• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan dengan segenap potensi yang ada di masyarakat. Pada Pasal 33 ayat (4)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan dengan segenap potensi yang ada di masyarakat. Pada Pasal 33 ayat (4)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

         

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi Indonesia yang diamanatkan oleh konstitusi harus dilaksanakan dengan segenap potensi yang ada di masyarakat. Pada Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang telah diamandemen menyebutkan bahwa

“perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa “pembangunan harus diselenggarakan dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip kemandirian.

Pembangunan ekonomi nasional harus diupayakan atas dasar kekuatan sendiri sehingga pembangunan tersebut dapat terlaksana secara berkelanjutan”.1

Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan cita- cita dan tujuan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, maka perlu ditingkatkan kemampuan serta kemandirian untuk

 

1 Sumantoro, Hukum Ekonomi, (Jakarta: Universitas Indonesia,1986), hlm.5

(2)

         

melaksanakan pembangunan ekonomi nasional secara berkesinambungan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat. Selain itu jika diperhatikan tingkat pertumbuhan serta mobilisasi dana melalui pasar keuangan pada saat ini, sesungguhnya telah merefleksikan upaya partisipasi masyarakat secara optimal dalam program pembiayaan pembangunan nasional melalui mekanisme pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Keberhasilan pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 ditentukan oleh adanya, (1) kemandirian bangsa untuk melaksanakan pembangunan ekonomi nasional secara berkesinambungan dengan bertumpu pada kekuatan masyarakat, (2) partisipasi masyarakat secara optimal dalam program pembiayaan pembangunan nasional melalui mekanisme pengelolaan Anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) yang dapat diprtanggungjawabkan, (3) kepastian hukum kepada pemodal dan komitmen pemerintah untuk mengelola sektor keuangan yang transparan, professional, dan bertanggungjawab.2

Sejarah perkembangan industri keuangan syariah yang meliputi perbankan, asuransi, dan pasar modal pada dasarnya merupakan suatu proses sejarah yang sangat panjang. Lahirnya Agama Islam sekitar 15 (lima belas) abad yang lalu meletakkan dasar penerapan prinsip syariah dalam industri keuangan karena di dalam Islam dikenal kaidah muamalah, yang merupakan kaidah hukum atas hubungan antara manusia, yang di dalamnya termasuk hubungan perdagangan dalam arti luas. Namun demikian, perkembangan penerapan prinsip syariah mengalami masa surut selama kurun waktu yang relatif lama, yaitu pada masa imperium negara-negara Eropa. Pada masa tersebut,

 

2 Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2002 Tentang Surat Utang Negara, Bagian Umum

(3)

         

negara-negara di Timur Tengah serta negara-negara Islam lain hampir semuanya menjadi wilayah jajahan negara-negara Eropa.3

Pada awalnya, prinsip syariah Islam diterapkan pada industri perbankan di Kairo adalah merupakan Negara yang pertama kali mendirikan Bank Islam, sekitar tahun 1971, dengan nama Nasser Social Bank, yang operasionalnya berdasarkan sistem bagi hasil (tanpa riba). Berdirinya Nasser Social Bank tersebut kemudian diikuti dengan berdirinya beberapa bank Islam lainnya, seperti Islamic Development Bank (IDB) dan The Dubai Islamic pada tahun 1975, Faisal Islamic Bank of Egypt, Faisal Islamic Bank of Sudan, dan Kuwait Finance House tahun 1977.4

Di Indonesia ekonomi syariah mulai dikenal sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Selanjutnya ekonomi berbasis syariah di Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat menggembirakan. Pada dasarnya, sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sudah menjadi kewajiban bagi Indonesia untuk menerapkan ekonomi syariah sebagai bukti ketaatan dan ketundukan masyarakatnya pada Allah SWT dan Rasul-Nya.5

Perkembangan berikutnya adalah dengan dibentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) oleh perkumpulan organisasi Islam di Indonesia pada tahun 1975, baik ulama dari kalangan tradisional maupun kalangan modern mempunyai wakil-wakilnya

 

3 Adrian sutedi, Segi-Segi Hukum Pasar Modal, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), hlm.57

4 Ibid

5 Zainuddin ali, Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta:Sinar Grafika, 2008), hlm.57

(4)

