• Tidak ada hasil yang ditemukan

KECENDERUNGAN PROFIL KEPRIBADIAN : INDIVIDU PHYSICALLY BROKEN HOME DAN BUNUH DIRI DITINJAU MELALUI 15 NEED EPPS (EDWARD PERSONAL PREFERENCE SCHEDULE)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KECENDERUNGAN PROFIL KEPRIBADIAN : INDIVIDU PHYSICALLY BROKEN HOME DAN BUNUH DIRI DITINJAU MELALUI 15 NEED EPPS (EDWARD PERSONAL PREFERENCE SCHEDULE)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

KECENDERUNGAN PROFIL KEPRIBADIAN : INDIVIDU PHYSICALLY BROKEN HOME DAN BUNUH DIRI DITINJAU MELALUI 15 NEED EPPS (EDWARD PERSONAL PREFERENCE

SCHEDULE)

Alfinyogia Rahman*, Afi Rizqi Zakaria, Arya Firdhana Fakih Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No. 5 Malang, Jawa Timur, Indonesia

*Penulis korespondensi, Surel: alfinyogia.rahman.1908116@students.um.ac.id Abstract

Lucky individuals get a family as the first and main social group that helps a person grow and develop.

A person's personality will be formed as the interaction in the family goes, following the flow and patterns of education in it. The incompleteness of the family structure due to separation or the death of parents is what causes the family to be physically damaged, resulting in the family not being optimal and affecting personality development. Suicide is usually one of the most frequently used solutions, which often occurs in children who have just experienced a physically broken home.

Individuals commit suicide when they feel depressed and think that they do not pay attention and benefit themselves in life. Symptoms will appear when the individual is about to commit suicide, either stellar or express. This research and article aims to determine the profile of children who have a family background. The purpose of this study itself is to determine the personality profile of someone with a physical broken home background based on the Edward Personal Preference Schedule (EPPS). The study used a descriptive method with a quantitative approach. The results of the study if physically broken home students have a high personality tendency on the Succorance and Aggression variables and low on the Intraception variable, Students from broken home families due to divorce have a high personality tendency on the Exhibition, Succorance, Heterosexuality and Aggression variables and low on the Achievement variable, Personality of early adulthood individuals with suicidal tendencies, namely the three subjects had high needs on the loyalty variable, affiliation variable, exhibition variable, success variable, and deficiency variable, and low needs on the dominance variable, resilience variable and heterosexual variable.

Keywords: physically broken home, EPPS, suicide, personality.

Abstrak

Individu yang beruntung mendapatkan keluarga sebagai kelompok social pertama dan utama yang membantu tumbuhkembang dari kepribadian seseorang. Kepribadian seseorang akan terbentuk menjadi semakin baku seiring berjalannya interaksi di dalam keluarganya, mengikuti arus keharmonisan dan pola didik di dalamnya. Ketidaklengkapan susunan keluarga karena perpisahan ataupun kematian orang tua itulah yang dinamakan physically broken home mengakibatkan fungsi keluarga menjadi tidak optimal dan mempengaruhi perkembangan kepribadian. Bunuh diri biasanya menjadi salah satu solusi yang paling sering dipakai, yang sering terlintas pada anak yang baru mengalami physically broken home. Bunuh diri dilakukan individu ketika merasa depresi dan berfikir tidak adanya perhatian serta kebermanfaatan dirinya di dalam hidup. Gejala-gejala akan muncul ketika individu hendak melakukan tindakan bunuh diri baik tersirat maupun tersurat. Penelitian dan peninjauan artikel ini ditujukan guna mengetahui profil kepribadian Anak yang mempunyai latar belakang keluarga. Tujuan dari penelitian ini sendiri adalah untuk mengetahui profil kepribadian seseorang yang berlatar belakang physically broken home berdasarkan Edward Personal Preference Schedule (EPPS). Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Hasil penelitian didapati jika (1) Siswa physically broken home memiliki kecenderungan kepribadian tinggi pada variabel Succorance dan Aggression serta rendah pada variabel Intraception. (2) Siswa dari keluarga broken home karena perceraian kecenderungan kepribadiannya tinggi pada variabel Exhibition, Succorance, Heterosexuality dan Aggression serta rendah pada variabel Achievement. (3)

