• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problem Filsafat Jilid III

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Problem Filsafat Jilid III"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Problem Filsafat

PROBLEM

FILSAFAT

Bulletin Komunitas Marx

STF Driyarkara No. 3 / 2010

Dua Paragraf Pertama

Kapital:

(2)

Problem Filsafat

No. 3 / Tahun I / Februari 2010

Problem Filsafat

Dalam Bulletin Problem Filsa-fat edisi ini telah kami kumpulkan dua naskah presentasi kawan Anom Astika pada kesempatan diskusi tanggal 4 dan 11 Februari 2010. Dua naskah ini telah kami olah menjadi satu artikel—“Yang Berdaya Beli atau Berdaya Jual?”—yang membahas relasi antara kesejahteraan (wealth), komoditas (commodity) dan ke-butuhan (need). Relasi antar ketiga konsep ini mencerminkan wilayah kajian yang dibahas dalam dua kali diskusi tersebut, yakni pembacaan atas dua paragraf pertama Bab I Kapital. Dalam paragraf pertama di-katakan bahwa “bentuk elementer” dari kesejahteraan masyarakat yang bertumpu pada modus produksi kapitalis adalah komoditas. Pada paragraf kedua,

komodi-tas ini dijelaskan sebagai objek eksternal

yang memberikan pemenuhan atas kebu-tuhan. Melalui makalahnya, Anom beru-paya mengolah kesaling-terkaitan ketiga konsep tersebut dalam perbandingannya dengan formulasi Marx tentang hal ter-kait dalam karya-karya sebelumnya. Pada artikel kedua, kawan Rangga Utomo men-gulas diskusi tanggal 4 Februari—tentang kesejahteraan—melalui kisah Yunani ten-tang Raja Midas yang mengubah apapun yang disentuhnya menjadi emas. Melalui kisah ini Rangga memperlihatkan sejarah pengertian tentang kesejahteraan sejak era Antik hingga Modern-borjuis, yakni transisi historis dari konsepsi tentang ke-sejahteraan sebagai perkara eudaimonia

menuju perkara pertukaran komoditas. Mengenai proses diskusi sendiri,

ada beberapa pokok yang menarik untuk diangkat di sini. Pada diskusi tanggal 11 Februari sempat terjadi perdebatan yang cukup seru tentang relasi komoditas-kebutuhan, tentang apakah kebutuhan

merupakan syarat kemungkinan bagi komoditas ataukah sebaliknya. Memang dikatakan oleh Marx bahwa komodi-tas ada untuk menjawab adanya kebu-tuhan—dengan demikian, kebutuhan merupakan syarat yang memungkinkan keberadaan komoditas. Di sini seolah terlihat sebuah determinasi searah: ke-butuhan menentukan komoditas. Ken-dati demikian, apabila dilihat dalam perbandingannya dengan penjelasan Marx tentang transisi dari siklus komo-ditas-uang-komoditas (C-M-C) ke uang-komoditas-uang (M-C-M) yang dikupas-nya pada Bagian 2 Bab I, intuisi tentang determinasi searah ini mendapatkan negasinya. Dalam siklus komoditas-uang-komoditas, uang di sini hanya ber-peran sebagai perpanjangan tangan dari prinsip barter—tujuan akhirnya tetaplah nilai guna (use value). Berbeda halnya dalam siklus uang-komoditas-uang, di sini tujuan yang hendak diperoleh dari proses pertukaran tak lain adalah per-tukaran itu sendiri (sejauh uang adalah

kodifikasi atas nilai tukar), atau lebih te -patnya, nilai tukar yang lebih besar (M’). Dalam arti inilah Marx menyebut siklus terakhir itu sebagai tautologi (Capital, hlm. 250-251). Uang seolah menjadi otonom dalam sirkulasinya sendiri, atau lebih tepat, dalam sirkulasi untuk mengaku-mulasi-dirinya secara lebih besar. Dalam siklus itu komoditas dan uang saling bertransformasi satu sama lain menuju kebalikannya, dalam sebuah siklus yang senantiasa mereproduksi-dirinya—den-gan kata lain, siklus ini menjadi, seperti ditulis Marx, “sebuah subjek otomatis” (Capital, hlm. 255). Lantas bagaimana kaitannya dengan kebutuhan? Di sini Marx secara implisit menunjukkan sisi

Esai Editorial

oleh: Martin Suryajaya

lain dari relasi antara komoditas dan kebu-tuhan: komoditas tidak hanya ditentukan oleh kebutuhan melainkan juga, pada taha-pan tertentu, menentukan kebutuhan. Arti-nya, komoditas memproduksi kebutuhan yang diperlukan untuk kehadiran dirinya:

komoditas mereproduksi syarat-syarat kemung-kinannya sendiri, ia menjalankan reproduksi atas kondisi-kondisi produksinya sendiri. Diskusi menjadi kian menarik

kare-na perdebatan tentang relasi antara komo-ditas dan kebutuhan, jika dilihat dari per-spektif determinasi resiprokal di atas, mau tak mau merambah juga ke dalam diskusi tentang relasi antara basis dan superstruk-tur, tentang kritik atas ekonomisme, dan pada akhirnya tentang keperluan untuk memikirkan konsepsi sosialis tentang kebu-tuhan. Dalam bentuk kapitalisnya, kebutu-han menjadi produk yang dikonstitusikan oleh sirkulasi komoditas dan uang. Artinya, Ada-nya kebutuhan tidak semata bersi-fat alamiah, melainkan disebabkan secara struktural oleh konfigurasi nilai tukar (relasi

komoditas dan uang) yang menjadi basis operasi kapitalisme. Dengan kata lain, pada alam kapitalisme, kebutuhan selalu berarti kebutuhan simbolik—inilah hasil fabrikasi

spesifik dari modus produksi kapitalis yang

tak ditemukan dalam modus produksi se-belumnya. Dalam ranah simbolik ini tak ada nilai guna yang sungguh bernilai tanpa adanya nilai tukar, atau dengan kata lain, tak ada nilai apapun tanpa nilai tukar—tak ada presentasi (alamiah) yang bernilai tanpa representasi (simbolik). Kebutuhan, sebagai

rasa kekurangan, adalah pengandaian yang dire-produksi terus-menerus oleh relasi daya-daya kapital dalam upaya untuk melanggengkan dirinya, sebagaimana pengagung-agungan atas konsepsi keterhinggaan manusia,

kefa-naan dan kedhaifannya, merupakan refleksi

dari relasi daya-daya produksi Asiatik dan Eropa Abad Pertengahan yang menempat-kan setiap manusia sebagai hamba yang sepenuhnya fana dan terhingga di hadapan Raja yang maha kuasa, Raja yang sekaligus menjadi Tuhan bagi rakyat sebagai

budak-budak fananya. Di sini kawan Wilfried Ebiet (Stein) menajamkan intuisi terse-but dengan sebuah pertanyaan retoris: “Jika komoditas dan kebutuhan selalu tersituasikan dalam modus

produk-sinya yang spesifik, maka apakah ha -sil produksi dari rohaniawan yang kerjanya hanya berdoa setiap hari dan berkhotbah di depan umat sambil me-nerima bayaran dari umat?” Kita tahu jawabnya: apa yang diproduksinya tak lain adalah kebutuhan, atau lebih tepat,

kebutuhan sebagai komoditas: komoditas yang dihasilkannya adalah kebutuhan untuk percaya pada sebuah momen “neraca penyesuaian” yang peng-habisan di mana yang lemah namun baik hati akan terselamatkan.

(Sampai di sini ada sebuah perkara metodologis penting yang belum sempat disinggung dalam dis-kusi. Barangkali kita dapat bertanya: Bukankah sirkulasi komoditas dan uang yang menciptakan kebutuhan itu sendiri diciptakan oleh manusia, oleh seorang manusia pemodal? Men-gapa ditampilkan seolah-olah sirkulasi itu bergerak sendiri secara struktural tanpa agen manusia yang menjalank-annya? Pertanyaan ini masuk akal. Na-mun asumsinya bermasalah. Apabila kita melokalisasi inti problematik dari kapitalisme pada manusia, maka kenis-cayaan logis akan mengarahkan kita untuk mengutuk-sumpahi sifat-sifat dari manusia itu dan kualitas-kualitas personalnya. Jika kita hendak eksplisit-kan asumsi yang mengeram di balik pertanyaan di atas, maka kita dapat menyatakan: kapitalisme bukanlah ses-uatu yang buruk asalkan para pemo-dal dan pemilik pabriknya memiliki se-mangat kemanusiaan untuk membantu meringankan beban para buruhnya (melalui tunjangan, penyediaan rumah dan akses kesehatan). Persis inilah yang disarankan oleh kaum sosialis-uto-pis yang ditolak Marx. Dalam asumsi

(3)

Problem Filsafat

No. 3 / Tahun I / Februari 2010

Problem Filsafat

dasar dari pertanyaan itu, kapitalisme itu bermasalah karena ia jahat. Padahal kapi-talisme itu jahat karena ia bermasalah, dan bukan sebaliknya. Artinya, jahat/baiknya kapitalisme itu tidak penting. Kejahatan kapitalisme hanyalah konsekuensi logis dari permasalahan yang inheren secara struktural di dalamnya. Mengatakan bahwa kapitalisme itu jahat, atau bahwa kapitalisme adalah suatu Kedurjanaan Radikal (Radical Evil) tidak akan mem-bawa kita kemanapun selain berpusar-pusar dalam evaluasi dan putusan ( judge-ment) moral. Padahal yang penting adalah merumuskan permasalahan kapitalisme dari sudut pandang ekstra-moral, dengan kata lain, membuktikan secara ilmiah bah-wa kapitalisme itu memang problematis. Konsekuensinya, pendekatan struktural adalah sesuatu yang niscaya diperlukan dalam membaca kritik Marx atas kapital-isme. Di sinilah kita masih memerlukan

metodologi Althusser: mendekati problem kapitalisme secara anti-humanis dan tidak secara humanis dengan bertumpu pada argumen-argumen moral yang

non-sain-tifik.)

