• Tidak ada hasil yang ditemukan

Upaya Kendali Mutu dan Biaya Program Rujuk Balik Menggunakan Pendekatan Root Cause Analysis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Upaya Kendali Mutu dan Biaya Program Rujuk Balik Menggunakan Pendekatan Root Cause Analysis"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

JOURNAL OF HEALTH SCIENCE AND PREVENTION

http://jurnalfpk.uinsby.ac.id/index.php/jhsp

ISSN 2549-919X (e)

Upaya Kendali Mutu dan Biaya Program Rujuk Balik Menggunakan

Pendekatan

Root Cause Analysis

Cost and Quality Control in Referral – Back Programme using Root Cause Analysis

Astridya Paramita1*, Pramita Andarwati1, Lusi Kristiana1

1) Unit Pelaksana Fungsional Inovasi Tekhnologi Kesehatan, Balitbangkes Kemkes RI [email protected]

DOI: http://doi.org/10.29080/jhsp.v3i2.214

Received: Juli 2019, Accepted: Agustus 2019, Published : September 2019

Kata Kunci Abstrak

Program Rujuk Balik;

RCA; Evaluasi

Program Rujuk Balik (PRB) merupakan program yang berpotensi memberi banyak manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan yang menderita penyakit kronis. Kajian ini bertujuan mengkaji proses pelaksanaan PRB Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Data diperoleh dengan panduan wawancara terstruktur yang ditanyakan kepada manajemen BPJS Kesehatan, penanggung jawab PRB di Puskesmas dan Rumah Sakit serta penanggung jawab apotek yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Identifikasi kendala proses pelaksanaan PRB menggunakan pendekatan sistem, sedangkan pendekatan Root Cause Analysis digunakan untuk mencari penyebab yang mendasarinya. Hasil penelitian menengarai masalah utama pelaksanaan PRB adalah 1) ketersediaan obat PRB di Puskesmas terbatas, 2) penumpukan pasien di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) sehingga waktu tunggu memanjang, 3) notifikasi status pasien “potensi PRB” pada program VCLAIM di FKRTL cenderung diabaikan, 4) rendahnya kepatuhan tenaga medis di FKRTL dalam melengkapi form rujuk balik, dan 5) sosialisasi mekanisme PRB kepada masyarakat masih kurang. Penyebab dasar timbulnya masalah ini adalah tidak adanya metode evaluasi dan sumber daya manusia dari BPJS yang secara khusus melakukan proses pengawasan dan evaluasi berkala. Direkomendasikan kepada BPJS agar menugaskan staf khusus untuk memantau PRB secara berkesinambungan dan menyeluruh, serta bersama kolegium profesional kedokteran untuk segera menyusun standar ketentuan pasien stabil setiap penyakit yang termasuk dalam PRB.

Keywords Abstract

Referral – Back Programme; RCA Evaluation

Referral-back Programme (PRB) provided benefits for The Indonesian National Health Insurance System(BPJS) participants who suffered from chronic diseases. This study aimed to examine implementation of PRB. Data was obtained through a structured interview guidance that was asked to the management of BPJS, the person in charge of PRB at the Puskesmas, hospitals and pharmacies that were partners of BPJS Kesehatan. A system approach was used to identify constraints in the PRB implementation, while the Root Cause Analysis was used to find the underlying causes of these obstacles. This study revealed problems of PRB implementation were 1) limited availability of PRB drugs in Puskesmas, 2) patients accumulation in hospital caused longer waiting time, 3) notification of "potential PRB" patients in the VCLAIM program tends to be ignored, 4) low compliance of medical staff at FKRTL in completing referral-back form, and 5) lack of socialization about PRB mechanism to the community. The underlying cause of these problems was the absence of evaluation methods and human resources from BPJS that specifically carry out periodic monitoring and evaluation processes. We recommended BPJS to assign particular staff to monitor PRB and immediately arranged standards of stable patients for PRB group diseases.

(2)

Copyright © 2019 Astridya Paramita, Pramita Andarwati, Lusi Kristiana

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

Pendahuluan

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan nasional (JKN), guna mencapai Universal Health Coverage (UHC) bagi seluruh warga negara Indonesia. Pada tahun 2014, di awal tahun pembentukan BPJS, seluruh peserta dari empat penyelenggara jaminan kesehatan sebelumnya (Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes) secara otomatis menjadi peserta BPJS.

Data BPJS Kesehatan (2018), walaupun baru berjalan empat tahun, hingga Desember 2018, peserta program jaminan kesehatan telah mencapai hampir 200 juta jiwa atau sekitar 73% penduduk Indonesia. Capaian kepesertaan BPJS tersebut menunjukkan komitmen Indonesia dalam upaya mencapai UHC pada tahun 2019, sebagaimana yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2019 yaitu minimal 95% penduduk menjadi peserta Jaminan Kesehatan melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) (1).

Namun demikian, prestasi capaian kepesertaan BPJS tersebut belum seimbang dengan prestasi pengelolaan dananya. Dana dari BPJS lebih banyak untuk membayar klaim pengobatan penyakit katastropik yang berbiaya tinggi, dimana berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dan 2018 prevalensi penyakit katastropik, seperti jantung, hipertensi, dan diabetes mellitus, cenderung meningkat. Bahkan beberapa media menyebutkan dana BPJS akan selalu defisit mengingat sifat lembaga yang nonprofit, dengan nominal premi yang dibawah margin serta bertugas menjamin kesehatan bagi seluruh warga negara Indonesia. Hal ini memperberat beban anggaran negara.

