• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III ANALISIS UPAYA YANG MENYEBABKAN OPM GAGAL DALAM MEMERDEKAKAN PAPUA DARI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III ANALISIS UPAYA YANG MENYEBABKAN OPM GAGAL DALAM MEMERDEKAKAN PAPUA DARI INDONESIA"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

59 BAB III

ANALISIS UPAYA YANG MENYEBABKAN OPM GAGAL DALAM MEMERDEKAKAN PAPUA DARI INDONESIA

Bab ini berisikan analisis faktor-faktor apa saja yang menyebabkan OPM belum berhasil memisahkan Papua dari Indonesia. Faktor-faktor tersebut antara lain: a) Kegagalan OPM dalam Melemahkan Kebijakan Pemerintah (Otsus), b) Kurangnya Dukungan Masyarakat Terhadap Aktivitas OPM, c) Belum Berhasil Memprovokasi Pemerintah Untuk Melakukan Pelanggaran, d) Kurangnya Legitimasi dan Dukungan Internasional. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing faktor tersebut :

3.1 Upaya OPM dalam Memisahkan Papua dari Indonesia 3.1.1 Melemahkan Kebijakan Pemerintah (Otsus)

Berbagai upaya dalam penyelesaian konflik telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang bertujuan agar Indonesia dapat mempertahankan Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah juga menghentikan berbagai perlawanan yang dilakukan OPM untuk melakukan referendum. Berdasarkan sejarah dan budaya Indonesia yang dianggap berbeda dengan wilayah Papua membuat OPM tetap berkeyakinan untuk melakukan referendum dan terus melakukan upaya separatis.

Keinginan OPM untuk melepaskan Papua dari Indonesia dikarenakan adanya perasaan tidak adil jika Papua dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainya, khususnya terkait kesejahteraan masyarakat dan pembangunan di Papua. Kondisi ini semakin meningkatkan aksi separatisme yang dilakukan oleh OPM dan kelompok pemberontakan lainnya di Papua. Pemerintah memberikan kebijakan Otonomi Khusus (otsus) yang

(2)

60

dikeluarkan melalui Undang-Undang tahun 2001 dengan tujuan untuk menjaga keamanan di wilayah Papua.1

UU Otsus Papua merupakan kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk mendorong pembangunan terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infrastruktur. UU Otsus ini dibuat agar masyarakat Papua merasa sejahtera dan untuk mensejajarkan Papua dengan wilayah lainnya di Indonesia, sehingga masyarakat Papua merasa setara dan adil.2 Salah satu hal mendasar dalam UU Otsus adalah pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar Orang Asli Papua (OAP). Dengan ini pemerintah memberikan kesempatan kepada OAP untuk berperan aktif dalam mensejahterakan masyarakat melalui pendidikan dan kesehatan.3

1 Muridan S. Widjojo, Political Review Melanesia: Papua, The Contemporary Pacific, Vol. 26, No. 2, 2014.

2 Azmi Mutaqin, Loc,cit.

3 BPK RI, 2021, Pengelola Dana Otonomi Khusus Pada Provinsi Papua dan papua Barat, diakses di https://www.bpk.go.id/assets/files/storage/2021/01/file_storage_1611741659.pdf

(3)

61

Gambar 3.1 Dana Otsus Tahun 2002-2019

Sumber : BPKAD Provinsi Papua

Sesuai dengan UU Otsus, pemerintah telah menyalurkan Dana Otsus sebesar Rp 86,45 triliun dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) sebesar Rp28,06 triliun dengan total seluruhnya sebesar Rp114,51 triliun selama periode 2002-2019. Dana Otsus

(4)

62

diberikan untuk pembiayaan di bidang pendidikan dan kesehatan, sedangkan DTI digunakan untuk pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua dan Papua Barat.4

Selama hampir 20 tahun Otsus berjalan, Papua belum lepas dari masalah ketertinggalan kesejahteraan dari provinsi lainnya. Melihat indikator kesejahteraan seperti indeks kemiskinan, rasio gini, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Setelah diberlakukannya otsus, Papua belum dapat mengejar ketertinggalan, hal ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) selama 2002-2019 pencapaian indikator kesejahteraan mengalami perkembangan namun belum bisa mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya.5

Tabel 3.2 Perkembangan Indikator Kesejahteraan di Provinsi Papua Tahun 2017- 2019

4 Ibid.

5 Badan Pemeriksa Keuangan RI, Pengelolaan Dana Otonomi Khusus pada Provinsi Papua dan Papua Barat, diakses pada 17 Agustus 2021 di

https://www.bpk.go.id/assets/files/storage/2021/01/file_storage_1611741659.pdf

(5)

63

Indikator Kesejahteraan 2017 2018 2019

Kemiskinan (%) 27.69 27.59 27.04

Gini Ratio 0.397 0.384 0.394

IPM 59.09 60.06 60.84

Pertumbuhan ekonomi (%) 4.64 7.32 -15.75

Pengangguran (%) 3.62 3 3.51

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2021

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih rendah yaitu 59.09%, sementara rata-rata nasional 69,53%. Bahkan tingkat kemiskinan paling tinggi juga di Papua, mencapai 27.69% pada tahun 2017. Kondisi tersebut memunculkan ketidakpuasan dan dapat menimbulkan gejolak di Papua, hal tersebut kemudian dimanfaatkan oleh OPM secara perlahan untuk melemahkan kebijakan Indonesia. Selain indikator kesejahteraan masyarakat, isu atau berita hoaks yang menjelek-jelekan Indonesia juga dimanfaatkan oleh OPM. Indonesia dianggap telah melanggar hak asasi OAP dan tidak peduli terhadap kesejahteraan masyarakat Papua, berita ini sengaja disebar luaskan untuk menarik perhatian di dunia internasional.6

Dalam implementasi UU Otsus Papua, ada beberapa kelompok masyarakat yang menganggap Otsus Papua gagal, sementara yang lainnya menyatakan otsus telah memberikan banyak manfaat bagi masyarakat. Pemerintah daerah (provinsi/kota) beranggapan bahwa Otsus Papua telah memberikan banyak perubahan bagi kehidupan

6 Sarah Nita Hasibuan, Polemik Pengelolaan Dana Alokasi Khusus di Provinsi Papua, Jurnal Indonesia Maju, Vol 1, No. 1, Agustus 2021.

(6)

64

masyarakat Papua terutama dalam pendidikan, kesehatan dan pembangunan.

