• Tidak ada hasil yang ditemukan

VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURAEKSUDAT PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURAEKSUDAT PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA

DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURAEKSUDAT

PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH

DENPASAR BALI

YOHANES PUTRA MBAMA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

TESIS

VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA

DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURAEKSUDAT

PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH

DENPASAR BALI

YOHANES PUTRA MBAMA NIM : 1014028110

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA

DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURA EKSUDAT

PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH

DENPASAR BALI

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

YOHANES PUTRA MBAMA NIM. 1014028110

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 9 MEI 2016

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K) NIP. 195805211985031002 NIP. 195902151985102001

Pembimbing I,

Dr. dr. Ketut Putu Yasa, SpB, SpBTKV NIP. 196011151987021002

Pembimbing II,

(5)

Lembar Penetapan Panitia Penguji

Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 17 Mei 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana,

Nomor : 2123/UN14.4/HK/2016 Tanggal 12 Mei 2016

Ketua : Dr. dr. Ketut Putu Yasa, Sp.B, SpBTKV

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH

2. dr. I.N.W. Steven Christian, Sp.B(K)Onk

3. dr. Ida Bagus Darma Putra, Sp.B-KBD

(6)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS UDAYANA

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK Alamat :Sekretariat Pascasarjana Universitas Udayana,-Jl Panglima Sudirman Denpasar, Bali Telp. 0361-7475076, 7425201. Fax 0361-246656, 223797. Email. Csaam_fkunud@yahoo.com

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : dr. Yohanes Putra Mbama

NIM : 1014028110

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)

Judul : Validitas Kadar Glukosa Cairan Pleura Dalam Memprediksi

Efusi Pleura Eksudat Parapneumonik di RSUP Sanglah

Denpasar Bali

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di

kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan

Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar,………..

Yang membuat pernyataan,

(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Saya panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmat–Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul

Validitas Kadar Glukosa Cairan Pleura Dalam Memprediksi Efusi Pleura

Eksudat Parapneumonik Di RSUP Sanglah Denpasar Bali”.

Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program

Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum di Departemen/SMF Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Terima kasih

yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi–tingginya saya haturkan

kepada:

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD–KEMD, selaku Rektor Universitas

Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di Universitas yang beliau

pimpin.

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K), selaku Direktur Program Pasca

sarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi

mahasiswa Program Combined Degree Program Studi Ilmu Biomedik pada

Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, Sp.GK selaku Ketua Program

Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah

memberikan kesempatan untuk menimba ilmu.

Dr. dr. Ketut Putu Yasa, SpB, SpBTKV selaku pembimbing utama

(8)

inspirasi, bimbingan, dan nasehat sehingga mempermudah saya dalam

menyelesaikan karya tulis ini.

Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH selaku pembimbing kedua

dalam penelitian ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk

memperlancar penyelesaian karya tulis ini.

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS(K) selaku Kepala Departemen/SMF

Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang

telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan

Dokter Spesialis di program studi Bedah Umum.

dr. I Ketut Wiargitha, SpB(K)Trauma selaku Ketua Program Studi Ilmu

Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr.

Putu Anda TustaAdiputra, SpB(K)Onk sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu

Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang

telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.

dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes selaku Direktur Utama RSUP Sanglah

Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar di

lingkungan rumah sakit yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan untuk mengikuti

pendidikan spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau pimpin.

Seluruh Staf Pengajar Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar sebagai guru dan teladan saya

(9)

dan dukungan kepada saya selama mengikuti pendidikan Bedah Umum dan dalam

menyelesaikan karya tulis ini.

Orang tua saya, Hironimus Rasyi, BA dan Maria Margaretha Fatima,, istri

saya dr. Hildegardis DC Siba, kedua putra saya Josep Guernica Nigel Rasyi dan

Innocentius Cicero Galen Rasyi, kedua putri kembar saya Eleonora Amarisa

Megan Rasyi dan Theodora Avariella Vegan Rasyi, dan adik saya Fransiskus

Mario Djemero atas cinta kasih, motivasi, dan dukungan tiada henti selama saya

menjalani pendidikan spesialis ini.

Sahabat saya dr. A. A. Bagus Tananjaya Wiyasa, dr. I Ketut Subhawa, dr.

Kurniawan Eko Wibowo, dr. Jackson Sihombing, dr. Made Sopan Pradnya

Nirartha serta seluruh rekan PPDS I Bedah Umum atas kerja sama, dukungan dan

bantuannya dalam proses penelitian serta selama proses pendidikan.

Seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah,

seluruh staf sekretariat Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah,

Instalasi Rawat Jalan Bedah RSUP Sanglah Denpasar.

Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat,dan mohon maaf atas

segala kekurangan.

Denpasar, 9 Mei 2016

(10)

ABSTRAK

VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURA EKSUDAT PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI

Efusi pleura parapneumonik merupakan penyebab terbanyak efusi pleura eksudatif. Sementara baku emas untuk pemeriksaan mikrobiologi tidak selalu tersedia di setting rumah sakit perifer. Perlu dicari satu pemeriksaan yang sederhana, mudah, murah dan cepat yang dapat dipakai untuk memprediksi efusi pleura parapneumonik.

