• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE TRANSKRIPSI DALAM MUSIK TRADISIONAL INDONESIA. Sukotjo 16. Abstract

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "METODE TRANSKRIPSI DALAM MUSIK TRADISIONAL INDONESIA. Sukotjo 16. Abstract"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

55 Lampiran 2.

Artikel Jurnal Selonding

METODE TRANSKRIPSI DALAM MUSIK TRADISIONAL INDONESIA Sukotjo16

Abstract

Indonesia is rich in the diversity of art and culture that stretches from Sabang to Merauke. Traditional music is well developed in some ethnic communities in Indonesia, the continuity and existence is maintained even in the midst of the times that led to the pattern of modern life. Characteristics of an ethnicity or race can be analyzed by looking at the offerings of music it plays. Identity of the ethnic community is characteristic that can be developed in developing human resources ofIndonesia.

Transcription analysis of music is an attempt to understand and comprehend a cultural form associated with his music. The purpose of this study to determine the extent contained in the musical culture of traditional Indonesian music through transcription and analysis of a form of music that can be known about the patterns of the surrounding culture. This research was conducted with the phenomenological approach to the social and cultural emphasis on traditional music that is used by the people in the islands of Java and Bali. The purpose of this research to gain an overview of ideas, activities, and the form of a traditional form of music that exist in Indonesian society.

In addition to support teaching and learning in the field of ethnomusicology scattered in several universities in Indonesia needs to be a handbook of musical transcription and analysis of the knowledge of traditional Indonesian music according to its cultural background. The first year of the study identified methods associated with the transcription of music for Javanese and Balinese culture. This was followed in second with transcription method with reference to musical analysis of the results of the first study. Through this study can be used as a reference book to understand and explore the traditional music in Indonesia.

Keywords: Traditional Music, Method, Transcription

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara yang terbentuk dari beberapa kepulauan. Penduduk yang mendiami suatu daerah memiliki karakteristik sesuai dengan norma-norma yang berlaku di tempat tersebut. Pola kebudayaan yang terdapat dalam masyarakatnya sangat

16Staf pengajar jurusan Etnomusikologi FSP ISI Yogyakarta.

(2)

56 beraneka ragam sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara yang kaya dengan ragam budaya dari suku bangsa.

Masyarakat Indonesia melakukan pola kebudayaan sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh lokal genius masing-masing daerah. Kebudayaan yang terdapat dalam suatu masyarakat pada dasarnya berfungsi untuk menghubungkan dengan alam di sekitarnya dan dengan masyarakat dimana manusia itu menjadi warga.17 Pola kebudayaan yang melandasi sistem budaya Nusantara masih diselimuti oleh kekuatan yang dilakukan oleh alam kehidupannya. Hubungan yang terjalin antara manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, serta manusia dengan sesamanya menjadikan suatu nilai atau norma yang mencerminkan pola tingkah laku dalam sebuah masyarakat.

Melihat Indonesia berada di tempat yang strategis dalam pemetaan dunia, maka banyak bangsa-bangsa dari manca negara melakukan perjalanannya melalui pulau-pulau yang berada di kawasan Indonesia. Sebagai ajang tempat persinggahan perdagangan dunia menjadikan bangsa ini dapat berkomunikasi dan berakulturasi dengan orang-orang di luar budayanya. Tidaklah mengherankan apabila Indonesia telah dikenal sejak dahulu kala pada waktu masih merupakan negara yang mempunyai beberapa bentuk kerajaan.

Awal abad XVI bangsa Indonesia mulai mendapatkan ekspansi dari negara lain yang ingin menguasai perdagangan dunia. Sebagai tempat yang strategis dalam pemegang peta perjalanan perdagangan dunia membuat bangsa ini menjadi fokus bagi pengembangan pada segi ekonomi. Dampak yang ditimbulkan dengan adanya penjajahan dari bangsa Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang membuat pola budaya yang berlangsung dan berlaku pada suatu suku yang berada di bumi nusantara mengalami pergeseran atau perubahan. Demikian pula halnya dengan kontinuitas musik tradisional yang berlangsung dalam suku tersebut.

