• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sebuah proses dan sekaligus sistem yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sebuah proses dan sekaligus sistem yang"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan sebuah proses dan sekaligus sistem yang bermuara dan berujung pada pencapaian suatu kualitas manusia tertentu yang dianggap dan diyakini sebagai yang ideal. Pendidikan dipandang sebagai hak rakyat yang lahir dan dikembangkan secara konkret sebagai perwujudan upaya mencerdaskan individu dalam bagian dari masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan adalah sarana memproduksi sejumlah individu yang berkompetensi untuk tujuan pengembangan modal sosial dan kapasitas intelektual bangsa.

Pendidikan memainkan peranan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang cerdas, mampu menguasai iptek, serta memiliki keterampilan daya inovasi, yang menjadi modal utama untuk mencapai prestasi gemilang di berbagai bidang kehidupan. Pendidikan yang berkualitas dapat mengantarkan Indonsia menjadi bangsa yang modern, maju, makmur, dan sejahtera, yang tercermin pada keunggulan dan kemampuan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

”Pendidikan merupakan usaha yang sengaja dan terencana untuk membantu perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga negara atau masyarakat, dengan memilih materi, strategi kegiatan, dan teknik penilaian yang sesuai.

Dengan kata lain, pendidikan dipandang mempunyai peran yang besar dalam

mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak.”. (Jalaluddin dan Idi,

2007:153).

(2)

Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 4 mengenai tujuan pendidikan nasional menyebutkan bahwa:

“Pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, estetis, dan demokratis serta memiliki rasa kemasyarakatan dan kebangsaan”.

Tujuan pendidikan tersebut akan sulit tercapai jika masih banyak anak usia sekolah yang mengalami putus sekolah. Pada kenyataannya, kualitas pendidikan di Indonesia masih sangat mengkhawatirkan. Hal tersebut terbukti dengan adanya fenomena Drop Out atau putus sekolah, khususnya pada jenjang pendidikan dasar yang jauh lebih tinggi dari pada drop out pada jenjang pendidikan menengah. Padahal, pendidikan dasar merupakan periode penting bagi pertumbuhan kepribadian anak.

Secara umum, negara berkembang menghadapi masalah Sumber Daya Manusia yang ditinjau dari segi pendidikan terutama pada kualitas pendidikan yang terjadi di sebagian besar negara berkembang yang saat ini masih sangat memprihatinkan. Sebagaimana negara-negara berkembang lainnya, kuantitas anak yang mengalami putus sekolah di Indonesia masih sangat tinggi. Masalah putus sekolah memang tidak pernah selesai dalam dunia pendidikan sehingga sulit mengharapkan kemajuan Sumber Daya Manusia dalam menghadapi tantangan global.

Padahal, sumber daya manusia merupakan modal dasar dari kekayaan

suatu bangsa. Manusia merupakan agen aktif yang akan mengumpulkan modal,

mengeksploitasi sumber daya alam, membangun berbagai macam organisasi

(3)

sosial, ekonomi dan politik, serta melaksanakan pembangunan nasional. Jelas bahwa jika suatu negara tidak segera mengembangkan keahlian dan pengetahuan rakyatnya melalui sekolah serta tidak memanfaatkan potensi mereka secara efektif, maka untuk selanjutnya negara tersebut tidak akan dapat mengembangkan apapun karena pembangunan nasional yang tinggi disegala bidang ditentukan oleh kualitas SDM yang bagus yang terdiri dari tingkat melek huruf dan tingkat pendidikan yang tinggi.

Dari data dilapangan, diperoleh informasi bahwa pada setiap tahunnya lebih dari satu juta siswa mengalami putus sekolah pada semua jenjang pendidikan. Hal ini terutama terjadi di daerah pedesaan yang pada umumnya berasal dari keluarga miskin dan memiliki keterbatasan akses pendidikan.

