Sispro di Bidang Transportasi ASDP” adalah merupakan salah satu rangkaian dari beberapa laporan yang harus dikerjakan oleh konsultan. Laporan ini pada hakekatnya menggambarkan sispro di bidang transportasi ASDP yang meliputi; sispro penetapan lintas ASDP, sispro penempatan kapal ASDP, sispro penanganan keadaan darurat di kapal dan di pelabuhan, sispro pemuatan barang berbahaya dan B3 melalui kapal ASDP, dan sispro pelayanan penumpang di atas kapal ASDP. Formulasi sispro tersebut adalah didasarkan pada data dan informasi dari lokasi studi serta beberapa literatur atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sispro tersebut.
Penelitian Penyusunan Sispro di Bidang Transportasi ASDP dilaksanakan atas dasar kerjasama antara PT. Diksa Intertama Consultan dan Puslitbang Darat Perhubungan dengan No. PL:.
102/5/1 – BLTD – 2009. Penyusunan substansi Executive Summary Report ini adalah atas kerjasama dan masukan Tim Pengarah dan Tim Pendamping.
Jakarta, 2009
PT. Diksa Intertama Consultan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyelenggara transportasi ASDP yang terkait dengan operasi, pembangunan dermaga serta perambuan dan navigasi masih terkait dengan transportasi laut. Sehubungan dengan hal tersebut di atas diperlukan adanya koordinasi kewenangan dan wilayah operasi antara transportasi laut, Pemerintah Daerah (pemda ) dan PT. ASDP Indonesia Ferry. Oleh karena itu diperlukan Sistem dan Prosedur ( sispro ) yang baku dan tidak saling tumpang tindih kewenangan.
Direktorat Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) ternyata tidak hanya membina kapal pada penyeberangan jarak dekat, tetapi juga jarak jauh misalnya lintas pulau Jawa ke Kalimantan dan sebaliknya. Jadi, domain regulasi keselamatannya menjadi tanggung jawab Ditjen Perhubungan Laut, Departemen Perhubungan. Oleh karena itu, harus ada harmonisasi agar masalah keselamatan pada transportasi public terutama angkutan sungai, danau dan penyeberangan menjadi perhatian bersama secara serius.
Untuk menjamin keselamatan transportasi publik terutama angkutan sungai, danau dan penyeberangan diperlukan adanya berbagai perangkat. Salah satu di antaranya adalah sispro angkutan transportasi ASDP yang hingga sekarang
masih banyak diminati pengguna jasa . Sispro dalam hal ini lebih ditekankan pada aspek penyelenggaraan yang tampaknya hingga sekarang belum diatur secara terklasifikasi dan sistematis pada setiap aspek penyelenggaraan ASDP.
Manfaat sispro penyelenggaraan transportasi ASDP adalah sebagai berikut; Pertama, terlihat secara jelas instansi/unit yang bertanggung jawab di dalam melaksanakan tugas. Kedua, rangkaian kegiatan dapat ditampilkan ataut diketahui sejak awal hingga terakhir pelaksanaan kegiatan. Ketiga, bilamana ada sesuatu permasalahan di dalam penyelenggaraan angkutan ASDP, maka secara dini dapat diketahui dimana letak permasalahan. Mengingat peran sispro yang relatif begitu besar untuk menjamin keselamatan dan efektifitas penyelenggaraana angkutan ASDP, maka perlu dirumuskan sispro transportasi bidang ASDP. Dengan adanya permasalahan dan manfaat seperti dijelsakan sebelumnya, maka diperlukan perlu adanya penyusunan sispro di bidang transportasi ASDP agar pelayanan terhadap masyarakat pengguna jasa ASDP lebih terjamin baik dari segi keselamatan, keamanan dan kenyamanannya. Karena itu, dengan memperhatikan urgensinya, maka beberapa sispro yang perlu dirumuskan adalah sebagai berikut;
1) Sispro penetapan lintas penyeberangan;
2) Sispro penetapan lintas angkutan danau/ sungai;
3) Sispro penempatan kapal pada lintas penyeberangan;
4) 4.Sispro penempatan kapal pada lintas angkutan sungai dan danau;
5) 5 Sispro penanganan kebakaran kapal penyeberangan;
6) Sispro penanganan kebakaran kapal sungai dan danau;
7) Sispro penanganan kebakaran di pelabuhan;
8) sispro penanganan orang jatuh ke laut;
9) Sispro penanganan bom/bahan peledak di pelabuhan penyeberangan;
10) Sispro penanganan bom/bahan peledak di pelabuhan sungai dan danau;
11) Sispro penanganan tubrukan kapal penyeberangan;
12) Sispro penanganan meninggalkan kapal;
13) Sispro pengangkutan bahan/ barang berbahaya dan beracun melalui angkutan Penyeberangan;
14) Sispro pengangkutan bahan/barang berbahaya dan beracun melalui angkutan sungai dan danau;
15) Sispro pelayanan penumpang kapal penyeberangan;
16) Sispro pelayanan penumpang di kapal sungai dan danau;
Untuk merumuskan beberapa sispro seperti disebutkan di atas, maka dalam tahun anggaran 2009 perlu dilakukan suatu kegiatan “Penelitian Penyusunan Sispro di Bidang Transportasi ASDP.
B. Pengertian SISPRO
Sebelum memformulasikan teknis perumusan hasil yang diharapkan dalam kegiatan “Penelitian Penyusunan Sispro di Bidang Transportasi ASDP” perlu dirumuskan terlebih dahulu pengertian “sispro” atau disebut “sistem dan prosedur”. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan adanya kesamaan pendapat di dalam proses pelaksanaan kegiatan implisit perumusan hasil yang diharapkan sesuai dengan Kerangka Acuan Kerja (TOR).
Sispro berasal dari dua terminilogi yaitu, “sistem” dan
“prosedur”. Secara teoritis sistem adalah kesatuan sejumlah sarana/elemen yang saling berkaitan satu dengan lainnya dan secara bersama-sama mengolah adanya rangsangan ( masukan atau input ) yang berasal dari lingkungan untuk menghasilkan suatu reaksi/output ( R. Matindas, Manejemen SDM, 2002 ). Pendapat lain menyatakan, sistem adalah kumpulan bagian-bagian yang saling terkait, berfungsi secara bersama untuk mencapai tujuan yang sama ( Richard L. Daft, Manajemen, 2003). Sementara prosedur adalah metode atau tata cara untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah ( Pasal 9 ayat (1) dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota ).
Berdasarkan rangkaian pengertian seperti diikhtisarkan sebelumnya dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa sispro adalah suatu tata cara ( metode ) pelaksanaan kegiatan dimulai pada tahap awal hingga pada tahap akhir secara
berkesinambungan untuk mewujudkan suatu tujuan yang telah ditetapkan. Atau dengan kata lain, sispro adalah suatu proses kegiatan yang terdiri dari berbagai tahapan aktivitas yang harus dilaksanakan secara berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini berarti, ada titik awal ( starting point ) dan titik akhir ( ending point ) yang harus dilakukan dalam rangka mencapai tujuan. Bilamana pengertian tersebut dikaitkan dengan beberapa sispro yang harus dirumuskan sebagai hasil yang diharapkan dalam TOR, maka dalam hal ini akan terlihat sebagai berikut;
Berdasarkan pengertian seperti telah dijelaskan sebelumnya, dikaitkan dengan sispro penetapan lintas penyeberangan, maka Sispro Penetapan Lintas Penyeberangan adalah suatu proses kegiatan yang dimulai dari tahap awal hingga tahapan akhir dan saling berkesinambungan hingga pada akhirnya ditetapkannya lintas penyeberangan.