Setelah sampai kepada pengertian tentang kebutuhan sebagai hasil produksi

dari konfigurasi nilai tukar, diskusi ber -lanjut menuju sebuah pertanyaan—dari kawan Henry Stephen—yang menjadi konsekuensi logisnya: Bagaimana meru-muskan konsepsi kebutuhan dalam kerangka sosialisme? Artinya, apabila dalam masyarakat kapitalis kebutuhan adalah hasil reproduksi ideologis atas kon-disi-kondisi produksi, demikian pula kah yang terjadi dalam masyarakat sosialis? “Itulah yang terjadi,” demikian sambut kawan Rangga malam itu, “dalam pemiki-ran seopemiki-rang Marxis seperti Lukacs: partai komunis mesti menanamkan ideologinya kepada rakyat untuk mengarahkan ke-butuhan rakyat sehingga selaras dengan prinsip-prinsip sosialisme.” “Itu juga yang terjadi dalam Lenin,” tambah kawan Anom, “Partai sebagai vanguard [pelopor]

kelas buruh yang akan mengarahkan mereka untuk mengenali apa yang mer-eka butuhkan dan apa yang tidak mermer-eka butuhkan.” Problem dari pembacaan itu adalah konsepsi sosialis tentang kebutu-han cenderung menjadi identik dengan konsepsi borjuis tentangnya: kebutuhan adalah sesuatu yang direproduksi secara ideologis—“disuntikkan”—oleh segu-gus instansi tertentu (Partai, misalnya) ke dalam massa proletariat. Dengan kata lain, kebutuhan menjadi produk dari me-kanisme reproduksi atas “deprivasi rela-tif” (perasaan kesenjangan antara yang ada dan yang semestinya ada, antara

das Sein dan das Sollen)—suatu produksi atas kekurangan (lack). Padahal justru kekurangan inilah yang difabrikasi dan dipertahankan oleh rezim kapitalis un-tuk menjalankan roda perekonomian-nya: masyarakat sebagai konsumen yang dikondisikan—via teknologi iklan dan pemasaran—untuk terus membutuhkan komoditas (misalnya, pencitraan tentang

i-pod sebagai media canggih untuk me-nikmati musik walaupun sudah ada tele-pon seluler yang memiliki teknologi yang sama).

Terhadap kebuntuan mengenai konsepsi sosialis tentang kebutuhan, solusi alamiahnya adalah dengan menca-ri ke belakang, menuju suatu fase histomenca-ris pra-kapitalis di mana kebutuhan belum berarti fabrikasi simbolik, ke suatu masa di mana manusia hanya memiliki “ke-butuhan-kebutuhan alami”-nya saja. Ini adalah implikasi dari pernyataan bahwa kapitalisme itu bermasalah karena ia ti-dak alamiah. Posisi ini bisa menjadi prob-lematis apabila ketidakalamiahan kapi-talisme itu dimengerti sebagai sesuatu yang akan diselesaikan oleh sosialisme sebagai suatu gerak kembali kepada apa yang alamiah. Implikasi dari posisi ini akan mengarah pada asumsi tentang adanya suatu kondisi alamiah yang primordial, yang asali, di mana tak ada kebutuhan yang tak terfabrikasi, di mana yang ada

hanyalah kebutuhan alami manusia—dan kondisi ini diandaikan ada di suatu awal sejarah, pada sebuah “masyarakat primitif”. Artinya, argumen ini bersandar pada postu-lat yang problematis, yang pra-Marxis, yak-ni postulat tentang “Taman Eden” di mana Adam dan Hawa hidup secara alamiah sebe-lum ditipu oleh ular beludak. Apabila betul bahwa Marxisme adalah kritik atas repre-sentasi atau logika mediasi, ini tidak berarti Marxisme menjadi upaya nostalgis untuk kembali kepada suatu presentasi murni atau imediasi asali di awal mula sejarah. Ideal-isasi tentang imediasi primitif hanya mung-kin sebagai ilusi tentang imediasi. Jika benar bahwa apa yang diupayakan Marx adalah formulasi baru tentang imediasi atau pre-sentasi, maka imediasi/presentasi ini hanya dimungkinkan sebagai proyek yang mesti dikonstruksikan ke depan, dan bukan dicari-cari ke belakang sejarah. Apa yang didicari-carinya bukanlah sosialisme alamiah melainkan so-sialisme yang ilmiah. Dalam arti inilah kita masih dapat mengartikan Marxisme sebagai

filsafat masa depan, sebagai filsafat yang se -cara konseptual optimis pada progress, pada fajar merah sosialisme yang akan tiba. ia jang lahir dalam kantjah perdjuangan kini sudah besar dan mendjadi dewasa; dia jang dibesarkan dalam dadung

pertem-puran

beribu-ribu gugur, namun berdjuta men-gangkat pandjinja.

orang-orang munafik dan kerdil pikiran

sia mengintip rahasia:

mengapa sedjarah berpihak kepada klas jang paling muda?

mengapa komunisme kian merata, ter-udji, dan ditjinta?

dan bagi rakyat pekerdja, pedjuang pro-letariat ubanan tetap remadja?

siang bertukar malam dan malam ber-ganti pagi

ribuan tahun manusia terbenam di lum-pur perbudakan

dan di kegelapan pikiran itu marx dan engels memertjikkan api

dan di tiap negeri berkumandanglah lagu kebangkitan.

seorang egom mati di tiang-gantungan seorang aliarcham tewas di

tanah-buan-gan;

generasi baru datang, beladjar tentang keberanian dan kearifan

satu demi satu musuh dikalahkan dan satu demi satu direbut kemenangan. marxisme-leninisme menemap

perd-juangan kelas

dan perdjuangan klas menjemai marx-isme-leninisme;

o, repolusi tjermelang, jang sedang di-siapkan nasion-nasion tertindas dalam abad ini djuga kita punahkan

im-perialisme.

—Agam Wispi (Kepada Partai: Kumpulan Sandjak; Yayas-an PembaruYayas-an, Jakarta, 1965)

(4)

Problem Filsafat

No. 3 / Tahun I / Februari 2010

Problem Filsafat

Yang Berdaya Beli atau Yang

Berdaya Jual?

oleh: I Gusti Anom Astika

I

Setelah enam alinea pengantar, maka sekarang sebaiknya dari pengantar itu, atau dengan menggunakan kerangka yang mungkin dibangun melalui pengan-tar itu, kita mulai membaca kalimat-ka-limat awal dari Bagian 1 Bab 1 buku Das Kapital.

Kalimat 1 Alinea 1 Bab 1 Bagian 1 Das Kapi-tal:

Kesejahteraan/Kemakmuran dari semua masyarakat yang berada dalam lingkup mode produksi kap-italis, selalu menampilkan dirinya sebagai “akumulasi berbagai rupa komoditas secara besar besaran”, yang masing masingnya terbagi atas unit komoditas tunggal.

Pernyataan awal Marx ini seperti yang sudah saya tuliskan dalam “Enam Alinea Pengantar”, adalah sebuah perbai-kan dari A Contribution to the Critique of Political Economy. Anggap saja, perbaikan tersebut adalah oleh karena perkemban-gan pemikiran Marx. Akan tetapi yang belum diubah dari struktur kebahasaan-nya adalah penggunaan kata “wealth”, “accumulation”, dan “commodity”. Apa-bila dipelajari dari beberapa tulisan Marx sebelum Capital, pemaknaan kata ‘wealth’ –yang dalam bahasa Indonesia saya kira bisa saling dipertukarkan terjemahannya, apakah itu kesejahteraan, kemakmuran ataupun kekayaan-- dapat dielaborasi menurut problem-problem yang diajukan-nya pada masing masing tulisan. Di dalam

Manuskrip Paris 1844, ‘wealth’ dipelajari

oleh Marx sebagai sesuatu yang prob-lematis, seperti yang terungkap dalam kutipan berikut:1

Teks Asli:

But the rate of profit does not, like

rent and wages, rise with the pros-perity and fall with the decline of the society. On the contrary, it is natu-rally low in rich and high in poor countries, and it is always highest in the countries which are going fast-est to ruin. The interfast-est of this class, therefore, has not the same connec-tion with the general interest of the society ….. To widen the market and to narrow the sellers’ competition is always the interest of the dealer.... This is a class of people whose inter-est is never exactly the same as that of society, a class of people who have generally an interest to deceive and to oppress the public.

