• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

17

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Negara Hukum dan Demokrasi 2.1.1. Negara Hukum

Ditinjau dari perspektif historis, konsepsi negara hukum pada dasarnya sudah muncul dalam bermacam bentuk seperti negara hukum menurut nomokrasi Islam(bersumber pada Al- Quran dan Sunnah), Rechsstaat yang merupakan konsep negara hukum di Eropa Kontinental, konsep negara hukum Pancasila di Indonesia, konsep socialist legality di negara sosialis, serta Rule of law yang merupakan konsep negara hukum Anglo-Saxon. 10

Secara periodik buah pikiran negara hukum mula- mula dikemukakan oleh filsuf Yunani Plato kala ia menulis kreasinya Nomoi. Dalam karyanya yang ketiga tersebut yaitu Nomoi , Plato menguraikan bahwa pengelolaan negara yang bagus ialah berlandaskan pengaturan ( hukum) yang bagus. Gagasan- gagasan Plato timbul dilatarbelakangi oleh situasi negara disaat itu yang dipimpin oleh penguasa yang serakah serta berkuasa dengan sesuka hati. Situasi seperti itu yang mendorongnya menggagas sesuatu tatanan negara yang ideal serta bebas dari pemimpin yang zalim. Dalam kreasi lain The Republic ia serta menerangkan bahwa negara ideal berdasarkan kebaikan dapat direalisasikan bila pemegang kewenangan merupakan orang yang mengerti serta paham akan kebaikan. Setelah itu dalam kreasinya Politicos(The Statesman) serta Nomoi(The Law) ia menerangkan pandangan barunya bahwa perihal negara idaman yang dapat direalisasikan bukan

10 M. Tahir Azhary, Negara Hukum (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). Hlm. 63.

(2)

18 negara idaman serupa dalam The Republic, namun negara terbaik kedua yang menaruh kontrol hukum ataupun rezim oleh hukum.11

Setelah ide negara hukum yang sifatnya masih samar-samar tersebut hilang dalam tempo yang cukup lama, sekitar Abad 18 konsepsi Plato dan Aristoteles ihwal konsep negara hukum coba dikembangkan Imanuel Kant di wilayah daratan Eropa dengan membawa semangat liberal di masa itu. Dua indikator penting yang dikembangkan oleh adalah Perlindungan HAM dan Pemisahan Kekuasaan.12

Kemudian pada Abad 19 muncul konsep negara hukum (Rechtsstaat) yang dikemukakan Freidrich Julius Stahl. Ini juga merupakan koreksi dan penyempurnaan dari konsep Imanuel Kant. Menurut Stahl dan Philipus M.

Hadjon, karakteristik Rechtsstaat adalah sebagaimana berikut:

a) Pemerintahan atas dasar peraturan perundang-undangan;

b) Perlindungan pada HAM;

c) Peradilan Administrasi;

d) Pembagian atau Pemisahan kekuasaan;

e) Berciri lebih revolusioner13

Sementara itu pada wilayah Anglo-Saxon muncul konsepsi negara hukum yang dalam kepustakaan hukum sekarang mengenalnya sebagai the rule of law. Unsur- unsur dari konsep Rule of Law menurut Albert Venn Dicey adalah sebagai berikut:

a) The Constitution based on individual right;

b) Supremacy of law;

c) Equality before the law;

11 Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis (Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2009). Hlm. 395.

12 Mohammad Muslih, “Negara Hukum Indonesia dalam Perspektif Teori Hukum Gustav Radbruch,” Legalitas 4, no. 1 (2013): 130–52.

13 Sarbaini dan Muhammad Elmy, Negara Hukum dan Demokrasi (Bandung: P3AI Nusa Media, 2019). Hlm. 5.

(3)

19 Konsep berikutnya adalah konsep yang dianut oleh negara-negara sosialis- komunis dikenal dengan konsep socialist legality. Konsep ini menyangkal rechtsstaat ataupun rule of law sebab dianggap produk negara kapitalisme. Alhasil lahirlah konsep socialist legality yang menjadi pilihan wajib untuk negara- negara pengikut paham sosialis dan komunis. Rancangan socialist legality muncul guna menyaingi negara- negara Anglo- Saxon yang mempelopori gagasan rule of law.

Teori ini dalam konteksnya membagikan jaminan hak independensi politik, memelihara pekerja, kepentingan badan privat, hingga pada kehidupan, kesehatan serta nama baik(ditinjau dari UUD Uni Soviet). Pada dasarnya konsep ini nyaris serupa dengan rancangan yang tercantum dalam negara hukum Anglo Saxon, tetapi orientasinya mengarah pada tujuan sosialisme.14

Sementara konsep negara hukum nomokrasi islam, erat kaitanya dengan ide kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi. Jika dihubungkan dengan islam sebagai negara maupun agama dapat dipahami bahwa kedaulatan hukum Allah SWT (Al-Quran dan Sunnah) sebagai penguasa tertinggi, atau kita kenal sebagai supremasi syariah. Dalam Islam tidak dikehendaki adanya penginstitusian agama sebagai sebuah otoritas seperti yang ada dilakukan oleh institusi gereja katholik.

Selain itu islam juga tidak menghendaki dua macam hukum di masyarakat. Untuk membimbing seluruh kehidupan orang-orang beriman, Islam hanya memiliki satu hukum yakni syariah. Berikut ini prinsip-prinsip yang terdapat dalam Nomokrasi Islam adalah sebagai berikut:

a) Permufakatan;

14 Ibid., Hlm.46.

(4)

20 b) Keadilan;

c) Persamaan;

d) Perdamaian;

e) Kekuasaan sebagai Amanah;

f) Perlindungan dan pengakuan HAM;

g) Freedom of judge

h) Kepatuhan rakyat dan kesejahteraan.15

Selanjutnya sebagai sebuah negara hukum sebagaimana konstitusi mengatur, konsep negara hukum yang dianut oleh Indonesia memiliki karakteristik khas Indonesia. Negara hukum Indonesia dikenal sebagai Negara Hukum Pancasila.

Karakteristik utama konsep negara hukum khas Indonesia ini adalah adanya jaminan kebebasan beragama. Dalam konsep ini tidak diperkenankan adanya pemisahan absolut maupun relatif antara agama dan negara. Konsep negara hukum ini bertumpu pada asas kekluargaan dan kerukunan, kepentingan rakyat yang paling utama dan adanya penghargaan terhadap martabat manusia.16

M. Tahir Azhary menguraikan pendapatkan bahwa walaupun pada penjelasan UUD NRI 1945 dipakai istilah rechtsstaat, namun Negara Indonesia tidak menganut konsep rechtsstaat milik negara eropa kontinental maupun juga konsep yang dimiliki negara Anglo-Saxon (rule of law). Indonesia menganut yaitu konsep negara hukum pancasila yang memiliki karakteristik sebagaimana berikut:

a) Menganut Sistem Konstitusi;

b) Kebebasan beragama (artian positif);

c) Relasi erat antara agama dan negara;

d) Keberadaan MPR;

e) Tertumpu pada Ketuhanan YME;

f) Ateisme maupun komunisme tidak diperbolehkan;

g) Persamaan;

h) Peradilan yang bebas;

15 Yance Arizona, Negara Hukum Bernurani: Gagasan Satjipto Raharjo tentang Negara Hukum Indonesia. Kertas Kerja Epistema No. 04/2010 (Jakarta: Epistema Institute, 2010). Hlm. 13.

16 Ibid., Hlm. 14.

(5)

21 i) Pancasila sebagai unsur pokok.17

Dapat dimaknai bahwa konsep negara hukum Indonesia tidak sama dengan konsepsi tentang negara hukum yang ada di daratan Eropa maupun Anglo-Saxon.

Yang menjadi ciri khas dalam konsep ini adalah adanya kebebasan beragama dalam makna positif , alhasil ateisme dilarang. Yang menjadi ciri khas dalam konsep ini adalah adanya kebebasan beragama dalam makna positif , alhasil ateisme dilarang.

Selain itu NRI tidak diperkenankan adanya pemisahan antara agama dan negara, keduanya memiliki relasi yang tidak boleh dipisahkan baik yang secara mutlak maupun yang secara nisbi.

