di antara keduanya. Secara umum, gambaran dua aktor utama konflik adalah sebagai berikut:

(5)

4.2.1.1 Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa

Kelompok pemuda Islam At-Taqwa merupakan kelompok pemuda masjid dari Kramatsari, yang dinamakan remaja At Taqwa yang bermisi memberantas kejahatan dan kemaksiatan yang ada di wilayah Pekalongan. Kelompok pemuda Islam ini awalnya hanya beranggotakan para pemuda Desa Kramatsari yang tergabung dalam remaja Masjid At-Taqwa, namun akhirnya keanggotaan kelompok ini meluas dan bersifat fleksibel, sehingga memberi ruang kepada siapa pun yang ingin bergabung dalam memberantas kemunkaran. Dalam melakukan aksi-aksinya, baik dalam wujud halus ataupun keras, mereka sering beraksi bersama FPI dan terkadang orang-orang di luar keanggotaan mereka juga sering ikut dalam aksi- aksi mereka. Kelompok pemuda ini sangat berpengaruh di lingkungan mereka, termasuk dalam membentuk karakter masyarakat. Bahkan kelompok pemuda Islam ini lebih berpengaruh daripada aparat desa yang sering mendapat perlawanan dari masyarakat.

Karena keanggotaan yang bersifat fleksibel dan tidak terorganisir, maka anggota sulit dikenali dan dikoordinasi. Akibatnya dalam aksi-aksi mereka cenderung ada pihak luar yang “membonceng” dengan motif hanya untuk kesenangan sehingga aksi-aksi mereka cenderung menyimpang dari yang telah dimusyawarahkan kelompok. Hal ini sering menjadi pemicu buruknya citra mereka di kalangan masyarakat dan aparat kepolisian.

Para anggota kelompok sering bertemu dalam Majelis Ta’lim yang diadakan paling tidak setiap minggu. Majelis Ta’lim membahas tajwid (kaidah Al-Qur’an), aqidah (keyakinan), dan tauhid (meng”esa”kan Tuhan). Dalam Majelis Ta’lim ini juga sering dibahas masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat dan upaya untuk memberantas kejahatan dan penyimpangan nilai-nilai agama. Dalam melakukan aksi-aksinya, kelompok pemuda Islam At-Taqwa terlebih dahulu mengadakan musyawarah anggota untuk menyusun strategi. Sebelum aksi mereka mencapai kekerasan, biasanya didahului oleh proses somasi yang “damai”.

Dalam keseharian kelompok pemuda Islam At-Taqwa, nilai-nilai kebersamaan dan musyawarah merupakan dasar hubungan sosial antar anggota-anggotanya. Salah satunya tampak pada kebiasaan berkumpul dalam suatu majelis

(6)

ta’lim yang diadakan setiap minggu, yang bertujuan untuk membahas masalah-masalah umat Islam, serta menambah pengetahuan mengenai Islam yang mencakup tajwid, aqidah, dan tauhid.

Selain itu, kepekaan sosial kelompok pemuda Islam At-Taqwa terhadap lingkungan sekitar juga sangat tinggi, tidak jarang mereka “turun tangan”dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan kenakalan remaja, perjudian, dan tindakan penyimpangan sosial lainnya. Tidak jarang masyarakat yang “menyimpang” pada akhirnya bergabung dengan kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk mendalami agama Islam.

Tindakan kolektif tampak pula ketika kelompok mereka harus berhadapan dengan sekelompok orang yang secara terang-terangan menentang keberadaan mereka dalam menegakkan aturan-aturan Islam di masyarakat. Ekspresi-ekspresi kolektif akan muncul secara spontan untuk tetap menjaga nilai-nilai agama Islam di Pekalongan, terutama di sekitar desa mereka. Ekspresi-ekspresi kolektif tersebut meliputi pemberian somasi kepada pihak terkait, protes secara lisan, dan permohonan dukungan kepada pihak kepolisian untuk menangani masalah-masalah tersebut. Tidak jarang upaya-upaya tersebut mendapat dukungan dari FPI di wilayah Pekalongan.

4.2.1.2 Kelompok Pengelola Cafe X

Cafe X berlokasi di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Cafe ini didirikan pada awal tahun 2008 dengan jumlah karyawan kurang lebih 20 orang. Karyawan-karyawan tersebut bertempat tinggal menyebar di wilayah Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan. Seperti cafe pada umumnya, Cafe X memiliki fasilitas hiburan dan restoran yang cukup banyak dikunjungi tamu dari berbagai usia. Cafe ini dimiliki oleh seorang pengusaha bernama DSR. Sebagian besar karyawan cafe ini adalah wanita. Dalam mempertahankan eksistensi cafenya, pemilik cafe juga mempekerjakan pemuda-pemuda yang bertempat tinggal di sekitar cafe sebagai petugas keamanan. Menurut hasil penelitian dan keterangan informan, cafe ini juga menjual beberapa jenis minuman beralkohol, namun penjualannya tersembunyi. Menurut keterangan masyarakat sekitar, cafe ini cukup meresahkan karena keberadaannya sangat tertutup. Namun sebenarnya,

(7)

keberadaan Cafe X ini legal dan telah sesuai dengan Perda Kabupaten Pekalongan.

4.2.2 Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Dua Aktor

Utama Konflik

Dalam analisis konflik, ingin dipahami apakah ada perbedaan “versi” mengenai berbagai unsur dalam konflik yang meliputi isu dan kronologi konflik diantara dua pihak yang berkonflik. Perbedaan pemahaman mengenai konflik dapat dianalisis dari tanggapan-tanggapan dan penjabaran kedua aktor utama mengenai konflik.

4.2.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa Konflik antar Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola Cafe X sudah terjadi sejak awal pendirian Cafe X tersebut di wilayah Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, namun diawali dalam wujud konflik laten. Pada dasarnya, aksi brutal yang terjadi pada tanggal 25 April 2009 yang dilakukan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa terhadap pengelola Cafe X merupakan akumulasi dari konflik laten antara kelompok pemuda Islam At-Taqwa dengan Pemerintah Daerah serta aparat kepolisian yang dianggap membiarkan masuknya minuman keras dan tempat-tempat hiburan malam ke wilayah Pekalongan. Keinginan kelompok ini adalah membebaskan seluruh wilayah Pekalongan termasuk wilayah Kabupaten Pekalongan dari minuman keras. Namun, Perda Kabupaten Pekalongan mengesahkan penjualan minuman dengan kadar alkohol tertentu untuk diperjual belikan di wilayah Kabupaten Pekalongan (Lampiran 4). Perda ini ternyata tidak sejalan dengan visi dan misi kelompok ini untuk memberantas “kemunkaran” dan “kemaksiatan” dalam tujuannya mewujudkan Pekalongan sebagai kota santri termasuk dalam hal ini mencegah peredaran minuman keras dan keberadaan tempat-tempat hiburan malam.

Sebelum terjadi konflik dengan pengelola Cafe X, kelompok Pemuda Islam ini sudah memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dengan aparat kepolisian. Mereka menilai bahwa gerak aparat kepolisian cenderung tidak tegas dan kurang netral dalam menyikapi masalah minuman keras dan “tempat-tempat asusila” di wilayah Pekalongan.

(8)

Sebelum konflik berujung pada tindakan penyerangan dan kekerasan yang ditujukan pada Cafe X, konflik telah ada dalam wujud konflik laten yang dimulai sejak masyarakat di sekitar Cafe X ini merasa resah dengan keberadaan Cafe X dan melaporkannya pada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, karena mereka adalah kelompok Islam yang cukup dikenal masyarakat di Kecamatan Tirto. Akhirnya, kelompok pemuda Islam At-Taqwa berusaha memberikan somasi dan peneguran-peneguran secara “halus” serta permohonan untuk bertemu dengan pemilik Cafe X untuk mendiskusikan perihal keberadaan Cafe X di tengah-tengah masyarakat Kecamatan Tirto. Namun, upaya-upaya ini tidak berhasil karena mereka mendapat perlawanan/intimidasi dari pihak-pihak yang melindungi Cafe X, yang diduga adalah sekelompok preman yang berasal dari Kota Pekalongan, dan menurut keterangan salah satu informan, cafe ini juga mendapat perlindungan dari aparat kepolisian di tingkat Polwil. Hal ini diungkapkan Bapak TOK (37,wiraswasta) sebagai berikut :

“Kami tidak “ujuk-ujuk” (tiba-tiba) menyerang, sebelumnya sudah berupaya menegur dan mengajukan permohonan untuk bertemu pemilik dan berdiskusi, tetapi kelompok kami malah diintimidasi oleh preman-preman landungsari yang membacking Cafe X tersebut dan menurut isu yang luas, Cafe X itu juga dilindungi aparat kepolisian dari tingkat Polwil”(TOK, 37 tahun).

Akhirnya, sebagai bentuk “hilang kesabaran” karena merasa ditantang dan diremehkan, mereka melakukan peyerangan secara keras terhadap Cafe X pada malam hari dengan melibatkan 20 orang. Mereka memakai pakaian serba hitam dan cadar. Aksi penyerangan yang mereka sebut “sweeping” ini disertai aksi pemukulan terhadap sejumlah pengelola cafe dan pengunjung karena merasa geram. Mereka juga merusak properti milik cafe, sehingga pada saat itu keadaan cafe benar-benar hancur.

