• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Alzheimer

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Alzheimer"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS FARMAKOTERAPI GANGGUAN SYARAF DAN PSIKIATRI MAKALAH ALZHEIMER Nama NPM 1. Putri Raraswati 260110140079 2. Ummi Habibah 260110140080 3. Tiffany S. R. 260110140086 4. Ainani Tajriyani 260110140100 5. Nimas Tika I. T. 260110140102

6. Rindita Aulia Lubna 260110140120

7. Rania Adrieza 260110140121 8. Budi Kurniawan 260110140123 9. Fanni Surani 260110140124 10. Annisa Ridla S. 260110140125 11. Adil Prawira B. 260110140127 12. Kelvin Adrin 260110140134 13. Rasyida Indriasari 260110140136 14. George Ilham H. 260110140140 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2016

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kesehatan dan kekuatan baik jasmani dan rohani sehingga kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini kami susun untuk laporan mata kuliah Farmakoterapi Gangguan Syaraf dan Psikiatri semester 4 tahun ajaran 2015/2016. Makalah ini dibuat untuk menjelaskan mengenai penyakit alzheimer serta terapinya.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini banyak kekurangan karena terbatasnya pengetahuan dan referensi yang kami miliki. Oleh karena itu, kami ucapkan termakasih kepada Bapak Prof. Dr. Anas Subarnas, M.Sc., Apt. selaku dosen pengampu mata kuliah Farmakoterapi Gangguan Syaraf dan Psikiatri dan juga kepada Ibu Sri Agung Fitri Kusuma, M.Si., Apt. selaku dosen tutor saat diskusi sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan lancar. Kami terbuka dengan lapang dada menerima kritikan, tanggapan dan saran yang bersifat membangun dari pembaca dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Jatinangor, 26 April 2016

(3)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar...ii

Daftar Isi ...iii

BAB I PENDAHULUAN ...1 1.1 Latar Belakang ...1 1.2 Rumusan Masalah ...2 1.3 Tujuan ...2 1.4 Manfaat ...2 BAB II ISI ...3 2.1 Anatomi Otak ...3 2.2 Patofisiologi Alzheimer ...7 2.3 Gejala ...9 2.3.1 Gejala Alzheimer ...9

2.3.2 Karakteristik Demensia pada Alzheimer ...9

2.3.3 Sindrom Lobus ...10

2.4 Terapi ...12

2.4.1 Terapi Farmakologi ...12

2.4.2 Terapi Herbal ...17

2.5 Monitoring ...18

BAB III PEMBAHASAN ...25

BAB IV PENUTUP ...30

4.1. Simpulan ...30

4.2. Saran ...30

(4)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Demensia Alzheimer adalah gangguan penurunan fisik otak yang mempengaruhi emosi, daya ingat dan pengambilan keputusan dan biasa disebut pikun. Kepikunan seringkali dianggap biasa dialami oleh lansia sehingga Alzheimer seringkali tidak terdeteksi, padahal gejalanya dapat dialami sejak usia muda (early on-set demensia) dan deteksi dini membantu penderita dan keluarganya untuk dapat menghadapi pengaruh psiko-sosial dari penyakit ini dengan lebih baik.

Penyakit Alzheimer paling sering ditemukan pada orang tua berusia > 65 tahun, tetapi dapat juga menyerang orang yang berusia sekitar 40 tahun. Berikut adalah peningkatan persentase Penyakit Alzheimer seiring dengan pertambahan usia, antara lain: 0,5% per tahun pada usia 69 tahun, 1% per tahun pada usia 70-74 tahun, 2% per tahun pada usia 75-79 tahun, 3% per tahun pada usia 80-84 tahun, dan 8% per tahun pada usia > 85 tahun. Menurut menkes (2016), menjelaskan bahwa penuaan akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, maupun kesehatan. Dari segi kesehatan, semakin bertambahnya usia maka lebih rentan terhadap berbagai keluhan fisik, baik karena faktor alamiah maupun karena penyakit.

Ada sekitar 46 juta jiwa yang menderita penyakit Alzheimer di dunia, dan sebanyak 22 juta jiwa di antaranya berada di Asia. Di negara maju seperti Amerika Serikat saat ini ditemukan lebih dari 4 juta orang usia lanjut penderita Penyakit Alzheimer. Angka ini diperkirakan akan meningkat hampir 4 kali pada tahun 2050. Hal tersebut berkaitan dengan lebih tingginya harapan hidup pada masyarakat di negara maju, sehingga populasi penduduk lanjut usia juga bertambah (Menkes, 2016).

Estimasi jumlah penderita Penyakit Alzhemeir di Indonesia pada tahun 2013 mencapai satu juta orang. Jumlah itu diperkirakan akan meningkat drastis menjadi dua kali lipat pada tahun 2030, dan menjadi empat juta orang pada tahun 2050. Bukannya menurun, tren penderita Alzheimer di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya.

Pertambahan usia dan peningkatan prevalensi penyakit tidak menular, merupakan faktor utama penyebab penurunan fungsi kognitif yang kelak akan meningkatkan penyakit Alzheimer dan demensia lainnya pada kelompok Lansia.

Penurunan fungsi kognitif pada Lansia berdampak pada menurunnya aktifitas sosial sehari-hari, menjadi tidak produktif sehingga memunculkan problem dalam kesehatan

(5)

masyarakat dan tentunya berdampak pada bertambahnya pembiayaan keluarga, masyarakat dan pemerintah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu penyakit dimensia alzheimer?

