• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJUAN PUSTAKA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Overweight

2.1.1 Definisi Overweight

Overweight dan obesitas merupakan dua hal yang berbeda. Overweight adalah berat badan yang melebihi berat badan normal, sedangkan obesitas adalah kelebihan akumulasi lemak dalam tubuh. Tetapi karena lemak tubuh sulit untuk diukur, berat badan tubuh yang berlebihan dianggap akumulasi lemak (CDC, 2010).

Penentuan kelebihan berat badan pada orang dewasa berbeda dengan penentuan kelebihan berat badan pada anak. Pada orang dewasa dapat ditentukan berdasarkan hitungan Indeks Masa Tubuh (IMT) yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi badan kuadrat (m2). Dikatakan overweight apabila hasil perhitungan IMT antara 25-29,9 dan obesitas apabila hasil IMT antara 30-39,9. Sedangkan pada anak, dilakukan perhitungan IMT terlebih dahulu kemudian diproyeksikan ke dalam kurva z-score WHO IMT untuk usia 5-19 tahun. Dikatakan overweight apabila hasil score antara +1SD dan +2SD sedangkan obesitas apabila hasil z-score di atas +2SD (WHO, 2007).

2.1.2 Etiologi Overweight pada Anak

Pada dasaranya, kelebihan berat badan pada anak dapat terjadi karena adanya masukan energi yang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran energi. Kelebihan energi tersebut kemudian disimpan dalam bentuk lemak. Walaupun dalam masa pertumbuhan tubuh memerlukan kalori yang lebih banyak, tetapi apabila adanya masukan kalori secara berlebihan dan terus menerus akan mengakibatkan akumulasi jaringan adiposa yang berlebihan. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya obesitas pada anak, diantaranya yaitu:

(2)

1. Faktor genetik

Genetik memainkan peranan besar dalam perkembangan obesitas anak. Beberapa penelitian melaporkan bahwa besarnya pengaruh genetik terhadap berat badan anak sama dengan besarnya pengaruh genetik terhadap tinggi badan anak (Helebrand, Wermter & Hinney, 2004 dalam Haugaard, 2008). Bagaimana genetik dapat mempengaruhi perkembangan sel adiposa belum diketahui dengan pasti. Walaupun demikian, pengaruh spesifik yang dapat menyebabkan obesitas berbeda pada tiap anak. Misalnya, genetik dapat mempengaruhi aktivitas fisik, mekanisme dan tempat lemak diakumulasikan, serta pilihan makanan, maupun tingkat metabolisme (Rosenbaum et al., 1997, dalam Haugaard, 2008).

2. Obesitas pada orang tua

Banyak penelitian yang membuktikan hubungan antara orang tua obesitas menyebabkan anak menjadi obesitas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, genetik yang diturunkan orang tua dapat berperan. Ditambah lagi anak yang meniru kebiasaan orang tua seperti memakan makanan yang tinggi kalori, mengonsumsi makanan dalam jumlah besar, dan aktivitas fisik yang kurang (Burke et al., 2005) 3. Aktivitas fisik

Suatu penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Berkey et al., (2000) membuktikan bahwa anak yang sering menonton televisi, bermain video game, dan aktivitas fisik yang kurang, memiliki peningkatan IMT yang signifikan dalam kurun waktu satu tahun.

4. Diet

Peranan diet kurang jelas dibandingkan peranan aktivitas fisik terhadap kejadian obesitas. Beberapa peneliti melaporkan bahwa anak overweight lebih banyak makan dibandingkan anak yang memiliki berat badan normal atau mengonsumsi makanan yang mengandung lebih banyak lemak (Berkey et al., 2000). Bagaimanapun, peneliti lain melaporkan bahwa tidak ada perbedaan jumlah asupan kalori pada

(3)

anak overweight dan pada anak yang memiliki berat badan normal Perbedaan hasil ini mungkin disebabkan karena adanya kesulitan dalam menghitung keakuratan asupan kalori anak. Dikarenakan anak obesitas cenderung melaporkan asupan makanan yang lebih sedikit (Janssen et al., 2004).

2.1.3 Efek Overweight Terhadap Kesehatan

Kebanyakan anak obesitas dan overweight tidak mengalami masalah kesehatan fisik yang signifikan. Bagaimanapun, onset obesitas pada usia muda meningkatkan risiko masalah kesehatan pada saat remaja atau dewasa. Anak-anak obesitas yang tumbuh menjadi dewasa obesitas memiliki risiko tinggi terjadinya penyakit jantung koroner. Menariknya, kebanyakan anak-anak obesitas yang tumbuh menjadi dewasa yang memiliki berat badan normal tidak memiliki faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner (American Academy of Pediatrics Comitte on Nutrition, 2003 dalam Haugaard, 2008).