Beberapa menit setelah aksi penyerangan, aparat kepolisian langsung datang ke TKP dan meringkus pelaku penyerangan. Dari 20 orang pelaku, hanya 3 orang yang berhasil diringkus dan sisanya masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan mereka dijerat pasal 170 KUHP. Pelaku juga mendapat tuduhan pencurian karena dari pihak pengelola cafe melaporkan bahwa setelah penyerangan banyak barang milik karyawan dan pengunjung yang hilang. Namun,

(9)

menurut informan dari pihak kelompok ini, keterangan tersebut hanya bentuk “akal-akalan” dari pihak Cafe agar pelaku dikenai sangsi yang lebih berat. Hal ini dikemukakan oleh Bapak TOK sebagai berikut :

“Mereka mengaku banyak barang yang hilang, tapi kami tahu itu hanya akal-akalan saja, sudah biasa setelah aksi sweeping pasti dari pihak yang bersangkutan membuat laporan palsu ada barang yang hilang, dan sebagainya. Mereka juga bilangnya dipukuli pakai kayu, tapi padahal kayu-kayu itu sudah ada di cafenya, tinggal ambil saja”. (TOK,37)

Menurut informan dari pihak kepolisian, aksi mereka tidak perlu dilakukan karena Perda miras di Kabupaten Pekalongan mengesahkan penjualan miras dengan kadar alkohol tertentu. Di sisi lain, kelompok pemuda Islam At-Taqwa menganggap bahwa minuman keras dengan kadar berapapun tetap tidak diperbolehkan beredar di Kabupaten Pekalongan. Kasus ini hanya salah satu gambaran konflik kepentingan antara sekelompok orang yang bermisi mewujudkan masyarakat yang taat pada agama Islam dengan aparat kepolisian yang bermisi melindungi kebebasan dan ketenangan di masyarakat. Namun, cara mereka tidak sejalan sehingga seringkali terjadi perbedaan pandangan yang akhirnya mengakibatkan rasa saling tidak percaya. Hal ini merupakan salah satu wujud konflik laten antara Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan aparat kepolisian. Hal ini diungkapkan salah seorang informan dalam Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa sebagai berikut :

“saya sudah pernah beberapa kali masuk penjara karena aksi-aksi semacam ini, pada waktu di penjara,polisi itu bertindak berlebihan terhadap saya,karena saya dianggap berbahaya, ketakutan mereka itu terlalu berlebihan terhadap orang-orang seperti kami. Masa saya mau solat aja harus dikawal 4 orang polisi, itu juga katanya masih terlalu longgar pengamanannya, sepertinya saya ini penjahat saja” (DW,30 tahun).

Kelompok pemuda Islam At-Taqwa menganggap bahwa aparat kepolisian hanya sebatas menegakkan hukum dengan “buta”, yang artinya mereka tidak mengetahui secara persis keadaan yang sebenarnya di masyarakat. Kelompok pemuda Islam At-Taqwa merasa lebih berhak dan tepat melakukan aksi mereka daripada upaya penegakkan aparat kepolisian yang tidak netral. Kasus penyerangan yang dilakukan pemuda Islam At-Taqwa terhadap Cafe X

(10)

yang terjadi pada 25 April 2009 sampai saat ini masih diperkarakan di Pengadilan Negeri Pekalongan, sedangkan Cafe X yang diduga menjual minuman keras, hingga kini masih dibebaskan melanjutkan usahanya. Tuntutan untuk segera menutup Cafe X tersebut tetap diajukan oleh anggota kelompok pemuda At-Taqwa yang lain. Dari hasil wawancara mendalam peneliti dengan beberapa informan dan responden dari pihak kelompok pemuda Islam At-Taqwa, maka secara analitis, pemahaman konflik berdasarkan urutan kejadiannya menurut Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dapat digambarkan dalam kronologi konflik pada Gambar 3.

Awal berdirinya Cafe X yang belum cukup mendapat perhatian masyarakat.

Cafe X mulai memancing perhatian masyarakat sekitar karena kondisinya yang cukup “tertutup”. Masyarakat sekitar mulai memi tolong pada para remaja untuk melakukan Januari 2008

Pertengahan 2008

nta penggeledahan terhadap Cafe X.

Informasi mengenai keberadaan Cafe X mulai sampai ke telinga Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, dan kelompok ini mulai berupaya untuk melayangkan somasi dan permohonan untuk bertemu dengan pemilikCafe X

September 2008

Oktober-November 2008

Kelompok Pemuda At-Taqwa mendapat intimidasi dari sekelompok preman yang membacking Cafe X.

(11)

Perwakilan kelompok Pemuda At-Taqwa mengajukan permohonan pada aparat kepolisian setempat untuk mendampingi penggeledahan Cafe X tetapi tidak mendapat respon

Kelompok Pemuda At-Taqwa melakukan penyerangan secara keras terhadap Cafe X dengan membawa anggota sebanyak 20 orang.  Januari 2009

April 2009

Gambar 3. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa.

Menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa, sejak awal dibukanya Cafe X, yaitu pada Januari 2008, telah muncul berbagai polemik dalam masyarakat. Sebagian masyarakat menaruh curiga terhadap Cafe X. Pada pertengahan 2008, beberapa pemuda di sekitar Cafe X melaporkan perihal keberadaan Cafe X tersebut kepada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa yang berlokasi di Desa Kramatsari, kecamatan Tirto. Pada bulan September 2008, pihak Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa mulai berupaya untuk mengatasi kecurigaan masyarakat dengan cara mengajukan permohonan untuk bertemu dengan pihak pengelola dan pemilik Cafe X untuk mengetahui apa saja yang ada di dalam Cafe X tersebut, namun somasi mereka tidak ditanggapi oleh pihak yang bersangkutan. Pada sekitar bulan Oktober dan November, pihak pemuda Islam At-Taqwa mengaku mendapat intimidasi dari sekelompok preman yang melindungi Cafe X. namun bentuk intimidasi yang telah dilakukan tidak diungkapkan oleh informan. Pada Januari 2009, Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa telah mengajukan permohonan kepada aparat kepolisian untuk mendampingi mereka dlam melakukan penggeledahan terhadap Cafe X untuk membuktikan kecurigaan masyarakat, namun permohonan mereka tidak dihiraukan. Akhirnya, sebagai bentuk “kegeraman” mereka karena terus-menerus tidak ditanggapi oleh pihak Cafe X dan aparat kepolisian, pada bulan April 2009 lalu mereka melakukan aksi “sweeping” terhadap Cafe X.

Sejak terjadinya “aksi brutal” yang dilakukan oleh pemuda Islam At-Taqwa terhadap Cafe X, masalah miras dan tempat-tempat hiburan di Pekalongan

(12)

masih sering dipermasalahkan karena dianggap merusak umat. Hal ini berarti harus ada peninjauan ulang terhadap Perda Kabupaten Pekalongan yang dianggap tidak wajar dan tidak berusaha membentuk masyarakat yang baik. Namun, kelompok pemuda Islam At-Taqwa tidak dapat dengan mudah merealisasikan visi dan misi mereka.

Hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok dengan kedua belah pihak yang berkonflik, yaitu Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dan Pengelola Cafe X, mengungkapkan bahwa terdapat masalah inti yang berbeda yang menimbulkan konflik diantara keduanya yang berujung pada tindak kekerasan. Masalah inti dari konflik yang terjadi menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah penyimpangan nilai-nilai agama Islam yang diperlihatkan oleh aktivitas Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan. Akar dari masalah tersebut adalah Peraturan Daerah yang dinilai tidak sesuai dengan kondisi lingkungan dan masyarakat di Kabupaten Pekalongan yang dikenal sebagai masyarakat Kota Santri. Akar masalah yang lain adalah tindakan aparat keamanan yang dinilai tidak amanat, yaitu cenderung mendukung keberadaan tempat-tempat hiburan yang menyalahi aturan-aturan Islam, bahkan cenderung melindunginya. Hal ini menunjukkan indikasi adanya konflik laten antara kelompok pemuda Islam At-Taqwa dengan aparat keamanan. Dari konflik yang terjadi, muncul efek positif dan negatif yang dirasakan oleh pihak Kelompok pemuda Islam At-Taqwa. Efek positif yang muncul diantaranya adalah keeratan kelompok dan kewaspadaan kelompok. Efek negatif yang dirasakan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah kebencian terhadap aparat keamanan, dendam dan kecurigaan, serta ketidakadilan hukum yang diperoleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa akibat konflik. Berbagai aspek yang berhubungan dengan terjadinya konflik yang meliputi masalah inti, sebab-sebab awal, dan efek-efek yang muncul akibat konflik menurut pandangan kelompok pemuda Islam At-Taqwa dapat digambarkan dalam bentuk pohon konflik sebagai berikut (Gambar 4).

(13)

Kewaspadaan kelompok (+)

Dendam dan kecurigaan (-) EFEK

Kebencian (-) Ketidakadilan hukum (-) Keeratan kelompok MASALAH INTI (+) Aparat keamanan AKAR Peraturan Daerah yang tidak amanat

yang tidak sesuai

Penyimpangan

nilai-nilai

agama Islam

Gambar 4. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa.