Musik tradisional yang terdapat dalam beberapa suku di Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke memiliki keragaman dan ciri khas sendiri. Sebagian besar budaya tersebut dikembangkan secara lisan (turun temurun) sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Budaya musik yang dilakukan oleh beberapa suku yang berada di

17 Selo Sumardjan, “ Kesenian Dalam Perubahan Kebudayaan”, Majalah Analisis Kebudayaan Tahun I Nomor 2 tahun 1981, 20.

(3)

57 Indonesia memiliki identitas masing-masing, sehingga dengan melihat suatu bentuk musiknya, maka orang dapat menebak karakteristik dan budaya dari masyarakatnya.

Keberadaan musik tradisional dengan pola kehidupan suku atau masyarakat etnis yang mendiami bumi Nusantara sangat berkesinambungan. Musik dipergunakan sebagai media untuk menghubungkan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan manusia dengan Tuhannya. Apabila melihat dari fungsi yang dipergunakan dalam masyarakat, secara garis besar dapat dikatakan bahwa musik dipergunakan untuk media sosial, hiburan dan ritual. Musik tradisional yang terdapat dalam beberapa suku di Indonesia dapat dikategorikan kedalam dua jenis yaitu (1) musik tradisional yang memiliki sistem notasi (literate); (2) musik tradisional yang belum memiliki sistem notasi (non literate). Kedua jenis musik tersebut sudah menjadi satu dan membaur dalam beberapa suku atau masyarakat di Indonesia.

Spesifikasi yang dimiliki oleh masing-masing suku tersebut menjadikan sebuah keunikan dalam suatu dunia seni musik. Pengertian tentang musik tradisional di Indonesia perlu mendapat suatu batasan. Batasan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan tentang arti dari musik tradisional. Hal ini dikarenakan musik yang berkembang dalam suku bangsa di Indonesia, ada yang berkembang dalam kalangan istana dan bukan istana (masyarakat umum).

Kebudayaan yang telah mengakar dalam diri bangsa Indonesia sejak jaman nenek moyang yaitu percaya tentang animisme dan dinamisme. Kekuatan alam dan roh-roh yang melingkupi kehidupan disekitarnya menjadikan bangsa ini memasukkan kepercayaannya tersebut kedalam suatu bentuk musik. Musik yang berkembang dalam kalangan suku dipengaruhi oleh kekuatan tentang animisme dan dinamisme, seperti: musik baleganjur di Tenggarong Kalimantan Timur, Musik Balian di Kalimantan Timur/Barat/Tengah, musik Lalowe di Sulawesi Tengah, musik Ma’badong di Toraja Sulawesi Selatan, musik Pikon suku Dani di Papua (Irian Jaya), musik Beghu di Nusa Tenggara Timur, dan lain sebagainya.

Selain kepercayaan yang diyakini sejak zaman nenek moyang (animisme dan dinamisme), di Indonesia pengaruh datangnya agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan Islam turut menyemarakkan dalam proses asimilasi dengan budaya musik pada suatu masyarakat. Beberapa musik tradisional di Indonesia menerapkan ajaran dari agama

(4)

58 tersebut dalam proses penyajian musiknya. Hal itu dapat dilihat pada musik tradisional yang terdapat pada beberapa suku, seperti: Salawat Bandongan di Jawa Tengah (pengaruh Islam), Gondang Sabangunan di Sumatera Utara (pengaruh Kristen), Gambelan Gambang di Bali (pengaruh Hindu), Bersenggayung di Kalimantan Barat (pengaruh Kristen), Tabot di Bengkulu (pengaruh Islam), Doda Rumba di Sulawesi Tenggara (pengaruh Islam), Rapai’i Geurimpheng dari Aceh (pengaruh Islam), Zikir Gobano dari Riau (pengaruh Islam), dan lain-lainnya.

Perkembangan negara Indonesia dari masyarakat agraris menuju industrialisasi yang mengarah pada modernisasi membuat perubahan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat. Perubahan yang terjadi mempunyai dampak bagi perkembangan seni yang berlangsung pada masyarakat tersebut, khususnya tentang musik tradisional. Kehidupan musik tradisional yang ditopang oleh pola kehidupan pedesaan harus bertahan dalam pola kehidupan yang modern. Masalah yang akan timbul yaitu bagaimana menyikapi perkembangan tersebut.