         

dalam MUI, dan melalui perhimpunan itu memberikan fatwa-fatwa bersama. Sejak didirikan pada tahun 1975 hingga sekarang, MUI telah melahirkan fatwa-fatwa yang telah cukup banyak, meliputi soal upacara keagamaan, pernikahan, kebudayaan, politik, ilmu pengetahuan, kedokteran dan ekonomi, yang sebagian besar dikumpulkan dalam Kumpulan fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Himpunan fatwa Majelis Ulama Indonesia.6

Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002 tentang Obligasi Syariah, yang dimaksud dengan obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Penerbitan pertama obligasi Islam dengan mata uang dolar senilai 600 juta $ (enam ratus juta dolar) telah ditawarkan oleh Malaysia pada tahun 2002. Diikuti dengan peluncuran 400 juta $ (empat ratus juta dolar) ‘trust sukuk’ dari Islamic Development Bank pada bulan September 2003. Setelah itu penerbitan sekitar tiga puluh sukuk Negara dan perusahaan telah ditawarkan di Bahrain, Malaysia, Arab Saudi, Qatar, UAE, UK, Jerman, Pakistan. Di Indonesia pada bulan Maret 2004 Dewan Syariah Nasional majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengeluarkan Fatwa baru tentang obligasi

 

6 Zainuddin Ali, Op Cit, hlm.125

(5)

         

syariah. Lembaga tersebut membolehkan Pemerintah RI maupun perusahaan- perusahaan bila ingin menerbitkan obligasi syariah dengan skim ijarah.7

Ijarah berarti sewa, jasa atau imbalan8, yaitu akad yang dilakukan atas dasar suatu manfaat dengan imbalan jasa yang merupakan fisik dari komoditas yang disewakan tetap dalam kepemilikan yang menyewakan dan hanya manfaatnya yang dialihkan kepada penyewa. Sesuatu yang tidak dapat digunakan tanpa mengkonsumsinya tidak dapat disewakan, seperti uang, makanan, bahan bakar dan sebagainya. Hanya aset-aset yang dimiliki oleh yang menyewakan dapat disewakan, kecuali diperbolehkan sub-lease (menyewakan kembali aset objek sewa yang disewa) dalam perjanjian yang dizinkan oleh yang menyewakan. 9

Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya. DSN merupakan satu-satunya badan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga keuangan syariah di Indonesia. Dalam hal penerbitan Sukuk Negara, DSN-MUI mempunyai kewenanangan

 

7 Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Op Cit, hlm.121

8 Habib Nazir & Muh. Hasan, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan S yari’ah, (Bandung: Kaki Langit, 2004), hal. 246

9http://www.patanahgrogot.net/utama/index.php?option=com_content&view=article&id=49:ija rah&catid=5:artikel-hukum&Itemid=10, Diakses pada tanggal 14 Juli 2010, Pukul 10:57wib

(6)

         

dalam memberikan opini kesesuaian syariah atas rencana penerbitan struktur Sukuk Negara tertentu yang akan dilakukan oleh pemerintah.

Penerbitan obligasi syariah muncul sehubungan dengan berkembangnya institusi-institusi keuangan syariah, seperti asuransi syariah, dana pensiun syariah, dan reksa dana syariah yang membutuhkan alternatif penempatan investasi. Menariknya, investor obligasi syariah tidak hanya berasal dari institusi-institusi syariah saja, tetapi juga investor konvensional. Produk syariah dapat dinikmati dan digunakan siapapun, Sesuai falsafah syariah yang sudah seharusnya memberi manfaat (maslahat) kepada seluruh semesta alam. Investor konvensional akan tetap bisa berpartisipasi dalam obligasi syariah, jika dipertimbangkan bisa memberi keuntungan kompetitif, sesuai profil risikonya, dan juga likuid. Sementara obligasi konvensional, investor base-nya justru terbatas karena investor syariah tidak bisa ikut ambil bagian di situ. Bagi emiten, menerbitkan obligasi syariah berarti juga memanfaatkan peluang-peluang tertentu.