4.2.2.2 Pemahaman Konflik Menurut Pengelola Cafe X

Menurut pihak pengelola Cafe X, pada Sabtu malam, tepatnya tanggal 25 April 2009 pukul 21.30 malam, terjadi aksi penyerangan brutal terhadap Cafe X yang dilakukan oleh puluhan orang dengan pakaian “ninja”. Aksi mereka dikatakan brutal karena mereka tidak hanya melukai beberapa pengelola cafe dan pengunjung, tetapi juga merusak properti cafe. Sekelompok penyerang tersebut datang secara bergerombol dengan mobil dan beberapa diantaranya menggunakan motor. Setelah tiba di pintu gerbang Cafe X, sebagian dari mereka menjaga di luar dan sebagian yang lain masuk ke dalam cafe. Setelah menemukan salah seorang karyawan di pintu masuk, satu orang dari gerombolan penyerang tersebut langsung memukul karyawan itu tepat di bagian kepala, kemudian disusul oleh aksi pemukulan yang dilakukan anggota gerombolan yang lain terhadap pengunjung dan karyawan lain. Sejumlah pengunjung dan karyawan tidak luput dari amukan, dan sebagian besar korban mengalami luka memar di bagian tubuh.

(14)

Gerombolan penyerang tersebut memukul korban-korbannya dengan kayu yang mereka bawa, dan merusak properti cafe dengan alat yang sama.

Beberapa menit setelah aksi brutal tersebut, seluruh karyawan dan pengunjung cafe digiring ke halaman parkir dan dipaksa untuk berjongkok. Beberapa orang dari gerombolan tersebut masih ada yang memukul karyawan dan pengunjung. Gerombolan penyerang tersebut menyerukan kalimat “apakah kalian mengerti tentang Islam?” dengan lantang. Para karyawan dan pengunjung yang tidak mengetahui akar masalah yang menyebabkan cafe itu diserang hanya terdiam. Beberapa menit setelah itu, aparat keamanan yang meliputi Polwil Pekalongan dan Polresta Pekalongan tiba di Cafe X yang menjadi TKP kasus penyerangan tersebut. Pasca kejadian malam itu, suasana tampak mencekam, mobil patroli dan sejumlah polisi tampak melakukan penyelidikan karena gerombolan orang bertopeng ala ninja tersebut setelah melakukan aksinya, berhasil kabur dengan kendaraan mereka masing-masing.

Aksi brutal ini sangat mendadak dan tidak diduga karena sebelumnya pihak pengelola cafe tidak mendapat teguran/kecaman/ancaman apapun dari pihak luar. Namun, pihak pengelola Cafe X menduga bahwa aksi ini adalah “aksi politik bisnis” dari pihak-pihak yang merasa tersaing karena keberadaan Cafe X. Menurut mereka, aksi segerombolan penyerang tersebut sudah terorganisir karena terlihat pembagian tugas pada aksi penyerangan tersebut. Pada saat memasuki cafe, ada yang berjaga di pintu gerbang dan ada yang menyerang ke dalam room cafe, sehingga para pengunjung dan karyawan cafe terjebak dalam kepungan mereka. Kecurigaan pihak pengelola cafe mengenai motif penyerangan ini diungkapkan oleh salah seorang pengelola cafe berinisial DSR (55) :

“janggal saja kelihatannya kan, masak kebetulan sekali diserang pas penjaga cafe ini sedang tidak ada, mereka bisa tahu dari mana coba, pasti sudah dimata-matai. Pasti orang-orang itu suruhan dari orang yang ngerasa tersaingi sama bisnis cafe ini. Namanya politik kan bisa macem-macem triknya”(DSR,55 tahun).

Pihak pengelola cafe mengaku bahwa Cafe X menjual beberapa jenis minuman beralkohol dengan kadar di bawah 10 persen, dan kadar tersebut telah sesuai dengan Perda Kabupaten Pekalongan tentang minuman keras sehingga

(15)

penjualan minuman tersebut telah memperoleh perijinan yang lengkap dan bisnis Cafe X tersebut telah legal. Oleh karena itu, aksi brutal sekelompok orang yang tidak mereka kenal diduga sangat tidak wajar dan merupakan bentuk tindakan kriminal dari pihak-pihak yang merasa “tersaing”.

Secara analitis, pemahaman konflik dalam hal kronologi konflik dari sudut pandang pengelola Cafe X digambarkan pada Gambar 5 dalam bentuk skema kronologi konflik sebagai berikut:

Cafe X didatangi oleh segerombolan orang berpakaian “ala ninja” berjumlah sekitar 20 orang. mereka mengendarai mobil dan moto Sabtu, 25 April 2009 pukul 21.30 – 10.15 (Periode Kekerasan Konflik) r.

Setibanya di Cafe X, gerombolan orang tersebut menyerbu ke dalam Cafe X sekitar 10 orang sedangkan 10 orang lainnya berjaga di luar.

Pemukulan terhadap pengunjung dan karyawan cafe dan perusakan sejumlah properti cafe

Semua karyawan dan pengunjung digiring ke halaman parkir Polisi datang ke Cafe X, dan pada saat itu juga gerombolan penyerang melarikan diri

Perasaan curiga mengenai motif kekerasan bahwa kekerasan dilakukan atas dasar motif persaingan bisnis

April 2009- Juli 2009

Konflik laten antara pengelola cafe dengan kelompok pemuda Islam At-Taqwa,ditunjukkan pada setiap pertemuan di persidangan kasus.

(16)

Berdasarkan pandangan pengelola Cafe X, tahap kekerasan terjadi tanpa diawali dengan konflik laten yang mereka rasakan. Namun setelah terjadi kekerasan, konflik laten muncul sebagai akibat dari kecurigaan terhadap isu/motif kekerasan. Menurut pengelola Cafe X, masalah inti dari konflik yang berujung pada tindak kekerasan adalah persaingan “klaim bisnis”. Menurut mereka, pihak-pihak yang menekan, merusak dan melukai kelompok mereka adalah pihak-pihak-pihak-pihak yang merasa tidak suka dengan bisnis Cafe X karena merasa tersaing, sehingga mereka berupaya merusak dan menghancurkan Cafe X. Bisnis Cafe X yang cukup maju dan banyaknya pesaing bisnis diduga sebagai akar permasalahan yang mendorong terjadinya konflik antara kedua aktor. Menurut pengelola Cafe X, efek positif yang muncul akibat adanya konflik adalah kewaspadaan di dalam kelompok pengelola Cafe X serta keeratan dalam hubungan antar anggota. Efek negatif yang dirasakan mereka diantaranya adalah ketakutan, kekerasan, serta dendam dan kecurigaan. Penggambaran mengenai isu konflik menurut pihak pengelola Cafe X dapat dilihat dalam bentuk pohon konflik sebagai berikut (Gambar 6).

(17)

Keeratan kelompok (+)

EFEK Kekerasan (-)

Ketakutan (-) Kewaspadaan (+)

Dendam dan kecurigaan

MASALAH INTI (-)

AKAR Banyaknya pesaing bisnis

Berdirinya Cafe X

Bisnis Cafe X yang maju

Gambar 6. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Pengelola

Cafe X.

4.2.3 Analisis Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik

Sejak awal berdirinya Cafe X di Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, kontroversi keberadaan Cafe X tersebut sudah menunjukkan gejala polemik kepentingan antar berbagai pihak. Gejala yang terjadi cukup kompleks dan melibatkan beberapa aktor, diantaranya masyarakat yang mendukung keberadaan Cafe X karena mendapat penghasilan atau dipekerjakan oleh pengelola Cafe X dan masyarakat yang tidak menghendaki keberadaan Cafe X dan berupaya untuk menutup Cafe X. Namun, polemik antar masyarakat ini tidak memicu konflik antar keduanya. Yang menjadi aktor utama yang menentang keberadaan Cafe X ini adalah Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa yang akhirnya mengetahui isu yang terjadi mengenai keberadaan Cafe X dari kelompok masyarakat yang menentang keberadaan Cafe X. Kondisi ini menggambarkan tahap prakonflik yakni tahap awal terjadinya konflik yang ditandai oleh ketidaksesuaian sasaran di

Persaingan

Bisnis

(18)

antara dua pihak atau lebih. Gejala ketegangan mampu diendapkan sehingga masing-masing pihak berusaha untuk menghindari kontak antara satu sama lain. Namun, kondisi ini tidak bertahan lama karena beberapa bulan kemudian mulai ada upaya-upaya pihak kelompok pemuda Islam At-Taqwa untuk menguak prakonflik ini menjadi konfrontasi dengan aksi-aksi yang lebih “tegas”.

Pada tahap konfrontasi, konflik semakin terbuka dengan munculnya ketegangan-ketegangan yang menyebabkan terjadinya upaya-upaya salah satu pihak untuk menekan pihak lainnya. Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa memberikan somasi kepada pengelola dan pemilik Cafe X dan memanggil pemilik Cafe X dengan maksud melakukan negosiasi secara damai. Upaya ini dilakukan dengan damai tetapi menekan dengan tegas. Namun, upaya somasi dengan jalan damai ini dianggap tidak direspon dengan baik oleh pihak pengelola dan pemilik cafe. Upaya ini justru mendapat perlawanan berupa intimidasi dan penghalangan oleh sejumlah orang yang diduga sebagai preman yang bertugas melindungi Cafe X. Selain upaya tersebut, kelompok Pemuda Islam At-Taqwa juga berusaha mengajukan permohonan kepada aparat keamanan untuk bersama-sama melakukan penggeledahan terhadap Cafe X, namun menurut pihak Kelompok At-Taqwa, upaya ini tidak mendapat tanggapan dari aparat kepolisian. Akhirnya, kondisi ini memicu emosi salah satu pihak untuk bertindak lebih dari upaya-upaya yang telah dilakukan sebelumnya, dengan tujuan untuk dapat melanjutkan aksinya menuju tahap yang lebih keras.