Penelitian ini adalah uji diagnostik untuk mencari validitas kadar glukosa pleura dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada 30 pasienefusi pleura yang datang ke rumah sakit Sanglah. Data dianalisis dengan menggunakan kurva ROC dan uji diagnostik tabel 2x2 sehingga didapatkan AUC,

cut offpoint, sensitivitas, spesifisitas, NPP dan NPN.

Pada penelitian ini didapatkan cut-offpoint kadar glukosa pleura 54 mg/dL dengan AUC 0,8326 (>0,7). Sensitivitas dan spesifisitas glukosa pleura cukup baik dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada pasien efusi pleura yaitu sebesar 81,3% dan 92,9% (CI 95%). Hasil NPP 92,9% dan NPN 81,3% menegaskan bahwa nilai diagnostik kadar glukosa pleuracukup baik dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada pasien efusi pleura.

Validitas glukosa pleura dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada pasien efusi pleura memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitasyang baik.

(11)

ABSTRACT

VALIDITY OF PLEURAL FLUID GLUCOSE IN PREDICTING PARAPNEUMONIC PLEURAL EFFUSIONIN SANGLAH HOSPITAL

DENPASAR

Parapneumonic pleural effusion is among the common cause of exudative pleural effusion. While gold standard for microbiological examination is not always available in many remote area hospital, there is a need for a simple, easy, cheap and fast biomarker that can predict the parapneumonic pleural effusion.

This is a diagnostic study to assess the validity of pleural glucose levels in predicting parapneumonic pleural effusion in 30 patients who came to the hospital Sanglah. Data were analyzed using ROC curves and diagnostic2x2 table to obtain AUC, cut-off point, sensitivity, specificity, NPVand PPV.

Cut-off point for pleural glucose levels isat 54 mg / dL with the AUC 0.8326 (> 0.7). Sensitivity and specificity of pleural glucose in predicting parapneumonic pleural effusion in patients with pleural effusion are 81.3% and 92.9% (CI 95%), respectively.Value of PPV and NPV 92.9% and 81.3% confirm the gooddiagnostic value of pleural glucose levels in predicting parapneumonic pleural effusion in patients with pleural effusion.

Thisstudyshowedthatpleuralglucose level havegood sensitivity and specificity values in predicting parapneumonic pleuraleffusion.

(12)
(13)

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6

2.5 Analisa Pleura : Glukosa Cairan Pleura ... 20

2.6 Cara Pemeriksaan Kadar Glukosa Cairan Pleura ... 21

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP ... 23

3.1.Kerangka Berpikir ... 23

3.2 Konsep Penelitian ... 24

BAB IV METODE PENELITIAN ... 25

4.1 Rancangan Penelitian ... 25

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 25

(14)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1 Hasil ... 31

5.1.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 31

5.1.2 Analisis Kurva ROC ... 32

5.1.3 Uji Diagnostik ... 34

5.2 Pembahasan ... 35

5.2.1 Sensitivitas ... 36

5.2.2 Spesifisitas ... 37

5.2.3 Nilai Prediksi Positif (NPP) dan Nilai Prediksi Negatif (NPN) ... 38

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 39

6.1 Simpulan ... 39

6.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Penyebab efusi pleura eksudatif dan transudatif ... 12

4.1 Tabel 2x2 Hasil Penelitian Diagnostik ... 29

5.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian ... 32

5.2 Detail kurva ROC kemampuan kadar glukosa pleura dalam

memprediksi diagnosis EPP ... 33

5.3 Hasil uji diagnostik tabel 2x2 kadar glukosa pleura dalam

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Terbentuknya transudat dan eksudat. ... 11

2.2 Rangkuman patogenesis efusi pleura parapneumonik ... 13

2.3 Perkiraan perjalanan penyakit EPP ... 15

2.4 Algoritma terapi efusi parapneumonik... 19

3.1 Skema konsep penelitian ... 22

4.1 Skema alur penelitian ... 26

(17)

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA

SINGKATAN

AUC : Area UnderCurve

AGD : Analisa Gas Darah

BTA : Bakteri Tahan Asam

CAP :Community-acquired Pneumonia

CRP :C-reactive protein

CI : Confidence Interval

CPPE : ComplicatedParapneumonicEffusion

EP : Efusi Pleura

EPP : Efusi Pleura Parapneumonik

IL : Interleukin

ROC : ReceiverOperatingCharacteristic

SD : Standar Deviasi

SIRS : SystemicInflammatoryResponseSyndrome

Sen : sensitivitas

Spe : spesifisitas

TN : TrueNegative

TNF-α : tumor necrosisfactor-alpha

UPPE : UncomplicatedParapneumonicEffusion

TP : TruePositive

USG : Ultrasonografi

CT-scan : ComputedTomography-scan

(18)

% : Persentase

< : lebih kecil

> : lebih besar

≤ : lebih kecil atau sama dengan

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik ... 44

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian ... 45

Lampiran 3. Lembar Pengumpulan Data Sampel ... 46

Lampiran 4. Data Sampel Penelitian ... 47

Lampiran 5. Analisis Data Penelitian... 48

(20)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura

yang disebabkan oleh produksi berlebihan cairan ataupun berkurangnya absorpsi.

Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering

dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner, inflamasi,

hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi.