Musik tradisional yang dilingkupi oleh lingkungan istana masih memegang teguh pada nilai-nilai etika yang berlaku bagi kalangan tersebut. Di Indonesia tempat yang masih melingkupi tradisi keraton yang berhubungan dengan tradisi musiknya (musik istana) terdapat di kerajaan Kutei Kalimantan Timur (kabupaten Tenggarong), Kasultanan Maimun di Riau, Kerajaan Padjajaran di Jawa Barat, Keraton Cirebon di Jawa Barat, Kasultanan Surakarta di Jawa Tengah, Kasultanan Yogyakarta di Yogyakarta, Kerajaan Goa di Sulawesi Selatan, Kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan, Kerajaan Bone di Sulawesi Selatan, Kasultanan Ternate di Maluku Utara, dan lain sebagainya. Musik yang berkembang dalam kalangan istana masih dilingkupi oleh nilai-nilai tradisi yang diwariskan oleh raja-rajanya yang terdahulu.

Musik tradisional yang berkembang dalam masyarakat di Indonesia pada umumnya berhubungan dengan siklus kehidupan manusia. Fungsi musik digunakan sebagai sarana ritual, sosial dan hiburan. Musik yang dipergunakan sebagai sarana ritual berkembang sangat baik dibumi Indonesia. Proses ritual yang dilakukan dimaksudkan untuk rasa kesinambungan antara manusia dengan alam dan Tuhannya. Ungkapan musik ritual yang dilakukan dalam beberapa suku bangsa di Indonesia sangat beragam bentuknya, seperti: musik gondang sabangunan di Sumatra Utara, musik beganjur di

(5)

59 Kalimantan Timur, musik Gonakn Sipat di Kalimantan Barat, musik Wadian di Kalimantan Tengah, musik Kejai di Bengkulu, musik goong renteng di Jawa Barat, musik sekaten di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta, musik Seblang di Jawa Timur, musik gambelan gambang di Bali, musik Beghu di Nusa Tenggara Timur, musik siwa lima di maluku, musik waku di Papua, musik Lalowe di Sulawesi Tengah, musik Pakkacaping di Sulawesi Selatan, dan lain sebagainya.

Semenjak masih bernama Nusantara (pada waktu zaman kerajaan) dan Indonesia (pada waktu zaman kemerdekaan) musik tradisional sudah melingkupi beberapa suku yang berada di bumi pertiwi. Pengaruh yang ditimbulkan dengan kedatangan suku bangsa dari manca negara menyebabkan beberapa pola hidup yang berlangsung dalam sebuah komunitas mengalami pergeseran budaya.

Pengaruh yang ditimbulkan dengan datangnya atau singgahnya beberapa suku dari manca negara memberikan nuansa yang beraneka ragam dalam pola hidup bangsa Indonesia. Pola budaya tradisi yang dipegang oleh anggota masyarakatnya mendapat akulturasi dengan budaya dari luar sehingga menimbulkan pola budaya yang baru. Perubahan itu menyebabkan terjadinya ketimpangan antara penganut tradisi dan yang berpola pikir baru.

Dampak yang dirasakan oleh bangsa Indonesia sehubungan dengan keberlangsungan sebuah musik tradisional adalah sewaktu terjadi zaman penjajahan Belanda selama 350 tahun. Pola budaya musik yang berlangsung dalam sebuah suku terpengaruh dengan pola budaya musik Barat yang dibawa oleh orang Belanda dan para misionari agama. Penggunaan tangga nada yang semula mempergunakan tangga nada ekuadistan dan pentatonik secara perlahan-lahan bergeser dengan mempergunakan tangga nada diatonis.

Selain itu, setelah zaman kemerdekaan bangsa Indonesia diguncang dengan adanya beberapa pemberontakkan antara lain DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia), Permesta, dan lain-lain, yang menyebabkan keberadaan beberapa musik tradisional Indonesia semakin menyusut keberadaannya. Pola budaya yang tidak sesuai dengan pandangan para pemberontak ditiadakan sehingga secara otomatis keberlangsungan suatu tradisi berubah secara total. Perubahan yang

(6)

60 terjadi tidak diimbangi oleh peran serta anggota masyarakatnya dalam mengantisipasi dari perkembangan zaman dunia.

Masyarakat Indonesia secara umum mulai menggalakkan beberapa musik tradisional yang berkembang di daerahnya. Budaya musik yang telah punah direvitalisasi kembali untuk dijadikan asset budaya bagi masyarakatnya. Usaha yang dilakukan tersebut merupakan upaya yang dilakukan oleh segenap anak bangsa dalam memperkenalkan dan mengungkap tentang budaya nenek moyangnya.

