• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN TRADISI MAN YUE MASYARAKAT TOTOK DAN MASYARAKAT PERANAKAN DI JAKARTA BARAT RINGKASAN ISI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBANDINGAN TRADISI MAN YUE MASYARAKAT TOTOK DAN MASYARAKAT PERANAKAN DI JAKARTA BARAT RINGKASAN ISI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

MASYARAKAT TOTOK DAN

MASYARAKAT PERANAKAN

DI JAKARTA BARAT

RINGKASAN ISI

Jessica Gozali, Mery Megawaty, Andyni Khosasih

Binus University, Jl. Kemanggisan Ilir III/45, Palmerah, Jakarta Barat, 021-53276730 jessicagozali@live.com; merymegawaty@gmail.com; andyni_khosasih@binus.edu

ABSTRACT

Chinese community in Indonesia is divided into two groups, namely Totok Chinese and Peranakan Tionghoa. Both groups of society still carrying out the Chinese tradition, but there are differences in the implementation of the tradition. Man Yue as a popular public tradition used as a benchmark comparison between the two groups of the society. Therefore, writers take Man Yue as a thesis topic examine about Man Yue function, implementation differences, tradition’s transformation of Totok Chinese and Peranakan Tionghoa and the reason between the transformation. Research using quantitative methods of distributes questionnaire and interviews with 210 respondents in New Jelambar RW1 and North Tanjung Duren RW 12. Results of classification and analysis known that totoks percentage of known tradition and implementation of tradition are more high than peranakans. There were not a significant change of the three-generations Totok Chinese, unlike the case in the Peranakan Chinese. Man Yue tradition also reflect culture’s characteristic, specifically spread and region, passed on generation and changes, folk and universal. Based on the survey results revealed that Man Yue brings function for education, binding, upkeep and regulation, then the main reason that causes changes are socio-cultural, religion, economics and politic factors.

Keywords: Totok Chinese, Peranakan Chinese, Man Yue, Tradition, Comparison

ABSTRAK

Masyarakat Tionghoa di Indonesia dibagi menjadi dua golongan, yaitu Masyarakat Totok dan masyarakat peranakan. Walaupun kedua golongan masyarakat masih melaksanakan tradisi Tionghoa namun terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya. Man Yue merupakan tradisi yang sangat populer. Untuk itu penulis membahas Man Yue sebagai topik skripsi yang membahas fungsi Man Yue, perbedaan pelaksanaan tradisi Man Yue, perubahan pada tiga generasi Masyarakat Totok dan Masyarakat Peranakan serta faktor penyebab perubahan. Penelitian menggunakan metode kuantitatif dengan penyebaran kuisioner dan wawancara terhadap 210 responden di Kelurahan Jelambar Baru RW1 dan Tanjung Duren Utara RW 12. Hasil analisis menunjukkan persentase pemahaman dan pelaksanaan ritual tradisi Man Yue Masyarakat Totok lebih tinggi dibandingkan masyarakat peranakan. Perubahan tiga generasi Masyarakat Totok lebih kecil dibandingkan masyarakat peranakan. Ritual tradisi Man Yue juga mencerminkan karakteristik budaya, yaitu penyebaran dan daerah, pewarisan dan perubahan serta kemasyarakatan dan kebersamaan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui tradsi Man Yue memiliki fungsi pendidikan, pengikat, pemeliharaan dan regulasi. Perubahan disebabkan faktor agama, sosial budaya, ekonomi dan politik.

(2)

PENDAHULUAN

Menurut Edward B. Taylor (1871:1) “Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.” Kebudayaan yang melekat dalam kehidupan bermasyarakat sangat penting untuk dipertahankan, terutama dikarenakan oleh kebudayaan merupakan simbol jati diri bangsa, begitu pula dengan masyarakat Tionghoa di Indonesia. “Masyarakat Tionghoa adalah masyarakat yang terbentuk dari kaum pendatang dari daratan Tiongkok, suku Tionghoa di Indonesia tidaklah homogen, mereka berasal dari beberapa suku bangsa yang terdapat di daratan Tiongkok, yang umumnya berasal dari dua provinsi, yaitu Fukien dan Kwantung.” (Koentjaraningrat, 1997: 353).

Masyarakat Tionghoa pada umumnya dibagi menjadi dua golongan yaitu masyarakat totok dan masyarakat peranakan. Menurut Tan (1979) masyarakat totok adalah mereka yang bercirikan sebagai berikut, berbahasa Tionghoa di rumah, pernah bersekolah di sekolah Tionghoa, mempunyai hubungan kerabat atau dagang dengan orang Tionghoa lain di luar Indonesia, sedangkan menurut Ongkongham (2009:28-29), masyarakat peranakan adalah mereka keturunan orang Tionghoa yang lahir di daerah Indonesia dan budaya yang mereka laksanakan sudah terasimilasi dengan masyarakat bumiputera setempat sehingga tradisi yang mereka laksanakan sudah tidak 100% Tionghoa dan mereka sudah tidak bisa berbahasa Tionghoa.