Anak obesitas memiliki risiko masalah kesehatan seperti diabetes mellitus tipe 2. Diagnosis diabetes mellitus tipe 2 banyak ditegakkan pada anak usia belia dan terus meningkat selama tiga dekade belakangan ini. Anak obesitas juga memiliki risiko tinggi menderita asma dan sleep apnea. Tidak jarang juga anak obesitas menderita masalah muskuloskeletal. Salah satu masalah muskuloskeletal yaitu telapak kaki yang datar, dimana sudut di bawah kaki yang kecil atau biasa disebut dengan pes planus. Kondisi ini dapat menyebabkan rasa nyeri pada daerah kaki, betis, lutut apabila anak berjalan maupun berlari dalam waktu yang cukup lama. Konsekuensi yang paling penting dari masalah muskuloskeletal adalah anak semakin malas melakukan aktivitas fisik dan memperberat kondisi obesitas anak tersebut (American Academy of Pediatrics Comitte on Nutrition, 2003 dalam Haugaard, 2008).

(4)

2.2 Masalah Mental Emosional

2.2.1 Definisi Masalah Mental Emosional

Kesehatan mental bukan hanya sekedar bebas dari gangguan mental. Kesehatan mental adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan dalam kehidupan, dan dapat bekerja dengan produktif, serta mampu berkontribusi dalam masyarakat. Kesehatan mental, fisik, maupun sosial, tidak dapat berdiri sendiri melainkan saling mempengaruhi. Kesehatan mental dan gangguan mental seseorang merupakan hasil interaksi dari faktor sosial, psikologis dan biologis seperti kejadian sehat dan sakit pada umumnya (WHO, 2001). Gangguan mental adalah perilaku klinis yang signifikan atau sindrom psikologis atau pola yang terjadi pada suatu individu yang berhubungan dengan rasa nyeri, atau kecacatan (seperti gangguan fungsi pada satu atau lebih bagian tubuh), atau karena peningkatan risiko terjadinya kematian, rasa nyeri, kecacatan, atau hilangnya kebebasan (DSM- IV-TR, 2000).

2.2.2 Jenis-jenis Masalah Mental Emosional

Ada berbagai jenis masalah mental emosional, antara lain: gangguan mood seperti depresi dan kecemasan; gangguan perilaku seperti gangguan pemberontak oposisi, agresif, dan antisosial; gangguan makan seperti anorexia nervosa dan bulimia nervosa; gangguan adiktif; dan gangguan lain yang sering terlihat pada

anak-anak dan remaja seperti autisme, gangguan belajar, dan attention

deficit/hyperactivity disorder (ADHD). Masalah mental yang sering terjadi pada remaja yaitu gangguan mood (depresi, kecemasan, gangguan bipolar) dan gangguan perilaku (agresif dan gangguan pemusatan perhatian) (Knopf, Park, Mulye, 2008).

2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mental Emosional

Masa remaja (usia 12-19 tahun), merupakan masa yang kritis dalam siklus perkembangan seseorang. Masa remaja dibagi menjadi dua, yaitu remaja awal (usia 13-16 tahun) dan remaja akhir (17-19 tahun). Masa remaja awal dan akhir

(5)

dibedakan karena pada masa remaja akhir, individu telah mencapai tansisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Pada masa remaja ini terdapat banyak perubahan, baik perubahan biologik, psikologik, maupun sosial. Fase perubahan tersebut seringkali memicu terjadinya konflik antara remaja dengan dirinya sendiri maupun remaja dengan lingkungan sekitarnya. Apabila konflik-konflik tersebut tidak dapat teratasi dengan baik maka dalam perkembangannya dapat membawa dampak negatif terutama terhadap pematangan karakter remaja dan tidak jarang memicu terjadinya gangguan mental (Wiguna, 2010).

Masalah mental emosional remaja dipengaruhi oleh interaksi antara faktor

risiko dan faktor protektif. Faktor risiko adalah faktor-faktor yang telah diidentifikasi dapat meningkatkan risiko terjadinya masalah mental emosional pada remaja. Faktor risiko tersebut antara lain: (Wiguna, 2010):

1. Faktor individu

a. Faktor genetik atau konstitusional. Berbagai gangguan mental mempunyai latar belakang genetik yang cukup nyata, seperti gangguan tingkah laku, gangguan kepribadian, dan gangguan psikologik lainnya.

b. Kurangnya kemampuan keterampilan sosial seperti

menghadapi rasa takut, rendah diri, dan rasa tertekan. 2. Faktor psikososial

a. Keluarga. Ketidakharmonisan antara orang tua, orang tua

dengan penyalahgunaan zat, gangguan mental pada orang tua, pola asuh orang tua yang tidak empati dan cenderung dominasi. Semua kondisi di atas sering memicu timbulnya perilaku agresif dan temperamen pada anak dan remaja.