Emiten dapat memperoleh sumber pendanaan yang lebih luas, baik investor konvensional maupun syariah. Selain itu, struktur obligasi syariah yang inovatif juga memberi peluang untuk memperoleh biaya modal yang kompetitif dan menguntungkan.10

Dalam rangka memberikan dasar hukum penerbitan instrumen keuangan berdasarkan prinsip syariah untuk mendukung perkembangan pasar keuangan syariah

 

10http://ekisonline.com/index.php?option=com_content&task=view&id=225&Itemid=27, Diakses pada tanggal 20 Maret 2010

(7)

         

khususnya di dalam negeri, perlu dilakukan penyusunan Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara, yang mengatur secara khusus mengenai penerbitan dan pengelolaan SBSN. SBSN ini merupakan surat berharga dalam mata uang rupiah maupun valuta asing berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia baik dilaksanakan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap asset SBSN serta wajib dibayar atau dijamin pembayaran Imbalan dan Nilai Nominalnya oleh Negara Republlik Indonesia, sesuai dengan ketentuan perjanjian yang mengatur penerbitan SBSN tersebut.11

Para pelaku pasar Terlepas dari beberapa kepentingan pemerintah untuk menutupi defisit Anggaran dan Belanja Negara setiap tahunnya melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) yang berupa Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang sekarang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, yang dianggap perlu dan sangat penting bagi masyarakat saat ini adalah pengetahuan mengenai pengaturan penerbitan SBSN atau dikenal juga dengan obligasi syariah atau sukuk dalam ketentuan hukum surat berharga syariah negara di Indonesia serta tentang kedudukan dan perlindungan hukum bagi para pemegang SBSN atau sukuk atau juga obligasi syariah. Hal ini tidak lain adalah untuk

 

11 Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

(8)

         

mengetahui seberapa besar jaminan keamanan serta perlindungan hukum atas investasi yang telah ditanamkan dalam bentuk obligasi tersebut.

Kepastian hukum bagi dunia usaha merupakan hal yang sangat penting pada saat ini karena setiap investor pada dasarnya menginginkan keamanan dari investasi yang telah dilakukannya. Kepastian hukum investasi yang dilakukan para investor atas komitmen pemerintah untuk memenuhi kewajiban keuangan serta penyelenggaraan manajemen Surat Utang Negara (SUN) secara lebih transparan, professional dan lebih bertanggungjawab.

“Bagi dunia usaha yang sering menghadapi banyak tantangan dan resiko, adanya jaminan kepastian hukum amatlah penting. Adanya perangkat perundang-undangan yang jelas, transparan,…. Akan memberikan peluang bagi siapa saja anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan usaha…..”12

Secara umum surat utang negara digolongkan sebagai investasi bebas resiko (risk free investment). Secara khusus digolongkannya surat utang Negara sebagai investasi bebas resiko dikaitkan dengan keberadaan penjaminan dari pihak pemerintah untuk pembayaran kembali pokok beserta bunga dalam hal ini SBSN mengenal adanya bagi hasil bukan bunga yang termasuk unsur halal dalam syariah Islam pada saat jatuh tempo. Meskipun merupakan jaminan dari pihak pemerintah, hal itu tidak dapat disamakan dengan penanggung menurut KUHPerdata tetapi hanya merupakan

 

12 Dody Rudianto, Pembangunan dan Perkembangan Bisnis di Indonesia, Perspektif Pembangunan Indonesia Dalam Kajian Pemulihan Ekonomi, (Jakarta: Golden Trayon Press, 2002), hlm.63

(9)

         

janji/komitmen dari pemerintah untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya yang berkenaan dengan surat utang Negara.

Ketika munculnya praktik ekonomi syariah di Indonesia pada tahun 1990-an yang dimulai secara yuridis normatif dengan lahirnya Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mengandung ketentuan bolehnya bank konvensional beroperasi dengan sistem bagi hasil. Kemudian pada saat bergulirnya era reformasi timbul amandemen yang melahirkan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang perbankan yang memuat lebih rinci tentang perbankan syariah di Indonesia, yang ditandai dengan tumbuh pesatnya bank-bank syariah baru atau cabang-cabang syariah pada bank konvensional sehingga praktik pelaksanaan keuangan syariah di Indonesia memerlukan panduan hukum Islam guna mengawal pelaku ekonomi yang sesuai dengan tuntunan syariat Islam.13

Karakteristik sistem perbankan syariah yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil memberikan alternatif sistem perbankan yang saling menguntungkan bagi masyarakat dan bank, serta menonjolkan aspek keadilan dalam bertransaksi, investasi yang beretika, mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam berproduksi, dan menghindari kegiatan spekulatif dalam bertransaksi keuangan. Dengan menyediakan beragam produk serta layanan jasa perbankan yang beragam dengan skema keuangan yang lebih bervariatif, perbankan syariah menjadi alternatif sistem

 

13 Ibid

(10)

         

perbankan yang memiliki kredibilitas yang tinggi dan dapat diminati oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.14

Pemerintah Indonesia telah beberapa kali menerbitkan obligasi pemerintah yang sampai saat ini masih mendapatkan perhatian yang cukup besar dari para investor.

