• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP AJARAN DALAM SIWA TATTWA PURANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KONSEP AJARAN DALAM SIWA TATTWA PURANA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Page 127

KONSEP AJARAN DALAM SIWA TATTWA PURANA

Oleh

Ketut Ayu Sucianing

STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja ayu_sucianing@yahoo.com

Abstract

Shiva is the name of the god. In addition to the name of the god, in Aji Sangkya, Shiva is also a representation of consciousness. Shiva Tattwa Purana means ancient story about the nature of Shiva. In the view of Shivaism, Shiva is the ruler of the universe. Thus, Hindus in Indonesia who have embraced Hinduism for generations worship Sang Hang Widhi as Lord Shiva. In Hindu religious literature in Indonesia, such teachings are often referred to as the Saivasiddhanta teachings.

Life in the Shiva Tattwa Purana is explained that the hyang samara is in every human body. Then there are stages in a life. Death in the Shiva Tattwa Purana describes the various processions of death ceremonies carried out.

Keywords: Shiva, Tattwa, Life, Death.

I. PENDAHULUAN

Agama Hindu merupakan agama yang universal dan memiliki ajaran yang mencakup seluruh kehidupan baik itu mikrokosmos ataupun makrokosmos. Hal itu ditunjukkan dengan terdapatnya konsep ketuhanan yang saguna yaitu Tuhan yang memiliki sifat dan nirguna yaitu Tuhan yang tidak bersifat (Dewi, 2020). Hal tersebut jarang ditemui dalam agama lain yang bahkan melarang untuk menyamakan Tuhan dengan ciptaannya. Sehingga hal tersebut menunjukkan agama Hindu merupakan agama yang fleksibel dan universal, tidak hanya boleh mewujudkan Tuhan sebagaimana manusia Hindu menghendakinya sesuai dengan kebutuhan beragama, dari yang paling agung, cantik, tampan, hingga memiliki rupa menyeramkan dengan demikian memudahkan manusia mendekatkan diri dengan Tuhan yang transenden melalui simbol-simbol serta perwujudan sifat-Nya dalam dunia material (Imanent) (Dewi, 2020).

Kekunaan cerita tentang hakikat Siwa ini, diawali dengan penggambaran Sang Hyang Jagatpati yang sedang berada di Siwa Loka.

Jagadpati adalah nama lain Siwa. Jagat berarti dunia, sedangkan pati berarti penguasa. Dalam pandangan Siwaisme, Siwa adalah penguasa jagat raya.

Cerita kuna tentang hakikat Siwa ini, memuat cerita tentang awal terbentuknya manusia sampai kematian.

II. METODE

Metode Penelitian tentang Konsep Ajaran dalam siwa tattwa purana ini adalah jenis penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif dan hasil

(2)

Page 128 penelitian kualitatif lebih menekankan

makna dari pada generalisasi (Sugiyono, 2016: 9).

Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti.

Informasi itu dapat diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karang-karangan ilmiah, dan sumber- sumber tertulis lain baik cetak maupun elektronik. Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian.

Teori-teori yang mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti dapat ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan (Hermawan, 2019: 18).

Penulis memperoleh data melalui buku- buku, artikel-artikel, skripsi dan tesis serta mengutip bagian tertentu yang berkaitan dengan penelitian ini.

III. PEMBAHASAN

3.1 Gambaran umum dari Siwa Tattwa Purana

Purana berarti cerita-cerita kuna.

Seberapa kunanya, tidak menjadi masalah. Tattwa berarti ‘ke-Itu-an’.

Singkatnya filsafat. Siwa adalah nama dewa. Selain nama dewa, dalam Aji Sangkya, Siwa juga representasi kesadaran. Siwa Tattwa Purana berarti cerita kuna tentang hakikat Siwa.

Kekunaan cerita tentang hakikat Siwa ini, diawali dengan penggambaran Sang Hyang Jagatpati yang sedang berada di Siwa Loka. Jagadpati adalah nama lain Siwa (Gunawijaya, 2020).