2.1.2. Demokrasi

Ditinjau dari segi Bahasa, istilah demokrasi asal-mulanya dari bahasa Yunani, yaitu kata demos yang diartikan sebagai rakyat dan kratos yang memiliki arti memerintah. Demokrasi dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat.

Pertama kali Istilah demokrasi diperkenalkan oleh murid Plato yaitu Aristoteles. Ia mendefinisikan demokrasi sebagai suatu konsep pemerintahan yang secara garis besar merupakan kekuasaan tertinggi terletak ditangan rakyat. Pada mulanya demokrasi terbentuk menjadi sistem pemerintahan berangkat dari reaksi masyarakat umum di Athena saat itu untuk menyuarakan pendapat. Dengan keberadaan sistem demokrasi, negara terhindar dari adanya kekuasaan absolut melalui pemerintahan diktator, otoriter dan tirani lainya.18

17 Ibid., Hlm. 14.

18 Janu Ismadi, Demokrasi Tiang Negara, ed. oleh Bima Mahdar (Tangerang: Delta Edukasi Prima, 2019). Hlm. 2.

(6)

22 Dalam perkembanganya, masyarakat sering memaknai demokrasi umum sebagaimana ungkapan terkenal Abraham Lincoln yang mendefinisikan demokrasi sebagai suatu pemerintahan yang “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

Pondasi utama dalam demokrasi ialah prinsip trias politica yang pada dasarnya mengatur pembagian kekuasaan politik negara menjadi 3 pilar utama yakni (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk dimanifestasikan menjadi tiga kekuasaan di suatu negara yang independen dan sejajar. Dalam perkembanganya banyak negara di dunia yang menjadikan demokrasi sebagai tatanan negara.

Karakteristik demokrasi dalam suatu pemerintahan dapat tercermin sebagaimana berikut:

a) Persamaan hak warga negara dalam segala bidang;

b) Pengambilan keputusan politik (langsung ataupun tidak langsung) dengan adanya partisipasi rakyat didalamnya;

c) Kemerdekaan dan freedom;

d) Adanya Pemilu.19

Demokrasi yang dianut oleh NKRI adalah demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Secara eksplisit terdapat dua prinsip alam penjelasan mengenai Sistem Pemerintahan Negara, yaitu:

a) Indonesia bukan negara yang berlandaskan kekuasaan belaka (Machstaat). Akan tetapi Indonesia merupakan state yang berdasar atas hukum (Rechstaat);

b) Sistem Konstitusi (hukum dasar) menjadi dasar pemerintahan, tidak absolut.

19 Panjalu Wiranggani, Demokrasi (Yogyakarta: Relasi Inti Media, 2017). Hlm. 2.

(7)

23 Dari dua hal diatas yakni Rechstaat dan sistem konstitusi, alhasil secara jelas dapat diketahui bahwa demokrasi Indonesia ialah demokrasi konstitusional atau Constitutional Democracy. 20

Constitutional Democracy pada dasarnya ialah corak demokrasi yang memusatkan pada badan perwakilan dan metode konstitusional. Schumpeter mendeskripsikan model ini sebagai “Peran rakyat adalah untuk menghasilkan pemerintahan.. metode demokrasi adalah pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan politik di mana individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan melalui perjuangan kompetitif untuk suara rakyat”. Model kerakyatan ini bercorak pada karakteristik kompetisi politik yang bebas, serta membuka potensi terwujudnya pergantian dalam tubuh pemerintahan secara berkelanjutan berdasarkan konstitusi.21

Salah satu manfestasi Indonesia sebagai negara demokrasi ialah keberadaan penyelenggaraan pemilihan umum yang demokratis. Demokrasi telah menjadi prinsip yang dianut dalam perjalanan panjang NKRI, sebagaimana secara jelas terdapat dalam konstitusi kita, yakni Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menerangkan bahwa:

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar”.

Pemilu sekaligus menjadi nyawa demokrasi di Indonesia. Sebagus apapun suatu pemerintahan yang ada di negara dibentuk, ia tidak dapat dianggap demokratis

20 Ibid., Hlm. 14.

21 Miftachus Sjuhad, “Mengenal Ihwal Demokrasi Konstitusional,” Jurnal Konstitusi (PSK-FH UMM) 2, no. 1 (2009): 38–59.

(8)

24 kecuali para pejabatnya dipilih rakyatnya melalui proses Luber Jurdil. Melalui pemilihan umum yang demokratis , rakyat di suatu negara akan memperoleh hak pilih dan perlindungan hak dan dapat memperoleh hasil hasil pemungutan suara secara jujur dan terbuka.22

Selain hak memilih, dalam demokrasi juga menjunjung tinggi hak dipilih dalam sebuah kontestasi politik. Setiap warga negara berhak untuk mengajukan diri untuk dipilih menjadi seorang wakil rakyat. Ini sebagaimana juga diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menerangkan bahwa:

“Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Kemudian lebih lanjut diatur juga di dalam Pasal 28D ayat (3) UUD NRI 1945 :

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”

Kedua pasal diatas menjelaskan bahwa konstitusi memberikan legitimasi bagi setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Tidak dipandang dari asal keturunan, kaya atau miskin. Karena sebagaimana adagium “Equality before the law” setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Maka pasal-pasal tersebut juga lah yang memberikan dasar bagi setiap warga negara bahwa ia memiliki hak untuk berhak dipilih dalam Pemilu.

Hampir di segala lini pemerintahan di Indonesia dari atas hingga bawah melaksanakan pemilihan umum untuk memilih pemimpin. Mulai dari Pemilihan

22 Janu Ismadi, Op. Cit., Hlm.7.

(9)

25 Presiden hingga Kepala Desa diselenggarakan melalui mekanisme demokrasi (pemilihan umum). Maka tidak salah Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi paling sibuk di dunia. Tercatat dalam kurun waktu lima (5) tahun saja masyarakat harus mengikuti berbagai agenda pemilihan umum. Seperti Pilpres, Pemilihan Legislatif, Pilkada (Gubernur dan Bupati/Walikota), hingga Pemilihan Kepala Desa atau Pilkades di tingkat Desa.

Ini menunjukan bahwa Pemilu dijadikan sarana agar para pemimpin (wakil rakyat) bisa bertindak dan bekerja demi konstituen/rakyat. Ini lah pentingnya pemilihan wakil rakyat harus ditentukan sendiri oleh rakyatnya. Sebagaimana yang telah disimpulkan oleh Arbi Sanit, bahwa sejatinya demokrasi melalui pemilihan umum (general election) memiliki tujuan sebagai berikut:

a) Didapatkanya legitimasi bagi penguasa dan pemerintah;

b) Pembentukan perwakilan politik rakyat;

c) Sirkulasi elit penguasa;

d) Edukasi politik bagi masyarakat.23 2.2. Tinjauan Umum Pemerintahan Daerah 2.2.1. Pengertian Pemerintahan Daerah

KBBI memaparkan bahwa pemerintahan daerah ialah pemerintahan yang menggantikan pemerintah pusat di daerah dalam area sesuatu negara. Secara eksplisit dijelaskan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 mendefinisikan pemerintahan daerah sebagai berikut:

23 Eko Wahyono, “Pemilihan Kepala Daerah Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Sebagaimana Diubah Dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008,”

IUS : Jurnal Ilmu Hukum 3, no. 1 (2015): 1–16,

https://doi.org/https://doi.org/10.51747/ius.v3i1.388.

(10)

26

“Pemerintahan daerah sebagai penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.

Pemerintah Daerah disini adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.”

2.2.2. Sejarah Perkembangan dan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia

Konstitusi kita menerangkan bahwa NKRI terbagi menjadi daerah-daerah provinsi, sementara provinsi dibagi lagi atas kabupaten/kota, yang mana daerah tersebut memiliki pemerintahan daerah. Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk mengurus secara mandiri urusan pemerintahan berdasarkan atas UU.

Dalam sejarahnya founding father kita telah menyepakati corak negara Indonesia sebagai negara kesatuan. Hal ini juga sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 UUD NRI 1945. Negara kesatuan dipilih karena memiliki corak dan konsep yang sesuai dengan latar belakang dan kondisi geografis Indonesia. Negara kesatuan merupakan konsep wilayah negara yang mana didalamnya dapat dibagi menjadi beberapa daerah namun kekuasaan mengatur seluruh wilayah negara berada pada tangan pemerintah pusat. Konsep tersebut berbeda dengan konsep negara serikat/federal yang memiliki konsep negara berdaulat dibagi menjadi beberapa negara bagian yang mana negara-negara bagian tersebut tidak berdaulat.24 Pada 1949 Negara Indonesia memang pernah menjadi sebuah negara serikat dalam waktu

24 Sirajuddin et al., Hukum Administrasi Pemerintahan Daerah (Malang: Setara Press, 2016). Hlm.

17.