b. Sekolah. Bullying adalah perilaku pemaksaan atau usaha

menyakiti secara psikologik ataupun fisik terhadap seseorang/kelompok yang lebih lemah oleh seseorang/sekelompok orang yang lebih kuat. Hazing adalah kegiatan yang biasa dilakukan oleh anggota kelompok

(6)

merupakan suatu tekanan yang cukup serius pada remaja karena berdampak negatif bagi perkembangan remaja. Remaja tersebut menjadi sulit bergaul, tidak percaya diri, dan depresi bahkan sampai usaha bunuh diri.

c. Situasi kehidupan. Terdapat hubungan yang erat antara

timbulnya gangguan mental dengan berbagai kondisi kehidupan dan sosial masyarakat tertentu seperti kemiskinan, pengangguran, perceraian orang tua, dan penyakit kronik pada remaja.

Sedangkan yang dimaksud dengan faktor protektif adalah faktor yang memberi penjelasan bahwa tidak semua remaja yang mempunyai faktor risiko akan mempunyai masalah mental emosional. Menurut Rae G N, dkk., faktor protektif antara lain: karakter atau watak yang positif, lingkungan keluarga yang suportif, lingkungan sosial yang berfungsi sebagai sistem pendukung untuk memperkuat upaya penyesuaian diri remaja, keterampilan sosial yang baik, serta tingkat intelektual yang baik. Menurut E. Erikson, dengan memperkuat faktor protektif dan menurunkan faktor risiko pada seorang remaja, remaja dapat mencapai kematangan kepribadian dan kemandirian sosial (Satgas Remaja IDAI, 2010).

2.3 Overweight dan Status Mental Emosional Anak

Overweight dan obesitas pada anak tidak hanya menyebabkan masalah kesehatan, tetapi juga dapat menyebabkan masalah psikologis dan sosial. Anak obesitas cenderung lebih sering diejek atau menjadi target bullying. Teman-teman sebayanya menganggap mereka kurang menarik dan enggan berteman dengan mereka. Kecenderungan ini dapat menyebabkan peningkatan risiko terjadinya depresi, marah, dan kecemasan yang berdampak pada penarikan diri dari lingkungan sosialnya. Hal ini akan menghambat perkembangan sosial dan psikologis anak tersebut (Janssen et al., 2003).

(7)

Anak overweight dan obesitas enggan melakukan aktivitas fisik karena koordinasi fisik yang lemah, penarikan diri dari teman-teman sebayanya, ataupun alasan lainnya. Anak tersebut akan mengembangkan kegiatan yang tidak memerlukan pergerakan fisik ataupun teman, seperti bermain video game, melukis, atau membaca. Dengan meningkatnya kesukaan anak pada aktivitas tersebut, anak menjadi semakin malas untuk beraktivitas fisik dan semakin menarik diri dari lingkungan sosialnya (American Academy of Pediatrics Comittee on Nutrition, 2003 dalam Haugaard, 2008).

Pada usia remaja, pengaruh yang diperoleh dari lingkungan luar sangat besar, dan pada fase ini terjadi pergolakan tekanan sosial dan seksual sehingga mereka berusaha untuk tetap diterima di lingkungan sosial mereka. Remaja berusaha untuk menarik perhatian lawan jenis dan berusaha diterima oleh teman sebaya dengan memiliki tubuh yang ideal. Remaja putri terutama, sangat peduli dengan penampilan fisiknya, sehingga permasalahan berat badan yang tidak ideal seringkali mengganggu remaja. Hal ini dapat menyebabkan penurunan rasa percaya diri dan tekanan dalam diri mereka sehingga dapat berkembang menjadi gangguan mental emosional (Wiguna, 2010).

Gangguan mood, salah satu jenis gangguan mental emosional, terus

menjadi perdebatan selama 50 tahun terakhir ini apakah memiliki hubungan dengan obesitas atau tidak. Sayangnya, studi mengenai obesitas oleh psikiatris tidak dibahas lebih mendalam dan meninggalkan kontroversi. Bagaimanapun, Faith et al., menyimpulkan bahwa depresi bukanlah faktor tunggal yang mempengaruhi kejadian obesitas. Oleh karena itu, dibutuhkan studi yang lebih lanjut untuk membahas hubungan erat antara kejadian obesitas dengan depresi (McElroy et al., 2004).

Suatu penelitian prospektif pernah dilakukan untuk melihat hubungan antara tingkat depresi remaja dengan kejadian obesitas pada usia dewasa muda. Hasilnya, IMT yang tinggi pada responden usia dewasa muda berhubungan dengan depresi pada saat remaja (Pine et al., 1992). Penelitian yang serupa juga dilakukan kembali oleh Pine et al., (2001). Responden dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 90 anak usia 6-17 tahun dengan major depressive disorder dan

(8)

87 anak yang tidak memiliki masalah psikiatris. Hasilnya, anak yang memiliki rasa depresi akan tumbuh menjadi dewasa yang memiliki IMT yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang tidak depresi.