Implementasi Otsus Papua masih memunculkan beberapa masalah yang membutuhkan solusi secara konkret.7

Banyak kritik masyarakat tentang pelaksanaan Otsus yang masih buruk yang mana masyarakat Papua tidak mengalami perubahan secara signifikan dan belum mendapat manfaat langsung dari pelaksanaan Otsus. Tidak adanya arah kebijakan yang jelas dan kurang transparansi dalam penggunaan dana Otsus.Kegagalan implementasi Otsus terlihat dari penyelewengan dana Otsus mencapai hingga 28 triliun. Dana Otsus tidak tersalurkan dengan baik kepada masyarakat Papua, disalahgunakan oleh orang- orang politik dan birokrat Papua untuk meningkatkan kekuasaan mereka.8

Kebijakan dan dana yang disediakan pemerintah tidak menjadi jaminan untuk menghentikan upaya OPM dalam melepaskan Papua dari Indonesia. Dana otsus yang diberikan pemerintah belum sukses dalam memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya. Salah satu faktornya yaitu karena masyarakat Papua kurang terlibat langsung dalam pemberdayaannya. Selain dana Otsus yang belum tepat pada sasaran, hal ini dikarenakan adanya penyelewengan dana oleh elit politik daerah, hal ini pernah dilaporkan masyarakat kepada Indonesian Corruption Watch (ICW).9

Berbagai kelemahan dan kendala pelaksanaan Otsus ini digunakan kelompok separatis untuk melancarkan aksi-aksinya. Melalui aksi demonstrasi yang menyuarakan kekecewaannya terhadap pemerintah, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam memenuhi tuntutan rakyat, dan justru semakin menyuarakan

7 Azmi Mutaqin, Loc. Cit.

8 Lambang Trijono, Loc. Cit.

9 Sekar Wulan Febrianti, dkk. Op,cit. hal. 95.

(7)

65

pemisahan Papua dari NKRI. Aksi demonstrasi membuat situasi keamanan di Papua semakin memanas. Berbagai aksi unjuk rasa untuk menyuarakan penolakan otsus hingga terjadi insiden penembakan terhadap warga sipil, tokoh masyarakat hingga aparat keamanan.

Selain melakukan aksi unjuk rasa, komunikasi dan media massa merupakan dasar dari keberhasilan dan perkembangan sebuah pergerakan sosial. Selain itu, dukungan juga menjadi faktor keberhasilan dari sebuah pergerakan sosial, namun penting bagi pergerakan sosial agar berasi secara global. Dengan menggunakan network secara global, peran komunikasi, teknologi dan media massa menjadi sangat penting dalam suatu pergerakan.10

Seiring perkembangan teknologi, internet menjadi alat komunikasi yang mudah untuk digunakan. Banyak kelompok separatis yang melakukan cyberprotest (memanfaatkan media) untuk mendukung aksi-aksinya. Cyberprotest ini digunakan kelompok separatis untuk menyebarluaskan informasi dengan tujuan agar masyarakat internasional dapat mengetahui konflik yang terjadi sehingga lebih mudah untuk mendapat dukungan dari masyarakat lokal maupun global.11

3.1.2 Mencari Dukungan Masyarakat

Pemberontak sangat membutuhkan dukungan masyarakat. Para ahli tentang Insurgency setuju bahwa dukungan masyarakat lokal sangat diperlukan untuk

10 Van de Donk, Wim, Brian D. Loader, Paul G. Nixon, dan Dieter Rucht, 2004. Cyberprotest "New Media, Citizens and Social Movements", London and New York: Routledge.

11 Ibid.

(8)

66

mengimbangi sumber daya yang tersedia untuk negara. Dukungan dapat muncul dengan paksaan, teror dan intimidasi, tetapi perjuangan revolusioner yang panjang seharusnya tidak menggunakan langkah seperti teror dan intimidasi. Teror merupakan salah satu taktik yang berguna bagi pemberontak, namun dampak dari teror tersebut berpotensi mengurangi sebagian besar dukungan masyarakat terhadap kelompok pemberontak.12

Dukungan diartikan berdasarkan perilaku individu terhadap kelompok pemberontak. Dukungan terbagi menjadi dua yaitu dukungan aktif dan pasif. Perbedaan antara dukungan pasif dan aktif yaitu dukungan pasif merupakan bentuk dukungan yang tidak melibatkan aksi langsung pada pemberontakan, tetapi dalam bentuk kesetiaan terhadap kelompok pemberontak. Kesetiaan yang paling sederhana ditunjukkan dengan cara mendukung semua aksi pemberontak dan tidak mengungkapkan tentang aksi kelompok yang akan dilakukan dan informasi organisasi terhadap kelompok yang kontra terhadap pemberontakan.13 Sedangkan dukungan aktif berbentuk dukungan materiil dan sumber daya manusia untuk melancarkan aksinya. Dukungan aktif ini sangat penting dalam meningkatkan kekuatan bagi kelompok pemberontak.14

Sejak awal lahirnya OPM, aksi pemberontakan yang dilakukan tidak terlepas dari aksi kekerasan dan penembakan. Tujuan yang dibawa oleh OPM merupakan keinginan sebagian masyarakat Papua yang ingin kemerdekaan dan melepaskan diri dari Indonesia. Berbagai upaya yang dilakukan OPM menunjukkan bahwa adanya dukungan terhadap OPM. Faktor dukungan merupakan salah satu faktor pendukung dalam

12 Lincoln Krause, 2009, Playing for the Breaks: Insurgent Mistakes, diakses pada 25 Agustus 2021 di https://ssi.armywarcollege.edu/pubs/parameters/articles/09autumn/krause.pdf

13 Eric Jardine, The IInsurgent's Dilemma: A Theory of Mobilization and Conflict Outcome. Ottawa: Carleton University, hal.59.

14 Ibid, hal.60.

(9)

67

menentukan keberhasilan kelompok pemberontak dalam melawan pemerintah yang memiliki perbedaan kekuatan.

Salah satu dukungan terhadap OPM yaitu datang dari pemuka agama (pendeta), baik asal Papua maupun asing. Pendeta Socrates Sofyan Nyoman sejak lama diidentifikasi sebagai kalangan gereja ekstrim oleh aparat keamanan. Ia memiliki perbedaan pandangan dengan pemerintah dalam menyikapi gerakan separatisme Papua.

