TESIS
VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA
DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURAEKSUDAT
PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH
DENPASAR BALI
YOHANES PUTRA MBAMA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
TESIS
VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA
DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURAEKSUDAT
PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH
DENPASAR BALI
YOHANES PUTRA MBAMA NIM : 1014028110
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA
DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURA EKSUDAT
PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH
DENPASAR BALI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
YOHANES PUTRA MBAMA NIM. 1014028110
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 9 MEI 2016
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K) NIP. 195805211985031002 NIP. 195902151985102001
Pembimbing I,
Dr. dr. Ketut Putu Yasa, SpB, SpBTKV NIP. 196011151987021002
Pembimbing II,
Lembar Penetapan Panitia Penguji
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 17 Mei 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,
Nomor : 2123/UN14.4/HK/2016 Tanggal 12 Mei 2016
Ketua : Dr. dr. Ketut Putu Yasa, Sp.B, SpBTKV
Anggota :
1. Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH
2. dr. I.N.W. Steven Christian, Sp.B(K)Onk
3. dr. Ida Bagus Darma Putra, Sp.B-KBD
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS UDAYANA
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK Alamat :Sekretariat Pascasarjana Universitas Udayana,-Jl Panglima Sudirman Denpasar, Bali Telp. 0361-7475076, 7425201. Fax 0361-246656, 223797. Email. Csaam_fkunud@yahoo.com
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Nama : dr. Yohanes Putra Mbama
NIM : 1014028110
Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)
Judul : Validitas Kadar Glukosa Cairan Pleura Dalam Memprediksi
Efusi Pleura Eksudat Parapneumonik di RSUP Sanglah
Denpasar Bali
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar,………..
Yang membuat pernyataan,
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat–Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul
“Validitas Kadar Glukosa Cairan Pleura Dalam Memprediksi Efusi Pleura
Eksudat Parapneumonik Di RSUP Sanglah Denpasar Bali”.
Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program
Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum di Departemen/SMF Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Terima kasih
yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi–tingginya saya haturkan
kepada:
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD–KEMD, selaku Rektor Universitas
Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di Universitas yang beliau
pimpin.
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K), selaku Direktur Program Pasca
sarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi
mahasiswa Program Combined Degree Program Studi Ilmu Biomedik pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, Sp.GK selaku Ketua Program
Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah
memberikan kesempatan untuk menimba ilmu.
Dr. dr. Ketut Putu Yasa, SpB, SpBTKV selaku pembimbing utama
inspirasi, bimbingan, dan nasehat sehingga mempermudah saya dalam
menyelesaikan karya tulis ini.
Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH selaku pembimbing kedua
dalam penelitian ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk
memperlancar penyelesaian karya tulis ini.
Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS(K) selaku Kepala Departemen/SMF
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan
Dokter Spesialis di program studi Bedah Umum.
dr. I Ketut Wiargitha, SpB(K)Trauma selaku Ketua Program Studi Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr.
Putu Anda TustaAdiputra, SpB(K)Onk sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang
telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.
dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes selaku Direktur Utama RSUP Sanglah
Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar di
lingkungan rumah sakit yang beliau pimpin.
Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan untuk mengikuti
pendidikan spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau pimpin.
Seluruh Staf Pengajar Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar sebagai guru dan teladan saya
dan dukungan kepada saya selama mengikuti pendidikan Bedah Umum dan dalam
menyelesaikan karya tulis ini.
Orang tua saya, Hironimus Rasyi, BA dan Maria Margaretha Fatima,, istri
saya dr. Hildegardis DC Siba, kedua putra saya Josep Guernica Nigel Rasyi dan
Innocentius Cicero Galen Rasyi, kedua putri kembar saya Eleonora Amarisa
Megan Rasyi dan Theodora Avariella Vegan Rasyi, dan adik saya Fransiskus
Mario Djemero atas cinta kasih, motivasi, dan dukungan tiada henti selama saya
menjalani pendidikan spesialis ini.
Sahabat saya dr. A. A. Bagus Tananjaya Wiyasa, dr. I Ketut Subhawa, dr.
Kurniawan Eko Wibowo, dr. Jackson Sihombing, dr. Made Sopan Pradnya
Nirartha serta seluruh rekan PPDS I Bedah Umum atas kerja sama, dukungan dan
bantuannya dalam proses penelitian serta selama proses pendidikan.
Seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah,
seluruh staf sekretariat Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah,
Instalasi Rawat Jalan Bedah RSUP Sanglah Denpasar.
Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat,dan mohon maaf atas
segala kekurangan.
Denpasar, 9 Mei 2016
ABSTRAK
VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURA EKSUDAT PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI
Efusi pleura parapneumonik merupakan penyebab terbanyak efusi pleura eksudatif. Sementara baku emas untuk pemeriksaan mikrobiologi tidak selalu tersedia di setting rumah sakit perifer. Perlu dicari satu pemeriksaan yang sederhana, mudah, murah dan cepat yang dapat dipakai untuk memprediksi efusi pleura parapneumonik.
Penelitian ini adalah uji diagnostik untuk mencari validitas kadar glukosa pleura dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada 30 pasienefusi pleura yang datang ke rumah sakit Sanglah. Data dianalisis dengan menggunakan kurva ROC dan uji diagnostik tabel 2x2 sehingga didapatkan AUC,
cut offpoint, sensitivitas, spesifisitas, NPP dan NPN.
