• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda World Trade Organization

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda World Trade Organization"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian

dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda

World Trade Organization

LAPORAN AKHIR

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN

KEMENTRIAN PERDAGANGAN JAKARTA

(2)

Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian

dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda

World Trade Organization

Tim Penulis :

Adrian Darmawan Lubis

Kasan

Irma Rahmawati

Tony Irawan

Rusan Nasrudin

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERDAGANGAN

KEMENTRIAN PERDAGANGAN JAKARTA

(3)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda World Trade Organization. Keikutsertaan aktif Indonesia dalam negosiasi produk pertanian dan non pertanian di WTO akan memberikan dampak positif dalam kinerja perdagangan nasional. Namun, masih perlu dilakukan analisis untuk menentukan usulan posisi terbaik, khususnya dalam proteksi petani domestik melalui special safeguard

mechanism (SSM) dan peningkatan akses pasar melalui isu non tariff barriers (NTB).

Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disusun tujuan dari kajian ini sebagai

berikut : 1) Menganalisis kinerja serta pola impor produk pertanian nasional, 2) Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi spesial safeguard mechanism, 3) Mengidentifikasi dan menganalisis signifikansi hambatan non tarif yang menghambat ekspor non migas Indonesia, dan 4) Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi hambatan non-tarif.

Kajian ini dilakukan selama 11 (sebelas) bulan dengan menggunakan data sekunder dan selanjutnya hasil pengolahan data sekunder dilakukan verifikasi dengan kegiatan turun lapang. Adapun metodologi yang digunakan adalah Statistical

Quality Control (SQC), Analytical Hierarchy Process (AHP) dan Gravity Model. Hasil

analisis selanjutnya dikonsultasikan dengan stake holders melalui kegiatan Focus

Group Discussion. Kajian ini mengkhususkan pada beberapa produk pertanian

penting yaitu beras, tebu, jagung, jeruk, kedele, kopi, rempah-rempah, susu, teh dan tepung terigu untuk SSM serta coklat, sawit, dan kopi untuk NTB.

Adapun hasil dari kajian ini menemukan bahwa 1)Tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk merupakan produk pertanian komersil dengan trend impor, sedangkan sisanya hanya diimpor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi; 2) Seluruh produk menunjukkan pola impor musiman, terutama moving seasonality berdasarkan data year on year dengan fluktuasi impor rata-rata berdasarkan nilai standar deviasi adalah 20 sampai 36 persen; 3) Sebagian besar eksportir menyatakan tidak ada hambatan non tarif yang berarti terhadap produk pertanian, dimana ini disebabkan ketergantungan terhadap produk nasional; 4) Standart yang paling sering dihadapi adalah standart keamanan/kesehatan, namun eksportir tidak keberatan untuk memenuhi hal tersebut; dan 5) Eksportir menyatakan pemenuhan ketentuan NTB menjadi sulit karena ketidakdisiplinan beberapa pihak untuk memenuhi ketentuan negara mitra

(4)

Berdasarkan kesimpulan tersebut, direkomendasikan agar : 1) Indonesia dalam menggunakan trigger volume impor sebaiknya juga memperhatikan

perubahan harga domestik agar pelaksanaan SSM tidak merugikan konsumen; 2) Indonesia tidak dapat memberlakukan SSM selama setahun penuh karena

terdapat periode dimana impor sangat dibutuhkan; 3) Indonesia sebaiknya menekankan penentuan besaran SSM untuk beberapa produk saja, antara lain beras dan tebu, oleh karena itu besaran trigger SSM yang diusulkan antara 22 sampai 36 persen; 4) Jeruk merupakan komoditas yang paling membutuhkan proteksi, namun mekanisme SSM tidak efektif bagi produk ini; dan 5) Indonesia sebaiknya mengusulkan pelaksanaan standar internasional di bidang kesehatan dan keamanan konsumen. Usulan tersebut perlu disertai pelatihan untuk membantu negara berkembang.

(5)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdullilah tim penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan kajian dengan judul Kajian Penyusunan Posisi Runding Indonesia di Bidang Pertanian dan Non Pertanian dalam Negosiasi Doha Development Agenda World Trade Organization.

Tim penulis mengucapkan terima kasih atas arahan dan bimbingan dari Bapak Kapuslitbang Daglu yang tidak henti dan putus dalam penyusunan kajian ini. Selain itu penulis juga berterima kasih atas bantuan data dan informasi dari Dinas di daerah dan stakeholders terkait yang berperan serta dalam keberhasilan penyelesaian kajian ini.

Tim penulis menyadari keterbatasannya, dan oleh karena itu mengharapkan adanya saran yang membangun untuk dapat meningkatkan mutu kajian ini. Selain itu tim penulis mengharapkan kajian ini dapat dimanfaatkan dengan sebaiknya.