(2)

71

Kepribadian individu usia dewasa awal dengan kecenderungan bunuh diri, yaitu ketiga subyek memiliki needs yang tinggi pada variabel deference, variabel affiliation, variabel exhibition, variabel succorance, dan variabel abasement, dan needs yang rendah pada variabel dominance, variabel endurance dan variabel heterosexual

Kata kunci:physically broken home, EPPS, Bunuh diri, kepribadian

1. Pendahuluan

Keluarga merupakan kelompok terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang anggota keluarga yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat yang memiliki ikatan pertalian di bawah satu atap dalam keadaan saling memiliki dan ketergantungan. sesuai pendapat yang dikemukakan oleh Budiono (2008), yaitu keluarga yang harmonis ditandai oleh adanya relasi yang sehat antar anggotanya sehingga nantinya bisa menjadi sumber hiburan, inspirasi, dorongan, yang menguatkan dan perlindungan bagi setiap anggotanya. Harmonisnya suasana dalam keluarga memegang peranan yang penting bagi perkembangan remaja, karena menurut Ahmadi dalam (Nurhayati, 2016) melalui keluargalah remaja memperoleh bimbingan, pendidikan dan pengarahan untuk mengembangkan diri sesuai dengan kapasitasnya. Oleh karena itu, Interaksi dengan anggota keluarga akan berpengaruh pada pembentukan kematangan sikap dan kepribadian remaja.

Kepribadian sendiri menurut Murray (dalam Wirawan, 2012) bahwa dalam tahap perkembangan manusia terdapat serangkaian elemen-elemen yang turut menyertai dan berkembang seiring berjalannya tekanan pada setiap usia. Kepribadian terbentuk oleh peristiwa yang dialami oleh manusia, semua hal yang terjadi didalam hidupnya secara langsung mempengaruhi kepribadian, dan faktor keluarga menjadi sangat penting karena bersentuhan secara langsung dengan hampir seluruh peristiwa sepanjang hayat. Keluarga mempersiapkan sarana dalam pertumbuhan dan pembentukan kepribadian remaja sejak dini.

Senada dengan itu Pasha (2010) menjelaskan bahwasannya suasana di dalam hubungan antar anggota keluarga memiliki efek atau dampak bagi kepribadian seseorang, pengalaman awal dari seluruh kehidupan seseorang diperoleh dalam keluarga.

Kajian Pustaka

1. Psychally Broken Home

Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dan utama dalam perkembangan kepribadian. Tidak lengkapnya struktur keluarga karena

perceraian ataupun kematian orang tua yang disebut sebagai physically broken home (Pratama, dkk, 2016). membuat fungsi keluarga menjadi tidak optimal dan berpengaruh pada perkembangan kepribadian.

Keluarga yang terdiri atas ayah, ibu dan anak disebut dengan keluarga utuh. Akan tetapi fakta yang ditemukan di lapangan, bahwa banyak keluarga yang tidak utuh seperti tanpa ayah dan ibu. Keadaan seperti ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perceraian, kematian pasangan, kehamilan di luar nikah maupun keinginan untuk tidak menikah dan memutuskan untuk mengadopsi anak. Kondisi yang demikian disebut dengan keluarga broken home.

Sebagaimana diungkapkan oleh Pratama, dkk, (2016) bahwa “broken home terjadi apabila struktur keluarga itu tidak utuh lagi, misalnya karena kematian salah satu orang tua atau perceraian, kehidupan keluarga tidak harmonis lagi”.