Infeksi pleura (baik efusi parapneumonik maupun empyema) telah ada

sejak dulu, dilaporkan dalam teks-teks medis Yunani Kuno. Diperkirakan 4 juta

orang terkena pneumonia setiap tahunnya, dengan hampir separuhnya terkena

efusi parapneumonik. Infeksi pleura merupakan komplikasi pneumonia,

dilaporkan menyerang 65 ribu pasien per tahunnya di AS dan Inggris

(Rosenstengel dan Lee, 2012) dengan perkiraan total belanja kesehatan mencapai

USD $320 juta. Infeksi pleura meningkatkan morbiditas dan mortalitas infeksi

paru, dengan angka mortalitas pada orang dewasa mencapai 20% (Rosenstengel

dan Lee, 2012). Insidensinya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000

orang dalam 1 juta populasi tiap tahun. Di Amerika, dijumpai 1,5 juta kasus efusi

pleura setiap tahunnya (Sahn, 2008). Sementara perkiraan prevalensinya di

negara-negara maju lainnya mencapai 320 kasus per 100.000 orang (Sahn, 2006).

Sedangkan di Indonesia sendiri, catatan medik Rumah Sakit Dokter Kariadi

(21)

setiap tahunnya yaitu terdapat 133 penderita pada tahun 2001 (Ariyanti, 2003).Di

tahun 2011, Tobing dan Widirahardjo mendapati kasus efusi pleura dalam setahun

di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik berjumlah 136 di mana laki-laki

lebih banyak dari perempuan (65,4% vs 34,6%), sedangkan etiologi tersering

adalah tuberkulosis (44,2%) diikuti tumor paru (29,4%) (Tobing dan

Widirahardjo, 2013). Ada lebih dari 55 penyebab efusi pleura yang telah dicatat.

Sedangkan insidensi berdasarkan penyebabnya sendiri bervariasi bergantung dari

area demografik serta geografisnya.

Efusi pleura digolongkan dalam tipe transudat dan eksudat, berdasarkan

mekanisme terbentuknya cairan dan biokimiawi cairan pleura. Transudat timbul

karena akibat ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dan tekanan hidrostatik,

sementara eksudat timbul akibat peradangan pleura atau berkurangnya drainase

limfatik. Pada beberapa kasus, cairan pleura yang dihasilkan dapat saja

menunjukkan kombinasi sifat transudat dan eksudat(Rubins, 2011).

Langkah awal dalam mencari penyebab efusi adalah dengan menentukan

apakah cairan itu transudat atau eksudat (Yetkinet al, 2006). Jika ternyata hasilnya

adalah transudat, maka kemungkinan penyebabnya relatif lebih sedikit, oleh

karenanya tidak perlu dilakukan prosedur diagnostik yang lebih jauh lagi terhadap

cairan pleura tersebut. Namun jika hasilnya adalah eksudat, ada banyak

kemungkinan penyebab yang mendasarinya sehingga pemeriksaan diagnostik

selanjutnya perlu dilakukan (Yataco dan Dweik, 2005)

Kriteria yang paling umum diterima untuk membedakan eksudat dan

(22)

(LDH) di dalam serum dan di cairan pleura. Kriteria ini disusun oleh Light et al di

tahun 1972, dengan sensitivitas 99% dan spesifisitas 98%. Kriteria ini menetapkan

bahwa cairan efusi pleura exudatif setidaknya memiliki satu dari 3 hal berikut,

yakni rasio protein pada cairan pleura dibanding serum >0,5, rasio LDH cairan

pleura dibanding serum > 0,6 dan kadar LDH cairan pleura > 2/3 batas atas LDH

serum normal (Light, et al, 1972).

Setelah menetapkan efusi pleura exudatif, barulah kita lanjutkan dengan

mencari tahu penyakit tersering yang menjadi penyebabnya, antara lain

pneumonia(efusi pleura parapneumonik = EPP), tuberkulosis (TB), keganasan dan

tromboemboli paru (Porcell dan Light, 2013). Untuk menentukan penyebab efusi

pleura exudatif, beberapa studi sebelumnya telah mengajukan parameter seperti

pH, kadar amilase, kadar rheumatoidfactor, adenosindeaminase (ADA) dan

analisa lipid. Sayangnya, tidaklah murah untuk memasukan tes-tes ini ke dalam

pemeriksaan rutin efusi pleura.

Bilamana dicurigai ada infeksi, yang perlu diperiksa adalah pH, glukosa

LDH dan kultur mikrobiologi dari cairan pleura. Selain itu sitologi pleura dan

BTA pleura. Juga ada beberapa biomarker baru yang diteliti untuk mendiagnosis

efusi pleura karena infeksi seperti tumor necrosisfactor-alpha (TNF-α),

myeloperoxidase, C-reactive protein (CRP) dan procalcitonin (PCT). Namun, tak

satu pun dari parameter tersebut yang lebih unggul dari parameter klasik pH

pleura <7.20, atau glukosa pleura <60 mg / dL (Porcel, et al, 2009).

Semakin dini kita menegakkan diagnosis PPE, semakin baik pula outcome

(23)

mengerjakan baku emas dari kausa EPP, sementara kondisi pasien menuntut

untuk segera diberikan terapi empirik. Hal ini menjadi tantangan besar bagi

penyedia layanan kesehatan di perifer. Itulah sebabnya, peneliti ingin mengukur

sensitivitas dan spesifisitas kadar glukosa cairan pleura dalam memprediksi EPP.