Tahap konfrontasi kemudian meninggikan ketegangan dan emosi salah satu pihak yang akhirnya mendorong terjadinya tahap krisis yang merupakan puncak konflik, yaitu pada saat kekerasan dari salah satu pihak kepada pihak lawan terjadi paling hebat. Pada tahap ini, pihak yang lebih kuat, dalam kasus ini adalah kelompok pemuda Islam At-Taqwa melakukan kekerasan terhadap pihak lawan, yaitu pihak pengelola Cafe X yang berada di lokasi sasaran, yaitu Cafe X. Dalam kasus penyerangan ini, beberapa pihak pengelola Cafe X dan pengunjung terluka parah dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Hal ini dikemukakan oleh SNT (25), salah satu pengelola Cafe X yang ikut menjadi korban penyerangan.

“Mereka tidak lihat-lihat itu laki-laki atau perempuan,main pukulin saja. Padahal waktu itu saya sempat berhadap-hadapan sama salah satu pelaku, dia tahu kan saya perempuan, tapi tidak peduli, main pukul aja, sampai

(19)

kepala saya berdarah,dan setelah polisi datang saya langsung masuk rumah sakit” (SNT,25 tahun).

Pada periode krisis ini, pihak yang “menang” adalah Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, karena dari pihak Cafe X tidak ada perlawanan. Pihak pengelola Cafe X mengaku pada saat itu sedang dalam keadaan tidak siaga, dan pihak-pihak yang melindungi cafe sedang dalam keadaan lengah. Kasus penyerangan ini menimbulkan ketakutan terhadap pihak Cafe X dan memancing aparat keamanan untuk turun tangan.

Tahap krisis dalam suatu konflik selalu menimbulkan akibat-akibat tertentu. Dalam kasus ini, salah satu pihak telah menaklukan pihak lain. Namun, tidak semua pihak yang berhasil menaklukkan lawannya benar-benar “menang”. Pihak Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa yang merupakan pihak yang menang dan berhasil menaklukan pihak lawannya, yaitu pihak pengelola Cafe X, justru dianggap sebagai pihak yang bersalah karena tindakannya yang melanggar ketertiban umum dan telah melakukan perusakan. Akibatnya, meskipun tingkat ketegangan menurun atau bahkan hilang, namun Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa harus menanggung sanksi moral dan hukum. Kedua pihak yang berkonflik tidak melakukan negosiasi atau mediasi karena salah satu pihak telah ditangani dengan jalur hukum, sehingga berhentinya konflik bukan karena kesepakatan kedua belah pihak, melainkan karena campur tangan aparat kepolisian secara hukum untuk menangani pihak yang dianggap bersalah.

Akhirnya, situasi konflik diselesaikan dengan cara mengakhiri konfrontasi dan kekerasan, namun cara ini bukan keinginan kedua belah pihak, melainkan upaya aparat kepolisian untuk meredam emosi yang lebih tinggi dari kedua belah pihak dengan tindakan hukum. Meskipun ketegangan dan kekerasan tidak terjadi lagi, namun bukan tidak mungkin bahwa situasi prakonflik hingga krisis dapat terulang lagi karena penyelesaian kasus ini belum sampai pada penanganan akar konflik, yaitu masalah perbedaan pandangan mengenai aturan-aturan dalam masyarakat, khususnya masalah aturan dan nilai-nilai agama. Kondisi ini merupakan situasi pascakonflik yang dapat menjadi potensi konflik berikutnya.

Hasil penggambaran mengenai perbedaan pemahaman terhadap konflik dari kedua aktor yang berkonflik menunujukkan perbedaan mengenai isu dan

(20)

kronologis konflik menurut sudut pandang kedua pihak. Pihak pengelola Cafe X beranggapan bahwa aksi kekerasan yang dilakukan segerombolan penyerang yang tidak dikenal adalah bermotif persaingan bisnis. Pihak pengelola Cafe X mengaku bahwa bisnis cafe tersebut cukup maju dan diduga akan memancing sejumlah aksi tekanan-tekanan dari pihak-pihak yang merasa tersaing. Kronologi konflik yang berhasil diungkap dari sudut pandang pengelola Cafe X menggambarkan kekerasan konflik, tanpa terlebih dahulu teridentifikasi proses yang mengawali aksi kekerasan tersebut. Dengan demikian, pihak pengelola Cafe X menggambarkan skala kronologi yang sempit.

Penggambaran kronologi konflik dalam skala yang lebih luas diungkapkan oleh kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, dimana tahap kekerasan konflik dicapai setelah melalui tahap konflik laten. Tahap aksi kekerasan dilakukan sebagai wujud semakin meningkatnya ketegangan dan emosi akibat konflik laten yang terakumulasi. Berbeda dengan sudut pandang pengelola Cafe X, kelompok Pemuda Islam At-Taqwa mengungkapkan isu agama sebagai faktor pendorong terjadinya konflik terbuka antara mereka dan pihak pengelola Cafe X serta konflik laten antara mereka dengan aparat kepolisian.

4.3 Kaitan antara Isu Prinsip Agama dan Persaingan “Klaim Bisnis”dengan Kebrutalan Konflik

Dari hasil analisis isu-isu konflik dengan menggunakan pohon konflik, terdapat “perbedaan versi” mengenai isu konflik menurut dua aktor utama konflik. Isu konflik menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah prinsip agama. Isu ini adalah isu non realistik, karena tujuan yang ingin dicapai tidak berbentuk secara fisik/materi. Sedangkan berdasarkan sudut pandang pihak pengelola Cafe X, konflik yang kemudian berujung pada kekerasan yang mereka rasakan memiliki isu persaingan “klaim bisnis”, yang merupakan isu realistik. Jika dianalisis dengan menggunakan teori penyebab konflik menurut Fisher, et.al. (2000), teori negosiasi prinsip sangat berperan dalam menggambarkan isu-isu yang melatarbelakangi terjadinya konflik berdasarkan sudut pandang kedua belah pihak. Teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh

(21)

pihak-pihak yang mengalami konflik. Perbedaan sudut pandang mengenai isu konflik dikarenakan posisi dan peran mereka yang berbeda dalam masyarakat. Kedua aktor konflik merasa memiliki hak untuk melaksanakan aktivitas yang berkaitan dengan tujuan mereka. Hal ini kemudian menjadi pendorong terjadinya kesalahpahaman tentang konflik di antara mereka. Pihak pengelola Cafe X yang merupakan kelompok “pekerja”, berupaya untuk meningkatkan eksistensinya dalam bisnis cafe yang mereka miliki sehingga menimbulkan anggapan-anggapan bahwa ada potensi ancaman dari pesaing-pesaing bisnis yang berusaha menurunkan eksistensi mereka. Di sisi lain, kelompok Pemuda Islam At-Taqwa yang merupakan kelompok identitas memiliki tujuan, visi dan misi yang berbeda dari pihak pengelola Cafe X berupaya mewujudkan tujuan mereka untuk menegakkan aturan-aturan Islam dalam masyarakat, salah satunya adalah dengan menutup Cafe X yang dianggap menyalahi aturan-aturan Islam.

Sasaran yang ingin dicapai oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai dengan aturan-aturan Islam. Untuk mewujudkan sasaran tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan aksi kekerasan agar nilai-nilai dan norma-norma yang sesuai dengan aturan Islam dapat terwujud di dalam masyarakat. Kelompok pemuda Islam At-taqwa beranggapan bahwa kekerasan adalah bentuk ketegasan yang wajib dilakukan untuk mewujudkan masyarakat yang patuh terhadap agama Islam. Sasaran yang ingin dicapai oleh kelompok Pemuda Islam At-Taqwa ditanggapi berbeda oleh pihak pengelola Cafe X yang beranggapan bahwa aksi kekerasan tersebut adalah upaya menurunkan eksistensi bisnis mereka karena merasa tersaingi.

Secara rinci, dapat disimpulkan bahwa isu yang melatarbelakangi konflik yang terjadi antara pihak pengelola Cafe X dengan kelompok pemuda Islam At-Taqwa lebih dominan mengarah konflik non realisik yang memiliki sasaran bersifat non materi berupa nilai-nilai pokok, karena perilaku konflik lebih ditunjukkan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa. Oleh karena itu, sifat konflik ini tidak mudah mencapai kompromi untuk meraih sasaran-sasaran yang diinginkan sehingga konflik berujung pada kekerasan. Kekerasan menurut pihak pengelola Cafe X adalah tindakan yang telah menyebabkan kerusakan dan “luka

(22)

fisik” pada diri seseorang sebagaimana tindakan sekelompok orang (kelompok pemuda Islam At-taqwa) yang ditujukan terhadap mereka, sedangkan kekerasan menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah tindakan yang dapat menyebabkan kerusakan dan ketakutan sehingga objek yang dituju merasa jera.