Mengatasi permasalahan ini, pemerintah telah mencanangkan berbagai upaya guna perluasan kesempatan memperoleh pendidikan khususnya pendidikan dasar. Salah satunya melalui program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun yang telah dimulai sejak tahun 1994. Program pemerintah ini dalam rangka perluasan akses di bidang pendidikan sehingga diharapkan fasilitas pendidikan dasar dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

Tujuan utama dari program pemerintah ini adalah agar seluruh anak usia

7 sampai dengan 15 tahun memperoleh pendidikan setidak-tidaknya hingga

sekolah menengah pertama atau yang sederajat. Pada dasarnya, Wajar Dikdas 9

tahun adalah untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan pelayanan

pendidikan dasar yang bermutu dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

(4)

Agar upaya peningkatan mutu perluasan pendidikan dapat tercapai maka sekurang–kurangnya harus didukung oleh tiga faktor, seperti yang dikutip dari Fatah, (2000:90) yaitu :

1. Kecukupan sumber–sumber pendidikan dalam arti kualitas tenaga kependidikan, biaya dan sarana belajar.

2. Mutu proses belajar mengajar yang dapat mendorong siswa belajar efektif.

3. Mutu keluaran dalam bentuk pengetahuan, sikap, ketrampilan, Dan nilai–

nilai.

Pencanangan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun oleh pemerintah sejak tahun 1994 telah menunjukkan keberhasilan. Target pemerintah menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam skala nasional dinyatakan tuntas pada tahun 2008 yang lalu. Sebagaimana yang disampaikan oleh Mentri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo ”Kalau pada akhir tahun 2008 bisa mencapai 95 persen, Wajar Dikdas 9 tahun tuntas pada tingkat nasional.” (Kompas, Agustus 2008).

Kemudian, keberhasilan Wajar Dikdas juga dapat ditinjau dari angka partisispasi kasar dan angka partisipasi murni di semua tingkatan, baik dengan skala nasional maupun skala provinsi.

1. Angka Partisipasi Kasar mengukur proporsi anak sekolah pada suatu tingkat

pendidikan tertentu terhadap kelompok umur yang sesuai dengan jenjang

pendidikan tersebut. APK memberikan gambaran secara umum jumlah anak

yang menerima pendidikan pada jenjang tertentu serta biasanya tidak

memperhatikan usia anak. Angka partisipasi kasar nasional SD hingga saat

(5)

ini telah mencapai 100 %, dan SMP lebih dari 90 %. Adapun untuk tingkat provinsi Jawa Barat, APK SD mencapai 100 % dan SLTP 77 %.

2. Angka Partisipasi Murni mengindikasikan proporsi anak sekolah pada suatu umur tertentu yang bersekolah pada tingkat yang sesuai dengan kelompok umurnya. APM yang mendekati angka nilai 100 menunjukan bahwa hampir semua penduduk bersekolah tepat waktu sesuai dengan kelompok umurnya.

Angka partisipasi murni tingkat nasional SD saat ini sudah mencapai lebih dari 90 %, sedangkan SMP lebih dari 70 % dengan tren membaik setiap tahun. Sedangkan tingkat provinsi Jawa Barat, APM SD mencapai lebih dari 90 % dan untuk SLTP lebih dari 60 %.

Jika ditinjau dari dua indikator pendidikan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa memang pendidikan di Indonesia telah menunjukan kemajuan yang dignifikan. Dunia pendidikan telah mengalami perkembangan yang luar biasa pesatnya. Pembangunan pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas SDM, mempersiapkan individu agar mampu beradaptasi dan menghadapi masa depan.