Jagat berarti dunia, sedangkan pati berarti penguasa. Dalam pandangan Siwaisme, Siwa adalah penguasa jagat raya. Cerita kuna tentang hakikat Siwa ini, memuat cerita tentang awal terbentuknya manusia sampai kematian. Cerita itu tidak runut, tapi berupa fragmen-fragmen. Selain cerita

tentang kelahiran dan kematian, di dalamnya juga terdapat penjelasan tentang beberapa ritual beserta upakara kehidupan dan kematian (Dewi, 2021).

Sang Hang Widhi Wasa adalah Tuhan dalam agama Hindu Indonesia.

Nama ini berarti Yang Menakdirkan Yang Maha Kuasa, yang dalam Bahasa Bali diterjemahkan dengan Sang Hang Tuduh atau Sang Hang Titah. Nama ini adalah nama yang amat umum yang gambarannya lebih lanjut tidak disebut- sebut dalam sastra-sastra lontar.

Bhatara Siwalah panggilan-Nya dalam sastra-sastra lontar, yang gambarannya selalu kita jumpai baik dalam sastra- sastra agama, seperti pada lontar-lontar (Heriyanti, 2019). Dengan demikian umat Hindu di Indonesia yang telah memeluk agama Hindu turun-turunan memuja Sang Hang Widhi sebagai Bhatara Siwa.

Dalam sastra-sastra agama Hindu di Indonesia ajaran-ajaran seperti tersebut di atas sering disebut ajaran Saivasiddhanta. Nama ini mengingatkan kita kepada nama Saivasiddhanta di India Selatan, namun bila diamati, terdapat perbedaan- perbedaan antara ajaran Saivasiddhanta Indonesia dengan Saivasiddhanta India Selatan. Dalam ajaran Saivasiddhanta di Indonesia tampat jalinan ajaran Upanishad (terutama Svetaevatara Upanisad dan upanisad-upanisad Minor), ajaran-ajaran yang berasal dari kitab-kitab Purana, ajaran-ajaran Samkhya, Yoga, Vedanta dan ajaran- ajaran yang berasal dari kitab-kitab Tantra yang pada akhirnya semua ajaran itu mengalir dari Weda. Maka Weda-lah sumber pertama ajaran agama Hindu itu dan walaupun wujudnya dan pelaksanaan hidup beragama Hindu berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat yang lain, hakekatnya, jiwa dan semangatnya adalah sama (Kariarta, 2020).

(3)

Page 129 Ajaran Ketuhanan dalam Weda

adalah ajaran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa adanya, namun Ia meliputi segala, mempunyai banyak nama. la yang Esa berada pada semua yang ada, semua yang ada berada pada Yang Esa (Tim Penyusun, 2006:25)

3.2 Konsep Ketuhanan Dalam Siwa Tattwa Purana

Naskah Siwa Tattwa Purana seperti namanya merupakan salah satu naskah/ susastra Hindu yang tergolong kitab Smrti yaitu tergolong kitab Purana. Naskah Siwa Tattva Purana merupakan salah satu dari sekian banyaknya lontar yang dimiliki agama Hindu yang memiliki ajaran Siwaistik.

Lontar ini berisikan terdiri dari 20 lembar lontar yang berisi tentang ajaran Siwa yang diwejangkan oleh Siwa (Sanghyang Jagatpati) yang mengajarkan Acara agama kepada putra-putra-Nya dengan cara dialog dan ceramah (Putra, 2020).

Demikian juga halnya konsep ketuhanan dalam lontar Siwa Tattwa Purana. Terdapat konsep Monisme dalam Siwa Tattwa Purana yaitu keyakinan terhadap adanya keesaaan Tuhan Yang Maha Esa meupakan hakekat alam semesta (Titib, 2003:32).

Monisme adalah teori yang menyatakan hanya ada satu realitas fundamental (Tuhan, jiwa, materi atau substansi yang netral atau tidak diketahui oleh manusia (Donder, 2006:196). Ada satu dewa tertinggi diantara dewa-dewa lainnya pada satu masa tertentu. Yang dimaksud dewa tertinggi disini adalah Siwa itu sendiri.