Program Rujuk Balik merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengurangi beban anggaran negara di bidang kesehatan. Dengan PRB, biaya klaim penyakit di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) sebagai mitra BPJS dapat dikurangi, namun pasien tetap mendapat pengobatan atau keperawatan dalam jangka panjang yang dilaksanakan oleh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), dengan biaya pelayanan kesehatan yang lebih mudah dijangkau. Program Rujuk Balik adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada penderita penyakit kronis dengan kondisi stabil dan masih memerlukan pengobatan atau asuhan keperawatan jangka panjang, yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan tingkat pertama atas rekomendasi/rujukan balik dari dokter spesialis/sub spesialis yang merawat.(2)

Penelitian Pertiwi, dkk (2017) di salah satu rumah sakit (RS) Kota Magelang menginformasikan bahwa pelaksanaan PRB di RS tersebut belum optimal akibat kurangnya komunikasi dokter spesialis di FKRTL dengan dokter umum di FKTP dalam penjelasan status pasien, surat rujuk balik yang digunakan oleh FKRTL belum terstandarisasi, struktur birokrasi dari segi SOP sudah tersedia tetapi belum dilaksanakan dengan baik, serta belum terbentuk struktur organisasi untuk PRB sehingga koordinasi dilakukan secara langsung.(3) Penelitian tentang program rujuk balik lainnya, Kusumawati (2016), di Daerah Istimewa Yogyakarta memberikan hasil bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program rujuk balik adalah pengetahun dokter spesialis, komunikasi dan koordinasi dokter di FKTP maupun FKRTL, tidak ada pedoman kriteria pasien stabil, ketersediaan sarana dan obat di FKTP serta kondisi klinis pasien.(4)

Cukup banyak penelitian studi kasus evaluasi pelaksanaan PRB di suatu RS, namun belum ada penelitian yang mengevaluasi pelaksanaan PRB dari sudut pandang ketiga provider yaitu BPJS, FKRTL dan FKTP termasuk apotek sebagai penyedia obat. Tujuan kajian ini adalah mengkaji proses pelaksanaan PRB di Indonesia dan menghasilkan rekomendasi kebijakan sebagai upaya untuk mengendalikan mutu dan biaya PRB dalam rangka meminimalisir beban anggaran negara di bidang kesehatan.

Metode Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian kualitatif dan merupakan kajian empiric. Kajian empirik yaitu kajian yang berbasis pada data yang ada di lapangan (evidence based), baik yang telah tersedia maupun yang harus mengumpulkan sendiri.(5) Kegiatan Kajian dilakukan di Surabaya, selama enam bulan di tahun 2018. Pengumpulan data dengan melakukan wawancara mendalam kepada perwakilan dari BPJS Kesehatan Kedeputian Wilayah VII Jawa Timur dan BPJS Kesehatan Kantor Cabang Surabaya, serta kepada 2 unit FKRTL, 2 unit FKTP dan Apotek, dengan menggunakan panduan wawancara terstruktur. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan sistem untuk menggali informasi proses pelaksanaan PRB, serta menggunakan metode Root Cause Analysis (RCA) untuk mencari akar masalah yang selanjutnya sebagai prioritas penyelesaian masalah dengan menghasilkan sebuah rekomendasi kebijakan. Menurut Coskun, dkk (2012), RCA diyakini mampu memberikan telaah yang menyeluruh dan sistematis dalam menilai implementasi sebuah program, termasuk rekomendasi untuk mengembangkan program tersebut.(6–8)

(3)

Hasil Penelitian

Sistem adalah sekelompok elemen-elemen yang saling berkaitan, yang secara bersama-sama diarahkan untuk mencapai tujuan yang ditentukan.(9)Artinya, untuk menghasilkan output yang optimal maka antar elemen atau sub sistem harus ada hubungan yang saling bersinergi. Dalam kajian ini, metode pendekatan sistem digunakan untuk mengidentifikasi proses pelaksanaan PRB dengan berdasar pada masing-masing elemen atau sub sistem penunjang proses pelaksanaan PRB.

Hasil konfirmasi lapangan kepada BPJS, FKRTL, FKTP dan apotek tentang identifikasi proses pelaksanaan PRB, dilihat dengan elemen-elemen Man, Money, Material/Machine, Method, Market dan Time

(Tabel 1). Sedangkan kendala pelaksanaan dilihat dengan elemen Man, Money, Material/Machine, Method, Market (Tabel 2).

Tabel 1. Matriks Identifikasi Pelaksanaan PRB

BPJS FKRTL FKTP APOTEK

MAN Tidak ada petugas khusus yang menangani dan mengawasi pelaksanaan PRB, terkait pelaporan internal BPJS maupun pelaporan pelaksanaan PRB di FKRTL dan FKTP.

Tidak ada petugas khusus yang memantau pelaksanaan maupun khusus sebagai pelaksana PRB. Ada rangkap jabatan/tugas sehingga pelaksanaan (terutama fungsi monitoring) tidak optimal.

