BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang memiliki dinamika kehidupan yang berubah dari waktu ke waktu dan tentunya berbeda antara orang satu dengan orang yang lain.
Perkembangan yang dialami seseorang membuat setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam menyikapi perubahan dinamika dalam kehidupannya.
Manusia berkembang mulai dari masa bayi, masa awal anak-anak, masa pertengahan dan akhir anak-anak, masa remaja, masa awal dewasa, masa pertengahan dewasa, masa akhir dewasa, dan death and dying (Santrock, 2008). Pada setiap tahap perkembangan tersebut, setiap orang akan mempunyai permasalahan tersendiri sebagai tugas dalam perkembangannya.
Orang yang tidak bisa menyelesaikan tugas perkembangannya akan mengalami hambatan dalam perkembangannya kelak.
Perkembangan manusia dari anak menuju remaja merupakan masa yang rentan. Pada tahap perkembangan ini, seseorang mengalami perubahan fisik secara umum serta perkembangan kognitif dan sosial (Desmita, 2008).
Menurut Hurlock (1980) masa remaja dianggap sebagai masa badai dan tekanan. Perubahan fisik dan psikis yang terjadi memaksa remaja untuk dapat beradaptasi dengan perubahan tersebut. Sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan yang merupakan suatu konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada perubahan yang terjadi. Pengertian, perhatian, dan kasih sayang dari orang sekitar sangat dibutuhkan untuk membantu remaja dalam
1
menyesuaikan diri. Kurangnya pengertian, perhatian, dan kasih sayang akan membuat remaja mengalami stress dan tidak sedikit pula yang mengalami depresi.
Depresi adalah keadaan seseorang yang ditandai dengan kehilangan minat, kegembiraan, dan berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah serta menurunnya aktivitas (Maslim, 2001). Depresi bisa dialami oleh siapa saja. Namun, pada masa remaja, seseorang akan mengalami peningkatan depresi daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri remaja.
Bahkan dalam lingkungan normal, prevalensi depresi mengalami peningkatan selama masa remaja, diperkirakan terjadi pada 4 sampai 8 persen remaja (National Center for Health Statistics dalam Papalia, dkk, 2009). Bentuk depresi pada remaja tidak selalu ditunjukkan dengan kesedihan, tetapi dapat berupa perasaan mudah bosan, mudah terganggu, dan ketidakmampuan untuk mengalami rasa senang (Papalia, dkk, 2009). Hubungan yang baik dengan lingkungan sekitar perlu dibina agar remaja dapat terlepas dari perasaan- perasaan tersebut. Namun, sebagian besar remaja merasa lingkungan sekitar tidak mendukungnya, sehingga mereka semakin masuk ke dalam perasaan- perasaan negatif tersebut. Remaja yang sudah terlalu masuk dalam perasaan negatifnya perlu mendapatkan penanganan yang serius agar tidak terjadi hal- hal yang tidak diinginkan.
Dunia memang sedang mengalami keprihatinan pada masalah depresi yang saat ini telah menjadi masalah global. Bahkan diramalkan pada tahun
2020 depresi akan menempati urutan ke-2 dari penyebab disabilitas (Hawari, 2002a). Diperkirakan 1200 sampai 1500 per 100.000 penduduk Indonesia berobat ke Rumah Sakit Umum atau Puskesmas karena menderita depresi (Prasodjo, 2005). Data tersebut menunjukkan bahwa masalah depresi patut untuk diperhatikan dan perlu adanya kesadaran untuk melakukan tindakan pencegahan sebelum hal yang lebih buruk terjadi. Muhdi dalam Kompas (2012) mengungkapkan bahwa sudah banyak orang yang menderita depresi, bahkan lebih banyak lagi orang yang menderita depresi terselubung. Depresi terselubung adalah depresi yang tidak disadari oleh individu karena tertutup oleh keluhan-keluhan badaniah, seperti sakit kepala bersifat kronis, gangguan tidur, jantung sering dirasakan berdebar-debar, gangguan saluran pencernaan, gairah seks menurun, gangguan saluran pernapasan (Prasodjo, 2005).
