• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Malpraktek Medik Di Rumah Sakit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Malpraktek Medik Di Rumah Sakit"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Malpraktek Medik Di Rumah Sakit

Robert Valentino Tarigan1, Mahmud Mulyadi2, M. Ekaputra3, Mahmul Siregar4

1,2,3,4Prgogram Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara

E-mail: Robert_v_dr@yahoo.com (CA)

Abstrak

Rumah sakit dalam melaksanakan pelayanan kesehatan tidak selamanya layanan medis yang diberikan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit, dapat memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan semua pihak. Tidak sedikit rumah sakit yang karena kelalaian dokternya dalam memberikan pelayanan kesehatan membuat kesalahan dengan melakukan malpraktek medik. Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 menyatakan bahwa “rumah sakit bertanggungjawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit”. Pasal 190 dan 201 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengatur perihal memberikan pertanggungjawaban pidana tidak hanya kepada dokter namun bisa juga kepada pihak rumah sakit yang secara hukum para dokter dan fasilitas serta pelayanan diberikan oleh rumah sakit. Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini ialah: 1. Bagaimana doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia? 2. Bagaimana peran dan kedudukan rumah sakit yang dikategorikan sebagai korporasi? 3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap malpraktek medik di rumah sakit? Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa doktrin Pertanggungjawaban pidana korporasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesi khususnya di UU Penimbunan barang-barang menganut doktrin Direct Liability dan Vicarious Liability, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menganut doktrin the corporate culture model doktrin, sedangkan UU Nomor 36 Tahun 2009 menganut doctrine of delegation. Perma Nomor 13 Tahun 2016 menganut teori corporate culture model. Peran rumah sakit yang dikategorikan sebagai korporasi berdasarkan definisi rumah sakit bahwa rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang berdasar pada ketentuan Pasal 7 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit harus berbadan hukum. Badan hukum ini merupakan suatu korporasi jika dilihat pengertian secara luas seperti adanya PT, CV, Yayasan dan bentuk badan hukum lainnya. Pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap malpraktek medik di rumah sakit Kalau ditinjau dari sudut rumah sakit, maka tanggungjawab rumah sakit itu sendiri meliputi tiga hal, yaitu: tanggungjawab yang berkaitan dengan personalia, tanggungjawab yang menyangkut sarana dan peralatan, tanggungjawab yang menyangkut duty of care (kewajiban memberikan perawatan yang baik). Korporasi atau badan hukum rumah sakit dapat pula dituntut sebagai pelaku perbuatan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (2) dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga Pasal 190 Jo. Pasal 201 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Rumah Sakit, Malpraktek Medik.

Abstract

Hospital in implementing health services is not always the medical service provided by health workers in the hospital, it can provide the results expected by all parties. Not a few hospitals due to the negligence of their doctors in providing health services made the mistake of committing medical malpractice.

Article 46 of Law Number 44 Year 2009 states that "the hospital is legally responsible for all losses caused by negligence committed by health workers in the hospital". Articles 190 and 201 of Law Number 36 of 2009 concerning Health regulate the provision of criminal responsibility not only to doctors but also to hospitals, which legally are doctors and the facilities and services are provided by the hospital. The problems that will be discussed in this research are: 1. How is the doctrine of corporate criminal responsibility regulated in the laws and regulations in Indonesia? 2. What is the role and position of the hospital which is categorized as a corporation? 3. How is the criminal responsibility of

http://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris

ISSN ONLINE: 2745-8369

(2)

the hospital for medical malpractice in the hospital? Based on the results of research and discussion that the doctrine of corporate criminal responsibility which is regulated in the laws and regulations in Indonesia, especially in the Law on stockpiling of goods adheres to the doctrine of Direct Liability and Vicarious Liability, UU Number 44 of 2009 concerning Hospitals adheres to the doctrine of the corporate culture model of doctrine, while Law Number 36 of 2009 adheres to the doctrine of delegation.

