• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rusa Jawa dengan nama latin Rusa timorensis merupakan satwa endemik di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. Latar Belakang. Rusa Jawa dengan nama latin Rusa timorensis merupakan satwa endemik di"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rusa Jawa dengan nama latin Rusa timorensis merupakan satwa endemik di Indonesia khususnya di Pulau Jawa dan Bali. Satwa ini menurut Vié dkk., (2009), termasuk satwa yang berstatus VU (Vulnerable). Rawan (Vulnerable = VU) itu sendiri diterapkan pada takson yang tidak termasuk dalam kategori CR (Critically Endangered) atau EN (Endangered) namun mengalami resiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat sehingga dapat digolongkan dalam EW (Extinc in the Wild) (Semiadi dan Nugraha, 2004).

Resiko tersebut kemungkinan akibat terjadinya perburuan liar. Di Papua, perburuan Rusa Jawa dilakukan secara berkelompok, antara 3 – 5 orang, dengan tujuan sebagian besar bersifat komersial, yaitu dagingnya. Sedangkan produk ranggah keras yang diperjualbelikan hanya merupakan nilai tambah dari hasil perburuan yang terjadi. Hal ini disebabkan pemburu sebenarnya tidak terlalu mementingkan jenis kelamin, tetapi lebih pada unsur kemudahan dalam mendapatkan rusa dengan ukuran badan yang besar. Daging rusa selain untuk konsumsi manusia, ranggah rusa juga dapat dimanfaatkan untuk pengobatan di beberapa negara Asia (Semiadi dkk., 2008; Santoso, 2011).

Andoy (2002) menjabarkan jenis rusa yang diburu yaitu 44,69% jantan, 39,36% betina dan tidak pilih-pilih jantan betina 15,95%. Bagian-bagian rusa yang diambil yaitu bagian kepala 15,92%, badan 35,39%, jerohan 17,69%, dan tanduk 30,97%.

(2)

Pemda Kabupaten Merauke menyatakan bahwa konsumsi daging rusa di perkotaan mencapai 1.080 kg setiap harinya. Menggunakan data estimasi tahun 1997 hingga 2002, menunjukkan bahwa pemasukan rusa ke pasar lokal mencapai sekitar 18.500 ekor/tahun. Pola perburuan yang sporadis dilakukan olah siapapun dan menggunakan berbagai macam peralatan (senapan api, kendaraan, kelompok pemburu besar) membuat banyak rusa yang lari ke negara tetangga ataupun semakin masuk ke arah hutan pedalaman. Indikator penurunan populasi yang terjadi terlihat dari jumlah anggota rusa perkelompok. Perubahan dari masa lalu ke masa sekarang adalah dari 10 – 12 ekor/kelompok menjadi hanya 4 – 6 ekor/kelompok. Perbandingan pola perburuan yang dilakukan masyarakat asli Papua di wilayah Taman Nasional Wasur melalui survei tahun 1997 menunjukkan bahwa babi liar sekitar 374 ekor/bulan, kangguru 870 ekor/bulan dan rusa 459 ekor/bulan (Semiadi dkk., 2008).

Populasi Rusa Jawa (Rusa timorensis) di pulau Jawa kecil pada bulan Desember 2005 hingga Januari 2006. Penangkaran rusa terbesar di pulau Jawa yaitu di Jawa Timur, tercatat oleh BKSDA Jatim sebanyak 28 penangkar. Sedangkan di DIY hanya terdapat 4 penangkar (Anonim, 2010; Santoso, 2011).

Rusa merupakan satwa liar yang terakhir didomestikasikan pada abad ke-20. Di luar negeri, pengembangbiakan rusa dimulai tahun 1970-an dan berkembang pesat sejak tahun 1980. Pengembangbiakan rusa di daerah tropis justru menggunakan Rusa Jawa dan pengembangbiakan ini telah berlangsung lebih dari 21 tahun di Mauritius, Kaledonia Baru, Australia dan Malaysia. Tepatnya secara resmi pengembangbiakan Rusa Jawa dimulai tahun 1976 dan hingga tahun 2004

(3)

3

masih berlangsung. Rusa juga memiliki prospek dikembangbiakkan sebagai hewan ternak karena berbagai hal. Daging rusa mengandung protein cukup tinggi, yaitu rata-rata 21,3 ± 0,3% yang umumnya konstan terhadap variasi umur dan jenis pakan. Kadar lemak daging rusa relatif rendah, yaitu sekitar 7%. Sedangkan kadar lemak daging sapi sekitar 25% (Semiadi dan Nugraha, 2004; Wirdateti dkk., 2005; Semiadi dkk., 2008; Ismail, 2011).