Suatu proyek yang berjudul Global Burden of Disease disponsori oleh WHO yang menyatakan bahwa gangguan jiwa depresi menempati urutan ke-4 sebagai penyebab ketidakmampuan seseorang dalam menjalankan fungsi kehidupannya sehari-hari (Hawari, 2002a). Pada tahun 1992, berdasarkan National Comorbidity Survey, hampir 2% dari anak-anak usia 7-12 tahun di
Amerika Serikat mengalami depresi mayor, dan jumlahnya bertambah 6-8%
pada remaja (Kessler dalam Joshi, dkk, 2009). Pada jurnal lain, Lewinsohn, Rohde dan Seeley (dalam Buzi, dkk, 2007) menyebutkan bahwa sebanyak 28% remaja Amerika mempunyai pengalaman episode depresi mayor pada usia 19 tahun. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO dalam Hawari, 2002b) menyebutkan angka 17% pasien-pasien yang berobat ke dokter adalah pasien
dengan depresi, selanjutnya diperkirakan prevalensi depresi pada populasi masyarakat dunia adalah 3%. Sementara itu, Sartorius (dalam Hawari, 2002b) memperkirakan 100 juta penduduk di dunia mengalami depresi dan angka- angka tersebut akan semakin bertambah untuk masa mendatang yang disebabkan beberapa hal, antara lain: usia harapan hidup semakin bertambah;
stresor psikososial semakin berat; berbagai penyakit kronik semakin bertambah; dan kehidupan beragama semakin ditinggalkan.
Sebagian besar remaja yang depresi biasanya merasakan perasaan tertekan yang berbeda dengan kesedihan biasa dan menyebabkan masalah pada perilakunya. Faktor resiko depresi pada remaja dapat berupa kecemasan, ketakutan menjalin kontak sosial, kejadian dalam hidup yang membuat stres, penyakit kronis, konflik orang tua dengan anak, salah perlakuan, penelantaran dan memiliki orang tua dengan sejarah depresi (Brent dan Birmaher dalam Papalia, dkk, 2009). Remaja yang mengalami depresi akan cenderung mengalami penurunan produktivitas, hubungan sosial yang terganggu dan mood yang mudah berubah. Padahal pada masa remaja seyogyanya
digunakan untuk berkarya dan membangun relasi sosial yang baik dengan orang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Kielholz dan Poldinger (dalam Hawari, 2002b) menunjukkan bahwa 10% dari pasien yang berobat ke dokter adalah pasien depresi dan separuhnya dengan depresi terselubung.
Katzenstein (dalam Hawari, 2002b) melakukan survey dan mendapatkan kenyatan bahwa lebih dari 70% pasien depresi tidak terdiagnosa oleh dokter.
Badan Litbangkes Depkes RI telah melakukan survey pada tahun 1995 dan menemukan prevalensi gangguan jiwa emosional pada penduduk Indonesia yang berusia lebih dari 15 tahun adalah sebanyak 140/1000 (DepKes, 2007).
Hawari (2002b) mengemukakan bahwa pengamatan dari waktu ke waktu terhadap kasus depresi, kasus gangguan kejiwaan yang tergolong kecemasan dan depresi semakin bertambah. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan jumlah kunjungan pasien yang berobat ke pusat-pusat pelayanan kesehatan jiwa dan juga yang berobat ke dokter (psikiater). Kenaikan jumlah pasien dengan kecemasan dan atau depresi dapat juga dilihat dari kenaikan obat-obat psikofarmaka (obat anticemas dan antidepresan) yang diresepkan oleh para dokter. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa depresi merupakan salah satu gangguan yang saat ini menjadi ancaman bagi Indonesia. Indonesia sebagai negara berkembang memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas untuk dapat memajukan bangsa. Namun, apabila banyak penduduk di Indonesia yang mengalami depresi, hal tersebut akan mengakibatkan penurunan produktivitas dan kualitas penduduk Indonesia.
Depresi merupakan gangguan yang tidak bisa dianggap remeh.
Remaja atau siapa saja yang sudah mengalami depresi bisa melakukan hal-hal diluar batas kewajaran. Ide yang paling sering muncul dan berbahaya adalah ide atau pikiran untuk bunuh diri. Depresi adalah penyebab utama tindakan bunuh diri dan tindakan tersebut menduduki urutan ke-6 dari penyebab kematian utama di Amerika Serikat (Hawari, 2002). Seseorang yang mengalami depresi merasa bahwa dirinya rendah dan mengalami suasana
perasaan yang tidak menentu, sehingga pikiran untuk bunuh diri sering muncul dan tidak sedikit pula yang sudah melakukan tindakan percobaan bunuh diri. Walaupun tidak semua orang yang depresi memikirkan untuk bunuh diri, tetapi pikiran tersebut sering ditemukan pada orang yang sedang mengalami depresi.