Akan tetapi pada kenyataannya dilapangan kedua indikator tersebut tidak

dapat mencerminkan kualitas pendidikan yang sesungguhnya. Program wajib

belajar pendidikan dasar 9 tahun belum mampu menyelesaikan persoalan

tingginya angka putus sekolah. Di tingkat pendidikan dasar, putus sekolah

menjadi penghambat upaya penuntasan wajar dikdas 9 tahun. Kondisi ini

sebagaimana yang terjadi pada Kabupaten Garut, dimana angka putus sekolah

dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:

(6)

Tabel 1.1

Angka Putus Sekolah menurut jenjang pendidikan dan jenis kelamin Kabupaten Garut (dalam persen)

Tahun SD SLTP SLTA

L P Rata2 L P Rata2 L P Rata2

2006 9,76 13,17 11,47 32,20 35,70 33,95 14,56 14,58 14,57 2007 9,95 12,96 11,45 37,47 37,16 37,32 14,02 15,03 14,52 Sumber: Biro Pusat Statistik

Angka Putus Sekolah (APTS) merupakan salah satu indikator output pendidikan. APTS merefleksikan tingkat kegagalan sistem pendidikan menurut jenjangnya. APTS menggambarkan ketidakmampuan penduduk usia sekolah untuk menyelesaikan pendidikan pada jenjang tertentu.

Angka putus sekolah pada jenjang SD di Kabupaten Garut hingga tahun 2007 mencapai angka 11,45 %, atau menduduki peringkat tertinggi dibandingkan dengan angka rata-rata putus sekolah SD di kabupaten/kota lainnya. Artinya dari seluruh siswa usia sekolah dasar 11,45 % diantaranya mengalami putus sekolah atau tidak dapat melanjutkan ke tingkat SLTP. Kondisi memprihatinkan tersebut semakin diperparah dengan APTS SLTP sebanyak 37,32 % dan pada Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 14,52 %. Jumlah ini melebihi standar putus sekolah minimal (SPM) yaitu sebesar 1 %.

Tabel 1.1 juga memperlihatkan bahwa APTS perempuan lebih tinggi dari

APTS laki-laki. Hal tersebut dimungkinkan karena masyarakat menganut sistem

patrilineal sehingga secara kultural laki-laki dianggap lebih penting untuk

mendapatkan pendidikan. Adapun untuk perempuan dengan hanya dapat

membaca dan menulis saja sudah dianggap cukup. Bahkan masih banyak orang

tua yang telah menikahkan anak perempuannya yang masih usia sekolah. Hal itu

(7)

menampakkan preferensi keluarga untuk bersekolah pada jenjang yang lebih tinggi cenderung diberikan untuk anggota keluarga laki-laki.

Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengenai kasus putus sekolah, mayoritas menyatakan bahwa putus sekolah lebih dominan karena alasan ekonomi atau ketidakmampuan orangtua untuk menyekolahkan anaknya hingga jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun disamping alasan tersebut terdapat alasan lain yaitu masih dominannya faktor tradisi masyarakat terutama dipedesaan yang tidak mendorong anak perempuan melanjutkan pendidikan formal, bahkan kerap ditemui masyarakat yang berpendapat orang tuanya pun tidak berpendidikan tinggi tapi bisa mengolah sawah dan hidup layak, karena ini dari sekitar 41.000, yang melanjutkan hanya sekitar 18.000 orang.

Secara umum, jumlah siswa putus sekolah di Kabupaten Garut hingga tahun 2007 dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1.2

Jumlah Siswa Putus Sekolah SD dan SLTP Di Kabupaten Garut Tahun 2007 No. Kecamatan Putus Sekolah

Usia Sekolah Persentase SD SLTP

1 Cisewu 0 10 955 1.05

2 Caringin 11 19 1.018 2.95

3 Talegong 18 0 945 1.90

4 Bungbulang 12 9 1.933 1.09

5 Mekarmukti 1 0 494 0.20

6 Pamulihan 11 14 569 4.39

7 Pakenjeng 0 0 2.209 0.00

8 Cikelet 9 12 1.297 1.62

9 Pameungpeuk 1 12 1.164 1.12

10 Cibalong 58 2 1.352 4.44

11 Cisompet 111 22 1.665 7.99

12 Peundeuy 2 0 856 0.23

13 Singajaya 76 0 1.530 4.97

14 Cihurip 4 0 568 0.70

15 Cikajang 60 9 2.485 2.78

(8)

