• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dismaping untuk mengetahui konsekuensi yuridis rangkap jabatan bagi perwira TNI/Polri yang aktif yang rangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Dismaping untuk mengetahui konsekuensi yuridis rangkap jabatan bagi perwira TNI/Polri yang aktif yang rangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM RANGKAP JABATAN SEBAGAI KOMISARIS DI PERSEROAN TERBATAS BADAN USAHA MILIK NEGARA

OLEH PERWIRA TINGGI TNI/POLRI YANG AKTIF Dicky Setya Prayogo

NIM : 1711131018

Fakultas Hukum, Universitas Bhayangkara Surabaya (2021)

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aspek yuridis bagi perwira TNI/Polri yang aktif yang merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara. Dismaping untuk mengetahui konsekuensi yuridis rangkap jabatan bagi perwira TNI/Polri yang aktif yang rangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif atau penelitian hukum doktriner berdasarkan pendekatan perundang- undangan (statute approach) dan konsep (conceptual approach). Temuan menunjukkan Aspek yuridis bagi perwira TNI/Polri yang aktif yang merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI. Meski demikian, terdapat pengecualian bagi jabatan- jabatan sipil tertentu untuk dapat diduduki oleh prajurit aktif dalam rangka tugas perbantuan TNI kepada pemerintahan sipil dalam kerangka operasi militer selain perang (OMSP) sebagaimana diatur Pasal 7 Ayat (2) dan (3) UU TNI. Pengaturan yang sama juga diamanatkan Pasal 28 Ayat (3) UU Polri. Konsekuensi yuridis rangkap jabatan bagi perwira TNI/Polri yang aktif yang rangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara mencederai prinsip profesionalisme sebagaimana diamanatkan dalam Dasar Menimbang huruf (d), serta Pasal 6, dan Pasal 72 UU BUMN.

Kata Kunci : Perwira TNI/Polri yang aktif, rangkap jabatan, komisaris Badan Usaha Milik Negara.

A. Pendahuluan

Penunjukan perwira tinggi aktif Kepolisian Republik Indonesia (Polri) atau Tenatara Nasional Indonesia (TNI) sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara menuai polemik. Kondisi rangkap jabatan ini dianggap berpotensi merugikan negara karena dianggap rawan korupsi, dan sarat dengan konflik kepentingan1. Sebagaimana dikemukakan Alamsyah, Ketua Ombudsman bahwa lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik telah menerima sejumlah aduan terkait rangkap jabatan ini. Ombudsman mencatat terdapat 564 komisaris

1 Marita Ahdiyana, Meretas Asa Kepemimpinan Birokrasi Pasca Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), Seminar Nasional Jurusan Ilmu Administrasi Negaras FIS UNY “Mewujudkan Administrator Publik yang Berintegritas di Era Pemerintahan Baru, 2014.

(2)

BUMN yang terindikasi rangkap jabatan, 27 orang di antaranya adalah anggota TNI aktif, sementara 13 orang adalah anggota TNI/Polri yang aktif.

Berkaitan dengan penjelasan mengenai penyelenggra pelayanan publik, salah satu aturan yang memberikan kejelasan mengenai kualifikasi penyelenggara pelayanan publik adalah Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 mengenai Pelaksana UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dijelaskan di dalam penjelasan umumnya bahwa ruang lingkup Penyelenggara Pelayanan Publik merupakan salah satu aspek penting yang perlu dijabarkan agar tidak menimbulkan kerancuan dalam penerapannya, terutama berkaitan dengan Penyelenggara Pelayanan Publik oleh badan hukum lain yang melaksanakan misi negara2. Dari berbagai kriteria penyelenggara pelayanan publik sebagaimana tersebut di dalam PP No. 96 Tahun 2012 dapat disimpulkan bahwa tidak semua instansi pemerintah merupakan penyelenggara pelayanan publik.

Namun, menyikapi pendapat yang kontra terhadap fenomena rangkap jabatan tersebut, salah satu fokus penyelenggara pelayanan publik adalah anggota perwira TNI/Polri yang aktif. Kebijakan jelas tidak sesuai dengan aturan dalam Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) dan UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri). Berdasarkan ketiga UU tersebut, seharusnya anggota TNI/Polri aktif tidak menjabat di kementerian/lembaga negara maupun di BUMN. Penempatan perwira TNI/Polri aktif dalam jajaran direksi dan komisaris perusahaan BUMN menggambarkan keengganan pemerintah melaksanakan reformasi TNI/Polri dan menjalankan amanat peraturan perundang-undangan3.

Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Apakah aspek yuridis bagi perwira TNI/Polri yang aktif yang merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara?, dan (2) Apakah konsekuensi yuridis rangkap jabatan bagi perwira TNI/Polri yang aktif yang rangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara?

B. Metode Hukum

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah yuridis normatif atau penelitian hukum doktriner. Pengumpulan data dalam penelitan ini dilakukan dengan cara menganalisis berdasarkan data, teori, dan referensi lainnya dari literatur yang ada4. Analisis hukum dilakukan dengan menarik kesimpulan

2 Pasal 1 angka 7 menyebutkan yang disebut dengan misi Negara adalah kebijakan untuk mengatasi permasalahan tertentu, kegiatan tertentu, atau mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak.

3 Peneliti Setara Institute Ikhsan Yosarie di Tirto (24 Juni), “Risiko & Potensi Masalah Perwira TNI-Polri Menjabat Komisaris BUMN”, diambil dari https://tirto.id/risiko- potensi-masalah-perwira-tni-polri-menjabat-komisaris-bumn-fKPN, 2020, diakses pada 20 Februari 2021, Puku; 14.50 WIB.

4 Ibid., h.70.

(3)

dari penelitian yang sudah terkumpul, berdasar metode analisis yuridis- kualitatif5.

C. Hasil Penelitian

Pengertian rangkap jabatan sebagaimana kata kerja “rangkap”

dipahami sebagai “ganda”, dimana perluasan makna diistilahkan merangkap yang diartikan sebagai “menduduki jabatan lain di samping jabatan tetap;

melakukan lebih dari satu pekerjaan”6. Dengan pengertian lain dikemukakan bahwa (me) rangkap dimaknai sebagai perbuatan atau kehendak seseorang untuk menduduki jabatan dua atau lebih dalam pemerintahan atau organisasi, seperti sekretaris jenderal, kepala biro, dan lain sebagainya7. Sementara itu, pada jabatan kajian ini dimaksudkan pada pejabat publik, yakni TNI/Polri yang masuk dalam kategori ASN. Bahwa, ASN sebagaimana ketentuan UU No. 5 tahun 2014 dinyatakan bahwa seorang pegawai ASN akan memiliki jabatan dalam kedudukannya, baik dalam jabatan administrasi, jabatan fungsional atau jabatan pimpinan tinggi.

Sejalan dengan rangkap jabatan, ASN dalam kedudukannya nyatanya tidak membatasi aktivitasnya dalam ruang publik hanya sebatas pada kewenangan yang melekat pada jabatannya. Kewenangan ini selanjutnya melanggar disiplin kepegawaian ASN yang termaktub dalam PP No. 53 Tahun 2010. Adapun pelanggaran disiplin tersebut secara jelas sejalan dengan paparan ini, dimana ASN telah “melakukan kegiatan usaha dagang, baik secara resmi maupun sambilan, menjadi direksi pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi yang berpangkat Pembina golongan ruangan IV/a keatas atau yang merangkap jabatan eselon I8. Rangkap jabatan ASN ini kemudian terfokus pada lembaga pemerintahan pusat dan daerah yang disebut Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Tugas dan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia termaktub dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Selanjutnya Pasal 4 UU Nomor 2 Tahun 2002 mengamanatkan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kemudian pada Pasal 5 ayat (1) diatur bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan

5 Ibid.

6 Diakses melalui https://artikata.com/arti-346968-rangkap.html, pada 31 Januari 2018.

7 Bambang Crysnadi, (2014), Rangkap Jabatan, disampaikan dalam P2TIK BKN.

8 Muhamad Taufiq, Etika Profesi dan Rangkap Jabatan ASN, Deputi Bidang Kajian Kebijakan Lembaga Administrasi Negara, Jakarta 6 Juni 2017

(4)

dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri9.