Jakarta, Desember 2010

(6)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI iv

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR TABEL vii

I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan 6

1.3. Ruang Lingkup 7

1.4. Pembabakan 8

II. STUDI PUSTAKA DAN LITERATUR 9

2.1. Special Safeguard Mechanism Dalam WTO 9

2.2. Special Safeguard Mechanism Dalam Kerangka Teoritis 12 2.3. Special Safeguard Mechanism Dalam Literatur Terdahulu 13

2.4.Definisi Non Tariff Barrier (NTB) 17

2.5. Taksonomi NTB 18

2.6. Pendekatan Untuk Mengukur NTB 19

2.7. Estimasi Empiris Model Gravity: Inklusif Border Effect, Tarif

Dan NTB 20

III. METODOLOGI PENELITIAN 22

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 22

3.2. Data dan Sumber Data 22

3.3. Metode Penelitian 22

3.3.1. Statistika Deskriptif 22

3.3.2. Statistical Quality Control 22

3.3.3. Analytical Hierarchy Process (AHP) 26

3.3.4. Uji Konsistensi AHP 30

3.3.5. Pendekatan Gravity Model 31

IV. ANALISIS KEPENTINGAN INDONESIA DALAM NEGOSIASI SPECIAL

SAFEGUARD MECHANISM 34

4.1. Kinerja Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Indonesia 34 4.2. Faktor Seasonal dan Trend Pada Impor Komoditi Pertanian

Indonesia 36

4.3. Penerapan Control Chart Pada Impor Komoditi Pertanian Indonesia 38 4.4. Tanggapan Masyarakat terhadap Fluktuasi Impor untuk Studi

Kasus Medan dan Bandung 39

V. PENDEKATAN MODEL EKONOMETRIKA UNTUK MENGUKUR

DAMPAK NTB PADA KOMODITAS KOPI, SAWIT DAN COKLAT 45 5.1. Dinamika Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke EU, Jepang

dan US 45

5.2 Dampak Kebijakan NTB Khususnya REACH Terhadap Kinerja

Ekspor Nasional ke Uni Eropa 50

5.3. Identifikasi dan Pemeringkatan Bobot Jenis Hambatan Non-Tarif

dengan Teknik AHP: Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara 51 5.4. Analisis Hasil Pemeringkatan Bobot Masalah NTB di Provinsi

(7)

5.4.1. Sawit 54

5.4.2. Kopi 55

5.4.3. Coklat 56

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 57

6.1. Kesimpulan 57

6.2. Rekomendasi 57

(8)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Bantuan Pemerintah Negara Maju Terhadap Petani yang Dihitung Dalam Bentuk Producer Support Estimate (Rata-Rata 2001-2003)

2 2. Neraca Perdagangan Sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan

(2005-2008)

3

3. Isu Hambatan Non-Tarif 6

4. Tiga Tipe Safeguard Untuk Komoditas Pertanian 10

5. Elemen Dari Hirarki Tingkat Kedua NTB 28

6. Comparative Judgement: Ilustrasi 29

7. Hasil Perhitungan Normalized Relative Weight 30

8. Kinerja Neraca Perdagangan 10 Komoditas Pertanian Terpilih 35 9. Seasonality Test Untuk Data Impor 10 Komoditas Terpilih 37 10. Trend Test Untuk Data Impor 10 Komoditas Terpilih 38 11. Penerapan Konsep Control Chart Pada 10 Komoditas Pertanian 39 12. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan SSM 44 13. NTB yang dihadapi Produk Sawit, Kopi dan Coklat tahun

2007-2008

53

14. Hambatan Selain Tarif Untuk Produk Sawit 55

15. Hambatan Selain Tarif Untuk Produk Kopi 55

16. Hambatan Selain Tarif Untuk Produk Coklat 56

(9)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. SSM dalam Kerangka Putaran Doha 11

2. SSM dalam Kerangka Teoritis 12

3. Komponen Control Chart 24

4. Persentase Nilai Sebaran yang Mampu Ditangkap Oleh Cakupan Standar Deviasi yang Berbeda

25

5. Hirarki Tingkat Pertama dari NTB 28

6. Ancaman Produk Pertanian Impor terhadap Produk Pertanian Lokal

41 7. Alasan Yang Mengakibatkan Produk Pertanian Impor Menjadi

Ancaman Bagi Produk Lokal 42

8. Upaya Menekan Laju Impor Produk Pertanian 43

9. Besaran Peningkatan Impor Yang Dapat Dikategorikan

Sebagai Serbuan Impor 43

10. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke 3 Negara Sampel, ribu USD