Adapun dalam Siwa Tattwa Purana memilki konsep Saguna Brahman yang tercermin dari nama-nama dewa yang disebutkan yang memiliki fungsiya dan tugasnya masing-masing, yang bisa dilihat dari kutipan teks Siwa Tattwa Purana (14a-14b).

“….sanghyang brahma kon agawe mas manik kratna mirah, mwah aneng mrik menyan astanggi.

Sanghyang wisnu magawe wsi male lawura sani, sahaneng matmah sanjata, sanghyang sdana kon magawe arta, rajata pirak.

Sanghyang sakra kon agawe megha mendung, teja tlerep mwang magawe lalanang, nakbi, jahinang, ka-….”

Terjemahan:

“…..Sanghyang Brahmama ditugaskan untuk membuat alat-alat yang terbuat dari emas berpermata mirah, serta yang harum dari kemenyan astanggi. Sanghyang Wisnu membuat berbagai macam senjata yang terbuat dari besi dan baja, Sanghyang Sadana ditugaskan menciptakan uang dan harta benda. Sanghyang Sakra diperintahkan untuk membuat awan, mendung, pelangi, dan kilat, serta membuat laki dan perempuan yang akan dewasa,…..”

14a-14b.

Dalam Siwa Tattwa, Brahman adalah Bhatara Siwa. Dia-lah yang mencipta, memelihara, dan mengembalikan semua yang mengembalikan semua yang ada kepada Dirinya sendiri, asal semua yang ada ini (Tim Penyusun, 2006:28).

Kemudian dapat disebutkan juga agar mempersembahkan banten dan melakukan upacara Dewa Yadnya berdasarkan wariga (hari-hari suci), yang merupakan sebuah persembahan suci terhadap Tuhan, yang terkutip dalam lontar Siwa Tattwa Purana (16b) seperti berikut:

“….sa, ka, kuningan, bantening rong slanggi mesi skul kuning, iwak calwan, ginantung-gantung tamyang kungnam, banten ika ajangliwar wngi. Mwah kala, bu, ka, dungulan, banten soda putih kuning, jrimpen pajagan pnek, iwak jajatah, ring

(4)

Page 130 lbuh penjor siwang, yan nora

sahika, rug kang manusaka, rinangsang de sang kala tiga,….”

Terjemahan:

“….Sabtu Kliwon Kuningan, sesajen dua tempat yang disebut slanggi, berisi nasi kuning, daging calon, memasang tamyang, mempersembahkan sesajen itu jangan sampai lewat dari waktu malam. Pada hari Rabu Kliwon Dungulan dengan sesajen Soda putih kuning. jrimpen pajagan, penek, dagingnya jajatah, di pintu pekarangan rumah mendirikan penjor, jika tidak seperti itu, kacaulah manusia, dirasuki oleh Sang Kala Tiga,....”

“….yan ring taru, dewandaru ulun, yan ring giri suhmaru pwang ulun yan ring bhuta nakasa pretiwi pwa ngulun, den wruh ring kadadyangku naku,….”

Terjemahan:

“….aku tetap melakukan yoga samadi, jika di dalam pohon, aku adalah raja pohon, jika pada gunung, aku adalah Gunung Sumeru, demikianlah keadaan diriku, supaya anak-anaku mengetahui tentang diriku,….” 17a.

Penggalan kutipan dari lontar Siwa Tattwa Purana diatas menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa berada dalam seluruh kehidupan di alam semesta ini. Ia yang Esa Maha pencipta, pemelihara dan pelebur.

Dengan demikian Sang Hang Widhi adalah Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Tuhan sebagai Widhi disebut bersthana di Luhuring Akasa, yakni di atas angkasa. Dalam pengertian ini, tentunya Tuhan Yang Maha Esa digambarkan tidak berwujud (Impersonal God). Nama Sang Hang Widhi berarti Yang Menakdirkan,

Yang Maha Kuasa yang dalam bahasa Bali diterjemahkan dengan Sang Hang Tuduh atau Sang Hang Titah. Nama ini adalah nama yang sangat umum, yang gambarannya selalu dijumpai baik dalam sastra-sastra agama (Titib, 2003:16).