Lebih dari itu, berangkat dari peran dan fungsi TNI-Polri, pengangkatan prajurit dan perwira aktif TNI-Polri dalam jajaran BUMN mencederai prinsip profesionalisme sebagaimana diamanatkan dalam Dasar Menimbang huruf (d), serta Pasal 6, dan Pasal 72 UU BUMN, yang menyatakan penyelenggara BUMN dituntut memiliki kompetensi yang tepat.

Sebagai alat pertahanan dan keamanan negara sudah tentu kompetensi ini secara normatif tidak dimiliki oleh anggota Polri dan TNI. Jabatan dalam jajaran BUMN harus diisi oleh orang yang memiliki kompetensi sesuai jabatannya sehingga amanat UU BUMN dapat dilaksanakan dengan baik.

Pada sisi lain, penempatan prajurit dan perwira aktif dalam jajaran BUMN menunjukan sikap ketidak-profesionalitasan TNI dan Polri sebagai alat pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam UU TNI dan Polri10.

Lebih lanjut, ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Kepolisian menentukan bahwa anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Disamping itu, penjelasan 28 ayat (3) itu menerangkan bahwa 12 jabatan di luar kepolisian adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri. Berdasarkan ketentuan hukum tersebut, seorang anggota kepolisian hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah dirinya mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. jika ditafsirkan secara a contrario (suatu cara menafsirkan undang- undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal peraturan perundang- undangan) ketentuan tersebut berarti, seorang anggota kepolisian yang masih aktif dilarang untuk menduduki jabatan di luar kepolisian11.

Di lain pihak, Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang TNI berbunyi bahwa

“Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.” Dari bunyi pasal tersebut, jelas bahwa prajurit yang masih aktif tidak diperbolehkan untuk menduduki jabatan sipil.

Perlu diketahui pula, anggota TNI/Polri tersebut tidak pernah diberhentikan dengan hormat, tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Aturan ini sesuai pada Pasal 23 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil12.

Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang merupakan turunan dari Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasal 23 (1) huruf d berbunyi: “Setiap warga negara Indonesia

9 Miftah Thoha, Konsep Perubahan UU Kepegawaian, Kantor Kota Sukabumi Management Kepegawaian Universitas Gajah Mada, sukabumikota.kemenag.go.id file dokumen.ppt., 2016.

10 A.W.Widjaja, Administrasi Kepegawian, Jakarta: Rajawali, 2006, h. 113.

11 Adrianus Adhiwira Yoga Pradhana, op cit., h. 1062-1074

12 Ibid., h. 1062-1074

(5)

mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS dengan memenuhi persyaratan “tidak berkedudukan sebagai calon PNS, PNS, prajurit Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;” Selain itu pula, anggota TNI yang masih aktif pun dilarang untuk melakukan kegiatan bisnis tertuang pada Pasal 39 Undang-Undang TNI.

Anggota Perwira TNI/POLRI, khusunya Polri di haruskan mengerti akan makna dan kandungan “Catur Prasetya” serta mengimplementasikannya sebagai insan Bhayangkara, kehormatan Polri adalah berkorban demi masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya, ketentuan peraturan perundang- undangan, anggota Polri pada dasarnya tidak dapat menduduki jabatan struktural di instansi sipil. Hal ini dapat dibaca dalam ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Kepolisian yang mengatur “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Namun demikian, dalam pasal yang sama, Undang-Undang Kepolisian memberikan kemungkinan bagi anggota Polri untuk menduduki jabatan struktural di 10 (sepuluh) instansi sipil13.

Namun apabila pengisian jabatan struktural di instansi sipil tertentu oleh Polri tanpa pengalihan status akan dijadikan kebijakan pemerintah, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur, harus diubah terlebih dahulu dengan menambah instansi yang diinginkan pada daftar kementerian/lembaga dalam Undang-Undang tersebut. Apabila suatu instansi, baik yang masuk dalam daftar 10 (sepuluh) instansi di atas maupun tidak, tetap menghendaki dan membutuhkan pejabat yang berasal dari Polri, maka dapat menempuh beberapa cara14.

D. Pembahasan

Polemik rangkap jabatan Perwira TNI-Polri yang aktif menjabat komisaris BUMN yang meningkat dan juga dipicu oleh regulasi yang membuka peluang lebih longgar untuk pengabaian etika. Sebelumnya, Peraturan Pemerintah (PP) No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS melarang PNS rangkap jabatan menjadi direksi dan komisaris perusahaan swasta. PP tersebut diubah menjadi PP No.53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS dan tidak ada lagi larangan merangkap jabatan menjadi komisaris, kecuali menjadi anggota Partai Politik. Logika yang berkembang kemudian adalah, jika menjadi komisaris perusahaan swasta tak dilarang, apa lagi menjadi komisaris BUMN maupun anak perusahaan15.