Belum ada laporan tentang perbedaan siklus estrus Rusa Jawa di Lembah Universitas Gadjah Mada sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, apabila diketahui siklus estrus dan lama estrus Rusa Jawa pada bulan Agustus dan September maka akan mempermudah upaya pelestarian Rusa Jawa.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui siklus estrus dan lamanya estrus Rusa Jawa (Rusa timorensis) di Lembah Universitas Gadjah Mada.

Manfaat Penelitian

Skripsi ini dapat menjadi sumber bacaan bagi siapa saja yang ingin menambah wawasan tentang reproduksi rusa khususnya mengenai siklus estrusnya. Pengetahuan tentang siklus estrus dan lamanya estrus akan mempermudah ketepatan pengawinan Rusa Jawa, sehingga Rusa Jawa dapat dikembangbiakkan lebih efisien. Keberhasilan perkawinan tersebut nantinya akan mempermudah tercapainya pengupayaan Rusa Jawa (Rusa timorensis) sebagai

(4)

hewan potong dan pengupayaan pelestarian Rusa Jawa (Rusa timorensis) di penangkaran.

(5)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Di Indonesia, terdapat empat jenis rusa yang dapat dijumpai, yaitu Rusa Sambar (Cervus unicolor), Rusa Jawa (Rusa timorensis), Rusa Bawean (Axis kuhlii) dan Muncak/kijang (Muntiacus muntjak). Jenis rusa tersebut tersebar luas di pulau besar dan kecil di Indonesia. Selain dari empat jenis rusa di atas, di Indonesia juga dijumpai rusa tropis yang bukan asli Indonesia, yaitu Rusa Totol/chital (Axis axis) yang berasal dari India. Rusa Totol masuk ke Indonesia sekitar tahun 1814 dan berkembang pesat di Indonesia. Satwa ini tidak di lepas bebas di alam karena bukan satwa asli Indonesia. Rusa Totol ternyata sanggup melakukan perkawinan silang secara alami dengan Rusa Jawa yang meghasilkan turunan fertil. Hal ini tentu akan membahayakan kemurnian rusa asli di Indonesia apabila sampai terjadi perkawinan silang antar jenis di alam bebas (Semiadi dan Nugraha, 2004).

Rusa Jawa merupakan rusa tropis kedua terbesar setelah Rusa Sambar. Jika dibandingkan dengan rusa tropis Indonesia lainnya, Rusa Jawa memiliki banyak anak jenis, sebagai rusa dengan nama daerah cukup beragam dan sebagai rusa yang paling luas tersebar di luar negeri (Semiadi dan Nugraha, 2004).

Pemberian nama lokal cukup beragam, tergantung pada daerah asalnya. Di Pulau Jawa dikenal dengan nama Rusa Jawa, di Pulau Timor dikenal sebagai Rusa Timor, di Sulawesi dikenal sebagai Jonga dan di Kepulauan Maluku dikenal sebagai Rusa Deer (Semiadi dan Nugraha, 2004).

(6)

Upaya Konservasi

Salah satu upaya konservasi yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kepunahan yaitu dengan dilakukan penangkaran (konservasi). Konservasi dilakukan dengan dua cara yaitu kenservasi in situ dan konservasi ex situ. Konservasi in situ dilakukan dengan memelihara rusa pada habitatnya di hutan, sedangkan ex situ memindahkan rusa dari habitatnya kemudian ditangkarkan pada tempat yang ditentukan (Santoso, 2011).

Status Rusa Jawa di Indonesia hingga saat ini masih merupakan satwa liar yang dilindungi oleh undang-undang. Hal ini disebabkan oleh populasi rusa di alam yang semakin menurun sebagai akibat adanya perburuan liar di alam bebas (kawasan hutan termasuk kawasan konservasi) (Santoso, 2011).