Walaupun kedua golongan tersebut masih melaksanakan tradisi Tiongkok, tetapi terdapat perbedaan dalam kegiatan perayaan diantara keduanya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menganalisa perbandingan pelaksanaan tradisi pada dua golongan masyarakat Tionghoa dengan mengambil subjek penelitian pada tradisi Man Yue yang merupakan salah satu tradisi keluarga yang populer dilaksanakan oleh keluarga masyarakat Tionghoa.

Menurut Zhang Bo (2008:20) pada Zhongguo Ren Zui Yinggai Zhidao de 77ge Lisu, salah satu prosesi tradisi kelahiran, yaitu tradisi Man Yue, merupakan tradisi kebudayaan yang kaya akan makna tersembunyi. Zhang Bo (2008:20) dalam Zhongguo Ren Zui Yinggai Zhidao de 77ge Lisu dan Tian Xiaona (2005:3-4) pada Liyi Quanshu.Shoudan Liyi menyatakan bahwa ketika bayi berumur satu bulan, biasanya pihak keluarga akan merayakan kelahiran satu bulan sang bayi untuk mendoakan keselamatan ibu dan anak. Pada hari perayaan tersebut, sanak famili datang berkunjung untuk memberikan hadiah dan ucapan berkat sedangkan tuan rumah mengundang tamu untuk merayakannya dan memberikan telur merah. Penelitian Lan Linyou (2003:127) pada Shanlan Hua Kai, Youxiang Xuxu Piao Lai mengatakan ritual yang dilaksanakan dalam tradisi Man Yue adalah mencukur rambut sang bayi dan mengambil payung, berjalan melewati jembatan kecil sembari mendoakan agar kelak sang bayi ketika tumbuh dewasa mempunyai keberanian. Teori yang digunakkan oleh penulis adalah teori karakteristik budaya.

METODE PENELITIAN

Penulis menggunakkan metode kuantitatif yaitu kuesioner dengan bantuan wawancara. Teknik penelitian kami adalah teknik penelitian komparatif, dimana penulis membandingkan serta menganalisis persamaan dan perbedaan dua sifat objek dalam tiga masa dewasa (dewasa dini, dewasa madya dan dewasa lanjut). Dikarenakan jumlah responden yang cukup banyak, penulis menentukan cluster sampling sebagai teknik sampling yang penulis gunakkan, teknik ini biasa digunakan untuk menentukan jumlah sampel jika sumber data sangat luas.

Pengukuran sampel memakai rumus teori Slovin: n = N/(1 + Ne2)

Masyarakat totok di kelurahan Jelambar Baru di RW 12 terdapat 1050 orang dan masyarakat peranakan di kelurahan Tanjung Duren Utara di RW 01 terdapat 1388 orang, maka penulis menggunakkan rumus teori Slovin dan mengambil sampel sebesar :105 orang dari 1050 orang dan 105 orang dari 1388 orang. Pengumpulan data dilakukan selama 2 minggu, yaitu 9-16 Mei 2014.

HASIL DAN BAHASAN

Hasil pembagian kuisioner pada 210 responden di kelurahan Jelambar RW 12 dan di kelurahan Tanjung Duren Utara RW 01:

(3)

1. Perbandingan Pelaksanaan Tradisi Masyarakat Totok dan Masyarakat peranakan pada Tiga Generasi

Catatan: Jawaban boleh lebih dari 1

Tabel 1 Tradisi Man Yue Yang Anda Ketahui

Keterangan Totok Peranakan

18-40 41-60 >60 18-40 41-60 >60 Mencukur habis rambut bayi 33 31 33 22 33 35 Mencukur tidak habis rambut bayi 4 4 1 6 4 0

Menggendong bayi ke kamar 8 10 13 2 10 13 Sanak saudara datang, memberi ucapan, tuan rumah

menjamu 30 30 28 12 26 3 Menggendong bayi melewati jembatan 0 0 0 0 0 0 Berkeliling mengantar bingkisan 15 11 12 25 8 33 Memakai baju merah dan memandikan bayi di

baskom 20 25 28 4 5 19 Memandikan bayi di baskom dengan bawang dan

buah jujube 8 8 13 0 0 1 Mengundang sanak saudara ke rumah 8 14 12 5 2 0

total 126 133 140 76 88 104

Tabel 2 Tradisi Man Yue Yang Anda Laksanakan

Keterangan Totok peranakan

18-40 41-60 >60 18-40 41-60 >60 Mencukur habis rambut bayi 24 30 33 3 10 35 Mencukur tidak habis rambut bayi 9 5 1 26 25 0