Dalam hal ini perlu dibedakan lintas penyeberangan dengan alur pelayaran. Sekilas dua terminologi tersebut adalah relatif sama, namun di dalam kenyataannya dua terminologi tersebut adalah saling komplementer, artinya alur pelayaran adalah bersifat menjelaskan secara detail apa yang dimaksud lintas penyeberangan. Hal ini dapat dilihat, bahwa “Lintas Penyeberangan” adalah suatu alur perairan di laut, selat, teluk, sungai dan/atau danau yang ditetapkan sebagai lintas
penyeberangan ( Keputusan Menteri Perhubungan No. 32 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan ). Sementara alur pelayaran adalah bagian dari perairan yang alami maupun buatan yang dari segi kedalaman, lebar dan hambatan pelayaran lainnya dianggap aman untuk dilayari ( Penjelasan Umum, di Dalam SK.
Dirjen Perhubungan Darat No. HK. 2006/1/20/DRPD/93 tentang Pedoman Teknis Pemeliharaan dan Pengerukan Alur Pelayaran Daratan dan Penyeberangan).
Berkenaan dengan itu, dapat diambil kesimpulan, bahwa alur pelayaran lebih memperjelas pengertian lintas penyeberangan dan juga bersifat teknis, kerena sudah menyebutkan kedalaman, lebar dan hambatan. Ini berarti, penetapan lintas penyeberangan telah memperhitungkan berbagai faktor yang sifatnya kohesif terutama yang berkaitan dengan keselamatan dan kelayakan ditetapkannya lintas penyeberangan
C. Maksud dan tujuan
Maksud studi adalah merumuskan konsep sispro yang mampu mengakomodir semua kepentingan instansi terkait di bidang transportasi ASDP. Tujuan studi adalah meningkatnya penyelenggaraan transportasi ASDP yang efektif dan efisien.
D. Hasil Yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari studi ini adalah terwujudnya sispro ASDP yang meliputi sebagai berikut;
1) Sispro penetapan lintas penyeberangan;
2) Sispro penetapan lintas angkutan danau/ sungai;
3) Sispro penempatan kapal pada lintas penyeberangan;
4) Sispro penempatan kapal pada lintas angkutan sungai dan danau;
5) Sispro penanganan kebakaran kapal penyeberangan;
6) Sispro penanganan kebakaran kapal sungai dan danau;
7) Sispro penanganan kebakaran di pelabuhan;
8) sispro penanganan orang jatuh ke laut;
9) Sispro penanganan bom/bahan peledak di pelabuhan penyeberangan;
10) Sispro penanganan bom/bahan peledak di pelabuhan sungai dan danau;
11) Sispro penanganan tubrukan kapal penyeberangan;
12) Sispro penanganan meninggalkan kapal;
13) Sispro pengangkutan bahan/ barang berbahaya dan beracun melalui angkutan Penyeberangan;
14) Sispro pengangkutan bahan/barang berbahaya dan beracun melalui angkutan sungai dan danau;
15) Sispro pelayanan penumpang kapal penyeberangan;
16) Sispro pelayanan penumpang di kapal sungai dan danau;
E. Lokasi Studi
Lokasi penelitian penyusunan sispro di bidang transportasi ASDP ditetapkan di beberapa daerah yaitu sebagai berikut : Denpasar, Lampung dan Banjarmasin.
F. Ruang Lingkup Kegiatan
Secara garis besar, ruang lingkup kegiatan ”Penelitian Penyusunan Sispro di Bidang Transportasi ASDP adalah sebagai berikut;
1. Invetarisasi ;
Kegiatan inventarisasi dilakukan terhadap data sekunder maupun data yang bersifat primer. Data sekunder diperoleh dari intansi terkait berupa dokumen dan atau dalam bentuk laporan yang berkaitan dengan kegiatan – kegiatan transportasi pada masing – masing instansi terkait. Di sisi lain dapat juga kepada beberapa individu dan atau para pejabat yang memiliki pengengetahun atau wawasan di bidang transportasi ASDP. Karena itu, beberapa keiatan inventarisasi yang dilakukan adalah sebagai berikut;
a. Inventarisasi kegiatan-kegiatan trasportasi ASDP yang terkait dengan instansi lain;
Untuk menginventarisasi kegiatan – kegiatan transportasi ASDP yang terkait dengan instansi lain dilakukan pendekatan dari segi tingkat kewenangan yaitu, kewenangan kabupaten/kota pada kegiatan – kegiatan transportasi ASDP, kewenangan Pemerintah Provinsi pada kegiatan – kegiatan ASDP, dan kewenangan Pemerintah Pusat pada kegiatan – kegiatan ASDP. Kewenangan kabupaten/kota pada kegiatan-kegiatan transportasi ASDP adalah kegiatan- kegiatan transportasi antar desa di dalam kabupaten/kota. Sedangkan kewenangan pemerintah provinsi pada kegiatan-kegiatan ASDP adalah kegiatan-kegiatan ASDP antar kabupaten/kota di dalam provinsi. Dan kewenangan Pemerintah pusat pada kegiatan-kegiatan transportasi ASDP adalah kegiatan-kegiatan ASDP antar provinsi maupun antar Negara. Dalam hal ini yang perlu diinventarisasi adalah instansi – instansi apa saja yang terkait pada setiap tingkatan kewenangan. Karena itu, diperkirakan instansi yang terkait dalam kewenangan kabupatan/kota pada kegiatan –kegiatan ASDP adalah antata lain sebagai berikut;
1) Instansi yang terkait di dalam pelaksanaan kegiatan- kegiatan transportasi angkutan Sungai dan Danau di dalam kabupaten/kota, antar kabupaten/kota di
dalam provinsi serta antar provinsi adalah sebagai berikut;
a) Pemerintah Kabupaten/Kota cq. Dinas Perhubungan Kabupaten/kota dan Dinas Pekerjaan Umum di dalam pembanunan jalan;
b) Direktorat ASDP;
c) PT ASDP Indonesia Ferry.
2) Kegiatan – kegiatan transportasi angkutan Penyeberangan di dalam kabupaten/kota, antar kabupaten/kota di dalam provinsi serta antar provinsi, instansi terkait adalah sebagai berikut;
a) Pemerintah Kabupaten/Kota cq. Dinas Perhubungan Kabupaten/kota;
b) Pemerintah Provinsi cq. Dinas Perhubungan Provinsi;
c) Direktorat ASDP;
d) PT ASDP Indonesia Ferry;
e) Administrator Pelabuhan;
f) Ditjen Perhubungan Laut.
3) Pada instansi seperti dijelaksan sebelumnya, akan diinventarisasi terutama kegiatan yang dilakukan di bidang ASDP
2. Melakukan identifikasi beberapa sispro yang menjadi hasil yang diharapkan/ output
3. Melakukan kajian permasalahan meliputi;
a. Kajian permasalahan dan kelemahan koordinasi instansi terkait di dalam pelaksanaan kegiatan – kegiatan di bidang transportasi ASDP serta perumusan skenario solusi alternatif pemecahan permasalahan dan kelemahan terutama pada beberapa sispro seperti dijelaskan sebelumnya.
b. Kajian permasalahan dan kelemahan kebijakan instansi terkait di dalam pengembangan ASDP serta perumusan skenario solusi alternatif pemesahan permasalahan dan kelemahan pada beberapa sispro seperti dijelaskan sebelumnya.
c. Kajian dan evalusi tingkat kepentingan masing – masing instansi yang terkait di dalam kegiatan transportasi ASDP terutama pada beberapa sispro seperti dijelaskan sebelumnya.