Keadaan broken home seperti perceraian, akan menimbulkan dampak negatif terhadap semua anggota keluarga. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pratama, dkk, (2016) ialah

“peristiwa perceraian dalam keluarga senantiasa membawa dampak yang mendalam”. Kasus

(3)

72

ini menimbulkan stres, tekanan dan menimbulkan perubahan fisik dan mental yang dapat dialami oleh semua anggota keluarga, ayah, ibu dan anak. Masalah yang dapat timbul oleh keadaan ini salah satunya adalah perilaku agresif yang ditunjukan oleh anak.

Dari penjelasan para ahli dapat disimpulkan bahwa broken home adalah suatu keadaan yang tidak menguntungkan di dalam keluarga, seperti perceraian, kematian pasangan, maupun kehidupan di dalam keluarga yang tidak harmonis lagi. Keadaan keluarga yang demikian akan membuat siswa memunculkan perilaku agresif di dalam kehidupannya di sekolah. Baik

terhadap guru maupun terhadap teman sebayanya 2. Bunuh Diri

2.1 Pengertian Bunuh Diri

Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sengaja mematikan dirinya sendiri (Hawari, 2010). Bunuh diri merupakan tindakan yg dilakukan menggunakan sengaja buat membunuh diri sendiri (Videbeck, 2008). Shneidman (pada Videbeck, 2008) mendefinisikan 2 kategori bunuh diri:

a. Bunuh diri langsung

Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan disengaja untuk mengakhiri hidup, seperti pengorbanan diri (membakar diri), menggantung diri, menembak diri sendiri, meracuni diri, melompat dari tempat yang tinggi, dan menenggelamkan diri.

b. Bunuh diri tidak langsung

Bunuh diri tidak langsung merupakan hasrat tersembunyi yang tidak disadari buat mati, yg ditandai menggunakan konduite kronis berisiko, misalnya penyalahgunaan zat, makan berlebihan, kegiatan seks bebas, ketidakpatuhan terhadap acara medis, atau olahraga atau pekerjaan yg membahayakan.

Menurut Keliat, (1995) bunuh diri merupakan tindakan militan yg Mengganggu diri sendiri & bisa mengakhiri kehidupan. Bunuh diri adalah kedaruratan psikiatri lantaran klien berada pada keadaan stres yg tinggi & memakai koping yg maladaptif. Selain Itu, bunuh diri adalah tindakan Mengganggu integritas diri atau mengakhiri kehidupan.

Keliat, (1995) pula beropini bahwa bunuh diri merupakan tindakan militan yg pribadi terhadap diri sendiri buat mengakhiri kehidupan. Keadaan ini didahului sang respon maladaptif misalnya nir berdaya, putus asa, apatis atau acuh tidak acuh terhadap lingkungan sendiri, gagal &

kehilangan, ragu-ragu, sedih, depresi, & lalu bunuh diri. Bunuh diri mungkin adalah keputusan terakhir menurut individu buat memecahkan kasus yg dihadapi. Jadi, kesamaan bunuh diri merupakan kecondongan hati buat bertindak militan yg didapatkan menurut hubungan yg kompleks secara biologi, genetik, psikologi, sosial, budaya, & faktor lingkungan, yg dilakukan secara sengaja & pada syarat sadar buat Mengganggu diri atau mematikan diri sendiri sebagai akibatnya mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, menjadi keputusan terakhir menurut individu buat memecahkan kasus yg dihadapi.

2.2 Komponen Bunuh Diri

Ada tiga komponen dalam bunuh diri, yaitu keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh, dan keinginan untuk mati (Suryani, 2008).

2.3 Faktor Penyebab Bunuh Diri

Ada banyak sekali macam penyebab yang menciptakan seorang merogoh jalan pintas buat melakukan aksi bunuh diri. Pertama, kesulitan ekonomi jadi alasan paling klasik pada muka bumi. Kedua, interaksi famili yang kurang serasi sebagai akibatnya percik barah perselisihan gampang sekali tersulut. Ketiga, imbas negatif pemberitaan media (Syakib, 2008).