Menggendong bayi ke kamar 7 8 11 0 3 3 Sanak saudara datang, memberi ucapan, tuan

rumah menjamu 26 29 28 3 14 6 Menggendong bayi melewati jembatan 0 0 0 0 0 0 Berkeliling mengantar bingkisan 10 16 11 23 29 34 Memakai baju merah dan Memandikan bayi di

baskom 16 18 25 2 2 8 Memandikan bayi di baskom dengan bawang dan

buah jujube 6 8 12 0 0 0 Mengundang sanak saudara ke rumah 11 8 11 1 0 1

Total 109 122 132 58 83 87

Tabel 3 Alasan Masih Melaksanaan Tradisi Man Yue

Keterangan Umur Diwajibkan orang tua Mengikuti orang lain Tradisi turun temurun Masih percaya mitos dalam tradisi

tersebut Total Totok 18-40 12 0 29 9 50 41-60 4 0 34 15 53 >60 Total 4 20 1 1 34 97 7 31 46 Peranakan 18-40 18 4 14 0 36 42-60 28 5 20 0 53 >60 7 0 12 20 39 Total 53 9 46 20

(4)

Tabel 1 dan 2 menunjukkan masyarakat totok dalam hal pengetahuan akan ritual dengan pelaksanaannya tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hal ini dibuktikan dengan analisis berikut:

1) 24,06% masyarakat totok yang mengetahui ritual mencukur habis rambut bayi, terdapat 23,97% yang melaksanakan ritual tersebut, sedangkan dari 2,26% masyarakat yang mengetahui ritual tidak mencukur habis rambut bayi, terdapat 4,13% responden yang melaksanakan ritual tersebut. Hal ini membuktikan terjadinya peningkatan persentase masyarakat totok yang tidak mencukur rambut bayi sampai habis.

2) Ritual menggendong bayi ke dalam kamar diketahui oleh 7,77% responden dan dilaksanakan oleh 7,16% responden, ritual memandikan bayi dan memakaikan baju merah diketahui oleh 18,29% responden dan dilaksanakan oleh 16,25% responden, ritual mengundang sanak saudara datang ke rumah diketahui oleh 8,52% responden dan dilaksanakan oleh 8,26% responden, ritual memandikan bayi di baskom yang berisi buah jujube diketahui oleh 7,26% responden dan dilaksanakan oleh 7,16% responden, ritual sanak famili datang memberi hadiah dan tuan rumah menjamu makan diketahui oleh 22,05% responden dan dilaksanakan oleh 22,86% responden. Hal ini membuktikan bahwa perubahan yang terjadi pada masyarakat totok antara pengetahuan dengan pelaksanaan tidak mengalami perubahan yang signifikan.

Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa masyarakat totok lebih memelihara ritual tradisi yang mereka ketahui untuk diwariskan karena responden menganggap pelaksanaan tradisi merupakan salah satu simbol yang mereka hormati sebagai salah satu perwujudan identitas diri. Hal ini berbeda dengan masyarakat peranakan:

1) 33,95% masyarakat peranakan yang mengetahui ritual mencukur habis rambut bayi terdapat 21,05% responden yang melaksanakan ritual tersebut, sedangkan hanya terdapat 3,73% responden yang mengetahui ritual tidak mencukur habis rambut bayi, akan tetapi terdapat 22,37% responden yang melaksanakan ritual tersebut. Hal ini membuktikan kecenderungan masyarakat peranakan yang mengalami perubahan pelaksanaan ritual yang disebabkan oleh pola pikir masyarakat peranakan yang sudah tidak mempercayai mitos yang ada dalam ritual ini (dapat dilihat dari tabel 3), terdapat 20 responden tionghoa peranakan dewasa lanjut yang mempercayai makna dibalik pelaksanaan dari ritual tersebut, sedangkan sudah tidak ada yang mempercayai makna dibalik pelaksanaan ritual pada generasi dewasa madya dan dini sehingga pelaksanaan tradisi menjadi lebih sederhana. Ritual menggendong bayi ke dalam kamar diketahui oleh 9,32% dan dilaksanakan oleh 2,63% responden, ritual memandikan bayi dan memakaikan baju merah diketahui oleh 10,45% dan dilaksanakan oleh 5,26%, ritual mengundang sanak saudara datang ke rumah diketahui oleh 2,61% dan dilaksanakan oleh 0,88%, ritual memandikan bayi di baskom yang berisi buah jujube diketahui oleh 0,37% dan tidak dilaksanakan sama sekali, ritual sanak famili datang memberi hadiah dan tuan rumah menjamu makan diketahui oleh 15,30% dan dilaksanakan oleh 10,09%.