Pada penelitian ini didapatkan cut-offpoint kadar glukosa pleura 54 mg/dL dengan AUC 0,8326 (>0,7). Sensitivitas dan spesifisitas glukosa pleura cukup baik dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada pasien efusi pleura yaitu sebesar 81,3% dan 92,9% (CI 95%). Hasil NPP 92,9% dan NPN 81,3% menegaskan bahwa nilai diagnostik kadar glukosa pleuracukup baik dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada pasien efusi pleura.
Validitas glukosa pleura dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada pasien efusi pleura memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitasyang baik.
ABSTRACT
VALIDITY OF PLEURAL FLUID GLUCOSE IN PREDICTING PARAPNEUMONIC PLEURAL EFFUSIONIN SANGLAH HOSPITAL
DENPASAR
Parapneumonic pleural effusion is among the common cause of exudative pleural effusion. While gold standard for microbiological examination is not always available in many remote area hospital, there is a need for a simple, easy, cheap and fast biomarker that can predict the parapneumonic pleural effusion.
This is a diagnostic study to assess the validity of pleural glucose levels in predicting parapneumonic pleural effusion in 30 patients who came to the hospital Sanglah. Data were analyzed using ROC curves and diagnostic2x2 table to obtain AUC, cut-off point, sensitivity, specificity, NPVand PPV.
Cut-off point for pleural glucose levels isat 54 mg / dL with the AUC 0.8326 (> 0.7). Sensitivity and specificity of pleural glucose in predicting parapneumonic pleural effusion in patients with pleural effusion are 81.3% and 92.9% (CI 95%), respectively.Value of PPV and NPV 92.9% and 81.3% confirm the gooddiagnostic value of pleural glucose levels in predicting parapneumonic pleural effusion in patients with pleural effusion.
Thisstudyshowedthatpleuralglucose level havegood sensitivity and specificity values in predicting parapneumonic pleuraleffusion.
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6
2.5 Analisa Pleura : Glukosa Cairan Pleura ... 20
2.6 Cara Pemeriksaan Kadar Glukosa Cairan Pleura ... 21
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP ... 23
3.1.Kerangka Berpikir ... 23
3.2 Konsep Penelitian ... 24
BAB IV METODE PENELITIAN ... 25
4.1 Rancangan Penelitian ... 25
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 25
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 25
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
5.1 Hasil ... 31
5.1.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 31
5.1.2 Analisis Kurva ROC ... 32
5.1.3 Uji Diagnostik ... 34
5.2 Pembahasan ... 35
5.2.1 Sensitivitas ... 36
5.2.2 Spesifisitas ... 37
5.2.3 Nilai Prediksi Positif (NPP) dan Nilai Prediksi Negatif (NPN) ... 38
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 39
6.1 Simpulan ... 39
6.2 Saran ... 40
DAFTAR PUSTAKA ... 41
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Penyebab efusi pleura eksudatif dan transudatif ... 12
4.1 Tabel 2x2 Hasil Penelitian Diagnostik ... 29
5.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian ... 32
5.2 Detail kurva ROC kemampuan kadar glukosa pleura dalam
memprediksi diagnosis EPP ... 33
5.3 Hasil uji diagnostik tabel 2x2 kadar glukosa pleura dalam
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Terbentuknya transudat dan eksudat. ... 11
2.2 Rangkuman patogenesis efusi pleura parapneumonik ... 13
2.3 Perkiraan perjalanan penyakit EPP ... 15
2.4 Algoritma terapi efusi parapneumonik... 19
3.1 Skema konsep penelitian ... 22
4.1 Skema alur penelitian ... 26
DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA
SINGKATAN
AUC : Area UnderCurve
AGD : Analisa Gas Darah
BTA : Bakteri Tahan Asam
CAP :Community-acquired Pneumonia
CRP :C-reactive protein
CI : Confidence Interval
CPPE : ComplicatedParapneumonicEffusion
EP : Efusi Pleura
EPP : Efusi Pleura Parapneumonik
IL : Interleukin
ROC : ReceiverOperatingCharacteristic
SD : Standar Deviasi
SIRS : SystemicInflammatoryResponseSyndrome
Sen : sensitivitas
Spe : spesifisitas
TN : TrueNegative
TNF-α : tumor necrosisfactor-alpha
UPPE : UncomplicatedParapneumonicEffusion
TP : TruePositive
USG : Ultrasonografi
CT-scan : ComputedTomography-scan
% : Persentase
< : lebih kecil
> : lebih besar
≤ : lebih kecil atau sama dengan
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik ... 44
Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian ... 45
Lampiran 3. Lembar Pengumpulan Data Sampel ... 46
Lampiran 4. Data Sampel Penelitian ... 47
Lampiran 5. Analisis Data Penelitian... 48
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura
yang disebabkan oleh produksi berlebihan cairan ataupun berkurangnya absorpsi.
Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering
dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner, inflamasi,
hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi.