(11)

27 singkat, namun itu tidak lain hanya upaya negara kolonial Belanda untuk memecah belah dan berupaya mengusai Kembali Negara Indonesia yang baru seumur jagung.

Dalam silang sejarah, eksistensi pemerintahan daerah di Indonesia telah dimulai sejak zaman dulu hingga kini. Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, kekuasaan pemerintahan daerah berada di tangan residen yang merupakan pejabat dibawah Gubernur Jenderal. Perkembangan politik etis di Hindia-Belanda membawa angin segar dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dulu yang mana pemerintahan kolonial lebih bersifat sentralistik, akhirnya mulai berangsur diubah menjadi demokratis.

Kemudian terbit Stb. 1855/2 yang merupakan peraturan perundang- undangan terkait pemerintah daerah yang diterbitkan pemerintah kolonial. Sistem pemerintahan yang dianut adalah sentralistik namun juga menjalankan dekonsentrasi. Pada waktu ini dikenal pula wilayah administratif. Pada tahun 1903 pemerintah kolonial menerbitkan UU Desentraliasi 1903 yang dalam pokoknya memberikan kemungkinan pembentukan wilayah yang mempunyai keuangan sendiri dan pengurusan keuangan berada ditangan masing-masing daerah bersangkutan. UU Desentralisasi 1903 memungkinkan adanya desentralisasi terbatas, yang mana kemudian disusul dengan peraturan lainya.25

Sejak diundangkanya UU Desentralisasi 1903 oleh pemerintah kolonial Belanda, telah terjadi pertumbuhan di berbagai daerah otonom di wilayah Hindia- Belanda. Disamping itu juga terdapat Inlandsce Gemente yang mana seperti desa, huta, kuria, marga, dan sebagainya. Di wilayah lainya yang secara tidak langsung

25 Ibid., Hlm. 19.

(12)

28 dikuasi pemerintah kolonial Belanda terdapat pula beberapa daerah otonom yang diistalahkan di zaman itu sebagai Zelfbesturende landschappen. Daerah otonom ini mencakup kerajaan-kerajaan otentik yang ada di bumi nusantara yang memiliki ikatan dan kontrak politik dengan pemerintah kolonial, seperti Kasunan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kesultanan Deli, Kesultanan Siak, Kerajaan Goa dan lain- lain.26

Pada masa pendudukan militer Dai Nippon pemerintahan bekas koloni Belanda berada di bawah kekuasaan militer yang disebut Gunseikan. Untuk mengatur pemerintahan daerah pemerintah militer Jepang menerbitkan Osamuseirei No. 3 yang mengatur wewenang walikota yang awalnya hanya berhak mengatur urusan rumah tangganya, memiliki wewenang menjalankan pemerintahan umum. Osamuseirei No. 21 dan 26 menetapkan bahwa provinsi, dewan kotamadya/kabupaten ditiadakan. Osamuseirei No. 27 pada pokoknya menetapkan hal-hal sebagai berikut:

a) Jawa dan Madura (kecuali Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta) terbagi menjadi karesidenan, Si, Ken, Distrik/Kawedanan, Son dan Desa. Kepala pemerintahan berada dibawah Tyo, Syuuto, Sityo, Kentyo dan seterusnya.

b) Urusan yang awalnya diselenggarakan dijalankan oleh bupati hingga kepala desa diambil alih Sityo.

c) Terdapat daerah istimewa yang disebut Tokubetsu Si.27

Setelah Indonesia merdeka, PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi. Dalam ihwal pemerintahan daerah, semangat desentralisasi hadir dari konstitusi kita ini, sebagaimana tercermin dalam Pasal 18 UUD 1945 yang mengatur terkait hubungan pemerintahan pusat dan daerah. BP-KNIP kemudian

26 Ibid., Hlm. 21.

27 Ibid., Hlm. 23.

(13)

29 menerbitkan aturan yang dikenal sebagai Undang-Undang Desentralisasi pertama dalam sejarah berdirinya Republik Indonesia yaitu UU No. 1 Tahun 1945. Meski tidak secara eksplisit menerangkan sebagai UU Pemda, namun substansi ketentuan ini mengatur mengenai pemerintahan daerah. Undang-undang ini menghidupkan kembali pemerintahan daerah otonom setelah sebelumnya ditiadakan di masa pendudukan Dai Nippon.28

Selama masa pergolakan agresi militer, perpindahan Ibukota negara hingga berlakunya RIS 1949 terdapat dua macam regulasi terkait pokok-pokok pemerintahan daerah yakni Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 dari Yogyakarta dan Undang-Undang No. 44 Tahun dari Negara Indonesia Timur. Kedua undang- undang tersebut sistemnya sama, menghendaki hilangnya pamong praja pusat di daerah dan diserahkan kepada pemerintahan daerah setempat. Di masa konstitusi UUD Sementara 1950 atau di masa pemerintahan demokrasi liberal, pemerintah bermaksud memisahkan organ pusat dan daerah dengan terbitnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 yang mengatur mengenai kedudukan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi hanya sebagai organ daerah. Namun UU ini juga mengatur pula organ-organ pusat (pamong praja). UU ini bisa dikatakan memiliki dualisme personel, yakni ada pihak yang memegang jabatan daeran dan pihak memegang jabatan pusat.29

28 Ibid., Hlm. 24.

29 S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Adminitrasi Negara, Edisi Revisi (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994). Hlm. 126.

(14)

30 Di masa demokrasi terpimpin terjadi pemberlakuan kembali UUD 1945 menggantikan UUDS 1950. Terjadi perubahan fundamental dalam bidang pemerintahan daerah ketika terbitnya Penpres No. 6 Tahun 1959 tentang Pemerintahan Daerah yang subtansinya mengatur ihwal corak dan susunan kekuasaan, tugas serta kewajiban pemerintahan daerah. Berbeda dengan Undang- Undang No. 1 Tahun 1957 yang mengadopsi dualisme personel, aturan ini mengadopsi sistem dualisme fungsional yang mana pihak pemangku kebijakan hanya satu, namun jabatanya rangkap sebagai organ pusat sekaligus organ daerah.

Di regulasi ini pula penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam ranah tugas pembantuan dan otonomi bidang dilaksanakan berdasar Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 kecuali yang tidak sejalan dengan Penpres tersebut.30

Kemudian di masa Orba, diterbitkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 yang secara khusus mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Berbeda dengan regulasi-regulasi sebelumnya, asas UU ini “nyata dan bertanggung jawab”.

Undang-undang ini juga membawa warna baru pada otonomi daerah yang tidak hanya menekankan pada desentralisasi nemun memberikan tempat proporsional bagi tiga asas penyelenggaraan pemerintah daerah yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan asas pembantuan. Salah satu yang mendasar adalah terkait susunan pemerintahan daerah masa ini terdiri atas daerah tingkat I dan daerah tingkat II dan meniadakan eksistensi daerah tingkat III (Desa). Ini juga tidak

30 Ibid,, Hlm. 127.

(15)

31 terlepas dari arah kebijakan pemerintahan orba di kala itu yang berorientasi pada pembangunan ekonomi, jadi kebijakanya tidak bisa terlepas dari pembangunan.31

Kemudian reformasi menandai berakhirnya kekuasaan pemerintahan rezim otoriter orde baru. Di masa reformasi ini perubahan yang paling mendasar adalah adanya amandemen sebanyak 4 kali terhadap UUD 1945. Salah satu perubahan mendasar di dalam subtansi konstitusi ini adalah ihwal pemerintahan daerah yang pada awalnya tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 mengalami amandemen. Dan sejalan dengan perubahan konstitusi berubah pula aturan turunan terkait Pemerintahan Daerah. Jika dirunut sejak awal reformasi hingga kini, UU yang mengatur mengenai pemerintahan daerah adalah sebagai berikut:

a) Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;”

b) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan yang terbaru adalah;

c) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah mengalami dua kali perubahan melalui Perppu No. 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2015 (Perppu ini ditetapkan menjadi UU).32