2) Ritual memandikan anak dalam baskom yang berisi buah jujube tidak dilaksanakan oleh masyarakat peranakan. Hal dikarenakan hanya terdapat satu orang pada golongan dewasa lanjut masyarakat peranakan yang mengetahui ritual tersebut, responden tidak melaksanakan dan juga tidak mewariskan ritual ini kepada keturunannya, sehingga menyebabkan ritual ini tidak eksis di kalangan masyarakat peranakan. Sesuai hasil wawancara, hal ini dapat terjadi dikarenakan pola pikir masyarakat peranakan yang lebih berorientasi ke arah tidak ingin repot, sehingga ritual ini tidak dilaksanakan dan diturunkan.

3) Ritual - ritual menggendong bayi melewati jembatan sudah tidak dilaksanakan oleh kedua golongan masyarakat. Menurut hasil wawancara, responden menyatakan bahwa budaya yang telah hilang disebabkan oleh ketidakcocokan ritual untuk dilaksanakan ditempat mereka tinggal.

Hasil analisis menunjukkan adanya persamaan yang terjadi pada masyarakat totok dan masyarakat peranakan dimana keduanya mengalami perubahan mengenai ritual mengantar bingkisan satu bulan bayi, yaitu masyarakat totok memahami ritual mengantar bingkisan adalah sebesar 9,52%, tetapi terdapat 10,19% responden yang melaksanakan, sedangkan pada masyarakat peranakan terdapat 24,62% responden yang memahami ritual tersebut, namun masyarakat yang melaksanakan sebesar 37,71%

(5)

responden. Alasan masih melaksanakan ritual dari kedua golongan masyarakat pun berbeda, ritual Man

Yue bagi masyarakat totok merupakan salah satu pewarisan budaya leluhur. Responden masyarakat totok

masih menghargai apa yang dijalankan oleh leluhur, serta masih mengerti arti dari pelaksanaan ritual tersebut, sedangkan masyarakat peranakan pada generasi dewasa lanjut masih melaksanakan ritual Man

Yue dikarenakan masih mempercayai mitos dari ritual tersebut, responden dewasa lanjut masih percaya

dengan melakukan ritual Man Yue, bayi bisa bertumbuh dengan sehat. Pada generasi dewasa madya dan dewasa dini, responden menganggap arahan dari kepala keluarga merupakan alasan utama mereka masih melaksanakan ritual Man Yue, karena salah satu didikan kebudayaan Tiongkok adalah berbakti pada orang tua, maka alasan utama responden melakukan ritual adalah karena arahan orang tua.

Catatan: Jawaban boleh lebih dari 1

Persentase masyarakat totok yang mengadakan acara makan bersama dengan keluarga adalah 53,67%, sedangkan masyarakat peranakan 55.29%. Persentase masyarakat totok yang memilih makan bersama dengan kerabat dekat 32,35%, sedangkan masyarakat peranakan 25,88%. Responden mengganggap acara makan bersama dengan keluarga dan kerabat dekat merupakan kesempatan baik bagi responden untuk bertemu sanak saudara dan kerabat yang telah lama tidak berjumpa.

Selain itu terdapat kegiatan membagikan angpao pada bayi meskipun persentasenya sangat kecil yaitu masyarakat totok hanya 5,14% responden dan masyarakat peranakan 2,35% responden. Kegiatan ini masih dilakukan karena pemberian angpao dianggap sebagai suatu bentuk doa dan pengharapan keberuntungan bagi sang bayi dan orangtua.

Kegiatan lain yang diadakan masyarakat totok pada saat hari Man Yue adalah sembahyang leluhur (2,20%). Hal ini dilakukan responden untuk melaporkan kepada leluhur akan kelahiran bayi dan meminta perlindungan untuk sang bayi. Tabel 4 menunjukkan adanya perubahan antar generasi ke generasi yaitu dari generasi dewasa madya ke generasi dewasa dini dimana semakin lama jumlah responden yang mengadakan acara pada hari Man Yue semakin berkurang. Akan tetapi perubahan yang paling signifikan terdapat pada masyarakat peranakan dimana masyarakat peranakan dewasa dini (74,28%) sudah tidak melaksanakan kegiatan apapun pada hari Man Yue.

Tabel 5 Aksesoris Yang Digunakan Saat Man Yue

Keterangan Umur

Baju baru

Sepatu kepala

harimau tulisan raja Sepatu kuning Lain-lain Total

Totok 18-40 35 0 0 0 35 41-60 34 2 0 4 40 >60 Total 35 104 5 7 0 0 4 8 44 Peranakan 18-40 24 0 0 11 24 42-60 33 1 0 1 35 >60 34 1 0 1 36 Total 91 2 0 13

Catatan: Jawaban boleh lebih dari 1

Tabel 4 Kegiatan Khusus Saat Man Yue

Catatan Umur Makan bersama keluarga inti Mengundang sanak saudara dan kerabat Membagikan angpao Tidak ada acara Lain-lain Totok 18-40 22 12 1 6 1 41-60 23 15 2 3 0 >60 total 28 73 17 44 4 7 0 9 2 3 Peranakan 18-40 3 6 0 26 0 42-60 20 5 1 8 0 >60 24 11 1 7 0