No. Kecamatan Putus Sekolah

Usia Sekolah Persentase SD SLTP

16 Banjarwangi 117 6 2.104 5.85

17 Cilawu 106 0 3.097 3.42

18 Bayongbong 36 4 3.074 1.30

19 Cigedung 80 0 1.351 5.92

20 Cisurupan 101 37 3.058 4.51

21 Sukaresmi 45 29 1.275 5.80

22 Samarang 49 0 2.478 1.98

23 Pasirwangi 138 16 2.231 6.90

24 Tarogong Kidul 138 16 2.930 5.26

25 Tarogong Kaler 4 5 2.457 0.37

26 Garut Kota 25 42 3.661 1.83

27 Karangpawitan 36 4 3.644 1.10

28 Wanaraja 12 8 1.334 1.50

29 Sucinaraja 8 0 814 0.98

30 Pangatikan 26 0 1.256 2.07

31 Sukawening 16 2 1.735 1.04

32 Karang tengah 8 0 609 1.31

33 Benyuresmi 21 0 2.628 0.80

34 Leles 57 17 2.503 2.96

35 Leuwigoong 10 28 1.387 2.74

36 Cibatu 1 20 2.097 1.00

37 Kersamanah 4 0 1.108 0.36

38 Cibiuk 1 4 1.072 0.47

39 Kadungora 15 11 2.612 1.00

40 Balubur Limbangan 5 76 2.560 3.16

41 Selaawi 5 0 1.257 0.40

42 Malangbong 0 22 3.935 0.56

Jumlah 1438 456 77.307 100

Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Garut

Berdasarkan data di atas, hampir disetiap kecamatan terdapat anak usia

sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan atau putus sekolah. Dari 42

kecamatan yang ada di Kabupaten Garut, anak tidak dan putus sekolah usia 7-15

tahun paling banyak terdapat di Kecamatan Tarogong Kidul, paling sedikit

Kecamatan Sucinaraja dan Mekarmukti sedangkan kecamatan lainnya jumlahnya

relatif merata. Kemudian apabila diperbandingkan dengan banyaknya penduduk

(9)

usia sekolah SD dan SLTP, Tarogong Kidul menempati urutan ke enam setelah Cisompet, Pasirwangi, Cigedug, Banjarwangi, dan Sukaresmi.

Tingginya angka putus sekolah ini tentu saja tidak bisa dibiarkan karena berkaitan dengan kualitas SDM, yang pada akhirnya akan menentukan arah pembangunan suatu bangsa. Semakin tinggi kualitas SDM suatu negara maka semakin baik pula arah pembangunannya, sebaliknya semakin rendah kualitas SDM, akan semakin buruk arah pembangunan suatu bangsa. Oleh karena itu, SDM atau Human Development adalah modal atau investasi yang penting dalam menentukan berhasil atau tidaknya pembangunan bangsa terutama dalam bidang ekonomi.

Putus sekolah diduga disebabkan karena beberapa hal, seperti alasan ekonomi yaitu ketiadaan biaya pendidikan karena penghasilan penduduk yang relatif rendah terutama pasca krisis ekonomi, fasilitas yang menunjang pendidikan masih sangat terbatas, budaya dan tradisi penghambat pembangunan, masih terdapat kesenjangan antara penduduk yang tinggal di perkotaan dan perdesaan, antara penduduk laki-laki dan perempuan, dan antara penduduk kaya dan miskin.

Kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan menjadi penghambat bagi seseorang untuk memenuhi keinginannya dalam melanjutkan pendidikan.

Kondisi ekonomi masyarakat tentu saja berbeda, tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi yang memadai dan mampu memenuhi segala kebutuhan anggota keluarga.

Salah satu pengaruh yang ditimbulkan oleh kondisi ekonomi seperti ini

adalah orang tua tidak sanggup menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih

(10)

tinggi walaupun mereka mampu membiayainya di tingkat sekolah dasar. Tidak semua orang dapat memanfaatkan peluang untuk memperoleh pendidikan, terutama untuk jenjang yang lebih tinggi. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang diselenggarakan, semakin sempit peluang bagi setiap orang untuk dapat memasukinya. Pada akhirnya, keadaan ekonomi yang lemah memaksa anak keluar sekolah sebelum tamat.