2. Bagaimana mekanisme terjadinya penyakit dimensia alzheimer? 3. Apa terapi yang sesuai untuk penyakit dimensia alzheimer? 4. Bagaimana solusi dari kasus Tuan X?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui penyakit dimensia alzheimer.

2. Mengetahui mekanisme terjadinya penyakit dimensia alzheimer. 3. Mengetahui terapi yang sesuai untuk penyakit dimensia alzheimer. 4. Mengetahui solusi yang tepat bagi kasus Tuan X.

1.4 Manfaat

1. Dapat mengetahui penyakit Alzheimer

2. Dapat mengetahui mekanisme terjadinya dimensia alzheime.

3. Dapat mengetahui pemilihan terapi bagi penyakit dimensia Alzheimer. 4. Dapat mengetahui dan memahami solusi yang tepat bagi Tuan X.

(6)

BAB II ISI

2.1 Anatomi Otak

Otak mengendalikan semua fungsi tubuh. Otak merupakan pusat dari keseluruhan tubuh. Jika otak sehat, maka akan mendorong kesehatan tubuh serta menunjang kesehatan mental. Sebaliknya, apabila otak terganggu, maka kesehatan tubuh dan mental bisa ikut terganggu.

Seperti terlihat pada gambar di bawah, otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1. Cerebrum (Otak Besar)

2. Cerebellum (Otak Kecil) 3. Brainstem (Batang Otak)

4. Limbic System (Sistem Limbik)

1. Cerebrum

Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak

(7)

yang membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual. Kecerdasan intelektual atau IQ juga ditentukan oleh kualitas bagian ini.

Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus. Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Keempat Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus Temporal.

Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.

Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit.

Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.

Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata.

Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi menjadi beberapa area yang punya fungsi masing-masing, seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

(8)

Selain dibagi menjadi 4 lobus, cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belahan itu terhubung oleh kabel-kabel saraf di bagian bawahnya. Secara umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh. Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan berpikir rasional.

2. Cerebellum (Otak Kecil)

Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya.

Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju.

(9)

3. Brainstem (Batang Otak)

Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya.

Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu, batang otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur “perasaan teritorial” sebagai insting primitif. Contohnya anda akan merasa tidak nyaman atau terancam ketika orang yang tidak Anda kenal terlalu dekat dengan anda. Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran.

Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol funsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.

Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur. 4. Limbic System (Sistem Limbik)

(10)

Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini sama dimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang.

Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak. Misalnya Anda lebih memperhatikan anak Anda sendiri dibanding dengan anak orang yang tidak Anda kenal. Mengapa? Karena Anda punya hubungan emosional yang kuat dengan anak Anda. Begitu juga, ketika Anda membenci seseorang, Anda malah sering memperhatikan atau mengingatkan. Hal ini terjadi karena Anda punya hubungan emosional dengan orang yang Anda benci.

Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh indera. Dialah yang lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran. Carl Gustav Jung menyebutnya sebagai "Alam Bawah Sadar" atau ketidaksadaran kolektif, yang diwujudkan dalam perilaku baik seperti menolong orang dan perilaku tulus lainnya. LeDoux mengistilahkan sistem limbik ini sebagai

(11)

Faktor Predisposisi: Virus lambat, Proses Autoimun, Keracunan aluminium dan genetik

Penurunan metabolisme dan aliran darah di korteks parietalis superior

Degenarasi neuron kolinergik

Kekusutan neurofibrilar yang difus

Terjadi plak senilis Kelainan Neurotrasmiter

Hilangnya serat saraf kolinergik di korteks serebrum

Penurunan sel neuron kolinergik yang berproyeksi ke hipokampus dan amigdala

Asetilkolin pada otak Demensia

Perubahan kemampuan merawat diri sendiri

7. Defisit Perawatan diri (makan, minum, berpakaian, higiene)

2. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh

Kehilangan kemampuan menyelesaikan masalah.

Perubahan mengawasi keadaan yang kompleks dan berpikir abstrak. Emosi labil, Pelupa, Apatis.

Loss deep memory

3. Perubahan proses pikir 4. Hambatan Interaksi sosial 5. Hambatan komunikasi verbal

6. Koping tidak efektif

Tingkah laku aneh dan kacau, dan cenderung mengembara. Mempunyai dorongan melakukan kekerasan

1.Resiko tinggi trauma tempat duduk bagi semua nafsu manusia, tempat bermuaranya cinta, penghargaan dan kejujuran.

2.2 Patofisiologi Alzheimer

(12)

Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai pada penyakit Alzheimer. Antara lain serabut neuron yang kusut (massa kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak senil atau neuritis (deposit protein beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein prekursor amiloid [APP]. Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan mengakibatkan rusaknya ukuran otak. Perubahan serupa juga dijumpai pada tonjolan kecil jaringan otak normal lansia. Sel utama yang terkena penyakit ini adalah yang menggunakan neurotransmiter asetilkolin. Secara biokimia, produksi asetilkolin yang dipengaruhi aktifitas enzim menurun. Asetilkolin terutama terlihat dalam proses ingatan (Muttaqin, 2008).

Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan kerusakan berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologik (struktural) dan biokimia pada neuron-neuron. Perubahan morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi soma dan/atau akson dan/atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari protein “tau”. Dalam SSP, protein tau sebagian besar sebagai penghambat pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama-sama. Tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing-masing terluka. Dengan kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti kematian sel. Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak menyebabkan Alzheimer (Muttaqin, 2008).

Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membrane neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen-fragmen oleh protease, salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan

(13)

tersebut akhirnya bercampur dengan sel-sel glia yang akhirnya membentuk fibril-fibril plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor. Selain karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada AD. Secara neurokimia kelainan pada otak (Muttaqin, 2008).