Bhatara Siwa bersifat imanen dan juga transenden. Imanen artinya hadir dimana-mana sedangkan transenden artinya mengatasi pikiran dan indriya manusia (Marselinawati, 2020).

Bhatara Siwa meresapi segala, berada dimana-mana, meliputi segala. Dengan demikian ia pun hadir dalam pikiran dan indriya, namun pikiran dan indriya tidak mampu menggapai Ia. Disamping sebagai Personal God, Ia juga adalah Impersonal God, Tuhan yang tidak berpribadi, yang tanpa wujud. Ia adalah acintya yaitu tidak dapat dipikirkan. Ia adalah anadi madhya antam, yang tidak mempunyai awal, tengah dan akhir. Ia adalah amita yaitu tak terbatas, agtram, yaitu tak berbadan dan sebagainya.

(Tim Penyusun, 2006:31)

Upanisad mengajarkan brahman memiliki dua aspek yaitu saguna dan nirguna brahma. Bila brahman dipengaruhi oleh upadhi maya, ia disebut saguna brahma. Nirguna adalah brahman yang bebas dari guna yaitu penyifatan apapun juga. (Tim Penyusun, 2006:48)

Terdapat konsep cetana dan acetana. Yang sadar itu adalah Siwa dan yang tidak sadar itu adalah Maya.

Hakekat kesadaran itu disebut Siwatattwa dan hakekat ketidaksadaran disebut Mayatattwa (Dewi, 2020). Hakekat Siwa lebih tinggi dari hakekat Maya.

1. Jenjang tertinggi Siwatattwa itu adalah Paramasiwatattwa, jenjang kesadaran murni. Jenjang ini adalah jenjang Bhatara Siwa tanpa bentuk, tidak bergerak, tidak berawal, tidak berakhir, tidak

(5)

Page 131 mengenal masa lalu dan masa yang

akan datang. Ia tanpa aktifitas dan ia sempurna.

2. Jenjang kedua adalah Sadasiwatattwa. Pada jenjang ini Bhatara Siwa wyapara, artinya berada dalam keadaan beraktifitas.

Aktifitasnya itu berupa Cadusakti.

Ialah yang menciptakan alam semesta ini. Ia pula yang berkuasa atas-Nya.

3. Sadasiwatattwa menyusupi segala dan memberikan kesadaran yang bersifat maya. Pada saat dan keadaan demikianlah Bhatara Sadasiwatattwa disebut Atmikatattwa atau Sang Hang Atmawisesa atau Sang Hang Dharma. Ia adalah jiwa alam semesta dan jiwa semua makhluk.

(Tim Penyusun, 2006:49).

3.3 Konsep Kehidupan Dan Kelepasan Dalam Siwa Tattwa Purana

A. Konsep Kehidupan

Penjelasan Siwa diawali dengan keberadaan Sang Hyang Samara. Sang Hyang Samara menurut Siwa Tattwa Purana berada di dalam tubuh setiap manusia. Besar kemungkinan, yang dimaksudkan dengan Samara adalah Smara yakni dewa Kama. Kama dikutuk oleh Siwa untuk meresap ke dalam tubuh manusia setelah mengganggu tapa Siwa. Tidak hanya Siwa, Ratih pun turut dilebur dan meresap ke dalam tubuh manusia.

Keduanya dibakar dengan api yang muncul dari mata ketiga Siwa. Smara merasuk dalam tubuh lelaki, sedangkan Ratih merasuk dalam tubuh perempuan (Made, 2020).

“sang samara dadi kama petak.

sanghyang ratih manadi kama bang.

Wus anunggal, munggah ring cantik gedong mas. sira matemu dadi

sanunggal. ya ta matemahan rare”

(Siwa Tattwa Purana 9b-10a)

Terjemahan:

“Sang Samara menjadi kama putih. Sang Hyang Ratih menjadi kama merah. Setelah menyatu, tinggal dalam Cantik Gedong Mas. Mereka bertemu menjadi satu. Itu yang menjadi anak kecil.”