46 11. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke EU, ribu USD 47 12. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke Jepang, ribu USD 48 13. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke US, ribu USD 49

14. Hirarki Faktor NTB 53

15. Pergerakan Nilai Ekspor Sawit-HS 1511 dan Kopi-HS 0901 54

(10)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang berdiri sejak 1 Januari 1995, Indonesia telah menjadi anggota dengan memiliki peluang keterbukaan akses pasar produk ekspor ke seluruh anggota WTO yang berjumlah 150 negara. Liberalisasi produk pertanian dan produk industri merupakan salah satu isu sentral dalam negoisasi World Trade Organization (WTO) belakangan ini. Negoisasi yang telah dimulai sejak Putaran Uruguay dan berlanjut hingga di Putaran Doha, sampai saat ini belum juga membuahkan hasil. Putaran Doha yang telah berjalan sejak tahun 2001 dan telah membuahkan komitmen negara-negara dalam Deklarasi Para Menteri pada bulan November 2001 untuk mencapai tujuan yakni sistem perdagangan dunia yang berlandaskan pasar dan keadilan, ternyata masih belum mampu menggiring anggota WTO mencapai kesepakatan liberalisasi.

Negara maju dan negara berkembang saling menyalahkan satu sama lain terkait “mandeg”-nya negoisasi perdagangan untuk komoditas pertanian ini. Negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa menuding negara berkembang terlalu menutup pintu perdagangannya yang mengakibatkan sulitnya mencapai kesepakatan. Sebaliknya, negara berkembang tidak akan membuka pintu perdagangannya selama subsidi yang diberikan negara maju kepada para petani sangat besar sekali yang tentu saja mengakibatkan petani di negara maju mampu menghasilkan produk yang lebih bersaing di pasaran. Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang sangat “vocal” dalam menyuarakan liberalisasi perdagangan memproteksi sektor pertaniannya tidak hanya melalui tariff namun juga melalui subsidi ekspor yang sangat besar. Pada tahun 2007 dukungan pemerintah Amerika Serikat terhadap para petaninya diperkirakan mencapai 32,663 milyar USD, sebuah nilai yang sangat fantastis jika dibandingkan dengan subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia yang hanya sebesar 1,4 milyar USD (Susilowati dan Kustiari, 2009).

Dukungan yang besar terhadap petani pada negara-negara besar juga dapat dilihat pada kasus negara-negara Uni Eropa (UE), Australia, Kanada dan Selandia Baru. Tabel 1.1 menunjukkan bahwa untuk komoditi daging sapi, peternak di negara anggota Uni Eropa mendapatkan bantuan sebesar 74 persen dari total pendapatan usaha ternaknya. Dengan kata lain, hanya 36 persen pendapatan peternak sapi di Uni Eropa berasal dari usaha ternak mereka sendiri. Hal yang serupa juga dapat

(11)

dilihat pada komoditas pertanian lainnya. Negara-negara maju lainnya seperti Australia, Kanada dan Selandia Baru juga memberikan dukungan yang cukup besar terhadap petani mereka meski tidak sebesar yang diberikan AS dan UE.

Kebijakan subsidi eskpor ini tentu mengakibatkan persaingan yang tidak adil antar petani di beda negara. Jika petani di negara berkembang secara langsung berhadapan dengan produk pertanian yang dihasilkan negara maju sudah sangat jelas petani di negara berkembang akan kalah bersaing. Sebesar apapun tingkat efisiensi yang mampu dikejar oleh petani di negara berkembang tentu tidak akan sebanding dengan dukungan yang didapat petani di negara maju yang membuat mereka mampu menawarkan produk pertaniannya dengan harga yang sangat kompetitif.

Tabel 1. Bantuan Pemerintah Negara Maju Terhadap Petani yang Dihitung Dalam

Bentuk Producer Support Estimate (Rata-Rata 2001-2003 dalam US D Juta)

Komoditas AS UE Australia Kanada

Selandia Baru Total OECD Beras 46 37 6 Na Na 78 Jagung 21 36 na 13 0 24 Kedelai 20 36 3 14 Na 24 Gula 58 56 10 12 Na 51 Daging Sapi 4 74 4 NA 1 33 Daging Unggas 4 37 3 4 31 17

Catatan: na menandakan tidak ada data Sumber: Sawit (2007)

Salah satu implikasi logis yang mungkin terjadi bagi negara berkembang jika negara maju tetap memberikan subsidi pertanian yang besar adalah harga komoditas pertanian dunia akan rendah dan ini bukan dikarenakan perbaikan tingkat efisiensi petani melainkan subsidi besar-besaran yang dilakukan negara maju. Tentu saja hal ini akan menimbulkan persaingan yang tidak adil dalam perdagangan, dimana dimungkinkan terjadinya serbuan produk pangan dari negara maju ke negara berkembang (Sawit, 2009). Kondisi inilah yang saat ini mengancam Indonesia. Sebagai negara yang berpenduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia merupakan pasar yang sangat potensial untuk produk pangan. Tekanan produk pangan impor terlihat jelas pada neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia. Tabel 1