Hal ini terbukti dengan selalu terjadinya oversubscribed15 setiap kali obligasi pemerintah dijual di pasar perdana. Dilihat dari sisi kepemilikannya, sebagian obligasi pemerintah saat ini ternyata banyak dimiliki oleh lembaga-lembaga finansial dan hanya saja yang memiliki oleh investor-investor individual.16

Oleh karena perusahaan Indonesia belum banyak dikenal di pasar global sehingga pemahaman investor akan resiko masing-masing individu sangat minim.

Pemerintah dalam pasar obligasi akan mendorong investor mengetahui lebih jauh bukan saja tentang resiko investasi di Indonesia, namun juga resiko beberapa perusahaan di Indonesia. Dan juga penerbitan obligasi syariah oleh pemerintah meningkatkan comfort level investor global karena merefleksikan adanya perangkat ketentuan hukum yang pasti. Sebagian investor sampai saat ini masih menunggu adanya dasar hukum yang kuat untuk obligasi syariah. Terbitnya Surat Utang Negara (SUN) syariah dapat

 

14 Inggrid Tan, Bisnis dan Investasi Sistem Syariah ‘perbandingan dengan sistem konvensional’, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2009), hlm.62

15 Indonesia Legal Center Publishing, Kamus Hukum, Cetakan Kedua, (Jakarta: Karya Gemilang, 2008). Oversubcribed (emisi laris) adalah istilah pertanggungan yang menjelaskan emisi saham/obligasi baru dengan lebih banyak pembeli daro pada saham/obligasi yang tersedia. Suatu emisi yang laris atau overbooked, seringkali melonjak harganya begitu saham/obligasinya dipasarkan.

16 Adi Cahyadi, Jalur dan Promosi Surat Utang Negara Versi Retail: Kasus Pemerintah Daerah Khusus HongKong, Bunga Rampai Hasil Penelitian Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional, (Jakarta: Bapekki, 2004), hlm.96

(11)

         

dijadikan rujukan perlakuan hukum oleh principle of legal security. Dan juga alasan yang terahir adalah agar dapat terlihat di pasar global, jumlah obligasi yang diterbitkan harus cukup signifikan, Misalnya 1 juta dolar AS. Diakui pada level global jumlah tersebut belum dapat dikatakan besar.17

Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak adanya konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments) ini keluar dari daftar halal. Karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah.18

Terlepas dari beberapa kepentingan Pemerintah untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahunnya melalui penerbitan SBSN tersebut, yang dianggap perlu dan sangat penting bagi masyarakat saat ini adalah pengetahuan mengenai pengaturan penerbitan SBSN dalam ketentuan hukum yang tertuang dalam UU No.19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara dan juga adanya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 118/PMK.08/2008 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara dengan Cara Bookbuilding di Pasar Perdana Dalam Negeri serta kedudukan dan perlindungan hukum bagi para pemegang SBSN. Hal ini tidak lain adalah untuk mengetahui seberapa besar jaminan keamanan serta perlindungan hukum atas investasi yang telah ditanamkan

 

17 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Obligasi dan sukuk, (Jakarta:Sinar Grafika,2009), hlm.97

18 Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.87

(12)

 

dalam bentuk Surat berharga yang berbasiskan syariah tersebut, karena tidak menutup kemungkinan kejadian gagal bayar obligasi Negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno kembali terulang.

Keberadaan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tesis dengan mengangkat judul “Analisis Hukum Terhadap Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SUKUK) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara.”

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan penerbitan surat berharga syariah Negara dalam ketentuan hukum di Indonesia berdasarkan undang-undang No.19 tahun 2008 tentang surat berharga syariah Negara?

2. Bagaimanakah jaminan pemerintah bagi pemegang surat berharga syariah Negara?

3. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi pemegang surat berharga syariah Negara?

(13)

  C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian ini adalah untuk mencari pemahaman yang benar tentang masalah yang dirumuskan. Maka lebih rinci tujuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Penelitian ini dilakukan guna memperoleh informasi secara lebih terperinci mengenai pengaturan surat berharga syariah negara dalam ketentuan hukum surat utang Negara di Indonesia.

2. Selain mengenai dasar hukumnya, penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh gambaran secara mendasar dan juga komprehensif tentunya juga mengenai jaminan bagi para pemegang surat berharga syariah Negara.