Terjemahan Bebas: Tetapi tingkat keuntungan (kapi-tal), tidak seperti sewa dan upah, yang tumbuh bersama kemak-muran dan hancur bersering dengan kemiskinan masyarakat. Sebaliknya, keuntungan itu jus-tru rendah di negeri negeri yang kaya dan tinggi di negeri negeri miskin, selalu menjadi yang ter-tinggi di negeri ngeri yang segera akan mengalami kehancuran. Karenanya kepentingan klas ini tidak memiliki kaitan yang sama dengan kepentingan umum ma-syarakat.... (kepentingannya) sekedar memperluas pasar dan menyempitkan kompetisi di

an-tara penjual … Inilah klas dari orang orang yang kepentingannya tidak pernah sama persis dengan kepent-ingan masyarakat. Inilah klas dari orang orang yang umumnya berke-pentingan untuk menipu dan menin-das publik.

Ia problematis oleh karena kemakmuran dan atau kemiskinan masyarakat itu tidak pernah diberikan oleh kapital, oleh kare-na kapital tidak perkare-nah berpikir tentang bagaimana membangun ekonomi masyara-kat, melainkan lebih pada bagaimana me-manfaatkan masyarakat untuk menciptakan keuntungan bagi dirinya. Sehingga di dalam

Poverty of Philosophy Marx lalu melanjutkan pemahamannya tentang hal kesejahteraan:2

Teks Asli:

Society as a whole has this in common with the interior of a workshop, that it too has its division of labor. If one took as a model the division of labor in a modern workshop, in order to apply it to a whole society, the society best organized for the production of wealth would undoubtedly be that which had a single chief employer,

distributing tasks to different members of

the community according to a previously

fixed rule. But this is by no means the

case. While inside the modern workshop the division of labor is meticulously reg-ulated by the authority of the employer, modern society has no other rule, no oth-er authority for the distribution of labor than free competition.

Terjemahan Bebas:

Masyarakat secara keseluruhan, me-miliki hal yang sama dengan bagian dalam dari sebuah sanggar kerja, sehingga masyarakat pun memiliki pembagian kerjanya. Jika sesorang mengambil pembagian kerja dalam sanggar modern sebagai model, dalam rangka menerapkannya pada keseluruhan masyarakat, maka ma-syarakat paling baik diorganisasikan

untuk produksi kesejahteraan, yang pastinya akan memiliki seorang kepala pekerja, yang mendistribusikan tugas tugas ke berbagai anggota dari komuni-tas menurut aturan yang sudah disepakati. Tapi inilah perso-alannya. Ketika di dalam sang-gar kerja modern pembagian kerja begitu rinci diatur oleh oto-ritas kepala pekerja, masyarakat modern tidak memiliki aturan yang lain, tidak ada otoritas lain untuk pembagian kerja, kecuali kompetisi bebas.

Problematik yang digambarkan oleh Marx dalam rangka melawan ide pem-bagian kerja Proudhon menjadi lebih rumit, oleh karena ‘wealth’ di sini seb-agai aktivitas yang dapat memenuhi ke-butuhan kerja anggota komunitas yang juga harus berhadapan dengan bangu-nan yang lebih besar yaitu kapitalisme dengan kompetisi bebasnya. Artinya, “kesejahteraan” sebagai bentuk peng-harapan manusia akan penciptaan sur-ga dunia tidak akan pernah mampu di-wujudkan sepanjang realisasi dari surga dunia itu selalu dapat diperangi dan lalu dikalahkan oleh kapitalisme. Oleh sebab itu di dalam Preface to A Contri-bution to the Critique of Political Economy, Marx kemudian menyatakan:3

Teks Asli:

In broad outline, the Asiatic, an-cient, feudal and modern bourgeois modes of production may be desig-nated as epochs marking progress in the economic development of society. The bourgeois mode of production is the last antagonistic form of the so-cial process of production – antago-nistic not in the sense of individual antagonism but of an antagonism that emanates from the individu-als’ social conditions of existence

(5)

Problem Filsafat

No. 3 / Tahun I / Februari 2010

Problem Filsafat

– but the productive forces developing

within bourgeois society create also the material conditions for a solution of this antagonism.

Terjemahan Bebas:

Dalam kerangka yang lebih luas, mode-mode produksi Asiatik, An-tik, Feodal dan Borjuis modern mungkin dirancang sebagai epik yang menandai kemajuan di dalam perkembangan ekonomi masyara-kat. Mode produksi borjuis adalah bentuk antagonistik yang terakhir dari proses produksi sosial –an-tagonistik tidak dalam pemikiran antagonisme individual tetapi an-tagonisme yang mengemanasi dari eksistensi kondisi sosial individu-- tetapi perkembangan kekuatanindividu-- kekuatan-kekuatan produktif di dalam ma-syarakat borjuis menciptakan juga kondisi material untuk solusi dari antagonisme ini.

Perspektif yang demikian itu boleh jadi op-timistik dan belum selalu benar kejadian-nya di kemudian hari. Sampai-sampai satu orang hingga ribuan orang berpikir bahwa Marx sudah waktunya diabaikan dari du-nia pemikiran karena optimismenya lebih serupa utopia. Baiklah, kalau memang bukan utopia, maka sebut saja namanya tiga kali, maka terjadilah sosialisme! Se-benarnya bukan seperti itu cara berpikir untuk mempelajari pemikiran Marx. Ada banyak hal yang perlu diperhatikan di dalam pemikiran Marx sehubungan den-gan persoalan ‘wealth’ atau kesejahter-aan di muka. Pertama, sebagaimana yang telah diungkap melalui penggal-penggal tulisannya, ‘wealth’ atau kesejahteraan adalah sebuah fenomena yang belum sela-lu melandasi keberadaan masyarakat, dan oleh karenanya juga merupakan sesuatu yang problematis. Adanya kesejahteraan adalah oleh karena perkembangan eko-nomi, tetapi perkembangan ekonomi itu sendiri dikendalikan oleh kelompok

so-sial yang tidak perduli dengan adanya masyarakat, dan kepentingannya sejauh menciptakan keuntungan bagi dirinya sendiri. Oleh karenanya, realisasi dari kesejahteraan dan atau penciptaan kes-ejahteraan itu sendiri perlu diperhatikan dengan berbasis pada perspektif yang meletakkan manusia/masyarakat sebagai kekuatan-kekuatan produktif. Dalam hal ini, sebagai poin yang kedua, Marx coba menggambarkan kesejahteraan dalam bentuk yang paling sederhana yaitu upah dalam lingkup mode produksi kapitalis yang dapat diperhatikan melalui kutipan berikut:4

Teks Asli:

Wages will now rise, now fall, ac-cording to the relation of supply and demand, according as competition shapes itself between the buyers of labor-power, the capitalists, and the sellers of labor-power, the workers.

The fluctuations of wages correspond to the fluctuation in the price of com -modities in general. But within the

limits of these fluctuations the price of

labor-power will be determined by the cost of production, by the labor-time necessary for production of this com-modity: labor-power.

Terjemahan Bebas: Naik-turunnya upah akan me-nyesuaikan dengan hubungan penawaran dan permintaan, me-nyesuaikan pada perubahan yang terjadi di dalam persaingan antara pembeli tenagakerja, yaitu kaum kapitalis, dengan penjual tenagak-erja, yaitu kaum buruh. Turun-naiknya upah pada umumnya bersesuaian dengan turun-nai-knya harga-harga barang-dagan-gan. Tetapi di dalam turun-naik ini harga kerja akan ditentukan oleh biaya produksi, oleh waktu kerja yang diperlukan untuk menghasilkan barang-dagangan

ini–tenaga kerja.

Lalu perhatikan juga bagaimana Marx mendekati persoalan kelas-kelas sosial dalam kaitannya dengan kesejahteraan:5

Teks Asli:

Here, however, there enters another consideration. The manufacturer who calculates his cost of production and, in accordance with it, the price of the product, takes into account the wear and tear of the instruments of labor. If a machine costs him, for example, 1,000 shillings, and this machine is used up in 10 years, he adds 100 shillings annually to the price of the commodities, in order

to be able after 10 years to replace the

worn-out machine with a new one. In the same manner, the cost of production of simple labor-power must include the cost of propagation, by means of which the race of workers is enabled to multi-ply itself, and to replace worn-out work-ers with new ones. The wear and tear of the worker, therefore, is calculated in the same manner as the wear and tear of the machine.

Terjemahan Bebas:

Tetapi masih ada juga pertimbangan lain. Tuan-pabrik dalam menghitung biaya produksinya dan, sesuai den-gan itu, harga baranghasil-barang-hasil memperhitungkan pengausan perkakas- perkakas kerja. Jika, mis-alnya, suatu mesin baginya berhar-ga 1000 mark dan akan aus dalam waktu sepuluh tahun, maka dia akan menambahkan 100 mark tiap-tiap tahunnya pada harga barang-dagangan-barangdagangan, supaya dapat mengganti mesin- mesin yang sudah aus itu dengan mesin baru pada akhir sepuluh tahun. Dengan cara yang sama, dalam menghitung biaya produksi tenagakerja yang sederhana, harus dimasukkan biaya reproduksi yang memungkinkan ras

buruh berbiak dan buruh yang sudah aus diganti dengan yang baru. Jadi penyusutan harga bu-ruh diperhitungkan dengan cara yang sama seperti penyusutan harga mesin-mesin.

Apa yang disampaikan oleh Marx di dalam dua alinea di muka sebenarnya berdasar pada anggapan bahwa ‘ke-sejahteraan’ bukanlah sesuatu yang dibangun melalui konsep-konsep arit-metik dan bukan juga abstraksi dari se-buah keadaan yang dianggap sejahtera. Apakah lalu problem kesejahteraan ini lalu dapat dianggap sebagai bentuk kepedulian Marx terhadap kaum bu-ruh, dan oleh karenanya ‘kesejahteraan’ disamaartikan dengan upah?