(12)

menunjukkan bahwa semenjak tahun 2005, neraca perdagangan sub sektor tanaman pangan selalu negatif atau dengan kata lain total nilai ekspor kita lebih kecil dibandingkan dengan total nilai impor. Fakta yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa jika dilihat hingga ke level komoditi, komoditi yang memiliki neraca perdagangan negatif adalah komoditi-komoditi pangan utama Indonesia seperti beras, jagung, kacang tanah dan kedelai.

Tabel 2. Neraca Perdagangan Sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan (2005-2008)

Sumber: Badan Pusat Statistik

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terlihat pada sub sektor peternakan. Sebagai gambaran, selama periode 2005-2009, sekitar empat puluh persen dari

2004 2005 2006 2007 2008 Ekspor 274,497 286,744 264,155 289,049 348,914 Impor 2,423,418 2,115,138 2,568,454 2,729,147 3,526,961 Selisih (2,148,921) (1,828,394) (2,304,299) (2,440,098) (3,178,047) Ekspor 1,462 9,088 626 541 935 Impor 64,948 53,753 133,905 46,444 123,783 Selisih (63,486) (44,665) (133,279) (45,903) (122,848) Ekspor 13,746 11,894 4,674 18,626 29,325 Impor 189,139 45,634 299,112 174,608 13,586 Selisih (175,393) (33,740) (294,438) (155,982) 15,739 Ekspor 6,703 6,565 8,406 8,613 8,252 Impor 967,957 801,779 809,056 500,878 732,722 Selisih (961,254) (795,214) (800,650) (492,265) (724,470) Ekspor 7,656 10,792 10,743 9,526 1,407 Impor 45,708 44,087 59,527 64,539 10,253 Selisih (38,052) (33,295) (48,784) (55,013) (8,846) Ekspor 57,346 41,029 16,684 14,188 35,871 Impor 10,446 24,632 70,284 778 57,948 Selisih 46,900 16,397 (53,600) 13,410 (22,077) Ekspor 5,209 4,581 6,259 6,197 6,594 Impor 3 16 98 123 7 Selisih 5,206 4,565 6,161 6,074 6,587 Ekspor 167,119 177,895 187,801 203,957 251,973 Impor 990,739 994,486 1,041,386 1,444,784 2,371,698 Selisih (823,620) (816,591) (853,585) (1,240,827) (2,119,725) Ekspor 15,256 249 28,962 27,401 1,894 Impor 154,479 150,751 155,084 1,975 2,413 Selisih (139,223) (150,502) (126,122) 25,426 (519) Ubi Jalar Gandum

Tanaman Pangan Lainnya Tanaman Pangan Beras Jagung Kedelai Kc.Tanah Ubi Kayu

(13)

kebutuhan daging sapi nasional masih diimpor1. Sedangkan untuk komoditas susu,

73 persen kebutuhan susu nasional masih harus diimpor2. Kondisi tersebut

menunjukkan betapa rentannya perekonomian Indonesia terhadap serbuan produk pangan luar negeri jika dilihat dari sisi konsumen. Kebutuhan masyarakat yang terus meningkat akibat dorongan populasi dan perubahan taraf hidup akan semakin memperparah ketergantungan Indonesia di masa yang akan datang.

Jika dilihat dari sisi produsen, tekanan produk pangan asing akan berdampak negatif secara langsung terhadap kesejahteraan tenaga kerja di sektor pertanian Indonesia. Salah satu ukuran yang dapat digunakan dalam mengukur kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Besar NTP dapat mencerminkan kemampuan tukar produk pertanian yang dihasilkan dengan komoditas yang dikonsumsi rumah tangga petani. Sepanjang tahun 2008, NTP petani cenderung mengalami penurunan dari 100,69 pada bulan Januari menjadi 99,20 pada bulan Oktober. Hal ini mengartikan secara relatif kesejahteraan petani mengalami penurunan dibandingkan dengan kondisi tahun dasar yakni 2007. Secara lebih detail juga dapat ditunjukkan bahwa untuk petani tanaman pangan, NTP mengalami penurunan yang lebih tajam dari 100,52 menjadi 97,64 pada bulan Oktober. Secara agregat, penurunan NTP ini dirasakan oleh lebih dari 40 juta tenaga kerja di sektor pertanian atau sekitar 41 persen dari total tenaga kerja Indonesia.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat terlihat bahwa posisi Indonesia dalam negoisasi perdagangan internasional sangatlah penting mengingat ancaman datang baik dari sisi konsumen maupun produsen. Oleh karena itu sangatlah penting bagi pemerintah untuk memanfaatkan berbagai tindakan yang dimungkinkan dan dibenarkan sebagai anggota WTO guna melindungi serbuan produk pangan luar negeri, salah satunya melalui Special Safeguard Mechanism (SSM). Melalui mekanisme SSM, Indonesia dapat melakukan tindakan perlindungan terhadap produsen lokal ketika terjadi tingkat impor yang melebihi dari faktor pemicu atau

