• Tidak ada hasil yang ditemukan

FRAMEWORK INSTRUMEN SURVEI KARAKTER ASESMEN NASIONAL 2021

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "FRAMEWORK INSTRUMEN SURVEI KARAKTER ASESMEN NASIONAL 2021"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

FRAMEWORK

INSTRUMEN SURVEI KARAKTER ASESMEN NASIONAL 2021

Penanggung Jawab:

Kepala Pusat Asesmen dan Pembelajaran Penulis:

Darmawan Muttaqin, Universitas Surabaya

Farah Perwitasari, Pusat Asesmen dan Pembelajaran Ide Bagus Siaputra, Universitas Surabaya

Nur Baiti Astuti, Pusat Asesmen dan Pembelajaran Septian Dwi Cahyo, Pusat Asesmen dan Pembelajaran Narasumber:

Arnowo Yudhistiro, Pusat Asesmen dan Pembelajaran Giri Sarana Hamiseno, Pusat Asesmen dan Pembelajaran Idwin Irma Krisna, Pusat Asesmen dan Pembelajaran Irma Auliah, Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Mega Riyanti Bayu Putri, Pusat Asesmen dan Pembelajaran Nya’ Zata Amani, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan Rahmawati, Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Rizki Indah Pujihastuty, Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Solicha, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Sosiati Gunawan, Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Wahyu Nurhayati, Pusat Asesmen dan Pembelajaran Wahyu Widhiarso, Universitas Gadjah Mada

Yulia Naelufara, Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Yunita Faela Nisa, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(3)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Asesmen Nasional merupakan program evaluasi sistem pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, meliputi sekolah, madrasah, juga program pendidikan kesetaraan di Indonesia. Asesmen Nasional (AN) dirancang untuk memotret mutu input, proses, dan hasil belajar yang mencerminkan kinerja satuan pendidikan, yang memberikan umpan balik berkala yang objektif dan komprehensif bagi manajemen satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.

Informasi hasil belajar yang diperoleh dari peserta didik, meliputi hasil belajar kognitif dan hasil belajar non-kognitif. Hasil belajar kognitif diukur melalui Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang mengukur literasi membaca dan literasi matematika atau numerasi. Hasil belajar non-kognitif diukur melalui Survei Karakter. Informasi mengenai input dan proses pembelajaran diperoleh dari Survei Lingkungan Belajar.

Survei Karakter ditujukan untuk mengukur perkembangan karakter peserta didik sebagai salah satu capaian pembelajaran. Enam karakter yang diukur pada peserta didik di Indonesia didasarkan pada profil pelajar Pancasila: 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, khususnya akhlak pada manusia, akhlak pada alam, dan akhlak bernegara, 2) gotong-royong, 3) kreativitas, 4) nalar kritis, 5) kebinekaan global, dan 6) kemandirian.

Dokumen kerangka asesmen ini disusun untuk memberikan informasi mengenai kerangka konseptual serta indikator pada Survei Karakter beserta proses

Kata Pengantar

(4)

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyiapan dan penyusunan dokumen kerangka Survei Karakter ini. Semoga bermanfaat terutama bagi peningkatan mutu pendidikan di Indonesia dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jakarta, 14 Maret 2021

Kepala Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Asrijanty, Ph.D

(5)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Daftar Isi

Kata Pengantar ... ii

Latar Belakang ... 1

Model Konseptual Karakter Siswa ... 7

1. Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia ... 11

2. Gotong royong ... 23

3. Kreativitas ... 27

4. Nalar kritis ... 31

5. Kebinekaan global ... 35

6. Kemandirian... 39

Daftar Pustaka ... 45

(6)
(7)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Latar

Belakang

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(8)

Pengembangan karakter siswa dalam proses pendidikan di Indonesia telah dituangkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Khususnya pada pasal 3 yang menyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Selanjutnya, sebagai gerakan nyata untuk mewujudkan bangsa Indonesia yang berkarakter maka diterbitkanlah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal.

Gerakan penguatan pendidikan karakter tidak terlepas dari upaya mempersiapkan generasi emas Indonesia tahun 2045. Pada tahun 2045 yang bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia, Indonesia diharapkan dapat menjadi negara yang berdaulat, maju, adil, dan makmur. Untuk mencapai impian tersebut, Rokhman et al. (2014) berpendapat bahwa Indonesia memerlukan pendidikan yang mendukung pengembangan karakter seperti kejujuran, nasionalisme, toleransi dan penghargaan terhadap keberagaman, nilai demokrasi, dan kepatuhan hukum. Oleh karena pendidikan karakter dianggap sebagai modal utama dalam mencapai generasi emas Indonesia tahun 2045, maka pendidikan karakter tidak bisa dibebankan menjadi tanggung jawab salah satu pihak saja. Perlu ada sinergi antar berbagai pihak secara utuh dan menyeluruh agar tercapai pemahaman lintas budaya antara budaya lokal, nasional dan global, demi mewujudkan masyarakat yang memiliki sikap dan perilaku yang lebih baik (Malihah, 2015).

Kontribusi lembaga pendidikan dalam mengembangkan karakter siswa sebenarnya sudah dilakukan sejak lama, walaupun secara formal istilah tersebut belum dimunculkan dalam kurikulum 1946 maupun 1957. Istilah pendidikan kewargaan negara atau kewarganegaraan pertama kali muncul dalam program kurikuler pada kurikulum SMA sejak 1962 berupa mata pelajaran Civics. Kondisi ini terus berkembang

(9)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

hingga kemunculan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada 1994 (Wibowo & Wahono, 2017). Namun, sejak diberlakukannya Kurikulum 2013, pengembangan karakter siswa tidak hanya dibebankan pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan melainkan juga diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lainnya. Tidak mengherankan apabila pengembangan karakter siswa dapat dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung (Affian & Maksum, 2020; Eriawan et al., 2017; Sulianti et al., 2019). Selain melalui pembelajaran, pengembangan karakter juga dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti oleh siswa (Faradiba & Royanto, 2018; Gazali et al., 2019;

Hasanah, 2019).

Keberhasilan proses pendidikan karakter memang dapat menguatkan karakter yang dikembangkan seperti kendali diri, saling menghargai, jujur, keterampilan sosial, dan penilaian moral (Jeynes, 2017). Namun, keberhasilan pendidikan karakter tidak terlepas dari beberapa faktor salah satunya adalah kesiapan guru dalam pendidikan karakter. Penelitian yang dilakukan oleh Waters dan Russell (2014) menunjukkan bahwa keyakinan guru dalam melaksanakan pendidikan karakter dapat berdampak terhadap keberhasilan pendidikan karakter yang dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari peran guru yang dianggap sebagai model dan mentor dalam mengembangkan karakter siswa (Arthur, 2011).

Keseriusan dalam penguatan karakter siswa melalui pendidikan juga diwujudkan dengan dirancangkannya Profil Pelajar Pancasila. Profil Pelajar Pancasila terdiri atas enam karakter utama yaitu 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, 2) gotong royong, 3) kreativitas, 4) nalar kritis, 5) kebinekaan global, dan 6) kemandirian. Karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia dapat dioperasionalisasikan menjadi akhlak beragama, akhlak pribadi, akhlak pada manusia, akhlak pada alam, dan akhlak bernegara.

Implementasi penguatan pendidikan karakter akan menjadi program yang berjalan begitu saja apabila tidak ada proses asesmen terhadap perkembangan

(10)

yang dilaksanakan. Hal ini tidak terlepas dari fungsi asesmen dalam pendidikan yaitu Assessment as Learning (AaL), Assessment for Learning (AfL), dan Assessment of Learning (AoL). Ketiga fungsi asesmen dalam pendidikan perlu ditinjau secara koheren sebagai upaya membangun budaya penilaian yang memfasilitasi proses belajar siswa secara maksimal (Schellekens et al., 2021). Bahkan, beberapa peneliti menekankan bahwa hendaknya pelaksanaan asesmen dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas mutu pendidikan pada setiap sekolah (Chen et al., 2019;

Hofer et al., 2020; van der Bij et al., 2016).