Boleh jadi pendapat berupa pertanyaan barusan itu benar sepan-jang ‘kesejahteraan’ itu sendiri dilepas-kan dari konteks proses penciptaan kesejahteraan. Akan tetapi di dalam cuplikan teks di muka problem yang diajukan oleh Marx justru bukan pada

bagaimana kesejahteraan didefinisikan,

melainkan lebih pada bagaimana

kes-ejahteraan –dalam pengertian fisiknya

yang paling sederhana yaitu upah-- berlaku sebagai dasar bagi penentuan standar hidup para pekerja. Artinya di sini bukan upah sama dengan kes-ejahteraan, tetapi lebih pada bagaimana

upah dijadikan dasar untuk menentu -kan standar kesejahteraan lewat wa-cana permintaan dan penawaran yang berlaku sebagai hukum ekonomi liber-al. Lebih jauh lagi, kesejahteraan di sini adalah gambaran tentang bagaimana kekuatan-kekuatan produktif nilainya ditentukan oleh hubungan industrial, hubungan jual beli antara pemilik pabrik dan penjual tenaga kerja. Oleh Stephen Shapiro, pemikiran Marx di dalam alinea awal buku Kapital dise-but sebagai kritik terhadap pemikiran Adam Smith sehubungan dengan

(6)

peng-Problem Filsafat

0

No. 3 / Tahun I / Februari 2010

Problem Filsafat

gunaan frase ‘wealth of society’ sebagai la-wan dari ‘wealth of nations’ . Tetapi bukan di sana letak soalnya bila melihat Adam Smith berpendapat:7

Teks Asli:

The money price of labour is necessari-ly regulated by two circumstances; the demand for labour, and the price of the necessaries and conveniences of life. The demand for labour, according as it happens to be increasing, stationary, or declining, or to require an increasing, stationary, or declining population, determines the quantity of the neces-saries and conveniencies of life which must be given to the labourer; and the money price of labour is determined by what is requisite for purchasing this quantity. Though the money price of labour, therefore, is sometimes high where the price of provisions is low, it would be still higher, the demand con-tinuing the same, if the price of provi-sions was high. It is because the demand for labour increases in years of sudden and extraordinary plenty, and diminishes in those of sudden and extraordinary scarcity, that the money price of labour sometimes rises in the one and sinks in the other.

Terjemahan Bebas:

Harga jual dari kerja pada dasarnya diatur menurut dua situasi; per-mintaan akan (tenaga) kerja, dan harga untuk berbagai kebutuhan dan kenyamanan hidup. Perminta-an akPerminta-an tenaga kerja, menurut apa yang terjadi akan meningkat, tetap, atau menurun, atau menun-tut peningkatan, kestabilan atau penurunan populasi, semuanya menentukan kuantitas berbagai kebutuhan dan kenyamanan hidup yang harus diberikan kepada pe-kerja; dan harga jual (tenaga) kerja ditentukan oleh apa yang disyarat-kan untuk membeli kuantitas ini.

Karenanya, walaupun harga jual (tenaga) kerja kadang kadang tinggi ketika harga bahan pangan rendah, harga jual itu tetap akan meningkat, dan permintaan akan tenaga kerja juga akan sama me-ningkat, kalaupun harga bahan pangan meninggi. …..Ini karena permintaan akan tenaga kerja me-ningkat ketika masa masa yang tiba-tiba berkelimpahan, dan menurun ketika masa masa serba kekurangan, sehingga harga jual tenaga kerja kadang naik, kadang turun.

Jadi perlu dipahami bahwa kritik Marx terhadap Adam Smith tidak sebatas penggunaan frasa di muka. Lebih jauh lagi, Marx menunjukkan problematik pemikiran Adam Smith yang tidak akan pernah mampu menjawab persoalan ke-sejahteraan yang diasalkan dari logika nasib “sekarang untung besok buntung”. Tidak ada kesejahteraan yang mungkin dihasilkan melalui perumpamaan-pe-rumpamaan tentang nasib hidup yang tak menentu. Oleh karenanya juga, problematik kesejahteraan perlu diper-hatikan dalam perspektif membangun kesejahteraan yang alternatif, yang bu-kan berangkat dari perspektif akumu-lasi komoditas, melainkan yang berasal dari berbagai persepsi tentang kebaikan publik dan kehendak mendistribusikan kebutuhan pokok masyarakat secara adil dan merata.

Barangkali lalu dipertanyakan, memang apa salahnya dengan akumula-si komoditas kalaupun itu yang memang diperlukan untuk membangun atau menciptakan kesejahteraan? Apa lagi yang bisa dilakukan di tengah lingkup kehidupan yang sudah kadung sepenuh-nya dimediasi oleh uang dan pasar? Oleh karena apa perlu mendistribusikan segala sesuatu secara adil dan merata? Pertanyaan-pertanyaan ini belum selalu

dapat dijawab dengan baik oleh banyak

dari penulis Marxis yang membahas buku

Capital. Aku sendiri awalnya belum mampu menjawab semua pertanyaan di muka, se-lain argumen argumen etis yang melatar-belakangi adanya kebutuhan untuk ber-pikir tentang Sosialisme sebagai alternatif dari Kapitalisme. Tetapi aku lalu berupaya mempelajari beberapa karya Marx dalam perjalanannya membuat buku Capital. Per-tama aku mencoba mempelajari kembali

Wage Labour and Capital: Teks Asli:

The capitalist supplies him with the loom and yarn. The weaver applies him-self to work, and the yarn is turned into cloth. The capitalist takes possession of the cloth and sells it for 20 shillings, for example. Now are the wages of the weaver a share of the cloth, of the 20 shillings, of the product of the work? By no means. Long before the cloth is sold, perhaps long before it is fully woven, the weaver has received his wages. The capitalist, then, does not pay his wages out of the money which he will obtain from the cloth, but out of money already

on hand. Just as little as loom and yarn

are the product of the weaver to whom they are supplied by the employer, just

so little are the commodities which he

receives in exchange for his commod-ity – labour-power – his product. It is possible that the employer found no pur-chasers at all for the cloth. It is possible that he did not get even the amount of the wages by its sale. It is possible that

he sells it very profitably in proportion

to the weaver’s wages. But all that does not concern the weaver. With a part of his existing wealth, of his capital, the capitalist buys the labour-power of the weaver in exactly the same manner as, with another part of his wealth, he has bought the raw material – the yarn – and the instrument of labour – the loom.

Terjemahan Bebas: Sang kapitalis menyediakan benang tenun dan perkakas te-nun kepada si penete-nun. Ia mu-lai bekerja dan benang diubah menjadi pakaian. Sang kapitalis mengambilalih kepemilikan atas pakaian itu dan menjual-nya seharga 20 Shilling, misal-nya. Sekarang apakah upah dari si penenun adalah andil dari pakaian, dari 20 Shilling, dari produk kerja? Tidak sama sekali.

Jauh sebelum pakaian itu dijual,

mungkin jauh sebelum pakaian itu ditenun, si penenun telah me-nerima upahnya. Sang kapitalis, lalu, tidak membayar upahnya dari uang yang dia akan dapat-kan dari pakaian, tapi dari uang yang sudah ada di tangan. Sama sedikitnya dengan benang dan alat tenun yang disediakan oleh sang kapitalis untuk si penenun bekerja, maka sesedikit itu pula komoditas yang diterimanya sebagai pertukaran dari komo-ditasnya –tenaga kerja-- dengan produknya. Mungkin sekali sang kapitalis tidak mendapat-kan pembeli bagi semua pakai-annya. Mungkin sekali ia bah-kan tak mendapatbah-kan jumlah uang yang sama dengan upah kerja melalui penjualan. Mung-kin sekali kalau dia menjualnya sesuai dengan proporsi upah penenun. Tapi semuanya tidak ada hubungannya dengan pene-nun. Dengan sebagian kekay-aannya, dari modalnya, sang kapitalis membeli tenaga kerja penenun dengan cara yang sama persis seperti ia membeli bahan mentah –benang-- dan alat kerja –alat tenun.

(7)

Problem Filsafat

No. 3 / Tahun I / Februari 2010

Problem Filsafat

Bagi Marx, ‘kesejahteraan’ dalam kondisi masyarakat yang kapitalistik adalah sesuatu yang menyembunyikan berbagai macam bentuk realitas penin-dasan dan penghisapan. Bahkan dikemu-kakannya dengan begitu jelas bahwa

Walaupun demikian, Marx ber-pendapat bahwa hal ‘kesejahteraan’ itu berasal dari sesuatu yang disebut den-gan komoditas atau barang daden-ganden-gan, yang diakumulasi secara besar besaran, yang dengan demikian melalui penjela-san tentang hal kesejahteraan di muka, praktek akumulasi itu mampu menyem-bunyikan realitas perdagangan di antara pekerja, atau penjual tenaga kerja, dan pemilik pabrik, atau pembeli tenaga kerja. Apa yang perlu diperhatikan lebih lanjut adalah bagaimana pemahaman tentang kesejahteraan itu berdialektika dengan proses produksi komoditas.