Kasus bunuh diri yang terjadi pada remaja di Indonesia mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Beberapa pemberitaan di media elektronik banyak yang menyebutkan bahwa penyebab remaja melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri adalah karena depresi. Penyebab depresi juga bermacam-macam, diantaranya karena putus cinta, penyakit, tidak mendapatkan hal yang diinginkan, dan keadaan lingkungan keluarga yang broken home. Pada sebuah jurnal dituliskan bahwa penelitian yang telah
dilakukan oleh Hamidah dan Mahajudin menunjukkan sebanyak 87% remaja di Surabaya mengalami depresi berat (Hamidah dan Mahajudin dalam Murti dan Hamidah, 2012). Diberitakan dalam harian Kompas (2012) bahwa di Surakarta terdapat seorang anak perempuan pengidap lupus melakukan aksi bunuh diri karena depresi dengan penyakit yang diderita. Penelitian dan fakta tersebut menunjukkan bahwa depresi mempunyai peranan yang penting dalam aksi bunuh diri. Diperkirakan bahwa sekurang-kurangnya 80% dari para penderita yang bunuh diri mengalami depresi dan angka bunuh diri di kalangan orang-orang yang mengalami depresi adalah antara 22-36 kali lebih tinggi dibandingkan di kalangan orang-orang yang tidak mengalami depresi (Flood, dkk dalam Semium, 2010). Maris dkk dalam Kompas (2012)
menyebutkan bahwa hubungan-hubungan sosial yang menjadi pemicu bunuh diri dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu negatif (pengasuhan buruk orang tua) dan absen (tidak adanya orang tua, tidak menikah, perceraian, dan tidak ada sahabat dekat). Pernyataan diatas mengungkapkan bahwa peran keluarga merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk menunjang kesehatan mental seseorang.
Keluarga merupakan lingkungan sosial yang paling dekat dengan seorang individu. Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk homeostatis dapat meningkatkan kesehatan mental para anggota keluarga (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005). Peran orang tua dan anak harus seimbang agar masing-masing anggota keluarga mempunyai fungsi dalam keluarga. Pembentukan kondisi yang seimbang tersebut tidak terlepas dari peran anggota keluarga terutama orang tua. Pandangan psikodinamik menyatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan sosial yang secara langsung mempengaruhi individu (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005).
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal individu dan sangat menentukan kepribadian dan kesehatan mental anak. Orang tua perlu untuk memperhatikan peran dan fungsi masing-masing anggota keluarga agar dapat menunjang kesehatan mental anggota keluarga.
Notosoedirdjo dan Latipun (2005) menyatakan bahwa ada beberapa kondisi keluarga yang dapat memberi pengaruh negatif bagi anggota keluarga diantaranya, perceraian dan perpisahan, keluarga yang tidak fungsional, dan perlakuan atau pengasuhan. Perlakuan orang tua kepada anak berkaitan
dengan apa yang dilakukan orang tua atau anggota keluarga lain kepada anak.
Tindakan keluarga yang membiarkan anak, diperlakukan secara kasar atau diperlakukan yang semestinya tidak perlu, akan mempengaruhi perkembangan mental anak (Wolfe dan Becker dalam Notosoedirdjo dan Latipun, 2005). Berbagai gangguan mental, seperti skizofrenia, depresi, gangguan kecemasan, ketergantungan obat, gangguan tingkah laku, dan psikopatologi lainnya banyak dihubungkan dengan kurang baiknya interaksi di antara anggota keluarga (Lange dalam Notosoedirdjo dan Latipun, 2005).
Akhir-akhir ini, fungsi pengasuhan anak oleh orang tua banyak yang sudah dialihkan kepada pengasuh pengganti. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya interaksi antara orang tua dengan anak. Pola pengasuhan yang diberikan oleh orang tua pada anak juga ikut andil dalam membentuk kesehatan mental anak. Pola pengasuhan yang dikenal ada tiga, yaitu permisif, demokratis dan otoriter.
Pola pengasuhan orang tua ada yang cenderung memberikan perlakuan yang kurang menyenangkan pada anak, misalnya orang tua selalu menuntut, tidak pernah memberikan reinforcement pada anak, selalu berkata kasar, tidak menghargai, selalu menyalahkan dan tidak pernah mendengar pendapat anak, akan membuat remaja cenderung merasa tertekan dan melakukan pemberontakan. Bentuk pemberontakan tidak selalu berupa perkataan atau tindakan yang langsung ditujukan kepada orang tua, tetapi dapat pula berupa perasaan-perasaan yang terpendam dan hanya dirasakan oleh remaja tersebut. Persepsi remaja tentang orang tua sebagai figur yang
mempunyai otoritas membuat remaja tidak berani menentang orang tua dan hanya memendam perasaan tertekan untuk dirinya sendiri, akibatnya anak akan cenderung murung, gelisah, mengurung diri di kamar, tidak betah di rumah, atau bahkan mempunyai pikiran untuk melakukan bunuh diri. Pola asuh orang tua yang demikian disebut pola asuh otoriter.