4. Berdasarkan hasil kajian seperti dijelaskan sebelumnya, maka selanjutnya dirumuskan konsep sispro bidang transportasi ASDP
BAB II
SISPRO BIDANG TRANSPORTASI ASDP
A. Umum
Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari lokasi studi serta peraturan perundang-undangan yang diformulasikan di dalam Laporan Antara, maka dalam Bab ini akan dirumuskan sispro di bidang transportasi ASDP. Beberapa sispro transportasi ASDP yang disusun adalah sebagai berikut:
Sispro penelatan lintas penyeberangan meliputi;
1. Sispro penetapan lintas penyeberangan yang meliputi;
a. Sispro penetapan lintas angkutan penyeberangan.
b. Sispro penetapan lintas angkutan danau/ sungai.
2. Sispro penempatan kapal pada lintas penyeberangan ASDP meliputi
a. Sispro penempatan kapal pada lintas angkutan penyeberangan.
b. Sispro penempatan kapal pada lintas angkutan danau/sungai
3. Sispro penanganan keadaan darurat di kapal dan di pelabuhan ASDP meliputi;
a. Sispro penanganan kebakaran penyeberangan.
b. Sispro penanganan kebakaran kapal danau/sungai
c. Sispro penanganan kebakaran di pelabuhan d. sispro penanganan orang jatuh ke laut
e. Sispro penanganan bom/bahan peledak di pelabuhan penyeberangan.
f. Sispro penanganan bom/bahan peledak di pelabuhan danau/sungai
g. Sispro penanganan tubrukan kapal penyeberangan h. Sispro penanganan meninggalkan kapal
3. Sispro pemuatan barang berbahaya dan B3 melalui ASDP meliputi;
a. Sispro pengangkutan barang berbahaya dan B3 melalui angkutan Penyeberangan.
b. Sispro pengangkutan barang berbahaya dan B3 melalui angkutan danau/sungai
4. Sispro pelayanan penumpang di atas kapal ASDP meliputi.
a. Sispro pelayanan penumpang di atas kapal penyeberangan.
b. Sispro pelayanan penumpang di atas kapal danau/sungai.
Dengan demikian, dalam Bab ini jumlah rumusan sispro di bidang transportasi ASDP terdapat 16 ( enam belas ) dalam bentuk konsep peraturan.
B. Sispro di Bidang Transportasi ASDP
1.Sispro Penetapan Lintas Angkutan Penyeberangan
KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR. ...
TENTANG
SISPRO PENETAPAN LINTAS ANGKUTAN PENYEBERANGAN
MENTERI PERHUBUNGAN
Menimbang : bahwa untuk keselamatan dan keamanan penyelenggaraan angkutan penyeberangan perlu diatur lebih lanjut ketentuan mengenai lintas angkutan penyeberangan.
Mengingat : 1. Undang – Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pada Pasal 22 dan Pasal 23
2. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan pada Pasal 75 dan Pasal 77
3. Keputusan Menteri Perhubungan No. 32 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan
Angkutan Penyeberangan pada Pasal 2, Pasal 7 dan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2)
4. Keputusan Menteri Perhubungan No. 52 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Penyeberangan pada Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18
5. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG SISPRO PENETAPAN LINTAS ANGKUTAN PENYEBERANGAN
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan;
1. Angkutan penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan bergerak yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang terputus karena adanya perairan, untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya.
2. Lintas angkutan penyeberangan adalah suatu alur perairan di laut, selat, teluk, sungai dan/atau danau yang ditetapkan sebagai lintas penyeberangan.
3. Simpul adalah dua wilayah dan atau dua pelabuhan yang dihubungkan lintas angkutan penyeberangan.
4. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
5. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.
6. Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu.
7. Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan
perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
8. Badan Klasifikasi adalah lembaga klasifikasi kapal yang melakukan pengaturan kekuatan konstruksi dan permesinan kapal, jaminan mutu material marine, pengawasan pembangunan, pemeliharaan, dan perombakan kapal sesuai dengan peraturan klasifikasi.
9. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
10. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan.
11. Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) adalah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran.
12. Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil.
13. Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan
tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
14. Anak Buah Kapal adalah Awak Kapal selain Nakhoda.
15. Kenavigasian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran, Telekomunikasi-Pelayaran, hidrografi dan meteorologi, alur dan perlintasan, pengerukan dan reklamasi, pemanduan, penanganan kerangka kapal, salvage dan pekerjaan bawah air untuk kepentingan keselamatan pelayaran kapal.
16. Navigasi adalah proses mengarahkan gerak kapal dari satu titik ke titik yang lain dengan aman dan lancar serta untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan-pelayaran.
17. Alur-Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari.
18. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran adalah peralatan atau sistem yang berada di luar kapal yang didesain dan dioperasikan untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi bernavigasi kapal dan/atau lalu lintas kapal.
19. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran
20. Otoritas Pelabuhan (Port Authority) adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan
fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial.
21. Unit Penyelenggara Pelabuhan adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan kepelabuhanan, dan pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.
22. Badan Usaha Pelabuhan adalah Badan Usaha yang kegiatan usahanya khusus di bidang pengusahaan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya.
23. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi 24. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
25. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
26. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran.