(4)

73

Sedikitnya 50 ribu orang Indonesia bunuh diri selama 3 tahun terakhir. Kemiskinan &

himpitan ekonomi sebagai penyebab tingginya jumlah orang yang mengakhiri hidup. Faktor psikologis yang mendorong bunuh diri merupakan kurangnya dukungan sosial berdasarkan warga sekitar, kehilangan pekerjaan, kemiskinan, huru-hara yang mengakibatkan syok psikologis, & permasalahan berat yang memaksa warga mengungsi. Secara psikologis motivasi bunuh diri diantaranya rasa kecewa lantaran

gagal atau hilangnya suatu harapan, rasa putus harapan lantaran tekanan kehidupan &

rasa putus harapan lantaran penyakit yg berkepanjangan (Hawari, 2010).

Ada 2 faktor yg mengakibatkan seorang mau melakukan tindakan bunuh diri (Suryani, 2008):

a. Faktor yang datang dari dalam dirinya sendiri

Faktor menurut pada dirinya sendiri diantaranya lantaran kepribadian yg belum matang yg mengakibatkan dia nir sanggup mengatasi kasus yg dihadapinya. Bisa pula lantaran stress berat yg dialaminya saat berada pada pada kandungan ibunya, saat proses kelahiran, saat dibesarkan, & saat dewasa yg bisa menghipnotis cara berpikir, emosi, perilaku, & cara bereaksi terhadap kasus yg dihadapinya. Bisa pula lantaran tertekan yg mengakibatkan terjadi konflik, frustasi, cemas, depresi, marah, & reaksi lainnya sebagai akibatnya lantaran nir sanggup mengatasinya dia berada pada kebingungan & akhirnya merogoh jalan pintas bunuh diri.

b. Faktor yang datang dari luar dirinya

Yakni kasus yg tiba berdasarkan keluarga, sahabat dekat, sahabat sekolah, atau kantor, atau kasus ekonomi, pergaulan, politik, stagnasi kemudian lintas, kesulitan menerima tempat tinggal yg sehat, impak media cetak & elektronika, & sebagainya. Dorongan & hasrat melakukan tindakan bunuh diri sangat dipicu sang tayangan TV & warta pada media cetak yg melukiskan Ada banyak sekali macam penyebab yg menciptakan seorang merogoh jalan pintas buat melakukan aksi bunuh diri. Pertama, kesulitan ekonomi jadi alasan paling klasik pada muka bumi. Kedua, interaksi famili yg kurang serasi sebagai akibatnya percik barah perselisihan gampang sekali tersulut. Ketiga, imbas negatif pemberitaan media (Syakib, 2008).

Sedikitnya 50 ribu orang Indonesia bunuh diri selama 3 tahun terakhir. Kemiskinan &

himpitan ekonomi sebagai penyebab tingginya jumlah orang yg mengakhiri hidup.

Faktor psikologis yang mendorong bunuh diri merupakan kurangnya dukungan sosial berdasarkan warga sekitar, kehilangan pekerjaan, kemiskinan, huru-hara yang mengakibatkan syok psikologis, & permasalahan berat yg memaksa warga mengungsi. Secara psikologis motivasi bunuh diri diantaranya rasa kecewa lantaran gagal atau hilangnya suatu harapan, rasa putus harapan lantaran tekanan kehidupan & rasa putus harapan lantaran penyakit yg berkepanjangan (Hawari, 2010).

Ada 2 faktor yg mengakibatkan seorang mau melakukan tindakan bunuh diri (Suryani, 2008): menggunakan gamblang & mendetail. Tayangan & bacaan ini tersimpan pada pada memorinya menggunakan baik. Pada ketika beliau mengalami kasus akbar & kemampuan menaruh pertimbangan baik nir berfungsi lantaran kebingungan & keputusasaan, ada dorongan & pertimbangan buat melakukan tindakan bunuh diri yg tersimpan pada pada memorinya.