Kalimat 1-3 Alinea 2 Bab 1 Bagian 1 Das Kapital:

Barang-dagangan/komoditas adalah, pertama-tama, suatu ben-da di luar kita, suatu barang yang dengan sifat-sifatnya memuaskan/ memenuhi, dengan satu dan lain cara, kebutuhan manusia. Sifat kebutuhan ini, apakah misalnya timbul dari perut, atau dari khaya-lan, tidak mengubah soalnya. Juga tidak menjadi soal bagaimana ba-rang itu memenuhi kebutuhan manusia, apakah secara langsung sebagai kebutuhan hidup, yaitu se-buah objek konsumsi, atau secara tidak langsung sebagai suatu alat produksi.

Adanya komoditas, seperti yang sudah

dijelaskan oleh Marx, bermula dari pema -haman tentang kebergunaan sebuah ba-rang, dan oleh sebab adanya pertukaran. Tetapi bukan berarti komoditas adalah langsung muncul dari pikiran manusia. Ia tetap merupakan hasil kerja manusia,

hasil produksi masyarakat yang dalam tahap perkembangan sejarah tertentu dapat dipertukarkan seiring dengan yang di dalam hal ini berkait dengan dialektika diantara proses penciptaan barang dan proses-proses sosial yang memungkinkan terjadinya proses pen-ciptaan tersebut.

Selain itu keberadaan barang tersebut secara sosial juga turut me-nentukan kebergunaannya, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Adanya perbedaan sifat di antara barang yang satu dengan barang yang lain tidak mengandaikan adanya perbedaan keber-gunaan dari sebuah barang. Ia berguna sejauh mampu memenuhi kebutuhan manusia, apapun sifat kepenuhan atau kepuasan yang didapat dari barang tersebut. Bahkan dalam perbandingan dengan barang-barang yang lain pun, kebergunaan dari sebuah barang dapat dipahami sebagai sesuatu yang dialektis. Dalam artian, bahwa kebergunaan ba-rang tersebut berbeda bagi satu individu dengan individu yang lain, satu kelom-pok dengan kelomkelom-pok yang lain dan itu semua merupakan sesuatu yang historis. Contohnya kayu jati. Bagi masyarakat Blora kayu jati adalah sekedar bahan un-tuk membuat perlengkapan kebutuhan hidup. Ia mudah didapat karena Blora berada dalam kawasan hutan Jati. Tetapi bagi masyarakat Jakarta, kayu jati adalah sesuatu yang kualitatif, yang mengandai-kan kemewahan, lepas dari kegunaan-nya secara sosial. Sehingga mungkin ini yang dimaksud oleh Marx dengan “... Demikian juga penetapan tolok-ukur yang diakui secara sosial bagi kuantitas-kuantitas barang-barang yang berguna ini”.

Persoalannya lebih lanjut adalah pada bagaimana kita dapat berpikir atau memikirkan tentang kebergunaan se-buah barang? Apakah diskusi diskusi di berbagai jaringan sosial virtual me-nentukan apakah nasi itu berguna atau

tidak, sama seperti ketika kita

mendiskusi-kan keunggulan fitur-fitur dari perangkat

komunikasi digital seri terbaru? Tentunya siapapun individu di dunia ini tidak perlu menarik abstraksi terlalu jauh untuk men-getahui arti penting makan dan minum seb-agaimana juga berbahasa dan berpikir.

II

Setelah alinea pertama, aku men-coba kembali membahas alinea berikutnya. Seperti yang sudah ditegaskan di dalam diskusi pekan lalu, problematik kesejahter-aan, kerja dan produksi barang dagangan merupakan tema-tema sentral di dalam pe-mikiran Marx. Pada kutipan berikut penting diperhatikan keberadaan dari komoditas sebagai bagian dari proses perkembangan peradaban manusia, dan sebagai bagian dari usaha penciptaan kesejahteraan dalam masyarakat kapitalis.

Kalimat 1 Alinea 2 Bab 1 Bagian 1 Das Kapi-tal:

Barang-dagangan/komoditas adalah, pertama-tama, suatu benda di luar kita, suatu barang yang dengan si-fat-sifatnya memuaskan/memenuhi, dengan satu dan lain cara, kebutu-han manusia.

Per definisi Marx di sini menjelas -kan tentang sifat asing dari komoditas, dan tentang hal ini diskusi pekan lalu su-dah membahasnya. Tetapi coba perhatikan bahwa di dalam kalimat yang sama di muka Marx tidak menunjukkan adanya kesejara-han dari komoditas. Artinya apabila pers-pektif historis melandasi pemikiran Marx

mengapa di dalam definisi sentral ini tidak

tampil pencerminan dari proses penciptaan komoditas? Pertanyaan ini sudah pasti akan

dapat dijawab secara serampangan dengan

menyatakan bahwa itu adalah kalimat pen-gantar, sementara pada bagian 1 buku ini akan menjelaskan secara lebih rinci bagaima-na proses penciptaan komoditas. Aku sebut

serampangan, karena jawaban seperti itu tidak akan pernah menjawab apa yang aku tanyakan sebelumnya. Kare-nanya aku kan coba mengutip penjela-san yang diberikan oleh Marx di dalam

Preface of Contribution to the Critique of Political Economy, sebagai acuan untuk menjawab pertanyaan di muka.

Teks Asli:

I examine the system of bourgeois economy in the following order: capital, landed property, wage-la-bour; the State, foreign trade, world market. The economic conditions of existence of the three great classes into which modern bourgeois soci-ety is divided are analysed under

the first three headings; the inter -connection of the other three

head-ings is self-evident. The first part of the first book, dealing with Capital,

comprises the following chapters: 1. The commodity, 2. Money or simple circulation; 3. Capital in general.

Terjemahan Bebas: Saya menyelidiki sistem eko-nomi borjuis dalam urut-uru-tan berikut: Kapital, Kepe-milikan tanah, Kerja upahan: Negara, Perdagangan Asing, Pasar Dunia. Kondisi ekonomi yang melandasi keberadaan dari tiga kelas besar yang me-milah-milah masyarakat borjuis modern dianalisa melalui tiga hal pertama di muka, semen-tara saling keterkaitan di ansemen-tara tiga hal lainnya sudah terjadi dengan sendirinya. Bagian per-tama dari buku perper-tama, sehu-bungan dengan buku Kapital, mencakup bab bab berikut: 1. Komoditas, 2. Uang atau Sirku-lasi sederhana, 3. Kapital secara umum.

(8)

Problem Filsafat

No. 3 / Tahun I / Februari 2010

Problem Filsafat

Berangkat dari acuan di muka, maka dapat dipikirkan lebih jauh bahwa komo-ditas di sini bukan sekedar obyek pemba-hasan yang sederhana dan ringkas. Akan tetapi, komoditas di sini lebih serupa basis

pijakan untuk memperhatikan kesejahter

-aan yang diciptakan oleh kapitalisme. Bagaimana mungkin komoditas menjadi

basis pijakan sementara per definisinya

tidak mencerminkan konteks historis dari komoditas itu sendiri? Adanya komoditas di sini tidak sekedar sebagai produk atau hasil dari kapitalisme, akan tetapi komo-ditas juga dipahami sebagai sebuah cara berpikir, dan cara berproduksi sesuai den-gan proses perkembanden-gan kapitalisme. Artinya di sini diandaikan sudah oleh Marx bahwa problematik komoditas se-lalu berpangkal pada persoalan-persoalan historis. Ada baiknya kita memperhatikan pernyataan Marx dalam Grundrisse:8

Teks Asli:

1. All production is appropriation of nature on the part of an individual

within and through a specific form of

society. In this sense it is a tautology to say that property (appropriation) is a precondition of production. But it is altogether ridiculous to leap from

that to a specific form of property, e.g.

private property. (Which further and equally presupposes an antithetical form, non-property.) History rather shows common property (e.g. in ln-dia, among the Slavs, the early Celts, etc.) to be the more [8] original form, a form which long continues to play

a significant role in the shape of com -munal property. The question whether

wealth develops better in this or anoth -er form of prop-erty is still quite beside the point here. But that there can be no production and hence no society where some form of property does not exist is a tautology. An appropriation which does not make something into property is a contradictio in subjecto.

Terjemahan Bebas: 1. Semua produksi adalah penye-suaian atas alam dimana individu berada di dalamnya, dan

me-lalui bentuk spesifik masyarakat.

Dalam kerangka ini adalah se-buah tautologi untuk mengatakan properti atau kepemilikan adalah prakondisi untuk produksi. Tapi juga sama tidak masuk akalnya untuk meloncat dari bentuk kepe-milikan tersebut menjadi bentuk kepemilikan tertentu, yaitu kepe-milikan pribadi. Sejarah lebih menunjukkan bahwa kepemilikan bersama adalah bentuk yang leb-ih asli sebuah bentuk yang kemu-dian memainkan peran penting di dalam pembentukan kepemi-likan komunal. Persoalan apakah kesejahteraan berkembang lebih baik dalam bentuk kepemilikan komunal atau dalam bentuk yang lain adalah persoalan yang berbe-da. Tetapi bahwa tidak mungkin terdapat produksi dan karenanya tidak ada masyarakat di mana be-berapa pentuk kepemilikan tidak eksis adalah tautologi. Sebuah perampasan yang tidak membuat sesuatu menjadi kepemilikan adalah kontradisi dalam subyek.