BAB II
PETIMBANGAN DAN KRITERIA PENETAPAN LINTAS PENYEBERANGAN
Bagian Pertama Pertimbangan
Pasal 2
(1) Dinas Perhubungan harus memperhatikan secara seksama, bahwa di dalam penetapan lintas penyeberangan perlu mempertimbangkan beberapa aspek yaitu;
a. Rencana tata ruang kabupaten/kota, provinsi dan tata ruang tingkat nasional
b. hubungan antara dua pelabuhan, antara pelabuhan dan terminal, dan antara dua terminal penyeberangan dengan jarak tertentu
c. tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan pengangkutnya
d. jaringan trayek angkutan laut yang dapat mencapai optimalisasi keterpaduan angkutan antar dan intermoda e. tatanan kepelabuhan
(2) Angkutan penyeberangan dilaksanakan dengan menggunakan trayek yang teratur
Bagian kedua Kriteria Pasal 3
(1) Dinas Perhubungan di dalam penetapan lintas penyeberangan harus memperhatikan beberapa kriteria;
a. menghubungkan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang terputus oleh laut, selat, teluk,
b. melayani lintas dengan tetap dan teratur, berdasarkan jadwal yang ditetapkan
c. berfungsi sebagai sebagai jembatan bergerak d. tidak mengangkut barang lepas
e. adanya demand angkutan penyeberangan
f. rencana dan/atau ketersediaan pelabuhan penyeberangan g. ketersediaan kapal penyeberangan ( supply ) sesuai
dengan spesifikasi teknis kapal dan spesifikasi pelabuhan pada lintas yang dilayani
h. Potensi perekonomian daerah
BAB III
PENETAPAN LOKASI PELABUHAN Bagian Pertama
Pertimbangan Penetapan Pelabuhan Pasal 4
(3) Dinas Perhubungan di dalam penetapan lokasi pelabuhan harus mempertimbangkan beberapa aspek yaitu sebagai berikut;
a. Tatanan kepelabuhanan nasional
b. Rencanata tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana tata ruang wilayah provinsi serta rencana umum jaringan transportasi jalan
c. Kelayakan teknis dengan memperhatikan kondisi geografis, hidrooceanografi dan topografi
d. Kelayakan ekonomis dengan memperhatikan kondisi produk domestik regional bruto, aktivitas perdagangan dan industri yang ada serta prediksi dimasa mendatang, perkembangan aktivitas volume barang dan penumpang, kontribusi pada peningkatan taraf hidup penduduk dan perhitungan ekonomis/finansial
e. Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial yang berdampak pada peningkatan aktivitas penumpang, barang dan hewan dari dan ke luar pelabuhan penyeberangan
f. Kelayakan ekonomi dan perkembangan sosial yang berdampak pada peningkatan aktifitas penumpang, barang dan hewan dari dan ke luar pelabuhan penyeberangan
g. Keterpaduan intra dan antar moda transportasi
h. Adanya aksesibilitas terhadap hinterland untuk kelancaran ditribusi dan industri
i. Keamanan dan keselamatan pelayaran j. Pertahanan dan keamanan negara
Bagian Kedua
Kriteria Penetapan Pelabuhan Pasal 5
(1) Dinas Perhubungan dan BMG serta Badan Pertahanan perlu melakukan kerjasama di dalam menetapkan pelabuhan dengan kriteria;
a. faktor geografis terutama luas dan kondisi lahan yang akan diperuntukkan sebagai pelabuhan penyeberangan b. kondisi topografi meliputi tinggi rendahnya permukaan tanah (2) Dinas Perhubungan dan BMG bekerjasama di dalam menetapkan kriteria penetapan pelabuhan dengan kriteria kondisi hidrooceanografi meliputi;
a. luas lahan dan kedalaman perairan b. arah dan kecepatan angin
c. karakteristik pasang surut d. karakteristik gelombang e. arah dan kecepatan arus f. erosi dan pengendapan
BAB IV
JARINGAN JALAN DAN POTENSI EKONOMI Bagian Pertama
Jaringan Jalan
Pasal 6
(1) Dinas Perhubungan melakukan kajian RTRW kabupaten/kota, provinsi dan nasional dengan berkoordinasi dengan Bappeda, Dinas PU dengan maksud untuk mengetahui;
a. Dinas Perhubungan melakukan koordinasi dengan Bappeda, Dinas PU untuk melakukan kajian RTRW yang diperuntukkan untuk pengembangan dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan Penyeberangan
b. Dinas Perhubungan melakukan koordinasi dengan Bappeda, Dinas Pu untuk melihat akses/ antar jaringan jalan desa ke antar jaringan jalan kabupaten/kota dan ke antar jaringan jalan provinsi dan jaringan jalan nasional yang sudah ada pada dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan Penyeberangan
c. Dinas Perhubungan melakukan koordinasi dengan Bappeda, dan Dinas PU, untuk melihat rencana pembangunan antar jaringan jalan desa ke antar jaringan jalan kabupaten, dan ke antar jaringan jalan provinsi dan jalan nasional menuju dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan Penyeberangan
d. Dinas Pekerjaan PU merencanakan dan membangun pelabuhan lintas penyeberangan di dua simpul yang dihubungkan lintas penyeberangan
e. Dinas Perhubungan merencanakan dan membangun pelabuhan lintas penyeberangan sesuai dengan kaharakteristik gelombang
Bagian Kedua
Perhitungan Potensi dan Dmand Pasal 7
(1) Dinas Perhubungan melakukan kajian dan perhitungan potensi sosek dan demand pada dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan penyeberangan, dengan berkoordinasi dengan Bappeda, Dinas Pertanian dan BPS, dimana hasil kajian harus menggambarkan sebagai berikut;
a. Dinas Perhubungan dengan melakukan koordinasi dengan Dinas Pertanian untuk melakukan perhitungan potensi produksi komoditas pada dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan penyeberangan
b. Dinas Perhubungan memperkirakan pergerakan berbagai komoditas di sua simpul yang dihubungkan lintas angkutan penyeberangan dengan berkoordinasi dengan Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas perdagangan dan BPS
c. Dinas Perhubungan dengan berkoordinasi dengan BPS melakukan perhitungan potensi penduduk di dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan penyeberangan.
d. Dinas Perhubungan dengan berkoordinasi dengan BPS melakukan perhitungan pergerakan orang/penumpang antar dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan Penyeberangan.
e. BPS melakukan perhitngan pendapatan per kapita pada dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan Penyeberangan sebagai masukan untuk menentukan
apakah lintas tersebut dapat menjadi komersial atau perlu disubsidi.
f. Dinas Perhubungan menetapkan/memperhitungkan demand lintas penyeberangan.
(2) Dinas Pekerjaan PU merencanakan dan membangun pelabuhan lintas penyeberangan di dua simpul yang dihubungkan lintas penyeberangan
(3) Dinas Perhubungan merencanakan dan membangun pelabuhan lintas penyeberangan sesuai dengan kaharakteristik gelombang
BAB V
KARAKTERISTIK LINTASAN DAN KETERSEDIAAN KAPAL Bagian Pertama
Pasal 8
KARAKTERISTIK LINTASAN
(1) Pemerintah dengan berkoordinasi dengan BMG melakukan identifkasi dan kajian karakteristik lintasan yang dihubungkan dua simpul
(2) Hasilkajian yang dilakukan oleh Pemerintah dengan koordinasi dengan BMG dari kajian karakteristik lintasan akan menggambarkan;
a. tinggi gelombang b. kecepatan angin c. kedalaman alur
(3) Dinas Pekerjaan PU merencanakan dan membangun pelabuhan lintas penyeberangan di dua simpul yang dihubungkan lintas penyeberangan
(4) Dinas Perhubungan merencanakan dan membangun pelabuhan lintas penyeberangan sesuai dengan kaharakteristik gelombang
Bagian Kedua Pasal 9
INFORMASI SPESIFIKASI KAPAL
(1) Dinas Perhubungan menginformasikan kriteria lintasan angkutan penyeberangan kepada para pengusaha kapal.
(2) Pengusaha kapal angkutan penyeberangan mendisain kapal sesuai dengan karakteristik lintasan yang akan dilayani.
(3) Dinas Perhubungan memperhatikan keterpaduan antar dan intermoda transportasi pada dua simpul yang dihubungkan.
BAB VI
PERMOHONAN DAN KEWENANGAN Bagian Pertama
PERMOHONAN Pasal 10
(1)Permohonan penetapan lokasi pelabuhan diajukan oleh penyelenggara pelabuhan penyeberangan kepada Menteri
melalui Direktur Jenderal dengan melampirkan sebagai berikut;
d. rekomendasi dari Bupati/Walikota dan Gubernur setempat mengenai keterpaduannya dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana tata ruang wilayah provinsi
e. studi kelayakan yang memuat pertimbangan kelayakan dari teknis ( kondisi geografis, hidroeceanografi dan topografi) dan kelayakan ekonomis ( PDRB, aktifitas /perdagangan dan industri serta prediksi dimasa mendatang, perkembangan volume barang dan penumpang, kontribusi pada peningkatan taraf hidup penduduk dan perhitungan ekonomis/finansial )
(4) Direktur Jenderal menyampaikan hasil penelitian tentang kelengkapan data dan informasi berikuat kelayakan kepada Menteri selambat-lambatnya 14 ( empat belas ) hari kerja sejak diterima
(5) Penolakan permohonan disampaikan secara tertulis dengan disertai alasan penolakan
(6) Bentuk permohonan dan penolakan/persetujuan penetapan lokasi pelabuhan penyeberangan adalah terlampir
Bagian Kedua KEWENANGAN
Pasal 11
(1) Lintas angkutan penyeberangan ditetapkan sesuai dengan kewenangan
(2) Kewenangan yang menetapkan lintas angkutan Dana/Penyeberangan ditetapkan sebagai berikut;
a Lintas angkutan Penyeberangan dalam Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota
b Lintas angkutan Penyeberangan antar Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Gubernur
c Lintas angkutan Penyeberangan antar Provinsi ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
(3) Khusus untuk penetapan lintas angkutan Penyeberangan antar provinsi, Dinas Perhubungan Provinsi mengajukan ke Pemerintah yang dalam hal ini Menteri Perhubungan untuk mendapat pengesahan.