Bila terbukti akurasinya tinggi, para penyedia layanan kesehatan di perifer dapat

mempertimbangkan tes ini sebagai tes diagnostik sehingga terapi empirik bagi

kausa efusi pleura dapat segera diberikan.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah kadar glukosa cairan pleuramempunyai sensitivitas, spesifisitas,

dan akurasi yang baik dalam mendiagnosis efusi pleura parapneumonik?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui validitas kadar glukosacairan pleuradalam memprediksi

diagnosis efusi pleura parapneumonik.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui sensitivitaskadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis

efusi pleura parapneumonik.

2. Mengetahui spesifisitas kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis

(24)

3. Mengetahui nilai prediksi positif kadar glukosa cairan pleura dalam

diagnosis efusi pleura parapneumonik.

4. Mengetahui akurasi kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi

pleura parapneumonik.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademik

Memberikan informasi nilai sensitivitaskadar glukosa cairan pleura dalam

diagnosis efusi pleura parapneumonik.

1.4.2Manfaat praktis

1. Sebagai data ilmiah bahwa kadar glukosa cairan pleura dapat

digunakan sebagai alat diagnostik awal yang dapat dikerjakan secara

praktis, sederhana dan ekonomis untuk menegakkan diagnosis efusi

pleura parapneumonik.

2. Hasil kadar glukosa cairan pleura dapat digunakan sebagai acuan

(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Latar Belakang

Meski antibiotik yang poten telah banyak dikembangkan, pneumonia

bakterial masih membawa masalah morbiditas dan mortalitas yang signifikan.

Angka insidensi tahunan pneumonia bakterial diperkirakan mencapai 4 juta,

dengan 25% di antaranya membutuhkan perawatan RS. Efusi pleura

parapneumonik (EPP) masih menjadi penyebab tersering dari efusi pleura karena

sebanyak 40% dari pasien rawat inap dengan pneumonia bakteri mengalami efusi

pleura (Koegelenberg, et al, 2008). Morbiditas dan mortalitas pada pasien

dengan pneumonia dan pleura efusi lebih tinggi dibandingkan pasien dengan

pneumonia saja. Pada satu studi terhadap 1.424 pasien rawat inap dengan

pneumonia-komunitas (community-acquired pneumonia = CAP), pasien dengan

efusi pleura 2,7 kali lebih mungkin mengalami kegagalan pengobatan

dibandingkan mereka yang tanpa efusi pleura (Manendez, et al, 2004). Risiko

relatif kematian pada pasien dengan CAP adalah 6,5 kali lebih tinggi untuk pasien

dengan efusi pleura bilateral dan 3,7 kali lebih tinggi untuk pasien dengan efusi

pleura unilateral ukuran sedang atau besar bila dibandingkan dengan pasien lain

dengan komunitas yang didapat pneumonia saja. Naiknya morbiditas dan

mortalitas pada beberapa pasien dengan PPE terjadi lebih karena salah tata

laksana dari efusi pleura (Light, 2006).

(26)

2.1.1 Epidemiologi

Belum ada angka pasti insidensi pneumonia secara global. Laporan WHO

menunjukkan beban penyakit yang berhubungan dengan kematian akibat infeksi

saluran pernapasan bawah pada tahun 2004 mencapai 4,2 juta. Perkiraan angka

insidensi efusi pleura dan empyema dapat dibuat dari angka insidensi di AS,

namun angka ini harus dihitung dengan hati-hati mengingat kurangnya perawatan

dan pengobatan tertunda di negara-negara berkembang mungkin saja membuat

insidensi global meroket tajam (Limsukon, 2014).

Sekitar 1,3 juta pasien dirawat di rumah sakit setiap tahun dengan

pneumonia di Amerika Serikat. Prevalensi efusi pleura parapneumonik sebagian

tergantung pada organisme yang terlibat. Secara keseluruhan, efusi pleura muncul

pada sekitar 35-40% pasien dengan pneumonia bakteri atau pneumonia anaerob,

dengan prevalensi pneumonia pneumokokus mendekati 60%. Efusi pleura

komplikata lebih sering muncul dengan infeksi pleuropulmoner anaerob.

Sehingga diperkirakan ada sekitar 500,000-750,000 pasien dengan efusi

parapneumonik per tahun. Belum ada angka pasti mengenai berapa banyak pasien

yang akhirnya mengalami efusi komplikata atau empyema, tapi dari satu studi

kecil ada sekitar 5-10% yang memerlukan drainase atau prosedur bedah

(Limsukon, 2014).

Studi tentang data rawat inap di Amerika Serikat menemukan bahwa pada

tahun 1996, secara nasional tingkat rawat inap diagnosa terkait empyema

(27)

menjadi 5,98 per 100.000, naik 2 kali lipat. Angka empyema pneumokokus tetap

stabil, namun tingkat empyema staphylococcal naik tiga kali lipat. Tingkat rawat

inap untuk empyema lain atau yang tidak diketahui etiologi nya (62,4% dari rawat

inap empyema) naik dua kali lipat, seperti halnya tingkat empyema streptokokus

non-pneumococcal (Chalmers, et al, 2009).

Angka pasti untuk kasus seputar masalah infeksi pleura dan komplikasinya

di Indonesia belum ada. Meski demikian, beberapa studi yang dikerjakan di

beberapa center dapat memberikan gambaran amplitudo masalah ini. Studi di RS

Persahabatan Jakarta di tahun 2012 menemukan 119 pasien dengan efusi pleura;

104 dengan efusi pleura eksudatif dan 15 pasien dengan efusi pleura transudatif.