Dokter tidak hafal obat dalam daftar PRB, seringkali obat yang diberikan pada pasien tidak ada dalam daftar, sehingga tidak tersedia saat pasien dirujuk ke FKTP. Jumlah SDM mencukupi. Dokter aktif menginformasikan tentang PRB pada pasien yang berpotensi ikut PRB, serta menganjurkan pasien aktif menanyakan PRB ke dokter FKRTL. Kurir pengantar obat ke Puskesmas terbatas, sehingga proses stok obat di Puskesmas terhambat.

MONEY BPJS telah beberapa kali mengalami defisit keuangan. Dana yang diberikan untuk pembayaran klaim mengalami defisit dan

keterlambatan akibat sering terlambatnya hasil audit klaim rumah sakit. BPJS telah mengajukan tambahan dana, namun belum dapat terpenuhi.

Iuran premi bagi peserta BPJS belum sesuai. Telah digagas strategi mengatasi keterlambatan pembayaran klaim melalui kerjasama dengan bank, namun banyak rumah sakit menolak karena diberlakukan bunga bank. Sering mengalami keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS sehingga mengakibatkan penundaaan pembayaran jasa pelayanan tenaga medis, pembayaran pembelian obat kepada PBF pada waktu berjalan, yang berdampak terhadap keterbatasan pemesanan obat pada waktu yang akan datang. Sering mengalami keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS sehingga mengakibatkan penundaaan pembayaran jasa pelayanan tenaga medis, pembayaran pembelian obat kepada PBF pada waktu berjalan, yang berdampak terhadap keterbatasan pemesanan obat pada waktu yang akan datang.

Harga obat fornas terlalu rendah. Sulit mencari distributor obat dengan harga sesuai e-catalogue. Apotek harus mengurangi batas laba untuk menjamin ketersediaan obat. Sering terjadi keterlambatan pembayaran tagihan oleh BPJS yang mengakibatkan apotek terkendala dalam melakukan pemesanan obat berikutnya kepada PBF.

MATERIAL/ Materi sosialisasi PRB disusun oleh tim tertentu dan

Tidak ada SOP khusus dari BPJS perihal juknis PRB. Hanya ada

Tidak ada petunjuk teknis internal Puskesmas dalam

(4)

Copyright © 2019 Astridya Paramita, Pramita Andarwati, Lusi Kristiana

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

BPJS FKRTL FKTP APOTEK

MACHINE disosialisasikan dari kantor pusat ke kantor-kantor cabang. Materi sosialisasi

hanya berupa alur pelayanan.

SK Direktur yang memerintahkan pelaksanaan PRB. Rumah sakit tidak ada

peralatan,

perlengkapan, atau pelayanan khusus bagi pasien. Pelayanan kesehatan yang diberikan tetap berjalan seperti biasanya. Terdapat masalah ketersediaan obat. Seringkali satu bulan tersedia, 2-3 bulan berikutnya tidak tersedia.

Tidak ada panduan kegiatan monitoring dan evaluasi khusus untuk PRB.

melaksanakan PRB. PRB hanya sebuah

istilah khusus untuk memudahkan pasien kronis dalam berobat, sehingga tidak ada peralatan, perlengkapan, atau pelayanan khusus bagi pasien. Pelayanan tetap berjalan seperti biasanya. Ketersediaan obat di Bagian farmasi Puskesmas cukup baik, namun 2 tahun terakhir obat yang diterima seringkali hanya separuh dari kebutuhan yang diajukan. Ada perbedaan

daftar obat antara di FKRTL dan FKTP sehingga pasien harus kembali ke FKRTL.

Tidak ada panduan kegiatan monitoring dan evaluasi khusus untuk PRB.

METHOD Sosialisasi program dilakukan sekali setahun karena kendala SDM.

Belum ada kompensasi positif atau sanksi untuk fasilitas kesehatan terkait performa PRB yang telah dilakukan. Belum ada kriteria

pasien stabil sehingga mulai dirujuk kembali ke Puskesmas dan bagaimana pasien dapat berkontribusi untuk mengevaluasi kondisinya. Sosialisasi PRB kepada tenaga medis dilakukan sekali setahun. Sosialisasi PRB kepada peserta JKN maupun peserta PRB masih sangat terbatas. Seringkali pasien mengenal PRB dari dokter di FKTP. Kriteria kondisi stabil

pasien ditentukan oleh dokter yang merawat. Belum ada tolak ukur tertentu dari BPJS atau kolegium profesi. Belum ada panduan

dari BPJS terkait kompensasi positif dan sanksi untuk fasilitas kesehatan terkait performa PRB yang telah dilakukan.

Metode untuk menjamin kondisi stabil pasien di FKTP belum ada yang terukur baku. Belum ada panduan

dari BPJS terkait kompensasi positif dan sanksi untuk fasilitas kesehatan terkait performa PRB yang telah dilakukan. Pasien yang telah

dirujuk balik dari FKRTL ke FKTP tidak terdaftar dalam PROLANIS secara otomatis. Sistem informasi elektronik (aplikasi) e-purchasing yang mempermudah apotek untuk pemesanan obat secara online berdasarkan katalog. Aplikasi e-purchasing sulit diakses.