3. EPPS (Edward Personal Preference Schedule)

Tes EPPS dikembangkan oleh psikolog dan profesor Amerika Allen L. Edwards pada tahun 1954. Tes ini dikembangkan dari teori kebutuhan yang diajukan oleh Henry Alexander Murray (Nurul, 2015). Tes ini berisi 225 pertanyaan personality inventory yang bersifat

(5)

74

preferensi, memaksa, objektif, dan non proyektif. Waktu pengerjaan tes ini adalah 45 menit.

Partisipan tes ini berusia pada rentang 16 – 85 tahun (Nurul, 2015).

Menurut Nurul, (2015) mengatakan sampai saat ini, EPPS sudah pernah direvisi 2 kali.

Revisi pertama dipublikasikan pada tahun 1959 oleh Journal of Consulting Psychology, Volume 23(5), bulan Oktober, halaman 471. Revisi tersebut berisi perbaikan di dalam sistem scoring dan penambahan bibliography (dari 9 menjadi

82 sumber referensi). Revisi pertama tersebut dianggap tidak memberikan perubahan banyak sehingga tidak bisa dikritisi. Revisi kedua dipublikasikan pada tahun 2006 oleh Suzanne E. Bonfiglio. Dia merevisi terutama pada bagian “heterosexuality”, di mana menurut Bonfiglio, EPPS selama ini hanya bisa digunakan untuk mengakses manusia “normal” namun tidak bisa digunakan kepada kaum LGBTQ (Lesbian Gay Bisexual Transgender Queer) Menurut Bonfiglio, EPPS selama ini seolah-olah membesar-besarkan sistem binary gender.

Revisi kedua tersebut masih diperdebatkan sampai sekarang.

Tujuan pengukuran tes EPPS adalah untuk melihat kebutuhan-kebutuhan khusus yang dimiliki seseorang (Nurul, 2015). Menurut Edwards, kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat diklasifikasikan kedalam 15 golongan yang dibuatnya berdasarkan teori need yang disusun oleh Murray dan rekan-rekannya pada tahun 1983.

Menurut Nurul, (2015) 15 golongan need tersebut diantaranya ialah:

1) Achievement (dalam mengerjakan tugas tugas yang sulit dan menarik dapat dilakukan dengan kemampuan maksimal). 2) Deference (memberi orang lain tanggung jawab memutuskan sesuatu kemudian diri menyesuaikan keadaan dengan harapan dari keputusan orang tersebut).

3) Order (menata dengan baik dan rapi setiap rencana kedepan).

4) Exhibition (Menjadi pusat perhatian dan memberikan kemampuan yang mencolok perihal prestasi diri atau menanyakan tingkat keberhasilan). 5) Autonomy (dapat menerima tanggung jawab atas keputusan yang diambil

dan berdiri sendiri atas keputusannya yang diambil tanpa memperdulikan orang lain).

6) Affiliation (bermurah hati, ikut andil dalam kelompok dan bekerja sama dalam tim).

7) Interception (menganalisa perasaan orang lain dan memahaminya).

8) Succorance (menerima bantuan dari orang lain dan agar orang lain bersimpati dan mengerti dirinya).

9) Dominance (memiliki rasa diperlakukan seperti pemimpin dalam hal memerintah dan mempengaruhi orang lain).. 10) Abasement (memiliki rasa empati tinggi saat melihat orang lain disalahkan atau berbuat kesalahan, rendah diri dan rasa takut berlebih).

11) Nurturance (ramah kepada sekitar dan mudah dalam menolong teman ketika kesusahan).

12) Change (selalu ingin bergerak dinamis dan berubah ubah mengikuti trend dan kebudayaan).