Selain itu, para donatur asing diwaspadai cenderung memberikan dukungan terhadap OPM dan memiliki perbedaan pandangan dengan pemerintah dalam menyikapi kasus- kasus pelanggaran HAM.15

Selain itu, banyak beredar propaganda dan hoaks (berita palsu) yang memunculkan berita negatif terkait keamanan Papua. Adanya permasalahan atau konflik keamanan di Papua dikarenakan adanya kelompok separatis. Dengan kondisi tersebut TNI/Polri turun tangan untuk menangani masalah keamanan tersebut. Banyaknya propaganda dan isu hoax yang beredar di Papua disebar luaskan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan memiliki tujuan untuk memisahkan Papua dari Indonesia.

Masyarakat yang termakan propaganda biasanya kelompok yang belum mengetahui landasan dasar Papua masuk ke Indonesia. Selanjutnya, digunakan oleh kelompok- kelompok yang tidak bertanggung jawab untuk menjadikan isu hoaks sebagai alat agar terjadinya kekacauan di Papua. 16

15 Poltak Partogi Nainggolan, Aktivitas Internasional Gerakan Separatisme Papua, Kajian Vol. 19, No. 3, September 2014, hal. 189.

16 Moya Institute, Konflik Keamanan di Papua dan Solusinya, diakes pada 25 Juli 2021 di https://www.youtube.com/watch?v=v3n7jkk4G88

(10)

68

Menurut Ketua Persatuan Gereja-gereja di Papua, Pendeta Metusalah PA Mauri dalam webinar yang diadakan Moya Institute, aksi-aksi yang dilakukan OPM sangat menyedihkan. Mauri mengungkapkan, tidak benar kalau ada yang mengatakan aparat keamanan melakukan genosida di Papua. Ia juga berharap pemerintah berani menangkap orang-orang yang menyebarkan berita palsu. Mauri juga mengajak seluruh lapisan masyarakat seperti tokoh adat, pemuka agama dan tokoh masyarakat untuk menyampaikan informasi yang benar tentang kedamaian dan kebaikan di tanah Papua.

Hal ini didukung oleh Pendeta Joop Suebu, Ketua Persekutuan Gereja Jayapura (PGJJ) di Kabupaten Jayapura. Hingga saat ini setidaknya ada 15 tokoh agama di Papua yang terus mendukung Indonesia dan menyebarkan pesan damai kepada masyarakat Papua.17

Masyarakat Papua juga cenderung menentang aksi kekerasan yang dilakukan OPM. Akan tetapi OPM tidak putus asa, berbagai upaya dalam memanfaatkan situasi yang kurang kondusif untuk membangun kemarahan pemerintah, seperti halnya pada tahun 2019 pemerintah mengirimkan TNI/Polri ke Papua dengan jumlah besar untuk mengamankan aksi demonstrasi rasisme yang berujung pada kerusuhan di Papua. Hal tersebut dilakukan OPM untuk menarik perhatian domestik maupun Internasional dan mengangkat isu HAM agar menjadi perbincangan Internasional dan merebut dukungan dari Indonesia. Namun dukungan yang diinginkan OPM malah berbanding terbalik dengan apa yang di dapatkan, penurunan dukungan masyarakat Papua terhadap OPM dikarenakan aksi kekerasan dan pembakaran gedung-gedung saat melakukan demonstrasi untuk menunjukan rasa kekesalannya terhadap pemerintah. Hal tersebut banyak memakan kerugian materil maupun memakan korban jiwa.18

17 Ibid.

18 Ibid.

(11)

69

3.1.3 Memprovokasi Pemerintah Untuk Melakukan Pelanggaran

Sejak berdirinya OPM hingga saat ini banyak kelompok-kelompok yang ingin melepaskan Papua dari Indonesia. Salah satu cara yang dilakukan OPM yaitu memprovokasi pemerintah untuk melakukan pelanggaran, terutama pelanggaran HAM.

Pemerintah pun mengakui eksistensi OPM sebagai kelompok pemberontakan terhadap pemerintah. Hal semacam ini tentunya mengancam kedaulatan Indonesia.19

Dalam literatur hukum internasional pemberontak dapat dikatakan sebagai Belligerent apabila kelompok pemberontak tersebut dapat menguasai wilayah yang cukup luas dan memiliki pemerintahannya sendiri. Sebagaimana diatur pada Pasal 1 HR Konvensi Den Haag IV 1907, syarat-syarat pemberontak sebagai berikut: Memiliki pemimpin yang bertanggung jawab, mempunyai atribut/simbol khusus sebagai tanda pengenal; membawa senjata; dan melakukan kegiatan sesuai dengan peraturan dan kebiasaan perang. 20

Meskipun dalam perspektif hukum internasional apabila pemberontak dapat dikatakan belligerent, namun pada kenyataannya dalam politik internasional, kelompok pemberontak tidak mudah untuk diakui sebagai belligerent. Negara atau pemerintah tidak akan mengakui status mereka sebagai belligerent. Dalam hukum nasional negara, kelompok belligerent adalah pemberontak yang melanggar undang-undang nasional.

Selain itu, bukan hal yang mudah untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan dari

19 Boer Mauna, 2015, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT. Alumni.

20 ICRC, 1999, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: ICRC.

(12)

70

negara-negara lain karena pada umumnya negara-negara akan saling menjaga hubungannya dengan negara yang terdapat kelompok pemberontak tersebut. 21

OPM belum dapat dikatakan sebagai subjek hukum internasional meskipun telah memenuhi beberapa persyaratan sebagai pemberontak. Syarat tersebut seperti yang pertama yaitu memiliki seorang pemimpin, Komandan Terianus Aronggear yang bertanggungjawab atas tindakan anggota-anggotanya. OPM juga mempunyai Panglima Perang yang bernama Goliat Tabuni bertugas dalam aksi pemberontakan terhadap pemerintah maupun aparat keamanan yang kontra terhadap OPM.22

Kedua, OPM telah memiliki simbol identitasnya seperti bendera bintang kejora dan memiliki semboyan One People One Soul. Dengan pembentukan simbol sebagai dasar negara, OPM menghendaki wilayah Papua menjadi yang merdeka dan berdaulat.

Wilayah kekuasaan OPM yang dijadikan markas senjata dan tempat persembunyiannya yaitu mencakup Kabupaten Puncak dan Puncak Jaya. Kelompok pemberontak dapat dikatakan sebagai belligerent apabila secara de facto telah menguasai beberapa wilayah secara efektif.23

Ketiga, aksi-aksi yang dilakukan OPM melakukan pemberontakan fisik yang menggunakan senjata secara diam-diam untuk menyerang rumah warga dan TNI/Polri sehingga banyak memakan korban jiwa. Selain aksi kekerasan, OPM juga mengibarkan bendera di beberapa wilayah di Papua.24 Keempat, konflik yang terjadi antara OPM dan

21 Sefriani, 2010, Suatu Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 181-182.

22 Ngatiyem, 2017, Organisasi Papua Merdeka tahun 1964-1998 Studi Tentang Pembangunan Stabilitas Politik Di Indonesia, Skripsi, Surakarta: Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Sebelas Maret Surakarta, hal. 69.