MARKET Sebagian pasien yang

sudah stabil dan berpotensi PRB cenderung tidak mau dikembalikan ke FKTP. Pasien lebih memilih dirawat oleh dokter spesialis

Ketika kondisi sudah stabil, terutama pasien yang lokasi rumah dekat dengan FKTP, cenderung ingin dirujuk balik ke FKTP karena lebih dekat dengan

Apotek dapat memperkirakan dan

mempersiapkan jumlah di masing-masing jenis obat berdasarkan permintaan

(5)

BPJS FKRTL FKTP APOTEK

daripada dokter umum.

rumah dan tidak lama antri di rumah sakit.

faskes sebelumnya.

TIME Dengan PRB, pasien penyakit kronis, peserta JKN, dapat menghemat waktu tempuh dan waktu tunggu karena akses faskes menjadi lebih dekat dan lebih cepat terlayani.

Waktu tunggu di FKRTL tinggi

Menghemat waktu tempuh dan waktu tunggu pasien karena akses faskes menjadi lebih dekat dan lebih cepat terlayani.

 Waktu pencairan dana klaim obat tidak dapat diprediksi sehingga mempengaruhi proses pemesanan stok obat selanjutnya

Sumber: Data Primer

Identifikasi pelaksanaan PRB menunjukkan bahwa dalam prosesnya, seluruh unit penelitian (BPJS, FKRTL, FKTP) memiliki kendala di elemen Man, Money dan Method. Pada elemen Man, seluruh unit analisis mengalami kekurangan petugas yang khusus menangani PRB, baik secara administratif maupun fungsi pelayanan. Aspek administratif, kurangnya petugas yang fokus pada PRB akan mengakibatkan sosialisasi, monitoring dan evaluasi tidak berjalan baik yang akhirnya berujung pada pelaksanaan pelayanan yang tidak optimal. Sedangkan dari aspek pelayanan, dokter yang bertugas di FKRTL ternyata tidak hafal daftar obat PRB sehingga terjadi kesalahan komunikasi dengan dokter di FKRTL yang akhirnya merugikan pasien. Keterlambatan ketersediaan obat PRB di Puskesmas juga disebabkan oleh kurangnya sumber daya kurir pengantar obat.

Elemen Money dalam pelaksanaan PRB, mengerucut pada masalah keterlambatan klaim. BPJS yang telah beberapa kali mengalami defisit keuangan, diperparah dengan terlambatnya hasil audit klaim rumah sakit. Iuran premi yang diharapkan akan membantu masalah defisit BPJS, belum ada titik temu penyelesaian. Keterlambatan klaim di FKRTL dan FKTP selain mengakibatkan penundaan pembayaran jasa medis, masalah utama yang berdampak langsung pada pasien adalah terbatasnya pemesanan obat untuk pelayanan berikutnya. Dalam pelayanan kesehatan, ketidaksediaan obat merupakan masalah vital yang perlu penyelesaian segera. Sama halnya di apotek, keterlambatan pembayaran BPJS akan mengakibatkan terhambatnya pemesanan obat berikutnya. Apotek yang dalam hal ini dapat dikategorikan bergerak di bidang trading, masalah yang dihadapi menjadi lebih komplek menyangkut harga beli obat fornas yang kurang menguntungkan serta sulitnya mencari distributor dengan harga yang sesuai.

Elemen Method, masalah utama yang muncul adalah sosialisasi PRB yang belum terlaksana seperti yang diharapkan. Pihak BPJS menyadari bahwa sosialisasi yang dilakukan kurang karena masalah kurangnya SDM. FKRTL dan FKTP cenderung memiliki pandangan yang sama, yaitu kurangnya BPJS melakukan sosialisasi PRB ke peserta BPJS sehingga tugas ini akhirnya menjadi beban yang harus dilakukan petugas kesehatan. Hasil identifikasi pada elemen Method ini menginformasikan kurangnya koordinasi antar unit pelaksana PRB. Hal-hal teknis banyak dikeluhkan seperti sosialisasi program yang kurang, kompensasi positif dan sanksi terhadap performa pelaksanaan PRB, metode penentuan kondisi stabil dan tidak stabil pasien, dan prosedur administratif pelaksanaan PRB serta monitoring-evaluasi yang bersifat rutin. Pada apotek, unit yang relatif sedikit berbeda dengan unit lainnya, kendala yang dihadapi lebih ke masalah kurang ramahnya sistem informasi elektronik (e-purchasing) dalam melakukan pemesanan obat.

Kendala pada elemen Material/Machine, dialami di unit analisis BPJS, FKRTL dan FKTP. Di unit BPJS, petugas kesulitan melakukan sosialisasi akibat materi sosialisasi hanya berupa alur pelayanan. Sedang FKRTL dan FKTP lebih menekankan pada petunjuk teknis pelaksanaan PRB, baik dari BPJS maupun dari internal institusi mereka sendiri. Masalah utama yang ditemukan adalah ketersediaan obat yang tidak pernah sesuai kebutuhan. Masalah lainnya, pelayanan dan perlengkapan yang diterima peserta PRB sama dengan pasien lain akibat tidak adanya petunjuk teknis pelayanan PRB.