4.4 Kaitan antara Kebrutalan Konflik dengan Kohesivitas Kelompok Dalam kasus ini, teori dan preposisi Coser mengenai konflik dapat dilihat secara jelas. Coser berpendapat bahwa konflik eksternal berfungsi untuk memperkuat kohesivitas kelompok. Kohesivitas kelompok meliputi : (1) jelasnya batas kelompok, (2) sentralisasi struktur pengambilan keputusan, (3) solidaritas anggota, (4) penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap nilai dan norma. Kohesivitas kelompok semakin kuat karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar semakin besar. Kekerasan konflik dan kohesivitas kelompok yang terjadi dalam kasus konflik antara Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola Cafe X dapat dijelaskan berdasarkan aspek-aspek kohesivitas kelompok :

1. Jelasnya Batas Kelompok

Dalam hal batas kelompok, kekerasan konflik tidak banyak memberi pengaruh dalam membentuk batasan-batasan kelompok, karena sejak semula pihak yang berkonflik adalah kelompok identitas dengan non identitas, sehingga sebelum terjadi konflik sudah terlihat batasan yang jelas antara kedua kelompok. Kelompok pemuda Islam At-Taqwa adalah kelompok identitas, karena menonjolkan ciri khas serta visi dan misi tertentu. Sebelum terjadinya konflik, batasan yang jelas telah terlihat dari perbedaan cara, gaya hidup, lingkungan, dan pergaulan dari masing-masing kelompok.

2. Sentralisasi Stuktur Pengambilan Keputusan

Ancaman dari luar kelompok dapat merangsang sentralisasi kekuasaan dalam suatu kelompok, namun hal ini juga tergantung pada sifat dari ancaman tersebut dan struktur di dalam kelompok itu sendiri. Dalam kasus ini, konflik telah mencapai tahap serangan/ ancaman, sehingga masing-masing kelompok memerlukan tindakan yang benar-benar terkoordinasi dan menentukan dalam kelompok. Pada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, konflik telah menaikkan

(23)

tingkat emosi dan ketegangan dalam kelompok mereka pada saat mereka merasa diacuhkan dan diremehkan. Pada tahap ini, konflik semakin berpotensi mendekati kekerasan, karena dianggap telah ada upaya-upaya untuk menentang kelompok mereka. Pada saat ketegangan semakin tinggi, upaya untuk menekan secara keras pihak kedua yang dianggap sebagai pihak yang menentang mereka juga semakin tinggi. Pada tahap ini, mereka semakin memerlukan tindakan dan keputusan yang cepat serta terkoordinasi. Akibatnya, keputusan dalam kelompok semakin ditentukan oleh pihak yang dominan dalam kelompok mereka, yaitu pimpinan kelompok atau orang lain yang dianggap mampu mengendalikan kelompok. Proses menuju tindakan penyerangan terhadap pihak Cafe X dikendalikan oleh satu orang yang berpengaruh dalam kelompok, yaitu pimpinan kelompok. Akhirnya, pengambilan keputusan oleh orang berpengaruh dalam kelompok menghasilkan aksi yang terkoordinasi. Sistem pengambilan keputusan kelompok pada saat konflik menuju kekerasan dikemukakan oleh salah satu informan dari Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, yaitu bapak DNW (30) sebagai berikut:

“kami melakukan tindakan semacam ini hanya manut saja, sesuai kata teman yang memang sudah biasa bicara di dalam kelompok dan sering memimpin Majelis Ta’lim. Jadi saya tinggal membonceng saja, karena semuanya sudah siap”. (DNW,30 tahun).

Pada saat kondisi stabil atau belum mendekati kekerasan, musyawarah kelompok lebih diutamakan sehingga keputusan anggota-anggota kelompok lebih dipentingkan daripada sentralisasi pengambilan keputusan oleh salah satu orang. Sedangkan pada kondisi yang tidak stabil atau mencapai ketegangan, keputusan dari pimpinan kelompok atau orang yang berpengaruh dalam kelompok lebih diutamakan untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Dalam kasus ini, tindakan untuk memerangi kemunkaran (penyimpangan) di dalam masyarakat harus dilakukan oleh kelompok Pemuda Islam At-Taqwa, maka keputusan dari pimpinan kelompok/ orang yang berpengaruh dalam kelompok tidak dapat ditolak oleh para anggotanya. Sanksi bagi anggota kelompok yang bersikap netral atau menolak keputusan kelompok adalah sanksi moral. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Bapak TOK (37) :

(24)

“Siapa yang menentang atau menolak untuk memerangi kemaksiatan, maka mereka adalah orang yang bermaksiyat juga, jadi tidak ada yang berani menolak untuk memerangi kemunkaran, mereka wajib taat sama keputusan yang tujuannya untuk mewujudkan kebaikan umat.” (TOK,37 tahun).

Pada pihak pengelola Cafe X, kekerasan konfllik tidak berkaitan terhadap struktur pengambilan keputusan. Hal ini dikarenakan mereka adalah kelompok kerja yang didalamnya telah terdapat susunan kerja secara hierarki, sehingga dalam kondisi apapun, pimpinan/pemilik cafe selalu menjadi orang yang bertindak untuk mengandalikan anggota dan menegakkan aturan-aturan dalam hierarki kerjanya. Sebelum dan setelah terjadi kekerasan konflik, struktur pengambilan keputusan kelompok menunjukkan kondisi yang sama, yaitu pemegang keputusan dan kekuasaan tertinggi adalah pimpinan/pemilik.

3. Solidaritas Anggota Kelompok

Berdasarkan preposisi Coser tentang fungsi konflik bagi kohesivitas kelompok, ancaman dari luar dapat merangsang kekompakan dan solidaritas dalam kelompok. Artinya, kekuatan solidaritas dan integrasi di dalam suatu kelompok semakin tinggi karena tingkat permusuhan atau konflik dengan kelompok luar semakin besar.

Dalam kasus konflik antara kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pihak pengelola Cafe X, kekerasan konflik menunjukkan fungsi yang sama terhadap solidaritas anggota masing-masing kelompok. Efek kekerasan konflik sama-sama dirasakan oleh kedua pihak. Setelah terjadi kekerasan yang dilakukan kelompok Pemuda Islam At-Taqwa terhadap Cafe X, tindakan hukum segera berlaku bagi kelompok yang melakukan kekerasan. Tindakan hukum ini mengarah pada ancaman hukuman pidana bagi anggota-anggota kelompok yang terlibat dalam tindak kekerasan tersebut. Akibat aksi brutal yang mereka lakukan pada 25 April 2009 lalu, tiga anggota kelompok Pemuda Islam At-Taqwa ditangkap aparat kepolisian dan terancam dijatuhi hukuman penjara karena pelanggaran pasal 170 KUHP tentang tindakan kekerasan terhadap barang/orang secara bersama-sama dan terang-terangan. Sedangkan anggota kelompok lain yang terlibat masih dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) di kepolisian. Hal ini mendorong solidaritas anggota-anggota kelompok. Upaya pembelaan dan pembebasan tiga anggota kelompok yang telah menjadi “tersangka” tindak

(25)

kriminal terus dilakukan oleh anggota kelompok lainnya. Kepedulian anggota kelompok sangat diperlihatkan, salah satunya dari upaya untuk membebaskan “rekan” mereka dari hukuman. Selama dalam masa tahanan, intensitas kunjungan anggota kelompok Pemuda Islam At-Taqwa terhadap tiga anggota kelompok mereka yang “ditahan” cukup sering dan intens. Selain itu, perlindungan terhadap anggota-anggota kelompok lain yang masih dalam DPO kepolisian juga ditunjukkan oleh kelompok. Dalam hal ini, solidaritas diartikan oleh kelompok pemuda Islam At-Taqwa sebagai kesetiakawanan kelompok. Salah satu responden dari kelompok pemuda Islam At-Taqwa menyatakan arti solidaritas sebagai berikut :

“kalo anggota-anggota kelompok saling membantu, melindungi, pokoknya setia kawan satu sama lain ya berarti kelompok itu sudah punya solidaritas yang tinggi” ( DNW, 30 tahun).

Bagi pihak pengelola Cafe X, kekerasan konflik yang terjadi juga menunjukkan dampak yang positif bagi kelompok. Upaya-upaya untuk melindungi karyawan-karyawan wanita lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum terjadinya kekerasan konflik. Apapun persepsi mereka terhadap ancaman dan tekanan dari “kelompok penyerang”, ancaman dan tekanan dari luar itu meningkatkan dan mempertahankan solidaritas internal mereka. Hal ini juga ditunjukkan oleh “perlakuan” pimpinan/pemilik Cafe X terhadap karyawan-karyawannya. Pimpinan/pemilik Cafe X dinilai lebih meningkatkan kontrol dan perlindungannya terhadap para karyawan. Hal ini dikemukakan oleh SNT (25) sebagai berikut:

“ Mami jadi lebih sering datang ke cafe, padahal tadinya jarang karena beliau sibuk sekali, sejak kejadian itu jadi sering datang. Keamanan juga ditambah buat ngelindungi cafe dan karyawannya juga, terutama yang perempuan”(SNT, 25 tahun).

Masyarakat sekitar, terutama yang bertempat tinggal berdekatan dengan Cafe X juga melihat peningkatan solidaritas dan kewaspadaan di dalam kelompok pengelola Cafe X. Solidaritas diartikan oleh kelompok pengelola Cafe X sebagai tindakan yang saling melindungi di dalam kelompok, serta kepatuhan bersama

(26)

terhadap peraturan kelompok. Hal ini dikemukakan oleh Ibu UMI, (48) sebagai berikut:

“ gara-gara cafenya diserang mungkin Ibu DS jadi lebih hati-hati betul, sekarang kayawan-karyawan perempuannya ndak boleh keluar selama masih dalam jam kerja, mereka harus di dalam cafe saja, kalau mau makan biasanya dipesanin, lalu makanannya diantar ke dalem,pokoknya dijaga sekali” (UMI,48 tahun).