Klasifikasi Ilmiah dan Morfologi

Rusa Jawa tergolong ke dalam kerajaan Animalia dengan filum Chordata. Kelas dari Rusa Jawa yaitu Mammalia dengan ordo Cetartiodactyla dan masuk ke dalam keluarga Cervidae. Nama spesies Rusa Jawa, yaitu Rusa timorensis. Rusa Jawa juga mempunyai nama lain selain Rusa timorensis, yaitu: Cervus celebensis Rorig, 1896; Cervus hippelaphus G.Q. Cuvier, 1825 [preoccupied)]; Cervus lepidus Sundevall, 1846; Cervus moluccensis Quoy & Gaimard, 1830; Cervus peronii Cuvier, 1825; Cervus russa Muller & Schlegel, 1845; Cervus tavistocki Lydekker, 1900; Cervus timorensis de Blainville, 1822; dan Cervus tunjuc Horsfield, 1830 [nomen nudum] (Hedges, dkk., 2008).

(7)

7

Dilihat dari perbandingan ukuran ranggah kerasnya, kecenderungan Rusa Jawa asal Pulau Jawa mempunyai ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan Rusa Jawa dari daerah lainnya. Rusa Jawa di Maluku berat badannya sekitar 30-40% lebih kecil dari Rusa Jawa asal Pulau Jawa. Warna bulu bervariasi antara coklat kemerahan hingga abu-abu kecoklatan (Semiadi dan Nugraha, 2004).

Rusa Jawa memiliki rambut warna coklat dengan bagian bawah perut dan ekor berwarna putih. Ranggah Rusa Jawa lebih keras dari rusa sub spesies lainnya. Ukuran tubuhnya lebih besar, warna rambut bervariasi antara cokelat kemerahan hingga abu-abu kecokelatan, tekstur rambut lebih halus dibandingkan Rusa Sambar, dan perilaku sosialnya cenderung lebih tenang dibanding Rusa Sambar. Hewan jantan relatif lebih besar dari hewan betinanya. Tinggi badannya antara 91-102 cm dengan bobot badan 103-155 kg, lebih kecil bila dibandingkan Rusa Sambar (Cervus unicolor). Rusa jantan memiliki tanduk bercabang. Tanduk akan tumbuh pertama kali pada anak jantan umur delapan bulan. Setelah dewasa, ranggah menjadi sempurna yang ditandai dengan terdapatnya tiga ujung runcing (Santoso, 2011).

Pada umumnya Rusa Jawa bunting selama delapan bulan, dengan jumlah kelahiran tunggal. Kemudian, anak rusa pada umur 6-8 bulan disapih oleh induknya. Rusa dewasa umur 18-24 bulan siap untuk bereproduksi. Rusa Jawa ini dapat hidup mencapai 20 tahun (15-20 tahun) (Santoso, 2011).

(8)

Siklus Estrus Mamalia

Menurut Schatten dan Constantinescu (2007) siklus estrus didefinisikan sebagai periode yang berulang dari perubahan fisiologis dan perilaku di setiap siklus reproduksi. Estrus atau heat adalah periode penerimaan seksual, dan dalam bahasa Latin, berarti "keinginan gila". Empat sampai lima fase menyusun siklus estrus tunggal, yaitu proestrus, estrus, metestrus (tidak hadir di semua spesies), diestrus, dan anestrus. Nalley dkk., (2011) menyampaikan lama estrus adalah periode waktu terjadinya estrus, yakni saat munculnya gejala estrus sampai gejala estrus tersebut hilang.

Pengaturan Hormonal Siklus Estrus

Faktor gonadotropin releasing hormone (GnRH) dari hipotalamus menginduksi hipofisis anterior (adenohypophysis) untuk memproduksi dan melepaskan follicle stimulating hormone (FSH). Follicle stimulating hormone mempromosikan perkembangan folikel ovarium dan merangsang sel-sel granulosa untuk mengkonversi androgen dari sel teka menjadi estrogen (Schatten dan Constantinescu, 2007).

Di dalam uterus, estrogen merangsang pertumbuhan dan percabangan dari kelenjar endometrium dan akumulasi cairan dalam stroma uterus (edema uterus). Estrogen merangsang servik untuk memproduksi plug lendir dan meningkatkan ketebalan epitel vagina. Tingkat estrogen puncak terjadi pada saat betina bersedia menerima pejantan (estrus atau heat). Pada akhirnya, dalam menanggapi estrogen,

(9)

9

kelenjar hipofisis anterior melepaskan gelombang ovulasi luteinizing hormone (LH), yang berujung pada pecahnya folikel (Schatten dan Constantinescu, 2007).