Hasil identifikasi di elemen Market, tidak ditemukan masalah yang sangat mendesak. Dalam hal ketersediaan obat yang banyak dikeluhkan, BPJS tidak memiliki kewenangan langsung terhadap PBF (Pedagang Besar Farmasi) sebagai supplier obat. Di sisi pelayanan, beberapa pasien PRB yang telah dianggap stabil tidak mau dikembalikan ke puskesmas dengan alasan lebih suka dirawat oleh dokter spesialis di rumah sakit yang relatif lebih lengkap pelayanan dan peralatannya.

(6)

Copyright © 2019 Astridya Paramita, Pramita Andarwati, Lusi Kristiana

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License. Tabel 2. Matriks kendala pelaksanaan PRB

BPJS FKRTL FKTP APOTEK

MAN Tidak ada petugas khusus yang menangani dan mengawasi pelaksanaan PRB, terkait pelaporan internal BPJS maupun pelaporan pelaksanaan PRB di FKRTL dan FKTP.  BPJS tidak punya kewenangan untuk mengatur atau melakukan intervensi kepada PBF terkait komitmen untuk mendukung ketersediaan obat PRB.

 Dokter tidak ingat jenis-jenis obat dalam daftar PRB.  Kurangnya

kepatuhan tenaga medis di FKRTL dalam mengisi form rujuk balik dengan informasi yang lengkap.

 Tidak ada forum peningkatan kapasitas SDM terkait tata laksana pasien PRB dari BPJS.

 Tidak ada forum peningkatan kapasitas SDM terkait tata laksana pasien PRB dari BPJS.  Kurir pengantar obat ke Puskesmas terbatas, sehingga proses stok obat di Puskesmas terhambat.

MONEY Dana yang diterima BPJS untuk pembayaran klaim mengalami defisit dan keterlambatan akibat sering terlambatnya hasil audit klaim rumah sakit.  Sering mengalami penundaaan pembayaran jasa pelayanan tenaga medis, pembayaran pembelian obat kepada PBF pada waktu berjalan, yang berdampak terhadap keterbatasan

pemesanan obat pada waktu yang akan datang.  Sering mengalami penundaaan pembayaran pembelian obat kepada apotek/PBF pada waktu berjalan, yang berdampak terhadap keterbatasan pemesanan obat berikutnya.  Sering terjadi keterlambatan pembayaran tagihan oleh BPJS yang mengakibatkan apotek terkendala dalam melakukan pemesanan obat berikutnya kepada PBF.

METHOD Kesulitan apotek swasta untuk akses program e-purchase

 Tidak ada kegiatan evaluasi rutin terkait PRB.

 RS maupun BPJS tidak memilliki standar indikator pasien stabil atau tidak stabil untuk dirujuk balik ke FKTP.

 Tidak ada sosialisasi terkait PRB.

 Tidak ada kegiatan evaluasi rutin terkait PRB.

 Tidak ada upaya “kompensasi positif dan sanksi” terhadap pelaksanaan PRB.

 Alur pengadaaan obat tidak fleksibel sehingga

kebutuhan obat tidak terpenuhi.  Tidak ada

sosialisasi/

refresh ilmu terkait tata laksana pasien PRB dari BPJS.  Tidak ada kegiatan

evaluasi rutin terkait PRB.  Tidak ada upaya

“kompensasi positif dan sanksi” terhadap pelaksanaan PRB.  Kesulitan apotek swasta untuk akses program e-purchase MARKET Distributor (PBF) tidak dapat memenuhi seluruh permintaan obat dari bagian farmasi FKTP.

 Sebagian pasien yang sudah stabil dan berpotensi PRB cenderung tidak mau dikembalikan ke FKTP. Pasien lebih memilih dirawat oleh dokter spesialis daripada dokter umum. (Penumpukan pasien di FKRTL).  Apotek Puskesmas tidak dapat melakukan pemesanan obat berikutnya akibat keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS.  Distributor (PBF) tidak dapat memenuhi seluruh permintaan stok obat dari apotek.

(7)

Identifikasi elemen Time, pihak BPJS, FKRTL dan FKTP cenderung mengungkapkan bahwa dari sisi pasien adanya program PRB akan menguntungkan mereka karena dapat menghemat waktu tunggu dan waktu tempuh karena akses ke faskes lebih cepat. Sedang pihak apotek lebih mempermasalahkan tentang waktu pencairan dana klaim obat yang tidak dapat diprediksi sehingga mengakibatkan proses pemesanan stok obat terhambat, yang akhirnya merugikan pihak pasien.

Hasil wawancara dengan beberapa informan, tabel 1 dan 2, menginformasikan bahwa pelaksanaan PRB masih belum optimal. Terdapat banyak kendala baik dari sisi BPJS, FKRTL, FKTP, maupun apotek sebagai penyedia obat. Berdasarkan hasil kajian data di lapangan, diperoleh 5 prioritas masalah dari belum optimalnya pelaksanaan PRB, yaitu: 1) ketersediaan obat PRB di Puskesmas terbatas, 2) penumpukan pasien di FKRTL sehingga waktu tunggu memanjang, 3) notifikasi status pasien “potensi PRB” pada program VCLAIMyang ada di FKRTL cenderung diabaikan, 4) kepatuhan tenaga medis di FKRTL dalam mengisi form rujuk balik dengan informasi yang lengkap masih kurang, serta 5) sosialisasi mekanisme PRB kepada masyarakat yang kurang.