Perma Number 13 of 2016 adopts the corporate culture model theory. The role of hospitals that are categorized as corporations is based on the hospital definition that hospitals are health service institutions based on the provisions of Article 7 of Law Number 44 of 2009 concerning hospitals must be a legal entity. This legal entity is a corporation when viewed in a broad sense such as the existence of PT, CV, Foundation and other forms of legal entities. Hospital criminal liability for medical malpractice in the hospital If viewed from the point of view of the hospital, the hospital's responsibility itself includes three things, namely: responsibilities relating to personnel, responsibilities relating to facilities and equipment, responsibilities relating to the duty of care. provide good care). Corporations or hospital legal entities can also be prosecuted as the perpetrator of a criminal act based on the provisions of Article 80 paragraph (2) and Law Number 29 of 2004 concerning Medical Practice as well as Article 190 Jo. Article 201 of Law Number 36 Year 2009 concerning Health.

Keywords: Criminal Liability, Hospital, Medical Malpractice.

Cara Sitasi:

Tarigan, R.V.,dkk. (2021), “Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Malpraktek Medik Di Rumah Sakit”, IURIS STUDIA: Jurnal Kajian Hukum Vol. 2 No. 1, Pages 106-114

A. Pendahuluan

Rumah sakit dalam melaksanakan pelayanan kesehatan tidak selamanya layanan medis yang diberikan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit, dapat memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan semua pihak. Adakalanya layanan tersebut terjadi kelalaian tenaga kesehatan yang menimbulkan malapetaka seperti misalnya cacat, lumpuh atau bahkan meninggal dunia.1 Malpraktik di Indonesia sebetulnya sangat sering terdengar karena dugaan banyaknya pasien yang menjadi korban akibat malpraktik oleh dokter. Tidak heran jika seorang dokter digugat oleh pasien atau keluarganya setelah diketahui bahwa penyakit si pasien menjadi bertambah para dan bahkan menimbulkan cacat dan kematian.2

Rumah sakit yang tenaga kesehatannya melakukan malpraktek medik dapat dimintai pertanggungjawaban sebagaimana ditentukan dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 menyatakan bahwa “rumah sakit bertanggungjawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit”. Berdasarkan dasar hukum tersebut sudah tentu bahwa ketika malpraktek yang terjadi dilakukan oleh tenaga kesehatan (dokter) di rumah sakit, maka rumah sakit bertanggungjawab hanya secara perdata saja. Namun, jika ada unsur pidana maka tenaga kesehatan (dokter) yang harus mempertanggungjawabkannya.

Berdasarkan Pasal 190 dan 201 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, untuk memberikan pertanggungjawaban pidana tidak hanya kepada dokter namun bisa juga kepada pihak rumah sakit yang secara hukum para dokter dan fasilitas serta pelayanan diberikan oleh rumah sakit. Ketentuan Pasal tersebut mengatur bahwa:

Pasal 190:

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagiamana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

1 Setya Wahyudi “Tanggungjawab Rumah Sakit Terhadap Kergian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 3 September 2011, hlm. 505.

2 Zaeni Asyhadie, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia Ed. 1 Cet. 1 (Depok: Rajwali Pers, 2017), hlm. 111.

(3)

Pasal 201:

(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemeberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200.

(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:

a. Pencabutan izin usaha; dan/atau b. Pencabutan status badan hukum.

Berdasarkan dasar hukum Pasal 190 di atas tersebut merupakan dasar hukum malpraktek bagi tenaga kesehatan dan/atau pimpinan pelayanan kesehatan. Tetapi, rumah sakit yang dokternya melakukan tindak pidana malpraktek berdasarkan Pasal 201 UU Nomor 36 Tahun 2009 di atas dapat dimintai pertanggungjawaban juga. Namun, hanya diberikan kepada suatu korporasi. Hal yang ambigu dalam Pasal 190 tersebut adalah pidana bagi korporasi, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah sebuah rumah sakit dapat dikategorikan sebagai korporasi atau tidak. Menurut Satjipto Rahardjo dalam Muladi dan Dwidja Priyatno mengatakan bahwa “korporasi adalah suatu badan hasil cipta hukum.

Badan yang diciptakannya itu terdiri dari “corpus”, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkan unsur “animus” yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaaan hukum maka, kecuali penciptaannya, kematiaannya juga ditentukan oleh hukum.”3

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis dalam ini membatasi permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi yang diatur dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia?

2. Bagaimana peran dan kedudukan rumah sakit yang dikategorikan sebagai korporasi?

3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap malpraktek medik di rumah sakit?