2.3 Gejala

2.3.1 Gejala Alzheimer

Gejala pada penyakit alzheimer terbagi menjadi 3 yaitu: a. Gejala Klinis

Mengeluh suka lupa, kemudian daya pikir menurun secara bertahap. Gangguan perilaku mungkin timbul pada tingkat moderat, dan kehilangan fungsi aktivitas sehari-hari terjadi pada tingkatan lanjut.

b. Gejala Kognitif (Timbul sepanjang terjadinya Alzheimer) 1. Kehilangan memori (daya ingat)

2. Aphasia (circumlocution dan anomia) adalah kesulitan berkomunikasi atau mengutarakan sesuai sesuatu melalui verbal atau tulisan ataupenggunaan tanda).

3. Apraxia adalah tidak bias melakukanpekerjaan yang biasa dilakukan 4. Agnosia adalah kehilangan daya ingat

5. Disorientasi yaitu gangguan presepsi akan waktu dan tempat serta tidak dapat mengenal orang yang sudah kenal.

c. Gejala Non-Kognitif

1. Depresi karena tidak melakukan aktivitas 2. Gejala psikotik (halusinasi dan delusi)

3. Gangguan perilaku (agresi fisik dan verbal, hiperaktivitas, tidak bisa bekerja sama, mengeluyur (berpergian tidak tentu tujuan), perilaku berulang.

Orang dengan alzheimer disease mengalami gangguan progresif daya ingat dan fungsi kognitif lainnya. Gangguan mula-mula mungkin samar dan mudah disalah-sangka sebagai depresi, penyakit penting lain pada usia lanjut. Gangguan kognitif berlanjut terus, biasanya dalam waktu 5 hingga 15 tahun, yang menyebabkan disorientasi total dan hilangnya fungsi bahasa dan fungsi luhur korteks lainnya.

(14)

2.3.2 Karakteristik Demensia pada Alzheimer a. Predementia

 Gangguan kognitif ringan -8 tahun sebelum diagnosis ditegakkan  Defisit memori

 Apatis

b. Demensia Onset Awal

 ↑ gangguan learning & memori

 Gangguan bahasa, ↓ kosakata & kata, ↓ kemampuan bahasa oral & tulisan

 Gangguan persepsi (agnosia)  Gangguan gerakan (apraxia  Terlihat bodoh

 Kurang inisiasi untuk melakukan aktivitas c. Demensia Tahap Lanjut (Advanced)

 Tidak dapat mengurus diri secara baik  Kehilangan kemampuan verbal total  Agresif

 Apatis ekstrim

 Deteriorasi massa otot & mobilitas  Kehilangan kemampuan untuk makan d. Dementia Moderat

 Deteriorasi progresif

 Tidak mampu membaca & menulis  Gangguan long-term memory

 Subtitusi penggunaan kata (parafasia)  Misidentifikasi

 Labil

 Mudah marah  Delusi

(15)

Lobus Frontalis :

 Hal ikhwal tingkah laku (kurang kontrol, agresif, anti sosial)  Demensia

 Gerakan halus yang kurang lancar  Gerakan yang kurang ritmis  Afasia

Lobus Parietalis:  Apraksia  Agnosia  Disorientasi

 Gangguan body image

 Hemipareses, hemihipestesia dan Hemianopsia Lobus Temporalis:  Afasia  Amnesia  Gangguan Penghidu 2.4 Terapi 2.4.1 Terapi Farmakologi

(16)

Terapi ini bertujuan mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda perkembangan penyakit.

Golongan Inhibitor Kolinesterase

Salah satu cara mengatasi gejala penurunan kognisi atau menunda perkembangan penyakit adalah meningkatkan neurotransmisi kolinergik di otak. Inhibitor kolinesterase memblok enzim asetilkolinesterase yang menyebabkan peningkatan kadar asetilkolin dengantujuan menstabilkan transmisi neuro. Asetilkolinesterase adalah enzim yang mendegradasi asetilkolin di celah sinaptik. Inhibitor kolinesterase yang disetujui penggunaanya di Amerika Serikat untuk pengobatan penyakit Alzheimer meliputi tacrine, donepezil, rivastigmine, dangalantamine (Chisholm-burns et al , 2008 ; Dipiro, 2008).

- Donepezil

Donepezil adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium. Donepezil tersedia dalam bentuk tablet oral. Biasanya diminum satu kali sehari sebelum tidur, sebelum atau sesudah makan. Obat ini akan diberikan dosis rendah pada awalnya lalu ditingkatkan setelah 4 hingga 6 minggu.Efek samping yang sering terjadi sewaktu minum Donepezil adalah sakit kepala, nyeriseluruh badan, lesu, mengantuk, mual, muntah, diare, nafsu makan hilang, berat badan turun, kram, nyeri sendi, insomnia, dan meningkatkan frekwensi buang air kecil(Chisholm-burns et al, 2008).

- Rivastigmine

Rivastigmine adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit Alzheimer taraf rendah hingga medium. Rivastigmine biasanya diberikan dua kalisehari setelah makan. Karena efek sampingnya pada saluran cerna pada awal pengobatan, pengobatan dengan Rivastigmine umumnya dimulai dengan dosis rendah, biasanya 1,5 mg dua kali sehari, dan secara bertahap ditingkatkan tidak lebih dari 2minggu. Dosis maksimum biasanya hingga 6 mg dua kali sehari. Jika pasienmengalami gangguan pencernaan yang bertambah parah karena efek samping obatseperti mual dan muntah, penurunan

(17)

berat badan, penurunan nafsu makan sebaiknyaminum obat dihentikan untuk beberapa dosis lalu dilanjutkan dengan dosis yang sama atau lebih rendah (Chisholm-burns et al, 2008 ; Dipiro, 2008).