23 I Wayan Parthiana, 1990, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Mandar Maju.

24 Ngatiyem, Op,cit. hal. 85.

(13)

71

TNI/Polri harus memperhatikan aturan-aturan perang, apabila OPM berhasil merebut Papua dari Indonesia dan membentuk otoritas de facto di wilayah Papua. Namun diberlakukannya Hukum Humaniter Internasional tidak ditentukan oleh sebab atau tujuan perang, tetapi ditentukan oleh sifat dari tindakan perang itu sendiri. Oleh karena itu, Hukum Humaniter Internasional harus diberlakukan apabila sifat tindakan perang dilakukan menggunakan senjata. 25

Menurut penulis berdasarkan analisis diatas bahwa OPM belum dapat memenuhi semua syarat-syarat belligerent, karena tidak secara umum mengakui kepemilikan senjata bahkan tidak dapat membedakan masyarakat sipil sebagai suatu kebiasaan perang dalam setiap melakukan operasinya. Oleh karena itu, kondisi pemberontak untuk OPM adalah insurgent karena hingga saat ini secara de facto OPM belum mencapai keteraturan sebagai organisasi yang sistematis dalam melakukan perlawanan dan secara de jure OPM sebagai kelompok yang menggunakan senjata untuk mencapai keberhasilannya, sehingga insurgent tidak dapat dikatakan sebagai pribadi internasional menurut hukum internasional.

Tabel 3.5 Aksi dan Korban Kontak Senjata OPM-TNI/Polri

No. Tahun Aksi dan Korban

1. 2017 52 Kasus

2. 2018 18 Kasus

3. 2019 10 Kasus

25 Ambarwati dkk, 2012, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 73.

(14)

72

4. 2020 49 Kasus

Sumber : Data Humas Kepolisian Daerah Papua

Aksi kontak senjata yang dilakukan OPM-TNI/Polri mengalami penurunan pada tahun 2019, namun terjadi peningkatan kembali pada tahun 2020. Hal ini tidak dapat memprovokasi pemerintah untuk melakukan pelanggaran karena dalam kontak senjata tersebut pihak TNI/Polri dikerahkan untuk melakukan tugasnya dalam mengamankan situasi dan masyarakat sekitar dari aksi kekerasan dan penembakan yang dilakukan OPM terhadap masyarakat sipil maupun anggota TNI/Polri. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta TNI dan Polri untuk memperkuat pengamanan di Papua dari ancaman teror OPM. Sekitar 1.500 warga dari sejumlah kampung di Tembagapura mengungsi ke Kota Timika karena merasa takut dan terancam dengan aksi teror yang dilakukan OPM.26

Strategi Tito dalam mengatasi gangguan OPM yaitu menggunakan soft approach. Dengan cara meminta tokoh masyarakat untuk berdialog dengan OPM agar tidak melakukan aksi kekerasan. Pendekatan ini digunakan Tito saat menjabat sebagai Kapolda Papua selama dua tahun. Namun apabila soft approach tidak bisa diterima dengan baik, maka aparat keamanan harus bertindak tegas. Tindakan tegas yang dimaksud bukan kejahatan genosida melainkan tindakan keamanan yang diberikan TNI/Polri kepada masyarakat untuk melindungi masyarakat dan menekan tindak kejahatan yang dilakukan OPM.27

26 Tribun News, Mendagri Tito Karnavian Cerita Pengalamannya sebagai Kapolda Papua Atasi KKB dengan Soft Approach, diakses pada 24 Agustus 2021 di https://www.youtube.com/watch?v=nvcXnVA1baA

27 Ibid.

(15)

73

Pada faktor memprovokasi pemerintah untuk melakukan pelanggaran ini, bisa dilihat bahwa OPM gagal dalam mencapai tujuannya dikarenakan aksi kontak senjata antara OPM dan TNI/Polri dilakukan TNI/Polri sebagai bentuk pengamanan dan perlindungan terhadap teror dari OPM. Bahkan bisa dikatakan bahwa faktor ini, apabila OPM menjalankan upayanya untuk menjatuhkan Indonesia, maka faktor ini bisa dijadikan sebagai salah satu penyebab kegagalan OPM dalam melepas Papua dari Indonesia. Akan tetapi, dikarenakan aksi yang digunakan sangat meresahkan masyarakat sipil maka bisa dikatakan bahwa bertahannya OPM dalam jangka waktu panjang juga tidak menjadi jaminan atas keberhasilannya kelak, karena pada tabel 3.5 bisa disimpulkan bahwa OPM melakukan kontak senjata cukup banyak dan cenderung tidak berhasil melemahkan kekuatan TNI/Polri dan lebih condong pada keberhasilan pemerintah dalam mempertahankan keamanan.

3.1.4 Mencari Dukungan dan Legitimasi Internasional

Konflik di Papua dapat menimbulkan ancaman terhadap keutuhan NKRI. Upaya OPM dalam mencari dukungan melalui media online mendapat respon dan dukungan dari beberapa negara. Salah satunya yaitu organisasi-organisasi internasional seperti West Papua Action di Irlandia, International Parliamentarians for West Papua (IPWP) yang terbentuk di Inggris, dan West Papua Action Network atau Westpan di Kanada mendukung lepasnya Papua dari Indonesia, selain itu ada beberapa negara yang juga mendukung kemerdekaan Papua yaitu Vanuatu, Cook Island, dan Nauru.28

28 Suyatno Ladiqi, Baiq Wardhani, dan Ismail Suardi Wekke, 2017. Sociopolitical Dimensions in Southeast Asia. Yogyakarta: Deepublish.

(16)

74

Upaya OPM dalam mencari dukungan internasional menggunakan internet menjadi tantangan bagi pemerintah, karena dampak dari perlawanan tersebut yaitu ancaman terhadap kedaulatan negara. Dalam menghadapi ancaman seperti ini, pemerintah memerlukan strategi soft power dan diplomasi, namun strategi ini belum dimaksimalkan oleh pemerintah. Pemanfaatan media online ini menjadi tantangan yang cukup mengganggu kesejahteraan dan keamanan NKRI.