Proestrus dan Estrus

Menurut Schatten dan Constantinescu (2007) proestrus dan estrus merupakan bagian dari siklus estrus dan dianggap sebagai fase folikuler. Pada fase ini, folikel ovarium untuk berovulasi berkembang menjadi folikel tersier. Proestrus adalah fase dari siklus estrus ditandai dengan pertumbuhan folikel, konsentrasi estrogen meningkat, dan pengembangan endometrium. Estrus ditandai dengan konsentrasi estrogen memuncak dan yang lebih penting pada periode ini ketika betina menerima saat dinaiki oleh pejantan. Menurut Elis (2013) dan Samsudewa dan Capitan (2011) estrus Rusa Jawa ditandai dengan perilaku membaui, menaiki, dan terjadi perubahan pada vagina. Adanya tingkah laku yang muncul pada betina merupakan tanda bagi pejantan untuk menaiki betina. Tanda utama estrus, yaitu: ekor diangkat, vokalisasi atau berteriak-teriak (shouting) dan terlihat gelisah. Tanda yang dominan yaitu betina terlihat menaiki betina lain dan membaui pejantan. Tanda akhir yaitu betina terlihat diam apabila dinaiki pejantan. Schatten dan Constantinescu (2007) menyampaikan ovulasi terjadi pada akhir estrus dan pada saat ini, konsentrasi estrogen menurun di sebagian besar spesies.

Metestrus dan Diestrus

Metestrus dan diestrus merupakan fase luteal dari siklus estrus. Pengembangan corpus luteum (CL) dan sekresi awal progesteron terjadi selama

(10)

metestrus. Selama diestrus, CL menghasilkan progesteron dalam konsentrasi yang banyak. Dalam kebanyakan spesies, jika kebuntingan tidak terjadi CL mengalami luteolisis sebagai respon terhadap PGF2α dari uterus, dan konsentrasi progesteron menurun, yang memungkinkan konsentrasi gonadrotropin untuk meningkatkan dan memicu periode estrus berikutnya. Setelah luteolisis, CL digantikan oleh corpus albican (Schatten dan Constantinescu, 2007).

Anestrus

Anestrus adalah masa tidak aktifnya ovarium. Tergantung pada spesies, anestrus dapat diperpanjang atau mungkin hanya dalam waktu yang pendek di antara siklus estrus (Schatten dan Constantinescu, 2007).

Perbedaan Temperate Deer dengan Tropical Deer

Menurut Semiadi (1995) temperate deer merupakan rusa-rusa yang beradaptasi dengan perubahan iklim sehingga dapat disebut musiman (seasonal). Siklus ini meliputi voluntary feed intake (VFI) dan pertumbuhan badan, pelepasan velvet, pergantian rambut dan warna, metabolisme, dan reproduksi. Aktivitas reproduksi tinggi selama musim gugur (autumn) atau pada awal musim dingin (winter). Semua siklus musiman tersebut diatur oleh perubahan hormonal, sementara itu panjang siang (day length) juga mempengaruhi siklus.

Pada garis khattulistiwa, ungulata memiliki ritme yang berhubungan dengan panjangnya siang hari yang dikontrol oleh faktor lingkungan seperti musim hujan dan nutrisi. Beberapa rusa yang hidup bagian tropis garis lintang juga

(11)

11

menunjukkan sifat yang berirama yang berhubungan dengan musiman (seasonality) dari konsumsi pakan dan siklus reproduksi. Peralihan seasonal dan non seasonal terjadi pada garis lintang 14ºN dan 18ºS. Lingkungan merupakan faktor utama dari siklus reproduksi tropical deer bila dibandingkan dengan photoperiod. Rusa Jawa tidak menunjukkan musiman (seasonal) pada pertumbuhannya sampai paling tidak berusia 15 bulan (Semiadi, 1995).

Pubertas dan Estrus

Tanda pertama pubertas muncul pada usia delapan bulan. Durasi estrus temperate deer dengan tropical deer adalah sama, tetapi panjangnya siklus estrus tropical deer lebih pendek dari temperate deer (Semiadi, 1995).