Pasien laki-laki sebanyak 66 (55,5%) pasien dan sisanya 53 (44,5%) pasien adalah

perempuan (Khairani, et al, 2012). Proporsi laki-laki yang lebih banyak ini sama

dengan hasil yang ditemukan pada studi di RS Adam Malik Medan yakni laki-laki

65,4% (89 pasien) dan perempuan 34,6% (47) (Tobing dan Widirahardjo, 2013).

2.1.2 Etiologi

Sebenarnya hampir semua jenis pneumonia (bakterial, viral, atipikal) bisa

menyebabkan EPP. Namun insidensi relatif EPP bervariasi sesuai organisme

penyebabnya. Pneumonia viral dan pneumonia mycoplasma menyebabkan efusi

pleura pada 20 % pasien. Untuk empyema toraks, pneumonia bakterial menjadi

penyebab pada 70% kasus. Sebagai tambahan pula, empyema thorax merupakan

komplikasi dari operasi sebelumnya, yang menyumbang 30 % dari kasus. Kasus

(28)

tidak ada infeksi atau trauma, organisme penginfeksi dapat menyebar dari darah

atau organ lainnya ke dalam rongga pleura, yang nantinya akan berkembang

menjadi abses subdiafragma, ruptur esofagus, mediastinitis, osteomyelitis,

perikarditis, kholangitis dan divertikulitis (Sahn, 2007).

2.1.3 Bakteriologi

Sejak munculnya antibiotik, gambaran bakteriologis EPP dengan

kultur-positif telah berubah. Sebelum jaman antibiotik, yang terbanyak tumbuh di cairan

empyema adalah Streptococcus pneumoniae atau Streptococcus hemolyticus. Di

periode tahun 1955 – 1965, Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling

sering diisolasi dari cairan pleura. Pada awal 1970-an, organisme anaerob yang

paling sering diisolasi. Kini, ternyata bahwa organisme aerob yang lebih sering

menimbulkan sebagian besar empyema dibanding anaerob. Studi atas 197 pasien

dengan kultur-positif bakteri untuk cairan pleura di RS militer menemukan kalau

bakteri aerobik dapat diisolasi pada 64% pasien, 13% pasien hanya ditemukan

organisme anaerob dan di 23% dari pasien ditemukan organisme aerobik dan

anaerob (Tsang, 2007).

Streptococcus pneumoniae, S. pyogenes dan Staphylococcus aureus

merupakan organisme tersering yang dikaitkan dengan infeksi pleura (Burgos, et

al, 2011). Juga kelompok S. anginosus (dikenal sebagai kelompok S.milleri) yang

terdiri dari S. anginosus, S. constellatus dan S. intermedius merupakan flora

(29)

pada 30-50% kasus CAP dewasa (Burgos, et al, 2011; Ahmed, et al, 2006;

Maskell, et al, 2005).

S. aureus lebih sering ditemukan pada pasien rawat inap tua yang memiliki

komorbiditas. Biasanya disertai kavitasi dan pembentukan abses, dengan

empyema muncul pada 1-25 % kasus dewasa. Kini juga ada laporan tentang

peningkatan jumlah kasus empyema yang disebabkan oleh community-acquired

MRSA, dan bakteri ini patut dicurigai community- dan hospital-acquired empyema

(Lindstrom, 1999). Namun bakteri anaerob juga berkontribusi signifikan terhadap

infeksi pleura, diisolasi sebagai agen tunggal atau co-patogen di 25-76 % kasus

anak (Micek, 2005).

2.2 Patofisiologi

Rongga pleura normal terisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni

0,1 – 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya untuk memfasilitasi pergerakan

kembang-kempis paru selama proses pernafasan. Cairan pleura diproduksi dan

dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi

normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorpsi maksimal drainase sistem

limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki konsentrasi protein

lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer.

Cairan pleura berisi 1.500 – 4500 sel/mL dengan komponen makrofag

(75%), limfosit (23%), eritosit dan mesotel bebas. Kandungan protein normal di

pleura adalah 1 – 2 g/100mL. Elektroforesis protein cairan pleura menunjukkan

(30)

kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih tinggi dalam cairan

pleura. Kadar molekul bikarbonat cairan pleura 20 – 25% lebih tinggi

dibandingkan kadar bikarbonat plasma, sedangkan kadar ion Natrium lebih rendah

3 – 5% dan kadar ion klorida lebih rendah 6 – 9% sehingga pH cairan pleura lebih

tinggi dibandingkan pH plasma. Keseimbangan ionik ini diatur melalui transpor

aktif mesotelium. Kadar glukosa dan ion kalium cairan pleura setara dengan

plasma (Putratomo dan Yunus, 2013).