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai urgensi asesmen perkembangan karakter siswa maka diperlukan suatu survei yang dapat menilai perkembangan karakter siswa di seluruh Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan semangat pelaksanaan Asesmen Nasional yang telah dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai tahun 2021. Asesmen Nasional dirancang untuk mendapatkan informasi mengenai pencapaian kompetensi literasi dan numerasi (Asesmen Kompetensi Minimum), kondisi pembelajaran berdasarkan penilaian siswa, guru, dan kepala sekolah (Survei Lingkungan Belajar), serta karakter siswa. Oleh karena itu, sebagai upaya mendapatkan informasi mengenai perkembangan karakter siswa maka diperlukan pengembangan Survei Karakter Siswa. Pengembangan Survei Karakter Siswa diharapkan dapat menghasilkan alat ukur yang tepat untuk mengukur perkembangan karakter siswa sebagai salah satu capaian pembelajaran.

Ketepatan suatu alat ukur dapat memberikan informasi yang akurat mengenai konstruk yang diukur sehingga hasil dari pengukurannya dapat lebih bermakna.

Apalagi hasil dari Survei Karakter Siswa dapat digunakan sebagai umpan balik untuk terus meningkatkan kualitas mutu pendidikan di Indonesia terutama yang berkaitan dengan penguatan karakter siswa.

Pengembangan Survei Karakter Siswa mengacu pada Profil Pelajar Pancasila.

Namun, pada pengembangan Survei Karakter Siswa kali ini belum mengikutsertakan akhlak beragama dan akhlak pribadi karena beberapa pertimbangan. Akhlak beragama mengacu pada pemahaman mengenai sifat-sifat Tuhan dan menghayati bahwa inti dari sifat-sifat-Nya adalah kasih dan sayang. Penghayatan atas sifat-sifat Tuhan menjadi landasan dalam pelaksanaan ritual ibadah atau sembahyangnya sepanjang hayat. Namun, seperti yang diketahui bahwa Indonesia mengakui enam

(11)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

agama yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu serta serangkaian aliran kepercayaan. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam mengukur karakter akhlak beragama karena indikator perilaku dari masing-masing agama dapat berbeda-beda. Selain itu, selama ini pengukuran atas akhlak beragama cenderung mengacu pada salah satu agama tertentu seperti skala religiositas untuk umat Muslim (Abdollahzadeh Rafi et al., 2020; Abu-Rayya et al., 2016; Olufadi, 2017), umat Kristiani (Brambilla et al., 2014; Gonçalves et al., 2016; Lamborn & Steinberg, 1993), dan umat Buddha (Stanford & Jong, 2019). Oleh karena itu, pengukuran terhadap karakter beragama dapat diintegrasikan dengan mata pelajaran agama yang diikuti oleh setiap siswa di Indonesia yang sesuai dengan agama yang dianut.

Pertimbangan yang lain adalah akhlak beragama dapat dimanifestasikan pada akhlak yang lain terutama akhlak pada manusia, akhlak pada alam, dan akhlak bernegara. Hal ini dikarenakan setiap agama mengajarkan sikap dan perilaku yang baik terhadap sesama manusia, pada alam, dan partisipasi sebagai warga negara.

Terlebih beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa individu yang cenderung religius akan memiliki sikap yang positif dan toleransi terhadap perbedaan agama (Brambilla et al., 2013; Shaver et al., 2016). Selain itu, internalisasi terhadap agama yang dianut juga dapat mendorong individu untuk memiliki kepedulian terhadap pelestarian alam (Begum et al., 2021; Eom et al., 2021; Preston

& Baimel, 2021). Tidak hanya itu, penelitian sebelumnya juga menemukan bahwa individu yang beragama cenderung menunjukkan perilaku yang mengarah pada keterlibatan sebagai warga negara yang baik (Kim & Wilcox, 2013; Lewis et al., 2013;

Wallman Lundåsen, 2021).

Berbeda dengan akhlak beragama, akhlak pribadi tidak diikutsertakan dalam Survei Karakter Siswa dikarenakan masih perlu koordinasi lebih lanjut dengan instansi negara yang lainnya. Hal ini dikarenakan akhlak pribadi berkaitan dengan sikap integritas dan kemampuan merawat diri sendiri. Siswa di Indonesia yang memiliki sikap integritas diharapkan menampilkan tindakan yang konsisten dengan apa yang

(12)

kemampuan merawat diri erat kaitannya dengan Kementerian Kesehatan karena perwujudan dari kemampuan merawat diri yaitu siswa di Indonesia senantiasa menjaga kesehatan fisik, mental, dan spiritualnya. Harapannya melalui koordinasi lebih lanjut dengan instansi negara yang lain, pengukuran terhadap akhlak pribadi pada siswa di Indonesia semakin komprehensif dan integratif.

Berdasarkan pertimbangan di atas maka pada Survei Karakter Siswa kali ini terdapat enam karakter yang diukur pada siswa di Indonesia. Adapun enam karakter tersebut meliputi 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, 2) gotong-royong, 3) kreativitas, 4) nalar kritis, 5) kebinekaan global, dan 6) kemandirian. Namun karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia hanya berfokus pada akhlak pada manusia, akhlak pada alam, dan akhlak bernegara.

(13)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Model Konseptual Karakter Siswa

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(14)

Karakter sering dianggap sebagai karakteristik unik yang melekat pada masing-masing individu. Selain itu, karakter juga dianggap sebagai sesuatu yang mengarahkan munculnya perilaku tertentu. Hal ini dikarenakan karakter tidak dapat dilepaskan dari sikap dan nilai yang dimiliki oleh individu. Sering kali karakter dikaitkan dengan karakteristik psikologis yang mengarahkan individu berperilaku secara moral dalam kehidupan sehari-hari) (Fleeson et al., 2014). Tidak mengherankan apabila perwujudan karakter yang baik dihubungkan dengan perilaku yang ditampilkan saat berinteraksi dengan orang lain atau masyarakat seperti kebaikan, kedermawanan, dan toleransi (Baehr, 2017).

Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat banyak karakter yang mungkin melekat pada individu dan karakter memiliki variasi yang cukup beragam. Dalam kajian mengenai keterampilan yang dibutuhkan pada abad ke-21, Griffin dan Care (2014) menegaskan pentingnya penguasaan keterampilan baru dan keterampilan tradisional demi mempersiapkan individu yang dapat berperan efektif sebagai siswa, pekerja, dan warga negara. Secara umum, kerangka kerja yang diusulkan meliputi cara berpikir, cara bekerja, alat bekerja, dan hidup di dunia.

Walaupun selalu mempertimbangkan keterampilan yang dibutuhkan untuk bersaing secara global di abad ke-21 serta berbagai pengukuran yang sudah pernah dilakukan sebelumnya, namun pengembangan survei karakter siswa ini tetap selaras pada karakter yang tercantum dalam Profil Pelajar Pancasila, yang dikembangkan berdasarkan jati diri bangsa Indonesia. Profil Pelajar Pancasila memiliki semangat untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Pancasila yang merupakan ideologi bangsa Indonesia. Profil Pelajar Pancasila dapat didefinisikan sebagai karakter dan kemampuan yang merupakan perwujudan nilai-nilai Pancasila yang sehari-hari dibangun dan dihidupkan dalam diri setiap individu siswa di Indonesia. Pada Profil Pelajar Pancasila terdapat enam karakter utama yaitu 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, 2) gotong royong, 3) kreativitas, 4) nalar kritis, 5) kebinekaan global, dan 6) kemandirian.

Survei karakter siswa ini akan menghasilkan profil perkembangan karakter secara umum, profil pencapaian setiap karakter, dan profil pencapaian indikator karakter. Adapun profil perkembangan karakter secara umum sebagai berikut:

(15)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Profil Deskripsi

Belum

terinternalisasi

Siswa belum memiliki kesadaran akan pentingnya nilai- nilai karakter pelajar pancasila yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong- royong, kreatif, bernalar kritis, berkebinekaan global, dan mandiri.

Perlu

dikembangkan

Siswa telah menyadari pentingnya nilai-nilai karakter pelajar pancasila yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong-royong, kreatif, bernalar kritis, berkebinekaan global, dan mandiri, namun masih perlu dukungan untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Telah berkembang

Siswa terbiasa menerapkan nilai-nilai karakter pelajar pancasila yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong-royong, kreatif, bernalar kritis, berkebinekaan global, dan mandiri, dalam kehidupan sehari-hari.