Pembahasan

Agar PRB terlaksana optimal maka perlu perbaikan terhadap elemen-elemen penunjangnya dengan mencari akar permasalahan. Dengan diketahuinya akar masalah, yang merupakan penyebab utama dari masalah-masalah lainnya, maka dapat dirumuskan solusi yang tepat, dengan harapan ketika akar permasalahan tertangani maka masalah lain pun juga mulai tertangani. Oleh sebab itu, mengidentifikasi dan mengeliminasi akar suatu permasalahan merupakan suatu hal yang sangat penting.

Metode Root Cause Analysis (RCA) merupakan suatu pendekatan terstruktur yang bertujuan untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab utama suatu permasalahan.(10) Berikut bagan penelusuran akar permasalahan kurang optimalnya pelaksanaan PRB menggunakan metode RCA.

(8)

Copyright © 2019 Astridya Paramita, Pramita Andarwati, Lusi Kristiana

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

Pelaksanaan Program Rujuk Balik (PRB) belum optimal

3.

Notifikasi status

pasien potensial PRB

pada program VCLAIM

cenderung diabaikan

5.

Sosialisasi PRB dari

BPJS, FKRTL, FKTP

kepada masyarakat

kurang

1.

Ketersediaan obat di

puskesmas dan apotek

terbatas

3.

Daftar obat PRB di

FKTP dengan di

FKRTL berbeda

4.

Kepatuhan tenaga medis

FKRTL dalam mengisi

form rujuk balik kurang

2.

Penumpukan pasien di

FKRTL sehingga waktu

tunggu

memanjang

1.

Keterbatasan

wewenang BPJS

untuk mengatur

atau melakukan

intervensi kepada

PBF terkait

komitmen untuk

mendukung

ketersediaan obat

PRB.

2.

Apotek sulit

pesan obat

kepada PBF

1.

Dari BPJS tidak ada

SOP indikator pasien

stabil/ tidak stabil

bagi FKRTL

1.

Tidak ada sanksi

dari BPJS dan FKRTL

1.

Tidak ada SDM dan

metode pengawasan/

evaluasi khusus untuk

PRB.

1.

Tidak bisa daftar

e-purchase

2.

LKPP terlambat

menentukan

harga obat

3.

Apotek terlambat

membayar pesanan

obat sebelumnya

4.

Apotek dicurigai menjual

obat PRB kepada pasien

non PRB

1.

Sosialisasi waktu pendaftaran

apotek sebagai calon mitra

BPJS tidak jelas

1.

Apotek terlambat menerima

pembayaran klaim obat dari BPJS

1.

Tidak ada notifikasi pada email masing-masing apotek sebagai

calon mitra BPJS untuk tahap seleksi selanjutnya

Keterangan :

= disebabkan oleh = akar masalah = akar masalah utama

1.

Dana BPJS terbatas

(9)

Dari gambar 1. kajian RCA terhadap masalah “pelaksanaan PRB belum optimal” dengan kelima prioritas masalah, diperoleh 4 akar masalah yang dapat segera ditindaklanjuti oleh BPJS selaku penyelenggara program jaminan kesehatan nasional dan penggagas PRB yaitu : 1) keterbatasan kewenangan BPJS untuk mengatur atau intervensi PBF terkait komitmen untuk mendukung ketersediaan obat, 2) tidak ada notifikasi pada email masing-masing apotek calon mitra BPJS terkait tahapan seleksi selanjutnya, 3) dana BPJS terbatas, dan 4) tidak ada SDM dan metode pengawasan/evaluasi khusus untuk PRB. Hasil kajian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Kusumawati, dkk (2016) dan Pertiwi, dkk (2017) bahwa faktor yang mempengaruhi rujuk balik diantaranya tidak adanya pedoman kriteria kondisi pasien stabil, faktor yang berhubungan dengan surat rujukan serta ketersediaan obat PRB, dan belum terbentuk struktur organisasi untuk PRB sehingga koordinasi dilakukan secara langsung.(3,4)

Terkait akar masalah keterbatasan wewenang BPJS untuk mengatur atau melakukan intervensi kepada PBF terkait komitmen untuk mendukung ketersediaan obat PRB, perlu dibuat komitmen tertulis (MoU) antara bidang pelayanan farmasi di kementerian kesehatan dan BPJS yang perlu diketahui oleh seluruh PBF utnuk menjamin kemudahan dan kepastian ketersediaan obat dalam daftar BPS, khususnya obat-obat PRB. Namun demikian komitmen tersebut juga harus mempertimbangkan kompensasi yang dapat diterima oleh PBF terkait komitmennya, dikarenakan penyediaan obat terkait dengan prinsip ekonomi, biaya produksi dan profit.

Akar masalah kedua yaitu ketiadaan notifikasi pada email masing-masing apotek calon mitra BPJS merupakan masalah sistem komputerisasi yang juga memiliki keterbatasan. Oleh sebab itu, BPJS perlu menyusun jadwal pasti dan tersosialisasi kepada apotek-apotek terkait waktu setiap tahapan seleksi penerimaan pendaftaran apotek sebagai calon mitra BPJS, yang harus ditaati kedua belah pihak. Sosialisasi adalah suatu proses manusia (individu) mempelajari tata cara kehidupan lingkungan sekitarnya untuk memperoleh kepribadian dan membangun kapasitas dirinya agar dapat berperan dan berfungsi dalam lingkungannya.(11) Mengacu pada definisi sosialisasi tersebut di atas maka jadwal waktu tahapan seleksi penerimaan pendaftaran apotek sebagai calon mitra BPJS wajib disosialisasikan dengan jelas dan mudah diakses/diketahui umum agar semakin banyak pihak yang dapat berperan menyukseskan PRB.