Gambar 2.1

Terbentuknya transudat dan eksudat. A, Tekanan hidrostatik normal (panah biru) ± 32 mmHg di ujung arteri dari kapiler dan 12 mmHg di ujung vena dari kapiler;

rerata tekanan osmotik koloid jaringan ± 25 mmHg (panah hijau), yang sama dengan rata-rata tekanan kapiler. Makanya, hampir tidak ada aliran bebas cairan

(31)

terbentuk pada proses inflamasi karena meningkatnya permeabilitas vaskuler sebagai akibat dari merenggangnya ruang interendotelial. (Gambar dari Kumar et

al, 2014)

Efusi pleura muncul saat lebih banyak cairan yang memasuki rongga

pleura daripada yang dibuang (Gambar 1). Mekanisme akumulasi cairan pleura

antara lain: bertambahnya cairan interstitial di paru-paru akibat naiknya tekanan

kapiler paru (misalnya, gagal jantung) atau meningkatnya permeabilitas

(pneumonia); penurunan tekanan intrapleural (atelektasis); penurunan tekanan

onkotik plasma (hipoalbuminemia); meningkatnya permeabilitas membran pleura

dan obstruksi aliran limfatik (keganasan atau infeksi pleura); defek diafragma

(hydrothorax hepatis); dan ruptur duktus toraks (chylothorax). Meskipun berbagai

macam penyakit dapat menimbulkan efusi pleura, penyebab yang paling umum

pada orang dewasa adalah gagal jantung, keganasan, pneumonia, tuberkulosis,

dan emboli paru, sementara penyebab pada anak yang paling sering adalah

pneumonia (Porcel dan Light, 2006). Tabel 1 menguraikan berbagai penyebab

efusi pleura.

Tabel 2.1

Penyebab efusi pleura eksudatif dan transudatif (Na, 2014)

Tipe Eksudat Transudat

Paling sering Keganasan Gagal Jantung Kiri

Efusi parapneumonik Sirosis hepar

TBC

Kurang sering Emboli paru Hipoalbuminemia

Artritis rheumatoid dan pleuritis otoimun lainnya Dialisis peritoneal

Efusi asbestos benigna Hipotiroidisme

Pankreatitis Sindrom Nefrotik

Infark Post-myokardium Stenosis Mitral

Pasca operasi bypass arteri koroner

Jarang Yellow nail syndrome Perikarditis konstruktif

Gangguan limfatik lainnya (limfangioleiomyomatosis) Urinotoraks

Obat-obatan Meigs’ syndrome

(32)

Efusi pleura parapneumonik adalah setiap efusi pleura yang disebabkan

oleh pneumonia bakterial, abses paru, atau bronkiektasis. Pada beberapa pasien

kasusnya berkembang menjadi empyema dengan munculnya nanah dalam rongga

pleura. Empyema didefinisikan sebagai cairan pleura dengan BJ > 1,018, WBC >

500 sel/mm3, atau protein > 2,5 g/dL. Juga, ada yang menyatakan bahwa

empyema adalah cairan pleura yang kultur bakterinya positif atau dengan WBC >

15.000/mm3 dan protein > 3,0 g/dL. Sementara menurut Light, empyema adalah

efusi pleura dengan cairan kental kental dan purulen, meski beberapa pasien

dengan empyema tidak mengalami proses pneumonik (Light, 2008).

Gambar 2.2

Rangkuman patogenesis efusi pleura parapneumonik. IL-8, interleukin-8; TNF, tumor necrosis factor; PAI, plasminogen activator inhibitor; t-PA, tissue

(33)

Saat penderita mengalami pneumonia, pleura bereaksi terhadap hadirnya

mikroba dengan respon inflamasi yang kuat. Produksi cairan pleura akan

meningkat cepat. Kenaikan ini terutama berasal dari cairan interstitial paru, dan

kedua karena naiknya permeabilitas kapiler di paru. Ketika jumlah cairan pleura

yang masuk ke rongga pleura lebih besar dari kapasitas limfatik pleura untuk

menyerap cairan, maka terjadilah efusi pleura. Pada mulanya, kadar glukosa dan

pH cairan pleuranya masih normal dengan LDH dan leukosit yang rendah. Sel-sel

mesotel aktif melakukan fagositosis, yang memicu respon inflamasi ketika dipicu

oleh adanya bakteri, dan melepaskan chemokine (grup C-X-C), sitokin (1,

IL-6, IL-8 TNF-α), oksidan dan protese (Bouros, 2009).

Pada beberapa pasien, proses ini berlanjut dengan bakteri yang menginvasi

cairan pleura. Akibatnya, kadar glukosa dan pH cairan pleura menurun, LDH naik

dan cairan makin kental. Juga, lembaran-lembaran fibrin membentuk loculus

cairan dan menutupi pleura visceralis, yang akan menghalangi paru mengembang

bilamana cairannya sudah dibuang. Proses ini bisa reversibel dengan pemberian

antibiotik yang tepat selama fase eksudatif dini (Bouros, 2009).

Klasifikasi klinis praktis EPP adalah sebagai berikut: (1) efusi pleura

parapneumonik non-komplikata (UPPE, uncomplicated parapneumonic effusion)

sembuh dengan terapi antibiotik saja, tanpa sequelae pada ruang pleura; (2) efusi

pleura parapneumonik komplikata (CPPE, complicated parapneumonic effusion)

membutuhkan drainase pleura untuk mengatasi sepsis pleura dan mencegah

terjadinya empyema; dan (3) empyema, tahap akhir dari EPP. Empyema

(34)

merupakan hasil dari koagulasi serum protein, debris seluler, dan deposisi fibrin.

Empyema muncul terutama karena pasien dengan pneumonia lanjut dan infeksi

pleura progresif telat berobat dan, pada kasus yang lebih jarang, akibat dari

manajemen klinis yang tidak tepat (Sahn, 2007).