Infeksi pleura (baik efusi parapneumonik maupun empyema) telah ada
sejak dulu, dilaporkan dalam teks-teks medis Yunani Kuno. Diperkirakan 4 juta
orang terkena pneumonia setiap tahunnya, dengan hampir separuhnya terkena
efusi parapneumonik. Infeksi pleura merupakan komplikasi pneumonia,
dilaporkan menyerang 65 ribu pasien per tahunnya di AS dan Inggris
(Rosenstengel dan Lee, 2012) dengan perkiraan total belanja kesehatan mencapai
USD $320 juta. Infeksi pleura meningkatkan morbiditas dan mortalitas infeksi
paru, dengan angka mortalitas pada orang dewasa mencapai 20% (Rosenstengel
dan Lee, 2012). Insidensinya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000
orang dalam 1 juta populasi tiap tahun. Di Amerika, dijumpai 1,5 juta kasus efusi
pleura setiap tahunnya (Sahn, 2008). Sementara perkiraan prevalensinya di
negara-negara maju lainnya mencapai 320 kasus per 100.000 orang (Sahn, 2006).
Sedangkan di Indonesia sendiri, catatan medik Rumah Sakit Dokter Kariadi
setiap tahunnya yaitu terdapat 133 penderita pada tahun 2001 (Ariyanti, 2003).Di
tahun 2011, Tobing dan Widirahardjo mendapati kasus efusi pleura dalam setahun
di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik berjumlah 136 di mana laki-laki
lebih banyak dari perempuan (65,4% vs 34,6%), sedangkan etiologi tersering
adalah tuberkulosis (44,2%) diikuti tumor paru (29,4%) (Tobing dan
Widirahardjo, 2013). Ada lebih dari 55 penyebab efusi pleura yang telah dicatat.
Sedangkan insidensi berdasarkan penyebabnya sendiri bervariasi bergantung dari
area demografik serta geografisnya.
Efusi pleura digolongkan dalam tipe transudat dan eksudat, berdasarkan
mekanisme terbentuknya cairan dan biokimiawi cairan pleura. Transudat timbul
karena akibat ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dan tekanan hidrostatik,
sementara eksudat timbul akibat peradangan pleura atau berkurangnya drainase
limfatik. Pada beberapa kasus, cairan pleura yang dihasilkan dapat saja
menunjukkan kombinasi sifat transudat dan eksudat(Rubins, 2011).
Langkah awal dalam mencari penyebab efusi adalah dengan menentukan
apakah cairan itu transudat atau eksudat (Yetkinet al, 2006). Jika ternyata hasilnya
adalah transudat, maka kemungkinan penyebabnya relatif lebih sedikit, oleh
karenanya tidak perlu dilakukan prosedur diagnostik yang lebih jauh lagi terhadap
cairan pleura tersebut. Namun jika hasilnya adalah eksudat, ada banyak
kemungkinan penyebab yang mendasarinya sehingga pemeriksaan diagnostik
selanjutnya perlu dilakukan (Yataco dan Dweik, 2005)
Kriteria yang paling umum diterima untuk membedakan eksudat dan
(LDH) di dalam serum dan di cairan pleura. Kriteria ini disusun oleh Light et al di
tahun 1972, dengan sensitivitas 99% dan spesifisitas 98%. Kriteria ini menetapkan
bahwa cairan efusi pleura exudatif setidaknya memiliki satu dari 3 hal berikut,
yakni rasio protein pada cairan pleura dibanding serum >0,5, rasio LDH cairan
pleura dibanding serum > 0,6 dan kadar LDH cairan pleura > 2/3 batas atas LDH
serum normal (Light, et al, 1972).
Setelah menetapkan efusi pleura exudatif, barulah kita lanjutkan dengan
mencari tahu penyakit tersering yang menjadi penyebabnya, antara lain
pneumonia(efusi pleura parapneumonik = EPP), tuberkulosis (TB), keganasan dan
tromboemboli paru (Porcell dan Light, 2013). Untuk menentukan penyebab efusi
pleura exudatif, beberapa studi sebelumnya telah mengajukan parameter seperti
pH, kadar amilase, kadar rheumatoidfactor, adenosindeaminase (ADA) dan
analisa lipid. Sayangnya, tidaklah murah untuk memasukan tes-tes ini ke dalam
pemeriksaan rutin efusi pleura.
Bilamana dicurigai ada infeksi, yang perlu diperiksa adalah pH, glukosa
LDH dan kultur mikrobiologi dari cairan pleura. Selain itu sitologi pleura dan
BTA pleura. Juga ada beberapa biomarker baru yang diteliti untuk mendiagnosis
efusi pleura karena infeksi seperti tumor necrosisfactor-alpha (TNF-α),
myeloperoxidase, C-reactive protein (CRP) dan procalcitonin (PCT). Namun, tak
satu pun dari parameter tersebut yang lebih unggul dari parameter klasik pH
pleura <7.20, atau glukosa pleura <60 mg / dL (Porcel, et al, 2009).
Semakin dini kita menegakkan diagnosis PPE, semakin baik pula outcome
mengerjakan baku emas dari kausa EPP, sementara kondisi pasien menuntut
untuk segera diberikan terapi empirik. Hal ini menjadi tantangan besar bagi
penyedia layanan kesehatan di perifer. Itulah sebabnya, peneliti ingin mengukur
sensitivitas dan spesifisitas kadar glukosa cairan pleura dalam memprediksi EPP.