- Galantamine

Galantamine biasanya diberikan dua kali sehari, setelah makan pagi dan malam. Seringkali Galantamine diberikan dengan dosis rendah pada awalnya yaitu 4 mg dua kali sehari untuk beberapa minggu dan dilanjutkan dengan 8 mg dua kali sehari untuk beberapa minggu pengobatan selanjutnya. Meskipun demikian, beberapa pasien membutuhkan dosis yang lebih besar. Untuk kapsul lepas lambat diminum satu kalisehari. Obat dari golongan antikolinergik yang langsung masuk ke dalam otak, seperti Atropin, Benztropin dan Ttriheksiphenil memberikan efek yang berseberangan denganGalantamine dan harus dihindari minum obat tersebut jika dalam pengobatan dengan Galantamine. Efek samping yang sering terjadi dari Galantamine adalah mual,muntah, diare, kehilangan berat badan. Efek samping ini umumnya terjadi pada awal pengobatan atau ketika dosis ditingkatkan. Efek samping yang terjadi umumnya ringan dan bersifat sementara. Minum Galantamine sesudah makan dan minumdengan air yang cukup akan mengurangi akibat efek sampingnya (Chisholm-burns et al, 2008).

- Golongan Antagonis Reseptor NMDA

Golongan lain adalah antagonis reseptor NMDA. Pada penyakit Alzheimer, salah satu jenis reseptor glutamat, N-metil-D-aspartat (NMDA), tidak normal. Tampak pula aktivasi berlebih dari glutamat yang tak teregulasi. Golongan ini bekerja dengan cara menghambatreseptor tersebut sehingga kenaikan ion kalsium yang menginduksi kaskade sekunder yangmenyebabkan kematian saraf dan peningkatan produksi APP tidak terjadi. Peningkatan produksi APP dikaitkan dengan pengembangan plak pada tingkat yang lebih tinggi danhiperfosforilasi dari protein tau. Memantine saat ini

(18)

satu-satunya agen di kelas ini yangdisetujui untuk pengobatan penyakit Alzheimer.Memantin adalah obat yang diminum secara oral untuk mengobati penyakit Alzhaimer taraf sedang hingga berat. Obat ini diawali dengan dosis rendah 5 mg setiap minggu dilakukanselama 3 minggu untuk mencapai dosis optimal 20 mg/hari (Chisholm-burns et al, 2008; Dipiro, 2008).

b. Farmakoterapi dari Gejala Non-Kognitif

Farmakoterapi ini ditujukan untuk mengobati psikotik, atau perilaku tidak pantas, dan depresi. Dosis untuk obat-obatan non-kognitif dan gejala diperlihatkan di table:

(19)

Pengobatan psikotropik dengan menggunakan efek antikolinergik harus dihindari karena dapat memperparah keadaan.

Inhibitor Kolinesterase dan Memantine

Inhibitor kolinesterase dan memantine adalah terapi lini pertama pengelolaan gejala perilaku.

Antipsikotis

Antipsikotik banyak digunakan dalam pengelolaan gejala neuropsikiatri pada pasien AD.Ada bukti sederhana yang meyakinkan bahwa sebagian besar antipsikotik atipikalmemberikan beberapa manfaat bagi gejala neuropsikiatri tertentu, namun data ini telah cukupuntuk mendapatkan persetujuan Food and Drug Administration sebagai indikasi untuk pengelolaan gejala perilaku pada pasien AD. Berdasarkan meta-analisis terakhir, hanya 17-18% dari pasien demensia menunjukkan respon dari pengobatan atipikal antipsikotik. Efek buruk yang terkait dengan atipikal antipsikotik adalah mengantuk, gejala ekstrapiramidal, gaya berjalan yang abnormal, kognisi memburuk, kejadian serebrovaskular,dan peningkatan risiko kematian. Antipsikotik tipikal juga dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian kecil, serta efek ekstrapiramidal lebih parah dan hipotensi. Secara keseluruhan, ada harapan yang moderat dan potensi bahaya yang juga harusdipertimbangkan terkait dengan penggunaan antipsikotik pada pasien dengan AD (Dipiro et al, 2008).  Antidepresan

Gejala depresi yang umum pada pasien dengan AD, terjadi pada sebanyak 50% dari pasien. Apatisme mungkin bahkan lebih sering, namun gejala ini mungkin sulit untuk dibedakan pada pasien demensia. Dalam prakteknya, pengobatan dengan selektif serot onin reuptake inhibitor (SSRI) dimulai paling sering pada pasien dengan AD, berdasarkan profil efek samping dan bukti keberhasilan. Manfaat telah ditunjukkan dengan sertraline, citalopram, fluoxetine, dan paroxetine, meskipun paroxetine menyebabkan efek antikolinergik lebih besar dari SSRI lainnya. Serotonin/norepinefrin reuptake inhibitor seperti venlafaxine mungkin menjadi alternatif. Fungsi serotonergik juga mungkin memainkan peran dalam beberapa gejala perilaku lain dari AD, dan beberapa studi mendukung penggunaan SSRI dalam pengelolaan perilaku, bahkan dalam ketiadaan depresi. Antidepresan trisiklik memilikikhasiat mirip dengan

(20)

SSRI, namun umumnya harus dihindari karena aktivitas antikolinergiknya (Dipiro et al, 2008).