Gambar 2.3 menjelaskan proses evolusi EPP dalam 3 tahap yaitu tahap

eksudatif, fibrinopurulen dan organisasi.

Gambar 2.3

Perkiraan perjalanan penyakit EPP yang tidak diobati atau diobati tidak dengan tepat. Umumnya empyema muncul 4 –6 minggu setelah onset aspirasi bakteri ke

dalam paru (Sahn, 2007)

Pemicu pada sebagian besar kasus pneumonia adalah aspirasi dari

organisme dari orofaring. Jika load (muatan) organismenya tinggi dan pertahanan

host memang terganggu (misalnya, sebagai akibat dari merokok atau konsumsi

alkohol), pasien lebih gampang terkena pneumonia. Jeda antara aspirasi

organisme dan munculnya pneumonia bervariasi dari beberapa hari sampai 1

(35)

tidak diobati, menyebar secara sentripetal menuju hilus. Jika tidak diobati untuk

2-5 hari berikutnya, muncullah UPPE. Efusi muncul karena dari naiknya

permeabilitas kapiler pada jejas endotel yang dipicu oleh oleh neutrofil

teraktivasi, yang melepaskan metabolit oksigen, konstituen granul, dan

produk-produk dari fosfolipase membran. Cairan paru ekstravaskuler yang bertambah ini

akan meningkatkan gradien tekanan interstitial-pleura dan mendorong

terbentuknya efusi pleura saat cairan bergerak antara sel mesothelial ke rongga

pleura (Sahn, 2007). Jika pembentukan cairan interstitial melebihi kapasitas

limfatik paru-paru dan pleura, terjadilah efusi pleura. Jika tidak diobati untuk 5-10

hari berikutnya, EPP akan berubah ke tahap fibrinopurulen, ditandai oleh adhesi,

naiknya neutrofil, dan munculnya bakteri. Fibrin terbentuk sebagai bekuan protein

intravaskular yang memasuki rongga pleura, bersamaan dengan terhambatnya

fibrinolisis pada rongga pleura. Fibroblas memasuki ruang pleura oleh 2

kemungkinan mekanisme: (1) gerakan dari fibrocytes sumsum tulang ke lokasi

inflamasi, dan (2) perubahan sel-sel mesotelium menjadi fibroblast oleh sitokin.

Nanti di tahap fibrinopurulen, nanah akan disedot melalui thoracosentesis; namun,

paru-paru biasanya masih dapat mengembang. Kalau tahap fibrinopurulen ini

terus berlanjut, pasien makin susah diobati tanpa drainase rongga pleura. Untuk

10-21 hari berikutnya, EPP akan berkembang ke tahap organisasi atau empyema,

dengan paru yang terjebak akibat fibrosis pleura visceralis. Pasien dengan

empyema selalu membutuhkan drainase pleura untuk resolusi yang mengatasi

(36)

Pada kondisi pleura normal, glukosa berdifusi bebas melintasi membran

pleura dan konsentrasi glukosa cairan pleura setara dengan yang di serum. Pada

kondisi infeksi, karena meningkatnya aktifitas metabolisme, terjadi peningkatan

konsumsi glukosa tanpa disertai penggantian yang adekuat.

Kadar glukosa pleura yang rendah (< 3,4 mmol/l) dapat ditemukan di

CPPE, empyema, arthritis pleuritis dan efusi pleura TB, keganasan dan rupture

esofagus. Penyebab paling umum dari kadar glukosa pleura yang sangat rendah

(<1,6 mmol/l) adalah arthritis dan empyema (Hooper, et al, 2010)

2.3 Gejala dan Tanda Klinis

Manifestasi klinis efusi PPE dan empyema sangat tergantung pada apakah

pasien terkena infeksi aerob atau anaerob. Onset infeksi aerobik lebih akut dengan

gejala demam akut, sementara infeksi anaerob lebih lambat dan gejalanya

mungkin tidak spesifik disertai demam ringan. Jika masih demam berlangsung

selama lebih dari 48 jam setelah mulai pengobatan antibiotik, kemungkinan besar

sudah terjadi CPPE atau empyema (Limsukon, 2014).

Manifestasi klinis pasien dengan pneumonia anaerob mirip dengan pasien

pneumonia bakterial. Juga muncul demam akut disertai nyeri dada, produksi

sputum dan leukositosis. CPPE ditandai pula dengan adanya demam lebih dari 48

jam setelah pemberian antibiotik. Sementara itu, pasien dengan infeksi bakteri

anaerob yang melibatkan pleura biasanya datang dengan keluhan subakut.

(37)

anemia. Faktor predisposisi yang memicu aspirasi bakteri berulang antara lain

higiene mulut yang buruk dan konsumsi alkohol (Light, 2006).

Pada pemeriksaan fisik didapati takipnea dan takikardi, pasien tampak toksik

dan disertai gejala dan tanda yang mengarah ke SIRS. Tanda-tanda efusi pleura

antara lain menurunnya suara nafas, perkusi yang redup, dan menurunnya

fremitus (Limsukon, 2014).

2.4 Diagnosis

Dalam evaluasi atas pneumonia, pertimbangkan selalu kemungkinan EPP.