4. Penekanan Terhadap Pembangkang dan yang Menyimpang, serta Menguatkan Konformitas Terhadap Nilai dan Norma

Kohesivitas kelompok diantaranya adalah penekanan terhadap pembangkang dan yang menyimpang, serta menguatkan konformitas terhadap nilai dan norma kelompok. Pemuda Islam At-Taqwa adalah kelompok identitas yang memiliki tujuan serta visi dan misi khusus yang selalu berusaha mereka wujudkan di dalam kelompoknya serta di dalam masyarakat, sebagai contoh adalah visi mereka dalam memberantas kemunkaran dan kemaksiatan di dalam masyarakat. Pada saat konflik menuju ketegangan yang tinggi bagi kelompok, yaitu pada saat mereka merasa diremehkan atau ditentang, keputusan untuk melakukan tindakan yang lebih “anarkis” sebagai wujud peringatan keras datang dari seseorang yang berpengaruh di dalam kelompok atau pimpinan kelompok. Pada tahap itu, para anggota kelompok semakin “menurut” atau patuh pada perintah pimpinannya dan untuk melakukan tindakan yang diperintahkan. Sebagai wujud kepatuhan terhadap aturan, norma dan nilai-nilai kelompok, tidak ada anggota yang bersikap netral terhadap pihak lawan, atau tidak berpartisipasi dalam “memerangi” pihak lawan. Hukuman terhadap penyimpangan nilai-nilai kelompok tidak diberikan secara keras, melainkan dengan ucapan-ucapan lisan dan hukuman moral yang akan menyadarkan mereka pada kewajiban mereka sebagai anggota kelompok. Hal ini diungkapkan oleh salah satu responden dari pihak kelompok pemuda Islam At-Taqwa sebagai berikut :

“pokoknya kalau kita sudah menghadapi masalah-masalah pelanggaran nilai-nilai Islam,kita langsung bertindak,kalo perlu aksi kekerasan ya kita lakukan, ndak ada yang menolak atau cuek-cuek saja, soalnya masalah nilai moral itu bukan main-main, kalau ada yang ndak mau bertindak ya berarti ndak merasa bagian dari kelompok ini, berarti ndak mau membela Islam” (DNW,30 tahun).

(27)

4.5 Ikhtisar

Konflik yang terjadi antara kelompok Pemuda Islam At-Taqwa dengan pengelola Cafe X merupakan konflik non realistik yang dilatarbelakangi oleh isu yang berbeda menurut pandangan kedua belah pihak yang berkonflik. Dua aktor utama yang berkonflik adalah dua kelompok yang berbeda “tipe”. Kelompok Pemuda Islam At-Taqwa adalah kelompok identitas yang memiliki visi dan misi serta tujuan tertentu yang pada intinya untuk mewujudkan masyarakat yang “agamis”, sedangkan kelompok pengelola Cafe X adalah kelompok yang merupakan “bagian” dari masyarakat. Karena perbedaan latar belakang kelompok, maka di antara keduanya terdapat perbedaan penafsiran mengenai konflik yang terjadi. Isu mengenai penyebab konflik yang dikemukakan oleh kelompok Pemuda Islam At-Taqwa adalah pelanggaran nilai-nilai agama Islam, sedangkan isu penyebab konflik yang dikemukakan kelompok pengelola Cafe X adalah isu persaingan “klaim bisnis”. Konflik mencapai tahap kekerasan pada waktu salah satu pihak, yaitu kelompok Pemuda Islam At-Taqwa merasa bahwa kelompoknya diacuhkan. Maka sebagai wujud “protes” terhadap ketidakpedulian tersebut, kelompok ini kemudian menunjukkan “identitas”nya dengan melakukan aksi kekerasan.

Pada dasarnya, konflik antar dua kelompok yang berbeda ini juga diwarnai oleh konflik laten antara kelompok pemuda Islam At-Taqwa dengan pihak kepolisian yang menurut kelompok pemuda Islam At-Taqwa tidak berusaha menertibkan masyarakat secara benar, bahkan diduga mereka cenderung memihak pada pengelola Cafe X. Pada kasus ini, terbukti bahwa kekerasan konflik berfungsi positif pada keeratan hubungan (kohesivitas kelompok) pada masing-masing kelompok. Kohesivitas kelompok ditunjukkan dengan kepatuhan-kepatuhan para anggota kelompok terhadap aturan-aturan/ nilai-nilai pada kelompoknya masing-masing, kekompakan dalam berperilaku yang merupakan bentuk kewaspadaan kelompok, serta adanya dominasi/sentralisasi struktur pengambilan keputusan pada kelompok Pemuda Islam At-Taqwa. Sentralisasi struktur pengambilan keputusan ini memperlihatkan kepatuhan anggota kelompok pada keputusan pimpinan/orang yang berpengaruh di dalam kelompok.

(28)

BAB V

KASUS KONFLIK ANTARA DESA DEPOK DAN DESA BLACANAN, KECAMATAN SIWALAN, KABUPATEN PEKALONGAN (KASUS 2) 5.1 Gambaran Umum Konflik

Konflik yang melibatkan dua kelompok pemuda dari dua desa ini pecah menjadi aksi kekerasan/kebrutalan konflik pada bulan Oktober 2007. Sebelum mencapai kekerasan, konflik ini terlebih dahulu “mengendap” dalam bentuk konflik laten dalam jangka waktu yang tidak dapat diperkirakan. Konflik ini mengarah pada isu non realistik berupa “harga diri”, meskipun semua aktor konflik memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai isu konflik. Konflik yang telah mencapai aksi kekerasan/kebrutalan ini menyebabkan jatuhnya korban jiwa dari salah satu pihak serta kerusakan fasilitas. Kekerasan yang terjadi juga menyebabkan semakin renggangnya hubungan sosial antar masyarakat kedua desa.

Dua aktor utama konflik, yaitu kelompok pemuda Desa Blacanan dan kelompok pemuda Desa Depok memiliki karakteristik yang “mirip” satu sama lain. Kemiripan karakteristik tersebut dapat dilihat pada mata pencaharian mereka yang sebagian besar adalah perantau di kota besar. Konflik berupa pertikaian-pertikaian kecil antar individu sering terjadi diantara mereka pada saat mereka kembali dari kota. Konflik ini akhirnya pecah menjadi konflik antar kelompok yang melibatkan puluhan pemuda Desa Blacanan dan pemuda Desa Depok. Dalam peristiwa ini, pemuda Desa Blacanan berstatus sebagai pelaku kekerasan (tersangka), sedangkan warga Desa Depok berstatus sebagai korban.

5.2 Gambaran Lokasi Konflik

Konflik yang terjadi di antara kelompok pemuda Desa Depok dengan kelompok pemuda Desa Blacanan mencuat pada tahun 2007, kemudian terjadi tahap kekerasan konflik pada tanggal 20 Oktober 2007 di Desa Depok, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan. Secara Geografis, Desa Blacanan dan Desa Depok berbatasan satu sama lain. Untuk menuju ke arah Kota

(29)

Pekalongan, kedua desa melewati rute yang sama, oleh karena itu interaksi sangat sering terjadi di antara kedua desa.

Desa Depok merupakan desa bertipe desa pesisir yang memiliki wisata laut bahari bernama Pantai Wisata Depok. Objek wisata ini banyak dikunjungi oleh warga di Kecamatan Siwalan, termasuk warga Desa Blacanan. Pantai Wisata Depok sering menjadi tempat berkumpul pemuda-pemuda di Kecamatan siwalan untuk mengadakan pesta dan pentas seni yang sering dilakukan setiap tahun menjelang perayaan hari kemerdekaan dan menjelang bulan Ramadhan. Setiap tahun, tercatat peristiwa pertikaian antar pemuda di Pantai Wisata Depok akibat ketidaktertiban dari perayaan-perayaan yang sering mereka adakan.

Secara geografis, posisi Desa Blacanan dan Desa Depok di Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan dapat dilihat denah lokasi Kecamatan Siwalan sebagai berikut (Gambar 7).

Gambar 7. Denah Lokasi Kecamatan Siwalan.

Dalam denah di atas, dapat dilihat bahwa posisi Desa Depok dan Desa Blacanan yang ditandai dengan anak panah yang berwarna merah berdekatan dan

(30)

berbatasan langsung. Lokasi aksi kekerasan konflik yang terjadi pada tanggal 20 Oktober di Desa Depok dapat dilihat pada Gambar 8.

Pantai Wisata Depok

Desa Depok Y Desa Blacanan Pantura

Sumber : Data Internal Pengadilan Negeri Pekalongan No.19/Pen.Pid/2008/PN PKL Sumber : Data Internal Pengadilan Negeri Pekalongan No.19/Pen.Pid/2008/PN PKL Keterangan :

Keterangan :

A : Musholla W: Deretan warung A : Musholla W: Deretan warung B : Tempat Billyard X : Rumah korban B : Tempat Billyard X : Rumah korban

C : Rumah warga saksi Y : Kelompok pemuda Desa Blacanan C : Rumah warga saksi Y : Kelompok pemuda Desa Blacanan R : Rumah-rumah warga Desa Depok : Lokasi terjadinya bentrokan R : Rumah-rumah warga Desa Depok : Lokasi terjadinya bentrokan A B R R A R W W R C X

Gambar 8. Denah Lokasi Kekerasan Konflik Desa Depok-Desa Blacanan. Gambar 8. Denah Lokasi Kekerasan Konflik Desa Depok-Desa Blacanan.