Terapi lainnya

Karena antipsikotik dan terapi antidepresan telah menunjukkan efikasi moderat danhanya menimbulkan resiko efek samping yang tidak diinginkan, obat-obat lainnya dapatdigunakan untuk mengobati perilaku mengganggu dan agresi pada gangguan kejiwaan danneurologis lainnya telah diusulkan sebagai pengobatan alternatif yang potensial. Alternatif tersebut adalah benzodiazepin, buspirone, selegiline, karbamazepin, dan asam valproat.Oxazepam khususnya, telah digunakan untuk mengobati kecemasan, agitasi, dan agresi, tapiobat±obat tersebut umumnya menunjukkan khasiat rendah bila dibandingkan denganantipsikotik. Gejala nonkognitif adalah aspek yang paling sulit dari AD untuk pengasuh.Antipsikotik dan antidepresan telah berguna untuk manajemen yang efektif dari perilaku, psikotik, dan gejala depresi pasien, sehingga mengurangi beban pengasuh dan memungkinkan pasien untuk menghabiskan waktu tambahan di rumah. Efek samping tetap menjadi perhatian penting pada pengobatan pasien (Dipiro et al, 2008).

2.4.2 Terapi Herbal

Nama tanaman Dosis Kegunaan

Ginko Biloba 120-240 mg 2 kali sehari Selama 12 minggu

1. Meningkatkan toleransi terhadap hipoksia dan menunjukkan effek anti-iskemik.

2. Secara bersamaan meningkatkan kekentalan darah, mengurangi adhesi platelet, mengurangi agregasi platelet dan eritrosit dan mengurangi

viskositas darah dan plasma.

3. Melindungi eritrosit dari hemolisis. 4. Menurunkan permeabilitas kapiler dan

(21)

menjebak radikal bebas yang merusak. 5. Meningkatkan aliran darah otak. 6. menghambat monoamin oksidase,

menghambat catecholamine O methil transferase Huperzine A 400 mikrogram / hari 8 minggu Menghambat asetilkolinterase Ekstrak Salvia Officinalis 3000 mg / hari 16 minggu Meningkatkan kognitif Melissa officinalis 1500 mg / hari Selama 16 minggu Antidepresan, antispasmodic,

antihistamin, antiviral. Digunakan dalam kecemasan neurosis dan rangsangan saraf, palpitasi dan sakit kepala. Juga pada hipertiroidisme

2.5 Monitoring

1. Tes Neuropsikologis

Tes ini membantu diagnosis dan pengobatan kondisi yang mempengaruhi pikiran, emosi, dan perilaku. Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Pemeriksaan ini juga bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan eksperi, kalkulasi, perhatian dan pengertian berbahasa (Cummings, 1997). Tes neuropsikologis untuk skrining meliputi mini mental state examination (MMSE), clock drawing test (CDT), dan International HIV dementia scale (IHDS). Tes neuropsikologis formal meliputi forward digit span test dan backward digit span test, constructional praxis, verbal fluency test, Boston naming test (BNT), word list memory task, word list memory recall, word list recognition, recall of constructional praxis, dan trailmaking test (TMT) A dan B (Harahap dan Rianawati, 2015). Pemeriksaan ini dilakukan dengan interview komprehensif dengan pasien untuk menilai perhatian, memori, bahasa, kemampuan untuk merencanakan dan alasan, kemampuan untuk

(22)

mengubah perilaku, serta penilaian kepribadian dan kestabilan emosi (Cummings, 1997).

Gambar 1. Skoring pada tes neuropsikologis Dengan demikian, untuk setiap domain perilaku memiliki 4 nilai: 1. Frekuensi

2. Tingkat keparahan

3. Total (frekuensi x keparahan) 4. Caregiver distress

Total skor neuropsikologis dapat dihitung dengan menambahkan nilai dari 10 nilai domain pertama. Jika dua item neurovegetative termasuk, maka ditetapkan bahwa skor 12 item yang sedang digunakan dibandingkan skor 10 item. Skor distress tidak termasuk ke dalam total neuropsikologis yang utama. Total skor distress dihasilkan dengan menambahkan bersama sejumlah pertanyaan distress neuropsikologis individu; dan menentukan apakah skor 10 atau 12 yang sedang digunakan. Berikut ini merupakan tes neuropsikologis:

(23)
(24)

Gambar 3. Lembaran tes neuropsikologis

(Cummings, 1997). 2. Pemeriksaan Mini-Mental State Examination (MMSE)

Pemeriksaan ini mendiagnosa demensia dan untuk membantu menilai perkembangan dan tingkat keparahan pada penyakit tersebut. Penilai harus memastikan subjek memiliki pendengaran mereka dan atau alat bantu visual untuk melakukan tes sederhana. Pertanyaan dan izin utuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini meliputi date, season, instruction, spelling words. Pertanyaan-pertanyaan dapat meliputi “Tanggal berapa?” atau “Tanggal berapakah hari ini?” sedangkan penilai lain mungkin bertanya, “Tanggal berapa?” dan setelah subjek mengikuti instruksi singkatan seperti “hari?”, “bulan?”, dan lain-lain. Penilaian

(25)

pemeriksaan MMSE dilakukan dapat dengan cara subjek diminta untuk membaca kalimat “Tutup matamu” dan melakukan perintah tersebut. Penilaian sederhana adalah: apakah subjek menutup matanya atau tidak. Setiap pertanyaan mungkin dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali jika subjek tampaknya tidak mengerti atau tidak berusaha untuk menjawab. Jika subjek mencoba utuk menjawab dan tidak benar maka diberikan skor 0. Jika subjek menjawab dengan jawaban yang benar maka diberikan skor 1.