Bila terbukti akurasinya tinggi, para penyedia layanan kesehatan di perifer dapat
mempertimbangkan tes ini sebagai tes diagnostik sehingga terapi empirik bagi
kausa efusi pleura dapat segera diberikan.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah kadar glukosa cairan pleuramempunyai sensitivitas, spesifisitas,
dan akurasi yang baik dalam mendiagnosis efusi pleura parapneumonik?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mengetahui validitas kadar glukosacairan pleuradalam memprediksi
diagnosis efusi pleura parapneumonik.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui sensitivitaskadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis
efusi pleura parapneumonik.
2. Mengetahui spesifisitas kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis
3. Mengetahui nilai prediksi positif kadar glukosa cairan pleura dalam
diagnosis efusi pleura parapneumonik.
4. Mengetahui akurasi kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi
pleura parapneumonik.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat akademik
Memberikan informasi nilai sensitivitaskadar glukosa cairan pleura dalam
diagnosis efusi pleura parapneumonik.
1.4.2Manfaat praktis
1. Sebagai data ilmiah bahwa kadar glukosa cairan pleura dapat
digunakan sebagai alat diagnostik awal yang dapat dikerjakan secara
praktis, sederhana dan ekonomis untuk menegakkan diagnosis efusi
pleura parapneumonik.
2. Hasil kadar glukosa cairan pleura dapat digunakan sebagai acuan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Latar Belakang
Meski antibiotik yang poten telah banyak dikembangkan, pneumonia
bakterial masih membawa masalah morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Angka insidensi tahunan pneumonia bakterial diperkirakan mencapai 4 juta,
dengan 25% di antaranya membutuhkan perawatan RS. Efusi pleura
parapneumonik (EPP) masih menjadi penyebab tersering dari efusi pleura karena
sebanyak 40% dari pasien rawat inap dengan pneumonia bakteri mengalami efusi
pleura (Koegelenberg, et al, 2008). Morbiditas dan mortalitas pada pasien
dengan pneumonia dan pleura efusi lebih tinggi dibandingkan pasien dengan
pneumonia saja. Pada satu studi terhadap 1.424 pasien rawat inap dengan
pneumonia-komunitas (community-acquired pneumonia = CAP), pasien dengan
efusi pleura 2,7 kali lebih mungkin mengalami kegagalan pengobatan
dibandingkan mereka yang tanpa efusi pleura (Manendez, et al, 2004). Risiko
relatif kematian pada pasien dengan CAP adalah 6,5 kali lebih tinggi untuk pasien
dengan efusi pleura bilateral dan 3,7 kali lebih tinggi untuk pasien dengan efusi
pleura unilateral ukuran sedang atau besar bila dibandingkan dengan pasien lain
dengan komunitas yang didapat pneumonia saja. Naiknya morbiditas dan
mortalitas pada beberapa pasien dengan PPE terjadi lebih karena salah tata
laksana dari efusi pleura (Light, 2006).
2.1.1 Epidemiologi
Belum ada angka pasti insidensi pneumonia secara global. Laporan WHO
menunjukkan beban penyakit yang berhubungan dengan kematian akibat infeksi
saluran pernapasan bawah pada tahun 2004 mencapai 4,2 juta. Perkiraan angka
insidensi efusi pleura dan empyema dapat dibuat dari angka insidensi di AS,
namun angka ini harus dihitung dengan hati-hati mengingat kurangnya perawatan
dan pengobatan tertunda di negara-negara berkembang mungkin saja membuat
insidensi global meroket tajam (Limsukon, 2014).
Sekitar 1,3 juta pasien dirawat di rumah sakit setiap tahun dengan
pneumonia di Amerika Serikat. Prevalensi efusi pleura parapneumonik sebagian
tergantung pada organisme yang terlibat. Secara keseluruhan, efusi pleura muncul
pada sekitar 35-40% pasien dengan pneumonia bakteri atau pneumonia anaerob,
dengan prevalensi pneumonia pneumokokus mendekati 60%. Efusi pleura
komplikata lebih sering muncul dengan infeksi pleuropulmoner anaerob.
Sehingga diperkirakan ada sekitar 500,000-750,000 pasien dengan efusi
parapneumonik per tahun. Belum ada angka pasti mengenai berapa banyak pasien
yang akhirnya mengalami efusi komplikata atau empyema, tapi dari satu studi
kecil ada sekitar 5-10% yang memerlukan drainase atau prosedur bedah
(Limsukon, 2014).
Studi tentang data rawat inap di Amerika Serikat menemukan bahwa pada
tahun 1996, secara nasional tingkat rawat inap diagnosa terkait empyema
menjadi 5,98 per 100.000, naik 2 kali lipat. Angka empyema pneumokokus tetap
stabil, namun tingkat empyema staphylococcal naik tiga kali lipat. Tingkat rawat
inap untuk empyema lain atau yang tidak diketahui etiologi nya (62,4% dari rawat
inap empyema) naik dua kali lipat, seperti halnya tingkat empyema streptokokus
non-pneumococcal (Chalmers, et al, 2009).
Angka pasti untuk kasus seputar masalah infeksi pleura dan komplikasinya
di Indonesia belum ada. Meski demikian, beberapa studi yang dikerjakan di
beberapa center dapat memberikan gambaran amplitudo masalah ini. Studi di RS
Persahabatan Jakarta di tahun 2012 menemukan 119 pasien dengan efusi pleura;
104 dengan efusi pleura eksudatif dan 15 pasien dengan efusi pleura transudatif.