2.2.3. Pemerintahan Daerah

Susunan yang terdapat dalam Pemerintahan daerah terdiri atas unsur kepala daerah, DPRD serta perangkat administrasi negara yang berkedudukan di institusi pemerintahan daerah. Kepala daerah dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh

31 Sirajuddin et al, Op. Cit., Hlm. 34.

32 Ibid., Hlm. 37-38.

(16)

32 seorang wakil kepala daerah yang dalam hal ini keduanya merupakan pimpinan eksekutif dalam pemerintahan daerah. Sudah disinggung sebelumnya bahwa di masa sekarang tidak mengenal lagi DATI I ataupun DATI II, melainkan kepala daerah sebuah provinsi adalah Gubernur sementara Bupati/Walikota sebagai kepala daerah di lingkungan Kabupaten/Kota. Kepala daerah memegang peran kunci karena merupakan komponen yang bertanggung jawab atas berhasilnya pembangunan nasional. Efektifitas pemerintah dalam suatu negara sangat tergantung juga pada efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.33

Kepala daerah dan wakilnya dipilih melalui proses pemilihan umum yang demokratis berdasarkan asas luber jurdil. UU Pemda mengatur dan membatasi masa jabatan seorang kepala daerah selama lima tahun dan hanya berhak dipilih lagi sebagai kepala daerah maksimal satu periode jabatan.

Pasal 65 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur tugas dan wewenang kepala daerah sebagai berikut:

a) “Memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi

‘’kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

‘’undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;”

b) “Memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat;”

c) “Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan

‘’rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas

‘’bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD;”

d) “Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD,

‘’rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda

‘’tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD

‘’untuk dibahas bersama;”

e) “Mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat

‘’menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan

‘’peraturan perundangundangan;”

33 Ibid., Hlm. 127.

(17)

33 f) “Mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan g.

‘’melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan

‘’perundang-undangan.”

“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepala daerah berwenang:”

a) “Mengajukan rancangan Perda;”

b) “Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama

‘’DPRD;”

c) “Menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah;”

d) “Mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat

‘’dibutuhkan oleh Daerah dan/atau masyarakat;”

e) “Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

‘’perundang-undangan.””

Selanjutnya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di provinsi maupun kabupaten/kota, seorang kepala daerah dibantu oleh Perangkat Daerah.

Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang Pemda menjelaskan bahwa:

“Perangkat Daerah adalah unsur pembantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.”

Lebih lanjut pada Pasal 209 diklasifikasikan secara jelas unsur-unsur yang tergabung dalam organisasi perangkat daerah sebagai berikut:

- “Pasal 209 ayat (1) menjelaskan“Perangkat Daerah provinsi terdiri atas:”

a) “Sekretariat daerah; ” b) “Sekretariat DPRD; ” c) “Inspektorat; ””

d) “Dinas;”

e) “Badan.”

- Pasal 209 ayat (2) menjelaskan“Perangkat Daerah provinsi terdiri atas:”

a) “Sekretariat daerah; ” b) “Sekretariat DPRD; ” c) “Inspektorat; ””

d) “Dinas;”

e) “Badan;

f) “Kecamatan.”

Desa bukan termasuk perangkat daerah karena secara hirearki tidak berada dibawah kecamatan dan memiliki otonomi untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri.

(18)

34 Namun dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, pemerintahan daerah dan desa saling berkaitan dan berkesinambungan.

2.3. Tinjauan Umum Desa dan Pemerintahan Desa 2.3.1. Pengertian Desa

Secara etimologis, Desa berasal dari istilah yang terdapat dalam bahasa sansakerta yaitu deca memiliki arti tanah air, tanah asal atau tanah kelahiran. KBBI mendefinisikan Desa sebagai satu kesatuan area yang ditempati oleh beberapa keluarga yang memiliki sistem rezim sendiri( diketuai oleh kepala desa) maupun desa ialah himpunan rumah luar kota yang menjadi kesatuan.34

Menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa didefinisikan sebagai berikut:

“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Desa tercipta atas prakarsa sekian banyak kepala keluarga yang sudah bermukim dengan mencermati asal- usul wilayah serta kondisi Bahasa bahasa, adat, ekonomi dan sosial budaya penduduk setempat yang pada akhirnya membentuk sebuah desa.

Desa merupakan kesatuan wilayah yang ditempati oleh beberapa keluarga yang

34 Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, “KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Daring Edisi V” (Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia, 2016). kbbi.kemendikbud.go.id.

(19)

35 telah bermukim serta bergantung pada sumberdaya alam disekelilingnya dengan harapan dapat memenuhi kesejahteraan hidupnya.35

2.3.2. Sejarah Perkembangan & Peraturan Perundang-Undangan tentang Desa

Ditinjau secara historis, ketentuan khusus terkait pembentukan pemerintahan desa sudah ditemukan sejak masa pemerintahan kolonial Belanda.

Selanjutnya hingga masa kini ketentuan tersebut mengalami beberapa perubahan menyesuaikan perkembangan zaman dan kondisi sosial, politik dan masyarakat Indonesia.

Di masa pemerintahan kolonial Belanda, pertama kali ketentuan khusus perihal Desa diatur di Pasal 71 Regeringsreglement (RR) pada tahun 1854 yang mengatur mengenai pemerintah desa dan kepala desa. Sebagai aturan pelaksana diterbitkan peraturan Inlandsche Gemeente Ordonantie (IGO) pada 1906, yang merupakan peraturan terkait desa khusus wilayah Jawa dan Madura. Pada dasarnya aturan ini sebagai dasar wujud pengakuan atas keberadaan desa sebelumnya, bukan membentuk desa. Pada tahun 1925 RR digantikan oleh Indische Staatsregelling (IS) yang mana pasal 71 yang mengatur tentang desa dirubah ke pasal 128 IS.

Sementara desa-desa di luar Jawa dan Madura diatur dengan ketentuan sebagaimana berikut:

a) “Stbl. 1914 No. 629, Stbl. 1917 No. 223 juncto Stbl. 1923 No. 471 (Ambonia);”

b) “Stbl. 1918 No. 677 (Sumatera Barat);”

c) “Stbl. 1919 No 453 (Bangka);”

d) “Stbl. 1919 No. 1814 (Palembang);”

35 Sugiman, “Pemerintahan Desa,” Binamulia Hukum 7, no. 1 (2018): 82–95, https://doi.org/10.37893/jbh.v7i1.16.

(20)

36 e) “Stbl. 1922 No. 574 (Lampung);”

f) “Stbl. 1923 No. 469 (Tapanuli);”

g) “Stbl. 1924 No. 75 (Belitung);”

h) “Stbl. 1924 No. 275 (Kalimantan);”

i) “Stbl. 1931 No. 6 (Bengkulu);”

j) “Stbl. 1931 No. 138 (Minahasa).36

Aturan-aturan tersebut diatas kemudian terangkum dalam IGO untuk luar Jawa-Madura atau di masa itu dikenal sebagai Inlandsche Gemeente Ordanantie Buitengewesteen (IGOB).37 Jadi dapat kita simpulkan bahwa ketentuan terkait pemerintahan desa di masa kolonial terbagi menjadi dua yaitu IGO Stbl. 1906 No.

83 yang berlaku di Jawa-Madura dan IGOB Stbl. 1938 No. 490 yang berlaku di luar Jawa-Madura.

Pada periode pendudukan Jepang tidak ada perubahan mendasar terhadap ketentuan yang mengatur perihal pemerintahan desa pada era sebelumnya, kecuali peraturan yang substansinya tidak sejalan dengan aturan rezim militer dai nippon.

Ihwal Desa, Rezim Jepang yang bercorak militer hanya menyeluarkan satu peraturan yakni Osamu Seirei No. 7 Tahun 2604 (1944) yang pada pokoknya mengatur mengenai masa jabatan kepala desa menjadi 4 tahun. Dapat disimpulkan aturan ini mengatur dan merevisi aturan terkait pemilihan Ku-tyoo/ Kepala Desa sebelumnya. 38

Sementara itu pada masa pasca kemerdekaan, kedudukan desa telah diatur dalam UUD 1945. Pada pasal 18 UUD 1945 diterangkan sebagai berikut:

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahanya ditetapkan dengan undang-undang, dengan

36 Amir Suprihartini, Pemerintahan Desa dan Kelurahan (Klaten: Cempaka Putih, 2018). Hlm.11- 12.

37 Ibid.

38 Ibid., Hlm.13.

(21)

37 memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul daerah yang bersifat istimewa”.