2. Sispro Penetapan Lintas Angkutan Sungai/ danau
KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR. ...
TENTANG
SISPRO PENETAPAN LINTAS ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU
MENTERI PERHUBUNGAN
Menimbang : bahwa untuk keselamatan dan keamanan penyelenggaraan angkutan penyeberangan perlu diatur lebih lanjut ketentuan mengenai lintas angkutan penyeberangan.
Mengingat : 1. Undang – Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 18 Ayat (4), Ayat (5) dan Ayat ( 6)
2. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan, Pasal 12 dan Pasal 14
3. Keputusan Menteri Perhubungan No. 73 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sungai dan Danau Pada Pasal 14
4. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembangian Urusan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG SISPRO PENETAPAN LINTAS ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan;
1. Angkutan Sungai dan Danau adalah kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal yang dilakukan di sungai, danau, waduk, rawa, anjir, kanal dan terusan untuk mengangkut penumpang, barang dan/atau hewan yang diselenggarakan oleh pengusaha angkutan sungai dan danau.
2. Kapal Sungai dan Danau adalah kapal yang dilengkapi dengan alat penggerak motor atau bukan motor yang digunakan untuk angkutan sungai dan danau.
3. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
4. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan.
5. Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) adalah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran.
6. Otoritas Pelabuhan (Port Authority) adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial.
7. Unit Penyelenggara Pelabuhan adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan kepelabuhanan, dan pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.
8. Badan Usaha Pelabuhan adalah Badan Usaha yang kegiatan usahanya khusus di bidang pengusahaan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya.
9. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.
10. Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang, status
hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu.
11. Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
12. Badan Klasifikasi adalah lembaga klasifikasi kapal yang melakukan pengaturan kekuatan konstruksi dan permesinan kapal, jaminan mutu material, pengawasan pembangunan, pemeliharaan, dan perombakan kapal sesuai dengan peraturan klasifikasi.
13. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
14. Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
15. Anak Buah Kapal adalah Awak Kapal selain Nakhoda.
16. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi
untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.
17. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
18. Kemasan adalah tempat/pelindung yang berada lebih luar dari wadah dan tidak berhubungan langsung dengan bahan/barang berbahaya dan beracun (bahan/barang berbahaya dan beracun).
19. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang tugas tanggungjawabnya di bidang angkutan sungai dan danau.
20. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang pelayaran.
21. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi 22. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
23. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
24. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran.
BAB II
KRITERIA DAN WILAYAH OPERASI PENETAPAN LINTAS ANGKUTAN SUNGAI DAN DANAU
Bagian Pertama Kriteria Penetapan
Pasal 2
(1) Dinas Perhubungan menetapkan lintas angkutan sungai dan danau harus memperhatikan beberapa kriteria sebagai berikut;
a. Kegiatan angkutan sungai dan danau disusun dan dilaksanakan secara terpadu dengan memperhatikan intra dan antarmoda yang merupakan suatu kesatuan sistem transportasi nasional
b. Kegiatan angkutan sungai dan danau dapat dilaksanakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur atau trayek tidak tetap dan tidak teratur
c. Kegiatan angkutan sungai dan danau dilarang dilakukan di laut kecuali mendapat izin dari Syahbandar dengan tetap memenuhi persyaratan kelaiklautan
d. Menghubungkan dua daratan atau wilayah yang terputus oleh sungai dan danau
e. Menghubungkan dua jaringan jalan yang terputus oleh sungai dan danau
f. Kesesuaian dengan tata ruang daerah kabupaten/kota, provinsi dan tata ruang nasional
g. Adanya perlintasan angkutan sungai dan danau antar dua simpul yang terputus oleh sungai dan danau
Bagian Kedua Wilayah Operasi
Pasal 3
(1) Dinas Perhubungan harus memperhatikan beberapa aspek di dalam penetapan lintas angkutan sungai dan danau yaitu sebagai berikut;
a. penetapan trayek dilakukan dengan memperhatikan pengembangan wilayah potensi angkutan dan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang tersusun dalam suatu kesatuan tatanan transportasi nasional b. trayek berfungsi sebagai untuk menghubungkan simpul
pada pelabuhan sungai dan danau, dan pelabuhan laut yang berada dalam satu alur
c. wilayah operasi angkutan sungai dan dan danau meliputi sungai, danau, rawa, anjir, kanal dan terusan
BAB IV
TRAYEK DAN KEBERADAAN JARINGAN JALAN Bagian Pertama
Trayek Tetap dan Teratur Pasal 4
(1) Dinas Perhubungan harus memperhatikan, bahwa jaringan trayek terdiri dari;
a. trayek untama, yaitu menghubungkan antar pelabuhan sungai dan danau yang berfungsi sebagai pusat penyeberan
b. trayek cabang, yaitu menghubungkan antara pelabuhan sungai dan danau yang berfungsi sebagai pusat penyeberan dengan yang bukan berfungsi sebagai pusat penyeberan atau antar pelabuhan sungai dan danau yang bukan berfungsi sebagai pusat penyebaran (2) Dinas Pehubungan harus memperhatikan, bahwa untuk
penetapan jaringan trayek angkutan sungai dan danau mempertimbangkan beberapa hal yaitu sebagai berikut;
a. tatanan kepelabuhanan nasional
b. adanya demand ( kebutuhan angkutan )
c. rencana dan/atau ketersediaan pelabuhan sungai dan danau
d. ketersediaan kapal sungai dan danau ( supply ) sesuai dengan spesifikasi teknis kapal dan spesifikasi pelabuhan pada trayek yang akan dilayani
e. potensi perekonomian daerah
Bagian KeduaI
Keberadaan Jaringan Jalan Tata Ruang Wilayah Pasal 5
(1) Dinas Perhubungan melakukan koordinasi dengan Bappeda serta Dinas Pekerjaan Umum menelaah RTRW
kabupaten/kota, provinsi dan tata RTRW nasional dengan maksud untuk mengetahui:
a. Ruang yang diperuntukkan untuk pengembangan dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan Sungai dan danau
b. Jaringan jalan desa ke antar jaringan jalan kabupaten/kota dan ke antar jaringan jalan provinsi, serta ke antar jaringan jalan nasional yang sudah ada pada dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan sungai dan danau
c. Melihat rencana pembangunan antar jaringan jalan desa ke antar jaringan jalan kabupaten/kota , dan ke antar jaringan jalan provinsi serta ke antar jaringan jalan nasional menuju dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan sungai dan danau
(2) Dinas Pehubungan memperhatikan secara seksama adanya jaringan jalan dengan kelas yang sama yang terputus oleh sungai dan danau
BAB V
POTENSI EKONOMI DAN TATA KEPALBUHANAN Bagian Pertama
Potensi Ekonomi dan Demand Pasal 6
(7) Dinas Perhubungan melakukan koordinasi dengan Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan serta BPS untuk melakukan kajian dan perhitungan potensi ekonomi dan demand pada dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan
sungai dan danau. Dari hasil hasil kajian akan menggambarkan beberapa aspek yaitu sebagai berikut;
a. Dinas Perhubungan melakukan koordinasi untuk menghitung potensi produksi komoditas pada dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan Sungai dan danau
b. Dinas Perhubungan melakukan koordinasi dengan Bappeda, Dinas Pertanian, Dinas Perdagangan dan BPS untuk memperkirakan pergerakan berbagai komoditas antar dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan sungai dan danau.
c. Dinas Perhubungan melakukan koordinasi dengan BPS untuk menghitung potensi penduduk di dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan Sungai dan danau.
d. Dinas Perhubungan melakukan kajian perkiraan pergerakan orang/penumpang antar dua simpul yang dihubungkan lintas sungai dan danau.
e. BPS melakukan kajian perhitungan pendapatan per kapita di dua simpul yang dihubungkan lintas sungai dan danau.
f. Dinas Perhubungan memperkirakan jumlah kapal yang dibutuhkan pada lintas angkutan sungai dan danau.