Republik Vanuatu mendukung dan membantu OPM dalam encari dukungan ke dunia Internasional, salah satunya yaitu memperkenlkan Benny Wenda ke Komisi HAM PBB. Hal ini dikarenakan Pemerintah Indonesia dalam melakukan kontra propaganda terhadap OPM selalu menggunakan state actor, dan kurang menjadikan non-state actor menjadi bagian dalam upaya kontra propaganda yang dilakukan Pemerintah Indonesia.

Seharusnya Pemerintah Indonesia lebih mengutamakan pendekatan kepada non-state actor, atau membentuk dan mendanai non-state actor baru sebagai penyeimbang atas propaganda yang terus dilakukan oleh OPM.29

Pendekatan non-state actor yang dilakukan yaitu melalui hubungan diplomatik dengan kehadiran perwakilan Indonesia untuk memperkenalkan Indonesia kepada Vanuatu. Dalam dokumen hubungan bilateral Indonesia-Vanuatu, telah disepakati komitmen hubungan persahabatan antara Indonesia-Vanuatu. Selain itu, Indonesia berupaya meluruskan sudut pandang Vanuatu yang disampaikan dalam beberapa forum internasional. Indonesia melakukan pendekatan kepada negara-negara MSG (Melanesian Spearhead Group) terutama kepada Vanuatu menggunakan pendekatan diplomasi total.

29 Gia Noor S. P., dkk. Strategi Pemerintah Indonesia terhadap Negara-Negara Anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) dalam Menghadapi Propaganda Organisasi Papua Merdeka (OPM): Studi Kasus Negara Republik Vanuatu. Jurnal Peperangan Asimetris, vol. 5, no. 2, Agustus 2019.

(17)

75

Dalam diplomasi tersebut Indonesia menekankan bahwa ada beberapa ras Melanesia selain Papua, seperti Nusa Tenggara Timur dan Maluku.

Melihat dukungan negara asing kepada gerakan separatisme, Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa permasalahan yang terjadi di Papua merupakan masalah dalam negeri dan tidak memerlukan campur tangan asing. Pepera pada tahun 1969 merupakan hasil akhir terhadap status Papua sebagai wilayah dari Indonesia dan hasil tersebut diterima oleh PBB, namun hal ini semakin rumit dengan penolakan yang dilakukan oleh OPM dan kelompok separatis lainnya yang menganggap hasil Pepera tersebut tidak sah karena tidak melibatkan masyarakat asli Papua.

Indonesia tetap kuat pada pendiriannya dan tetap menghadapi tantangan dukungan internasional yang diberikan kepada OPM. Konflik yang terjadi di Papua merupakan isu domestik yang dapat diurus oleh Indonesia tanpa intervensi asing. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam sesi debat umum Sidang Majelis Umum ke-73 PBB menyatakan bahwa tindakan Vanuatu melanggar prinsip-prinsip PBB karena tidak menghormati kedaulatan dan integritas teritorial. Indonesia tidak akan tinggal diam dalam membela integritas teritorial.30

Faktor pendukung dari kuatnya faktor dukungan yaitu faktor legitimasi, dimana pemimpin dari kelompok pemberontak menjelaskan alasan dari aksi kekerasan yang dilakukan atau mereka akan kehilangan dukungan dari masyarakat ketika pimpinan kelompok tidak dapat meyakinkan legitimasinya. Pada akhirnya kelompok pemberontak melegitimasi aksi kekerasannya dan mengartikan aksi-aksinya ke dalam sebuah

30 Ibid.

(18)

76

dukungan yang mewakili sebuah wilayah, dan memiliki tujuan untuk menggantikan fungsi negara di tingkat lokal.31

Dalam ilmu politik, legitimasi yang dimaksud yaitu suatu kebijakan yang diambil pemimpin dan dapat diterima serta diakui kewenangannya oleh masyarakat.

Keputusan masyarakat dalam menerima atau menolak kebijakan pemimpin menjadi penentu hubungan antara pemimpin dan masyarakatnya.32 Legitimasi didefinisikan sebagai pengakuan masyarakat kepada pemimpin untuk memerintah dan membuat kebijakan politik.

Faktor legitimasi ini mengarah kepada alasan yang kuat atas aksi yang dilakukan. OPM melegitimasi aksi-aksi kekerasan yang dilakukan atas dasar melawan pemerintah Indonesia untuk melepaskan diri dari Indonesia. Legitimasi inilah yang pertama kali diakui oleh kelompok OPM untuk melakukan aksi-aksi kekerasan, karena memang seperti yang ada pada faktor dukungan, masyarakat memiliki rasa sepenanggungan atas ketidakadilan pemerintah berdasarkan kondisi ekonomi, sosial dan budaya, jadi OPM melegitimasi aksinya atas dasar melindungi masyarakat asli Papua dan sumber daya alam di Papua.

Legitimasi selanjutnya oleh OPM atas upayanya yaitu otsus yang diberikan pemerintah Indonesia yang tidak menemui titik temu kesejahteraan bagi masyarakat Papua. OPM beranggapan bahwa respon pemerintah Indonesia itu lambat dan kurang tanggap. Hal ini bisa juga dikarenakan pemerintah Indonesia yang tidak bisa menerima

31 James D. Kiras, Irregular Warfare: Terrorism and Insurgency, hal. 193.

32 R. Surbekti, 1992, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT Grasindo.

(19)

77

permintaan dari kelompok OPM. Legitimasi atas hal ini lah yang juga dijadikan penguat untuk melegalkan kenapa OPM melanjutkan upaya-upaya kekerasannya.

Selanjutnya legitimasi oleh OPM atas upayakan dalam menyuarakan aspirasinya melalui demo terhadap pemerintah yang tidak memiliki ujung. Apabila hal ini dibahas, sudah lebih baik bahwa OPM sebagai gerakan separatis masih mau untuk mempertanyakan aspirasinya yang memiliki tujuan untuk disetujui. Akan tetapi, aspirasi yang diinginkan OPM belum memiliki titik temu. Bahkan OPM beranggapan bahwa respon pemerintah Indonesia kurang tanggap. Hal ini bisa juga dikarenakan pemerintah Indonesia yang tidak bisa menerima permintaan dari OPM. Legitimasi atas hal inilah yang juga dijadikan penguat kenapa OPM melanjutkan upaya-upaya kekerasannya.