Pasien laki-laki sebanyak 66 (55,5%) pasien dan sisanya 53 (44,5%) pasien adalah
perempuan (Khairani, et al, 2012). Proporsi laki-laki yang lebih banyak ini sama
dengan hasil yang ditemukan pada studi di RS Adam Malik Medan yakni laki-laki
65,4% (89 pasien) dan perempuan 34,6% (47) (Tobing dan Widirahardjo, 2013).
2.1.2 Etiologi
Sebenarnya hampir semua jenis pneumonia (bakterial, viral, atipikal) bisa
menyebabkan EPP. Namun insidensi relatif EPP bervariasi sesuai organisme
penyebabnya. Pneumonia viral dan pneumonia mycoplasma menyebabkan efusi
pleura pada 20 % pasien. Untuk empyema toraks, pneumonia bakterial menjadi
penyebab pada 70% kasus. Sebagai tambahan pula, empyema thorax merupakan
komplikasi dari operasi sebelumnya, yang menyumbang 30 % dari kasus. Kasus
tidak ada infeksi atau trauma, organisme penginfeksi dapat menyebar dari darah
atau organ lainnya ke dalam rongga pleura, yang nantinya akan berkembang
menjadi abses subdiafragma, ruptur esofagus, mediastinitis, osteomyelitis,
perikarditis, kholangitis dan divertikulitis (Sahn, 2007).
2.1.3 Bakteriologi
Sejak munculnya antibiotik, gambaran bakteriologis EPP dengan
kultur-positif telah berubah. Sebelum jaman antibiotik, yang terbanyak tumbuh di cairan
empyema adalah Streptococcus pneumoniae atau Streptococcus hemolyticus. Di
periode tahun 1955 – 1965, Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling
sering diisolasi dari cairan pleura. Pada awal 1970-an, organisme anaerob yang
paling sering diisolasi. Kini, ternyata bahwa organisme aerob yang lebih sering
menimbulkan sebagian besar empyema dibanding anaerob. Studi atas 197 pasien
dengan kultur-positif bakteri untuk cairan pleura di RS militer menemukan kalau
bakteri aerobik dapat diisolasi pada 64% pasien, 13% pasien hanya ditemukan
organisme anaerob dan di 23% dari pasien ditemukan organisme aerobik dan
anaerob (Tsang, 2007).
Streptococcus pneumoniae, S. pyogenes dan Staphylococcus aureus
merupakan organisme tersering yang dikaitkan dengan infeksi pleura (Burgos, et
al, 2011). Juga kelompok S. anginosus (dikenal sebagai kelompok S.milleri) yang
terdiri dari S. anginosus, S. constellatus dan S. intermedius merupakan flora
pada 30-50% kasus CAP dewasa (Burgos, et al, 2011; Ahmed, et al, 2006;
Maskell, et al, 2005).
S. aureus lebih sering ditemukan pada pasien rawat inap tua yang memiliki
komorbiditas. Biasanya disertai kavitasi dan pembentukan abses, dengan
empyema muncul pada 1-25 % kasus dewasa. Kini juga ada laporan tentang
peningkatan jumlah kasus empyema yang disebabkan oleh community-acquired
MRSA, dan bakteri ini patut dicurigai community- dan hospital-acquired empyema
(Lindstrom, 1999). Namun bakteri anaerob juga berkontribusi signifikan terhadap
infeksi pleura, diisolasi sebagai agen tunggal atau co-patogen di 25-76 % kasus
anak (Micek, 2005).
2.2 Patofisiologi
Rongga pleura normal terisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni
0,1 – 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya untuk memfasilitasi pergerakan
kembang-kempis paru selama proses pernafasan. Cairan pleura diproduksi dan
dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi
normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorpsi maksimal drainase sistem
limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki konsentrasi protein
lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer.
Cairan pleura berisi 1.500 – 4500 sel/mL dengan komponen makrofag
(75%), limfosit (23%), eritosit dan mesotel bebas. Kandungan protein normal di
pleura adalah 1 – 2 g/100mL. Elektroforesis protein cairan pleura menunjukkan
kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih tinggi dalam cairan
pleura. Kadar molekul bikarbonat cairan pleura 20 – 25% lebih tinggi
dibandingkan kadar bikarbonat plasma, sedangkan kadar ion Natrium lebih rendah
3 – 5% dan kadar ion klorida lebih rendah 6 – 9% sehingga pH cairan pleura lebih
tinggi dibandingkan pH plasma. Keseimbangan ionik ini diatur melalui transpor
aktif mesotelium. Kadar glukosa dan ion kalium cairan pleura setara dengan
plasma (Putratomo dan Yunus, 2013).