Penelitian ini merupakan penelitian normatif melalui penyusunan asas-asas hukum, baik dari data sosial maupun dari data hukum positif tertulis, merumuskan definisi hukum. 4 Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat atau yang membuat masyarakat dapat dimaklumi, termasuk produk hukum yang menjadi bahan kajian dan produk hukum sebagai alat bantu pembentuk hukum.kritik.

Bahan hukum sekunder meliputi penjelasan bahan hukum primer di dalam bentuk doktrin ahli yang ditemukan di buku, jurnal, dan situs web.5

Terkait perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitiannya adalah; untuk menganalisis doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia;

untuk meganlisis peran dan kedudukan rumah sakit yang dikategorikan sebagai korporasi dan untuk menganalisis pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap malpraktek medik di rumah sakit.

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis.

Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk menjadi referensi maupun penelitian lebih komprehensif bagi kalangan akademisi, dan mahasiswa untuk dapat menganalisa terkait pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap malpraktek medik di rumah sakit.

Dari segi praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang begitu besar bagi pemegang kekuasaan baik itu di pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, pihak-pihak rumah sakit yang didirikan oleh swasta, unsur penegak hukum, dan bahkan bagi seluruh lapisan masyarakat yang secara langsung berhubungan terhadap rumah sakit jika memerlukan bantuan medis dari rumah sakit.

B. Pembahasan

3 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Edisi Ketiga (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 24.

4 Rahmat Ramadhani dan Ummi Salamah Lubis, “Opportunities and Challenges for the Badan Pertanahan Nasional (BPN) in Handling Land Cases in the New Normal Era” Legality: Jurnal Ilmiah Hukum 29, No. 1, (2021): p. 3.

5 Rahmat Ramadhani dan Rachmad Abduh, “Legal Assurance of the Land Registration Process in the Pandemic Time of Covid- 19” Budapest International Research and Critics Institute-Journa 4, No. 1, (2021): p. 349.

(4)

Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan toekenbaardheid atau criminal responsibility dalam bahasa inggris yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, diharuskan perbuatan yang dilakukannya itu memenuhi unsur delik yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakannya apabila tindakan tersebut melawan hukum dari perbuatannya. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.6

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pertanggungjawaban pidana sebagai Grand Theory. Dipilihnya teori ini ialah untuk melihat secara teori apakah dikenal pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan. Yang seperti dalam penelitian ini dokter yang melakukan malpraktek tetapi rumah sakit harus juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana yang merupakan penyedia layanan kesehatan dan mempunyai hubungan hukum dengan dokternya di rumah sakit.

Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebuatn mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahas inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guility, unless the mind is legally blameworthy. Berdasar asas tersebut, ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mempidana seseorang yaitu ada perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).7

Teori kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori malpraktek yang fokusnya karena pada kelalaian. Teori kelalaian ini umumnya disebabkan oleh keterlambatan dokter dalam melayani pasien. Kelalaian menurut Nusye KI Jayanti dalam Zaeni Asyhadie dapat terjadi dalam tiga bentuk:8 1. Malfeasance, melakukan tindakan yang melanggar hukum atatu tidak tepat atau tidak layak

(unlawfull/improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper.

2. Misfeasance, melakukan pilihan tindakan medis yang tepat namun dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performa), misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.

3. Nonfeasance, tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban dan seharusnya dilakukan.

Teori ketiga yaitu teori pembelaan malpraktek. Teori pembelaan diri terhadap gugatan dan tuntutan dalam malpraktek menurut Ninik Mariyanti dalam Zaeni Asyhadie adalah sebagai berikut:9

1. Teori kesediaan pasien untuk menerima risiko, artinya setelah dijelaskan tentang seluk-beluk penyakitnya, dan tindakan medis yang akan dilakukan untuk megurangi penderitaannya (informat consent) sipasien bersedia menandatangani perjanjian. Ini berarti sipasien mau menerima segala tindakan medis yang dilakukan dokter dan mau menerima segala risiko yang akan dihadapinya.

Atas dasar ini dokter atau tenaga para medis dapat membela diri.