3. Untuk mempelajari, meneliti dan juga untuk menganalisa perlindungan hukum bagi pemegang Surat Berharga Syariah Negara.

D. Manfaat Penelitian

Ditetapkannya permasalahan-permasalahan yang ada, maka diharapkan akan membawa sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis, sehubungan dengan dengan ini, penelitian ini setidaknya bermanfaat untuk:

1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini akan dapat membuka wawasan dan paradigma berpikir dalam memahami, mengerti dan mendalami permasalahan hukum yang ada, khususnya dalam hukum bisnis mengenai diterbitkannya surat berharga

(14)

 

syariah Negara. Selain itu juga penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan dan dapat memperkaya khazanah kepustakaan, khususnya dalam studi hukum bisnis.

2. Secara praktis, dengan ini diharapkan hasil penelitian ini bisa digunakan oleh masyarakat agar mulai berpikir mengenai aspek legalitas dan keamanan dari investasi yang ditanamkan selama ini, khususnya pada obligasi-obligasi milik pemerintah seperti halnya Surat Berharga Syariah Negara.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul Analisis Hukum Terhadap Surat Berharga Syariah Negara (SUKUK) belum pernah dilakukan sebelumnya. Kalaupun ada beberapa kesamaan dalam membahas topik tentang obligasi misalnya Penerapan Ketentuan Transparansi Penjualan Obligasi PTPN III, Prinsip Mudharabah terhadap Obligasi Dalam Pasar Modal Syariah dan juga analisis hukum terhadap penerbitan Obligasi Negara ritel (ORI). Penelitian yang telah dilakuakan sebelumnya ini, tentu sangat berbeda dengan penelitian yang peneliti tulis. Dalam penelitian ini baik pendekatan rumusan masalah maupun pendekatan topik penelitian, sehingga penulisan penelitian ini dapat dikatakan asli dan keasliannya secara akademis keilmuan dapat dipertanggungjawabkan.

(15)

         

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan satu teori harus diuji dengan mengedepankan pada fakta-fakta yang dapat menunjukan ketidakbenarannya.19

Kelangsungan perkembangan ilmu hukum senantiasa bergantung pada unsur- unsur antara lain: metodologi, aktivitas penelitian imajinasi sosial dan juga sangat ditentukan oleh teori.20

Teori perjanjian (overeenkomst theorie) oleh Thol adalah dasar hukum yang mengikat antara pemerintah dengan investor (dalam hal ini adalah pemegang SBSN).

Teori ini menyatakan bahwa yang menjadi dasar hukum mengikatnya suatu surat berharga antara penerbit dan investor adalah suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum dua pihak, yaitu penerbit yang menadatangani dan pemegang pertama yang menerima surat berharga itu. Mengenai hal bahwa jika pemegang pertama mengalihkan surat itu kepada pemegang berikutnya maka penerbit tetap terikat di dalam perjanjian.21

 

19 J.J.J.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Azas-Azas (Jakarta: FE UI, 1996), hlm 203, Bandingkan M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: CV Mandar Maju, 1994), hlm 27, yg mnyebutkan bahwa “Teori yang dimaksud disini adalah pejelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan biar bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.”

20 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1982), hlm.6

21Joni Emirzon, Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta:Prenhalindo, 2002), hlm.47

(16)

         

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Maqasid Al-Syariah yaitu teori yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Syathibi, yaitu tujuan akhir hukum adalah maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia. Tidak satu pun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan. Hukum-hukum Allah dalam Alquran mengandung kemaslahatan.22

Teori Maqasid Al-Syariah hanya dapat dilaksanakan oleh pihak pemerintah dan masyarakat yang mengetahui dan memahami bahwa yang menciptakan manusia adalah Allah SWT. Demikian juga yang menciptakan hukum-hukum yang termuat didalam Alquran adalah Allah SWT. Berdasarkan pemahaman tersebut maka akan muncul kesadaran bahwa Allah SWT yang paling mengetahui berkenaan hukum yang dibutuhkan oleh manusia, baik yang berhubungan dengan kehidupannya di dunia dan akhirat. Kesadaran hukum pihak pemerintah dan masyarakat tersebut, akan melahirkan keyakinan untuk menerapkan hukum Allah, bila menginginkan terwujudnya kemaslahatan bagi kehidupan manusia.23

 

22 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.86

23 Ibid

(17)

         

Penelitian ini juga menggunakan teori investasi dalam ekonomi Islam yang dipopulerkan oleh Metwally, bahwa investasi di Negara penganut ekonomi Islam dipengaruhi oleh tiga faktor sebagai berikut:24