Telah membudaya

Siswa secara proaktif dan konsisten menerapkan nilai- nilai karakter pelajar pancasila yang beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong- royong, kreatif, bernalar kritis, berkebinekaan global, dan mandiri, dalam kehidupan sehari hari.

Dalam perumusan model konseptual, dilakukan penyelarasan antara rumusan dalam Profil Pelajar Pancasila dengan berbagai hasil pengukuran yang pernah dilakukan sebelumnya. Langkah ini diambil demi memastikan hasil pengukuran dapat dibandingkan dengan upaya serupa yang pernah dilakukan di tingkat internasional. Dalam penelusuran, digunakan sejumlah kata kunci yang diinspirasi oleh keenam karakter dalam Profil Pelajar Pancasila. Berikut ini adalah rumusan konseptual untuk tiap karakter.

(16)
(17)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Beriman, Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan

Berakhlak Mulia

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(18)

Karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia dapat didefinisikan sebagai pengamalan nilai-nilai agama dan kepercayaan yang diwujudkan melalui akhlak pada manusia, akhlak pada alam, dan akhlak bernegara dalam kehidupan sehari-hari. Keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat dimanifestasikan pada sikap dan perilaku siswa Indonesia dalam mengutamakan persamaan dan menghargai perbedaan, menjaga dan melestarikan alam, serta berpartisipasi dalam membangun dan menjaga kesatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, siswa di Indonesia diharapkan mampu menerapkan perilaku yang menunjukkan berakhlak baik pada sesama manusia, alam, dan negara.

Adapun profil perkembangan karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia sebagai berikut:

Profil Deskripsi

Perlu dikembangkan Siswa menyadari pentingnya berakhlak baik pada sesama manusia, alam, dan negara, namun belum sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

Telah berkembang siswa memiliki kesadaran akan pentingnya berakhlak baik pada sesama manusia, alam, dan negara, serta sudah menerapkannya dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.

Telah membudaya Siswa secara proaktif dan konsisten telah menerapkan perilaku yang menunjukkan berakhlak baik pada sesama manusia, alam, dan negara.

Akhlak pada manusia merujuk pada pemahaman bahwa setiap manusia merupakan individu yang unik dan berbeda satu dengan yang lainnya (UNICEF &

Partners, 2017). Pemahaman akan perbedaan dapat mengarahkan individu untuk saling toleransi satu dengan yang lain dengan cara menerima, menghargai, dan mengapresiasi perbedaan yang ada (Hjerm et al., 2020). Perbedaan antar individu dapat berupa perbedaan kelompok sosial seperti agama, budaya, dan gender. Individu yang memiliki toleransi terhadap perbedaan kelompok sosial akan menunjukkan perilaku menghargai perbedaan dan mendukung kesetaraan antar kelompok sosial.

(19)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Misalnya dengan bersedia untuk berinteraksi dan beraktivitas bersama dengan individu yang berlatar agama, budaya, dan gender berbeda (Beck et al., 2018b).

Dengan demikian, karakter akhlak pada manusia dapat didefinisikan sebagai pemahaman mengenai adanya kesetaraan dengan orang lain dan menghargai perbedaan, serta berempati pada orang lain.

Akhlak pada manusia terlihat melalui pengamatan terhadap cara individu manusia sebagai sesama. Istilah sesama di sini memiliki pengertian yang dalam dan luas. Secara mendalam, penggunaan istilah sesama memberikan penekanan adanya toleransi terhadap perbedaan dan upaya menjaga kesetaraan. Secara luas, toleransi dan kesetaraan ini meliputi agama, gender, dan budaya.

Ada beberapa variasi ragam dalam hal skala yang pernah dirancang untuk mengukur konstruk ini. Variasi pertama adalah adanya ragam terkait apa yang diharapkan (preskriptif) dan apa yang senyatanya (deskriptif) ditemukan di masyarakat (Zimmerman & Reyna, 2013a, 2013b). Variasi kedua mengulas perihal toleransi atau sikap terhadap keberagaman agama (Goplen & Plant, 2015; Smeekes et al., 2012)(Schmid et al., 2009) dan budaya (Ballard et al., 2015; Homan et al., 2010; Juang et al., 2016; Ponterotto et al., 1995; Sheu & Lent, 2007). Variasi terakhir mengukur sikap dan pengalaman dalam mempromosikan kesetaraan agama (Allen et al., 2020), budaya (Mohanty, 2010; Reitz et al., 2015b, 2015a; Stanley, 1996) dan gender (Durndell et al., 1995; Tanja Hentschel et al., 2019; Kostick et al., 2011; Martinot et al., 2012).

Secara umum, pengukuran yang banyak dilakukan selama ini dapat digolongkan menjadi 2 kategori, yaitu pengukuran tingkat toleransi dan derajat kesetaraan.

Istilah toleransi mengacu pada penerimaan dan penghargaan terhadap perbedaan dalam hal agama dan budaya. Istilah kesetaraan mengacu pada pengakuan dan upaya mengupayakan kesetaraan hak dan kewajiban dalam menjalan peran publik.

Pengukuran terpusat pada aspek afektif dalam bentuk pernyataan persetujuan dan

(20)

Misalnya dengan bersedia untuk berinteraksi dan beraktivitas bersama dengan individu yang berlatar agama, budaya, dan gender berbeda (Beck et al., 2018b).

Dengan demikian, karakter akhlak pada manusia dapat didefinisikan sebagai pemahaman mengenai adanya kesetaraan dengan orang lain dan menghargai perbedaan, serta berempati pada orang lain.

Akhlak pada manusia terlihat melalui pengamatan terhadap cara individu manusia sebagai sesama. Istilah sesama di sini memiliki pengertian yang dalam dan luas. Secara mendalam, penggunaan istilah sesama memberikan penekanan adanya toleransi terhadap perbedaan dan upaya menjaga kesetaraan. Secara luas, toleransi dan kesetaraan ini meliputi agama, gender, dan budaya.

Ada beberapa variasi ragam dalam hal skala yang pernah dirancang untuk mengukur konstruk ini. Variasi pertama adalah adanya ragam terkait apa yang diharapkan (preskriptif) dan apa yang senyatanya (deskriptif) ditemukan di masyarakat (Zimmerman & Reyna, 2013a, 2013b). Variasi kedua mengulas perihal toleransi atau sikap terhadap keberagaman agama (Goplen & Plant, 2015; Smeekes et al., 2012)(Schmid et al., 2009) dan budaya (Ballard et al., 2015; Homan et al., 2010; Juang et al., 2016; Ponterotto et al., 1995; Sheu & Lent, 2007). Variasi terakhir mengukur sikap dan pengalaman dalam mempromosikan kesetaraan agama (Allen et al., 2020), budaya (Mohanty, 2010; Reitz et al., 2015b, 2015a; Stanley, 1996) dan gender (Durndell et al., 1995; Tanja Hentschel et al., 2019; Kostick et al., 2011; Martinot et al., 2012).

Secara umum, pengukuran yang banyak dilakukan selama ini dapat digolongkan menjadi 2 kategori, yaitu pengukuran tingkat toleransi dan derajat kesetaraan.

Istilah toleransi mengacu pada penerimaan dan penghargaan terhadap perbedaan dalam hal agama dan budaya. Istilah kesetaraan mengacu pada pengakuan dan upaya mengupayakan kesetaraan hak dan kewajiban dalam menjalan peran publik.

Pengukuran terpusat pada aspek afektif dalam bentuk pernyataan persetujuan dan pengakuan terhadap kesesuaian antara butir dengan gambaran diri yang dimiliki.

Persetujuan dimaknai sebagai tingkat persetujuan atau kesepakatan terhadap pernyataan yang disajikan. Kesesuaian dimaknai sebagai tingkat kesesuaian (ketepatan) antara pernyataan yang disajikan dengan pengalaman hidup yang dimiliki.