Bagian Kedua Tata Kepelabuhanan
Pasal 7
(1) Dinas Perhubungan memperhatikan secara seksama serta menyesuaikan tata pelabuhan tingkat nasional untu dijadikan
sebagai pedoman pembangunan pelabuhan lintas angkutan sungai dan danau
(2) Dinas Perhubungan melakukan kajian kelayakan pembangunan pelabuhan di dua simpul yang dihubungkan angkutan lintas angkutan sungai dan danau dengan maksud untuk mengetahui kelayakan dari segi teknis, lingkungan, finansial dan ekonomi serta dari segi aspek sosial
BAB VI
KARAKTERISTIK LINTASAN DAN INFORMASI Bagian Pertama
Kharakteristik Lintasan Angkutan Sungai Pasal 8
(1) Dinas Perhubungan melakukan identifkasi dan kajian karakteristik lintasan angkutan Sungai dan danau.
(2) Hasil kajian yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan menyangkut karakteristik lintasan angkutan sungai dan danau yang menggambarkan beberapa aspek yaitu sebagai berikut;
a. Kesecapatan arus;
b. Luas sungai dan danau;
c. Bangunan yang ada di sepanjang sungai dan danau d. Kedalaman air
e. Disain kapal sesuai dengan kecepatan arus, luas sungai dan danau, dan kedalaman air
(3) Dinas Pekerjaan umum merencanakan dan membangun kelas jaringan jalan yang sama di dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan sungai dan danau
(4) Dinas Perhubungan merencanakan dan membangun pelabuhan di dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan sungai dan danau
Bagian Kedua
Informasi Kharakteristik Lintasan Angkutan Sungai dan Danau Pasal 9
(1) Dinas Perhubungan menginformasikan karakteristik lintasan angkutan sungai dan danau kepada para pengusaha kapal
(2) Pengusaha kapal angkutan sungai dan danau mendisain kapal sesuai dengan karakteristik lintasan angkutan Sungai dan danau yang dilayani
(3) Dinas Perhubungan memperhatikan keterpaduan antar dan intermoda transportasi pada dua simpul yang dihubungkan lintas angkutan Sungai dan danau
BAB VI
PERMOHONAN DAN KEWENANGAN Bagian Pertama
Permohonan Pasal 10
(1) Permohonan penetapan lokasi pelabuhan diajukan oleh penyelenggara pelabuhan penyeberangan kepada Menteri
melalui Direktur Jenderal dengan melampirkan sebagai berikut;
g. rekomendasi dari Bupati/Walikota dan Gubernur setempat mengenai keterpaduannya dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan rencana tata ruang wilayah provinsi
h. studi kelayakan yang memuat pertimbangan kelayakan dari teknis ( kondisi geografis, hidroeceanografi dan topografi) dan kelayakan ekonomis ( PDRB, aktifitas /perdagangan dan industri serta prediksi dimasa mendatang, perkembangan volume barang dan penumpang, kontribusi pada peningkatan taraf hidup penduduk dan perhitungan ekonomis/finansial )
(2) Direktur Jenderal menyampaikan hasil penelitian tentang kelengkapan data dan informasi berikuat kelayakan kepada Menteri selambat-lambatnya 14 ( empat belas ) hari kerja sejak diterima
(3) Penolakan permohonan disampaikan secara tertulis dengan disertai alasan penolakan
Bagian Kedua Kewenangan
Pasal 11
(1) Kewenangan yang menetapkan lintas angkutan sungai dan danau ditetapkan sebagai berikut;
d Lintas angkutan angkutan sungai dan danau antar desa di dalam kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota e Lintas angkutan sungai dan danau antar kabupaten/kota
ditetapkan oleh Gubernur
f Lintas angkutan sungai dan danau antar provinsi ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
(2) Khusus untuk penetapan lintas angkutan Penyeberangan antar provinsi, Dinas Perhubungan Provinsi, Bupati/Wwalikota dan Gubernur mengajukan ke Pemerintah melalui Menteri Perhubungan untuk mendapat pengesahan.
3. Sispro Penempatan Kapal Pada Lintas Angkutan Penyeberangan
KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR. ...
TENTANG
SISPRO PENEMPATAN KAPAL PADA LINTAS ANGKUTAN PENYEBERANGAN
MENTERI PERHUBUNGAN
Menimbang : bahwa untuk keselamatan dan keamanan penyelenggaraan angkutan penyeberangan perlu diatur lebih lanjut ketentuan mengenai penempatan kapal pada lintas angkutan penyeberangan.
Mengingat : 1. Undang – Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 75, Pasal 117, Pasal 124 2. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 1999
tentang Angkutan di Perairan, Pasal 16, Pasal 31,
3. Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2002 tentang Perkapalan, Pasal 2
4. Keputusan Menteri Perhubungan No. 32 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan, Pasal 10, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 37, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 51
5. SOLAS
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG SISPRO PENEMPATAN KAPAL PADA LINTAS ANGKUTAN
PENYEBERANGAN BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan;
1. Angkutan penyeberangan adalah angkutan yang berfungsi sebagai jembatan bergerak yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang terputus karena adanya perairan, untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya.
2. Lintas angkutan penyeberangan adalah suatu alur perairan di laut, selat, teluk, sungai dan/atau danau yang ditetapkan sebagai lintas penyeberangan.
3. Simpul adalah dua wilayah dan atau dua pelabuhan yang dihubungkan lintas angkutan penyeberangan.
4. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
5. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.
6. Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu.
7. Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
8. Badan Klasifikasi adalah lembaga klasifikasi kapal yang melakukan pengaturan kekuatan konstruksi dan permesinan kapal, jaminan mutu material marine, pengawasan pembangunan, pemeliharaan, dan perombakan kapal sesuai dengan peraturan klasifikasi.
9. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
10. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan.
11. Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) adalah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran.
12. Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil.
13. Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
14. Anak Buah Kapal adalah Awak Kapal selain Nakhoda.
15. Kenavigasian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran, Telekomunikasi-Pelayaran, hidrografi dan meteorologi, alur dan perlintasan, pengerukan dan reklamasi, pemanduan, penanganan kerangka kapal, salvage dan pekerjaan bawah air untuk kepentingan keselamatan pelayaran kapal.
16. Navigasi adalah proses mengarahkan gerak kapal dari satu titik ke titik yang lain dengan aman dan lancar serta untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan-pelayaran.
17. Alur-Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari.
18. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran adalah peralatan atau sistem yang berada di luar kapal yang didesain dan dioperasikan untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi bernavigasi kapal dan/atau lalu lintas kapal.
19. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran
20. Otoritas Pelabuhan (Port Authority) adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial.
21. Unit Penyelenggara Pelabuhan adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi
pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan kepelabuhanan, dan pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.
22. Badan Usaha Pelabuhan adalah Badan Usaha yang kegiatan usahanya khusus di bidang pengusahaan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya.
23. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi 24. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
25. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
26. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran.
BAB II
PELABUHAN DAN PERSYARATAN KAPAL Bagian Pertama
Pelabuhan Pasal 2
(1) Dinas Perhubungan perlu mengidentifikasi dan melakukan kajian di dalam menempatkan kapal angkutan penyeberangan terutama menyangkut beberapa aspek yang berkaitan dengan Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan meliputi;
a.wilayah perairan yang digunakan untuk kegiatan alur pelayaran
b. tempat labuh
c. tempat alih muat antarkapal
d. kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal
e. kegiatan pemanduan f. tempat perbaikan kapal g. penahan gelombang h. kolam pelabuhan i. alur pelayaran
j. sarana bantu navigasi
k. sistem keamanan dan ketertiban di pelabuhan l. fasilitas naik turun kendaraan
(2) Dinas Perhubungan perlu melakukan kajian secara detail Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan sebagai perairan pelabuhan di luar Daerah Lingkungan Kerja perairan yang digunakan sebagai;
a. untuk alur pelayaran dari dan ke pelabuhan b. keperluan keadaan darurat
c. penempatan kapal mati e. percobaan berlayar f. kegiatan pemanduan
g. fasilitas pembangunan h. pemeliharaan kapal
Dari hasil kajian tersebut di atas, maka Dinas Perhubungan akan dapat menetapkan kriteria kapal ( lebar, tinggi kapal, panjang kapal, dan GT kapal ) yang ditempatkan pada pelabuhan.
Bagian Kedua
Keselamatan dan Keamanan Angkutan Penyeberangan Pasal 3
(1) Dinas Perhubungan mengharuskan kepada setiap Pengusaha kapal untuk memenuhi kelaiklautan kapal sesuai dengan daerah pelayarannya dan dibuktikan dengan sertifikat meliputi;
a. keselamatan kapal
b. pencegahan pencemaran dari kapal c. pengawakan dari kapal
d. garis muat kapal dan pemuatan
e. kesejahteraan awak kapal dan kesehatan penumpang f. status hukum kapal
g. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal
h. manajemen dan surat kapal
(2) Dinas Perhubungan mengharuskan kepada setiap Pengusaha Kapal untuk memenuhi persyaratan keselamatan kapal yang dibuktikan dengan sertifikasi meliputi sebagai berikut;
a. material b. konstrukdi c. bangunan d. permesinan e. stabilitas
f. tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio
g. elektronika kapal
(3) Untuk menjamin keselamatan berlayar, maka Pemerintah bertugas melakukan pengadaan, pengoperasian, pemeliharaan dan pengawasan kenavigasian yang meliputi;
a. sarana bantu navigasi – pelayaran b. telekomunikasi - pelayaran
c. hidrografi dan meteorologi d. alur dan perlintasan
e. pengerukan dan reklamasi f. pemanduan
g. penanganan kerangka kapal; dan h. salvage dan pekerjaan bawah air
(4) Pengusaha kapal dan Dinas Perhubungan memperhatikan secara seksama kondisi kapal terutama dari segi kualitas, dan kesesuaian terhadap kondisi pelabuhan.
Bagian Ketiga Persyaratan Kapal
Pasal 4
(1) Pengusaha angkutan kapal penyeberangan dengan GT hingga 300 dengan jarak lintasan yang dilayani hingga 15 mil, harus memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan ketentuan SOLAS yaitu sebagai berikut;
a. Resque Boat (Perahu Penyelamat) 1 unit
b. Life Raft (Rakit Penolong) untuk 100% awak kapal dan penumpang
c. Inflatable life Raft with Light/rakit dengan cahaya)
d. Life Jacket (baju pelampung) untuk 100% awak kapal dan penumpang
e. Life Jacket with light (baju pelampung dengan cahaya) f. Means Of Rescue (alat penolong)
g. Extra Life Jacket (tambahan baju pelampung/10%) h. Helicopter Pick Up Area (area helikopter)
i. Marine Evacuation System/MES (sistem evakuasi) j. Embarkation Ladder ( Tangga keberangkatan)
k. Two Way VHF(radio VHF penerima dan pemancar) ( 2 units)
l. SART (1 Unit) m. Distress Flare 12
n. Emergency Communication (alat komunikasi darurat) o. General Emergency Alarm (alarm darurat umum) p. Public Address System (sistem informasi umum) q. Life Buoys (pelampung) 4 unit
(2) Pengusaha angkutan kapal penyeberangan dengan GT hingga 500 dengan jarak lintasan yang dilayani 15 - 100 mil, harus memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan ketentuan SOLAS yaitu sebagai berikut;
a. Resque Boat (Perahu Penyelamat) 1 unit
b. Life Raft (Rakit Penolong) untuk 100% awak kapal dan penumpang
c. (Inflatable life Raft with Light/rakit dengan cahaya)
d. Life Jacket (baju pelampung) untuk 100% awak kapal dan penumpang
e. Life Jacket with light (baju pelampung dengan cahaya) f. Means Of Rescue (alat penolong)
g. Extra Life Jacket (tambahan baju pelampung/10%) h. Helicopter Pick Up Area (area helikopter)
i. Marine Evacuation System/MES (sistem evakuasi) j. Embarkation Ladder ( Tangga keberangkatan)
k. Two Way VHF(radio VHF penerima dan pemancar) ( 3 units)
l. SART (2 Unit) m. Distress Flare 12
n. Emergency Communication (alat komunikasi darurat) o. General Emergency Alarm (alarm darurat umum) p. Public Address System (sistem informasi umum) q. Life Buoys (pelampung) 8 unit
r. Muster list and Emergency instruction s. (tanda berkumpul dan instruksi bahaya) t. 1 Unit Survival Craft (perahu kerja)
u. 2 Life Boat in Board Places in Side Of Ship v. (sekoci penolong pada dua sisi kapal)
(3) Pengusaha angkutan kapal penyeberangan dengan GT hingga 800 dengan jarak lintasan yang dilayani 100 mil ke atas, harus memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan ketentuan SOLAS yaitu sebagai berikut;
a. Life Buoys/pelampung 8 unit
b. Fast Resque Boat/perahu cepat penyelamat 2 unit
c. Life Raft (Rakit Penolong) untuk 100% awak kapal dan penumpang
d. (Inflatable life Raft with Light/rakit dengan cahaya)
e. Life Raft provided By Float Free Stowage (rakit penolong) f. Life Jacket (baju pelampung) untuk 100% awak kapal dan
penumpang
g. Life Jacket with light (baju pelampung dengan cahaya) h. Means Of Rescue (alat penolong)
i. Extra Life Jacket (tambahan baju pelampung/10%) j. Helicopter Pick Up Area (area helikopter)
k. Marine Evacuation System/MES (sistem evakuasi) l. Embarkation Ladder ( Tangga keberangkatan)