1. Ada sanksi untuk pemegang aset kurang/tidak produktif (hoarding idle assets) 2. Dilarang melakukan berbagai macam bentuk spekulasi dan segala macam judi

3. Tingkat bunga untuk berbagai macam pinjaman adalah nol dan sebagai gantinya dipakai sistem bagi hasil.

Dari ketiga kriteria tersebut diatas menunjukkan bahwa dalam ekonomi Islam, tingkat bunga tidak masuk dalam perhitungan investasi. Karena ongkos oportunitas (opportunity coast) dana untuk tujuan investasi adalah tingkat zakat yang dibayarkan atas dana tersebut. Dengan kata lain, tabungan yang tidak disalurkan ke investasi nyata, maka seseorang akan terbebani zakat (seperti yang telah ditentukan oleh syariat Islam).25

Perkataan obligasi itu sendiri adalah berasal dari bahasa belanda yaitu obligatie yang secara harfiah yaitu berarti hutang atau kewajiban. Selain itu juga obligasi masih dalam bahasa belanda dapat pula diartikan suatu hutang (schuldrief). Dalam pengertian surat hutang ini, obligasi dalam terminologi hukum belanda sering disebut juga dengan istilah obligasi atau obligatie lening, yaitu yang berarti secarik bukti pinjaman uang

 

24 Eko Suprayitno, Ekonomi Islam dalam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005), hlm.128

25 Ibid

(18)

 

yang dikeluarkan oleh suatu perseroan atau badan hukum lain yang dapat diperdagangkan dengan cara menyerahkan surat tersebut.

Obligasi merupakan salah satu jenis efek. Di Indonesia yaitu terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, efek didefinisikan sebagai berikut:

“efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan hutang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivative dari efek.”

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal tidak memberikan definisi mengenai obligasi, tetapi pengertian obligasi dapat dikemukakan pada peraturan perundang-undangan lain yang menyatakan sebagai berikut:

“obligasi ialah bukti hutang emiten yang mengandung janji pembayaran bunga atau janji lain serta pelunasan pokok pinjamannya dilakukan pada tanggal jatuh tempo, sekurang-kurangnya 3 tahun sejak tanggal emisi”.

Kata sukuk, sakk dan sakaik berasal dari bahasa Arab yang jika ditelusuri, Islam sering digunakan untuk perdagangan internasional di wilayah muslim pada abad pertengahan, bersamaan dengan kata hawalah (menggambarkan transfer/pengiriman uang) dan mudharabah (kegiatan bisnis persekutuan). Akan tetapi sejumlah penulis barat mengenai perdagangan Islam/Arab abad pertengahan memberikan kesimpulan

(19)

         

bahwa kata sakk merupakan kata dari suara latin “cheque” atau “check” yang biasanya digunakan pada perbankan kontemporer.26

Obligasi syariah atau sukuk menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No:32/DSN-MUI/IX/2002 adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.27

Tetapi tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan obligasi syariah, beberapa persyaratan berikut harus dipenuhi:28

1. Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No. 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam diantaranya adalah: (1) usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang, (2) usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional, (3) usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram, (4) usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.

2. Peringkat investment grade: (1) memiliki fundamental usaha yang kuat, (2) memiliki fundamental keuangan yang kuat, (3) memiliki citra yang baik bagi publik.

3. Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index (JII).

 

26 Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah, (Jakarta:

Kencana, 2008), hlm.136

27 Lihat Dalam Ketentuan Umum Fatwa Dewan Syari’ah Nasional nomor 32/DSN- MUI/IX/2002 Tentang Obligasi Syariah

28 Inggrid Tan, Op Cit, hlm.55

(20)

         

Pada prinsipnya SBSN merupakan bukti atas suatu prestasi dari penerbit kepada pemegangnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa antara penerbit dan pemegang SBSN terdapat suatu perikatan.

Suatu hutang (schuld) atau suatu prestasi dapat ditimbulkan dari perikatan apa saja. Penjual mempunyai kewajiban berprestasi untuk menyerahkan barang yang dijualnya kepada pembeli. Demikian pula si peminjam uang mempunyai kewajiban berprestasi untuk mengembalikan jumlah yang dipinjamnya kepada kreditur.