2. teori yang menyatakan bahwa sipasien ikut serta dalam melakukan kelalaian. Dalam hal ini dokter atau tenaga para medis dapat saja melakukan pembelaan dengan menyatakan bahwa sipasien tidak menaati segala nasihat dokter atau tenaga medis tentang hal-hal yang harus atau yang tidak dilakukan sipasien setelah tindakan medis. Misalnya setelah operasi pasien dilarang untuk melakukan gerakan yang dapat menimbulkan efek samping.

3. Adanya perjanjian untuk membebaskan diri dari kesalahan, misalnya dalam kontrak operasi ditentukan pasien tidak akan mengambil tindakan hukum apabila terjadi kegagalan operasi.

4. Adanya aturan Good Samaritan, di mana seorang dokter memberikan pertolongan gawat darurat demi kemanuisaan dengan tujuan yang murni. Di sini dokter juga dapat melakukan pembelaan diri, bahwa tindakan medis tersebut harus segera dilakukan, sebab jika terlambat dilakukan sipasien bisa saja mengalami kefatalan. Untuk alasan itu dokter atau tenaga para medis bisa melakukan pembelaan diri, kecuali apabila terjadi kesalahan atau kelalaian fatal dan mencolok.

6 Andi Sofyan dan Nur Azis, Buku Ajar Hukum Pidana (Makassar: Pustaka Pena Press, 2016), hlm. 124.

7 Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015) hlm. 155-156.

8 Zaeni Asyhadie. Op. Cit., hlm. 121-122.

9 Ibid., hlm. 131-132.

(5)

5. Pembebasan atas tuntutan, di mana dalam kontrak ditentukan kedua belah pihak akan menyelesaikan permasalahan dengan perdamaian.

1. Doktrin Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Yang Diatur Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia

Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia bukan degan cara menembah ketentuan tersebut dalam KUHP seperti yang terjadi di beberapa negara civil law lain.

Tetapi adopsi konsep tersebut dilakukan melalui pengundangan berbagai undang-undang di luar KUHP, yaitu diadopsi sebagai tindak pidana khusus.10 Dalam penelitian ini hanya akan diuraikan doktrin dan modelnya pada undang-undang khusus penimbunan barang-barang, undang-undang rumah sakit, dan undang-undang kesehatan, dan peraturan Mahkamah Agung.

1. Undang-Undang Penimbunan Barang-Barang; Jika melihat ketentuan larangan dalam Pasal 2, 3, dan 4, dalam UU Nomor 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang, maka doktrin pertanggungjawaban yang diatur dalam ketentuan UU Nomor 17 Tahun 1951 ini adalah doktrin Direct Liability dan Vicarious Liability, sebab ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 1951 tedapat makna suatu perbuatan itu dapat dihukum terhadap badan hukum ketika suatu perbuatan tersebut dilakukan atas nama badan hukum itu. Artinya, kesalahan itu tidak diukur terhadap apa yang dilakukan pengurus saja, tetapi setiap pekerja atau bawahan yang melakukan suatu perbuatan yang mengatasnamakan badan hukum yang terindikasi sebagai perbuatan pidana maka badan hukum itu dapat dihukum.

2. Undang-Undang Rumah Sakit; Apabila melihat ketenuan pada Pasal 46 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Maka, doktrin yang dianut adalah the corporate culture model doktrin, Sebab dalam doktrin ini model pertanggungjawaban pidananya korporasi sebagai pembuat dan korporasi pula yang harus bertanggungjawab. Secara tidak langsung ketentuan hukum tersebut memandang bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam hubungan kerja merupakan tindakan oleh dan atas nama rumah sakit.11

3. Undang-Undang Kesehatan; Apabila melihat ketentuan Pasal 190 Jo. Pasal 201 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maka doktrin pertanggungjawaban pidaan yang dianut adalah doctrine of delegation Dasar pembenar dari pembebanan pertanggungjawaban pidana pada korporasi menurut doctrine of delegation yaitu adanya pendelegasian wewenang dari seseorang kepada yang lain untuk melaksanakan keweangan yang dimilikinya. Meskipun seseorang mendapatkan keepercayaan secara delegasi dari atasannya dan melakukan tindak pidana, si pemberi wewenang (korporasi) harus menanggung pertanggungjawaban pidana karena memang ada kaitan tindakan tersebut dengan lingkup pekerjaa korporasi. Hal tersebut dapat dipahami karena pada dasarnya hal-hal (tindakan) yang dipercayakan oleh pemberi kerja (korporasi) merupakan hal- hal yang biasanya harus dilakukannya sendiri oleh pemberi kerja namun dipercayakan pada pekerja.12 Rumah sakit memberikan kewenangan delegasi kepada pimpinan dan tenaga kesehatan dengan mengatasnamakan rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal di atas.