(6)

Pakaian yang dikenakan oleh sang bayi pada hari Man Yue baik masyarakat totok dan masyarakat peranakan tidak terdapat perbedaan yang besar dimana keduanya mementingkan pemakaian baju baru pada sang bayi (87,40%pada masyarakat totok dan 95,78% masyarakat peranakan). Meskipun demikian, banyak masyarakat totok yang mementingkan menggunakan baju barudan menekankan bahwa harus menggunakan warna merah dan memakai kaos kaki baru. Bagi masyarakat totok, alasan memakai kaos kaki adalah anak satu bulan belum boleh menggunakan sepatu dan memakai baju merah dikarenakan merah melambangkan warna kebahagiaan.

Persentase terendah penggunaan aksesoris bayi adalah memakaikan sepatu berkepala harimau yang terdapat tulisan raja, yaitu 5,88% masyarakat totok dan 2,10% masyarakat peranakan. Harimau melambangkan raja dari binatang dan dipercayai dapat membasmi yang buruk, yakni melindungi anak dari bencana sehingga anak dapat tumbuh sehat. Kedua masyarakat tidak menggunakan sepatu kuning sebagai salah satu aksesoris yang wajib dikenakan bayi pada hari satu bulanan bayi. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua ritual Tiongkok yang dilaksanakan sama dengan ritual awal, seperti pada pemakaian sepatu kuning. Bagi masyarakat Tionghoa, warna kuning merupakan simbol kemashyuran. Namun, aksesoris ini tidak dilaksanakan oleh masyarakat totok dan masyarakat peranakan karena menurut responden, makna dari memakai warna kuning tidak diketahui sehingga tidak dilaksanakan lagi. Bagi masyarakat totok dan masyarakat peranakan pemakaian sepatu diganti dengan kaos kaki karena anak yang berumur satu bulan belum cocok untuk memakai sepatu.

Tabel 6 Bingkisan Man Yue

Keterangan Umur Telur merah Ba-rang Ayam Goreng Kue-ku Nasi ketan Ang-pao Nasi kuning Lain-lain Total Totok 18-40 26 10 19 22 8 4 8 0 97 41-60 34 7 21 28 11 7 11 0 119 >60 Total 34 94 0 17 25 65 39 89 11 30 6 17 11 30 0 0 126 Peranakan 18-40 7 23 9 2 0 1 3 5 50 42-60 11 21 22 9 2 1 2 7 75 >60 34 0 24 21 18 1 23 0 121 Total 52 44 55 32 20 3 28 12

Catatan: Jawaban boleh lebih dari 1

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kedua golongan masyarakat masih memberikan telur merah. Hal ini disebabkan pada hari satu bulan bayi, telur merah menandakan kebahagiaan dan sebuah permulaan hidup yang baru dengan hadirnya sang bayi. Persentase masyarakat totok dalam pemberian variasi bingkisan adalah telur merah (27,48%), ayam goreng (19%), nasi kuning (8,77%), angpao (4,97%), nasi ketan (8,77%), bingkisan (4,97%), dan bingkisan lain berupa kueku adalah (26.02%). Sedangkan persentase masyarakat peranakan dalam pemberian variasi bingkisan adalah telur merah (21,14%) ayam goreng (22,35%), nasi kuning (11,38%), angpao (1,22%), nasi ketan (8,13%), barang berupa pajangan, gelas, handuk (17,89 %). Variasi bingkisan lain yang diberikan berupa mie, pajangan, kue, dan kueku. Bagi 26.02% responden masyarakat totok yang menulis kueku menyatakan pemberian kueku tidak boleh kurang karena kueku mempunyai arti menandakan merayakan bayi lancar tumbuh dewasa.

Hasil analisis tabel 6 menunjukkan masyarakat totok dewasa lanjut hanya memberikan bingkisan berupa telur merah, ayam goreng, nasi ketan, kueku ataupun nasi kuning dibandingkan dengan bingkisan, tetapi pada masyarakat totok generasi madya dan dini sudah mulai muncul penambahan variasi bingkisan kepada sanak famili yaitu pemberian barang. Berbeda dengan masyarakat peranakan dimana generasi lanjut masih merasa wajib memberikan telur merah, ayam goreng, kueku, nasi ketan dan nasi kuning, generasi dewasa madya dan generasi dewasa dini sudah tidak terlalu mementingkan jenis bingkisan yang diberikan. Tabel di atas menunjukkan terjadi perubahan yang berorientasi pada memberikan barang untuk menggantikan bingkisan. Hal ini terjadi karena responden menganggap pemberian bingkisan merupakan suatu simbolis dan dapat digantikan dengan suatu hal yang lebih praktis dan unik sehingga mereka cenderung memberikan pajangan ataupun gelas. Oleh karena itu dapat disimpulkan masyarakat totok meskipun mengalami perubahan tetapi masih tetap mengikuti ritual awal yang diturunkan, berbeda dengan banyak masyarakat peranakan yang sudah tidak melakukan ritual sebagaimana mestinya dan telah terjadi perubahan dalam pelaksanaannya.