Akar masalah ketiga yaitu keterbatasan dana BPJS Kesehatan sebenarnya telah terjadi berulang selama empat tahun berjalan. Dana BPJS cenderung defisit akibat lebih banyak untuk membayar klaim pengobatan penyakit katastropik yang berbiaya tinggi, dan besaran premi yang dihimpun nilainya masih lebih rendah dari perhitungan aktuaria yang dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional.(12) Hal ini dipertegas dengan informasi dari pihak BPJS bahwa masalah dalam kemampuan keberlanjutan finansial BPJS Kesehatan mulai terlihat sejak tahun 2016, dimana akhirnya cukai rokok dilibatkan dalam mengatasi kekurangan dana BPJS Kesehatan yang timbul. Konsekuensi lainnya, pembayaran klaim ke fasilitas pelayanan kesehatan sering terlambat karena masih ada kekurangan dana yang diajukan ke kementerian keuangan. Proses pencairan dana dari kementerian keuangan memerlukan hasil audit keuangan BPJS Kesehatan terlebih dahulu. Telah digagas strategi mengatasi keterlambatan pembayaran klaim melalui kerjasama dengan bank, namun banyak rumah sakit menolak karena diberlakukan bunga bank. Namun demikian perlu terus dilakukan upaya untuk meminimalisir defisit dana diantaranya dengan meningkatkan iuran premi bagi peserta BPJS menyesuaikan pendapatan peserta, serta optimalisasi upaya preventif dengan promosi gaya hidup sehat.

Gambar 1, ketiadaan SDM khusus yang menangani PRB di FKRTL maupun FKTP, serta metode pengawasan dan evaluasi PRB dari BPJS, menunjukkan bahwa sistem penyelenggaraan PRB masih lemah. Masih lemahnya sistem penyelenggaraan PRB merupakan satu-satunya akar masalah yang harus segera ditangani karena menjadi penyebab utama terjadinya lima masalah utama pelaksanaan PRB belum optimal. Oleh sebab itu, maka ada beberapa kebijakan yang dapat direkomendasikan, yang perlu ditindaklanjuti oleh BPJS untuk penguatan sistem penyelenggaraan PRB, yaitu: 1) pembagian tugas tertulis (job description) untuk masing-masing bagian, 2) cek kesesuaian daftar obat di FKTP dan FKRTL, 3) menyusun SOP indikator pasien stabil/tidak stabil dengan berkoordinasi kepada kolegium profesi kedokteran yang terkait, dan yang harus disosialisasikan ke seluruh FKRTL yang bekerjasama BPJS, 4) membuat metode pengawasan/pembinaan pelaksanaan PRB, 5) membuat metode evaluasi, termasuk penetapankompensasi positif dan sanksi, terkait capaian pelaksanaan PRB di FKTP maupun FKRTL, 6) aktif berkoordinasi dengan LKPP, 7) optimalisasi kegiatan sosialisasi PRB melalui media massa kepada masyarakat dan fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS, dan 8) menyusun indikator-indikator strategi pengawasan (monitoring) dan penilaian (evaluation) pelaksanaan PRB.

(10)

Copyright © 2019 Astridya Paramita, Pramita Andarwati, Lusi Kristiana

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.

M

Gambar 2, indikator pengawasan jaminan kesehatan nasional meliputi aspek 1) aksi strategi, 2) keluaran, 3) dampak, dan 4) efek.(13)Keempat aspek ini perlu dicantumkan BPJS dalam penyusunan indicator pengawasan jaminan kesehatan nasional agar terdapat kesesuaian antara strategi yang dirancang dengan keluaran, dampak dan efek yang diharapkan.

Program rujuk balik yang dicetuskan oleh BPJS belum dapat dikatakan efektif sebab tidak adanya proses sosialisasi PRB dari BPJS telah mengakibatkan pelaksana PRB di fasilitas kesehatan tidak dapat maksimal dalam menjalankan perannya atau mengembangkan kapasitas dirinya untuk mendukung keberhasilan PRB, serta pasien penyakit kronis tidak dapat aktif memantau status kepesertaannya indikasi pasien PRB.

Komunikasi adalah sebuah proses pertukaran informasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, hingga tiba saatnya akan saling pengertian yang mendalam.(14) Komunikasi merupakan titik awal terjadinya koordinasi.(15)Koordinasi formal dan informal, yang merupakan salah satu fungsi manajemen, sangat diperlukan agar kegiatan tetap berjalan dengan baik. Fungsi koordinasi sangat diperlukan dalam sebuah proses kegiatan, termasuk dalam sebuah sistem pelayanan kesehatan atau sistem jaminan kesehatan nasional, agar antar unsur penunjang saling bersinergi.(16–18) Fungsi koordinasi menjadi hal penting yang harus diterapkan BPJS dalam mengidentifikasi realisasi keempat aspek indicator pengawasan jaminan kesehatan nasional dan evaluasi keberhasilan program rujuk balik.