4. Model pertangungjawaban pidana korporasi dalam R-KUHP; Model pertanggungjawaban pidana korporasi yang dianut dalam R-KUHP sebagaimana dikemukakan oleh Mardjono Reksodiputro, menganut dua model pertanggungjawaban pidana korporasi.

a. Pertama adalah korporasi sebagai pembuat dan korporasi bertanggungjawab. Hal ini terdapat pada ketentuan Pasal 49 R-KUHP yang menyebutkan bahwa apabila tindak pidana dilakukan oleh korporasi maka pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap korporasi.

b. Kedua adalah korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggungjawab. Hal ini terdapat dalam ketentuan yang sama, yakni Pasal 49 yang menyatakan “jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap pengurusnya.13 5. Doktrin pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13

Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi; Ketentuan

10 Sutan Remi Sjahdeini, Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi dan Seluk-Beluknya, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm.

219.

11 Hwian Christianto, “Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Atas Tindakan Tenaga Kesehatan Menurut UU No. 44 Tahun 2009”, Jurnal Yustika Volume 14 Nomor 1 Juli 2011, hlm. 85.

12 Ibid., hlm. 80.

13 Aulia Ali Reza, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Rancangan KUHP, (Jakarta: Institute For Criminal Justice Reform, 2015), hlm. 35-36.

(6)

Pasal 5 menentukan bahwa dalam hal seorang atau lebih pengurus korporasi berhenti atau meninggal dunia tidak megakibatkan hilangnya pertanggungjawaban pidana korporasi. Dalam konteks Pasal 4 Perma Nomor 13 Tahun 2016 tesebut memperluas pembuktian kesalahan yaitu mengarah pada penerapan teori corporate culture model di mana korporasi dapat dipertanggungjawabkan pidana atas kesalahannya yang tidak melakukan pencegahan atau memiliki kondisi budaya kerja yang tak menghindarkan terjadinya tndak pidana.14

2. Peran Dan Kedudukan Rumah Sakit Yang Dikategorikan Sebagai Korporasi

Rumah sakit berperan sebagai institusi pelayanan kesehatan yang dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan tersebut dilakukan secara paripurna dengan menyediakan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Rumah Sakit hakikatnya ialah sebuah organisasi yang dibentuk oleh suatu Badan Hukum (Pemerintah, Perjan, Yayasan, Perseroan Terbatas, Perkumpulan). Salah satu prin-sip dari setiap organisasi ialah unsur “authority”. Jika dilihat dari sudut manajemen, maka dalam setiap organisasi termasuk organisasi rumah sakit harus ada pucuk pimpinan yang memikul tanggungjawab dan wewenang tertinggi.15 Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 44 Tahun 2009 bahwa rumah sakit itu ada rumah sakit yang didirikan Pemeirntah atau Pemerintah Daerah dan rumah sakit swasta yang harus berbadan hukum.

Pengertian korporasi secara luas sebagai pengertian korporasi dalam hukum pidana, yang mendefinisikan korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan- badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum perdata, tetapi juga firma, persekutuan komanditer atau CV, dan pesekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum.16

Bentuk badan hukum rumah sakit tersebut dapat berupa perseorangan, perkumpulan, commanditer venonschaap, yayasan dan perseroan terbatas. Rumah sakit pemerintah atau rumah sakit publik yang dimiliki pemerintah daerah dalam bentuk badan usaha milik daerah sedangkan rumah sakit privat seperti halnya badan hukum pada umumnya. Perbedaan dalam tujuan utama pelayanan kesehatan rumah sakit privat erat kaitan dengan persaingan usaha dalam pelayanan kesehatan sehingga fungsi sosial sebagai tujuan utama mulai bergeser dengan fungsi ekonomi.17

3. Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Terhadap Malpraktek Medik Di Rumah Sakit Malpraktek medik ini pada umumnya tidak berdiri sendiri yang dipandang hanya melibatkan dokter saja, tetapi hal ini juga melibatkan dari berbagai unsur seperti adanya perawat dan rumah sakit dalam kedudukannya sebagai fasiliator. Dengan demikian, untuk menentukan keterlibatan dalam malpraktek medik dapat dilihat dari hubungan kausalitas antara pebruatan dan akibat yang ditimbulkan.