Faktor kurangnya dukungan menjadi faktor yang cukup kuat untuk menentukan kegagalan kelompok OPM, dan dipertegas dengan statement sekjen PBB yang menyatakan bahwa Papua merupakan wilayah kedaulatan Indonesia. Di samping itu faktor legitimasi sebagai faktor dasar penguat terkumpulnya dukungan yang didapatkan oleh kelompok pemberontakan. Faktor legitimasi cukup mempengaruhi keberadaan dari faktor dukungan yang menjadi penting serta landasan kuat pada penyebab gagalnya suatu pemberontakan.

3.2 Analisis Faktor-Faktor Kegagalan OPM dalam Melepaskan Papua dari Indonesia 3.2.1 Kegagalan OPM dalam Melemahkan Kebijakan Pemerintah (Otsus)

OPM mengunakan perkembangan teknologi dan komunikasi untuk mencari perhatian masyarakat dan memprovokasi masyarakat untuk mendukung gerakan separatis tersebut. Media online menjadi jalan pintas bagi OPM untuk menunjukan

(20)

78

upaya-upaya mereka di dunia internasional, dengan cara membuat website online sebagai wadah menyalurkan suara-suara mereka ke dalam dunia internasional.33

Salah satu provokasi yang dilakukan gerakan separatis melalui internet yaitu statement Benny Wenda di akun Twitternya yang menyatakan bahwa "Today, we announce the formation of our Provisional Government of #West Papua. From today, December 1, 2020, we begin implementing our own constitution and reclaiming our sovereign land". Namun pernyataan Benny Wenda di jawab oleh Menko Polhukam Mahfud yang menyatakan bahwa Benny Wenda membentuk negara ilusi di Papua dan deklarasi yang tersebut tidak diakui oleh negara-negara lain yang tergabung dalam organisasi internasional. Benny Wenda mengumumkan pemerintahan sementara di Papua Barat dianggap sebagai makar, kemudian MPR mengambil tindakan dan meminta Polri melakukan penegakan hukum menggunakan pasal-pasal tentang kejahatan keamanan negara.34

Provokasi yang dilakukan OPM menimbulkan banyak konflik yang terjadi di Papua. Strategi ini digunakan untuk melawan kebijakan pemerintah dan melemahkan pemerintah dengan mengangkat isu HAM saat terjadinya kontak senjata antara TNI/Polri dengan OPM. OPM akan terus menggoncang Papua dengan isu-isu yang sengaja diciptakan sebagai bentuk eksistensi gerakan pro kemerdekaan. Aksi-aksi yang

33 Richard Chauvel & Ikrar Nusa Bhakti, 2004. The Papua Conflict: Jakarta's Perceptions and Policies.

Washington: East-West Center Washington.

34 Kompas TV, Mahfud MD: Benny Wenda Ini Membuat Negara Ilusi, diakses di https://youtu.be/tN1-d-qgCu0

(21)

79

dilakukan OPM membuat image bahwa Papua tidak aman, sehingga banyak masyarakat luar Papua beranggapan bahwa Papua saat ini merupakan wilayah konflik.35

Sejak tahun 2017 hingga saat ini banyak rentetan kontak senjata antara TNI/Polri dengan OPM. OPM melakukan penolakan Otsus Jilid II dan melakukan banyak aksi kontak senjata dengan tujuan untuk mencari perhatian dalam Sidang Umum PBB. Hasil kajian yang dilakukan oleh tim ALDP (Analisa Demokrasi untuk Papua) terkait dengan aksi kekerasan dan UU Otsus Papua tahun 2019, ALDP mencatat setidaknya ada 35 kasus kontak senjata antara TNI/Polri dengan OPM di Papua dan hingga bulan Oktober 2020 ada sekitar 35 kasus serupa. Para periode akhir tahun 2020 potensi meningkatnya aksi kekerasan masih sangat mungkin mengingat dinamikanya masih sangat tinggi bahkan dalam periode September dan Oktober, sejumlah aksi kekerasan terjadi secara beruntun.36

Sejauh ini agenda penolakan UU Otsus yang sangat gencar dilakukan oleh OPM.

Melihat banyaknya aksi kekerasan tersebut, namun OPM belum berhasil dalam melemahkan kebijakan pemerintah dikarenakan sejauh ini kebijakan pemerintah melalui otsus membawa peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Papua meskipun belum bisa melampaui angka kesejahteraan di provinsi lainnya. Pemerintah pusat memaksakan untuk ‘mengendalikan’ Otsus, hal tersebut terlihat dengan lahirnya Instruksi Presiden

35 Suara Dewata, KKB dan Separatisme Sumber Konflik Bagi Masyarakat Papua, diakses di

https://www.suaradewata.com/read/202105240001/kkb-dan-separatis-sumber-konflik-bagi-masyarakat- papua.html

36 ALDP Papua, Masyarakat Sipil di Tengah Pusaran Aksi Kekerasan dan Skema Baru UU Otsus. Diakses pada 24 Agustus 2021 di https://www.aldp-papua.com/masyarakat-sipil-di-tengah-pusaran-aksi-kekerasan-dan- skema-baru-uu-otsus/

(22)

80

(Inpres) Nomor 9 tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat tanggal 29 September 2020.37

Di dalam diktum kedua UU Otsus pada butir ke empat tentang strategi disebutkan soal penerapan pendekatan dialog dengan semua komponen masyarakat. Secara khusus Kepala Staf Kepresidenan bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri ditugaskan untuk melakukan pendekatan dialog dengan semua komponen masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga penyelenggara pemerintahan daerah serta kelompok- kelompok strategis guna perumusan kebijakan sosial politik yang memperhatikan kontekstual Papua. Selain itu panglima TNI dan Kapolri ditugaskan juga untuk membangun komunikasi sosial yang inklusif dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, tokoh adat dan kelompok-kelompok strategis Papua dalam mewujudkan pendekatan dan kebijakan pembangunan yang tepat.38 Strategi dan tugas ini masih harus diperjelas karena dialog sebagai langkah non kekerasan, solusi strategis dan sangat penting untuk mengakomodir berbagai kelompok separatis di Papua terutama OPM dan berfokus pada akar masalah di Papua.

3.2.2 Kurangnya Dukungan Masyarakat Terhadap Aktivitas OPM

Dukungan masyarakat Papua menjadi bagian penting dalam mendapat dukungan domestik sehingga mereka lebih mudah untuk melawan pemerintah Indonesia.