Kebuntingan

Menurut Semiadi (1995) meskipun rusa tropis yang yang tinggal di dalam atau di luar habitat alami menunjukkan kebuntingan setiap tahun, sedikit yang diketahui tentang reproduksi musiman mereka. Periode kebuntingan diantara tropical deer dan temperate deer hampir sama, tetapi calving interval (CI) bervariasi pada tropical deer, yaitu partus tidak ada hubungannya dengan breeding season dan tidak dipengaruhi efek photoperiod. Pada habitat alaminya Rusa Jawa dapat melahirkan anaknya setelah 4-7 bulan.

Red deer termasuk short day breeder karena breeding season terjadi selama musim gugur (autumn), ketika panjang siangnya pendek. Breeding season dapat

(12)

tertunda apabila long daily photoperiod di musim gugur juga tertunda (Semiadi, 1995).

Profil Hormon

Studi tentang profil hormon reproduksi tropical deer sangat terbatas. Pada temperate deer, sekresi hormon reproduksi adalah musiman (seasonal) dan dihubungkan dengan siklus musiman yang meliputi bobot, voluntary feed intake (VFI), metabolisme dan breeding season (Semiadi, 1995).

Luteinizing hormone (LH). Luteinizing hormone disekresikan oleh anterior pituitari dan diatur oleh Luteinizing hormone realising hormone (LHRH) yang disekresikan dari hipotalamus. Rusa Jawa memberikan respon terhadap pendeknya panjang siang dengan meningkatnya LH plasma (Semiadi, 1995).

Prolaktin (PRL). Konsentrasi plasma prolaktin Rusa Jawa menunjukkan respon photopertiod serupa dengan temperate deer. Konsentrasi plasma prolaktin berhubungan dengan pola konsumsi pakan dan perubahan photoperiod melalui pineal hormon melatonin (Semiadi, 1995).

Perbedaan Red Deer (Cervus elaphus) dengan Rusa Jawa

Pada Red Deer (Cervus elaphus) panjangnya siklus estrus selama 18-21 hari berlangsung mulai dari bulan Oktober. Pada hewan yang tidak bunting, siklus aktivitas kawin berlanjut setelah 6 bulan. Red deer (Cervus elaphus) dapat bunting selama dapat menunjukkan estrus antara empat dan sembilan kali selama periode 3-6 bulan diantara musim gugur (autumn) dan musim semi (spring). Siklus estrus

(13)

13

dicirikan dengan satu atau tiga gelombang folikel, masing-masing folikel besarnya lebih dari 6 mm (Gordon, 2004).

Gambar 1 indukan red deer (Cervus elaphus) (kanan); red deer jantan (kiri) (Anonim, 2013).

Gambar 2 indukan Rusa Jawa (Rusa timorensis) dan anakan Rusa Jawa (kanan); serta Rusa Jawa jantan (kiri) (Anonim, 2013).

Reproduksi rusa dipengaruhi oleh musim. Pada rusa jantan, reproduksinya tinggi di saat musim semi dan berkurang saat musim dingin meskipun minumnya adlibitum dan pakannya berkualitas tinggi (Gordon, 2004).

Berdasarkan Anonim (2013) musim kawin red deer (Cervus elaphus) terjadi pada bulan Maret hingga April. Pejantan yang mengalami kematangan kelamin akan bertanding untuk berkumpul dengan betina (Gambar 1; Gambar 3). Anak rusa lahir dari akhir November hingga Desember. Anak yang dilahirkan dari induknya (Gambar 1) biasanya tunggal. Lama bunting selama 233 hari.

(14)

Sedangkan musim kawin Rusa Jawa (Rusa timorensis) tergolong bukan musiman (non seasonal) (Hedges dkk., 2008; Anonim, 2013). Menurut Anonim (2013) rusa kawin dapat kapan saja namun cenderung terjadi pada bulan Maret sampai April. Menurut Hedges dkk., (2008) di beberapa daerah Australia puncak kawin ada yang terjadi pada bulan Juni hingga Agustus dan puncak kelahiran dari bulan Maret hingga April. Menurut Hedges dkk., (2008) puncak perkawinan di Indonesia ada yang terjadi pada bulan Juli hingga September. Anak yang dilahirkan dari induknya biasanya tunggal (Gambar 2), namun terkadang kembar. Lama bunting Rusa Jawa selama 252 hari, lebih lama jika dibandingkan dengan red deer.