trigger yang telah ditetapkan. Tindakan perlindungan yang dimaksud adalah

penerapan tariff yang lebih tinggi daripada kondisi normal.

Ukuran trigger secara konseptual dapat menggunakan peningkatan drastis pada volume impor atau penurunan drastis pada harga komoditas impor. Permasalahan yang selanjutnya muncul adalah seberapa besar perubahan pada volume dan harga impor tersebut dapat dikatakan sudah termasuk tingkat yang mengkhawatirkan. Beberapa ekonom muncul dengan berbagai usulan tentang bagaimana menghitung trigger tersebut. Sampai dengan laporan ini dibuat,

1 Kompas, 9 November 2009 2 Media Indonesia, 29 Juni 2010

(14)

perhitungan trigger yang paling umum adalah dengan menggunakan patokan volume atau harga impor rata-rata tiga tahun ke belakang atau yang dikenal dengan konsep

Moving Average (MA 3). Cara perhitungan semacam ini termasuk sederhana dan

mudah diterapkan, namun yang masih sering menjadi pertanyaan adalah apakah metode tersebut sudah tepat dan cocok untuk semua negara? Merujuk kepada kasus Indonesia, trigger yang sangat ketat dan sensitif cenderung tidak akan memberikan perlindungan melainkan tekanan terhadap produsen. Jika volume impor melebihi trigger dan remedy diterapkan, maka akan berdampak kepada peningkatan harga komoditas pangan yang selanjutnya akan merugikan konsumen domestik.

Di sisi lain, negosiasi DDA-WTO sudah mengarah lebih dari sekedar liberalisasi hambatan tarif dan mulai beralih pada negosiasi hambatan non-tarif atau NTB. Diantara sektor yang penting dalam negosiasi ini adalah sektor elektronik, otomotif, dan kimia. Namun dalam studi ini tidak terbatas untuk membahas non-pertanian saja, melainkan beberapa produk non-pertanian akan menjadi bahasan juga.

Hambatan non tarif seperti prosedur dan labelling saat ini diduga menjadi salah satu penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia. Untuk itu, perlu dilakukan analisis mengenai tingkat signifikansi pengaruh tersebut atau dengan kata lain membuktikan hipotesis tersebut.

Studi ini mencoba menjawab kebutuhan analisis dimaksud, dan fokus pada isu seputar NTB. Diantara isu NTB yang berkembang, tentunya Indonesia akan meletakkan prioritas pada masalah yang memang dihadapi oleh sektor tertentu dalam perekonomian yang dianggap strategis. Selain tentunya mempertimbangkan apakah isu ini menjadi kepedulian dari anggota WTO yang lain.

Isu yang berkembang dalam negosiasi NTB dan yang dibawa oleh setiap negara pengusul bervariasi. Mencakup persoalan fasilitasi, ketentuan pajak ekspor, transparansi perijinan, standar, ketentuan NTB pada komoditas tertentu. Isu yang terkumpul disajikan dalam Tabel 3. Dalam studi ini, beberapa isu yang dipilih untuk dijadikan fokus pembahasan dibatasi pada ketersediaan informasi dan data. Adapun yang direncanakan adalah ketentuan penerapan pajak ekspor, transparansi perijinan ekspor, dan penerapan standar pada produk elektronik. Namun karena faktor keterbatasan akses terhadap data khususnya data primer, maka pembahasan kemudian mencakup komoditas pertanian yang memang didukung oleh ketersediaan data. Selain itu, komoditas tersebut diduga sedang mengalami kendala dari munculnya NTB baru yang dianggap signifikan mempengaruhi kinerja ekspor.

(15)

Tabel 3. Isu Hambatan Non-Tarif

Isu Proponent

Fasilitasi Penyelesaian Masalah Hambatan Non-Tariff

African Group, Kanada, Uni Eropa, LDC Group, NAMA-11 (incl.