5.3 Pemetaan Aktor-Aktor Konflik 5.3 Pemetaan Aktor-Aktor Konflik

Dalam kasus konflik antar Desa Depok dan Desa Blacanan, yang menjadi “aktor utama” konflik adalah kelompok pemuda dari kedua desa. Namun aktor-aktor lain juga berperan dalam proses terjadinya konflik serta proses meredam

Dalam kasus konflik antar Desa Depok dan Desa Blacanan, yang menjadi “aktor utama” konflik adalah kelompok pemuda dari kedua desa. Namun aktor-aktor lain juga berperan dalam proses terjadinya konflik serta proses meredam

(31)

konflik. Secara umum, aktor-aktor konflik di Desa Blacanan dan Desa Depok dapat dipetakan dalam peta konflik berikut ini (Gambar 9).

Pemuda Desa Depok Pemuda Desa Blacanan Aparat Desa Blacanan Aparat Desa Depok Aparat Keamanan Tokoh masyarakat Desa Depok Tokoh masyarakat Desa Blacanan Keterangan : Mempengaruhi Konflik laten Konflik terbuka

Gambar 9. Pemetaan Aktor-Aktor Konflik di Desa Depok-Blacanan (Kasus 2).

Konflik terbuka yang menyebabkan korban jiwa ini melibatkan dua aktor utama konflik yang karakteristik sosial yang homogen dalam hal usia, pendidikan dan mata pencaharian. Mereka adalah kelompok pemuda dari Desa Blacanan dan Desa Depok. Dalam kasus ini, pihak Desa Depok dianggap sebagai “korban”, sedangkan pihak Desa Blacanan dianggap sebagai “tersangka”. Tokoh-tokoh dan aparat desa dari kedua belah pihak sangat berperan dalam upaya perdamaian kedua desa. Namun demikian, terkuak adanya konflik laten antara aparat Desa Depok dan aparat Desa Blacanan serta konflik laten antara generasi-generasi tua

(32)

di kedua desa. Meskipun diidentifikasi terdapat konflik laten antara generasi tua di kedua desa, namun tokoh masyarakat dan aparat-aparat desa dari kedua pihak tetap menunjukkan perannya sebagai “mediator” dalam penyelesaian konflik antar kelompok pemuda dari kedua desa yang bersangkutan.

Dalam peta konflik, terlihat garis bergelombang yang menghubungkan kelompok pemuda dari Desa Depok dengan kelompok pemuda dari Desa Blacanan yang menunjukkan konflik terbuka. Konflik terbuka ini telah teridentifikasi karena telah sampai pada tahap aksi kekerasan yang melibatkan kedua kelompok pemuda tersebut.

Tanda panah dalam peta konflik yang menghubungkan beberapa pihak menunjukkan hubungan pengaruh. Aktor yang memiliki pengaruh ke berbagai pihak adalah aparat keamanan/aparat kepolisian yang berkuasa dalam segala upaya menangani konflik dan menunjukkan pengaruhnya pada setiap aktor-aktor konflik. Hubungan antara tokoh-tokoh masyarakat dengan aparat desa adalah hubungan saling mempengaruhi dalam upaya penanganan konflik. Keduanya merupakan pengambil keputusan/kebijakan di tingkat desa dalam upaya peredaman konflik.

Garis putus-putus yang menghubungkan aparat Desa Depok dan aparat Desa Blacanan menunjukkan konflik laten di antara keduanya. Konflik laten ini berlangsung sejak lama, dan semakin terlihat sejak terjadinya aksi brutal yang dilakukan kelompok pemuda Desa Blacanan terhadap warga Desa Depok. Penyebab konflik laten ini diindikasi adalah rasa saling tidak percaya bahwa masing-masing dari mereka dapat mengendalikan warganya.

5.3.1 Aktor Utama yang Berkonflik

Dari berbagai aktor konflik yang terdapat dalam peta konflik, diidentifikasi aktor-aktor utama konflik yang telah menunjukkan aksi-aksi konflik yang nyata dalam wujud kekerasan konflik.

5.3.1.1 Kelompok Pemuda Desa Depok

Gambaran kehidupan pemuda Desa Depok menunjukkan nilai-nilai sosial yang lekat sudah mulai meluntur karena perubahan gaya hidup pemuda yang sudah cenderung menerupai masyarakat kota. Hal ini dikarenakan sebagian besar

(33)

pemuda desa adalah perantau di kota-kota besar sehingga pada saat mereka kembali ke desa, budaya mereka berubah, bahkan cenderung menyimpang seperti minum-minum, ucapan yang kasar, penampilan yang menunjukkan “premanisme”, suka membuat keributan, serta kasar dan agresif. Hal ini dinilai oleh generasi tua Desa Depok sebagai dampak negatif perkotaan yang mempengaruhi pemuda desa dengan pendidikan rendah.

Setiap tahun menjelang lebaran, para pemuda desa kembali ke Desa Depok. Setiap momen kepulangan ini mereka pergunakan untuk berkumpul bersama teman-teman mereka yang juga perantau dengan cara mengadakan acara-acara hiburan seperti pentas musik, wayang dan sebagainya. Sedangkan para tokoh masyarakat dan generasi tua sering melarang mereka mengadakan acara-acara tersebut karena akan cenderung menimbulkan konflik dan pemicu mereka untuk berjudi dan mabuk-mabukan.

Pada dasarnya, kehidupan masyarakat di Kecamatan Siwalan, termasuk Desa Depok sangat kental dengan nuansa religius, terbukti dengan partisipasi aktif mereka yang selalu menghadiri pengajian “Jumat Kliwon” di Kota Pekalongan secara bersama-sama. Namun sayangnya hal-hal ini tidak berlaku bagi para pemuda. Mereka lebih suka berkumpul untuk bersenang-senang, minum-minum dan berkelahi dengan desa lain. Hal ini diungkapkan oleh DDK (45) berikut ini :

“Pemuda-pemuda di sini mana mau ikut kegiatan-kegiatan yang positif, apalagi pengajian, mereka itu kalau pulang sukanya kumpul-kumpul saja, dan kalau nggak berantem mungkin mereka merasa tidak enak. Kita yang tua-tua sudah sering memperingatkan,tapi tidak pernah didengarkan”(DDK,45 tahun).

5.3.1.2 Kelompok Pemuda Desa Blacanan

Masyarakat di Desa Blacanan memiliki karakteristik yang sama dengan masyarakat Desa Depok. Hal ini karena Desa Depok dan Desa Blacanan berdekatan dan dalam kesehariannya masyarakatnya sering bergaul dan bertemu. Dalam hal kekerabatan, generasi tua Desa Depok banyak yang memliliki hubungan keluarga dengan generasi tua di Desa Blacanan. Seperti di Desa Depok, mayoritas pemuda di Desa Blacanan adalah perantau di kota besar. Mereka hanya kembali ke Desa setiap hari raya lebaran. Karakteristik pemuda

(34)

Desa Blacanan juga hampir sama dengan pemuda Desa Depok, yaitu “potret” anak-anak muda yang agresif, kasar, dan suka berkelahi. Hal yang membedakan di Desa Depok dan Desa Blacanan adalah sudah tidak berfungsinya lembaga Karang Taruna dan organisasi pemuda lainnya di Desa Blacanan.

Tindakan kolektif yang khas ditunjukkan oleh pemuda-pemuda desa yang memiliki solidaritas yang tinggi satu sama lainnya. Jika bertemu pada momen-momen tertentu mereka cenderung “bersatu” untuk melakukan apapun, termasuk aktivitas-aktivitas yang dinilai negatif oleh masyarakat. Jika salah satu dari mereka berhadapan dengan masalah yang berhubungan dengan “harga diri”, pemuda yang lain secara serentak akan membela anggotanya. Secara umum, hubungan mereka diwarnai dengan nilai-nilai solidaritas yang tinggi, meskipun dinilai banyak penyimpangan dan ketidaksesuaian dengan nilai-nilai kesopanan dalam gaya hidup mereka. Setiap kepulangan mereka dari merantau, mereka mengadakan perkumpulan dengan pemuda-pemuda lainnya untuk mengakrabkan diri satu sama lain.

5.3.2 Perbedaan Pemahaman Mengenai Konflik diantara Aktor-Aktor Konflik

Berkaitan dengan isu dan kronologi konflik, pemahaman mengenai konflik dari aktor-aktor yang terlibat menunjukkan suatu perbedaan, meskipun jika dilihat secara keseluruhan, aktor-aktor konflik menggambarkan konflik yang sama. Perbedaan mengenai isu-isu konflik secara jelas dapat ditelaah dari gambaran konflik menurut masing-masing aktor konflik.