Pasal ini sekaligus menandakan bahwa menjadi NKRI yang baru lahir dan berdiri menjadi sebuah negara merdeka, menghormati daerah istimewa dan segala peraturan negara terkait hak asal usul daerah.

Pada masa awal kemerdekaan, ketentuan terkait pengakuan desa bisa ditemukan di Pasal 1 Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 yang menerangkan bahwa Negara Indonesia dibagi atas tiga tingkatan yakni provinsi, kabupaten/kota dan kota kecil (desa atau dengan sebutan yang lain) yang diberi kewenangan otonom. Selanjutnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 kemudian secara eksplisit mengatur bahwa seluruh daerah yang memiliki kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri sebagaimana UU No. 1 Tahun 1948 terus berlanjut hingga terlaksananya pembentukan pemerintahan baru di daerah/wilayah tersebut.39

Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 sebenarnya menjadi regulasi perdana yang secara detail mengatur perihal Desa. Namun dalam kenyataan belum bisa dilaksanakan dan akhirnya dicabut karena situasi politik yang memanas dan adanya revolusi di masa tersebut. Inti penting dalam substansi undang-undang ini adalah peningkatan desa atau disebutkan desapraja di aturan ini, yang mana ditingkatkan menjadi DATI III, atas usul pemerintah di tingkat DATI II dan DATI I kepada Menteri Dalam Negeri.40

39 Ibid. Hlm.15.

40 Ibid.

(22)

38 Selanjutnya pada masa orba atau di masa Presiden Soeharto, lahir Undang- Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang banyak dipandang lebih memihak pada pemerintahan saat itu. Salah satu perubahan mendasar adalah dimana aturan ini mengatur desa secara seragam, yang mana diterangkan dalam konsideran bahwa “sesuai dengan sifat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Desa sejauh mungkin diseragamkan dengan mengindahkan keragaman keadaan desa dan adat istiadat yang masih berlaku”. Undang-Undang ini secara langsung menjadi penghambat demokratisasi desa dan kental nuansa kepentingan politik rezim saat itu. Perubahan mendasar kedua dari aturan ini adalah memposisikan Desa sebagai daerah administraf di bawah Kecamatan. 41

Setelah kekuasaan rezim orba selesai, di masa reformasi lahir Undang- Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang sekaligus menjadi spirit dasar pengakuan terhadap keunikan Desa sebagai Desa adat yang sebelumnya dikebiri di masa pemerintahan orde baru. Desa tidak lagi menjadi sebuah pemerintahan terendah yang ada di bawah Camat, tetapi menjadi sebuah pemerintahan yang memiliki hak mengurus serta mengatur masyarakat setempat sebagaimana hak dan asal-usulnya. Namun dalam perkembanganya ketentuan ini menjadi rancu ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 karena status desa yang tidak mempunyai kejelasan, apakah selaku bagian dari sistem ketatanegaraan Indonesia maupun kesatuan warga hukum adat. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen menegaskan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi, dan daerah Provinsi itu dibagi atas

41 Ibid., Hlm. 16.

(23)

39 Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah, yang diatur dengan Undang-Undang”. Sejak terjadi amandemen terhadap Pasal 18 itulah, maka lahirlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mana kedudukan dan status menjadi lebih jelas. Yang mana undang-undang tersebut pada dasarnya merupakan ketentuan pelaksana khusunya pasal 18B UUD NRI 1945.42

Selanjutnya di era sekarang ini, ketentuan yang mengatur terkait Desa diatur dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ini sekaligus menjadi era baru bagi perkembangan Desa. Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa desa memiliki hak asal usul serta hak tradisional dalam mengurus serta mengatur kepentingan penduduk setempat serta berperan merealisasikan cita-cita kemerdekaan berdasarkan UUD NRI 1945 .

2.3.3. Pemerintahan Desa

Dalam perkembangan pengaturan tentang Desa, sudah diatur beberapa pengaturan mengenai desa, tetapi dalam pelaksanaanya, pengaturan perihal desa itu belum bisa mengakomodir seluruh kepentingan serta keinginan masyarakat. Tidak hanya itu, aturan perihal desa yang selama ini resmi sudah tidak lagi dengan mengakomodir pesatnya zaman, terutama menyangkut posisi masyarakat hukum

42 Muh. Faldi Abbas Mussa, “Tinjauan Hukum Penundaan Pemilihan Kepala Desa Serentak Kabupaten Seram Bagian Barat” (Fakultas Hukum, Universitas Bosowa Makassar, 2019).

(24)

40 adat, kemajemukan, keikutsertaan masyarakat, demokratisasi, serta pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Sehingga memunculkan kesenjangan, kemiskinan, serta permasalahan sosial adat yang bisa mengganggu tujuan yang hendak dicapai NKRI. Tujuan adanya pengaturan desa dalam Undang-Undang No.6 Tahun 2014 sejatinya telah sukses menyempurnakan berbagai aturan tentang desa sebelumnya.

Apalagi berdasarkan prinsip desentralisasi dan otonomi luas yang dianut Undang- Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa ekonomi berhenti di kabupaten/kota.43 Kehadiran UU Desa yang baru semakin mengukuhkan desa sebagai wilayah yang amat penting di NKRI, maka tidak salah aturan ini mengatur dan memberikan hak-hak lebih luas bagi desa. Sebagai contoh hak ekonomi dari adanya dana desa.

Tugas krusial yang harus dilakukan oleh Pemerintah Desa adalah mewujudkan kehidupan demokrasi serta menyediakan pelayanan sosial dan mengantarkan masyarakat kepada kehidupan yang lebih. Kelahiran Undang- Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa harus menjadi spirit pembaharuan dan semangat berdikari. Mindset dalam menjalankan pemerintahan desa harus di upgrade dan tidak lagi menganggap Desa hanya semata mata bawahan Pemerintahan Kabupaten/Kota, karena sebagaimana amanat UUD NRI 1945 dan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah menonjolkan dan memberikan otonomi desa sebagaimana mestinya.44

43 Ramlan dan Eka N. A. M Sihombing, Hukum Pemerintahan Desa, ed. oleh Erwin Asmadi (Medan: CV. EnamMedia, 2021). Hlm. 35.

44 Muh. Faldi Abbas Mussa, Op. Cit., Hlm. 10.

(25)

41 Pada dasarnya Desa dapat dikatakan sebagai suatu wujud kolaborasi antara kegiatan manusia bersama lingkungannya, yang mana terdapat batas batas wilayah, memiliki legitimasi hukum, serta dipimpin oleh seorang Kepala Desa. Alhasil kolaborasi inilah yang bertransformasi menjadi suatu wujud kehidupan yang timbul didasari oleh unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi dan berkaitan. Juga dalam relasi dengan wilayah-wilayah yang lain.

Contohnya adalah adanya keragaman sebutan bagi desa di Indonesia, seperti desa di Jawa, kalurahan di DIY, Nagari di Sumatera Barat, Dusun dan marga di Sumatera Selatan, dan sebagainya. Daerah-daerah tersebut pada dasarnya memiliki asal-usul dan sejarah yang otentik, alhasil dapat dianggap daerah bersifat istimewa. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan mengakui dan menjadi keberadaannya dalam kerangka NKRI.45

Pemerintahan desa dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang proses pemilihanya melalui mekanisme secara langsung oleh rakyat setempat. Masa jabatan seorang kepala desa sendiri adalah selama 6 (enam) tahun dan berhak mejabat maksimal 3 periode. Dalam menjalankan tugasnya seorang Kepala Desa dibantu oleh seorang Sekretaris Desa dan Organisasi Perangkat Desa. Perangkat desa terdiri atas KAUR dan KASUN. Dalam menyelenggarakan pemerintahanya, pemerintah desa membuat sebuah Peraturan Desa(kemudian disingkat Perdes).

Perdes sendiri disusun dan dirancang oleh kepala desa bersama dengan BPD.