Indonesia), New Zealand,

Norwegia, Pakistan, Swiss. Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor* Uni Eropa

Transparansi Perijinan Ekspor* Jepang, Taiwan, Amerika Serikat Penghapusan Diskriminasi Terhadap Barang

Bukan Baru

Jepang, Swiss, Amerika Serikat

Ketentuan NTBs Produk Kimia Argentina

Ketentuan NTBs Produk Kehutanan dalam Konstruksi Bangunan

New Zealand

Ketentuan NTBs Elektronika Uni Eropa

Prosedur Electrical Safety dan EMC Barang-barang Elektronika*

Amerika Serikat

Standar Produk Otomotif* Amerika Serikat

Labelling Tekstil, Pakaian, Alas Kaki dan Travel Goods*

Uni Eropa, Sri Lanka, Amerika Serikat

Sumber : www.wto.org

Sampai saat ini Indonesia belum dapat memutuskan posisi runding untuk setiap negosiasi hambatan non tarif di atas. Adapun kendala utama dalam penyusunan usulan posisi runding tersebut adalah belum adanya kajian mengenai dampak hambatan non tarif bagi kinerja ekspor dan manfaat negosiasi tersebut bagi Indonesia. Menyadari masalah ini, perlu dilakukan kajian mengenai manfaat dan tantangan keikutsertaan Indonesia dalam negosiasi hambatan non tarif di WTO.

1.2. Tujuan

Keikutsertaan aktif Indonesia dalam negosiasi produk pertanian dan non pertanian di WTO akan memberikan dampak positif dalam kinerja perdagangan nasional. Namun, masih perlu dilakukan analisis untuk menentukan usulan posisi terbaik, khususnya dalam proteksi petani domestik melalui special safeguard

mechanism (SSM) dan peningkatan akses pasar melalui isu non tariff barriers (NTB).

Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disusun tujuan dari kajian ini sebagai berikut :

(16)

1. Menganalisis kinerja serta pola impor produk pertanian nasional,

2. Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi spesial safeguard mechanism,

3. Mengidentifikasi dan menganalisis signifikansi hambatan non tarif yang menghambat ekspor non migas Indonesia,

4. Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi hambatan non-tarif.

1.3. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup yang digunakan dalam kajian ini menekankan pada hal penting sebagai berikut :

1. Data impor produk pertanian yang dianalisis dalam menyusun usulan posisi runding SSM diutamakan untuk produk penting dari Kementrian Pertanian yaitu beras, tebu, jagung, jeruk, kedele, kopi, rempah-rempah, susu, teh dan tepung terigu.

2. Data impor yang digunakan dalam analisis ini adalah data bulanan dan tahunan selama lima tahun terakhir.

3. Analisis impor dilakukan berdasarkan data impor untuk menentukan pola impor musiman, trend impor bulanan dan tahunan, serta lonjakan impor yang masih dapat ditolerir.

4. Lonjakan impor yang ditolerir didasarkan pada nilai standart deviasi, dengan batas maksimal sebesar tiga standart deviasi.

5. Data konsumsi tidak dapat diperoleh, sehingga dilakukan analisis trend impor untuk mengetahui apakah produk pertanian diimpor untuk kepentingan konsumsi atau barang konsumtif.

6. Analisis NTB menekankan pada tiga produk pertanian yaitu coklat, sawit, dan kopi yang digunakan adalah selama periode 1988 – 2009.

7. Mitra dagang yang dianalisis dalam hambatan NTB adalah negara mitra dengan aturan NTB ketat yaitu Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat.

8. Analisis regresi NTB dikhususkan pada contoh kasus kebijakan NTB negara mitra dan dampaknya bagi kinerja ekspor nasional.

1.4. Pembabakan

Kajian ini akan disusun dalam beberapa bab yang terdiri dari enam bab yang merupakan suatu kesatuan. Adapun judul dan isi dari setiap bab tersebut terdiri dari :

1. Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, tujuan, dan ruang lingkup penelitian.

2. Studi Pustaka Dan Literatur, berisikan literatur mengenai teori dan aplikasi Special Safeguard Mechanism, serta definisi, taksonomi, metode estimasi dan pendekatan mengukur Hambatan Non Tarif.

(17)

3. Metodologi Penelitian, memberikan informasi terkait waktu, tempat, dan metode yang digunakan dalam kajian ini.

4. Analisis Kepentingan Indonesia dalam negosiasi Special Safeguard Mechanism yang memberikan informasi neraca perdagangan, analisis pola dan trend impor, metode penentuan lonjakan impor dan temuan turun lapang.

5. Pendekatan Model Ekonometrika Untuk Mengukur Dampak NTB Pada Komoditas Kopi, Sawit Dan Coklat, berisi dinamika ekspor, analisis dampak kebijakan NTB terhadap kinerja ekspor, dan temuan turun lapang.

6. Kesimpulan dan Rekomendasi, merupakan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan yang menjadi intisari kajian ini.