Lebih lanjut, pemegang jabatan rangkap bisa saja mengelak dengan mengatakan bahwa dirinya tidak memiliki konflik kepentingan dengan berbagai macam alasan: bahwa dirinya dapat memisahkan dan

13 Ibid., h. 1-8

14 Ikhsan Yosarie, Penempatan Perwira Militer, Polisi Aktif di BUMN Menjadi Tanda Reformasi Semakin Mundur, diakses melalui https://theconversation.com/penempatan- perwira-militer-polisi-aktif-di-bumn-menjadi-tanda-reformasi-semakin-mundur-141786, pada 20 Maret 2021, Pukul 17.20 WIB.

15 Abdul Qidam, Keabsahan Pengangkatan Perwira Polisi Aktif Sebagai Penjabat Kepala Daerah, Jurnal Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, 2020, h. 1-10

(6)

membedakan secara tegas fungsinya sebagai Perwira TNI-Polri yang aktif dan sebagai komisaris, bahwa kedua jabatan tersebut berhubungan erat dan keberadannya di BUMN berfungsi untuk mewakili pemerintah sebagai salah satu pemegang saham, bahwa dirinya kompeten dan profesional sehingga layak menduduki jabatan komisaris, dan sebagainya16. Sejauh ini juga tidak pernah ditemui kasus korupsi yang timbul karena seseorang memegang rangkap jabatan sebagai Perwira TNI-Polri yang aktif dan komisaris BUMN, atau setidaknya sejauh penelusuran penulis belum pernah ditemukan pemberitaan terkait hal tersebut. Akan tetapi, ini bukanlah alasan pembenar yang layak. Ketiadaan korupsi tidak mementahkan premis bahwa situasi yang berpotensi menimbulkan korupsi harus dicegah dan dilarang. Lagipula, sebagaimana teori konflik kepentingan, persepsi publik mengenai risiko konflik kepentingan atas suatu situasi karena mereka melihat adanya celah, meskipun barangkali celah tersebut sangat sempit dan tidak sepenuhnya benar.

E. Penutup

Aspek yuridis bagi perwira TNI/Polri yang aktif yang merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara bertentangan dengan Pasal 47 Ayat (1) UU TNI yang mengamanatkan Prajurit TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Meski demikian, terdapat pengecualian bagi jabatan- jabatan sipil tertentu untuk dapat diduduki oleh prajurit aktif dalam rangka tugas perbantuan TNI kepada pemerintahan sipil dalam kerangka operasi militer selain perang (OMSP) sebagaimana diatur Pasal 7 Ayat (2) dan (3) UU TNI. Pengaturan yang sama juga diamanatkan Pasal 28 Ayat (3) UU Polri jo.

Pasal 2 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Konsekuensi yuridis rangkap jabatan bagi perwira TNI/Polri yang aktif yang rangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara mencederai prinsip profesionalisme sebagaimana diamanatkan dalam Dasar Menimbang huruf (d), serta Pasal 6, dan Pasal 72 UU BUMN, yang menyatakan penyelenggara BUMN dituntut memiliki kompetensi yang tepat.

Sebagai alat pertahanan dan keamanan negara sudah tentu kompetensi ini secara normatif tidak dimiliki oleh anggota Polri dan TNI. Jabatan dalam jajaran BUMN harus diisi oleh orang yang memiliki kompetensi sesuai jabatannya sehingga amanat UU BUMN dapat dilaksanakan dengan baik.

Pada sisi lain, penempatan prajurit dan perwira aktif dalam jajaran BUMN menunjukan sikap ketidak-profesionalitasan TNI dan Polri sebagai alat pertahanan dan keamanan negara.

16 Amzulian Rifai, Larangan Rangkap Jabatan Larangan Rangkap Jabatan Pelaksana Pelayanan Publik, disampaikan dalam Presentasi Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Jakarta, 2017, h. 1-10

Referensi

Dokumen terkait