45 Sugiman, Op. Cit., Hlm. 85.

(26)

42 Perdes kemudian dilaksanakan oleh kepala desa beserta jajaran pemerintahanya dan pertanggungjawaban terhadap rakyat melalui BPD.

Secara administratif kedudukan pemerintahan desa berada dibawah naungan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Walaupun berkedudukan dibawah Kabupaten, tidak bisa menafsirkan desa sebagai pemerintahan yang terpisah dari pemerintah daerah. Karena Pasal 18 ayat (1) UUD NRI hanya menjelaskan bahwa pemerintahan daerah dibagi atas Provinsi dan Kabupaten/Kota, jadi secara otomatis Desa berkedudukan dibawah lingkup pemerintah Kabupaten/Kota.

Walaupun demikian, tidak bisa dikesampingkan hak dan kewenangan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat untuk mengurus urusan masyarakat sesuai dengan asal-usul dan adat istiadat (self governing community). Undang-Undang No.

6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan kewenangan dan kekhususan kepada Desa untuk tetap memiliki hak dan kewenangan khas untuk menyelenggarakan urusan masyarakat sesuai dengan hak asal-usul dan adat istiadat. Kewenangan itu pula yang membedakan pemerintahan Desa dan pemerintahan Kelurahan.

Berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Desa, diuraikan kewenangan desa sebagai berikut:

“Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.”

2.4. Tinjauan Umum Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Desa 2.4.1. Pemilihan Umum

(27)

43 KBBI mendefinisikan Pemilu sebagai pemilihan yang diselenggarakan serentak oleh masyarakat yang ada pada sebuah negara guna memilih wakil rakyat dan sebagainya. Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) merupakan manifestasi dari asas-asas demokrasi. Pemilu biasanya dilaksanakan oleh negara- negara yang menganut kiblat demokrasi, karena Pemilu dianggap sebagai sarana paling cocok untuk menyampaikan aspirasi rakyat, walaupun kenyataanya dalam penyelenggaraanya banyak menimbulkan kecurangan dan perpecahan.

Haris. G. Warren memandang bahwa Pemilu merupakan chance atau peluang bagi warga negara untuk memilih pejabat pemerintah dan memutuskan apa yang diimpikan untuk dikerjakan pemerintah serta menentukan keputusan tersebut menentukan apa yang hendak diinginkan mereka. Sementara itu Sudiharto memandang bahwa Pemilu merupakan sarana demokrasi yang krusial dan manifestasi nyata dari partisipasi rakyat dalam kehidupan bernegara.46

Harmaily Ibrahim mengemukakan bahwa kurang lebih terdapat 3 (tiga) tujuan yang hendak dicapai dalam pemilihan umum di Indonesia, yakni terjadinya peralihan pemerintahan melalui mekanisme yang tertib dan damai, terselenggaranya lembaga negara sesuai dengan tujuan Konstitusi dan aktualisasi hak asasi tiap warga negara.47

46 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: Grasindo, 2010). Hlm. 15.

47 Harmaily Ibrahim, Pemilihan Umum di Indonesia, Diskusi Hukum Tata Negara Menjeiang Sidang Umum MPR 1978 (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1981). Hlm. 13.

(28)

44 Di Indonesia hal-hal terkait Pemilu diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam aturan tersebut Pemilu didefinisikan sebagai berikut:

“Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, anggota perwakilan daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam negara kesatuan republik indonesia berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Namun dalam Undang-Undang ini hanya terbatas mengatur dan menjelaskan pemilihan umum yang masuk ranah rezim Pemilu yakni Pilpres dan Pileg. Padahal jika ditinjau dari segi pelaksanaan, di Indonesia wujud pemilihan umum juga terdapat dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disebut Pilkada) untuk memilih Gubernur atau Bupati/Walikota. Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 mendefinisikanya sebagai berikut:

“Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.”

Selain dalam pemilihan kepala daerah, perwujudan pemilihan umum juga dapat dilihan dari pelaksanakan pemilihan kepala desa.

Dalam sejarahnya, pelaksanaan Pemilu di Indonesia pada mulanya hanya diselenggaran guna memilih lembaga legislatif saja yakni DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun pasca adanya amandemen keempat terhadap UUD 1945, Pemilihan Presiden/Wakil Presiden yang awalanya dipilih melalui MPR disepakati dilaksanakan melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat dan masuk rezim pemilu. Istilah pemilu memang lebih sering mengacu pada Pemilihan

(29)

45 Legislatif dan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden yang diselenggarakan 5 tahun sekali. 48

Demi keberhasilan dan kesuksesan suatu Pemilu, keberadaan lembaga penyelenggara yang objektif, netral, independen dan mandiri sangat krusial.

Berdasarkan UUD NRI 1945 dijelaskan bahwa lembaga penyelenggara Pemilu di Indonesia adalah KPU. KPU memiliki peran yang sangat krusial dan strategis terkait penyelenggaraan Pemilu dan perjalanan politik di Indonesia.49 Unsur-unsur KPU terdiri dari wilayah pusat maupun yang ada di diaerah. Sebagaimana Pasal 6 Undang-Undang Pemilu menjelaskan bahwa KPU terdiri dari KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, PPLN, KPPS, dan KPPSLN. Wilayah kerja KPU meliputi seluruh wilayah Indonesia.

Selain lembaga penyelenggara Pemilu yakni KPU, menurut Undang- Undang Pemilu dijelaskan bahwa terdapat wadah lain penyelenggara Pemilu adalah BAWASLU. Pasal 89 Undang-Undang Pemilu menerangkan bahwa “Pengawasan Penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh Bawaslu”. Kemudian keberadaan Undang-Undang Pemilu yang baru ( Undang-Undang No. 7 Tahun 2017) mengatur dibentuknya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Pasal 155 ayat (2) pada pokoknya menerangkan bahwa terbentuknya DKPP untuk memeriksa dan memutus aduan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan penyelenggara Pemilu yang ada di Pusat maupun yang ada di daerah.

48 Indriana F., Pemilu di Indonesia (Tangerang: Loka Aksara, 2019).

49 Nur Hidayat Sardini, Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia (Yogyakarta: Fajar Media, 2011). Hlm. 42.

(30)

46 2.4.2. Pemilihan Serentak

Concurrent Elections atau kita sering mengenalnya Pemilu Serentak dapat dipahami sebagai suatu sistem pemilihan umum yang dalam satu waktu dan secara bersamaan dilangsungkan beberapa Pemilu sekaligus. Kategori- kategori pemilihan itu melingkupi pemilihan eksekutif serta legislatif di bermacam- macam jenjang yang dikenal pada suatu negara terkait, yang terdiri dari jenjang nasional, regional sampai pemilihan di tingkatan lokal.50

Putusan MK No.14/PUU-XI/2013 menjadi momentum bersejarah untuk mengawali Pemilu Serentak di Indonesia. Putusan ini pada pokoknya menyatakan bahwa pemisahan penyelenggaraan Pemilu (Pileg dan Pilpres) adalah tidak sesuai konstitusi. Sesuai dengan putusan judicial review oleh MK tersebut, Pileg dan Pilpres pada tahun 2019, akan dilangsungkan secara serentak dalam satu waktu.51

Walaupun Pemilu 2019 menjadi sejarah penting perjalanan demokrasi bangsa, namun dalam implementasinya masih ditemukan berbagait ragam masalah dan segudang kompleksitas. Beberapa masalah tersebut seperti: Pemilu yang rumit karena menggunakan 5 objek pilih, turunya derajat keterpilihan akibat banyaknya surat suara tidak sah, distribusi perangkat pemilihan yang tidak maksimal dan banyaknya korban petugas TPS.52

50 Eko Noer Kristiyanto, “Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Serentak di Indonesia: Studi di

Batam,” De Jure 17, no. 1 (2017): 48–56,

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.30641/dejure.2017.V17.48-56.

51 Bayu Dwi Anggono, “Pemilu Serentak di Indonesia: Kajian Sejarah dan Original Intent Pembentuk Undang-Undang Dasar,” Jurnal Majelis 2, no. 2 (2017): 13–24.

52 Sirajuddin, Febriansyah Ramadhan, dan Ilham Dwi Rafiqi, “Urgensi Pemisahan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Nasional dan Lokal,” Volksgeist 4, no. 2 (2021): 233–47, https://doi.org/10.24090/volksgeist.v4i2.5232.