(21)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Pentingnya karakter akhlak pada manusia tidak terlepas dari kondisi bangsa Indonesia yang mengakomodasi keberagaman agama, budaya, dan gender. Terlebih bangsa Indonesia memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang memiliki arti meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap satu kesatuan. Walaupun demikian, tidak sedikit pula konflik yang terjadi di masyarakat disebabkan karena ketidakmampuan untuk menghargai perbedaan baik secara agama, budaya, maupun gender. Oleh karena itu, siswa di Indonesia diharapkan mampu memahami dan menyadari pentingnya kesetaraan dan menghargai perbedaan latar belakang agama, budaya, dan gender dalam kehidupan sehari-hari.

Terwujudnya karakter akhlak pada manusia ditandai dengan kemampuan siswa di Indonesia dalam 1) penerimaan dan penghargaan atas keragaman agama, 2) penerimaan dan penghargaan atas keragaman budaya, 3) dukungan atas kesetaraan hak dan kemampuan laki-laki dan perempuan dalam menjalankan peran publik, 4) dukungan atas kesetaraan hak-hak sipil antara kelompok agama mayoritas dan minoritas, dan 5) dukungan atas kesetaraan hak-hak sipil antara kelompok budaya mayoritas dan minoritas.

Akhlak pada alam mengarah pada perilaku mencintai lingkungan hidup.

Individu yang mencintai lingkungan hidup ditunjukkan dengan adanya pemahaman, kepedulian, dan keterlibatan dalam pelestarian lingkungan (Asah et al., 2018b).

Umumnya individu yang bersedia terlibat dalam upaya pelestarian lingkungan memiliki perasaan terikat dengan lingkungannya (Halpenny, 2010b). Hal ini dapat mengarahkan individu untuk mencari berbagai informasi yang berkaitan pelestarian lingkungan hidup termasuk hal-hal yang dapat merusak lingkungan (Rosenthal, 2011).

Secara konseptual, karakter Akhlak pada alam erat berkaitan dengan konstruk cinta lingkungan atau kecintaan pada lingkungan hidup. Konstruk ini merupakan gabungan dari beberapa konstruk yang sudah ada berdasarkan kajian ilmiah tentang sikap positif terhadap lingkungan hidup. Sikap positif ini meliputi

(22)

Monroe, 2012; Navarro et al., 2017; Wittenberg et al., 2018). Aspek perilaku meliputi pengalaman berpartisipasi dalam kegiatan untuk mencegah kerusakan dan melestarikan lingkungan hidup (Asah et al., 2018a; Corral-Verdugo & Frías-Armenta, 2006; Halpenny, 2010a, 2010b; Lee et al., 2013).

Skala ini dirancang mengukur aspek keingintahuan, perasaan, dan perilaku yang menunjukkan minat dan kepedulian pada lingkungan, meliputi hewan, tanaman, dan lingkungan alam. Skala ini dirancang mengukur karakter unggul dalam diri siswa bukan hasil belajar. Oleh karena itu, skala ini tidak dirancang mengukur pemahaman atau kesalahpahaman (aspek kognitif) terkait lingkungan hidup.

Aspek kognitif dalam arti pemahaman atau kesalahpahaman tentang istilah dan isu penting terkait lingkungan hidup adalah salah satu indikator tidak langsung dari sikap positif terhadap lingkungan hidup. Namun, pengukuran tentang hal ini dikhawatirkan terkotori dengan hasil belajar, khususnya terkait pengetahuan ilmiah, yang sudah diukur dalam pelajaran akademik (ilmu pengetahuan alam/

IPA). Apabila dilakukan, ada kekhawatiran bahwa variansi skor lebih menunjukkan variansi pemahaman dan hasil belajar dan bukan variansi karakter siswa.

Individu yang mencintai lingkungan akan menunjukkan keterlibatan dalam aktivitas pelestarian lingkungan seperti membeli produk yang ramah lingkungan, menghemat energi, atau menyebarkan informasi mengenai pelestarian lingkungan (Lee & Jan, 2019). Dengan demikian, karakter akhlak pada alam dapat didefinisikan sebagai kemampuan siswa dalam memahami keterhubungan antara manusia dengan ekosistem bumi yang diwujudkan dalam perilaku menjaga lingkungan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan manusia juga tergantung dengan kondisi ekosistem bumi. Terlebih berbagai isu mengenai pelestarian lingkungan mulai bermunculan seiring dengan perubahan zaman yang pesat. Hal ini pastinya dapat mengancam keberlangsungan hidup manusia di masa depan apabila manusia tidak dapat menjaga dan melestarikan alam. Oleh karena itu, siswa di Indonesia diharapkan mampu memahami dan menyadari pentingnya kesetaraan dan menghargai perbedaan latar belakang agama, budaya, dan gender dalam kehidupan sehari-hari.

(23)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Karakter akhlak pada alam dapat diwujudkan dalam beberapa sikap dan perilaku yang berkaitan dengan alam yaitu antara lain 1) merasa bahwa diri adalah bagian dari alam; merasa nyaman berada di lingkungan alam; merasa sakit, sedih, marah ketika mendapati kerusakan alam, 2) ketertarikan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan alam, misalnya memikirkan, mencari informasi, dan mempelajari isu-isu tentang kerusakan alam dan cara penanggulangannya, serta kebijakan-kebijakan terkait lingkungan, dan 3) melakukan aktivitas secara individu atau kelompok dengan tujuan menjaga lingkungan alam (misalnya: penghematan energi, daur ulang, dll); serta adanya kemauan untuk menggerakkan dan memotivasi orang lain untuk peduli terhadap pentingnya pelestarian alam baik secara langsung maupun melalui berbagai media lainnya.

Akhlak bernegara mengarah pada konsep partisipasi warga negara merujuk pada keterlibatan individu dalam lingkungan sosial (Hoskins & Mascherini, 2009).

Keterlibatan individu dalam lingkungan sosial dapat dilakukan pada berbagai konteks seperti keluarga, sekolah, pekerjaan, komunitas, dan masyarakat (UNICEF

& Partners, 2017). Bentuk partisipasi sebagai bagian dari lingkungan sosial ini lebih mengarah pada keterlibatan secara aktif dalam pengambilan keputusan kelompok yang menjunjung nilai-nilai demokrasi (Hoskins & Mascherini, 2009). Dengan demikian, karakter akhlak bernegara dapat didefinisikan sebagai perilaku siswa dalam melaksanakan hak dan kewajiban sebagai warga negara pada lingkungan sekolah

Karakter akhlak bernegara mencerminkan perwujudan dari sila keempat dan lima dari Pancasila yaitu demokrasi, keadilan dan kesejahteraan sosial. Apabila setiap warga negara dapat memahami hak dan kewajibannya maka bukan hal yang mustahil masyarakat yang demokratis, adil, dan sejahtera dapat terwujud. Dalam praktik pengukuran selama ini, konstruk ini dipecah menjadi dua indikator yaitu kemauan memikirkan isu-isu terkait dengan demokrasi dan keadilan di sekitar partisipan (Rowe, Clayton, et al., 2012; Rowe, Miller, et al., 2012) dan partisipasi

(24)

yang memiliki akhlak bernegara akan menunjukkan 1) Minat dan kepedulian untuk menjalankan prinsip-prinsip kehidupan di lingkungan sekolah yang demokratis, adil, dan sejahtera dan 2) melibatkan diri dalam aktivitas sosial untuk menyelesaikan permasalahan terkait demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan sosial dalam konteks sekolah.

Berdasarkan penjabaran dari masing-masing akhlak pada manusia, akhlak pada alam, dan akhlak bernegara maka pencapaian indikator karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia sebagai berikut:

Indikator Profil Deskripsi

Akhlak pada Manusia:

Toleransi agama

Menyadari Siswa sudah menyadari perlunya penerimaan dan penghargaan atas keragaman agama, namun masih butuh dukungan untuk melakukannya.

Toleran Siswa sudah menunjukkan perilaku menghargai keragaman agama, namun belum konsisten.

Sangat toleran Siswa secara konsisten menunjukkan perilaku menghargai keragaman agama.

Akhlak pada Manusia:

Toleransi budaya

Menyadari Siswa sudah menyadari perlunya penerimaan dan penghargaan atas keragaman budaya, namun masih butuh dukungan untuk melakukannya.

Toleran Siswa sudah menunjukkan perilaku menghargai keragaman budaya, namun belum konsisten.