Hubungan antara penerbit dan pemegang SBSN adalah pinjam meminjam uang. Penerbit meminjam uang kepada pemegang SBSN sehingga timbul kewajiban dari penerbit untuk mengembalikan uang yang dipinjamkannya kepada pemegang SBSN. Atas kewajiban atau prestasinya tersebut, penerbit menerbitkan surat yang disebut surat berharga syariah Negara (SBSN/SUKUK) sebagai bukti atas prestasi yang wajib dilakukannya.

Perikatan adalah istilah yang digunakan dalam KUHPerdata tetapi didalam Islam lebih dikenal dengan aqad (akad dalam bahasa Indonesia). Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terdapat objeknya.29

 

29 Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Konstektual, Cet 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.75, lihat juga Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, Bab I, Akad adalah Perjanjian tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

(21)

         

Ikrar merupakan salah satu unsur penting dalam pembentukan akad. Ikrar ini berupa ijab dan kabul. Ijab adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak pertama) untuk menawarkan sesuatu. Dan Kabul adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak kedua) untuk menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak pertama. Apabila antara ijab dan Kabul yang dilakukan oleh kedua pihak saling berhubungan bersesuaian, maka terjadilah akad antara mereka.30

Dari definisi tersebut dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung dalam akad yaitu sebagai berikut:

Terdapat beberapa akad yang digunakan dalam penerbitan obligasi syariah yaitu:31

1) Mudharabah (Muqaradhah)/Qiradh adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih yaitu satu pihak sebagai penyedia modal dan pihak lain sebagai penyedia tenaga dan keahlian, keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disetujui sebelumnya, sedangkan kerugian yang terjadi akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyedia modal, kecuali kerugian disebabkan oleh kelalaian penyedia tenaga dan keahlian. Adanya obligasi mudharabah antara lain karena:

 

30 Wirdyaningsih, Karnaen Perwataatmadja, Gemala Dewi,Yeni Salma Barlinti, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2007),hlm.93

31 Adrian Sutedi, Aspek Hukum obligasi dan Sukuk, Op. cit, hlm.96

(22)

 

a. Bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka yang relatif panjang, memungkinkan investor untuk berpartisipasi tanpa harus terlibat dalam manajemen atau operasional perusahaan.

b. Dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing) seperti pendanaan modal kerja.

c. Mudharabah memungkinkan percampuran kerja sama antara modal dan jasa (kegiatan usaha) sehingga dimungkinkan tidak memerlukan jaminan (collateral) atas asset yang spesifik.

d. Telah memiliki pedoman khusus melalui pengesahan fatwa No.33/DSN- MUI/IX/2002

2) Ijarah adalah akad yang satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menyewakan hak atas suatu asset kepada pihak lain berdasarkan harga sewa dan periode sewa yang disepakatin. Berdasarkan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 41/DSN-MUI/III/2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah, telah ditegaskan beberapa hal mengenai obligasi syariah ijarah, sebagai berikut:

a. Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

(23)

 

b. Obligasi syariah ijarah adalah obligasi syariah berdasarkan akad ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.

c. Pemegang Obligasi syariah Ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai musta’jir (penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai Mu’jir (pemberi sewa)

d. Emiten dalam kedudukannya sebagai wakil Pemegang OSI dapat menyewa ataupun menyewa kepada pihak lain dan dapat pula bertindak sebagai penyewa.

3) Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk menggabungkan modal, baik dalam bentuk uang maupun bentuk lainnya dengan tujuan memperoleh keutungan, yang akan dibagikan sesuai dengan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan kerugian yang timbul akan ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.

4) Istishna’ adalah akad jual beli asset berupa obyek pembiayaan antara para pihak dimana spesifikasi, cara dan jangka waktu penyerahan, serta harga asset tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.

5) Salam

6) Jenis usaha yang dilakukan emiten (mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN- MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana syariah

(24)

         

7) Pendapatan atau hasil investasi yang dibagikan emiten (mudharib) kepada pemegang obligasi syariah mudharabah (shahibul mal) harus bersih dari unsur non halal

8) Pendapatan atau hasil yang diperoleh pemegang obligasi syariah sesuai akad yang digunakan

9) Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.