Hubungan kausalitas antara perbuatan degan akibat yang ditimbulkan dalam malpraktek medik merupakan syarat suatu perbuatan melawan hukum.18

Unsur kesalahan dalam malpraktek tidak hanya semata melanggar aturan hukum pidana, tetapi juga melanggar etika kedokteran yang telah ditetapkan oleh kode etik kedokteran dan sumpah dokter. Dalam memberikan pelayanan medis terhadap pasien terdapat standar yang harus dilaksanakan oleh seorang dokter, yang mana jika standar tesebut tidak dilaksanakan merupakan bentuk pelanggaran yang dimaknai sebagai suatu kesalahan secara professional dan dapat dikenakan sanksi melanggar etika kedokteran. Hal ini terlihat di dalam ketentuan Pasal 44 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran.19 Korporasi atau badan hukum rumah sakit dapat pula dituntut sebagai pelaku perbuatan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (2) dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran.

14 Budi Suhariyanto, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Corporate Culture Model dan Implikasinya Bagi Kesejahteraan Masyarakat”, Jurnal Rechts Vinding Volume 6, Nomor 3, Desember 2017, hlm. 44.

15 Hasrul Buamona, “Tanggung Jawab Pidana Korporasi Rumah Sakit”, Jurnal Hukum Novelty Vol.7 No.1 Februari 2016, hlm.

hlm. 108.

16 Dwidja Priyatno dan Kristian, Kebijakan Formulasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Khusus Di Luar KUHP Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), hlm. 25.

17 Wahyudi, “Kedudukan Badan Hukum Rumah Sakit Privat Dihubungkan Dengan Fungsi Sosio Ekonomi”, Istinbath: Jurnal Hukum. Vol. 15 No.2. Nov. 2018, hlm. 234.

18 H. Muntaha, Hukum Pidana Malapraktik: Pertanggungjawaban dan Penghapusan Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2019), hlm. 138.

19 Ibid., hlm. 226.

(7)

Kalau ditinjau dari sudut rumah sakit, maka tanggungjawab rumah sakit itu sendiri meliputi tiga hal, yaitu:

1. Tanggungjawab yang berkaitan dengan personalia.

2. Tanggungjawab yang menyangkut sarana dan peralatan.

3. Tanggungjawab yang menyangkut duty of care (kewajiban memberikan perawatan yang baik).20 Dokter yang bekerja di suatu rumah sakit dapat memiliki hubungan administratif yang bervariasi dengan rumah sakit tersebut. Di rumah sakit, seorang dokter dapat berstatus sebagai:21

1. Pegawai negeri yang dipekerjakan atau ditempatkan di rumah sakit pemerintah.

2. Pegawai swasta dari perusahaan pemilik rumah sakit swasta tersebut.

3. Pegawai tetap rumah sakit.

4. Tenaga kerja (purnawaktu) berdasarkan kontrak untuk waktru tertentu.

5. Tenaga kerja berdasarkan kontrak untuk melakukan pelayanan kedokteran tertentu secara paruh waktu.

6. Dokter tamu.

Menurut Bambang Purnomo tanggungjawab kesehatan di dalam rumah sakit terdiri dari beberapa doktrin kesehatan, yakni:22

1. Doctrine of Personal Liability Ajaran ini mengajarkan bahwa tanggung jawab melekat pada individu itu sendiri.

2. Doctrine of Strict Liability Menurut ajaran ini pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada yang bersangkutan dengan tidak perlu dibebankan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Ajaran ini menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak dipermaslahkan atau disebut pertanggungjawaban mutlak.