Saat anak belum lahir patut dibuatkan upacara sebagai berikut.

“Duk kari ring jro weteng kita karyya pagedhongan, ya bukthi I jro weteng. Tiba ring prethiwi, banten tebasan iwak satha nut rare. Yan laki, satha laki wenang. Yan ya wadon, satha wadon wenang. Wus roras dinten, tanyanen wwang rare, den byakta lewihing sang dhateng.

Irika ngaranan kamara tunggal masanira sang hyang tiga wruh mabhayu, masabdha, mahidep.

Ingurip de hyang prethiwi, haran hyang komara” (Siwa Tattwa Purana 10a-10b)

Terjemahan:

“Saat masih di dalam perut engkau membuat upacara Pagedongan, itu persembahan kepada yang ada di dalam perut. Lahir ke dunia, siapkan banten tebasan dagingnya ayam sesuai dengan anak. Jika lelaki, maka ayamnya jantan. Jika perempuan, maka ayamnya betina. Setelah dua belas hari, tanyakan anak kecil itu, dengan sungguh utama yang datang. Saat itulah disebut Kamara Tunggal, saat Sang Hyang Tiga tahu bertenaga, bersuara, berpikir. Dihidupkan oleh Hyang Prethiwi, namanya Hyang Komara”

(Putra, 2020).

Bagian dari 10a-12a merupakan informasi-informasi mengenai ritual- ritual kehidupan. Yang dimulai dari upacara anak yang masih di dalam kandungan yang disebut pagedong-

(6)

Page 132 gedongan, setelah lahir sebulan

lamanya terdapat upacara Komara Yadnya (upacara Miyaksih, Cinolongan (sebagai penyucian pamarisuddha), setelah 3 bulan diupacarai banten Madudus Nawaratna (Apetik), setelah 6 bulan terdapat Otonan, setelah remaja terdapat upacara gigi Atatah, kemudian upacara setelah bersuami-istri dan yang terakhir sampai dengan penyucian tingkat Apodgala. Pada tingkat podgala atau apodgala, tujuannya adalah untuk menjadi Pandita. Tidak sembarang orang sampai pada tingkat ini, sebab harus melewati beberapa tahapan.

Tahapan-tahapan itu disesuaikan dengan sasana.

B. Konsep Kelepasan

Teks Siwa Tattwa Purana dengan demikian menyatakan dengan tidak langsung, bahwa ritual upacara kematian umumnya dilakukan oleh anak. menjelaskan tentang upacara kematian jika tidak ada jasad yang ditemukan. Caranya adalah dengan membuat Reka Lingga. Reka Lingga tersebut dibuat dengan kayu yang harum. Reka Lingga itu kemudian dibakar di sebuah tanah lapang (setra) dengan membuatkan tempat berwujud lembu hitam. Setelah itu dibakar, dihanyut ke laut dan terkena cuntaka selama lima hari. Itulah yang disebut Atiwa-tiwa atau Ngaben (Marselinawati, 2020).

Upacara dengan menyisakan badan dibedakan berdasarkan kriteria Raja, Brahmana dan Sudra. Ketiga itulah yang disebut badan. Singkatnya, yang dimaksud dengan badan dalam teks Siwa Tattwa Purana adalah wangsa.

“singgih yan mangkana, kinarya hulun badhe kang nista, madhyottama. kang uttama atumpang-tumpang, hana tumpang sawӗlas miwah tumpang sangha, sapta, tumpang pañca, lawan catur.

irikang gӗnahang śawa uttama.

anagha bandha ta haranya. badhe winilӗt apindha Taksaka. ginawe bhūṣaṇa nira amañca warṇna.

dinulur lӗmbu, bandhuśa, abale alung salunglung haranya gӗnahing patulangan. munggah pwa nghulun ring badhe, mawa nghulun pӗcut mesi romaning manuk dewatha.

raris mamargi ikang badhe mungsi setra” (Siwa Tattwa Purana 4b)

Terjemahan:

“Baiklah jika demikian, hamba membuat Bade dengan tingkatan nista, madya, utama. Yang utama bertumpang-tumpang, ada yang bertumpang sebelas, juga ada yang bertumpang sembilan, tujuh, tumpang lima, dan empat. Di sana letakkan jasad utama. Menggunakan Naga Banda namanya. Bade melilit 6 berwujud Taksaka. Dibuatkan busana berwarna lima. Diiringi lembu, bandusa, menggunakan balai alung salunglung sebagai tempat patulangan. Hamba naik ke Bade, membawa pecut berisi bulu merak. Lalu berjalan bade itu menuju setra.” (Putra, 2020).