13) Endurance (fokus dalam menjalankan sesuatu yang diperintahkan atau menjadi tanggung jawabnya dan tidak ingin ada yang mengganggu saat itu).

14) Heterosexuality (aktif dalam bergaul dan melakukan pertemuan dengan lawan jenis)

15) Aggression (Menentang argumen orang lain yang tidak sependapat dengan dirinya)

(6)

75 2. Metode

Pada penelitian yang kami lakukan, kami menggunakan metode review literature.

Review literature adalah metode yang digunakan untuk membuat suatu artikel ilmiah yang isinya merupakan tulisan yang bukan dari hasil riset empiris/ tidak riset dilakukan secara langsung dengan subjek (Astarini, 2018). Namun sumber data yang didapat dan dibahas berasal dari sebuah artikel atau jurnal dengan pendekatan kuantitatif atau kualitatif. Dimana peneliti turun langsung untuk mengambil data tersebut.

Metode ini digunakan untuk mendiskusikan suatu permasalahan yang ada di sekitar kita atau isu isu yang ada tanpa menemui responden secara langsung (Danandjaja, 2014).

Mengorek sumber dari berita, jurnal, buku (sumber sekunder/sumber yang sudah ada sebelumnya)

3. Hasil dan Pembahasan

Kasus Pertama : CA / 21 tahun / Laki-laki Dengan latar belakang yang tidak bekerja pada CA, dan dengan latar belakang menikah pada umur yang masih belum bisa di katakan di usia yang mencukupi, pernikahan yang diawali dengan musibah hamil pranikah mengawali kehidupan berkeluarga dari CA dengan I di taraf ekonomi yang berada di tingkat bawah.

Dengan kondisi seperti tersebut, dalam hasil riset dan observasi CA pernah melakukan percobaan bunuh diri sebanyak dua kali. Percobaan pertama dilakukan ketika CA masih menjalani hubungan pacaran dan kemudian putus hubungan. Untuk percobaan kedua dilakukan oleh CA ketika CA sudah menikahi I karena hamil pranikah, dan kondisi ekonomi yang terpuruk membuat I meminta cerai dari CA. Alhasil kondisi itu membuat CA ingin melakukan percobaan bunuh diri yang kedua, yang mana padahal untuk usia pernikahan dari CA masih belum sampai satu tahun.

Test EPPS menunjukkan juka CA memiliki need of exhibition, need of intraception, need of succorance, dan need of abasement. CA memiliki needs yang rendah pada need of achievement, need of af iliation, need of dominance, need of change, dan need of heterosexual.

Kasus Kedua : MVA / 21 tahun / Perempuan Dengan latar belakang pekerjaan di teller bank, MVA yang sering mendapatkan kekerasan fisik dari ayahnya dan putus dengan pacarnya, ditambah dengan stress dalam pengerjaan skripsi . MVA pernah melakukan satu kali percobaan bunuh diri.

Perasaan yang muncul pada MVA ketika hendak melakukan percobaan bunuh diri adalah kerap kali merasa tidak ada dukungan yang datang ketika MVA menjalani masa sulit yang sedang berlangsung, perasaan rindu ketika tidak ada yang mengajaknya bepergian untuk sekedar hiburan dan perasaaan tertekan ketika MVA mengalami kekerasan fisik oleh ayahnya.

Hasil Tes EPPS menunjukkan bahwa MVA mempunyai need yang tinggi pada need of order, need of af iliation, need of succorance, need of abasement, dan need of nurturance. MVA mempunyai need yang rendah pada need of def erence, need of exhibition, need of dominance, need of endurance, dan need of heteroseksual.

Kasus Ketiga - Survey Lembaga Pendidikan Dalam observasi yang sudah dilakukan para peneliti pada suatu sekolah X di kota Bandung, didapat hasil bahwa perkembangan kepribadian individu yang mempunyai keluarga yang utuh dan lengkap cenderung berada pada taraf yang stabil dan lebih baik dari pada siswa dengan latar belakang keluarga bercerai.