Jelas bahwa kondisi ekonomi keluarga merupakan faktor pendukung yang paling besar terhadap kelanjutan pendidikan anak-anak, sebab pendidikan juga membutuhkan dana besar. Masyarakat miskin menilai bahwa pendidikan masih terlalu mahal dan belum memberikan manfaat yang signifikan dengan sumberdaya yang dikeluarkan. Padahal, pendidikan sangat besar peranannya bagi proses pembangunan walaupun hasil dari pendidikan itu tidak dapat dirasakan secara langsung tetapi baru akan terasa setelah beberapa tahun mendatang.

Karena itu, pendidikan belum menjadi pilihan investasi. Meskipun pemerintah telah membebaskan biaya pendidikan tetapi pada kenyataannya masyarakat tetap harus mengeluarkan dana. Pengeluaran itu berupa pembelian buku, alat tulis, pakaian seragam, uang transportasi, dan uang jajan menjadi faktor penghambat pula bagi masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya.

Padahal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Todaro (1999:455) bahwa

investasi dalam Sumber Daya Manusia dapat meningkatkan kualitasnya dan

dengan demikian akan menghasilkan efek yang sama terhadap produksi bahkan

akan lebih besar lagi dengan bertambahnya jumlah manusia. Pendidikan formal

dan informal, program pendidikan dan pelatihan kerja dapat lebih diefektifkan

(11)

untuk menghasilkan tenaga kerja yang terdidik serta untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja.

Selain faktor ekonomi, penyebab banyaknya anak putus sekolah atau tidak melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi juga berkaitan dengan faktor budaya atau tradisi. Budaya yang masih dominan yaitu kesetaraan gender yang relatif masih rendah sehingga secara umum laki-laki lebih diutamakan untuk dapat sekolah sampai selesai dari pada perempuan. Pandangan orang tua terhadap pendidikan anaknya masih sangat kurang, dengan hanya bisa membaca dan menulis sudah cukup untuk memberi bekal pada anaknya dalam mencari pekerjaan.

Budaya yang mereka anut mengatakan, sekolah itu tidak penting. Banyak orang tua yang tidak terlalu mementingkan pendidikan. Sebagian anak usia 7 – 15 tahun sudah diajak orang tuanya untuk membantu bekerja. Yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana mendapatkan penghasilan (uang) sehingga dapat menjamin kesejahteraan keluarga. Selain itu, masih banyaknya masyarakat menikah usia muda terutama pada perempuan, dengan anggapan bahwa perempuan betapapun tinggi tingkat pendidikannya pada akhirnya ia akan menjadi ibu rumah tangga yang mengurus tugas-tugas rumah tangga mengakibatkan mereka tidak bisa melanjutkan pendidikannya lagi.

Faktor lingkungan alam juga turut mempengaruhi dimana letak dan jarak tempat tinggal ke sekolah yang relatif jauh sehingga cukup menyulitkan untuk dijangkau. Secara umum, pendidikan di Kabupaten Garut belum optimal.

Kesempatan memperoleh pendidikan belum sepenuhnya merata. Akses dan

(12)

fasilitas pendidikan masih terpusat didaerah perkotaan sehingga menyulitkan masyarakat pedesaan untuk mengakses pendidikan yang lebih tinggi. Fasilitas pendidikan yang tersedia belum merata atau masih terbatas khususnya bagi daerah pedesaan. Akibatnya sulit bagi anak-anak sekolah untuk mengakses layanan pendidikan