3. Doctrine of Vicarious Liability Teori atau ajaran ini diambil dari hukum perdata dalam konteks pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum (tortuous liability) yang diterapkan pada hukum pidana. Vicarious Liability biasanya berlaku dalam hukum pidana tentang perbuatan melawan hukum (the law of torts) berdasarkan doctrine of respondeat superior. Dalam perbuatan-perbuatan perdata seorang majikan bertanggung jawab untuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya sepanjang hal itu terjadi dalam rangka pekerjaannya. Hal ini memberikan kemungkinan kepada pihak yang dirugikan karena perbuatan-perbuatan melawan hukum dari mereka itu untuk menggugat majikannya agar membayar ganti rugi apabila dapat dibuktikan.

Berkaitan dengan korporasi maka suatu korporasi dimungkinkan bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya, atau mandatarisnya, atau siapapun yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut.

4. Doctrine of Delegation Doktrin ini merupakan salah satu alasan untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana secara vikarius. Adanya pendelegasian wewenang dari seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Pendelegasian wewenang oleh majikan kepada bawahannya ini merupakan alasan pembenar bagi dapat dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada majikannya atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahannya yang memperoleh pendelegasian wewenang itu.

5. Doctrine of Corporate Identification Teori dalam ajaran ini mengajarkan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan pidana kepada suatu korporasi harus mampu diidentifikasi siapa yang melakukan tindak pidana tersebut dan apabila tindak pidana itu dilakukan oleh mereka yang merupakan directing mind dari korporasi tersebut, maka baru pertanggungjawaban dari tindak pidana itu dapat dibebankan kepada korporasi.

C. Penutup

Kesimpulannya adalah bahwa; Pertama, Doktrin Pertanggungjawaban pidana korporasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesi khususnya di UU Penimbunan barang-barang menganut doktrin Direct Liability dan Vicarious Liability, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

20 Noor M. Aziz, “Laporan Penelitian Hukum Tentang Hubungan Tenaga Medik, Rumah Sakit dan Pasien”, Laporan Tahunan Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Tahun 2010, hlm. 38- 39.

21 Syahrul Machmud, Penegakan Hukum Dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, (Bandung: Karya Putra Darwati, 2012), hlm. 200-201.

22 Herkutanto, Masalah Pelayanan Dokter Kepada Pasien, (Jakarta, Ind-Hill-Co, 1989), hlm. 88.

(8)

Sakit menganut doktrin the corporate culture model doktrin, sedangkan UU Nomor 36 Tahun 2009 menganut doctrine of delegation. Perma Nomor 13 Tahun 2016 menganut teori corporate culture model;

Kedua, Peran rumah sakit yang dikategorikan sebagai korporasi berdasarkan definisi rumah sakit bahwa rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang berdasar pada ketentuan Pasal 7 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit harus berbadan hukum. Badan hukum ini merupakan suatu korporasi jika dilihat pengertian secara luas seperti adanya PT, CV, Yayasan dan bentuk badan hukum lainnya;

Ketiga, Pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap malpraktek medik di rumah sakit Kalau ditinjau dari sudut rumah sakit, maka tanggungjawab rumah sakit itu sendiri meliputi tiga hal, yaitu:

tanggungjawab yang berkaitan dengan personalia, tanggungjawab yang menyangkut sarana dan peralatan, tanggungjawab yang menyangkut duty of care (kewajiban memberikan perawatan yang baik).

Korporasi atau badan hukum rumah sakit dapat pula dituntut sebagai pelaku perbuatan pidana berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (2) dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga Pasal 190 Jo. Pasal 201 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai berikut: Pertama, Pertanggungjawaban pidana korporasi diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia masih belum cukup memberikan kejelasan terhadap pemenuhan unsur perbuatan melawan hukum dari korporasi dalam hal ini rumah sakit. Sehingga diperlukan norma tertulis untuk dijadikan dasar pemidanaan bagi rumah sakit yang dokternya melakukan malpraktek medik. Kedua, Peran dan kedudukan rumah sakit yang dikategorikan sebagai korporasi sebagai insitusi pelayanan kesahatan dengan melihat isi dari ketentuan Pasal 7 ayat (3) UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2016 seharusnya dapat memberikan keterangan lebih jelas terkait kedudukan rumah sakit berbadan hukum. Sebab, hal ini menjadikan rumah sakit tidak sembarangan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang dijamin oleh konstitusi. Ketiga, Pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap malpraktek medik di rumah sakit yang dilakukan oleh dokter rumah sakit secara aturan normatif belum memberikan gambaran jelas terkait rumah sakit yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 80 ayat (2) dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga Pasal 190 Jo. Pasal 201 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Daftar Pustaka

Ali, Mahrus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2015.