Gambar 4. Tahapan penderita Alzheimer

(Molloy and Standish, 1997). 3. Pemeriksaan Alzheimer’s Diseases Assessment Scale (ADAS)

Sama seperti pemeriksaan lainnya, pemeriksaan ini juga dapat berfungsi untuk mengevaluasi bahasa, orientasi, keterampilan motorik, dan memori. Tetapi pemeriksaan ini tidak cukup spesifik untuk mengevaluasi respon pengobatan pasien. Perlu adanya kombinasi dengan metode pemeriksaan MMES untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Skor maksimal yang mungkin adalah 70 dengan memburuknya demensia menghasilkan skor yang lebih tinggi.

(26)

Gambar 5. Form pemeriksaan ADAS

(Mohs et al, 1997) 4. Evaluasi obat yang digunakan

Obat memiliki potensi efek samping sehingga efek samping obat tertentu harus dimonitoring, metode dan frekuensi monitoring juga diperhatikan. Dilakukan penilaian efektivitas obat, efek samping, kepatuhan terhadap rejimen, dan penyesuaian dosis atau perubahan dalam pengobatan setidaknya dalam sebulan. Dan

(27)

untuk melihat apakah terapi yang diberikan dapat bermanfaat atau tidak dilakukan monitoring selama beberapa bulan sampai 1 tahun pengobatan (Dipiro et al, 2012).

Gambar 6. Monitoring Terapi Obat

Ada beberapa alat penilaian divalidasi pada pasien penyakit Alzheimer yang menunjukkan efektivitas inhibitor kolinesterase dibandingkan dengan plasebo dalam uji coba terkontrol acak. Pertimbangan lain yang memiliki potensi yang berguna yaitu aktivitas instrumental harian skala hidup, geriatric depression scale, dan caregiver distress.

MEASUREMEN

T TOOL

Cognitive function Alzheimer's Disease Assessment Scale for Cognition; Mini-Mental State Examination*

Clinical Global Impression or Global Disease Severity

Clinical Dementia Rating Scale†; Clinician Interview-Based Impression of Change Scale plus

(28)

MEASUREMEN

T TOOL

Caregiver Input; Gottfries, Brane and Steen Scale†; Mental Function Impairment Scale†

Activities of daily living

Caregiver-rated Modified Crichton Scale†; Disability Assessment for Dementia; Progressive

Deterioration Scale; Instrumental Activities of Daily Living Scale*†; Physical Self-Maintenance Scale†

Behavioral disturbances or quality-of-life

Neuropsychiatric Inventory Questionnaire*

Tabel 1. Alat untuk mendeteksi hasil positif pada penderita penyakit Alzheimer pada Cholinesterase Inhibitors

(29)

BAB III PEMBAHASAN

Seorang Ibu (68 tahun) meminta pendapat dan saran kepada seorang apoteker tentang perubahan perilaku suaminya, Tuan X yang terjadi sejak beberapa bulan terakhir. Sekarang ini mood suaminya sangat cepat berubah dan kadang-kadang tidak dapat diprediksi , memori dan konsentrasinya menjadi lemah dan kadang-kadang dia sangat impulsive. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia menggunkan kata-kata dan ungkapan bahasa yang kasar dan vulgar. Penilaian yang dilakukan oleh seorang psikiatris menunjukan bahwa Tuan X sedikit bingung. Tekanan darahnya rendah (100/65 mmHg) dan kadar sodium 155 mmol/L. Akhirnya dia didiagnosis dimensia tipe Alzhaimer.

Dari kasus diatas, telah dijelaskan oleh seorang psikiatris bahwa Tuan X suami dari ibu yang berusia 68 tahun didiagnosis menderita dimensia tipe Alzhaimer. Diagnosis awal ini didasarkan pada gejala yang ditunjukan oleh tuan x yakni mood yang sangat cepat berubah dan kadang-kadang tidak dapat diprediksi , memori dan konsentrasinya menjadi lemah dan kadang-kadang Tuan X ini sangat impulsive, selain itu Tuan X juga akhir-akhir ini sering menggunakan kata-kata yang kasar dan vulgar. Dari gejala tersebut yang ditunjukan oleh Tuan X memang benar menunjukan bahwa Tuan X ini mengalami dimensia tipe Alzhaimer.

Penyakit Alzheimer (Alzheimer Disease/AD) adalah bentuk paling umum dari penyakit demensia (pikun). Alzheimer merupakan demensia progresif secara bertahap yang mempengaruhi kognisi, perilaku, dan status fungsional (Dipiro et al, 2008).

Diagnosis awal dari penyakit Alzheimer dapat dilakukan dengan pengujian status mental yang menyeluruh. Tanda atau gejala kognitif yang ditunjukan oleh pasien

(30)

yang mengidap penyakit Alzheimer dapat berupa kehilangan memori, masalah dengan bahasa, disorientasi waktu dan tempat, penilaian buruk atau menurun, masalah dengan belajar dan berpikir abstrak dan lupa tempat ketika menyimpan sesuatu (Chisholm-burns et al, 2008).