Putus sekolah bukan merupakan persoalan baru dalam sejarah pendidikan. Persoalan ini telah berakar dan sulit untuk dipecahkan, sebab ketika membicarakan solusi maka tidak ada pilihan lain kecuali memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Ketika berbicara peningkatan ekonomi keluarga terkait bagaimana meningkatkan sumberdaya manusianya. Sementara solusi yang diinginkan tidak akan lepas dari kondisi ekonomi nasional secara menyeluruh, sehingga kebijakan pemerintah berperan penting dalam mengatasi segala permasalahan termasuk perbaikan kondisi masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai faktor apa saja yang menjadi penyebab tingginya angka putus

sekolah di Kabupaten Garut, khususnya Kecamatan Tarogong Kidul. Maka dari

itu penulis mengambil judul “ANALISIS PENGARUH STATUS EKONOMI,

SOSIAL BUDAYA, DAN LINGKUNGAN GEOGRAFIS TERHADAP

PUTUS SEKOLAH DI KECAMATAN TAROGONG KIDUL KABUPATEN

GARUT”

(13)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka lingkup permasalahan dalam penelitian ini penulis identifikasi sebagai berikut:

1. Bagaimana status ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan geografis secara bersama-sama berpengaruh terhadap putus sekolah di Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut?

2. Bagaimana pengaruh status ekonomi terhadap putus sekolah di Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut?

3. Bagaimana pengaruh sosial budaya terhadap putus sekolah di Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut?

4. Bagaimana pengaruh lingkungan geografis terhadap putus sekolah di Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui bagaimana status ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan geografis secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat putus sekolah di Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut

2. Mengetahui pengaruh status ekonomi terhadap putus sekolah di Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut

3. Mengetahui pengaruh sosial budaya terhadap putus sekolah di Kecamatan

Tarogong Kidul Kabupaten Garut

(14)

4. Mengetahui pengaruh lingkungan geografis terhadap putus sekolah di Kecamatan Tarogong Kidul Kabupaten Garut

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan, baik kegunaan teoritis dalam rangka mengembangkan teori, maupun kegunaan praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara praktis diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran serta informasi mengenai faktor-faktor mempengaruhi tingkat putus sekolah di Kabupaten Garut khususnya kecamatan Tarogong Kidul, sehingga dapat memecahkan persoalan yang dihadapi oleh dunia pendidikan terutama yang berkaitan dengan putus sekolah.

2. Secara teoritis diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk memperkaya khasanah ilmu pendidikan

3. Secara umum diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan

terutama bagi pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat sebagai pelaku

yang terkait dengan dunia pendidikan khususnya di Kabupaten Garut.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan untuk besar hubungan antara variabel kecepatan angin yang terukur dengan konsentrasi TSP yang terhitung pada pengukuran yang dilakukan di Sentra Pengasapan

Informasi adalah data atau fakta-fakta yang telah diproses sedemikian rupa sehingga berubah bentuknya menjadi informasi. Persyaratan untuk mengambil keputusan dengan tehnik

Penggunaan yang tercantum dalam Lembaran Data Keselamatan Bahan ini tidak mewakili kesepakatan pada kualitas bahan / campuran atau penggunaan yang tercantum sesuai dalam kontrak.

Hasil tersebut tampak bahwa nilai signifikansi 0,782 lebih besar dari 0,05 sehingga, berdasarkan kriteria uji maka hipotesis nol (H0) diterima. Dengan hasil uji wilcoxon

Dari hasil pengujian yang dapat dilihat dari Tabel 4.11 diatas tahap pengujian yang menunjukkan rata-rata nilai error terkecil adalah pada percobaan jumlah

Oleh karena itu, jika para pemimpin atau mereka yang menjadi anutan masyarakat dapat memberikan teladan yang baik dalam kegiatan berbahasanya, maka pastilah masalah sikap bahasa

Opsi berikut dapat disetel ke Hidupkan atau Matikan: Grup pengguna Pilih grup Akses keluar Untuk mengaktifkan melumpuhkan opsi. atau Untuk memilih grup yang ada atau untuk membuat

Dalam pembelajaran menulis dongeng dengan menggunakan model SAVI akan mampu meningkatkan kemampuan siswa menulis dongeng karena siswa dituntut untuk menggunakan