2. Landasan konsepsi

Berikut adalah definisi operasional dan istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a. Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara atau obligasi syariah adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.32

b. Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.33

c. Pasar Perdana adalah kegiatan penawaran dan penjualan SBSN baik didalam maupun di luar negeri untuk pertama kali.34

 

32 Pasal 1 angka1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

33 Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

(25)

 

        d. Pasar sekunder adalah kegiatan perdagangan SBSN yang telah dijual dipasar perdana

baik di dalam maupun di luar negeri.35

e. Nilai nominal adalah nilai SBSN yang tercantum dalam sertifikat SBSN.36

f. Akad adalah perjanjian tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.37

g. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum

h. Investor adalah pihak pemegang sukuk yang memiliki hak atas imbalan, marjin, nilai nominal sukuk sesuai partisipasi masing-masing.

i. Bagi hasil (nisbah) adalah pemabgian pendapatan atau keuntungan kepada pemegang SBSN, pembagiannya hasil keuntungan berdasarkan kesepakatan dan bersifat halal.

j. Resiko adalah kerugian yang timbul apabila target keuntungan investasi tidak sesuai dengan apa yang direncanakan atau diinginkan.

 

34 Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

35 Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

36 Pasal 1 angka 15 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

37 Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

(26)

         

G. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.38

Soerjono Soekanto mengatakan menurut kebiasaaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian 2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan

3. Cara tertentu untuk melaksanakan prosedur39

Istilah metode ini berasal dari bahasa Yunani dari kata Methodos yang berarti cara atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode manyangkut cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.40

Metode dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.

 

38 Jhony Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Banyumedia Publishing, 2005), hlm. 4

39 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), hlm.5

40 Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.16

(27)

         

Metode penelitian hukum yang dilakukan dalam penelitian ini dengan pendekatan kualitatif serta tetap memperhatikan kualitas kedalaman data yang diperoleh. Dengan demikian data yang akan diperoleh dalam penyusunan tulisan ini digunakan sebagai pendukung bagi kelengkapan maksud dan tujuan penelitian.

1. Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, dimana jenis penelitian yang bertujuan melukiskan permasalahan hukum41 yaitu penelitian ini hanya menggambarkan yang telah dikemukakan, dengan tujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.42

2. Sumber Data

Didalam suatu penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah.43 Dari sudut informasi, maka bahan pustaka dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan. Dan merupakan landasan

 

41 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm 16

42 Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Pemukiman Berkelanjutan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm 17

43 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: Citra Adytia Bakti, 2004), hlm.122

(28)

 

utama untuk dipakai dalam rangka penelitian ini, yaitu: Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara dan peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan objek penelitian.

b. Bahan hukum sekunder, bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dengan objek telaah penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan jurnal-jurnal ilmiah.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan objek telaahan penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan karya ilmiah lainnya.

4. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumen. Pada tahap awal pengumpulan data dilakukan inventaris seluruh data dan atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan

(29)

 

pengkategorian data-data tersebut berdasarkan rumusan permasalahan yang telah ditetapkan.

5. Analisis Data

Analisis merupakan hal terpenting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Setelah diperoleh data sekunder yakni berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, maka dilakukan pengklarifikasian data, kemudian data disusun secara sistematis untuk mempermudah proses analisa. Analisa data dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Selanjutnya ditarik suatu kesimpulan yang bersifat deduktif sebagai jawaban atas permasalahan.

Analisa data kualitatif ini adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistematiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

Referensi

Dokumen terkait

Pengambilan gambar objek terestris yang digunakan dalam pembuatan Tugas Akhir ini adalah pengambilan foto secara konvergen yaitu pengambilan gambar ke arah titik pusat objek

Untuk mendapatkan proses forensik pada printer yang optimal diperlukan suatu metode yang tepat agar proses identikasi dapat memperoleh dan memunculkan ciri sehingga

Mitigasi non struktural yang terdapat di Kelurahan Nusukan yaitu sosialisasi kelompok MUSRENBANGKEL yang diadakan oleh pihak pemerintah kelurahan, kepada masyarakat

Pemegang Saham atau kuasanya yang ingin mengajukan pertanyaan dan/atau menyampaikan pendapatnya diminta untuk mengangkat tangan dan kemudian pihak yang ditunjuk

Kartu Stock Per Tanggal Kode Barang 1.01.00001 Nama Barang Spesifikasi

Organ seks pada laki-laki yaitu gonad atau testeis yang terletak didalam scrotum. Kemudian terjadilah pertumbuhan selama 1-2 tahun, lalu pertumbuhan menurun. Testis

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur yang disimbolkan dengan (Y), sedangkan untuk

Dari persilangan-persilangan terse- but telah terpilih galur-galur harapan PTB dengan sifat-sifat yang lebih baik dari varietas dan galur-galur terdahulu, seperti batang lebih