Musik tradisi yang telah berlangsung secara turun temurun merupakan implementasi dari keberadaan suatu suku bangsa yang memegang norma kemasyarakatannya. Kontinuitas musik tersebut mengikuti perkembangan masyarakat pendukungnya dengan suatu kesinambungan yang mengarah pada pola hidup manusianya.

Kedatangan bangsa-bangsa di dunia ke bumi Nusantara memberikan dampak yang signifikan terhadap keberadaan musik tradisional. Salah satunya yaitu akulturasi budaya musikal yang dipergunakan dalam sajian musik tradisional Indonesia. Mengingat banyaknya musik tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia, maka dalam penelitian ini dibatasi dengan wilayah geografi musik tradisional yang ada di Jawa dan Bali. Melalui pemahaman tentang transkripsi dan analisis musik yang terdapat di bumi Nusantara ini diharapkan dapat mengungkapkan tentang latarbelakang budaya masyarakatnya.

Sumber acuan yang berbicara tentang transkripsi dan analisis suatu bentuk musik tradisional Indonesia banyak dibahas oleh orang asing seperti Jaap Kunst (dari Belanda), Bruno Nettl dan Mantel Hood (dari Amerika), Margaret J. Kartomi (dari Australia), Curt Sachs (dari Jerman), dan lain sebagainya. Keseluruhan peneliti tersebut memandang musik tradisional Indonesia menurut pemikiran ala Barat. Hal tersebut yang menjadi suatu kekhawatiran dari metode transkripsi analisis yang berkembang dewasa ini masih didominasi oleh tulisan-tulisan itu. Belum banyaknya orang Indonesia dalam mengungkap suatu bentuk musik tradisional menurut pola budaya yang melingkupinya sehingga perlu adanya suatu pegangan khusus dalam membahas tentang itu. Melalui penelitian yang konkrit tentang musik Jawa dan musik Bali dapat dijadikan suatu acuan dalam membuka cakrawala dari transkripsi dan analisis bentuk musik yang dihubungkan

(7)

61 dengan latarbelakang budayanya sehingga dapat diketemukan suatu kartakter building masyarakatnya atau karakter masyarakat Indonesia secara seutuhnya.

Musik Tradisional dan Budaya Masyarakat Indonesia

Musik berhubungan dengan budaya masyarakatnya, tidak ada musik tradisional yang berkembang tanpa didukung oleh masyarakatnya. Musik tradisional mencerminkan suatu konsep kebudayaan yang berkembang dalam sebuah komunitas atau masyarakat etnis sehingga memerlukan penelaahan yang mendalam tentang bentuk musik dan pola kebudayaannya. Masyarakat yang terdiri dari kelompok manusia yang mempunyai kreativitas, akan mampu menghasilkan suatu bentuk kesenian sebagai pelengkap dalam kehidupan. Kesenian yang merupakan bentuk ekspresi kehidupan masyarakat penciptanya, akan mencerminkan identitas masyarakat tersebut bahkan makna kehidupannya.18 Hal itu juga dijelaskan oleh Alan P. Merriam bahwa dalam upaya mempelajari perilaku manusia tidak saja hanya mencari fakta-fakta deskriptif, tetapi yang lebih penting adalah makna dari musik itu dan memberikan sumbangan untuk memahami secara lebih luas mengenai gejala-gejala yang ada.19

Gejala membanjirnya arus budaya Barat kemungkinan akan menyita perhatian terhadap kesenian. Kesenian yang semula merupakan ekspresi dari impian kolektif, menjadi suatu kesenian yang bersifat individu. Hal ini sangat mungkin terjadi dalam masyarakat yang tidak lagi mempunyai sifat partisipasif terhadap kesenian milik sendiri, karena orang lebih tertarik pada hiburan yang ditampilkan melalui televisi, video, dan radio. Apabila kondisi seperti ini dibiarkan berlarut-larut, maka kesenian ini lambat laun akan tenggelam oleh derasnya arus budaya Barat.20 Kesenian tumbuh dan berkembang di dalam kebudayaan manusia sepanjang jaman, karena manusia membutuhkan pemuasan terhadap rasa indah. Perwujudannya dapat berupa suatu bentuk musik.

Musik yang berkembang dalam masyarakat etnis di Indonesia berkaitan erat dengan makna filosofi masyarakatnya. Estetika (keindahan) yang dimunculkan dari sajian musik itu mempunyai arti yang mendalam bagi masyarakat pendukungnya. Hal itu seperti dikatakan oleh Plato (428-348 SM) yang memandang bahwa musik merupakan salah satu

18 Umar Kayam, Seni, Tradisi, masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan, 1981, 19. 19Alan P. Merriam, Anthropology of Music, 1964, 209.