Simpulan dan Saran

Pada implementasi PRB masih ditemukan sejumlah masalah utama, diantaranya ketersediaan obat PRB di Puskesmas, masih adanya penumpukan pasien di FKRTL, notifikasi status pasien “potensi PRB” pada program VCLAIMyang ada di FKRTL cenderung diabaikan, dan masih kurangnya kepatuhan tenaga medis di FKRTL dalam mengisi form rujuk balik dengan informasi yang lengkap, serta sosialisasi mekanisme PRB kepada masyarakat. Penyebab utama masalah-masalah tersebut, setelah dianalisis dengan metode RCA, adalah masih lemahnya sistem penyelenggaran PRB yaitu tidak adanya staf khusus dan metode pengawasan, dari BPJS maupun di fasilitas pelayanan kesehatan, yang memantau keberlangsungan dan menindaklanjuti capaian PRB di setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS.

PRB merupakan program yang berpotensi memberi banyak manfaat bagi peserta BPJS Kesehatan, sekaligus memberi peluang pada BPJS Kesehatan untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien dari segi biaya. Setelah lima tahun implementasi, diharapkan BPJS Kesehatan dapat menjadikan PRB sebagai salah satu program unggulan dengan cara menugaskan beberapa staf untuk memantau PRB secara berkesinambungan dan menyeluruh. Perbaikan pada standar ketentuan pasien stabil setiap penyakit yang termasuk dalam PRB, juga mendesak untuk segera disusun bersama kolegium profesional yang kompeten.

(11)

Ucapan Terimakasih

Penulis menyampaikan terimakasih kepada Kepala Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan yang telah memberikan dana serta kepercayaan kepada kami untuk melakukan kajian ini, serta kepada seluruh tim peneliti dan pihak yang terlibat atas ijin penelitian dan proses pengumpulan data.

Daftar Pustaka

1. Humas BPJS Kesehatan. Jaminan Kesehatan Semesta Sudah di Depan Mata. January. 2018; 2. BPJS Kesehatan. Panduan Praktis Program Rujuk Balik. 2014.

3. Pertiwi D, Wigati PA, Fatmasari EY. Analisis Implementasi Program Rujuk Balik Peserta Jaminan Kesehatan Nasional di rumah Sakit Umum Daerah Tidar Kota Magelang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2017;5(3):1–11.

4. Kusumawati NI. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Program Rujuk Balik Pasien Penderita Penyakit Kronis Peserta BPJS Kesehatan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada; 2016.

5. Badan Penelitian dan Pengembangan. KEMENTERIAN KESEHATAN RI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEHATAN Jl. Percetakan Negara No.29, Jakarta 10560 2013. 2013.

6. Coşkun R, Akande A, Renger R. Using Root Cause Analysis for Evaluating Program Improvement. Evaluation Journal of Australasia. 2012;12(2):4–14.

7. Mosadeghrad AM. Healthcare service quality: towards a broad definition. International Journal of Health Care Quality Assurance. 2013;26(3):203–19.

8. Charles R, Hood B, Derosier JM, Gosbee JW, Li Y, Caird MS, et al. How to perform a root cause analysis for workup and future prevention of medical errors : a review. Patient Safety in Surgery. 2016;1–5.

9. Husaini Usman. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara; 2009. 10. Spath P. Introduction to Healthcare Quality Management. 1st ed. Health Administration Press; 2009. 11. Murdiyatmoko J. Sosiologi: Memahami dan Mengkaji Masyarakat. Bandung: Grafindo Media

Pratama; 2007.

12. BPJS Kesehatan. Ringkasan Eksekutif Laporan Pengelolaan Program dan Laporan Keuangan Jaminan Sosial Kesehatan. 2017.

13. Báscolo E, Houghton N, Del Riego A. Construction of a monitoring framework for universal health. Revista Panamericana de Salud Publica/Pan American Journal of Public Health. 2018;42(February 2018).

14. Cangara H. Pengantar Ilmu Komunikasi. 18th ed. Jakarta; 2018. 15. Sarwiji H. Pengantar Manajemen. Solo: UNS Press; 2015.

16. Schultz EM, McDonald KM. What is care coordination? International Journal of Care Coordination. 2014;17(1–2):5–24.

17. Vassbotn AD, Sjøvik H, Tjerbo T, Frich J, Spehar I. General practitioners’ perspectives on care coordination in primary health care: A qualitative study. International Journal of Care Coordination. 2018;21(4):153–9.

18. Lillrank P. Integration and coordination in healthcare: An operations management view. Journal of Integrated Care. 2012;20(1):6–12.

Gambar

Tabel 1. Matriks Identifikasi Pelaksanaan PRB
Tabel 2. Matriks kendala pelaksanaan PRB
Gambar 1. Kajian masalah pelaksanaan PRB dengan menggunakan pendekatan RCA
Gambar  2,  indikator  pengawasan  jaminan  kesehatan  nasional  meliputi  aspek  1)  aksi  strategi,  2)  keluaran,  3)  dampak,  dan  4)  efek.(13) Keempat  aspek  ini  perlu  dicantumkan  BPJS  dalam  penyusunan  indicator  pengawasan  jaminan  kesehata

Referensi

Dokumen terkait