Desmita (2008) menjelaskan bahwa pengasuhan otoriter (authoritarian parenting) adalah pengasuhan yang menuntut dan membatasi anak untuk mengikuti perintah orang tua. Orang tua yang menerapkan pola pengasuhan otoriter cenderung tidak mendengarkan pendapat dan pemikiran anak, bahkan cenderung menetapkan batas-batas yang tegas. Selain itu, sikap orang tua juga akan lebih mengarah pada sikap yang sewenang-wenang pada anak, tidak demokratis dalam mengambil keputusan dan kurang memiliki kelekatan dengan anak. Hal tersebut membuat remaja cenderung tidak berkembang dan selalu curiga dengan lingkungan sekitar karena tidak mendapatkan rasa aman dan nyaman.
Pada pola asuh otoriter, penegakan aturan yang diberikan orang tua pada anak cenderung kaku (Asmaliyah, 2009). Peraturan yang dilanggar oleh anak akan berakibat pemberian hukuman pada anak. Namun, apabila anak melakukan hal yang sesuai dengan peraturan, orang tua mungkin hanya sedikit akan memberikan reinforcement atau bahkan mungkin tidak ada reinforcement sama sekali. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter akan tumbuh menjadi remaja yang penuh kecurigaan, kurang percaya diri, dan tidak bahagia dengan dirinya (Desmita,
2008). Hal tersebut dapat terjadi karena orang tua tidak mampu memberikan rasa hangat, rasa aman dan kasih sayang yang sangat diperlukan oleh anak ketika beranjak remaja. Padahal saat anak beranjak remaja, perhatian dan dukungan dari orang tua sangat diperlukan. Orang tua seharusnya mampu memberi dukungan pada anak selama anak melakukan hal yang positif. Anak perlu diberi kebebasan dan kewenangan untuk menentukan jalannya sendiri agar anak mampu bertanggungjawab atas sikapnya. Namun, apabila orang tua melihat anaknya sudah mulai melenceng, orang tua perlu untuk meluruskan dan membimbingnya ke arah yang benar. Orang tua harus tahu kapan waktu untuk melepaskan anaknya dan kapan waktu untuk menarik anaknya kembali.
Namun, orang tua otoriter tidak memikirkan tentang hal itu. Pada umumnya, orang tua otoriter memikirkan bahwa anaknya harus menaati peraturannya dan memberikan hukuman bila tidak sesuai dengan aturan yang telah dibuat.
Keterikatan yang aman (secure attachment) antara remaja dengan orang tua merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang perkembangan remaja karena dapat menjadi benteng dari kecemasan dan perasaan-perasaan depresi sebagai akibat dari transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Desmita, 2008). Hubungan yang positif antara orang tua dengan anak memungkinkan anak untuk terbuka pada orang tua dan mampu mengungkapkan perasaan pada orang tua. Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, dalam sambutannya saat membuka Acara Puncak Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKJS) Tahun 2012 mengatakan bahwa kemampuan mendengarkan dan berkomunikasi dengan baik dalam
keluarga dan komunitas, merupakan komponen pencegahan depresi yang utama. Namun, pada keluarga dengan orang tua yang otoriter terjadi komunikasi yang kurang efektif antara anak dan orang tua yang akan membentuk anak menjadi pribadi yang introvert dan sulit untuk mengungkapkan pendapatnya.
Masa remaja merupakan masa yang sangat rentan dan diperlukan hubungan yang erat serta dorongan dari orang tua untuk membantunya berkembang dalam mencapai kemandirian. Keadaan keluarga yang kondusif membuat remaja merasa aman karena remaja mempunyai tempat yang nyaman saat terjadi tekanan emosional dan remaja mampu untuk mengaktualisasikan diri apabila mendapat dukungan dari lingkungan sekitar, khususnya keluarga. Namun, pengasuhan otoriter dapat membuat remaja menolak pengaruh dari orang tua dan mencari dukungan serta penerimaan dari teman sebaya (Fuligni dan Eccles dalam Papalia, dkk, 2009). Bahaya yang mengancam apabila teman sebaya tersebut tidak mampu mengarahkan ke hal yang positif, tetapi sebaliknya, justru mengarahkan ke hal negatif yang dapat merugikan remaja tersebut.