Pemeriksaan radiologis seperti foto polos thorax, USG dan CT-scan berperan

penting. Selain menemukan penumpulan sudut kostofrenikus pada foto polos,

CT-scan bisa membedakan konsolidasi paru dari efusi pleura yang hipodens. USG

membantu mengarahkan ke lokasi terbaik untuk pemasangan drainase,

meningkatkan kinerja, dan mengurangi risiko komplikasi (Garrido, et al, 2014).

Lakukan thoracentesis dan pengambilan darah bila dicurigai efusi pleura.

UPPE dapat berkembang menjadi CPPE dalam kurang dari 12 jam, sehingga tata

laksana klinis sangat penting. Efusi pleura parapneumonik ditandai dengan adanya

mikroorganisme dalam cairan, bau yang busuk atau kekeruhan, yang disebut

empyema bila mengandung nanah. Seringkali kultur cairan pleuranya negatif atau

kondisi pasien menuntut untuk segera diberikan keputusan terapi sedini mungkin,

sebelum hasil kultur bisa keluar. Dalam kasus-kasus seperti inilah, nilai pH bisa

(38)

dalam berbagai ruang EP loculated, dan juga bahwa itu adalah asam di PE ganas,

rheumatoid arthritis, pleuritis lupus dan PE TB. (Garrido, 2014).

(39)

Algoritma terapi efusi parapneumonik. Terapi antibiotik harus diberikan sedini mungkin pada semua kasus, lalu disesuaikan dengan hasil kultur.

(Garrido, et al, 2014)

2.5 Analisa Pleura: Glukosa Cairan Pleura

Identifikasi atas infeksi secara definitif dilakukan dengan analisis cairan

pleura. Gambaran pus/nanah yang nyata sudah menunjukkan adanya empyema,

jadi tidak memerlukan pemeriksaan biokimia lebih lanjut. Sekitar 40% efusi

pleura yang infektif memberi hasil kultur yang negatif, sehingga kita memerlukan

pemeriksaan tambahan, untuk menentukan ada tidaknya infeksi yakni pH, LDH

dan glukosa pleura (Rahman dan Davies, 2008). Nilai pH pleura merupakan

pemeriksaan terbaik, diikuti glukosa pleura dan LDH pleura.

Meskipun nilai pH cairan pleura merupakan yang terbaik dalam

mengetahui infeksi dalam cairan pleura, sayangnya akurasi pengukuran pH pleura

sangat tergantung pada teknik pengambilan sampel. Sedikit saja udara atau sisa

lidokain dalam tabung pengumpul akan mengubah hasil nilai pH. Di saat yang

sama, pengukuran kadar glukosa pleura, baik oleh alat pengukur AGD atau mesin

analisa konvensional, tidaklah gampang terpengaruh oleh teknik pengumpulan

sampel atau penundaan analisa. Jadi, bilamana nilai pH pleura tidak dapat dipakai,

kita bisa memakai kadar glukosa cairan pleura untuk mengetahui proses infeksi di

pleura (Rahman et al, 2008).

Dalam keadaan normal, kadar glukosa serum dan pleura harusnya sama

karena glukosa memiliki berat molekul rendah dan transportasinya dari darah ke

cairan pleura cukup dengan difusi sederhana melintasi membran endotel dan

(40)

glukosa pleura/serum <0,5. Kadar glukosa pleura yang rendah ini berbanding

lurus dengan kadar laktat dan nilai pCO2 cairan pleura, yang menunjukkan kalau

akumulasi produk-akhir glukosa inilah yang menyebabkan menurunnya pH cairan

pleura pada empyema. Dan pada percobaan empyema, glukosa turun dengan cepat

setelah masuknya bakteri ke dalam rongga pleura (Sahn dan Heffner, 2008).

Mekanisme rendahnya pH dan kadar glukosa cairan pleura pada

EPP/empyema adalah karena meningkatnya konsumsi glukosa oleh karena

fagositosis neutrofil dan metabolisme bakteri yang disertai akumulasi produk

akhir glikolisis, CO2 dan asam laktat, dan berujung pada turunnya kadar glukosa

dan nilai pH cairan pleura (Sahn, 2009). Selain itu juga, menebalnya membran

pleura juga mengganggu transpor glukosa dari darah masuk ke cairan pleura

(Chavalittamrong, 1979)

. Juga ada beberapa biomarker baru yang diteliti untuk mendiagnosis efusi

pleura yang infektif seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α),

myeloperoxidase, CRP dan PCT. Namun, tak satu pun dari parameter tersebut

yang lebih unggul dari parameter klasik pH pleura <7.20, atau glukosa pleura <60

mg / dL (Porcel, et al, 2009). Belum lagi, biaya pemeriksaannya jauh lebih mahal

dibandingkan pemeriksaan glukosa cairan pleura.

2.6 Cara Pemeriksaan Kadar Glukosa Cairan Pleura

1. Sampel pleura diambil sebanyak 10 – 20 cc dari toracentesis, simpan

(41)

2. Bila sampel jernih, langsung tambahkan reagen untuk pemeriksaan

glukosa kemudian diperiksa dengan menggunakan spektrofotometer/

autoanalyzer

3. Bila sampel keruh, disentrifus dulu, diambil supernatannya, lalu

ditambahkan reagen untuk pemeriksaan glukosa. Selanjutnya langsung

Gambar

Gambar 2.1
Tabel 2.1
Gambar 2.2
Gambar 2.3 Perkiraan perjalanan penyakit EPP yang tidak diobati atau diobati tidak dengan
+2

Referensi

Dokumen terkait