Gambar 2.1
Terbentuknya transudat dan eksudat. A, Tekanan hidrostatik normal (panah biru) ± 32 mmHg di ujung arteri dari kapiler dan 12 mmHg di ujung vena dari kapiler;
rerata tekanan osmotik koloid jaringan ± 25 mmHg (panah hijau), yang sama dengan rata-rata tekanan kapiler. Makanya, hampir tidak ada aliran bebas cairan
terbentuk pada proses inflamasi karena meningkatnya permeabilitas vaskuler sebagai akibat dari merenggangnya ruang interendotelial. (Gambar dari Kumar et
al, 2014)
Efusi pleura muncul saat lebih banyak cairan yang memasuki rongga
pleura daripada yang dibuang (Gambar 1). Mekanisme akumulasi cairan pleura
antara lain: bertambahnya cairan interstitial di paru-paru akibat naiknya tekanan
kapiler paru (misalnya, gagal jantung) atau meningkatnya permeabilitas
(pneumonia); penurunan tekanan intrapleural (atelektasis); penurunan tekanan
onkotik plasma (hipoalbuminemia); meningkatnya permeabilitas membran pleura
dan obstruksi aliran limfatik (keganasan atau infeksi pleura); defek diafragma
(hydrothorax hepatis); dan ruptur duktus toraks (chylothorax). Meskipun berbagai
macam penyakit dapat menimbulkan efusi pleura, penyebab yang paling umum
pada orang dewasa adalah gagal jantung, keganasan, pneumonia, tuberkulosis,
dan emboli paru, sementara penyebab pada anak yang paling sering adalah
pneumonia (Porcel dan Light, 2006). Tabel 1 menguraikan berbagai penyebab
efusi pleura.
Tabel 2.1
Penyebab efusi pleura eksudatif dan transudatif (Na, 2014)
Tipe Eksudat Transudat
Paling sering Keganasan Gagal Jantung Kiri
Efusi parapneumonik Sirosis hepar
TBC
Kurang sering Emboli paru Hipoalbuminemia
Artritis rheumatoid dan pleuritis otoimun lainnya Dialisis peritoneal
Efusi asbestos benigna Hipotiroidisme
Pankreatitis Sindrom Nefrotik
Infark Post-myokardium Stenosis Mitral
Pasca operasi bypass arteri koroner
Jarang Yellow nail syndrome Perikarditis konstruktif
Gangguan limfatik lainnya (limfangioleiomyomatosis) Urinotoraks
Obat-obatan Meigs’ syndrome
Efusi pleura parapneumonik adalah setiap efusi pleura yang disebabkan
oleh pneumonia bakterial, abses paru, atau bronkiektasis. Pada beberapa pasien
kasusnya berkembang menjadi empyema dengan munculnya nanah dalam rongga
pleura. Empyema didefinisikan sebagai cairan pleura dengan BJ > 1,018, WBC >
500 sel/mm3, atau protein > 2,5 g/dL. Juga, ada yang menyatakan bahwa
empyema adalah cairan pleura yang kultur bakterinya positif atau dengan WBC >
15.000/mm3 dan protein > 3,0 g/dL. Sementara menurut Light, empyema adalah
efusi pleura dengan cairan kental kental dan purulen, meski beberapa pasien
dengan empyema tidak mengalami proses pneumonik (Light, 2008).
Gambar 2.2
Rangkuman patogenesis efusi pleura parapneumonik. IL-8, interleukin-8; TNF, tumor necrosis factor; PAI, plasminogen activator inhibitor; t-PA, tissue
Saat penderita mengalami pneumonia, pleura bereaksi terhadap hadirnya
mikroba dengan respon inflamasi yang kuat. Produksi cairan pleura akan
meningkat cepat. Kenaikan ini terutama berasal dari cairan interstitial paru, dan
kedua karena naiknya permeabilitas kapiler di paru. Ketika jumlah cairan pleura
yang masuk ke rongga pleura lebih besar dari kapasitas limfatik pleura untuk
menyerap cairan, maka terjadilah efusi pleura. Pada mulanya, kadar glukosa dan
pH cairan pleuranya masih normal dengan LDH dan leukosit yang rendah. Sel-sel
mesotel aktif melakukan fagositosis, yang memicu respon inflamasi ketika dipicu
oleh adanya bakteri, dan melepaskan chemokine (grup C-X-C), sitokin (1,
IL-6, IL-8 TNF-α), oksidan dan protese (Bouros, 2009).
Pada beberapa pasien, proses ini berlanjut dengan bakteri yang menginvasi
cairan pleura. Akibatnya, kadar glukosa dan pH cairan pleura menurun, LDH naik
dan cairan makin kental. Juga, lembaran-lembaran fibrin membentuk loculus
cairan dan menutupi pleura visceralis, yang akan menghalangi paru mengembang
bilamana cairannya sudah dibuang. Proses ini bisa reversibel dengan pemberian
antibiotik yang tepat selama fase eksudatif dini (Bouros, 2009).
Klasifikasi klinis praktis EPP adalah sebagai berikut: (1) efusi pleura
parapneumonik non-komplikata (UPPE, uncomplicated parapneumonic effusion)
sembuh dengan terapi antibiotik saja, tanpa sequelae pada ruang pleura; (2) efusi
pleura parapneumonik komplikata (CPPE, complicated parapneumonic effusion)
membutuhkan drainase pleura untuk mengatasi sepsis pleura dan mencegah
terjadinya empyema; dan (3) empyema, tahap akhir dari EPP. Empyema
merupakan hasil dari koagulasi serum protein, debris seluler, dan deposisi fibrin.