20 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987, 32.

(8)

62 bagian dari etika. Pada seni musik, estetika selain sebagai unsur yang terkandung di dalamnya, juga sebagai fungsi penikmatan estetika. Setiap kelompok masyarakat mempunyai system estetika yang berbeda. Namun demikian ada unsure-unsur estetika yang bersifat universal.

Metode Transkripsi Musik Tradisional Indonesia

Indonesia memiliki keanekaragaman dalam jenis musik tradisinya yang masih dipergunakan oleh beberapa suku bangsanya. Kegunaan dan fungsi dalam masyarakat sangat multidimensional, sesuai dengan keberadaan dari masing-masing musik tersebut. Alan P. Merriam menjelaskan bahwa fungsi musik dalam masyarakat mempunyai sepuluh unsur yaitu fungsi pengungkapan emosional, fungsi penghayatan estetis, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi perlambang, fungsi reaksi jasmani, fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, fungsi pengesahan lembaga sosial dan ritus agama, fungsi kesinambungan kebudayaan dan fungsi pengintegrasian masyarakat.21

Dalam dunia musik pada umumnya memiliki dua dimensi yaitu ruang dan waktu. Dimensi yang berkaitan dengan ruang memiliki beberapa unsur diantaranya adalah tangga nada, modus, interval, kontur, formula melodi, jumlah nada, frekuensi nada, nada dasar, pola-pola kadensa, harmoni, dan lain sebagainya, sedangkan yang berkaitan dengan waktu diantaranya ketukan dasar aksentuasi, ritme, meter, motif, pola, dan lain sebagainya. Sesuatu hal yang mendasar dalam sebuah bentuk musik yaitu tangga nada. Tangga nada yang berkembang di Indonesia terpengaruh oleh pola perkembangan kebudayaan masyarakat dengan mengadakan interaksi budaya musiknya. Di Asia Tenggara sistem tangga nada yang berkembang dikenal dengan ekuadistan (tujuh nada) dan pentatonik (lima nada). Beberapa suku bangsa di Indonesia banyak yang mempergunakan tangga nada pentatonik sebagai sistem tangga nadanya. Berkaitan dengan pola dasar bermusik dalam masyarakat di Indonesia, maka dalam keterangan ini akan di jelaskan tentang musik yang berkembang dalam masyarakat yang ada di Jawa, Sunda dan Bali.

Sistem tangga nada yang berkembang dalam musik di Jawa, Sunda dan Bali pada dasarnya memiliki slendro dan pelog. Tangga nada slendro mempunyai lima buah

21 Alan P. Merriam, 210-228.

(9)

63 nada dalam satu oktafnya (gembyang), sedangkan tangga nada pelog mempunyai tujuh nada dalam satu oktafnya.Walaupun tangga nada pelog memiliki tujuh nada dalam satu oktafnya, namun dalam kenyataannya hanya lima nada saja yang dominan dalam setiap pathetnya (modus).

Di daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta dikenal ensambel gamelan yang berlaraskan slendro dan pelog. Sistem penotasian yang dipergunakan oleh ketiga masyarakat tersebut mempergunakan notasi kepatihan (simbol angka yang dibaca menurut sebutan angka dalam orang Jawa) yang dituliskan dengan sebutan 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 4 (pat), 5 (mo), 6 (nem), dan 7 (pi). Adapun untuk laras (sistem nada) slendro urutannya sebagai berikut 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 5 (mo), dan 6 (nem) dalam satu oktafnya (gembyang), sedangkan urutan laras pelog yaitu 1 (ji), 2 (ro), 3 (lu), 4 (pat), 5 (mo), 6 (nem), dan 7 (pi) dalam satu oktafnya (gembyang). Metode pentranskripsian yang sering dilakukan oleh masyarakatnya yaitu dengan menuliskan notasi (balungan) pokok dalam setiap bentuk lagunya (gending). Apabila kita akan mentransfer bentuk notasi kepatihan kedalam notasi Barat (notasi balok), maka ada beberapa kriteria yang harus diperhatikan sehubungan dengan konvensi yang terdapat dalam sistem penotasian di gamelan. Sistem notasi gamelan yang terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta dikenal dengan sebutan Slendro Pathet Nem, Sanga, dan Manyura, sedangkan untuk laras Pelog pathetnya Limo, Nem, dan Barang. Khusus untuk pathet slendro yang ada di daerah Jawa Timur dikenal dengan slendro wolu (sama dengan nem), slendro sanga, dan slendro sepuluh (sama dengan manyura). Kedua sistem notasi tersebut mempunyai karakteristik masing-masing sesuai dengan interval (swarantara) nada-nadanya. Pendekatan (perkiraan) jarak dari nada satu ke nada yang lainnya apabila menurut hitungan centnya yaitu sebagai berikut:

Laras Slendro = 1 2 3 5 6 1 (1200 Cent) = 240 240 240 240 240 Laras Pelog = 1 2 3 4 5 6 7 1 (1200 Cent) = 200 200 100 200 200 100 200 Sistem Diatonis= 1 2 3 4 5 6 7 1 (1200 Cent) = 200 200 100 200 200 100 200

(10)

64 Di Sunda (Jawa Barat) secara garis besar sistem notasi yang dikenal yaitu laras salendro, laras pelog, degung dan laras madenda atau sorog. Berbeda dengan urutan nada-nada yang disusun yang ada di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta, di Sunda sistem notasinya dibuat dari nada yang paling tinggi menuju ke yang paling rendah. Adapun system notasi yang ada di Sunda dapat diurutkan atau disebut 1 (da), 2 (mi), 3 (na), 4 (ti), 5 (la). Menurut hitungan cent laras degung, madenda, dan salendro yang ada di Jawa Barat (Sunda) adalah sebagai berikut:22

Laras Degung = 1 2 3 4 5 1 (1200 Cent) = 100 400 200 100 400 Laras Madenda= 3 4 5 1 2 3 (1200 Cent) = 100 200 400 100 400 Laras Slendro = 1 2 3 4 5 1 (1200 Cent) = 250 250 200 250 250

Di Bali konsep keseimbangan hidup yang dinamakan Tri Hita Karana menjadi salah satu acuan bagi masyarakat. Tri Hita Karana memiliki tiga bagian yaitu keseimbangan hidup antara manusia dan Tuhannya, keseimbangan hidup antara manusia dengan alam lingkungannya, dan keseimbangan hidup antara manusia dengan sesamanya. Seperti yang tertulis dalam lontar Prakempa bahwa konsep keseimbangan hidup manusia itu merupakan salah satu lima dimensi atau disebut Panca Mahabhuta yaitu pertiwi, bayu, apah, teja, dan akasa. Disebutkan pula bahwa pencipta bunyi adalah Bahgawan Wiswakarma yang membentuk suara-suara menjadi sepuluh nada yang dijadikan dua bagian yaitu lima nada untuk laras slendro dan lima nada untuk laras pelog. Falsafah yang menaungi konsep berpikir masyarakat Bali itu, berpengaruh dalam suatu pelarasan yang dikenal dengan slendro dan pelog. Seperti halnya di Jawa, di Bali dikenal juga istilah pathet (modus) yang untuk laras slendro disebut pathet sekar kemuning dan pudak setegal, sedangkan untuk laras pelog dikenal pathet selisir, tembung, dan barang. Adapun sebutan dari nada-nada yang dimiliki dalam sistem notasi (sistem ding dong) Bali yaitu sebagai berikut:

22 Rachmat Herawan, “Musik Degung Sunda Dalam Konteks Sejarah” dalam jurnal Ekspresi volume 9 no.1 April 2009, 86-88.

(11)

65 Nada (ding) = Brahma (dalam Gamelan Jawa disebut ji)

Nada (dong) = Siwa (dalam Gamelan Jawa disebut ro) Nada (deng) = Mahadewa (dalam Gamelan Jawa disebut lu) Nada (dung) = Wisnu (dalam Gamelan Jawa disebut mo) Nada (dang) = Iswara (dalam Gamelan Jawa disebut nem)

William P. Malm membuat suatu bagan yang menunjukan nada-nada yang dipergunakan dalam laras slendro dan pelog yang didekatkan dengan sistem tangga nada diatonik. Susunan dari bagan tersebut adalah sebagai berikut:23

Sistem pentranskripsian yang berlaku dalam masyarakat Jawa, Sunda dan Bali sudah mempunyai suatu kemapanan dalam proses pembelajarannya sehingga masyarakat pendukung musik tersebut sebagian besar tidak mengalami kesukaran apabila akan mempelajari atau menganalisisnya. Metode transkripsi yang mengalami kesukaran yaitu apabila kita akan mentransfer kedalam suatu bentuk notasi balok. Langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam mengawali dalam pentranskripsian tersebut seperti yang

23 William P. Malm, Music Cultures of the Pasific, the Near East, and Asia, North Western University Press, Chicago 1977, 46.