Untuk itu, maka pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa dukungan masyarakat Papua sangat penting dan harus dijaga agar mayoritas masyarakat Papua mendukung

37 Ibid.

38 Ibid.

(23)

81

pemerintah Indonesia agar tetap menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasca era reformasi, pemerintah Indonesia berusaha untuk melakukan pendekatan dengan masyarakat Papua dengan cara kehadiran pemerintah di Papua tanpa menggunakan pendekatan militeristik. Pemerintah menyadari bahwa konflik-konflik yang terjadi di Papua seperti isu pelanggaran HAM menjadi pemicu konflik dan menjadi kelemahan bagi pemerintah Indonesia. Hal ini dilakukan agar menumbuhkan rasa simpati masyarakat Papua terhadap pemerintah Indonesia melalui upaya-upaya pendekatan terkait kesejahteraan dan sosial-budaya terhadap masyarakat Papua.

Untuk mencapai keberhasilan gerakan pemberontak maka harus diketahui seberapa banyak dukungan yang dibutuhkan. Dukungan menjadi sumber peningkatan kekuatan bagi kelompok pemberontak terhadap negara, sehingga dukungan ini diperlukan oleh kelompok pemberontak yang aktif maupun pasif. Jika dihitung secara rasional, dukungan masyarakat untuk melawan negara dibutuhkan jumlah yang cukup besar. Menurut Abraham Guillen, dalam konteks Amerika Latin, bahwa mayoritas besar hingga 80% dari populasi yang ada di wilayah tersebut menggunakan suaranya untuk mendukung kelompok pemberontak sehingga kelompok pemberontak dapat bertahan dalam melawan kekuatan negara.39

Dalam kasus ini, harus dipahami bahwa tujuan yang dipegang teguh oleh OPM yaitu representasi dari sebagian keinginan masyarakat Papua yang ingin memerdekakan diri dari Indonesia. Selain mendapat dukungan dari internal, dukungan eksternal juga sangat dibutuhkan karena dapat menjadi faktor keberhasilan. Perbedaan kekuatan yang terlihat jelas maka melalui dukunganlah yang akan menjadi bantuan atas upaya kelompok

39 Eric Jardine, Op,cit. hal. 62.

(24)

82

pemberontak. Dukungan yang diberikan masyarakat kepada OPM hingga saat ini tidak melebihi 40% dari 4,3 juta jiwa masyarakat Papua.40 Dukungan masyarakat terhadap OPM mulai berkurang sejak melihat banyaknya konflik yang terjadi di Papua. Aksi kekerasan dan penembakan yang dilakukan OPM kepada masyarakat sipil menjadi faktor utama berkurangnya dukungan masyarakat Papua terhadap aksi OPM. Selain itu, tokoh masyarakat dan pendeta semakin banyak menyuarakan untuk mendukung kedaulatan Indonesia sehingga mulai banyak masyarakat yang pro terhadap Pemerintah Indonesia.

Faktor kuat yang menyebabkan gagalnya OPM pada upayanya melepaskan Papua dari Indonesia salah satunya adalah dukungan masyarakat. Ketika kondisi dukungan internal sudah hilang, dukungan eksternal sulit untuk didapatkan oleh OPM.

Saat ini OPM dilihat sebagai kelompok teroris karena aksi teror yang selalu digunakan saat melakukan pemberontakan. Hal ini berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh OPM menyebabkan teror atas masyarakat dan mengancam keamanan wilayah Papua.

3.2.3 Belum Berhasil Memprovokasi Pemerintah Untuk Melakukan Pelanggaran

Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan transmigrasi pada tahun 1980an.

Program ini merupakan upaya peningkatan jumlah penduduk non Papua di tanah Papua dalam waktu singkat. Menurut OAP, dengan adanya program transmigrasi masyarakat lokal akan semakin miskin dan tertinggal, selain itu kehilangan hak-hak adat tanah dan sumber daya alam lainnya. Program transmigrasi menyebabkan banyak suku di Papua harus merelakan hak tahannya namun tidak secara bebas dapat memanfaatkan dari hak ulayat milik suku lainnya. Tahun 1970, penduduk asli daerah Arso tidak lebih dari 1.000

40 Wawancara penulis dengan Anggota Badan Intelijen Nasional, Anonim, Jayapura, 11 September 2021.

(25)

83

jiwa namun dengan adanya program transmigrasi ini pada tahun 2000 jumlah penduduk Arso meningkat menjadi 20.000 jiwa sehingga OAP merasa tersingkirkan.41

Banyak transmigran yang ingin mengadu nasib dan mencari nafkah di Papua sehingga pemerintah mengambil alih tanah masyarakat untuk dibagikan kepada para orang-orang yang mengikuti program transmigrasi ke Papua. Hal inilah yang membuat OAP merasa terpinggirkan terutama dikarenakan banyaknya pendatang mendominasi kota dan birokrasi pemerintahan serta memiliki pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik. Jumlah masyarakat pendatang mencapai sekitar 35% dari populasi yang ada pada tahun 2000.42

Hal inilah yang memunculkan kecemburuan sosial antara masyarakat Papua dengan masyarakat pendatang karena berkurangnya mata pencaharian dan tanah serta hutan yang biasa digunakan untuk berburu oleh masyarakat asli Papua sedangkan masyarakat transmigran membuat hutan menjadi pemukiman warga dan tanah dimanfaatkan sebagai ladang pertanian maupun peternakan. Dapat dilihat bahwa masyarakat pendatang lebih mudah untutk memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di Papua dibandingkan dengan masyarakat asli Papua.43

Perlawanan yang dilakukan oleh beberapa kelompok karena ingin mengambil alih sumber daya alam yang merasa di jajah oleh masyarakat pendatang, hal ini merupakan konflik-konflik yang terjadi hingga saat ini. Keterlibatan langsung TNI/Polri dalam menjaga dan menerima bayaran sebagai upah terhadap keamanan penebangan

41 Ibid.

42 Ngatiyem, Loc,cit.

43 Ibid.

(26)

84

hutan untuk kepentingan perusahaan dan pemerintah memberikan pajak yang cukup besar sebagai upaya bagi negara untuk tetap mempertahankan wilayah tersebut.44

Pemerintah harus melakukan upaya untuk menjaga kemanan Papua dari konflik-konflik yang terjadi berdasarkan ketidakpuasan masyarakat asli terhadap kebijakan pemerintah Indonesia agar konflik tersebut dapat terselesaikan. Pemerintah memberikan upaya keamanan atas konflik tersebut dinilai melanggar hak asasi masyarakat Papua dan menimbulkan konflik baru antara masyarakat Papua dengan TNI/Polri.45