5.3.2.1 Pemahaman Konflik Menurut Kelompok Pemuda Desa Depok

Konflik yang terjadi antara pemuda Desa Depok dengan pemuda Desa Blacanan pada tahun 2007 awalnya disebabkan oleh pemukulan yang dilakukan salah satu pemuda Desa Depok terhadap salah satu pemuda Desa Blacanan yang sedang melewati Desa Depok pada saat itu. Alasannya adalah pemuda Blacanan tersebut dianggap sombong. Karena merasa terhina, pemuda Desa Blacanan tersebut melapor pada pemuda-pemuda lain di desanya. Satu hari setelah kejadian pemukulan itu, kemudian terjadi aksi balas dendam yang sangat brutal. Aksi ini dilakukan sekelompok pemuda Desa Blacanan yang tidak diketahui pasti

(35)

jumlahnya karena sangat banyak yang mencari pelaku pemukulan. Namun, karena yang bersangkutan tidak ditemukan, maka pemuda yang kebetulan sedang lewat di salah satu jalan di Desa Depok langsung dianiaya hingga tewas, padahal dia tidak mengetahui masalah sebelumnya. Selain itu, beberapa rumah warga juga menjadi sasaran amukan mereka. Masalah pemukulan tersebut adalah akumulasi dari konflik laten yang telah terjadi dalam waktu lama antara Desa Depok dan Desa Blacanan. Konflik laten tersebut memiliki akar permasalahan yang non realistik, sehingga sulit untuk dipecahkan. Hal ini dikemukakan oleh salah satu pemuda Desa Depok sebagai berikut :

“dek mbiyen emang cah Blacanan ki senenge nggolek masalah karo cah Depok, mereka iri ngerti cah Depok akeh sing wis sukses ning kota,nek bali neng desa mesti penampilane nguto, tapi cah Depok rak pernah ngolek masalah moso dione’ke sombong” (SGD,26 tahun).

(Sejak dulu anak Blacanan suka mencari masalah dengan anak Depok, mereka iri melihat anak Depok banyak yang sudah sukses di kota, jika pulang ke desa penampilannya seperti orang kota, tetapi anak Depok tidak pernah mencari masalah, tetapi diejek sombong).

Konflik yang terjadi berakar dari isu non realistik mengenai identitas dan harga diri yang sangat dipentingkan oleh kedua aktor konflik. Akibat konflik laten yang telah terjadi dalam waktu yang tidak teridentifikasi, konflik manifest yang brutal muncul sebagai suatu akumulasi dari kebencian di antara kedua belah pihak. Aksi brutal yang dilakukan sekelompok pemuda Desa Blacanan terhadap warga Desa Depok terjadi pada tanggal 20 Oktober 2007 sekitar pukul 23.30 di Desa Depok, Kecamatan Siwalan, Kabupaten Pekalongan. Pada saat itu, terjadi penyerangan yang brutal yang dilakukan oleh sekitar 30 orang dari Desa Blacanan. Kekerasan konflik berwujud pada aksi perusakan rumah warga Desa Depok secara bersama-sama oleh sekelompok pemuda Desa Blacanan tersebut dan penganiayaan salah satu warga Desa Depok hingga korban meninggal dunia. Aksi penganiayaan dan perusakan rumah tersebut diduga karena kemarahan pemuda Desa Blacanan karena tidak dapat menemukan “musuhnya” pada saat melakukan aksi penyerbuan, akibatnya kemarahan dan dendam mereka tujukan pada warga Desa Depok yang tidak mereka kenal.

(36)

Menurut informasi dari responden di Desa Depok, aksi balasan sudah mereka persiapkan untuk membalas perlakuan pemuda Desa Blacanan, tetapi sebelum aksi balas dendam tersebut terlaksana, aparat kepolisian telah bertindak dan berupaya mencagah terjadinya serangan balasan. Hal ini diungkapkan responden dari Desa Depok sebagai berikut:

“nek misale polisi rung teko, mesti wis babak belur cah Blacanan, wong pas kuwi cah Depok wis nyiapke pentungan nggo tawuran karo cah Blacanan, bejone ora kelakon, lha nek kelakon opo rak tambah rusuh” (SGD,26 tahun). (Seandainya saja polisi belum datang, pasti anak Blacanan sudak terluka parah karena pada waktu itu anak Depok sudah menyiapkan pemukul untuk tawuran dengan anak Blacanan, untung saja tidak terjadi, kalau saja sampai terjadi pasti lah akan bertambah kacau).

Konflik antara pemuda Desa Blacanan dan pemuda Desa Depok menyebabkan retaknya hubungan antar kedua desa karena perasaan takut dan enggan untuk berkomunikasi. Konflik yang terjadi pada bulan Oktober 2007 ini merupakan konflik terparah dalam konflik Depok-Blacanan. Konflik yang sering terjadi sebelumnya tidak sampai melibatkan puluhan orang dan tidak menyebabkan korban tewas. “Keparahan” konflik yang terjadi antara pemuda Desa Depok dan pemuda Desa Blacanan diungkapkan oleh responden sebagai berikut :

“…. pas kuwi polisine sing teko yo akeh, dek polwil mbarang teko sa’ kompi, sampe nggawe tendo-tendo neng perbatasan Depok-Blacanan, sa’minggunan polisi jogo neng kono” (SGD,26 tahun).

(Pada saat itu polisi yang datang banyak, dari Polwil juga datang satu kompi, sampai membuat tenda-tenda di perbatasan Depok-Blacanan, selama satu minggu polisi berjaga di sana).

Ungkapan SGD tersebut menandakan bahwa konflik yang terjadi sangat keras hingga melibatkan banyak aparat kepolisian turun tangan karena konflik ini tidak dapat diselesaikan secara “damai” melalui mediasi dengan tokoh masyarakat dan aparat desa terkait. Secara analitis, pemahaman mengenai kronologis konflik menurut pemuda Desa Depok dapat digambarkan dalam bentuk skema kronologis konflik (Gambar 10).

(37)

Pemukulan yang dilakukan salah seorang pemuda Depok terhadap Pemuda Blacanan

Segerombolan pemuda Desa Blacanan menyerang Desa Depok, melakukan perusakan rumah, dan menganiaya salah satu warga Desa Depok hingga tewas.

Pemuda Desa Depok mempersiapkan aksi balasan kepada pemuda Desa Blacanan Sabtu, 20 Oktober 2007 Siang Hari Sabtu, 20 Oktober 2007 pukul 23.30 Minggu, 21 Oktober 2007 Minggu, 20 oktober 2007- 28 Oktober 2007

Masih terdapat upaya-upaya untuk aksi pembalasan ke Desa Blacanan namun telah ada penjagaan ketat oleh aparat kepolisian terhadap kedua desa Gambar 10. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Kelompok

Pemuda Desa Depok.

Kronologi konflik di atas menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang diungkapkan oleh responden dari Desa Depok. Konflik terbuka masih dapat dilihat dalam kurun waktu satu minggu setelah terjadi kekerasan konflik karena masih terdapat upaya-upaya untuk melakukan aksi pembalasan. Konflik yang terjadi hingga memicu aksi kekerasan bermula pada isu-isu pokok yang tidak dapat mencapai kompromi.

Menurut pemuda Desa Depok, masalah inti yang mendorong terjadinya konflik adalah pelecehan dan kekerasan yang “diterima” oleh pemuda Desa Blacanan yang selanjutnya mendorong terjadinya aksi pembalasan yang brutal. Akar dari konflik adalah isu non realistik yang diduga berupa kecemburuan sosial, perubahan gaya hidup, dan kesalahpahaman. Perubahan gaya hidup dan kecemburuan sosial yang diperlihatkan oleh pemuda-pemuda dari kedua desa memunculkan sikap yang “menantang” dari kedua belah pihak, sehingga keterlibatan emosi dan ketegangan antar kedua pihak semakin meningkat dengan

(38)

menunjukkan sikap-sikap yang tidak menyenangkan yang berujung pada aksi kekerasan. Efek konflik yang telah mencapai tahap kekerasan hingga menelan korban diidentifikasi bersifat positif dan negatif. Kekerasan/kebrutalan diartikan oleh kelompok pemuda Desa Depok sebagai tindakan yang menghancurkan, merusak, menghilangkan nyawa seseorang dan menyebabkan ketakutan. Salah seorang responden mengungkapkan sebagai berikut :

“sing jenenge kekerasan yo mesti wis ono ngerusak, ngancuri, menganiaya sampai meninggal, yo semuane yang bikin takut orang” (MHA, 28 tahun).

Efek negatif yang dirasakan kelompok pemuda Desa Depok diantaranya adalah dendam, ketakutan, dan kebencian yang berwujud laten. Sedangkan efek konflik yang bersifat positif diperlihatkan pada keeratan kelompok pemuda Desa Depok. Isu-isu konflik menurut pemahaman pemuda Desa Depok dapat digambarkan secara grafis dalam bentuk pohon konflik (Gambar 11).

Ketakutan (-) Dendam (-) Kebencian(-) Keeratan kelompok (+)

EFEK

MASALAH INTI

kecemburuan sosial

AKAR perubahan gaya hidup kesalahpahaman

Gambar 11. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Pemuda Desa Depok.

 

Pelecehan dan kekerasan

Gambar

Gambar 2. Pemetaan Konflik
Gambar 3. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Kelompok Pemuda  Islam At-Taqwa
Gambar 4. Pohon Konflik (Isu Konflik) Berdasarkan Pemahaman Kelompok                    Pemuda Islam At-Taqwa
Gambar 5. Skema Kronologi Konflik Berdasarkan Pandangan Pihak Cafe X.
+7

Referensi

Dokumen terkait