(12)

66 dikemukakan oleh William P. Malm dengan teori weighted scale (bobot tangga nada) yaitu:24

1. Mencari tangga nada yang dipergunakan oleh musik itu 2. Menentukan nada dasar

3. Wilayah nada

4. Jumlah masing-masing nada 5. Interval

6. Pola-pola Kadens 7. Formula melodi 8. Kontur

Apabila kedelapan unsur seperti tersebut di atas diperhatikan secara seksama, maka dalam proses pentranskripsian tidak mengalami hambatan yang berarti. Namun perlu diingat pula bahwa hasil dari pentranskripsian tersebut jika dibaca kembali menurut notasi yang dibuat, tidak akan sempurna menurut penilaian rasa dari karakter lagunya. Walaupun demikian hal itu merupakan sebagai jembatan untuk mempelajari secara universal tentang musik yang ada dalam masyarakat Jawa, Sunda dan Bali.

Penutup

Musik tradisional yang berkembang dalam masyarakat Jawa, Sunda dan Bali mempunyai karakteristik sendiri menurut pola yang berlaku dalam masyarakat pendukungnya. Keseluruhan bentuk musik tersebut mempunyai aturan-aturan yang berhubungan dengan falsafah hidup dari masing-masing etnisnya. Keterkaitan antara musik dan konsep hidup masyarakatnya sangat dominan sekali mengingat musik merupakan sarana hiburan, profan dan ritual bagi masyarakat.

Secara universal musik tradisional Jawa, Sunda dan Bali sudah dikenal oleh masyarakat dibelahan dunia atau manca negara sehingga proses pembelajarannya memerlukan suatu cara agar dapat dipelajari bagi orang-orang yang berada di luar budayanya. Melalui pentranskripsian yang mempergunakan sistem notasi balok diharapkan dapat menjembatani dari kemampuan untuk mempercepat pembelajarannya.

24

William P. Malm, , 8.

(13)

67 Walaupun demikian rasa yang melingkupi pola permainan dalam musik Jawa, Sunda dan Bali tidak akan dirasakan secara maksimal apabila sistem penotasian yang dipelajari mempergunakan notasi balok. Hal itu dikarenakan dalam sistem notasi balok tidak dapat mencerminkan secara keseluruhan dari karakter yang ada pada musik tersebut.

Kepustakaan

Aryasa, IWM. 1983. Pengetahuan Karawitan Bali. Depdikbud Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta.

Herawan, Rachmat . 2009. “Musik Degung Sunda Dalam Konteks Sejarah” dalam jurnal Ekspresi volume 9 no.1 April.

Hood, Mantle, 1982, The Ethnomusicologist, The Kent State University Press, Ohio

Kayam, Umar, 1981, Seni, Tradisi, Masyarakat, Sinar Harapan, Jakarta. Koentaraningrat, 1986. Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara baru. Kunst, Jaap, 1973, Music in Java: Its History, Its Theory, and Its Tecnique, Martinus Nijhoff, Denhag.

Kuntowijoyo, 1987. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lomax, Alan, 1968, Folk Song Style and Culture, Transaction Books, New Jersey.

Malm, William P., 1977, Music Cultures of the Pasific, the Near East, and Asia, North Western University Press, Chicago.

Merriam, Alan P., 1964, The Anthropology of Music, North Western University Press, Chicago.

Nakagawa, Shin. 2000. Musik dan Kosmos. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Netll, Bruno, 1964, Theory and Method in Ethnomusicology, The Free Press of Glencoe, New York.

Saski, Mariko. 2007. Laras Pada Karawitan Sunda. Bandung: UPI Press. Sumarsam, 1995. Gamelan Cultural Interaction and Musical Development in

Central Java. The University of Chicago Press.

Sumardjan, Selo. 1981. “ Kesenian Dalam Perubahan Kebudayaan”, Majalah Analisis Kebudayaan Tahun I Nomor 2.

Referensi

Dokumen terkait