Empyema muncul terutama karena pasien dengan pneumonia lanjut dan infeksi
pleura progresif telat berobat dan, pada kasus yang lebih jarang, akibat dari
manajemen klinis yang tidak tepat (Sahn, 2007).
Gambar 2.3 menjelaskan proses evolusi EPP dalam 3 tahap yaitu tahap
eksudatif, fibrinopurulen dan organisasi.
Gambar 2.3
Perkiraan perjalanan penyakit EPP yang tidak diobati atau diobati tidak dengan tepat. Umumnya empyema muncul 4 –6 minggu setelah onset aspirasi bakteri ke
dalam paru (Sahn, 2007)
Pemicu pada sebagian besar kasus pneumonia adalah aspirasi dari
organisme dari orofaring. Jika load (muatan) organismenya tinggi dan pertahanan
host memang terganggu (misalnya, sebagai akibat dari merokok atau konsumsi
alkohol), pasien lebih gampang terkena pneumonia. Jeda antara aspirasi
organisme dan munculnya pneumonia bervariasi dari beberapa hari sampai 1
tidak diobati, menyebar secara sentripetal menuju hilus. Jika tidak diobati untuk
2-5 hari berikutnya, muncullah UPPE. Efusi muncul karena dari naiknya
permeabilitas kapiler pada jejas endotel yang dipicu oleh oleh neutrofil
teraktivasi, yang melepaskan metabolit oksigen, konstituen granul, dan
produk-produk dari fosfolipase membran. Cairan paru ekstravaskuler yang bertambah ini
akan meningkatkan gradien tekanan interstitial-pleura dan mendorong
terbentuknya efusi pleura saat cairan bergerak antara sel mesothelial ke rongga
pleura (Sahn, 2007). Jika pembentukan cairan interstitial melebihi kapasitas
limfatik paru-paru dan pleura, terjadilah efusi pleura. Jika tidak diobati untuk 5-10
hari berikutnya, EPP akan berubah ke tahap fibrinopurulen, ditandai oleh adhesi,
naiknya neutrofil, dan munculnya bakteri. Fibrin terbentuk sebagai bekuan protein
intravaskular yang memasuki rongga pleura, bersamaan dengan terhambatnya
fibrinolisis pada rongga pleura. Fibroblas memasuki ruang pleura oleh 2
kemungkinan mekanisme: (1) gerakan dari fibrocytes sumsum tulang ke lokasi
inflamasi, dan (2) perubahan sel-sel mesotelium menjadi fibroblast oleh sitokin.
Nanti di tahap fibrinopurulen, nanah akan disedot melalui thoracosentesis; namun,
paru-paru biasanya masih dapat mengembang. Kalau tahap fibrinopurulen ini
terus berlanjut, pasien makin susah diobati tanpa drainase rongga pleura. Untuk
10-21 hari berikutnya, EPP akan berkembang ke tahap organisasi atau empyema,
dengan paru yang terjebak akibat fibrosis pleura visceralis. Pasien dengan
empyema selalu membutuhkan drainase pleura untuk resolusi yang mengatasi
Pada kondisi pleura normal, glukosa berdifusi bebas melintasi membran
pleura dan konsentrasi glukosa cairan pleura setara dengan yang di serum. Pada
kondisi infeksi, karena meningkatnya aktifitas metabolisme, terjadi peningkatan
konsumsi glukosa tanpa disertai penggantian yang adekuat.
Kadar glukosa pleura yang rendah (< 3,4 mmol/l) dapat ditemukan di
CPPE, empyema, arthritis pleuritis dan efusi pleura TB, keganasan dan rupture
esofagus. Penyebab paling umum dari kadar glukosa pleura yang sangat rendah
(<1,6 mmol/l) adalah arthritis dan empyema (Hooper, et al, 2010)
2.3 Gejala dan Tanda Klinis
Manifestasi klinis efusi PPE dan empyema sangat tergantung pada apakah
pasien terkena infeksi aerob atau anaerob. Onset infeksi aerobik lebih akut dengan
gejala demam akut, sementara infeksi anaerob lebih lambat dan gejalanya
mungkin tidak spesifik disertai demam ringan. Jika masih demam berlangsung
selama lebih dari 48 jam setelah mulai pengobatan antibiotik, kemungkinan besar
sudah terjadi CPPE atau empyema (Limsukon, 2014).
Manifestasi klinis pasien dengan pneumonia anaerob mirip dengan pasien
pneumonia bakterial. Juga muncul demam akut disertai nyeri dada, produksi
sputum dan leukositosis. CPPE ditandai pula dengan adanya demam lebih dari 48
jam setelah pemberian antibiotik. Sementara itu, pasien dengan infeksi bakteri
anaerob yang melibatkan pleura biasanya datang dengan keluhan subakut.
anemia. Faktor predisposisi yang memicu aspirasi bakteri berulang antara lain
higiene mulut yang buruk dan konsumsi alkohol (Light, 2006).
Pada pemeriksaan fisik didapati takipnea dan takikardi, pasien tampak toksik
dan disertai gejala dan tanda yang mengarah ke SIRS. Tanda-tanda efusi pleura
antara lain menurunnya suara nafas, perkusi yang redup, dan menurunnya
fremitus (Limsukon, 2014).
2.4 Diagnosis
Dalam evaluasi atas pneumonia, pertimbangkan selalu kemungkinan EPP.