Sangat toleran Siswa secara konsisten menunjukkan perilaku menghargai keragaman budaya.

(25)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Indikator Profil Deskripsi

Akhlak pada Manusia:

Sikap terhadap kesetaraan gender

Reaktif Siswa sudah menyadari pentingnya kesetaraan hak dan kemampuan laki-laki dan perempuan dalam

menjalankan tugas, namun masih perlu dukungan untuk melakukannya.

Aktif Siswa sudah menunjukkan perilaku mendukung kesetaraan hak dan kemampuan laki-laki dan perempuan dalam menjalankan tugas, namun belum konsisten.

Proaktif Siswa secara konsisten menunjukkan perilaku mendukung kesetaraan hak dan kemampuan laki-laki dan perempuan dalam menjalankan tugas.

Akhlak pada Manusia:

Sikap terhadap kesetaraan agama

Reaktif Siswa sudah menyadari pentingnya kesetaraan hak antara kelompok agama/kepercayaan yang berbeda, namun masih perlu dukungan untuk melakukannya.

Aktif Siswa sudah menunjukkan perilaku mendukung kesetaraan hak antara kelompok agama/kepercayaan yang berbeda, namun belum konsisten.

Proaktif Siswa secara konsisten menunjukkan perilaku mendukung kesetaraan hak antara kelompok agama/kepercayaan yang berbeda.

(26)

Indikator Profil Deskripsi Akhlak pada

Manusia:

Sikap terhadap kesetaraan budaya

Reaktif Siswa sudah menyadari pentingnya dukungan atas kesetaraan hak antara kelompok budaya yang berbeda, namun masih perlu dukungan untuk melakukannya.

Aktif Siswa sudah menunjukkan perilaku mendukung kesetaraan hak antara kelompok budaya yang berbeda, namun belum konsisten.

Proaktif Siswa secara konsisten menunjukkan perilaku mendukung kesetaraan hak antara kelompok budaya yang berbeda.

Akhlak pada Alam: Perasaan terkoneksi dan menjadi bagian dari alam

Menyadari Siswa mengetahui adanya hubungan manusia dengan alam dan memiliki perasaan terhubung dengan alam namun belum menunjukkan empati.

Terkoneksi Siswa merasa dirinya sudah menjadi bagian dari alam dan berempati terhadap kerusakan alam, namun belum konsisten.

Menghayati Siswa secara konsisten merasakan ada hubungan dengan alam termasuk berempati terhadap kerusakan alam.

(27)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Indikator Profil Deskripsi

Akhlak pada Alam: Minat terhadap pelestarian alam

Minat perlu dikembangkan

Siswa perlu dukungan dalam

mengembangkan ketertarikan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan

kelestarian lingkungan alam.

Cukup berminat

Siswa mulai menunjukkan ketertarikan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan alam, namun kurang aktif untuk mencari informasi dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan alam.

Berminat tinggi

Siswa terbiasa dan konsisten memikirkan, mencari informasi, dan mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan alam.

Akhlak pada Alam:

Partisipasi dalam aktivitas pelestarian alam

Reaktif Siswa sudah menyadari pentingnya partisipasi dalam aktivitas pelestarian alam, namun masih perlu dukungan untuk melakukannya.

Aktif Siswa telah berpartisipasi dalam aktivitas pelestarian alam namun belum memiliki kemauan untuk mengajak dan memotivasi orang lain peduli terhadap lingkungan alam.

Proaktif Siswa secara rutin dan konsisten berpartisipasi dalam aktivitas pelestarian alam serta mengajak dan memotivasi orang lain peduli terhadap lingkungan alam.

(28)

Indikator Profil Deskripsi Akhlak pada

Bernegara:

Minat dan kepedulian pada komunitas sekolah

Minat dan kepedulian perlu ditingkatkan

Siswa perlu dukungan untuk

meningkatkan minat dan kepedulian dalam menjalankan prinsip-prinsip kehidupan di lingkungan sekolah yang demokratis, adil, dan sejahtera.

Cukup berminat dan peduli

Siswa sudah mulai memiliki minat dan kepedulian untuk menjalankan prinsip- prinsip kehidupan di lingkungan sekolah yang demokratis, adil, dan sejahtera, namun belum konsisten.

Minat dan kepedulian tinggi

Siswa sudah terbiasa dan konsisten dalam menjalankan prinsip-prinsip kehidupan di lingkungan sekolah yang demokratis, adil, dan sejahtera.

Akhlak pada Bernegara:

Kontribusi pada penyelesaian isu-isu komunitas sekolah

Reaktif Siswa menyadari pentingnya kontribusi dalam menyelesaikan permasalahan terkait demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan sosial dalam konteks sekolah, namun masih perlu dukungan untuk melakukannya.

Aktif Siswa telah berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan terkait demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan sosial dalam konteks sekolah, namun belum konsisten.

Proaktif Siswa secara rutin dan konsisten berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan terkait demokrasi, keadilan, dan kesejahteraan sosial dalam konteks sekolah.

(29)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Gotong Royong

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(30)

Gotong royong adalah istilah asli Indonesia yang digunakan untuk merujuk pada kegiatan bersama dalam suatu komunitas untuk mengerjakan suatu aktivitas bersama yang terlampau besar untuk diselesaikan seorang diri atau hanya oleh beberapa orang. Gotong royong dalam tradisi suku Bugis (salah satu suku di Indonesia) dikaitkan dengan kegiatan memindahkan rumah menggunakan batang pohon besar secara bersama-sama.

Kata “gotong” berarti memanggul atau memikul, kata ini diluaskan menjadi kata bekerja. Kata “royong (ruyung)” berasal dari kata yang merujuk pada batang pohon tinggi besar sejenis kelapa. Kata royong dimaknai sebagai beban berat sehingga perlu dikerjakan bersama-sama. Sebagai kesatuan, gotong royong dimaknai sebagai kerjasama untuk mencapai tujuan yang besar atau berat.

Secara ilmiah, istilah gotong royong dapat dikaitkan dengan istilah rasa kebersamaan, kepedulian dan partisipasi sosial, serta saling berbagi Rasa kebersamaan dalam masyarakat dapat ditunjukkan dengan adanya ikatan sosial, rasa memiliki, hubungan emosional, dan keterlibatan dalam masyarakat (Chiessi et al., 2010; Hahm et al., 2016). Bentuk dari rasa kebersamaan dalam masyarakat dapat diwujudkan dengan adanya kepedulian dan keterlibatan terhadap isu-isu yang ada di masyarakat (Rinkus et al., 2016; Wickrama & Wickrama, 2011) serta saling berbagi dalam kehidupan bermasyarakat (Chiessi et al., 2010). Dengan demikian, karakter gotong royong dapat didefinisikan sebagai kesediaan siswa untuk berkontribusi dalam kegiatan yang bertujuan memperbaiki kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial.

Karakter gotong royong telah dianggap sebagai modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia selama ini. Selain itu, gotong royong merupakan perwujudan dari rasa kebersamaan antar individu dalam masyarakat kolektif seperti masyarakat Indonesia. Sejak dahulu, gotong royong telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia mulai dari upaya meraih kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, hingga mewujudkan masyarakat yang lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Implementasi karakter gotong royong juga dapat dilakukan pada konteks sekolah seperti siswa terlibat aktif dalam kegiatan memperbaiki kondisi fisik dan sosial secara bersama- sama. Adapun profil perkembangan karakter gotong royong sebagai berikut:

(31)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Profil Deskripsi

Perlu dikembangkan Siswa menyadari pentingnya kontribusi dalam kegiatan yang bertujuan memperbaiki kondisi lingkungan fisik dan sosial, namun belum sepenuhnya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Telah berkembang Siswa memiliki kesediaan dan kemauan berkontribusi dalam kegiatan yang bertujuan memperbaiki kondisi lingkungan fisik dan sosial, serta sudah diimplementasikan dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.

Telah membudaya Siswa telah mengimplementasikan dan menggerakkan aktivitas terkait kegiatan yang bertujuan memperbaiki kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial secara proaktif serta konsisten.