Siklus Estrus Rusa Jawa (Rusa timorensis)

Menurut Takandjandji (2011) dan Samsudewa dan Capitan (2011) estrus menandakan bahwa betina telah mengalami dewasa kelamin dan bersedia menerima pejantan dalam perkawinan (Gambar 4). Tanda-tanda estrus pada betina adalah nafsu makan berkurang, tidak tenang, berdiri tenang apabila dinaiki pejantan atau sesama betina, sering urinasi, membaui dan menjilat alat kelamin, vulva (alat kelamin betina paling luar) terlihat membengkak, merah, dan apabila dipegang terasa hangat. Tanda-tanda birahi pada jantan adalah sering meraung, berkubang, menancapkan ranggah ke tanah atau pohon, bahkan sering membaui urine yang dikeluarkan rusa betina sambil menjulurkan lidah. Lama estrus pada rusa diamati mulai dari permulaan timbulnya keinginan untuk kawin hingga saat

(15)

15

terakhir yakni 2,25 hari dengan siklus estrus 20,25 hari. Rata-rata lama kawin 2,33 detik dengan frekuensi kawin 2,14 kali/hari.

Tingginya laju urinasi juga dialami oleh pejantan, tujuannya untuk melumasi alat kelamin, serta merupakan salah satu tanda bahwa satwa betina sedang dalam kondisi terangsang. Salah satu tanda betina sedang dalam kondisi berahi yaitu betina menunjukkan perilaku mengangkat ekor (Elis. 2013).

Rusa Jawa di Penangkaran Filipina tidak menunjukkan perilaku kawin pada pukul 00.00-06.00 pagi. Tingkah laku ini disebabkan oleh temperatur saat itu. Data menunjukkan pada pukul 00.00-06.00 pagi temperatur lebih rendah dari 20ºC. Rusa Jawa memerlukan zona nyaman untuk memulai perkawinan. Perkawinan akan dimulai pada suhu antara 21-23ºC. Pada saat hujan perkawinan berlangsung. Saat hujan lebat dan suhu menurun drastis dibawah 19ºC, rusa berhenti kawin dan pergi berteduh (Samsudewa dan Capitan, 2011).

Gambar 3 Red deer betina diam saat dinaiki pejantan (kopulasi) (Guiness dkk., 1971).

(16)

Gambar 4 Rusa Jawa (Rusa timorensis) jantan menaiki betina (Samsudewa dan Capitan, 2011).

Dalam Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner pada Tahun 2008 disampaikan beberapa data tentang Rusa Jawa (Rusa timorensis), yaitu: lama estrus (jam) 6 – 25; 12; 48 dan siklus estrus (hari) 10 – 18; 20 – 22; 16 – 18 (Semiadi dkk., 2008).

Samsudewa dan Capitan (2011) menyampaikan siklus estrus Rusa Jawa betina selama 20,3 ± 2,2 hari dan panjangnya estrus adalah 24,8 ± 3,2 jam. Rusa Jawa termasuk short day breeder, menurut Gordon dalam artikel Anonim (2014) artinya Rusa Jawa biasanya tidak bersiklus selama bulan-bulan musim panas, tetapi akan mulai menunjukkan estrus di akhir September dan bulan Oktober. Estrus ditandai dengan pejantan yang mulai mendekati betina, ekor diangkat, vokalisasi (shouting) 2-6 kali dan gelisah. Tanda yang dominan pada betina yang estrus akan menaiki betina lain kemudian mencium pejantan. Tanda terakhir saat terjadinya standing heat yaitu ketika dinaiki pejantan. Tingkah laku bercumbu terlihat pejantan yang selalu mendekat saat betina urinasi.

(17)

17

Pakan

Pakan merupakan suatu hal yang sangat penting di dalam penangkaran karena produktivitas dan perkembangbiakan rusa sangat tergantung oleh pakan. Pengadaan bahan diperlukan untuk memacu pertumbuhan dan reproduksi rusa. Pakan rusa berupa hijauan, baik jenis rumput, rambatan maupun dedaunan, dan pakan tambahan (konsentrat). Pakan hijauan rumput antara lain rumput gajah, rumput raja, rumput setaria, sorghum, dan rumput lapangan seperti kolonjono, rumput pait, a’awian, gewor, bayondah, dan padi-padian. Pakan hijauan rambatan dan dedaunan, antara lain mikania, kangkung, daun ubi, daun kacang, kaliandra, daun jagung, daun nangka, daun jati, daun lamtoro, daun turi, daun beringin, daun Acacia l., daun mangkokan, daun nampong, dan daun gamal. Jenis pakan tambahan berupa dedak, kulit kacang, bungkil kelapa, kulit pisang, ubi, jagung dan kulitnya, wortel, pellet ternak. Diberikan pula vitamin organik, obat-obatan, dan mineral (Takandjandji, 2011).