OPM sebagai kelompok pemberontak yang membela hak masyarakat Papua dengan menggunakan aksi kekerasan agar masyarakat pendatang merasa tidak aman di Papua. Sepanjang tahun 2017, Polda Papua merilis penembakan yang dilakukan OPM di Papua meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebanyak 52 kasus penembakan. Polisi melakukan pengamanan dan mengevakuasi terhadap korban penembakan oleh OPM di Kampung Waa Banti, Utikini, Kimbeli. Polisi juga mengamankan masyarakat lokal yang merasa terancam dengan adanya OPM dan memindahkan ke tempat yang lebih aman, agar mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih baik. Tahun 2018 OPM melakukan penembakan sebanyak 18 kasus yang di pimpin Egianus Kogoya di Distrik Yigi, Kabupaten Nduga. Selama tahun 2019, terjadi 10 kasus penembakan yang dilakukan OPM di sejumlah wilayah di Papua.46

44 Ibid.

45 Ibid.

46 Wawancara penulis dengan Humas Kepolisian Daerah Papua, Jayapura, 13 Juli 2021.

(27)

85

3.2.4 Kurangnya Dukungan dan Legitimasi Internasional

Upaya yang dilakukan untuk menjaga hubungan baik dan mempertahankan dukungan internasional kepada Indonesia yaitu dengan melakukan empat upaya diplomasi yaitu diplomasi budaya, bilateral, ekonomi kemaritiman, dan Bali Democracy Forum. Namun upaya yang dilakukan terhadap Vanuatu masih belum berhasil. Disisi lain, dukungan internasional yang diberikan kepada Indonesia cukup banyak yaitu negara Kepulauan Solomon, Kiribati, Republik Fiji, dan Samoa Barat, namun OPM hingga saat ini masih mencari dukungan internasional dan terus membangun komunikasi yang baik dengan beberapa negara tersebut agar mendapat dukungan untuk mencapai tujuannya.47 Selain negara-negara tersebut, organisasi antar pemerintahan mendukung kedaulatan Indonesia seperti ASEAN, PBB, World Bank, ADB (Asian Development Bank), IMF, dan IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) atau CGI (Consultative Group on Indonesia).48 Secara formal, hampir semua negara-negara asing tetap mendukung keutuhan NKRI.

Secara bilateral, Pemerintah Indonesia menjaga hubungan baik dengan negara- negara asing untuk tetap mempertahankan mendukung terhadap kedaulatan NKRI. Tidak hanya menjaga hubungan antar negara, namun Indonesia harus mampu membuktikan bahwa Papua akan terus berkembang dan tidak menjadi daerah yang tertinggal.

Pemerintah juga harus menjalin komunikasi yang baik untuk membicarakan solusi dari

47 Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2018, APBN 2019: Pemerintah Alokasikan RP 20,979 Triliun untuk Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Papua Barat, di akses pada 15 Agustus 2021 di https://setkab.go.id/apbn- 2019-pemerintah-alokasikan- rp20979-triliun-untuk-otonomi-khusus-aceh-papua-dan-papua-barat/

48 Ibid.

(28)

86

konflik yang terjadi di Papua. Komunikasi mengenai konflik yang ada dan berkembang di Papua dapat melibatkan peran MRP.49

Dalam tahun 2017-2020 OPM belum berhasil dalam mencari dukungan masyarakat Internasional. Hal ini menjadi salah satu faktor penting dalam mempertahankan NKRI. Namun disisi lain, hal inilah yang memicu OPM terus berusaha untuk menarik perhatian internasional. Pemerintah Indonesia harus tetap waspada dan terus menjalin hubungan baik dengan negara lainnya agar tetap mendapat dukungan untuk mempertahankan NKRI.

Setelah dijelaskan mengenai kondisi dukungan, dapat dilihat bahwa kurangnya dukungan internasional merupakan faktor kegagalan OPM dalam upayanya melepaskan Papua dari Indonesia. Organisasi Internasional seperti PBB secara jelas mengecam tindakan yang dilakukan OPM sebagai tindakan teroris. Hal ini berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh OPM menyebabkan teror atas masyarakat dan mengancam keamanan wilayah Papua.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menyatakan bahwa PBB mendukung sepenuhnya atas kedaulatan Indonesia dan Papua merupakan wilayah dari Indonesia. PBB telah menyatakan isu kedaulatan Papua sehingga tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi. Statement PBB tersebut disampaikan saat laporan pertemuan wakil tetap Indonesia di PBB dengan Sekretaris Jenderal PBB yang membahas tentang status Papua dari sudut pandang PBB pada tahun 2019 di New York.50

49 Ibid.

50 Official iNews, Wiranto: PBB Akui Papua dan Papua Barat Termasuk Wilayah Indonesia, di akses pada 15 Agustus 2021 di https://www.youtube.com/watch?v=3bYLoxuHoSw

(29)

87

Hasil akhir Papua merupakan wilayah dari Indonesia berdasarkan New York Agreement 1962, Pepera 1969, serta resolusi PBB 2524 1969. PBB melihat kesungguhan Presiden Joko Widodo dalam menangani konflik di Papua, sehingga PBB hanya mengingatkan agar aparat keamanan tetap menjaga keamanan sesuai dengan aturan yang ada agar tidak menimbulkan tuduhan pelanggaran HAM.51

51 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

perpaduan dan integrasi kaum di Malaysia yang dilihat sangat jauh untuk kecapi pada waktu itu, kerajaan telah mengambil inisiatif dengan menubuhkan beberapa dasar seperti Dasar

Sementara itu, hasil analisis dokumen RPP juga menunjukkan bahwa meskipun para guru sudah menyusun instrumen penilaian pembelajaran di dalam dokumen RPP,

Jenis penilitian ini menggunakan penelitian deskriftif kualitatif.Menurut (Saryono 2010: 1), kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,

Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan mekanisme kerja asupan ikan teri (Stolephorus sp) terhadap proses osteogenesis melalui ekspresi OPG serta Kolagen Tipe

Tujuan umum penyusunan Rencana Aksi Kegiatan ini adalah menyediakan peta jalan implementasi kegiatan peningkatan pelayanan kefarmasian dengan upaya mendukung

Pertama , Bahwa kawin colong pada masyarakat osing adalah proses melarikan anak perempuan orang lain yang sebelumnya telah melakukan kese- pakatan terlebih dahulu diantara

• Terdapat beberapa kekurangan pada representasi nilai-tanda Î penambahan dan pengurangan memerlukan pertimbangan baik tanda bilangan ataupun nilai relatifnya agar dapat berjalan