Asyhadie, Zaeni, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia Ed. 1 Cet. 1 Depok: Rajwali Pers, 2017.

Aziz, Noor M, “Laporan Penelitian Hukum Tentang Hubungan Tenaga Medik, Rumah Sakit dan Pasien”, Laporan Tahunan Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Tahun 2010.

Buamona, Hasrul, “Tanggung Jawab Pidana Korporasi Rumah Sakit”, Jurnal Hukum Novelty Vol.7 No.1 Februari 2016.

Christianto, Hwian, “Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit Atas Tindakan Tenaga Kesehatan Menurut UU No. 44 Tahun 2009”, Jurnal Yustika Volume 14 Nomor 1 Juli 2011.

Herkutanto, Masalah Pelayanan Dokter Kepada Pasien, Jakarta, Ind-Hill-Co, 1989.

Machmud, Syahrul, Penegakan Hukum Dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter Yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Bandung: Karya Putra Darwati, 2012.

Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Edisi Ketiga Jakarta:

Kencana, 2010.

Muntaha, H, Hukum Pidana Malapraktik: Pertanggungjawaban dan Penghapusan Pidana Jakarta: Sinar Grafika, 2019.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi.

Priyatno, Dwidja, dan Kristian, Kebijakan Formulasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan Khusus Di Luar KUHP Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2017.

Ramadhani, Rahmat dan Rachmad Abduh. (2021). “Legal Assurance of the Land Registration Process in the Pandemic Time of Covid-19” Budapest International Research and Critics Institute-Journa 4, No. 1.

(9)

Ramadhani, Rahmat dan Ummi Salamah Lubis. (2021). “Opportunities and Challenges for the Badan Pertanahan Nasional (BPN) in Handling Land Cases in the New Normal Era” Legality: Jurnal Ilmiah Hukum 29, No. 1.

Reza, Aulia Ali, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Rancangan KUHP, Jakarta: Institute For Criminal Justice Reform, 2015.

Sjahdeini, Sutan Remi, Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi dan Seluk-Beluknya, Jakarta: Kencana, 2017.

Sofyan, Andi, dan Nur Azis, Buku Ajar Hukum Pidana Makassar: Pustaka Pena Press, 2016.

Suhariyanto, Budi, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Berdasarkan Corporate Culture Model dan Implikasinya Bagi Kesejahteraan Masyarakat”, Jurnal Rechts Vinding Volume 6, Nomor 3, Desember 2017.

Undang-Undang Nomo 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Wahyudi, “Kedudukan Badan Hukum Rumah Sakit Privat Dihubungkan Dengan Fungsi Sosio Ekonomi”, Istinbath: Jurnal Hukum. Vol. 15 No.2. Nov. 2018.

Wahyudi, Setya, “Tanggungjawab Rumah Sakit Terhadap Kergian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya”, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 3 September 2011.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua variabel yang baik adalah self- successful dalam berwirausaha, toleransi terhadap risiko, dan keinginan untuk merasakan kerja

[r]

Materinya meliputi: Kebijakan Penerbitan dan Akreditasi Jurnal; Isi dan Format Jurnal Ilmiah; Manajemen Jurnal Ilmiah; Mekanisme dan Teknik Penyuntingan Artikel Jurnal;

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI. Semester

Pendaftaran ditutup sewaktu-waktu jika kuota

indicators  yang  mencakup  kemampuan  keluarga  miskin  dalam  memperoleh  mata  pencaharian (livelihood  capabilities),  memenuhi  kebutuhan  dasar  (basic

Perangkat lunak pertama yaitu perangkat lunak assembler-51 yang digunakan untuk mengoperasikan mikrokontroler AT89S51 sebagai CPU pada sistem minimum guna mengendalikan

THURAYA TIDAK AKAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS KERUSAKAN MELEBIHI HARGA PEMBELIAN PRODUK, DIKURANGI JUMLAH YANG MASUK AKAL UNTUK PENGGUNAAN DAN PEMAKAIAN, ATAU ATAS SEGALA