Apabila memperhatikan penjelasan-penjelasan yang sudah di-berikan di muka, terutama keterkaitan di antara kesejahteraan, pekerja, dan ko-moditas, maka akan menjadi jelas bahwa komoditas atau barang dagangan tidak dapat diandaikan sebagai sesuatu yang berlaku sebagai bagian dari kehidupan manusia. Ia sesuatu yang tidak lahir dari kesadaran manusia untuk memproduksi kebutuhan hidupnya, melainkan lahir sebagai upaya mereboisasi kepentingan politik kapitalisme di dalam melakukan pengorganisasian tenaga kerja demi pe-nyelenggaraan produksi komoditas, dan

akhirnya keuntungan maupun perputaran

keuntungan finansial.

Selain itu Marx juga mencoba mem-berikan perspektif bahwa setiap hubungan produksi ataupun bentuk produksi selalu menciptakan hubungan hukumnya sendiri, maupun bentuk pemerintahannya sendiri. Dan oleh karenanya, proses produksi komo-ditas tidak bisa dilihat semata-mata sebagai upaya meraih keuntungan sebanyak-ban-yaknya dengan biaya sekecil-kecilnya. Itu akan mengembalikan kita pada pemahaman Adam Smith tentang ‘uang dalam geng-gaman’, atau melihat hubungan-hubungan produksi sebagai sekedar persoalan perilaku manusia tanpa ada upaya untuk melihatnya lebih dalam lagi. Sehingga proses produksi komoditas, ataupun konsepsi tentang komo-ditas itu sendiri di dalam banyak hal adalah sesuatu yang historis. Bahkan di dalam In-troduction to A Contribution to the Critique of Political Economy, Marx memberikan pen-dasaran epistemologisnya sebagai berikut:9

Teks Asli:

Individuals producing in a society, and hence the socially determined production of individuals, is of course the point of de-parture. The solitary and isolated hunter

or fisherman, who serves Adam Smith

and Ricardo as a starting point, is one of the unimaginative fantasies of 18th cen-tury romances a la Robinson Crusoe;.... They saw this individual not as a his-torical result, but as the starting-point of history; not as something evolving in the course of history, but posited by nature, because for them this individual was in conformity with nature, in keeping with their idea of human nature. Man is a “zoon politikon” [social animal] in the most literal sense: he is not only a social animal, but an animal that can individu-alize himself only within society. Pro-duction by an isolated individual outside society -- a rare event, which might occur when a civilized person who has already absorbed the dynamic social forces is

ac-cidentally cast into the wilderness -- is just as preposterous as the de-velopment of speech without indi-viduals who live together and talk to one another.

Terjemahan Bebas: Individu-individu yang ber-produksi di dalam masyarakat, dan karenanya produksi indi-vidu yang ditentukan secara so-sial, adalah titik berangkatnya. Pemburu atau penangkap ikan yang menyendiri dan teriso-lasi, yang berlaku sebagai titik keberangkatan dari pemiki-ran Adam Smith dan Ricardo, adalah fantasi fantasi yang ti-dak imajinatif dari romansa abad ke 18 seumpama kisah Robinson Crusoe; ….. Mereka melihat individu ini bukan se-bagai produk historis, tetapi sebagai titik keberangkatan sejarah; tidak sebagai sesuatu yang bergerak dalam bidang sejarah, tetapi ditempatkan oleh alam, karena bagi mereka individu ini sudah bersesuaian dengan alam, agar sesuai den-gan pemikiran mereka tentang hakekat manusia. Manusia adalah “zoon politikon” [bina-tang sosial] dalam makna yang

paling harafiah; manusia tidak

hanya adalah binatang sosial, tetapi juga binatang yang dapat mengindividualisasikan dirinya hanya di dalam masyarakat. Produksi yang dilakukan oleh individu yang terisolasi di luar masyarakat –sebuah kejadian yang jarang, yang mungkin muncul ketika seorang yang beradap yang telah menyerap dinamika kekuatan kekuatan sosial secara tiba tiba diletakkan di dalam alam keliaran-- adalah sama tidak masuk akalnya

(9)

den-Problem Filsafat

No. 3 / Tahun I / Februari 2010

Problem Filsafat

gan perkembangan kemampuan berbicara manusia yang dapat muncul tanpa ada alam hidup ber-sama dan perbincangan antara satu manusia dengan yang lainnya.

Penjelasan yang diberikan oleh Marx di muka dalam kaitannya dengan pembentukan konsep tentang komoditas lebih berkenaan dengan bagaimana se-buah sese-buah pengetahuan, sese-buah konsep, atau apapun yang tampak abstrak di ha-dapan manusia adalah produk sosial, dan lebih tepatnya produk dari relasi relasi so-sial. Apapun yang berperan sebagai peng-hubung antara manusia dengan dunianya juga merupakan produk dari relasi-relasi sosial, dan artinya juga manusia selalu be-rada dalam lingkup ketersituasian. Lebih jauh lagi di dalam karya yang sama pada bab yang berbeda Marx menjelaskan:10

Teks Asli:

The first procedure attenuates mean

-ingful images to abstract definitions; the second leads from abstract defini -tions by way of reasoning to the repro-duction of the concrete situation. Hegel accordingly conceived the illusory idea that the real world is the result of think-ing, which causes its own synthesis, its own deepening, and its own movement; whereas the method of advancing from the abstract to the concrete is simply the way in which thinking assimilates the concrete and reproduces it as a con-crete mental category. This is, however, by no means the process of evolution of the concrete world itself. ...Thus, to consciousness -- and this comprises philosophical consciousness -- which regards the comprehending mind as the real man, and hence the comprehended world as such as the only real world; to consciousness, therefore, the evolu-tion of categories appears as the actual process of production -- which, unfor-tunately, is given an impulse from

out-side -- whose result is the world; and this (which is however again a tau-tological expression) is true in so far as the concrete totality regarded as a conceptual mental totality, as a men-tal fact, is indeed a product of think-ing, of comprehension; but it is by no means a product of the idea which evolves spontaneously and who think proceeds outside and above perception and imagination, but is the result of the assimilation and transformation of perceptions and images into con-cepts. The totality as a conceptual entity seen by the intellect is a prod-uct of the thinking intellect, which assimilates the world in the only way

open to it, a way which differs from

the artistic, religious and practically intelligent assimilation of the world. The concrete subject remains outside the intellect and independent of it -- that is, so long as the intellect adopts a purely speculative, purely

theo-retical attitude. The subject, society,

must always be envisaged therefore as the precondition of comprehension, even when the theoretical method is employed.

Terjemahan Bebas: Prosedur pertama mengecilkan gambaran-gambaran yang penuh

makna pada definisi-definisi ab -strak; prosedur kedua berangkat

dari definisi definisi abstrak me -lalui olah pikir pada reproduksi terhadap situasi konkret. Hegel sebenarnya memahami gagasan yang tidak masuk akal bahwa du-nia nyata adalah hasil pemikiran, yang menghasilkan sintesisnya sendiri, pendalamannya sendiri, dan gerakannya sendiri; di lain pihak, metode yang bergerak dari yang abstrak menuju ke yang konkret sekedar cara bagaimana berpikir ialah mengasimilasikan yang konkret dan

mereproduk-sikannya sebagai kategori mental yang konkret. Namun hal ini sama sekali bukanlah proses evolusi dunia konkret itu sendiri ….. Sehingga bagi kesadaran –dan ini mencakup

kes-adaran filosofis-- yang mana berkai -tan dengan pikiran yang memahami sebagaimana manusia nyata, dan karenanya dunia yang dipahami se-bagaimana satu satunya dunia nyata; karenanya bagi kesadaran evolusi dari kategori kategori muncul se-bagai proses aktual dari produksi – yang sayangnya diberikan rang-sang dari luar-- yang hasilnya adalah dunia; dan ini (namun lagi lagi ini adalah ungkapan tautologis) adalah benar sepanjang totalitas konkret dipahami sebagai totalitas konsep-tual mental, sebagai sebuah fakta mental, yang sesungguhnya adalah produk berpikir, produk pemaha-man; tapi ini sama sekali bukanlah produk dari gagasan yang berev-olusi secara spontan dan siapapun yang berpikir bergerak di luar dan melampaui persepsi dan imajinasi, tetapi inilah hasil dari asimilasi dan transformasi atas persepsi dan gam-bar gamgam-bar ke dalam konsep. Totali-tas sebagai sebuah entiTotali-tas konseptual dilihat oleh kaum intelek sebagai produk dari intelek yang berpikir, yang mengasimilasikan dunia hanya dalam cara yang terbuka baginya, cara yang berbeda dari pemikiran artistik, religius, dan secara prak-tis mengasimilasikan dunia dengan pintarnya. Subjek konkret tetap be-rada di luar intelek dan independen darinya –ini sepanjang intelek men-gadopsi sikap teoritik yang sungguh spekulatif, sungguh teoritis. Subjek, masyarakat, karenanya harus selalu dipahami sebagai prakondisi dari pemahaman, bahkan ketika metode teoritis diterapkan.