Karakter gotong royong pada siswa dapat diwujudkan dengan adanya 1) Kepedulian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian masalah sosial dan lingkungan fisik (dalam lingkup pendidikan, kesehatan, ekonomi, kesejahteraan, dll.) misalnya dalam bentuk pemberian dukungan dan berbagi informasi, 2) Berperan dalam aktivitas bersama untuk memperbaiki kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial, dan 3) Rela berbagi, menjaga dan mengutamakan kepentingan bersama dalam menggunakan sumber daya/fasilitas umum. Dengan demikian, pencapaian indikator karakter gotong royong sebagai berikut:

Indikator Profil Deskripsi

Kepedulian pada isu-isu sosial dan lingkungan

Kepedulian perlu

ditingkatkan Siswa perlu dukungan untuk meningkatkan kepedulian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian masalah sosial dan lingkungan fisik.

Cukup peduli Siswa sudah mulai memiliki kepedulian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian masalah sosial dan lingkungan fisik, namun belum konsisten.

Sangat peduli Siswa sudah terbiasa dan konsisten untuk peduli pada hal-hal yang berkaitan dengan

(32)

Indikator Profil Deskripsi Partisipasi

dalam aktivitas sosial

Reaktif Siswa menyadari pentingnya berperan serta dalam aktivitas bersama untuk memperbaiki kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial, namun masih perlu dukungan untuk melakukannya.

Aktif Siswa sudah berperan serta dalam aktivitas bersama untuk memperbaiki kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial, namun belum konsisten.

Proaktif Siswa secara rutin dan konsisten berperan serta dalam aktivitas bersama untuk memperbaiki kondisi lingkungan fisik dan lingkungan sosial.

Perilaku berbagi dalam memanfaatkan fasilitas bersama

Reaktif Siswa menyadari pentingnya berbagi, menjaga dan mengutamakan kepentingan bersama dalam menggunakan sumber daya/

fasilitas umum, namun masih perlu dukungan untuk melakukannya.

Aktif Siswa bersedia berbagi, menjaga dan

mengutamakan kepentingan bersama dalam menggunakan sumber daya/fasilitas umum, namun belum konsisten.

Proaktif Siswa secara rutin dan konsisten

menunjukkan perilaku berbagi, menjaga dan mengutamakan kepentingan bersama dalam menggunakan sumber daya/fasilitas umum.

(33)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kreativitas

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(34)

Hoskin dan Liu (2019) mengusulkan bahwa kreativitas dapat dimaknai sebagai kemampuan menghasilkan suatu gagasan yang baru dan bermanfaat, secara bersamaan. Gagasan ini merupakan perumusan dari beberapa literatur sebelumnya sejak 1953 hingga 2012. Dalam pengukurannya, kreativitas sering diukur menggunakan minimal satu dari empat dimensi, yaitu kelancaran, keaslian, fleksibilitas, dan elaborasi (Shively, 2011; Torrance, 1972). Secara umum, kreativitas dapat dianggap sebagai kemampuan menghasilkan gagasan yang baru dan bermanfaat (Hoskin & Liu, 2019).

Kreativitas

dapat

diukur dengan meminta

individu

mengerjakan suatu tugas atau mencari segala cara baru menggunakan barang-barang yang ada (berpikir divergen), menceritakan pengalaman berperilaku kreatif, dan menceritakan seberapa tinggi minat atau kesenangan terlibat dalam kegiatan kreatif. Pada penelitian ini, pendekatan yang dipilih adalah pendekatan kedua dan ketiga. Pendekatan pertama memang sangat menarik dan bermanfaat untuk mengukur kreativitas namun memiliki tantangan dalam hal efisiensi proses skoring dan interpretasi hasil.

Pendekatan kedua dan ketiga dianggap lebih sesuai untuk keperluan memperoleh gambaran umum tentang karakter siswa. Hal ini menunjukkan bahwa individu yang kreatif cenderung senang membayangkan berbagai alternatif yang ada (Merckelbach et al., 2001).

Secara lebih lanjut, kreativitas yang dimiliki individu dapat diwujudkan dengan menggunakan ide yang dihasilkan untuk memecahkan suatu permasalahan dan menghasilkan suatu karya yang baru (Runco &

Jaeger, 2012). Pada Survei Karakter Siswa, istilah kreativitas dibatasi

pada disposisi dan kemampuan menghasilkan gagasan dan karya yang

baru dan bermakna atau bermanfaat (UNICEF & Partners, 2017). Dengan

demikian, karakter kreativitas dapat didefinisikan sebagai kesenangan

dan pengalaman siswa dalam menghasilkan pemikiran, gagasan, serta

karya yang baru dan berbeda. Istilah karya dan gagasan dalam hal ini

tidak terbatas pada bidang seni, tetapi juga bidang sains, teknologi, dan

pemecahan masalah sehari-hari.

(35)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Karakter kreativitas diperlukan untuk memunculkan solusi-solusi atas berbagai permasalahan yang ada di masyarakat. Selain itu, karakter kreativitas dianggap sebagai modal utama untuk bertahan dan bersaing pada era yang penuh dengan perubahan secara cepat. Terlebih pada saat ini begitu banyak inovasi baru yang bermunculan secara cepat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu diharapkan siswa telah berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan yang menghasilkan pemikiran, gagasan, dan karya yang baru dalam kehidupan sehari-hari.

Adapun profil perkembangan karakter kreativitas sebagai berikut:

Profil Deskripsi

Perlu dikembangkan Siswa memiliki kesenangan dan pengalaman untuk menghasilkan pemikiran, gagasan, serta karya yang baru dan berbeda, namun belum sepenuhnya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Telah berkembang Siswa memiliki kesenangan dan pengalaman untuk menghasilkan pemikiran, gagasan, serta karya yang baru dan berbeda, serta sudah diimplementasikan secara optimal.

Telah membudaya Siswa telah mengimplementasikan dan menggerakkan aktivitas terkait kegiatan yang menghasilkan pemikiran, gagasan, serta karya yang baru dan berbeda secara rutin serta konsisten.

Karakter kreativitas pada siswa dapat diwujudkan dengan adanya 1) Senang memikirkan cara-cara baru dan berbeda untuk melakukan sesuatu agar lebih baik/

cepat/mudah/murah/ menarik/dll, 2) Menggunakan cara-cara baru atau berbeda untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan 3) Menghasilkan karya pada bidang-bidang yang menuntut daya kreasi misalnya bisnis, sains, teknologi, literatur, seni, dll. Dengan demikian, pencapaian indikator karakter

(36)

Indikator Profil Deskripsi Senang berpikir

berbeda

Perlu dukungan Siswa perlu dukungan untuk bisa memikirkan cara-cara baru atau berbeda untuk melakukan sesuatu agar lebih baik/

cepat/mudah/murah/menarik/dll.

Terbiasa Siswa terbiasa memikirkan cara-cara baru atau berbeda untuk melakukan sesuatu agar lebih baik/cepat/mudah/murah/

menarik/dll., namun belum konsisten.

Konsisten Siswa secara rutin dan konsisten

memikirkan cara-cara baru atau berbeda untuk melakukan sesuatu agar lebih baik/

cepat/mudah/murah/ menarik/dll.

Menerapkan ide baru dalam memecahkan masalah

Perlu dukungan Siswa perlu dukungan untuk menggunakan cara-cara baru atau berbeda untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Terbiasa Siswa terbiasa menggunakan cara-cara baru atau berbeda untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari, namun belum konsisten.

Konsisten Siswa secara rutin dan konsisten menggunakan cara-cara baru atau berbeda untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Membuat karya- karya baru

Perlu dukungan Siswa perlu dukungan untuk

menghasilkan karya pada bidang-bidang yang menuntut daya kreasi.

Terbiasa Siswa berulang kali menghasilkan karya pada bidang-bidang yang menuntut daya kreasi.

Konsisten Siswa secara rutin dan konsisten

menghasilkan karya pada bidang-bidang yang menuntut daya kreasi.

(37)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Nalar Kritis

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(38)

Nalar kritis dapat didefinisikan sebagai kemampuan berpikir secara terarah (UNICEF & Partners, 2017). Ada beberapa konstruk yang pernah digunakan sebagai indikator nalar kritis, yaitu: (1). Mencari informasi relevan termasuk yang bertentangan dengan keyakinan dan pendapat pribadi (Sosu, 2013), (2) menganalisis dan mengevaluasi informasi dari berbagai perspektif (Ghahremani et al., 2017; Torff

& Warburton, 2005), dan (3) mengambil keputusan dengan mempertimbangkan konsekuensi dan prinsip etika universal (Condon & Kelly-Riley, 2004).