Bagian dari 3b-7a merupakan informasi-informasi mengenai konsep kelepasan/kematian yang terkadung dalam lontar Siwa Tattwa Purana.

Menurut penjelasan Siwa Tattwa Purana, setelah Atiwa-tiwa lalu dilanjutkan dengan prosesi Nyekah.

Nyekah dilakukan dengan membuat sekah. Sekah itu terbuat dari bambu

(7)

Page 133 yang dibungkus dengan daun beringin

dan dihiasi bunga. Sekah itu kemudian dihanyut ke dalam air besar. Air besar yang dimaksud besar kemungkinan adalah lautan. Jadi kelaut-lah sekah itu dihanyut. Demikian ucapan Sang Hyang Rudra dan Mahadewa, dan sekaligus menandakan bahwa Nyekah adalah tugas Rudra dan Mahadewa.

Sekah itu pun dilengkapi lagi oleh Hyang Iswara dan Mahesora (Windya, 2020).

Setelah upacara tersebut dilakukan, Atma mendapat sebutan sesuai dengan upacaranya. Adapun beberapa sebutan yang digunakan untuk menandakan tingkatan upacara yang sudah dilakukan. Sebutan untuk masing-masing Pitra dinyatakan berbeda sesuai dengan tingkatan upacaranya. Jika runtutan upacara itu dibayangkan bertingkat-tingkat, artinya dari Atiwa-tiwa sampai Angluwer adalah perjalanan menanjak. Perjalanan itu menghasilkan penyebutan yang berbeda, mulai dari Dewa Pitra dampai Acintya Pramanaya Pitra.

1. Dewa Pitra berarti leluhur yang dianggap setara dengan Dewa.

2. Acintya Pramanaya Pitra berarti leluhur yang telah menyatu dengan yang tidak terpikirkan.

Menyatu adalah istilah lain untuk Moksa. Melalui Siwa Tattwa Purana, kita diberikan informasi penting bahwa Moksa bisa dicapai dengan ritual dan banten. Moksa dapat dibagi tiga yakni Moksa, Adi Moksa dan Parama Moksa.

1. Moksa adalah bebasnya atma dengan menyisakan badan kasar.

2. Adi Moksa menyisakan abu sisa- sisa tubuh yang terbakar oleh api dalam diri.

3. Parama Moksa adalah lepasnya atma tanpa bekas.

Sampai pada titik itu, prosesi Angluwer tidak menjelaskan berada pada tataran moksa tingkat mana (Putra, 2020).

Hal tersebut juga menjelaskan mengenai konsep moksa, dimana moksa dalam pengertiannya juga bermakna mencapai kelepasan dengan meninggalkan badan jasad ataupun tidak meninggalkan badan jasad.

Kedua jenis moksa tersebut menjadi tujuan dari umat Hindu. Moksa sendiri merupakan penyatuan antara Atma dengan Brahman, penyatuan tersebut akan menghilangkan belenggu sehingga tidak perlu untuk terlahir kembali ke dunia dalam bentuk apapun.

Kelepasan juga dalam hal ini yaitu kebebasan dari belenggu duniawi dan kebebasan dari kelahiran kembali.

Untuk mencapai hal tersebut diperlukan prilaku yang baik dan positif serta dilaksanakan ritual yajna sebagai pendukung (Anggraini, 2020).