Penjelasan Marx di muka sungguh luar biasa! Dalam artian merevolusionerkan pemahaman yang berkembang sejak abad pertenga-han hingga pada periode pemikiran Hegel. Jikalau kebenaran dalam abad pertengahan hanya bisa dicapai me-lalui misalnya pengenalan akan sifat sifat ke-Tuhan-an, dan pada periode Kant hingga Hegel sebagai bagian dari proses berpikir, maka Marx menyebut

semua leluhur filsafatnya itu sekedar

sebagai tukang patri realitas. Artinya bahwa reproduksi dari gambaran ten-tang dunia bukanlah sebuah pemikiran yang nyata atau yang benar tentang du-nia yang sesungguhnya. Melainkan itu sekedar sebuah upaya mengasimilasi-kan segala hal yang konkret ke dalam dunia abstrak. Karenanya ketika Marx menyatakan bahwa subyek adalah ma-syarakat sebagai prakondisi dari pema-haman, maka tubuh atau badan atau to-talitas dari kebenaran itu sendiri berada dalam relasi relasi sosial di dalam ma-syarakat, dan produk dari relasi sosial sebagai basis pemahaman atas realitas itu sendiri. Bahwa badan atau totalitas dari kebenaran itu berubah-ubah menu-rut ruang dan waktu, dan tidak kekal abadi sebagai sebuah kebenaran yang hakiki, pun tak berlaku sebagai azimat yang akan membawa individu ke dasar penyesalannya sebelum menuju alam baka, letak persoalannya justru pada bagaimana kebenaran itu dirumuskan dan sampai seberapa jauh kebenaran itu berada dalam genggaman hati dan pikiran sang subyek, yaitu masyarakat. Komoditas, secara historis tidak pernah dirumuskan oleh masyarakat sekalipun ia produk dari relasi relasi sosial dalam masyarakat, dan karenanya ia adalah sesuatu yang asing. Mungkin demikian penjelasan epistemik yang bisa diberi-kan atas kalimat pertama pada alinea kedua ini.

(10)

Problem Filsafat

No. 3 / Tahun I / Februari 2010

Problem Filsafat

Kalimat 2-3 Alinea 2 Bab 1 Bagian 1 Das Kapital:

Sifat kebutuhan ini, apakah mis-alnya timbul dari perut, atau dari khayalan, tidak mengubah soalnya. Juga tidak menjadi soal bagaimana barang itu memenuhi kebutuhan manusia, apakah secara langsung sebagai kebutuhan hidup, yaitu se-buah objek konsumsi, atau secara tidak langsung sebagai suatu alat produksi.

Berangkat dari penjelasan yang sudah diberikan sebelumnya, maupun dari penjelasan yang muncul dari diskusi pekan lalu, beban pemahaman terhadap dua kalimat Marx ini sebenarnya juga tidak terlalu mudah. Sifat kebutuhan, sebagai sebuah konsepsi dituangkan oleh Marx dalam tulisannya yang berjudul Pre-Capi-talist Economic Formations. Menurutku, di sana ia menjelaskan bahwa perkembangan dari kebutuhan hidup manusia, berkurang ataupun bertambah semuanya dibentuk dan atau dipengaruhi oleh hubungan hubungan produksi yang berlaku menu-rut tahap tahap sejarahnya. Menarik jika kita perhatikan yang dituliskannya dalam kutipan berikut:

Teks Asli:

….Capital formation does not therefore arise from landed property (though it might arise from the agricultural ten-ant insofar as he is also a trader in farm products), nor from the gild (though this provides a possibility) but from mercantile and usurious wealth. But the merchant and usurer only encoun-ter the conditions which permit the purchase of free labor, once free labor has been detached from the objective conditions of its existence as a result of a historical process. At this point, it also becomes possible to buy these con-ditions themselves... …..The historic process is not the result of capital, but

its prerequisite. By means of this pro-cess, the capitalist then inserts himself as a (historical) middleman between landed property and labor. ….

Terjemahan Bebas:

Formasi kapital karenanya tidak lahir dari kepemilikan tanah (wa-laupun mungkin lahir dari pemi-lik sewa pertanian sepanjang ia juga pedagang produk pertanian), tidak dari gilda (walaupun mung-kin ini memungmung-kinkan) tetapi dari perdagangan dan kekayaan ditur. Tetapi pedagang dan kre-ditur hanya mendorong kondisi yang memungkinkan pembelian pekerja bebas, dan ketika pekerja bebas dilepaskan dari kondisi eksistensinya sebagai hasil dari proses historis. Pada titik ini, men-jadi mungkin untuk membeli kon-disi tersebut dengan sendirinya. Proses historis bukanlah hasil dari kapital, tetapi syarat. Melalui pros-es ini kapitalis lalu menyatakan dirinya sebagai perantara (secara historis) di antara pemilik tanah dan pekerja....

Dalam kutipan di muka Marx berusaha menjelaskan bahwa persoalan kebutuhan manusia bukanlah sekedar subsistensi ataupun mencari kenikmatan berlipat-lipat sebagaimana hedonisme. Tetapi kebutuhan di sini lebih serupa hasil dari relasi-relasi sosial, dari hubungan hubun-gan produksi, yang menuntut adanya sesuatu yang baru yang dapat dipertu-karkan, dan berpotensi menciptakan kekayaan yang lebih besar di tangan segelintir orang. Pada titik ini, pada pem-bahasan tentang kebutuhan ini, secara perlahan-lahan Marx mulai memasukkan gagasan tentang struktur sosial sebagai dasar pembentukan kebutuhan. Relasi sosial di sini bukanlah sekedar relasi yang setara di antara dua orang manusia, teta-pi relasi disini berarti hubungan di

an-tara dua kelompok sosial yang tidak sean-tara yang menghasilkan produk-produk barang dagangan. Secara historis dari tahap tahap perkembangan masyarakat yang pernah ada, relasi-relasi ini selalu diperantarai oleh berbagai pihak yang mengambil keuntun-gan, dan pada pembentukan kapitalisme, adalah pedagang dan tukang kredit yang memanfaatkan ketersediaan pekerja lepas dari sistem ekonomi pra-kapitalis.

Catatan Akhir

1. Karl Marx, Economic and Philosophical Manuscript, bab Profit of Capital, seksi 3, The Rule of Capital over Labour and the Motives of the Capitalist, diambil dari situs web www. marxists.org

2. Karl Marx, Poverty of Philosophy, Chapter II, seksi Division of Labor and Machinery, diam-bil dari situs web www.marxists.org 3. Karl Marx, A Contribution to the Critique of Political Economy, diambil dari situs web www.marxists.org

4. Karl Marx, Wage Labour and Capital, 1849, diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen dengan judul Kerja Upahan dan Kapital, Penerbit Has

Midas

Catatan Diskusi 4 Februari 2010

oleh: Rangga Utomo

Sejak lama dunia pemikiranpun

sudah memiliki imaji yang mengagum-kan soal nilai surgawi, yang hingga kini dikenal dengan kata kekayaan atau kemakmuran atau kesejahteran atau kebahagiaan. Peradaban Yunani klasik mengenal tokoh Midas. Midas dianggap setengah dewa dan diam-diam hingga kini diyakini setiap orang yang ingin berkuasa, sebagai tokoh yang kehebatan-nya melebihi Herakles, Perseos dan The-seos. Midas (Μίδας) adalah orang yang biasa-biasa saja dan mungkin malah

ter-kesan bodoh. Sebagai yatim piatu dia diang-kat anak oleh Raja Gordias dan Ratu Sebele. Sebele adalah seorang dewi yang diusir dari Olimpos. Oleh karena itu, sejak kecil Midas yang bodoh selalu diajari berbagai hal yang ditaburi dendam kesumat Sebele terhadap kekuasaan para dewa. Kemudian, Midas yang dewasa menjadi raja di Lidia. Suatu saat, Midas berjalan-jalan di suatu padang Lidia. Di sana, dia melihat, gerombolan Dionisios seperti Satir dan peri-peri sedang bercengkerama. Midas menyuruh mereka datang ke istananya dan menjamu mereka

ta Mitra, h. 12 5. Ibid

6. Stephen Shapiro, How to Read Marx’s Capital, Pluto Press, 2008, h.1

7. Adam Smith, An Inquiry to the Nature and Causes of the Wealth of Nations, Book I, Liberty Classics, Indianapolis, 1981, h. 103

8. Marx, Grundrisse, dalam bab Produc-tion, ConsumpProduc-tion, DistribuProduc-tion, Exchange (Circulation), $Externalization of historic re-lations of production – Production and distri-bution in general. – Property, diambil dari situs web www.marxists.org

9. Karl Marx, Introduction to A Contribu-tion to the Critique of Political Economy, bab Production diambil dari situs web www. marxists.org

10. Ibid, bab Methods of Political Economy

diambil dari situs web www.marxists. org

(11)

Problem Filsafat

0

No. 3 / Tahun I / Februari 2010

Problem Filsafat

dengan sangat baik selama sepuluh hari. Dionisios yang kebingungan ke-hilangan gerombolannya menangis sedih sehingga dia diam-diam mengu-capkan suatu sayembara yaitu, siapa yang dapat mengembalikan pengikut-nya, maka akan dikabulkan seluruh permintannya. Midas yang mengetahui sayembara itu dari seorang cenayang mengembalikan Satir dan peri-peri kepada Dionisios. Dionisios ingin me-menuhi janjinya. Yang diminta Midas adalah kemampuan untuk mengubah segala benda yang disentuhnya men-jadi emas yang paling berharga. Itu membuat kuil dewa-dewa di dunia di-kuasai dan diatur oleh Midas karena Se-gala perkakas berhaganya merupakan ciptaan dan milik Midas. Oleh karena itu, setiap orang di dunia Helenis per-caya bahwa Midas adalah model orang yang paling berbahagia. Kesimpulan-nya sederhana, Midas dibutuhkan oleh para dewa dan manusia karena memi-liki sentuhan emas.