II. STUDI PUSTAKA DAN LITERATUR

2.1. Special Safeguard Mechanism Dalam WTO

Special Safeguard Mechanism (SSM) bukanlah satu-satunya bentuk

perlindungan yang diberikan untuk komoditas pertanian. Berdasarkan hasil dari Putaran Uruguay, sebuah negara dapat melakukan GATT safeguard atau tindakan pembatasan impor sementara pada sebuah produk (termasuk produk pertanian) jika industri domestik terpuruk atau tertekan akibat serbuan produk impor yang diiringi dengan penurunan harga (jika hanya terjadi penurunan harga maka safeguard tidak

(18)

dapat digunakan). Pembatasan impor tersebut dapat dilakukan dalam bentuk kuota atau peningkatan tariff di atas bound rate. Pelaksanaan safeguard ini dapat dilaksanakan jika telah dilakukan pengujian atau pembuktian terjadinya keterpurukan dan negoisasi terkait dengan kompensasi.

Selanjutnya berdasarkan Agreement on Agriculture (AoA) yang dihasilkan pada Putaran Uruguay, sebuah negara dapat memanfaatkan Special Safeguard

(SSG) untuk melindungi sektor pertanian domestik jika terjadi serbuan produk impor atau jatuhnya harga secara signifikan. SSG hanya dapat digunakan pada produk yang memiliki tariff dan termasuk ke dalam produk yang dinegoisasikan pada Putaran Uruguay. Terdapat 39 anggota yang mendapatkan hak untuk menerapkan SSG, yakni terdiri dari 9 negara maju, 24 negara berkembang dan 6 negara transisi. Secara detail nama negara dan jumlah produk (tariff lines) yang dapat menggunakan SSG adalah: Australia (10), Barbados (37), Botswana (161), Bulgaria (21), Canada (150), Colombia (56), Costa Rica (87), Czech Republic (236), Ecuador (7), El Salvador (84), EU (539), Guatemala (107), Hungary (117), Iceland (462), Indonesia (13), Israel (41), Japan (121), Korea (111), Malaysia (72), Mexico (293), Morocco (374), Namibia (166), New Zealand (4), Nicaragua (21), Norway (581), Panama (6), Philippines (118), Poland (144), Romania (175), Slovak Republic (114), South Africa (166), Swaziland (166), Switzerland-Liechtenstein (961), Chinese Taipei (84), Thailand (52), Tunisia (32), United States (189), Uruguay (2), Venezuela (76).

Berdasarkan data di atas dapat terlihat bahwa hanya sedikit negara berkembang yang dapat memanfaatkan instrument SSG. Meskipun ada, jumlah produk yang dapat dilindungi sangat sedikit sekali, contohnya pada Indonesia yang hanya mendapatkan 1 persen dari total produk yang dinegoisasikan. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar negara berkembang menggunakan ceiling binding

yang mengakibatkan hilangnya hak untuk menggunakan SSG. Selain itu, negara berkembang yang telah memanfaatkan SSG juga sangat mengeluhkan sulitnya formula dan kebutuhan data yang digunakan dalam SSG. Akibatnya, SSG sangat sulit untuk diterapkan.

Tabel 4. Tiga Tipe Safeguard Untuk Komoditas Pertanian GATT Safeguard Special Agricultural

Safeguard/ SSG Special Safeguard Mechanism/ SSM Which products? All, including agricultural

Agricultural, if “tariffied” Agricultural Which

countries

All Developed and

developing countries, but

(19)

only if “tarrified”

Trigger Import surge with

price fall

Import surge or price fall Import surge or price fall

Remedy Quantity

restriction, tariff increase

Tariff increase Tariff increase

Constraint/ Condition Show injury or threat of injury, negotiate compensation

Only products “tariffied” in Uruguay Round (where comfort needed for liberalization)

For import surge:

• limit on % of products in a year

• ceiling on tariff at or above pre-Doha rate • minimum surge for tariff exceeding pre-Doha rate?

Expiry of mechanism?

Permanent Expires or reduced

post-Doha

Different views

Sumber: WTO (2008)

Tipe safeguard yang ketiga dan sampai saat ini masih terus dinegoisasikan adalah Special Safeguard Mechanism (SSM). SSM hanya berlaku untuk negara berkembang, khususnya bagi negara yang tidak memiliki SSG. Sama seperti SSG,

trigger dari SSM ditentukan oleh peningkatan produk impor yang drastis atau

penurunan harga yang cukup signifikan tanpa harus disertai dengan pembuktian atau negoisasi. Trigger direpresentasikan dalam bentuk persentase dari tahun dasar, jadi trigger sebesar 115 persen dapat diartikan terjadinya kenaikan sebesar 15 persen. Jika hal itu terjadi maka negara dapat meningkatkan tariff safeguard-nya (atau sering disebut dengan remedy) yang besarnya tergantung pada besarnya

trigger. Jika merujuk kepada Revised Draft Modalities for Agriculture December

2008, kelemahan dari ukuran ini adalah bahwa SSM tidak dapat digunakan jika ukuran safeguard lain sedang digunakan pada produk yang sama dan besar tariff yang diterapkan ditambah dengan remedy tidak boleh melebihi bound rate yang telah disepakati pada negoisasi sebelum Putaran Doha.