Tahapan penurunan kognitif berdasarkan stadium Alzheimer dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Stage Tipe Level Deskripsi

Stage 1

Mild

Normal Tidak ada perubahan fungsi kognitif

Stage 2 Pelupa

Mengeluh kehilangan sesuatu atau lupa nama teman, tetapi tidak mempengaruhi pekerjaan dan

fungsi sosial. Umumnya merupakan bagian dari proses penuaan yang normal

Stage 3 Early

confusion

Ada penurunan kognisi yang menyebabkan gangguan fungsi sosial & kerja. Anomia, kesulitan mengingat kata yang tepat dalam percakapan, dan sulit mengingat. Pasien mulai

sering bingung/anxiety

Stage 4

Late confusion (Early AD)

Pasien tidak bisa lagi mengatur keuangan dan aktivitas rumah tangga, sulit mengingat peristiwa

yang baru terjadi, mulai meninggalkan tugas yang sulit, tetapi biasanya masih menyangkal

punya masalah memori

Stage 5 Moderate

Early dementia (moderate

AD)

Pasien tidak bisa lagi bertahan tanpa bantuan orang lain. Sering terjadi disorientasi (waktu, tempat), sulit memilih pakaian, lupa kejadian

masa lalu. Tetapi pasien umumnya masih menyangkal punya masalah, hanya biasanya

menjadi curigaan atau mudah depresi Stage 6 Severe Middle

dementia (moderatel

y severe

Pasien butuh bantuan untuk kegiatan sehari-hari (mandi, berpakaian, toileting), lupa nama keluarga, sulit menghitung mundur dari angka

(31)

AD) mengalami delusi

Stage 7 Late

dementia

Pasien tidak bisa bicara jelas (bergumam atau teriak), tidak bisa jalan atau makan sendiri.

Inkontensi urin dan feses. Kesadaran bisa berkurang dan akhirnya koma.

Bila dilihat dari parameter diatas gejala yang ditunjukan oleh Tuan X merujuk kedalam Alzheimer tingkat ringan karena Tuan X ini hanya sebatas perubahan mood, memori dan konsentrasinya menjadi lemah dan kadang-kadang sangat impulsive. Tuan X ini belum sampai pada gejala yang sangat parah, seperti tidak dapat menjalankan aktivitas yang biasa dilakukan sehari-hari, lupa akan keluarga dan lain-lain.

Hasil pemeriksaan tes tekanan darah dari Tuan X adalah 100/65 mmHg. Dari hasil tekanan darah Tuan X dapat diketahui bahwa Tuan X mengalami hipotensi (tekanan darah rendah) karena tekanan darah normal adalah 120/90 mmHg. Selain itu kadar sodium dari Tuan X adalah 155 mmol/L, hasil ini dapat dikategorikan sebagai kelebihan kadar sodium karena melebihi dari kadar normal sodium yang seharusnya yaitu 135-148 mmol/L. Sehingga dari hasil diagnosis diatas dapat diajukan terapi obat untuk Tuan X berupa Donepezil, karena donepezil ini merupakan obat Alzheimer tingkat ringan.

Donepezil merupakan obat pertama yang secara ilmiah terbukti bermanfaat untuk pasien lanjut usia dengan gangguan fungsi kognitif dan depresi. Donepezil biasanya digunakan untuk mengatasi demensia terkait penyakit Alzheimer. Donepezil termasuk obat golongan penghambat asetilkolinesterase yang bekerja sentral. Donepezil akan menghambat enzim asetilkolinesterase yang berfungsi untuk memecah asetilkolin menjadi kolin dan asetat. Pada keaadaan normalnya, 10 % asetilkolin diteruskan ke pasca sinaps sedangakan 90 % akan terjadi re-uptake dimana kolin akan masuk kembali ke siklus sintesis asetilkolin ketika bereaksi dengan acetyl-CoA dengan bantuan enzim choline acetyltranferase. Dengan adanya donepezil maka jumlah asetilkolin yang diteruskan ke pasca sinaps dibadingkan re-uptake akan lebih banyak sehingga diharapkan impuls akan berjalan lebih banyak dibandingkan dalam keadaan normal. Hal ini diharapkan dapat memperbaiki system saraf yang mengalami peneuruna fungsinya untuk meneruskan impuls pada penderita alzheimer. Donepezil memperbaiki

(32)

fungsi mental (seperti daya ingat, pemusatan perhatian, interaksi sosial, dan sebagainya) dengan meningkatkan jumlah asetilkolin di kortek otak.

Donepezil termasuk obat

golongan keras, maka obat ini hanya dapat di berikan kepada pasien ketika pasien sudah mendapatkan resep dari dokter. Obat ini cocok diberikan kepada pasien karena pasien termasuk penderita Alzheimer tingkat rendah karena kadar sodium pasien 155 mmol/L dimana pada keadaan normal kadar sodium dlam darah adalah 135-148 mmol/L. sehingga dosis yang diberikan dalam dosis yang rendah. Disisi lain pasien tidak memiliki riwayat alergi donepezil yang menjadi kontraindikasi obat ini sendiri sehingga cocok diberikan. Donepezil yang dipilih untuk pasien yaitu 5 mg. Donepezil tersedia dalam bentuk tablet oral. Biasanya diminum satu kali sehari sebelum tidur, sebelum atau sesudah makan. Donepezil dengan dosis rendah diberikan minimal satu bulan sebelum respon klinis dapat dinilai. Dosis dapat ditingkatkan hingga 10 mg/hari sebagai dosis tunggal. Obat ini dapat berinteraksi dengan obat antikolinergik sehingga harus dihindari kombinasi dngan obat golongan tersebut. Resorpsinya dari usus hampir mencapai 100 %, PP-nya 94 %, t½ nya 70-100 jam. Di dalam hati donepezil dimetabolisme dan dieksresi lewat urin. Efek samping yang sering terjadi sewaktu minum Donepezil adalah sakit kepala, nyeri seluruh badan, lesu, mengantuk, mual, muntah, diare, nafsu makan hilang, berat badan turun, kram, nyeri sendi, insomnia, dan meningkatkan frekuensi buang air kecil.