Pada pengasuhan otoriter, orang tua cenderung menegakkan aturan- aturan dengan tegas tanpa mempedulikan pendapat dan perasaan anak. Hal tersebut dapat membuat anak merasa tertekan, cemas bahkan mengalami depresi. Terdapat beberapa penelitian yang meneliti tentang pengaruh pola asuh terhadap kesehatan mental anak. Salah satu penelitian yang sudah dilakukan adalah penelitian yang meneliti hubungan pola pengasuhan otoriter
dengan depresi remaja. Studi pada remaja Cina-Amerika, menemukan bahwa remaja yang dilaporkan mempunyai orang tua yang menggunakan disiplin yang keras, berhubungan dengan simptom depresi remaja (Lansford, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Nguyen dan Monit (2009) pada remaja di Vietnam menemukan bahwa kebanyakan orang tua di Vietnam menerapkan pola asuh otoriter untuk mendidik anaknya. Penelitian lain yang dilakukan pada 2706 remaja di Hongkong menunjukkan bahwa lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang signifikan dengan depresi remaja (Lau dan Lai- Kuen, 2000). Rahayu, Taty, dan Windy (2008) telah melakukan penelitian yang menghubungkan antara pola asuh otoriter dengan kesehatan mental remaja dan mendapat kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pola asuh otoriter dengan kesehatan mental remaja. Artinya, makin otoriter orangtua maka makin rendah tingkat kesehatan mental remaja. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola asuh orang tua mempunyai peranan penting untuk menunjang perkembangan kesehatan mental anak. Penelitian- penelitian tentang depresi dan pola asuh otoriter telah banyak dilakukan di luar negeri, tetapi di Indonesia, penelitian-penelitian semacam itu masih jarang dilakukan.
Penjabaran diatas memunculkan gagasan peneliti bahwa penilaian remaja mengenai pola asuh otoriter orang tua yang diterapkan pada remaja tersebut mungkin berbeda-beda antara remaja satu dengan yang lain. Remaja di luar negeri dan remaja di dalam negeri mungkin memiliki karakteristik dan budaya yang berbeda untuk menanggapi pola pengasuhan yang diberikan oleh
orangtuanya. Walaupun telah ada beberapa penelitian yang dilakukan, tetapi penelitian yang menjurus pada hubungan langsung antara pola asuh otoriter dengan depresi remaja di Indonesia masih sangat jarang dilakukan. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan Hubungan antara Pola Asuh Otoriter Orang Tua dengan Depresi pada Remaja di SMA N 2 penelitian ini dapat menghasilkan sebuah penemuan yang berguna tentang dampak pola asuh otoriter, khususnya pada depresi remaja.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah penelitian ini adalah :
1. Apakah ada hubungan antara pola asuh otoriter orang tua dengan depresi pada remaja di SMA N 2 Purworejo?
2. Apakah ada sumbangan efektif yang diberikan variabel pola asuh otoriter orang tua terhadap variabel depresi pada remaja di SMA N 2 Purworejo?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui adanya hubungan antara pola asuh otoriter orang tua dengan depresi pada remaja di SMA N 2 Purworejo.
b. Mengetahui adanya sumbangan efektif variabel pola asuh otoriter orang tua terhadap variabel depresi pada remaja di SMA N 2 Purworejo.
2. Manfaat Penelitian
Bila penelitian ini berhasil, maka akan memberi manfaat berupa:
a. Manfaat Teoritis
1) Memberi tambahan hasil penelitian di bidang Psikologi Klinis dan Psikologi Perkembangan tentang hubungan pola asuh otoriter orang tua dengan depresi pada remaja sebagai perbandingan dan wawasan para pembaca.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi orang tua, dapat menjadi masukan agar lebih berhati-hati dalam menerapkan pola asuh pada anak.
2) Bagi guru, khususnya guru Bimbingan Konseling, penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan untuk menyusun program konsultasi bagi siswa agar lebih memahami peserta didiknya, khususnya mengenai gangguan depresi.
3) Bagi siswa, penelitian ini dapat memberi masukan agar lebih waspada terhadap depresi dengan cara memahami gejala-gejala dan jenis depresi.
4) Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat menjadi masukan dan data awal bila ingin meneliti dengan tema pola asuh otoriter orang tua dan depresi pada remaja.