Beberapa peneliti menjelaskan proses dari nalar kritis yang dimulai dari mencari, menginterpretasi, dan mengevaluasi informasi dari berbagai sudut pandang (Dwyer et al., 2014; O. L. Liu et al., 2014). Tidak hanya itu, individu yang memiliki nalar kritis juga bersedia untuk mengubah keyakinannya yang sesuai dengan informasi yang diperoleh (Aditomo, 2019). Bahkan, individu yang bernalar kritis akan mempertimbangkan berbagai implikasi yang muncul sebelum mengambil sebuah keputusan (Sosu, 2013). Dengan demikian, karakter nalar kritis dapat didefinisikan sebagai kemauan dan kebiasaan membuat keputusan yang etis berdasarkan analisis logis dan pertimbangan yang objektif atas beragam bukti dan perspektif.

Pada era keterbukaan informasi saat ini, karakter nalar kritis diperlukan untuk mencari, menganalisis, mengevaluasi, dan menyimpulkan informasi yang beredar di masyarakat. Hal ini supaya siswa di Indonesia mampu mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Terlebih saat ini beredar begitu banyak informasi di masyarakat yang mungkin masih diragukan mengenai kebenarannya. Oleh karena itu, siswa diharapkan mampu menelusuri, menganalisis, dan mengevaluasi informasi, serta bertanggung jawab terhadap keputusan yang dibuat. Adapun profil perkembangan karakter nalar kritis sebagai berikut:

Profil Deskripsi

Perlu dikembangkan Siswa menyadari pentingnya menelusuri, menganalisis, dan mengevaluasi informasi, serta bertanggung

jawab terhadap keputusan yang dibuat, namun belum sepenuhnya diimplementasikan dalam kehidupan sehari- hari.

(39)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Profil Deskripsi

Telah berkembang Siswa terbiasa untuk menelusuri, menganalisis, dan mengevaluasi informasi, serta bertanggung jawab terhadap keputusan yang dibuat.

Telah membudaya Siswa secara rutin dan konsisten telah menelusuri, menganalisis, dan mengevaluasi informasi, serta bertanggung jawab terhadap keputusan yang dibuat.

Terwujudnya karakter nalar kritis ditandai dengan siswa mampu 1) mencari informasi yang dibutuhkan atau yang ingin diketahui lebih lanjut; mencari jawaban atas segala pertanyaan, termasuk yang bertentangan dengan pendapat atau keyakinan awal, 2) menganalisis dan mengevaluasi informasi dari berbagai perspektif misalnya dengan membandingkan beberapa informasi, menilai kebenaran, menganalisis manfaat atau risiko yang mungkin ditimbulkan, dll., dan 3) memanfaatkan hasil analisis dan evaluasi informasi dalam proses pengambilan keputusan; berani mempertanggungjawabkan keputusan yang telah diambil.

Dengan demikian, pencapaian indikator karakter nalar kritis sebagai berikut:

Indikator Profil Deskripsi

Penelusuran infor- masi

Perlu dukungan Siswa perlu dukungan untuk menyadari pent- ingnya mencari informasi yang dibutuhkan, termasuk yang bertentangan dengan pendapat atau keyakinannya.

Terbiasa Siswa terbiasa mencari informasi yang dibu- tuhkan, termasuk yang bertentangan dengan pendapat atau keyakinannya, namun belum konsisten.

Konsisten Siswa secara rutin dan konsisten mencari in- formasi yang dibutuhkan, termasuk yang ber- tentangan dengan pendapat atau keyakinan.

(40)

Indikator Profil Deskripsi

Analisis dan eval- uasi informasi

Perlu dukungan Siswa perlu dukungan untuk menyadari pent- ingnya analisis dan evaluasi informasi dari berbagai perspektif.

Terbiasa Siswa terbiasa menganalisis dan mengevalu- asi informasi dari berbagai perspektif, namun belum konsisten.

Konsisten Siswa secara rutin dan konsisten menganalisis dan mengevaluasi informasi dari berbagai per- spektif.

Refleksi etis da- lam pengambilan keputusan

Perlu dukungan Siswa masih perlu dukungan untuk bisa me- manfaatkan hasil analisis informasi untuk mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari keputusan yang diambil.

Terbiasa Siswa terbiasa memanfaatkan hasil analisis informasi untuk mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari keputusan yang diambil, namun belum konsisten.

Konsisten Siswa secara rutin dan konsisten memanfaat- kan hasil analisis informasi untuk mempertim- bangkan dampak yang ditimbulkan dari kepu- tusan yang diambil.

(41)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kebhinekaan Global

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(42)

Karakter kebinekaan global mengarah pada konsep budaya global yang merupakan imbas dari globalisasi (Featherstone, 2020; Nederveen Pieterse, 2020).

Kondisi ini memungkinkan individu dari suatu negara dapat mempelajari budaya dari negara lain. Tantangan dalam budaya global adalah menciptakan kerja sama antar negara untuk mencapai kesejahteraan bersama (Featherstone, 2020).

Sebagai upaya perdamaian dalam budaya global, Turay dan English (2008) mengusulkan pendidikan perdamaian yang menekankan keberagaman, pembelajaran partisipasi, berpandangan global, pemahaman budaya lokal, dan pemahaman spiritualitas. Selain pendidikan perdamaian, pendidikan warga dunia juga diperlukan untuk mencapai satu visi global dan tanggung jawab global (Mayor, 2004). Dengan demikian, karakter kebinekaan global dapat didefinisikan sebagai ketertarikan siswa terhadap keragaman di berbagai negara serta memiliki kepedulian terhadap isu-isu global.

Urgensi karakter kebinekaan global tidak terlepas dengan adanya perkembangan globalisasi dan cita-cita bangsa Indonesia untuk berperan dalam tatanan dunia.

Terlebih sejak Indonesia merdeka, Indonesia telah mengambil peran dalam mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di dunia. Tanpa adanya pemahaman mengenai keragaman karakteristik dan budaya di berbagai negara di dunia niscaya bangsa Indonesia akan mengalami kesulitan untuk berkontribusi dalam mengatasi berbagai isu-isu global. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya ketertarikan pada siswa di Indonesia terhadap keragaman di berbagai negara dan peduli terhadap isu- isu global. Adapun profil perkembangan karakter kebinekaan global sebagai berikut:

Profil Deskripsi

Perlu dikembangkan Siswa menyadari adanya ketertarikan terhadap keragaman di berbagai negara serta pentingnya kepedulian terhadap isu-isu global, namun belum sepenuhnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Telah berkembang Siswa memiliki ketertarikan terhadap keragaman di berbagai negara serta memiliki kepedulian terhadap isu- isu global, dan sudah diterapkan dalam kehidupan sehari- hari.

Telah membudaya Siswa secara rutin dan konsisten menunjukkan

ketertarikan terhadap keragaman di berbagai negara serta peduli terhadap isu-isu global.

(43)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kebinekaan global sering dikaitkan dengan penghargaan terhadap keberagaman.

Konstruk ini dimaknai sebagai sikap mengakui dan menghargai perbedaan serta mendukung kesetaraan hak-hak sipil antar kelompok gender, etnis, dan agama.

Secara spesifik, ada empat tema pengelompokan hasil pengukuran yang dirasa berkaitan dengan hal ini, yaitu toleransi terhadap perbedaan (Beck et al., 2018a;

Chen et al., 2016; Ducker & Tori, 2001; Homan et al., 2010; Strizhakova & Coulter, 2013), mengakui dan menghargai kesetaraan hak sipil (Buttner et al., 2012; Stanley, 1996), secara aktif mempromosikan keberagaman dan kesetaraan (Ballard et al., 2015; Chui

& Leung, 2014; Hentschel et al., 2013), dan menolak stereotipe dan prasangka (Beck et al., 2018a).