(7)

Dari hasil analisis ritual tradisi Man Yue, kegiatan khusus di hari Man Yue, asesoris yang digunakan, serta bingkisan yang diberikan saat Man Yue terlihat pencerminan dari teori karakteristik budaya, yaitu:

1. Penyebaran dan daerah

Man Yue merupakan tradisi traditional Tiongkok dan dilaksanakan oleh orang Tionghoa.

Pada saat itu, banyak orang Tionghoa yang berimigrasi ke Indonesia, sehingga mereka membawa tradisi Tiongkok ke Indonesia, maka dari itu tradisi ini terus disebarkan. Kedaerahan terlihat dari objek penelitian perbedaan tradisi Man Yue di Jakarta barat dan Tiongkok. Kedaerahan terlihat dari penelitian tradisi Man Yue di Jakarta barat yang difokuskan pada Jelambar Baru dan Tanjung Duren, meneliti masyarakat totok dan peranakan pada tiga golongan umur yang berbeda.

2. Pewarisan dan perubahan

Mayarakat totok dan peranakan mewariskan tradisi Man Yue secara turun temurun, namun terlihat perbedaan dari kedua golongan masyarakat, masyarakat totok lebih menjaga identitas diri mereka, sedangkan perubahan yang terjadi pada masyarakat peranakan dikarenakan oleh waktu.

3. Kemasyarakatan dan kebersamaan

Tradisi Man Yue dilaksanakan oleh kedua golongan masyarakat, hal ini mencerminkan karakteristik kemasyarakatan, tradisi Man Yue juga dilaksanakan oleh tiga generasi, mencerminkan karakteristik kebersamaan.

2. Fungsi pelaksaan tradisi Man Yue.

Tabel 7 Fungsi Tradisi Man Yue

Keterangan Umur Sebagai acara hiburan keluarga Mengikuti tradisi leluhur Mendoakan anak agar tumbuh sehat Acara berkumpul bersama kerabat dekat Totok 18-40 4 25 2 4 41-60 3 20 8 4 >60 Total 1 8 24 69 8 18 2 10 Peranakan 18-40 4 20 10 1 42-60 3 27 5 0 >60 6 10 19 0

Berdasarkan hasil analisis tabel 7, persentase responden terhadap fungsi sosial tradisi Man Yue adalah:

1) 10,47% responden menganggap fungsi sosial tradisi Man Yue sebagai acara hiburan keluarga yang merupakan fungsi regulasi. Fungsi regulasi ini dimaksudkan sebagai perwujudan dari suatu acara hiburan yang ditujukan untuk masyarakat ditengah penatnya kegiatan sehari-hari. 2) 5,24% responden setuju bahwa fungsi sosial dari tradisi Man Yue adalah berkumpul bersama

kerabat yang merupakan fungsi pemeliharaan.

3) 24,76% responden menyatakan tujuan utama melaksanakan ritual ini bertujuan untuk mendoakan bayi agar tumbuh sehat yang merupakan fungsi pendidikan dan 60% dari total responden menyetujui bahwa fungsi sosial dibalik tradisi Man Yue adalah mengikuti tradisi leluhur. Moral dibalik fungsi pendidikan adalah rasa berterimakasih. Mengajarkan generasi selanjutnya akan makna bersyukur dan tahu cara berterimakasih, terutama berterimakasih pada Tuhan.

4) Fungsi pengikat. Walapun responden tidak menyatakan fungsi pengikat sebagai salah satu fungsi, namun masih banyak responden yang melaksanakan tradisi, hal ini mencerminkan fungsi pengikat.

(8)

3. Penyebab terjadinya perubahan pada pelaksaan tradisi Man Yue.

Tabel 8 Faktor Paling Dominan Yang Mempengaruhi Perubahan

Keterangan Umur Ekonomi Politik Agama Sosial Budaya

Lain- lain Total Totok 18-40 9 1 11 7 7 35 41-60 8 2 17 5 3 35 >60 Total 12 29 0 3 12 40 8 30 3 13 35 Peranakan 18-40 4 0 15 4 12 35 42-60 8 0 9 10 8 35 >60 6 0 15 6 8 35 Total 18 0 39 20 28

Berikut adalah analisis faktor- faktor yang mempengaruhi perubahan:

1) Faktor agama (37,62%). Hal ini dapat terjadi dikarenakan oleh banyaknya masyarakat yang berpindah agama. Menurut responden, terdapat agama yang tidak memperbolehkan melaksanakan ritual-ritual tradisi Tiongkok. Contoh: sembahyang dan memegang dupa sehingga ada beberapa ritual yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran responden dan tidak dilakukan.