Perihal siswa dengan latar belakang ketidaklengkapan struktur keluarga akibat kematian tentunya berpengaruh pada perkembangan kepribadian, namun dengan penyesuaian diri yang baik maka tidak akan membuat individu mengalami penyimpangan kepribadian.

(7)

76 Pembahasan

Pada penelitian ini, kami akan membahas mengenai kecenderungan profil : anak psychically broken home dan bunuh diri ditinjau melalui hasil EPPS. Kami telah mendapatkan kedua jurnal yang membahas terkait kedua hal tersebut. Kemudian dari setiap jurnal tersebut akan terlihat kecenderungan profil yang sama atau tidak antara anak yang mengalami psychically broken home dan kecenderungan seseorang untuk bunuh diri. Sehingga hasil penelitian menggunakan metode review literature ini dapat di kembangkan oleh peneliti selanjutnya.

Dalam Jurnal Pertama, Need of Af iliation oleh CA dan MVA keduanya mempunyai dorongan untuk menjalin hubungan dengan orang lain, komunitas, gemar bekerja sama, dan suka membuat senang kelompok tertentu.

Need of Succorance yang tinggi pada CA dan MVA menunjukkan bahwa ketika hendak melakukan bunuh diri, kebutuhan afeksi, simpati dan rasa ingin dimengerti oleh orang lain pada subjek berada pada taraf yang tinggi dan sangat diperlukan. Kesulitan pada pemberian perhatian apabila need ini berada pada taraf yang tinggi, dikarenakan mereka menuntut terlebih dahulu kebutuhan perhatian mereka untuk dirinya sendiri.

Need of Abasement yang berada pada taraf tinggi membuat seseorang akan merasa bersalah dan hal itu bisa menjadi salah satu pemicu munculnya upaya tindakan bunuh diri.

individu akan merasa sangat bersalah jika melakukan kesalahan bahkan sekecil apapun.

Faktor keluarga di rumah juga mempengaruhi kemungkinan peluang upaya tindakan bunuh diri akan terjadi ketika need yang sedang tinggi tidak terpenuhi.

Dalam Jurnal Kedua, menunjukkan bahwa lingkungan keluarga berperan banyak dalam pembentukan kepribadian dari seorang individu.

Kecenderungan kepribadian individu yang mempunyai latar belakang keluarga physically broken home dominan berada dalam kelompok “sedang”. Terdapat 2 aspek kepribadian yang berada pada kualifikasi “tinggi” di jurnal kedua.

Succorance, atau berlindung yang mana kebutuhan ini adalah mengharapkan bantuan dari orang lain dalam kesulitan, baik berupa dukungan, mengharapkan perbuatan baik dari orang lain, mengharapkan simpati dari orang lain , memahami masalah pribadinya, menerima rasa maaf dari orang lain, mengharapkan bantuan dari orang lain ketika berada pada titik tekanan yang paling mendalam dan juga kebutuhan bantuan lainnya.

Aggression , atau dorongan untuk menyerang pendapat ataupun argumen yang berbeda. Persetujuan akan pendapat yang diutarakan oleh individu dengan Need of Aggression yang tinggi kebanyakan bersifat mutlak.

Dari hasil gambaran kedua jurnal, perbedaan gender tidak ada perbedaan yang cukup berarti untuk perihal perkembangan kepribadian tersebut. Begitu juga perihal upaya tindakan bunuh diri, tidak ada pandangan mengenai gender baik laki-laki ataupun perempuan. Namun yang tersorot adalah mengenai gejala-gejala yang muncul sebagai indikasi awal dan juga upaya pencegahannya.

4. Simpulan dan Saran

Dari hasil pemaparan dan seluruh pembahasan, individu dengan physically Broken Home mempunyai banyak kebutuhan kepribadian yang ada pada taraf tinggi yang juga dapat memicu munculnya upaya bunuh diri.