Dalam Survei Karakter Siswa, pengukuran kebinekaan global siswa di Indonesia diukur melalui dua indikator yaitu 1) Ketertarikan untuk mengetahui dan mempelajari keragaman yang ada di dunia, termasuk gaya hidup, budaya, tradisi, agama, dll dan 2) Kesadaran dan kemauan untuk berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan/

isu yang sedang terjadi dan berdampak luas pada tatanan dunia. Dengan demikian, pencapaian indikator karakter kebinekaan global sebagai berikut:

Indikator Profil Deskripsi

Minat terhadap budaya dari berbagai negara

Minat perlu dikembangkan

Siswa perlu dukungan dalam mengembangkan ketertarikan pada keragaman yang ada di dunia, termasuk gaya hidup, budaya, tradisi, dan agama.

Cukup berminat Siswa sudah mulai menunjukkan ketertarikan untuk mengetahui dan

mempelajari keragaman yang ada di dunia, termasuk gaya hidup, budaya, tradisi, dan agama.

Berminat tinggi Siswa terbiasa dan konsisten untuk

mempelajari keragaman yang ada di dunia, termasuk gaya hidup, budaya, tradisi, dan

(44)

Indikator Profil Deskripsi Kepedulian

pada isu-isu global

Kepedulian perlu ditingkatkan

Siswa perlu dukungan untuk meningkatkan kepedulian pada isu-isu global

dan keinginan berkontribusi dalam

menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi di dunia.

Cukup peduli Siswa sudah mulai peduli pada isu-isu global termasuk ingin berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi di dunia

Kepedulian tinggi Siswa sangat peduli terhadap isu-isu global dan berusaha berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan yang sedang terjadi di dunia

(45)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Kemandirian

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

(46)

Kemandirian dapat dianggap sebagai kemampuan individu dalam mengatur dirinya sendiri (Beyers et al., 2003). Selama ini, kemandirian diukur dalam dua pendekatan, yaitu kesadaran akan dan merefleksikan tujuan seseorang dan usaha untuk meraihnya (Akhtar & Mahmood, 2013; Chen et al., 2015; Fung et al., 2018; Liu, 2017; Vandevelde et al., 2013; Xia et al., 2016) dan kemampuan mengelola emosi dan motivasi untuk mencapai tujuan serta menahan diri sendiri untuk tidak mengikuti impuls dalam rangka menyelesaikan tugas (Chen & Lin, 2018; Swalander & Taube, 2007; Ullrich-French & Cox, 2014). Pada konteks pendidikan, kemampuan ini sering kali dikaitkan dengan konsep regulasi diri.

Individu yang mampu meregulasi dirinya dalam proses belajar salah satunya ditunjukkan dengan kemampuan perencanaan dalam mencapai tujuan (Chen

& Lin, 2018; Fung et al., 2018; Vandevelde et al., 2013). Selain itu, Individu yang mampu meregulasi dirinya dalam proses belajar dapat memantau, meregulasi dan mengendalikan fungsi kognitif, motivasi, dan perilaku untuk mencapai tujuan belajarnya (Pintrich, 2004; Zimmerman, 2002). Dengan demikian, karakter kemandirian dapat didefinisikan sebagai kemauan dan kebiasaan siswa dalam mengelola pikiran, perasaan, dan tindakan untuk mencapai tujuan belajar dalam berbagai konteks.

Karakter kemandirian didasarkan pada pemahaman siswa terhadap kekuatan dan keterbatasan yang dimiliki sehingga siswa mampu merencanakan tujuan yang sesuai dengan dirinya. Selain itu, karakter kemandirian diharapkan dapat berguna sebagai sumber motivasi internal dalam mencapai tujuan sehingga siswa tetap teguh walaupun terdapat berbagai hambatan dalam mencapai tujuan. Hal ini yang akan mengarahkan individu untuk tetap bertahan dalam proses belajarnya dan menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu di luar rencananya untuk mencapai tujuan belajar. Oleh karena itu siswa di Indonesia mampu mengelola pikiran, perasaan, dan tindakan untuk mencapai tujuan belajar. Adapun profil perkembangan karakter kemandirian sebagai berikut:

(47)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Profil Deskripsi

Perlu dikembangkan Siswa menyadari pentingnya mengelola pikiran, perasaan, dan tindakan untuk mencapai tujuan belajar, namun belum sepenuhnya diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Telah berkembang Siswa terbiasa mengelola pikiran, perasaan, dan tindakan untuk mencapai tujuan belajar dalam

Telah membudaya Siswa secara rutin dan konsisten mampu mengelola pikiran, perasaan, dan tindakan untuk mencapai tujuan belajar.

Karakter kemandirian ditandainya dengan kemampuan siswa dalam 1) menetapkan dan merencanakan strategi untuk mencapai tujuan yang didasari penilaian atas kemampuan diri dan tuntutan situasi yang dihadapi serta 2) mengelola emosi dan motivasi untuk mencapai tujuan; serta menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu tanpa pertimbangan agar dapat menuntaskan tugas dengan baik. Dengan demikian, pencapaian indikator karakter kemandirian sebagai berikut:

Indikator Profil Deskripsi

Melakukan perencanaan secara reflektif

Perlu dukungan Siswa masih perlu dukungan dalam melakukan perencanaan untuk mencapai tujuan yang didasari penilaian atas kemampuan diri dan tuntutan situasi yang dihadapi.

Terbiasa Siswa sudah terbiasa melakukan perencanaan untuk mencapai tujuan yang didasari penilaian atas kemampuan diri dan tuntutan situasi yang dihadapi, namun terbatas pada situasi tertentu.

Konsisten Siswa secara rutin dan konsisten

melakukan perencanaan untuk mencapai

(48)

Pengelolaan emosi dan pengendalian diri

Reaktif Siswa menyadari pentingnya mengelo- la emosi dan menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu tanpa pertimban- gan, namun masih perlu dukungan untuk melakukannya.

Aktif Siswa sudah mulai mengelola emosi dan menahan diri untuk tidak melakukan ses- uatu tanpa pertimbangan, namun belum konsisten.

Proaktif Siswa secara konsisten mampu menge- lola emosi dan menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu tanpa pertimbangan agar dapat menuntaskan tugas dengan baik.

Berdasarkan penjabaran tiap karakter yang diukur pada Survei Karakter Siswa, dapat diketahui bahwa karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia memiliki indikator karakter yang paling banyak dibandingkan karakter lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia merupakan karakter yang kompleks karena terdiri atas sejumlah besar indikator yang saling berkaitan dan perlu diamati pada saat bersamaan. Hal ini sekaligus mengindikasikan makin pentingnya pengukuran karakter beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia guna mengetahui perkembangan karakter siswa di Indonesia.

(49)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Berikut ini merupakan ringkasan indikator dari masing-masing karakter yang diukur pada Survei Karakter Siswa.

Karakter Indikator

Beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia

Akhlak pada Manusia: Toleransi agama Akhlak pada Manusia: Toleransi budaya

Akhlak pada Manusia: Sikap terhadap kesetaraan gender Akhlak pada Manusia: Sikap terhadap kesetaraan agama Akhlak pada Manusia: Sikap terhadap kesetaraan budaya Akhlak pada Alam: Perasaan terkoneksi dan menjadi ba- gian dari alam

Akhlak pada Alam: Minat terhadap pelestarian alam Akhlak pada Alam: Partisipasi dalam aktivitas pelestarian alam

Akhlak pada Bernegara: Minat dan kepedulian pada ko- munitas sekolah

Akhlak pada Bernegara: Kontribusi pada penyelesaian isu- isu komunitas sekolah

Gotong royong Kepedulian pada isu-isu sosial dan lingkungan Partisipasi dalam aktivitas sosial

Perilaku berbagi dalam memanfaatkan fasilitas bersama Kreativitas Senang berpikir berbeda

Menerapkan ide baru dalam memecahkan masalah Membuat karya-karya baru

Nalar kritis Penelusuran informasi

Analisis dan evaluasi informasi

Refleksi etis dalam pengambilan keputusan Kebinekaan global Minat terhadap budaya dari berbagai negara

Kepedulian pada isu-isu global

(50)
(51)

Pusat Asesmen dan Pembelajaran

Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Daftar Pustaka

Referensi

Dokumen terkait