(18)

18

Objek penelitian ini adalah Rusa Jawa (Rusa timorensis) yang ada di Penangkaran Lembah Universitas Gadjah Mada. Rusa yang diamati ada empat ekor. Kriteria rusa yang digunakan adalah rusa betina yang sudah dewasa kelamin, tidak bunting, dan harus dalam keadaan sehat.

Metode

Setelah ditentukan rusa-rusa yang dijadikan sebagai bahan penelitian, kemudian dilakukan pengamatan terhadap rusa-rusa. Pengamatan dilakukan setiap hari selama kurang lebih satu bulan dari tanggal 26 Agustus 2013 hingga 24 September 2013. Penelitian dilakukan tiga kali dalam sehari masing-masing dua jam, yaitu pagi hari pukul 07.00-09.00 WIB, siang hari pukul 12.00-14.00 WIB, dan sore hari pukul 16.00-18.00 WIB.

Dilakukan pengamatan tingkah laku rusa, kemudian dilakukan pencatatan tingkah laku estrus yang muncul dalam waktu dua jam pengamatan. Tingkah laku rusa yang diamati meliputi vokalisasi, urinasi, dinaiki, diendus atau disundul, dan mengibaskan ekor (Elis. 2013; Samsudewa dan Capitan, 2011). Tingkah laku tersebut merupakan parameter tingkah laku estrus Rusa Jawa (Rusa timorensis). Apabila estrogen berada dalam puncaknya maka betina bersedia menerima pejantan dan pada saat-saat itulah terjadi estrus atau heat. Jika frekuensi parameter tersebut tinggi, maka saat itulah dikatakan sedang estrus (Schatten dan

(19)

19

Constantinescu, 2007; Akers dan Denbow, 2008). Patokan yang dipakai untuk menentukan lama siklus estrus adalah dari awal estrus sekarang hingga estrus berikutnya (Akers dan Denbow, 2008).

Analisis Data

Data lama estrus dan lama siklus estrus yang diperoleh dilaporkan secara deskriptif.

(20)

Gambar

Gambar  1  indukan  red  deer  (Cervus  elaphus)  (kanan);  red  deer  jantan  (kiri)  (Anonim, 2013)
Gambar  3  Red  deer  betina  diam  saat  dinaiki  pejantan  (kopulasi)  (Guiness  dkk.,  1971)
Gambar  4  Rusa  Jawa  (Rusa  timorensis)  jantan  menaiki  betina  (Samsudewa  dan  Capitan, 2011)

Referensi

Dokumen terkait

1) Berdasarkan model pembahasan secara deskriptif maka diketahui rata-rata kinerja menunjukan bahwa perawat ruang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan

Tulis secara ringkas mengenai kegagalan cerun batuan yang biasa berlaku dengan bantuan lakaran cerun dan unjuran stereografik untuk setiap kegagalan... [a] In pumping out test

Perencanaan sistem drainase sebagai pengendalian banjir kota Medan bertitik fokus pada pengelolaan sungai Deli karena sungai Deli yang merupakan sungai utama yang

Melalui proses pembelajaran dengan Model Problem Based Learning ( PBL ), peserta didik dapat menganalisis konsep getaran dan mampu melakukan serta menyajikan hasil percobaan

Memberikan kontribusi praktis bagi perusahaan-perusahaan dalam rangka pengambilan keputusan sehubungan dengan penggunaan dan pemanfaatan sisem informasi akuntansi berbasis

Supervisor dapat memilih karyawan dari daftar Employee Name yang dihasilkan dari nama karyawan yang telah dimasukkan ke dalam sistem dan saat ini telah ditetapkan sebagai user

hirta, Saraca declinata, Ficus hispida, Artocarpus elastica, Glohidion lubrum, Pleomele elliptica dan lain-lain. Pola sebaran kelas diameter batang pada pohon dan

- Bagaimana “Conflict Interest” dipelihara antara personil yang melakukan monitoring/evaluasi dengan anggota (Bisa saja anggota melanggar standar IFCC, tapi tetap dimasukkan