(31)

47 Sedikit jauh kebelakang, sebelum dilaksanakanya Pemilu Serentak 2019 sebenarnya sudah dilaksanakan mekanisme pemilihan umum serentak dalam perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disebut Pilkada) Serentak 2015.

Ini juga diawali gonjang-ganjing pro-kontra pemilihan kepala daerah oleh DPRD, namun setelah banyaknya drama dan revisi Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 akhirnya Tahun 2015 dilaksanakan kembali melalui pemilihan langsung. Undang- Undang No. 10 Tahun 2016 kemudian mengatur pembagian waktu Pilkada serentak secara bertahap yaitu tahun 2015, tahun 2017, tahun 2018 dan tahun 2020.

Sementara untuk hasil pemilihan di tahun 2015 kemudian diselenggarakan Pilkada pada 2020, hingga puncaknya nanti yakni terselenggaranya Pilkada serentak nasional di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2024 untuk pertama kalinya.53

Terkait adanya kekosongan kepemimpinan yang ada di daerah, Pasal 201 ayat (9) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 pada pokoknya mengatur bahwa pengisian jabatan Gubernur/Wakil dan Bupati/Walikota serta wakilnya yang masa jabatanya berakhir pada tahun 2022 dan 2023. Maka akan diangkat seorang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati/Walikota hingga terpilihnya kepala daerah definitif melalui Pemilu Serentak pada tahun 2024. Untuk pelaksanaan Pemilu Serentak pada tahun 2024, akan dilaksanakan dua agenda besar yakni Pileg dan Pilpres pada 14 Februari 2024 dan Pilkada Serentak di seluruh wilayah Indonesia pada 27 November 2024.54

53 Munandar Nugraha, “Sejarah dan Perkembangan Pilkada di Indonesia,” Republik Merdeka Banten, 2020, https://www.rmolbanten.com/read/2020/09/24/19373/Sejarah-Dan-Perkembangan- Pilkada-Di-Indonesia-.. Diakses pada Sabtu, 5 Maret 2022 Pukul 11.36 WIB.

54 Fitria Chusna Farisa, “Resmi, Pilpres-Pileg Digelar 14 Februari 2024, Pilkada Serentak 27 November,” Kompas.com, 2022, https://nasional.kompas.com/read/2022/01/24/18261321/resmi-

(32)

48 2.4.3. Pemilihan Kepala Desa Serentak

Dalam Permendagri No. 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa dijelaskan bahwa definisi Pemilihan kepala desa (selanjutnya disebut Pilkades) adalah:

“Pemilihan Kepala Desa merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat di desa dalam rangka memilih kepala desa yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”

Bisa dipahami bahwa Pilkades merupakan wujud pesta demokrasi wilayah desa yang merupakan proses mencari dan memilik sosok pemimpin terbaik dan merupakan wujud implementasi demokrasi lokal.

Pilkades menjadi harapan terselenggaranya proses demokratisasi di Desa yang nantinya sekaligus menjadi syarat bagi tumbuh kembangnya demokrasi di tingkat daerah maupun nasional. Pilkades sendiri mempunyai peran penting untuk munculnya sosok terbaik yang akan mengisi posisi Kepala Desa yang berwenang dan bertanggung jawab memimpin dan menyelenggarakan pemerintahan desa.

Tentu dengan terselenggaranya pemerintahan desa yang baik maka bermanifestasi pada kesejahteraan masyarakat di desa. Dari hal diatas dapat kita pahami bahwa penyelenggaraan Pilkades langsung memilih langsung calon Kepala Desa terbaik dapat menjadi sarana untuk membawa aspirasi masyarakat di Desa.

Desa mempunyai wewenang dan berhak menyelenggarakan urusan pemerintahan serta membentuk pemerintahan lokal sesuai ciri dan khas wilayahnya. Ini sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014

pilpres-pileg-digelar-14-februari-2024-pilkada-serentak-27-november?page=all. Diakses pada 5 Maret 2022, Pukul 11.44 WIB.

(33)

49 tentang Desa yang menjelaskan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan. Hal ini juga sekaligus menjadi dasar keiistimewan Desa berhak menyelenggarakan pemilihan umum secara langsung memilih kepala desa.

Ini juga merupakan perwujudan partisipasi dan peran aktif masyarakat dalam melindungi serta menjalankan nafas demokrasi di Indonesia. Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) sendiri adalah ciri khas dan motor penggerak dari demokrasi, yang di dalamnya termasuk penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa. Pilkades sendiri bukan termasuk rezim pemilu yang mana diatur dan diselenggarakan oleh KPU. Namun pemilihan kepala desa lebih cocok dilihat sebagai pemilihan umum yang bersifat lokal, karena mekanisme Pilkades dilaksanakan berdasarkan peraturan daerah/kota.

Ihwal pelaksanaan Pilkades lebih lanjut diatur dalam Permendagri No. 112 Tahun 2014. Pasal 2 menjelasan bahwa:

“Pemilihan Kepala Desa dilakukan secara serentak satu kali atau dapat bergelombang.”

Aturan ini sekaligus menegaskan bahwa pelaksanaan Pilkades dilakukan serentak maupun secara bergelombang. Pasal 3 kemudian menjelaskan lebih lanjut bahwa:

“Sebagaimana yang dimaksud dengan Pasal dua dilaksanakan pada hari yang sama di seluruh Desa pada wilayah Kabupaten/Kota.”

Sementara itu dalam Pasal 4 ayat (1) lebih lanjut dijelaskan terkait pelaksanaan Pilkades secara bergelombang. Pasal tersebut menerangkan sebagai berikut:

(34)

50

“Pemilihan Kepala Desa secara bergelombang sebagaimana dimaksud dalam

‘’Pasal 2 dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan:”

- “Pengelompokan waktu berakhirnya masa jabatan Kepala Desa di

‘’wilayah Kabupaten/Kota;””

- “Kemampuan keuangan daerah;” dan”

- “Ketersediaan PNS di lingkungan Kabupaten/Kota yang memenuhi persyaratan sebagai penjabat Kepala Desa.”

Pasal 4 ayat (2) kemudian juga menjelaskan bahwa pilkades serentak secara bergelombang sebagai mana dimaksud pada ayat dilaksanakan maksimal 3 kali dalam enam tahun dan sedangkan dalam ayat (3) dijelaskan bahwa pilkades serentak secara bergelombang dilakukan dengan interval waktu maksimal 2 tahun.

Dapat disimpulkan dari aturan diatas bahwa Pemilihan Kepala Desa Serentak tidak sama dengan perhelatan Pilkada Serentak atau Pemilu Serentak (Pileg dan Pilpres). Pada Pilkades Serentak tidak diselenggarakan serentak dalam satu waktu di seluruh wilayah Indonesia. Melainkan secara serentak di pada wilayah kabupaten/kota dan agenda pelaksanaan dilakukan secara bergelombang menyesuaikan masa akhir jabatan kepala desa dan keuangan daerah. Namun dengan ketentuan maksimal dilaksanakan 3 kali dalam enam tahun.

Sementara pembentukan panitia pemilihan Pilkades yang ada di desa diselenggaran oleh BPD. Panitia pemilihan kepala desa sendiri memegang peran penting dalam penyelenggaraan Pilkades. Mulai dari perencanaan, koordinasi, penyelenggaraan, pengawasan dan pengendalian semua tahapan pelaksanaan pemilihan, serta merancang dan mengajukan biaya pemilihan, melaksanakan pemungutan suara dan rekapitulasi hingga menetapkan calon Kepala Desa yang terpilih. Nantinya Kepala Desa definitif terpilih akan mengembang tugas masa jabatan selama 6 (enam) tahun dan berhak dipilih kembali maksimal 3 periode.

(35)

51 2.5. Dasar Hukum Penundaan Pemilihan Kepala Desa Serentak

Mengenai dasar hukum penundaan Pilkades, Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak secara jelas mengatur ihwal penundaan Pilkades. Namun kewenangan pengambil keputusan terkait penundaan Pilkades dapat ditemukan di PP RI No. 43 Tahun 2014 tentang pelaksanaan Undang-Undang Desa yang telah mengalami perubahan dengan terbitnya PP RI No. 47 Tahun 2015. Pasal 57 ayat (2) menerangkan bahwa:

"Kebijakan penundaan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri di bidang pemerintahan dalam negeri.”