2) Faktor ekonomi (22,38%). Faktor ekonomi juga cukup berpengaruh. Sesuai hasil wawancara, responden menyatakan ritual-ritual yang dilaksanakan terlalu banyak dan menghabiskan uang yang cukup banyak. Bagi keluarga yang tingkat ekonomi tidak mapan, hal ini menjadi suatu beban sehingga dalam pelaksanaannya, responden cenderung ke arah yang lebih simpel. Faktor politik (1,43%), Hasil analisis menunjukkan faktor politik tidak dianggap sebagai faktor yang paling mendukung perubahan tradisi. Meskipun pada masa pemerintahan Orde Baru budaya Tionghoa diredam eksisannya, tetapi ternyata aspek tersebut tidak berpengaruh pada tradisi keluarga seperti tradisi Man Yue.

3) Faktor sosial budaya (23,81%), dan faktor lain – lain (19,52%). Faktor pendukung lain (19,52%) adalah ingin hidup praktis karena pengaruh lingkungan, dimana faktor pendukung ini mendukung faktor sosial budaya.

SIMPULAN DAN SARAN

Hasil analisa menunjukkan terdapat perbedaan ritual tradisi Man Yue yang cukup signifikan antara masyarakat totok dan masyarakat peranakan, yaitu :

1. Masyarakat totok melaksanakan tradisi yang mereka ketahui, sedangkan masyarakat peranakan mengetahui tradisi tersebut tetapi belum tentu melaksanakannya, contoh : tradisi menggunting rambut bayi sampai habis dimana dalam pelaksanaannya tidak seperti itu.

2. Ritual pemberian bingkisan dimana variasi bingkisan yang diberikan masyarakat totok lebih banyak dibandingkan masyarakat peranakan.

3. Masyarakat totok melaksanakan tradisi karena masih mempercayai mitos yang ada di balik tradisi, sedangkan masyarakat peranakan disebabkan oleh menjalankan pesan dari orangtua. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa identitas budaya masyarakat totok lebih tinggi dibandingkan masyarakat peranakan. Perubahan ritual tradisi Man Yue pada tiga generasi masyarakat totok tidak signifikan dimana responden memberikan bingkisan berupa telur merah, ayam goreng, keuku, dan lain-lain. Masyarakat totok masih mewariskan ritual tradisi yang diketahui karena menganggap pelaksanaan tradisi merupakan bentuk perwujudan identitas diri. Sebaliknya perubahan antar generasi masyarakat peranakan lebih signifikan. Contoh : ritual pembagian bingkisan dimana masyarakat dewasa lanjut memberikan bingkisan yang berisi telur merah, ayam goreng, kueku, dan lain-lain, sedangkan masyarakat dewasa madya dan dini cenderung hanya memberikan bingkisan kecil (pajangan, gelas dan

(9)

handuk). Ritual tradisi Man Yue, kegiatan khusus,bingkisan pada saat Man Yue mencerminkan karakteristik budaya pada tradisi Man Yue, yaitu penyebaran dan daerah, pewarisan dan perubahan, serta kemasyarakatan dan kebersamaan.

Hasil penelitian menunjukkan faktor yang mempengaruhi perubahan tradisi Man Yue bagi kedua golongan masyakarat adalah agama, sosial budaya, politik dan ekonomi. Faktor agama disebabkan karena terjadinya perpindahan agama atau benturan antara ajaran agama dengan tradisi sehingga tradisi tersebut tidak dilaksanakan. Faktor sosial budaya karena menganggap ritual dalam tradisi terlalu rumit sehingga enggan untuk melaksanakan atau diubah menjadi lebih praktis. Faktor politik tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap perubahan tradisi Man Yue. Sedangkan faktor ekonomi disebabkan oleh keadaan ekonomi responden kurang mapan. Selain itu hasil penelitian menunjukkan Man Yue memiliki fungsi regulasi, fungsi pemeliharaan, fungsi pendidikan dan fungsi pengikat. Fungsi yang paling berpengaruh adalah fungsi pendidikan dimana masyarakat mewariskan tradisi tersebut secara turun menurun karena tradisi tersebut mengandung nilai moral yang dianggap penting. Saran penulis yakni mendirikan suatu perkumpulan budaya sebagai wadah berbagi pengetahuan budaya bagi masyarakat totok dan peranakan agar di masa yang akan datang, tradisi masyarakat peranakan yang sudah memudar bisa kembali berorientasi pada Tiongkok. Penulis berharap hasil dari penelitian skripsi ini dapat memberikan referensi sebagai pertimbangan dan juga bantuan kepada mahasiswa/i, karena dengan memahami dan mengerti akan teori karakteristik suatu budaya, dapat memahami tentang perubahan kebudayaan serta penyebab perubahan

REFERENSI

Aryanto, F. M. (2009). Perilaku Kewirausahaan Ditinjau Dari Self-Efficay Pada Mahasiswa Etnis Jawa dan Cina (Doctoral Dissertation, Unika Soegijapranata).