Pemeriksaan radiologis seperti foto polos thorax, USG dan CT-scan berperan
penting. Selain menemukan penumpulan sudut kostofrenikus pada foto polos,
CT-scan bisa membedakan konsolidasi paru dari efusi pleura yang hipodens. USG
membantu mengarahkan ke lokasi terbaik untuk pemasangan drainase,
meningkatkan kinerja, dan mengurangi risiko komplikasi (Garrido, et al, 2014).
Lakukan thoracentesis dan pengambilan darah bila dicurigai efusi pleura.
UPPE dapat berkembang menjadi CPPE dalam kurang dari 12 jam, sehingga tata
laksana klinis sangat penting. Efusi pleura parapneumonik ditandai dengan adanya
mikroorganisme dalam cairan, bau yang busuk atau kekeruhan, yang disebut
empyema bila mengandung nanah. Seringkali kultur cairan pleuranya negatif atau
kondisi pasien menuntut untuk segera diberikan keputusan terapi sedini mungkin,
sebelum hasil kultur bisa keluar. Dalam kasus-kasus seperti inilah, nilai pH bisa
dalam berbagai ruang EP loculated, dan juga bahwa itu adalah asam di PE ganas,
rheumatoid arthritis, pleuritis lupus dan PE TB. (Garrido, 2014).
Algoritma terapi efusi parapneumonik. Terapi antibiotik harus diberikan sedini mungkin pada semua kasus, lalu disesuaikan dengan hasil kultur.
(Garrido, et al, 2014)
2.5 Analisa Pleura: Glukosa Cairan Pleura
Identifikasi atas infeksi secara definitif dilakukan dengan analisis cairan
pleura. Gambaran pus/nanah yang nyata sudah menunjukkan adanya empyema,
jadi tidak memerlukan pemeriksaan biokimia lebih lanjut. Sekitar 40% efusi
pleura yang infektif memberi hasil kultur yang negatif, sehingga kita memerlukan
pemeriksaan tambahan, untuk menentukan ada tidaknya infeksi yakni pH, LDH
dan glukosa pleura (Rahman dan Davies, 2008). Nilai pH pleura merupakan
pemeriksaan terbaik, diikuti glukosa pleura dan LDH pleura.
Meskipun nilai pH cairan pleura merupakan yang terbaik dalam
mengetahui infeksi dalam cairan pleura, sayangnya akurasi pengukuran pH pleura
sangat tergantung pada teknik pengambilan sampel. Sedikit saja udara atau sisa
lidokain dalam tabung pengumpul akan mengubah hasil nilai pH. Di saat yang
sama, pengukuran kadar glukosa pleura, baik oleh alat pengukur AGD atau mesin
analisa konvensional, tidaklah gampang terpengaruh oleh teknik pengumpulan
sampel atau penundaan analisa. Jadi, bilamana nilai pH pleura tidak dapat dipakai,
kita bisa memakai kadar glukosa cairan pleura untuk mengetahui proses infeksi di
pleura (Rahman et al, 2008).
Dalam keadaan normal, kadar glukosa serum dan pleura harusnya sama
karena glukosa memiliki berat molekul rendah dan transportasinya dari darah ke
cairan pleura cukup dengan difusi sederhana melintasi membran endotel dan
glukosa pleura/serum <0,5. Kadar glukosa pleura yang rendah ini berbanding
lurus dengan kadar laktat dan nilai pCO2 cairan pleura, yang menunjukkan kalau
akumulasi produk-akhir glukosa inilah yang menyebabkan menurunnya pH cairan
pleura pada empyema. Dan pada percobaan empyema, glukosa turun dengan cepat
setelah masuknya bakteri ke dalam rongga pleura (Sahn dan Heffner, 2008).
Mekanisme rendahnya pH dan kadar glukosa cairan pleura pada
EPP/empyema adalah karena meningkatnya konsumsi glukosa oleh karena
fagositosis neutrofil dan metabolisme bakteri yang disertai akumulasi produk
akhir glikolisis, CO2 dan asam laktat, dan berujung pada turunnya kadar glukosa
dan nilai pH cairan pleura (Sahn, 2009). Selain itu juga, menebalnya membran
pleura juga mengganggu transpor glukosa dari darah masuk ke cairan pleura
(Chavalittamrong, 1979)
. Juga ada beberapa biomarker baru yang diteliti untuk mendiagnosis efusi
pleura yang infektif seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α),
myeloperoxidase, CRP dan PCT. Namun, tak satu pun dari parameter tersebut
yang lebih unggul dari parameter klasik pH pleura <7.20, atau glukosa pleura <60
mg / dL (Porcel, et al, 2009). Belum lagi, biaya pemeriksaannya jauh lebih mahal
dibandingkan pemeriksaan glukosa cairan pleura.
2.6 Cara Pemeriksaan Kadar Glukosa Cairan Pleura
1. Sampel pleura diambil sebanyak 10 – 20 cc dari toracentesis, simpan
2. Bila sampel jernih, langsung tambahkan reagen untuk pemeriksaan
glukosa kemudian diperiksa dengan menggunakan spektrofotometer/
autoanalyzer
3. Bila sampel keruh, disentrifus dulu, diambil supernatannya, lalu
ditambahkan reagen untuk pemeriksaan glukosa. Selanjutnya langsung