Banyak penelitian yang telah dilakukan pada anak maupun orang dewasa yang menemukan adanya hubungan dari masalah mental emosional dengan kelebihan berat badan. Britz et al., (2000) melakukan penelitian yang melibatkan remaja dan dewasa muda yang mengalami obesitas, obesitas berat, dan kelompok kontrol yaitu masyarakat yang memiliki IMT normal. Ditemukan 20 (43%) dari 47 responden yang mengalami obesitas berat memenuhi kriteria gangguan mood DSM IV. Sedangkan pada responden yang mengalami obesitas, hanya 8 (17%) dari 47 responden memenuhi kriteria gangguan mood DSM IV. Dan pada kelompok kontrol ditemukan 247 (15%) dari 1608 yang mengalami gangguan mood. Karena rata-rata IMT responden obesitas berat dan obesitas memiliki selisih yang signifikan, tidak dapat disimpulkan bahwa tingginya gangguan mood berkaitan dengan keparahan obesitas seseorang.

Obesitas dan gangguan mental emosional memiliki banyak kesamaan, yaitu orang cenderung mengembangkan perilaku enggan beraktivitas fisik, peningkatan berat badan, dan makan berlebihan (binge eating). Obesitas, sindroma metabolik, depresi, dan gangguan mental emosional lainnya, dapat meningkatkan risiko mortalitas dan morbiditas dari penyakit jantung dan diabetes tipe 2. Obesitas dan gangguan mood juga sama-sama memiliki gangguan pada

sumbu HPA (hipotalamus-pituitary-adrenal), sistem neurotransmitter pusat

monoamine, fungsi leptin, fungsi imun, serta metabolisme glukosa dan lemak. Orang yang memiliki obesitas atau gangguan mental emosional cenderung memiliki pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan, sehingga sama- sama membutuhkan penanganan farmakologis dan psikiatris. Hubungan antara obesitas dan gangguan mood dapat disimpulkan dalam tiga poin penting, yaitu (Mc.Elroy et al., 2004):

1. Memiliki patofisiologi yang berbeda

Obesitas dan gangguan mood tidak berhubungan tetapi terjadi secara bersamaan.

(9)

2. Memiliki patofisiologi yang sama

Obesitas dapat menyebabkan gangguan mood, demikian juga sebaliknya.

3. Memiliki patofisiologi yang tumpang tindih

Obesitas dan gangguan mood adalah dua hal yang berbeda tetapi berhubungan karena memiliki patofisiologi yang tumpang tindih. Obesitas dan gangguan mood dapat memiliki faktor penyebab yang sama, misalnya faktor genetik. Jadi, akan ada obesitas yang berhubungan dengan gangguan mood dari patogenesisnya, tetapi bisa juga tidak berhubungan. Jadi, secara teoritis, besarnya hubungan dari kedua hal tersebut berbeda-beda pada setiap individu. Hal tersebut bergantung pada besarnya peranan faktor genetik dan faktor yang didapat.

Sejauh ini, hubungan antara obesitas dan gangguan mood masih belum diketahui secara pasti karena minimnya penelitian yang dikerjakan. Jadi, yang dapat disimpulkan dari penelitian-penelitian sebelumnya adalah, kedua hal tersebut mungkin terjadi secara kebetulan tetapi bisa juga berhubungan satu sama lain (McElroy et al., 2004).

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH PENGGUNAAN METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF PENDEKATAN JIGSAW TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN BIOLOGI DI SMU NEGERI 1 GEDEG MOJOKERTO. 93132009

Skripsi berjudul “Studi Kepustakaan Penerapan Kegiatan Meronce Dalam Mengembangkan Motorik Halus Anak Usia 4-5 Tahun” yang ditulis oleh “Maria Rufina Febriany

1) Para migran cenderung memilih tempat tinggal terdekat dengan daerah tujuan.. 2) Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi seseorang untuk bermigrasi adalah

Jika informasi yang diberikan menjadi lengkap dengan uraian panjang lebar yang memerlukan lebih banyak halaman tidak lain karena konsep STIFIn tentang belahan dan lapisan

Ketersediaan varietas ubikayu genjah sebagai bahan baku pangan dan industri dengan potensi hasil tinggi dan karakteristik kimia maupun fisik umbi yang sama dengan ubikayu umur

Seorang guru dalam menyampaikan materi perlu memilih model mana yang sesuai dengan keadaan kelas atau keadaan siswa, sehingga siswa tertarik dengan materi

Dalam rangka pelaksanaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan

Penelitian yang dilakukan oleh Prihatsanti dan Devi (2015) juga menemukan hasil penelitiannya bahwa adanya hubungan antara iklim organisasi dengan