m. Two Way VHF(radio VHF penerima dan pemancar) ( 3 units)
n. SART (2 Unit) o. Distress Flare 12
p. Emergency Communication (alat komunikasi darurat) q. General Emergency Alarm (alarm darurat umum) r. Public Address System (sistem informasi umum)
s. Muster list and Emergency instruction (tanda berkumpul dan instruksi bahaya)
t. 2 Life Boat in Board Places in Side Of Ship (sekoci penolong pada dua sisi kapal)
(4) Pengusaha angkutan kapal penyeberangan dengan GT hingga 1.300 dengan jarak lintasan yang dilayani 100 mil ke atas, harus memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan ketentuan SOLAS yaitu sebagai berikut;
a. Life Buoys/pelampung 8 unit
b. Fast Resque Boat/perahu cepat penyelamat 2 unit
c. Life Raft (Rakit Penolong) untuk 100% awak kapal dan penumpang
d. (Inflatable life Raft with Light/rakit dengan cahaya)
e. Life Raft provided By Float Free Stowage (rakit penolong) f. Life Jacket (baju pelampung) untuk 100% awak kapal dan
penumpang
g. Life Jacket with light (baju pelampung dengan cahaya) h. Means Of Rescue (alat penolong)
i. Extra Life Jacket (tambahan baju pelampung/10%) j. Helicopter Pick Up Area (area helikopter)
k. Marine Evacuation System/MES (sistem evakuasi) l. Embarkation Ladder ( Tangga keberangkatan)
m. Two Way VHF(radio VHF penerima dan pemancar) ( 3 units)
n. SART (2 Unit) o. Distress Flare 12
p. Emergency Communication (alat komunikasi darurat)
q. General Emergency Alarm (alarm darurat umum) r. Public Address System (sistem informasi umum)
s. Muster list and Emergency instruction (tanda berkumpul dan instruksi bahaya)
t. 2 Unit Survival Craft (perahu kerja)
u. 2 Life Boat in Board Places in Side Of Ship (sekoci penolong pada dua sisi kapal)
(5) Pengusaha angkutan kapal penyeberangan dengan GT hingga 1.800 dengan jarak lintasan yang dilayani 100 mil ke atas, harus memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan ketentuan SOLAS yaitu sebagai berikut;
a. Life Buoys/pelampung 12 unit
b. Fast Resque Boat/perahu cepat penyelamat 2 unit c. Life Raft (Rakit Penolong) untuk 100% awak kapal dan
penumpang
d. (Inflatable life Raft with Light/rakit dengan cahaya)
e. Life Raft provided By Float Free Stowage (rakit penolong) f. Life Jacket (baju pelampung) untuk 100% awak kapal dan
penumpang
g. Life Jacket with light (baju pelampung dengan cahaya) h. Means Of Rescue (alat penolong)
i. Extra Life Jacket (tambahan baju pelampung/10%) j. Helicopter Pick Up Area (area helikopter)
k. Marine Evacuation System/MES (sistem evakuasi) l. Embarkation Ladder ( Tangga keberangkatan)
m. Two Way VHF(radio VHF penerima dan pemancar) ( 3 units)
n. SART (2 Unit) o. Distress Flare 12
p. Emergency Communication (alat komunikasi darurat) q. General Emergency Alarm (alarm darurat umum) r. Public Address System (sistem informasi umum)
s. Muster list and Emergency instruction (tanda berkumpul dan instruksi bahaya)
t. 2 Unit Survival Craft (perahu kerja)
u. 2 Life Boat in Board Places in Side Of Ship (sekoci penolong pada dua sisi kapal)
(6) Pengusaha angkutan kapal penyeberangan dengan GT hingga 2.500 dengan jarak lintasan yang dilayani 100 mil ke atas, harus memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan ketentuan SOLAS yaitu sebagai berikut;
a. Life Buoys/pelampung 12 unit
b. Fast Resque Boat/perahu cepat penyelamat 2 unit c. Life Raft (Rakit Penolong) untuk 100% awak kapal dan
penumpang
d. (Inflatable life Raft with Light/rakit dengan cahaya) e. Life Raft provided By Float Free Stowage (rakit
penolong)
f. Life Jacket (baju pelampung) untuk 100% awak kapal dan penumpang
g. Life Jacket with light (baju pelampung dengan cahaya)
h. Means Of Rescue (alat penolong)
i. Extra Life Jacket (tambahan baju pelampung/10%) j. Helicopter Pick Up Area (area helikopter)
k. Marine Evacuation System/MES (sistem evakuasi) l. Embarkation Ladder ( Tangga keberangkatan)
m. Two Way VHF(radio VHF penerima dan pemancar) ( 3 units)
n. SART (2 Unit) o. Distress Flare 12
p. Emergency Communication (alat komunikasi darurat) q. General Emergency Alarm (alarm darurat umum) r. Public Address System (sistem informasi umum)
b. s. Muster list and Emergency instruction (tanda berkumpul dan instruksi bahaya)
a. 2 Unit Survival Craft (perahu kerja)
b. 2 Life Boat in Board Places in Side Of Ship (. (sekoci penolong pada dua sisi kapal)
(8) Pengusaha angkutan kapal penyeberangan dengan GT hingga 3.200 dengan jarak lintasan yang dilayani 100 mil ke atas, harus memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan ketentuan SOLAS yaitu sebagai berikut;
a. Life Buoys/pelampung 12 unit
b. Fast Resque Boat/perahu cepat penyelamat 2 unit
c. Life Raft (Rakit Penolong) untuk 100% awak kapal dan penumpang
d. Inflatable life Raft with Light/rakit dengan cahaya)
e. Life Raft provided By Float Free Stowage (rakit penolong) f. Life Jacket (baju pelampung) untuk 100% awak kapal dan
penumpang
g. Life Jacket with light (baju pelampung dengan cahaya) h. Means Of Rescue (alat penolong)
i. Extra Life Jacket (tambahan baju pelampung/10%) j. Helicopter Pick Up Area (area helikopter)
k. Marine Evacuation System/MES (sistem evakuasi) l. Embarkation Ladder ( Tangga keberangkatan)
m. Two Way VHF(radio VHF penerima dan pemancar) ( 3 units)
n. SART (2 Unit) o. Distress Flare 12
p. Emergency Communication (alat komunikasi darurat) q. General Emergency Alarm (alarm darurat umum) r. Public Address System (sistem informasi umum)
s. Muster list and Emergency instruction ((tanda berkumpul dan instruksi bahaya)
t. 2 Unit Survival Craft (perahu kerja)
u. 2 Life Boat in Board Places in Side Of Ship (sekoci penolong pada dua sisi kapal)
BAB III
TINGGI GELOMBANG DAN SPESIFIKASI KAPAL Bagian Pertama
Tinggi Gelombang Pasal 5
(1) Pemerintah melakukan koordinasi dengan BMG untuk melakukan identifikasi dan kajian tinggi gelombang sebagai acuan bagi pengusaha kapal dan Dinas Perhubungan menempatkan kapal. Tinggi gelombang semua lintasan dikelompokkan pada tujuh ( 7 ) region dengan rincian sebagai berikut;
a. Region A dengan tinggi gelombang maksimum 1,25 meter, terdapat pada lintasan sebagai berikut;
- Pulang Pisau – Kelawa (Belum Ops) - Banjar Raya – Saka Kajang (Belum Ops) - Kuin Alalak – Jelapat (Belum Ops)
- Mantuli – Tambang Muara (Belum Ops) - Siwa – Lasusua (Belum Ops)
- Ajibata – Tombok (Komersil) - Palembang – Muntok (Komersil) - Pontianak Kota – Siantan (Komersil) - Tebas Kuala – Tebas Sbrg (Perintis I) - Tayan – Terayu (Perintis I)
- Taipa – Kariangau (Perintis I) - Tj.Harapan – Tl.Kalong (Perintis I) - Palembang – Kayuarang (Tidak Ops) - K.Kapuas – K.Kapauas Sbrg (Tidak Ops)