Terkait alasan penundaan Pilkades memang dalam peraturan perundang- undangan saat ini tidak secara detail menjelaskanya. Salah satu syarat penundaan Pilkades yang jelas dapat ditemukan di Pasal 24 ayat (2) Permendagri No. 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa sebagaimana telah mengalami perubahan dengan terbitnya Permendagri No. 65 Tahun 2017 menerangkan sebagai berikut:

“Dalam hal bakal calon yang memenuhi persyaratan tetap kurang dari 2 (dua) setelah perpanjangan waktu pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota menunda pelaksanaan pemilihan Kepala Desa sampai dengan waktu yang ditetapkan kemudian."

Selain pasal diatas, dalam Pasal 47C ayat (5) Permendagri No. 65 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa diatur mengenai penundaan Pemilihan Kepala Desa Antar Waktu. Dalam pasal tersebut diterangkan bahwa:

“Dalam hal calon yang memenuhi persyaratan tetap kurang dari 2 (dua) orang setelah perpanjangan waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), BPD menunda pelaksanaan musyawarah Desa pemilihan kepala Desa sampai dengan waktu yang ditetapkan oleh BPD.”

(36)

52 Di masa Pandemi ini pemerintah melakukan perubahan pada Permendagri No. 112 Tahun 2014 dengan terbitnya Permendagri No. 72 Tahun 2020, yang juga secara tidak langsung menjadi salah satu dasar atau alasan penundaan Pilkades.

Yang mana dalam Pasal 44F mengatur bahwa,

“Bupati/wali kota selaku ketua satuan tugas penanganan Corona Virus Disease 2019 kabupaten/kota berdasarkan rekomendasi dari panitia pemilihan di kabupaten/kota dapat menunda pelaksanaan pemilihan Kepala Desa jika situasi penanganan protokol kesehatan pencegahan dan pengendalian Corona Virus Disease 2019 tidak dapat dikendalikan”.

Peraturan ini sekaligus menjadi salah satu fokus utama dalam penelitian ini, karena secara tidak langsung menjadi regulasi penundaan Pilkades Serentak di Masa Pandemi Covid-19.

2.6. Tinjauan Asas Kepastian Hukum

Kepastian memiliki peran krusial bagi suatu hukum di sebuah negara, terutama terhadap hukum positif atau peraturan perundang-undangan di suatu negara. Bisa dikatakan jika hukum tidak memiliki kepastian maka aturan hukum sudah tidak memiliki makna dan kehilangan esensinya, karena sudah tidak bisa digunakan sebagai panduan hidup bagi masyarakat.

KBBI, mengartikan kepastian hukum atau Legal certainty sebagai sebuah seperangkat aturan hukum dalam suatu negara yang dapat menjamin hak dan kewajiban setiap negara. Pada dasarnya kepastian dalam hukum memiliki beberapa arti yang dapat dipahami, diantaranya adanya suatu kejelasan, dapat dilakukan, tidak kontradiktif dan tidak adanya multitafsir. Hukum hakikatnya wajib berwatak tegas di dalam masyarakat, terbuka hingga setiap orang dapat mengerti makna dari

(37)

53 suatu aturan hukum. Aturan satu dengan yang lainya pun tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menimbulkan keraguan.55

Legal certainty pada prinsipnya ialah suatu nilai yang memberikan legal protection bagi tiap-tiap warga negara dari tindakan sewenang-wenang kekuasaan, alhasil hukum dapat menjadi dasar dan acuan bagi negara untuk menjamin perlindungan terhadap setiap warga negara tanpa terkecuali. Nilai ini memiliki hubungans erat antara instrumen hukum positif dalam suatu negara dan peranan negara dalam memanifestasikanya.56

Menurut Sudikno Mertokusumo, keberadaan asas kepastian dalam suatu hukum pada dasarnya merupakan sesuatu bentuk perlindungan bagi para pencari keadilan pada tindakan semena-mena, yang memili arti kalau seseorang hendak mendapatkan sebuah hal yang diharapkan dalam kondisi tertentu. Ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan begawan hukum dunia Van Apeldoorn, bahwasanya legal certainty mempunyai dua sisi, yakni bisa ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum. yaitu mampu ditentukannya hukum dalam hal yang aktual serta keamanan hukum. Hal itu mempunyai makna jika para yustisiabel ingin mengenali apa yang menjadi hukum dalam suatu hal tertentu sebelum dia memulai perkara serta proteksi bagi para yustisiabel.57

Tanpa legal certainty, manusia tidak tahu apa yang hendak dilakukan dan alhasil timbulah sebuah uncertainty yang implikasinya mengarah pada kekerasan

55 Nyoman Gede Remaja, “Makna Hukum dan Kepastian Hukum,” Kertha Widya 2, no. 1 (2014):

1–26.

56 Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan (Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai), ed. oleh Bagus Dharmawan (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007).

57 Mario Julyano dan Aditya Yuli Sulistyawan, “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum,” Jurnal Crepido 1, no. 1 (2019): 13–22.

(38)

54 karena tidak tegasnya sistem hukum. Oleh karena itu, kepastian hukum harus mengacu pada penerapan aturan yang jelas dan konsisten, yang penegakannya tidak dipengaruhi oleh keadaan subjektif.

Fence M. Wantu pernah mengemukakan bahwa “hukum tanpa nilai kepastian hukum akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang”. Kepastian hukum diartikan sebagai kejelasan norma, alhasil bisa dijadikan pegangan bagi warga negara. Makna kepastian wajib dimaknai sebagai bentuk kejelasan serta ketegasan berlakunya hukum di masyarakat.58 Maria S.W Sumardjono memandang konsep kepastian hukum secara normatif membutuhkan tersedianya perangkat- perangkat peraturan perundang- undangan yang secara operasional menyokong pelaksanaanya serta secara empiris eksistensi peraturan perundang- undangan dilaksanakan secara konsisten dan bertanggung jawab oleh SDMnya.59

Menurut Jan. M Otto demi tercapainya sebuah kepastian dalam hukum, maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut:

1) Tersedianya regulasi hukum yang dikeluarkan oleh kekuasaan negara harus jelas, jernih, konsisten dan accesible;

2) Pemerintah melakukan penerapan regulasi hukum secara konsisten yang sekaligus juga mereka tunduk dan taat kepadanya;

58 R. Tony Prayogo, “Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang- Undang ( The Implementation Of Legal Certainty Principle In Supreme Court Regulation Number 1 Of 20,” Jurnal Legislasi Indonesia 13, no. 2 (2016): 191–201.

59 Ibid., Hlm. 194.

(39)

55 3) Seluruh warga negara pada prinsipnya menyetujui muatan isi suatu

regulasi;

4) Peradilan harus mandiri dan tidak berpihak sekaligus menerapkan hukum tersebut secara konsisten; dan

5) Putusan peradilan secara konkrit dapat dilaksanakan.

Syarat-syarat diatas menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai apabila substansi yang ada dalam hukum dapat mengakomodir kebutuhan dan kondisi masyarakat.60

60 Gede Nyoman Remaja, Op. Cit.,Hlm. 21.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Cipaganti dapat dibilang sudah memiliki brand yang kuat dan juga memiliki citra yang kuat pula didalam benak para pelanggan, karena suatu produk atau jasa yang memiliki brand

b) Melakukan montoring target di bawah ini sesuai dengan Lampiran I: setidaknya 95% hewan dipingsankan dengan efektif pada kali pertama proses pemingsanan. • Lakukan

Dari hasil pengamatan, dapat dilihat salah satu aktivitas yang membuat perawat terbebani dalam hal kebutuhan fisik (PD) yaitu perawat harus bertanggung jawab dalam

Pada kasus ini pemberi gadai telah memberikan uang untuk menebus tanah gadai tersebut tetapi penerima gadai menolaknya. Hal ini telah melanggar hukum yang mana si

Dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih dan juga bentuk pembagian ide atau pikiran dengan menggunakan

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam tentang pemisahan lembaga pengawas dari Bank Sentral (BI) dengan

Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin bahwa seseorang yang dimaksud dalam paragraf 1 yang memiliki alasan untuk mempercayai bahwa