Selain terapi farmakologi yang diberikan kepada pasien, terapi herbal juga disarankan untuk dikonsumsi. Hal tersebut merupakan langkah pencegahan atau penghambatan laju penyakit. Terapi herbal yang dapat digunakan untuk pasien ini salah satunya yaitu Ginko Biloba dengan kegunaannya meningkatan toleransi terhadap hipoksia dan menunjukkan efek anti-istemik, melindungi eritrosit dari hemolisis, serta meningkatkan aliran darah ke otak. Meningkatkan aliran darah ke otak ini dapat

(33)

mencegah perkembangan dimensia ke tingkat yang lebih serius. Selain itu, ada ekstrak Salvia Officinalis dengan dosis 3000 mg/hari selama 16 minggu yang memiliki kegunaan untuk meningkatkan kognitif yaitu upaya menyangkut aktivitas otak. Apabila aktivitas otak meningkat, maka laju perkembangan dimensia pun dapat dikendalikan.

Setelah terapi diberikan kepada pasien tersebut, pharmaceutical care sangat penting untuk dilakukan. Pharmaceutical care ini merupakan edukasi terhadap pasien, keluarga pasien, hingga kerabat pasien untuk dapat terlibat dalam program-program penyembuhan penyakit alzheimer yang diderita pasien. Pasien yang ikut berpartisipasi akan mengalami peningkatan fungsi otak, penurunan frekuensi kunjungan ke dokter, peningkatan aktivitas fisik, dan peningkatan kualitas hidup. Pasien diberi pemahaman mengenai proses penyakit, gejala-gejala, pemilihan terapi, serta informasi lengkap mengenai terapi yang dipakai. Informasi mengenai obat yang dipakai mencakup dosis, indikasi, kontraindikasi, efek samping, mekanisme obat, serta cara pemakaian dan penyimpanan obat tersebut.

Selain itu, pasien perlu diberi edukasi mengenai bagaimana cara mengurangi rasa sakit, latihan yang menyangkut aktivitas otak, latihan fisik dan relaksasi, komunikasi dengan staff kesehatan, dan pemecahan masalah, dapat menghadapi secara fisik, emosi dan mental, mempunyai kendali lebih baik terhadap alzheimer, meningkatkan percaya diri untuk hidup aktif dan mempunyai hidup yang tidak tergantung orang lain. Dengan adanya sikap mental yang positif, tentunya akan mempengaruhi kondisi tubuh yang sakit menjadi lebih baik dan sehat.

(34)

BAB IV PENUTUP 4.1 Simpulan

Penyakit Alzheimer adalah bentuk paling umum dari penyakit demensia (pikun). Alzheimer merupakan demensia progresif secara bertahap yang mempengaruhi kognisi, perilaku, dan status fungsional. Dari kasus, telah dijelaskan oleh seorang psikiatris bahwa Tuan X suami dari ibu yang berusia 68 tahun didiagnosis menderita dimensia tipe Alzheimer.Sehingga dari hasil diagnosis diatas dapat diajukan terapi obat untuk Tuan X berupa donepezil, karena donepezil ini merupakan obat Alzheimer tingkat ringan. Donepezil yang dipilih untuk pasien yaitu 5 mg. Pharmaceutical Care yang diberikan kepada pasien adalah mengenai proses penyakit, gejala-gejala, pemilihan terapi, serta informasi lengkap mengenai terapi yang dipakai. Informasi mengenai obat yang dipakai mencakup dosis, indikasi, kontraindikasi, efek samping, mekanisme obat, serta cara pemakaian dan penyimpanan obat tersebut.

4.2 Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih mendalam dan lebih mencari tinjauan pustaka yang lebih bervariasi untuk menjelaskan dan memecahkan kasus yang diberikan, serta dapat memilihkan terapi yang lebih tepat pada kasus selanjutnya.

(35)

DAFTAR PUSTAKA

Chisholm-burns, M. A., B. G. Wells, T. L. Schwinghammer, P. M. Malone, J. M. Kolesar, J.C. Rotschafer, and J. T. Dipiro. 2008. Pharmacotheraphy Principles and Practice. USA : The McGraw-Hill Companies inc. P. 1372.

Cummings, JL. 1997. The Neuropsychiatric Inventory: Assessing psychopathology in dementia patiens. Neurology. 48(6): S10-S16

Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey. 2008. Pharmacotherapy A Patophisiologic Approach Seventh Edition. New York : McGraw-Hill Companies.

Dipiro, J et al. 2012. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition.United States: McGraw-Hill Companies

Harahap, H.S dan S.B.Rianawati. 2015. Dimensia Terkait Infeksi. Jurnal MNJ. 1(1): 15-21 Menkes. 2016. Menkes: Lansia yang Sehat, Lansia yang Jauh Dari Demensia. Online

http://www.depkes.go.id/article/print/16031000003/menkes-lansia-yang-sehat-lansia-yang-jauh-dari-demensia.html [diakses pada tanggal 2 Mei 2016]

Mohs, Richard C et al. 1997. Development of Cognitive Instruments for Use in Clinical Trials of Antidementia Drugs: Additions to the Alzheimers’s Disease Assessment Scales That Broaden Its Scope. Alzheimer Disease and Associated Disorders. 11(2): S13-S21

Molloy, D.W and T.I.M. Standish. 1997. A Guide to the Standardized Mini-Mental State Examination. International Psychogeriatrics. 9(1): 87-94

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Kepererawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

(36)

Raetz, J., Luft, E. 2007. Monitoring Therapy for Patients with Alzheimer’s Disease. Am FamPhysicia. 75(11): 1703-1704

Referensi

Dokumen terkait