Konsep upacara pengabenan, secara tidak langsung menganut pula ajaran kelepasan, dimana konsep kelepasan itu sendiri bisa didukung dengan pelaksanaan yajna. Untuk mencapai kelepasan mestinya melaksanakan upacara yajna kepada semua mahluk dengan penerapan panca yajna di alam ini. Penerapan yajna bukan saja dalam bentuk sesajen ataupun banten yang besar, melainkan prilaku atau tingkah laku menjadi salah satu indikator pelaksanaan yajna sesungguhnya. Pengobarnan tergolong

(8)

Page 134 sebagai karma positif yang dilakukan

umat untuk menabung karma dengan tujuan akhir adalah moksa. Sedangkan kelepasan sendiri bisa berarti bukan mencapai moksa, dikarenakan kelepasan bisa berarti lepas dari badan kasar atau meninggal, ataupun lepas dari ikatan duniawi. Sehingga ajaran kelepasan yang terdapat dalam Lontar Siwa Tattwa Purana adalah kelepasan Panca Maha Bhuta dari tubuh manusia yang kembali kepada masing-masing unsur, kemudian kelepasan sang roh untuk menyatu dengan Brahman (Gunawijaya, 2021).

IV. SIMPULAN

Naskah Siwa Tattva Purana merupakan salah satu dari sekian banyaknya lontar yang dimiliki agama Hindu yang memiliki ajaran Siwaistik.

Lontar ini berisikan terdiri dari 20 lembar lontar yang berisi tentang ajaran Siwa yang diwejangkan oleh Siwa.

Cerita kuna tentang hakikat Siwa ini, memuat cerita tentang awal terbentuknya manusia sampai kematian. Terdapat konsep Monisme dalam Siwa Tattwa Purana yaitu keyakinan terhadap adanya keesaaan Tuhan Yang Maha Esa meupakan hakekat alam semesta. Tidak hanya itu terdapat konsep Politheisme. Adapun dalam Siwa Tattwa Purana memilki konsep Saguna Brahman. Bhatara Siwa bersifat imanen dan juga transenden.

Terdapat konsep cetana dan acetana. Yang sadar itu adalah Siwa dan yang tidak sadar itu adalah Maya.

Mengenai ritual-ritual kehidupan. Yang dimulai dari upacara anak yang masih di dalam kandungan yang disebut pagedong-gedongan, setelah lahir sebulan lamanya terdapat upacara Komara Yadnya (upacara Miyaksih, Cinolongan (sebagai penyucian

pamarisuddha), setelah 3 bulan diupacarai banten Madudus Nawaratna (Apetik), setelah 6 bulan terdapat Otonan, setelah remaja terdapat upacara gigi Atatah, kemudian upacara setelah bersuami-istri dan yang terakhir sampai dengan penyucian tingkat Apodgala. Konsep kelepasan/kematian yang terkadung dalam lontar Siwa Tattwa Purana. Menurut penjelasan Siwa Tattwa Purana, setelah Atiwa- tiwa lalu dilanjutkan dengan prosesi Nyekah. Nyekah dilakukan dengan membuat sekah. Hal tersebut juga menjelaskan mengenai konsep moksa, dimana moksa dalam pengertiannya juga bermakna mencapai kelepasan dengan meninggalkan badan jasad ataupun tidak meninggalkan badan jasad.

DAFTARA PUSTAKA

Anggraini, P. M. R. (2020). Keindahan Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran dan Kesuburan di Bali. JÃ±Ä nasiddhâ nta: Jurnal Teologi Hindu, 2(1), 21-30.

Dewi, N. M. E. K. (2020). Konsep Teologi Dalam Teks Jnana Siddhanta. JÃąÄ nasiddhÃĒnta:

Jurnal Teologi Hindu, 1(2).Donder, I Ketut. 2006.

Brahmawidya: Teologi Kasih Semesta. Surabaya:

Paramita.

Dewi, N. M. E. K. (2021). Siva Nataraja Perspektif Teo-Estetik.

JÃ±Ä nasiddhâ nta: Jurnal Teologi Hindu, 2(2), 17-26.

Dewi, N. M. E. K. (2020). Teologi Pemujaan Dewa Gede Celak Kontong. Kamaya: Jurnal Ilmu Agama, 3(3), 371-383.