Dengan demikian, orang-orang lebih mengagumi Midas dari-pada para pahlawan otot semacam Herakles, Achiles dan Perseos. Jika Homeros mengatakan bahwa yang he-bat dan patut diteladani adalah Achiles dan Hector, maka legenda Midas men-gatakan bahwa model manusia yang harus diteladani adalah model pen-cipta nilai emas. Persoalan etika ala Midas ini tidak begitu disadari, bahkan oleh Platon yang menulis Politeia.

Epi-kuros yang berusaha mendefinisikan

ataraxia, sebenarnya sudah mulai beru-saha memahami etika Midas tersebut. Pemikiran Epikuros tentang atomos dan gerak-geriknya dalam karya Natura, tidak membawanya untuk mengecap

kebijaksanaan ideal Platonis atau ru -musan komunitas ala Pithagoras, me-lainkan pada suatu konsep ‘kebutuhan’ yang hari ini sering digolongkan dalam hedonisme. Tetapi, hedonisme yang

ditegaskan jauh-jauh hari oleh Epikuros ini bukanlah hedonisme sempit psikolo-gis. Hedonismenya bertumpu pada alam

atomos yang material. Dengan kata lain, model Midas itu tidaklah irasional, tetapi justru rasional dan alamiah. Aristoteles yang merupakan murid cemerlang dari Akademia Platon pun suatu saat terkejut dengan temuan Epikuros ini. Aristoteles tua yang masih suka menentang prinsip-prinsip Platon, suatu saat menggariskan dengan lebih jelas dan matang mengenai hal-hal ataraxia atau etika Midas dalam karya Etika Nichomachea. Di situ, Aristoteles berbicara tentang eudamonia (εὐδαιμονία).

Arti harafiahnya adalah kebahagiaan. Eu-damonia yang berasal dari kata Eu (hidup baik) dan Daimon (semangat atau rohani) diartikan oleh Aristoteles sebagai suatu ja-lan etis (arete) menuju kebahagiaan dalam

bentuk latihan kebijaksanaan yang mem

-perhatikan kesehatan dan benda-benda di luar diri manusia. Aristoteles menegaskan

bahwa kebijaksanaan tidak terletak pada

dunia yang asing (ideal) dari manusia.

Kebijaksanaan didapat oleh manusia dari

dunia yang bertruktur formal dan mate-rial seperti kasih sayang dari keluarga dan kepemilikan atas benda-benda yang ber-manfaat seperti, kuda, rumah dan baju-baju zirah. Menurut Aristoteles, letak dan

tumbuhnya kebijaksanaan lahir dari sikap

yang benar dalam mengatur hal-hal ma-terial-formal tersebut. Dengan kata lain, sikap-sikap dalam legenda Midas itu bu-kanlah mitos untuk Aristoteles. Apa yang diyakini oleh Aristoteles ini kemudian

dimodifikasi oleh para filosof stoa seperti

Zeno Citium, Cleanthes dan Chrisipos. Di kemudian hari, eudamonia Aristotelian ini menjadi pengawal (guide) manusia dalam hal prinsip-prinsip moral dan orientasin-ya. Singkatnya, banyak orang setelah za-man Yunani klasik percaya bahwa yang kaya secara ‘benar’ (arete dalam eudamonia) adalah yang bahagia. Artinya, jika kehidu-pan manusia diarahkan untuk mencapai kebahagiaan, maka kekayaan harus dicari

manusia secara ‘benar’.

Arti dari jalan pencarian yang ‘benar’ dari kekayaan tersebut pernah dirumuskan dalam konsep-konsep hu-manistik Renaissance oleh tokoh-tokoh seperti, Desiderius Erasmus, Niccolo Machiavelli dan Thomas Hobbes. Perada-ban Renaissance yang ikut menghasilkan model produksi ala feodalisme mencip-takan konsep bahwa model orang yang bahagia di dunia adalah model orang sep-erti Raja Louis XIV dan gerombolan bang-sawan Bourbon di istana Versailles atau seperti gerombolan dari Paus Leo X yang berhasil membangun Basilika St. Petrus di Vatikan. Yang kaya, bahagia dan benar adalah Raja Louis atau Paus Leo yang mengambil pajak besar dari para petani dan rakyat jelata. Para kaum intelektual dan pengusaha semacam Voltaire, Denis Diderot, Jean-Jaques Rousseau, David Hume, Adam Smith dan David Ricardo adalah cecunguk-cecunguk yang saat itu tidak dapat berbuat banyak.

Hal tersebut berlangsung hingga suatu peristiwa meledak yaitu, Revolusi Prancis tahun 1789. Penjara Bastille yang

dijebol dan kepala Louis XVI- Marie An

-toinette yang dipenggal oleh Maximillien

Robespierre menandakan suatu era baru dari jalan ‘benar’ kekayaan sudah datang. Era kekuasaan politis Borjuis di Eropa datang bersamaan dengan bergeloranya Revolusi Industri di daratan Inggris. Alat

temuan James Watt yang dipadukan den

-gan teori pembagian tenaga kerja dari Smith atau teori nilai dari Ricardo adalah sebuah juggernaut (raksasa mistis Hindu) yang mahadahsyat menggiling kecong-kakan feodalisme. Jalan kekayaan yang ‘benar’ bukan lagi ditentukan oleh

sentu-han ajaib ala Midas atau nasihat bijak Ar -istotelian atau frustasi antropologis Ma-chiavelli-Hobbes melainkan oleh suatu gaya positivistis yang tidak peduli ro-mansa puitis zaman Rennaissance. Gaya positivistis itu berkelebat dalam ungka-pan invisible hand (tangan yang tidak

keli-hatan) sebagai hukum pasar yang mengatur ranah sosial atau ungkapan Die List der

Ver-nunft (muslihat akal budi) sebagai tonggak

filsafat idealisme yang meledak di Prusia.

Ajaran ekonomi-politik dari orang-orang seperti Smith, Ricardo dan Bastiat-Carey menjadi landasan yang dianggap ilmiah, legitim, rasional dan abadi dari kehidu-pan pasar masyarakat modern. Pemikiran Aristoteles tentang Chremistike (emas dan kekayaan) ditegaskan sebagai hakikat yang rasional dari manusia modern. Masyarakat setelah Revolusi Prancis dan selama Revolu-si Industri bukan hanya sebentuk mahkluk politis (zoon politikon) melainkan juga para manusia rumah tangga (homo economicus). Jika momen Revolusi Prancis dianggap se-bagai momen dialektis sejarah dan Revolusi Industri dianggap sebagai warna utama dari model produksi masyarakat borjuis, maka

filsafat idealisme dari Immanuel Kant, Got -lieb Fichte, Friederich Schelling dan yang memuncak pada Georg Willhelm Friederich Hegel, dianggap sebagai teori dari Revolusi Prancis dan Revolusi Industri.

Semua gerak dan teori itu ber-gulung menjadi satu dalam zaman yang disebut sebagai kapitalisme. Dalam zaman itu, segala corak budaya, politik dan agama ditentukan oleh corak proses produksi yang berlainan dari zaman feodalisme dan zaman masyarakat primitif. Dengan kata lain, corak etika, budaya, kesenian, agama dan politiknya pun berbeda dari corak mi-lik masyarakat primitif dan masyarakat feodal. Yang dianggap bahagia bukan lagi

manusia bijak-ugahari Sokrates dan manu

-sia suci-kaya seperti Paus Leo tetapi ma-nusia rasional-kaya-sekular seperti kaum industriawan. Dalam paragraf pertama dari volume pertama karya Kapital, Karl Marx

mendefinisikan bentuk masyarakat kapi

-talis itu, “Der Reichtum der Gesellschaften,

in welchen kapitalistische Produktionsweise herrscht, erscheint als eine “ungeheure Wa-rensammlung”, die einzelne Ware als seine Elementarform. Unsere Untersuchung be-ginnt daher mit der Analyse der Ware.”

Referensi

Dokumen terkait

pemberian ASI eksklusif 6 bulan pada bayi usia 6-12 bulan di Desa Kemantren Kecamatan Jabung Kabupaten Malang menunjukkan bahwa status pekerjaan tidak

Berdasarkan hasil Penelitian dan pembahasan pada modul interaktif berbasis Trait Treatment Interaction (TTI) Menggunakan Adobe Flash terhadap keterampilan berpikir kritis

Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa skor persepsi media pembelajaran berbasis IT pada bagi guru Sekolah Dasar di wilayah Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi

Hasil penelitian yang diperoleh penulis adalah Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya dalam menangani masalah Pemungutan dan Penegakan hukum pajak bumi dan bangunan

pengamatan yang sama pada warna yang ditimbulkan setelah penyemprotan.masing- masing kertas saring timbul titik berwarna merah dengan harga Rf berturut-turut adalah

Gerak isometris melawan tahanan, pada pemeriksaan gerak ini prinsipnya masih sama seperti pada pemeriksaan gerak aktif pada sendi bahu ke segala arah hanya saja pada pemeriksaan

Seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa inti dari viral marketing adalah strategi pemasaran yang dapat menyebabkan orang-orang

Pemilihan metode penelitian tindakan kelas dalam upaya menumbuhkan kemandirian belajar peserta didik dalam pembelajaran sosiologi didasarkan pada alasan bahwa: penelitian