(8)

77

Rujukan untuk test EPPS membantu untuk mengatasi dan mencegah munculnya penyimpangan kepribadian yang ada pada physically Broken Home.

Pada aspek kebutuhan Succorance dan Aggression menjadi titik perhatian yang patut dilebihkan, karena hal tersebut dapat mempengaruhi profil kepribadian kedepannya apabila stagnan berada pada taraf yang tinggi, dan juga lebih banyak memicu seseorang yang sedang berada di kondisi paling bawah untuk melakukan upaya tindakan bunuh diri.

Individu physically Broken Home berada pada posisi yang cukup rapuh terhadap respon ataupun masukan yang diberikan pada individu tersebut. Sehingga perlu untuk seseorang apabila mempunyai suatu permasalahan yang harus di selesaikan yang berkaitan dengan isi dari keluarganya, maka perlu hati-hati dalam mengeluarkan treatment . Hal ini ditujukan agar tidak ada penyimpangan kepribadian yang berarti.

Untuk penelitian selanjutnya, hal yang perlu dikaji lebih banyak adalah upaya pencegahan tindakan bunuh diri oleh individu di kalangan usia berapapun, dan merujuk pada kasus physically Broken Home pun memerlukan perhatian lebih agar pencegahan terhadap penyimpangan kepribadian juga bisa berjalan lancar.

Daftar Rujukan

Astarini, M. I. A. (2018). LITERATUR REVIEW: EFEKTIVITAS MODIFIKASI DOKUMENTASI KEPERAWATAN (A Literature Review: Effectivities of Nursing documentation modification). Jurnal Ners LENTERA, 6(1), 42-48.

Budiono, A. (2008). Keluarga Harmonis Indikator Menuju Sejahtera. Februari, 21, 2008.

Danandjaja, J. (2014). Metode Penelitian Kepustakaan. Antropologi Indonesia.

Hawari, D. (2010). Psikopatologi Bunuh Diri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Keliat, B.A. (1995). Tingkah Laku Bunuh Diri. Cetakan ke-2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Nurhayati, T. (2016). Perkembangan perilaku psikososial pada masa pubertas. Edueksos: Jurnal Pendidikan Sosial & Ekonomi, 4(1).

Nurul. (2015). Edward Personal Preference Schedule (EPPS). Makalah kuliah pengantar psikodiagnosa, 23 Pasha, M. S. (2010). Perbedaan Sikap Remaja Dari Keluarga Utuh Dan Bercerai Terhadap Lawan Jenis Dalam

Menjalin Intimate-Relationship (Doctoral dissertation, Universitas Pendidikan Indonesia).

Pratama, R., Syahniar, S., & Karneli, Y. (2016). Perilaku agresif siswa dari keluarga broken home. Konselor, 5(4).

Sari, E. N. (2017). PROFIL KEPRIBADIAN SISWA YANG BERLATAR BELAKANG KELUARGA PHYSICALLY BROKEN HOME BERDASARKAN EDWARD PERSONAL PREFERENCE SCHEDULE: Studi Deskriptif kepada Peserta Didik SMA Negeri Tahun Ajaran 2014/2015 Se-Kota Bandung (Doctoral dissertation, Universitas Pendidikan Indonesia).

Suryani, L.K. & Lesmana, C. B. J (2008). Hidup Bahagia-Perjuangan Melawan Kegelapan. Jakarta: Pustaka Obor Populer

Syakib, A. (2008). Gue Gak Takut Mati. Jakarta: PT. Grafindo media Pratama Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC

Wirawan, D. I. (2012). Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma: fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial.

Kencana.

ZAMAN, O. A. (2018). KECENDERUNGAN BUNUH DIRI DITINJAU DARI PROFIL KEPRIBADIAN (Doctoral dissertation, Unika Soegijapranata Semarang).

Referensi

Dokumen terkait