Dewi, N. M. E. K. (2020). Konsep Ketuhanan Filsafat Saiva Advaita. Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 11(2), 126-137.

(9)

Page 135 Gunawijaya, I. W. T. (2020). Konsep

Teologi Hindu Dalam Geguritan Gunatama (Tattwa, Susila, dan Acara). JÃąÄ nasiddhÃĒnta:

Jurnal Teologi Hindu, 1(2).

Gunawijaya, I. W. T. (2021). Cetik Pegulatan Profan &

Sakral. Proseding Mistisisme Nusantara Brahma Widya.

Heriyanti, K. (2019). Pura Sebagai Bentuk Penerapan Konsep Ketuhanan Saguna Brahma.

Jñānasiddhânta: Jurnal Teologi Hindu, 1(1).

Hermawan, Iwan. 2019.

METODOLOGI PENELITIAN PENDIDIKAN KUANTITATIF, KUALITATIF DAN MIXED METHODE. Jl. Cilombang 2- Kuningan 45591: Hidayatul Quran Kuningan.

Kariarta, I. W. (2020). Filsafat Ketuhanan Menurut Baruch de Spinoza. Genta Hredaya: Media Informasi Ilmiah Jurusan Brahma Widya STAHN Mpu Kuturan Singaraja, 4(2), 124-134.

Marselinawati, P. S., & Suparta, I. G.

A. (2020). Samkhya Darsana dalam Wrspati Tattwa. ŚRUTI:

Jurnal Agama Hindu, 1(1), 58- 67.

Marselinawati, P. S. (2020). Teologi Pembebasan Dalam Teks Wrspati Tattwa. JÃąÄ nasiddhÃĒnta:

Jurnal Teologi Hindu, 1(2).

Putra, I Gede Agus Dharma. “SIWA TATTWA PURANA [RITUAL- RITUAL KEHIDUPAN DAN

KEMATIAN]”. Jurnal

Pendidikan Agama, Bahasa Bali Dan Sastra. Vol. 10. No. 1. 2020 Putra, I. W. S. (2020). KAJIAN

TEOLOGI HINDU DALAM TEKS SIWA TATTWA. Vidya DarÅ› an: Jurnal Filsafat Hindu, 1(2).

Sugiyono. 2016. METODE PENELITIAN KUANTITATIF, KUALITATIF DAN R&D.

Bandung: Alfabeta, CV.

Tim Penyusun. 2006. SIWATATTWA.

Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.

Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Windya, I. M. (2020). KAKAWIN ARJUNA WIWÄ€ HA: KAJIAN TEOLOGI HINDU. Genta Hredaya: Media Informasi Ilmiah Jurusan Brahma Widya STAHN Mpu Kuturan Singaraja, 3(2).

Referensi

Dokumen terkait

Kandungan ajaran dalam sebagian besar agama adalah perihal hubungan manusia (pemeluk agama) dengan Tuhannya. Terdapat juga ajaran tentang hubungan manusia dengan

peran fungsi fisiologis pada tubuh manusia sangat memengaruhi hasil belajar, terutama panca indra. Panca indra yang berfunsi dengan baik akan mempermudah aktivitas

Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan / Tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan Atma

Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sarira (badan atau tubuh) cepat dapat kembali kepada asalnya, yaitu Panca Maha Bhuta di alam ini dan

dengan yang lainya. Sehingga menjadi agama yang sempurna bila dijalani dengan penuh disiplin oleh umatnya. inti pokok ajaran Siwa-Buddha itu adalah nirbana atau

Ajaran yang terkandung dalam lontar Tattwa Wit dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menanamkan sikap disiplin mental spiritual, karena terdapat petunjuk-petunjuk hidup

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: struktur naratif dan ajaran tattwa dalam Cerita Ki GedeBasur Antara Asmara dan Ilmu Hitam. Berdasarkan

Pandnagan ajaran Kerokhanian Sapta Darma tentang manusia sempurna adalah Satria Utama yang dapat didefinisikan sebagai manusia yang dapat berhubungan langsung dengan Tuhan Yang