Chiakrawati, Swany. (2011). Mandarin As Overseas Chinese Indigenous Language (Case In Indonesia).Semarang: Diponegoro University, p.60-64.

Gondomono.(1996).Membanting Tulang Menyembah Arwah: kehidupan kekotaan masyarakat Cina. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Hurlock, Elizabeth B. (2010). Development Psychology: A Life-Span Approach. India: Tata McGraw-Hill Education Pvt. Ltd.

Onghokham. (2009). Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa.Depok: Komunitas Bambu.

Pitzl,Gerald R.(2004).Encyclopedia of Human Geography.Portsmouth: Greenwood publishing Group.

Rahmawati, I., & al, e. (2011). Kajian Makna Budaya Dalam Arsitektur Masjid Cheng Ho Surabaya. Surabaya: Universitas Pebangunan Nasional: 3.

Semi, M.Atar.(2012).Metode Penelitian Sastra. Bandung: CV Angkasa.

Soekanto,Soerjono dan Budi, Sulistyowati.(2013).Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Suryadinata, L. (1992). Pribumi Indonesians, the Chinese Minority, and China. China: Heinemann Asia. Suryadinata, Leo. (1995). Prominent Indonesian Chinese. Singapore: Singapore Institute of Southeast

Asian Studies.

Suryadinata, L. (2002). Negara dan Etnis Tionghua: Kasus Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Sutami, Hermina.(2012).Kuliner untuk Arwah: Realita Akulturasi Budaya Kaum Cina Peranakan. Prosiding The International Conference on Indonesian Studies: “Unity,Diversity and Future” (4):372-380.

Tan, Mely G.ed. (1979).Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: suatu masalah pembinaan kesatuan

bangsa. Jakarta: PT Gramedia.

Tylor, Edward Burnet. (1871). Primitive Culture.New York: Brentano’s.

鲍丽丽,方艳.(2008).谈民俗文化的保护.高等教育与学术研究,(9) : 188-189. 兰林友.(2003).山兰花开,幽香徐徐飘来.广西右江民族师专学报,16(1) : 127-128. 李君.(2006).中国近代社会风俗演变之特点.山东省农业管理干部学院学报,22.(5) : 138-139. 林彰龙.(2005).从近代中国社会习俗变化看近代社会变迁.零陵学院学报, 26.(2) : 243-244. 陆湘怀,赵杏根. (2011).中国民俗学通识(第一次印刷).南京:东南大学出版社. 孙茂文.粮食经济统计手册.(1990).北京:中国财政经济出版社.

(10)

杨嵋、张春娥、李征.传统虎头鞋予国内童鞋设计的启发[J].重庆:纺织与服装工程学院;b 体育学 院,2013,50.(10):51. 田晓娜.(2005).礼仪全书·寿诞礼仪. 北京:青海人民出版社. 萧放.(2003).中国民俗文化特征论.宝鸡文理学院学报(社会科学版),23.(2) :24-33. 张勃. (2008).中国人最应该知道的 77 个礼俗.北京:中国书籍出版社. 钟敬文.(2009).民俗学概论.上海:上海文艺出版社.

RIWAYAT PENULIS

Jessica Gozali lahir di kota Jakarta pada tanggal 31 Mei 1992. Penulis menamatkan pendidikan S1 di

Universitas Bina Nusantara dalam bidang jurusan Sastra Cina pada tahun 2014 dan menamatkan pendidikan SMA di SMA Kemurnian II, Jakarta pada tahun 2010.

Mery Megawaty lahir di kota Jakarta pada tanggal 28 Agustus 1992. Penulis menamatkan pendidikan S1

di Universitas Bina Nusantara dalam bidang jurusan Sastra Cina pada tahun 2014 dan menamatkan pendidikan SMA di SMA Chandra Kusuma, Jakarta pada tahun 2010.

Andyni Khosasih, S.E., B.A., M. Lit. lahir di Medan pada tanggal 16 Januari 1979. Beliau menamatkan

pendidikan S1 di Universitas Surabaya (Akuntansi) dan Huaqiao University Jurusan Sastra Cina.Tahun 2012 lulus S2 dari Huaqiao University dengan major Modern and Contemporary Chinese Literature.

Gambar

Tabel 1 Tradisi Man Yue Yang Anda Ketahui
Tabel 4  Kegiatan Khusus Saat Man Yue
Tabel 6 Bingkisan Man Yue
Tabel 7 Fungsi Tradisi Man Yue
+2

Referensi

Dokumen terkait