Perhitungan trigger berdasarkan volume pada awalnya diusulkan untuk sama dengan SSG yakni dengan memasukkan variabel perubahan volume konsumsi domestik, namun berdasarkan Teks Desember 2008 trigger untuk SSM yang diusulkan hanya memperhitungkan perubahan volume impor terhadap rata-rata tiga tahun terakhir. Selanjutnya jika terjadi lonjakan impor sebesar 110% - 115% maka

(20)

tariff dinaikkan sebesar 25%; 115% - 135% tariff dinaikkan sebesar 40 persen dan

remedy sebesar 50 persen jika terjadi lonjakan impor sebesar lebih dari 135 persen.

Jika perhitungan trigger didasarkan pada harga, maka kejatuhan harga didefinisikan sebagai perubahan harga relatif terhadap rata-rata harga impor tiga tahun sebelumnya. SSM akan berlaku jika terjadi kejatuhan harga c.i.f sebesar 85 persen dari rata-rata harga impor tiga tahun sebelumnya. Besaran remedy yang diterapkan adalah sebesar 85 persen dari perbedaan harga impor dan harga trigger.

Sumber: WTO (2008)

Gambar 1. SSM dalam Kerangka Putaran Doha

Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat 2 hal teknis yang sangat penting dalam negoisasi WTO selanjutnya. Pertama, yakni besaran remedy yang dapat diterapkan berikut dengan besaran rentang lonjakan. Kedua, cara dalam menentukan besaran trigger. Pendekatan yang selama ini diusulkan dan cukup banyak diterima adalah dengan menggunakan Moving Average (MA), khususnya MA 3. Beberapa pendekatan lain yang sempat diwacanakan adalah penggunaan MA 5, fixed reference prices dan Olympic average price (dengan menghilangkan nilai yang terbesar dan terkecil, setelah itu baru dihitung rata-ratanya). Kedua poin ini yang terus menerus dinegoisasikan selain dari tuntutan negara berkembang agar negara maju mau menurunkan dan bahkan menghilangkan subsidi ekspor yang mereka berikan.

2.2. SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DALAM KERANGKA TEORITIS

Pada dasarnya SSM merupakan suatu pengecualian bagi suatu negara untuk menerapkan kebijakan perdagangan yang protektif ketika terjadi suatu kondisi yang

(21)

dapat menekan produsen domestik. Proteksi perdagangan tersebut selanjutnya direpresentasikan dengan peningkatan tariff (remedy) ketika terjadi lonjakan impor atau penurunan harga yang sangat drastis dan melewati trigger yang telah ditetapkan. Dengan demikian, secara teoritis SSM mirip dengan kebijakan tariff yang lebih tinggi pada negara pengimpor.

Gambar 2. SSM dalam Kerangka Teoritis

Gambar 2 menunjukkan bahwa pada kondisi normal harga dunia adalah Pw dan setelah dikenai tariff maka harga yang berlaku di domestik adalah Pw+t dengan tingkat impor sebesar Q1-Q4. Ketika harga dunia jatuh ke level Pw’ atau terjadi lonjakan impor dengan tingkat impor di atas Q1-Q4, maka hal ini akan memicu SSM dan pemerintah dapat menerapkan remedy yakni dengan menerapkan tariff lebih besar daripada t atau dengan kata lain menaikkan harga domestik menjadi Pw’+t+t’ dan impor akan menurun ke level Q2-Q3. Berdasarkan Gambar 2. ini dapat dilihat bahwa konsekuensi yang harus dibayar ketika suatu negara menerapkan SSM adalah harga yang lebih tinggi yang harus dihadapi oleh konsumen. Sehingga jika suatu negara petani merupakan net consumer maka penerapan SSM akan berdampak negatif terhadap negara tersebut.

2.3. SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DALAM LITERATUR TERDAHULU

Special Safeguard Mechanism (SSM) merupakan isu yang sangat menarik

bagi para peneliti di bidang perdagangan internasional. Salah satu penelitian yang fokus pada SSM pada masa awal perkembangannya adalah Ruffer (2002). Pada penelitiannya, Ruffer (2002) dan Vergano mengusulkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memformulasikan SSM. Beberapa hal tersebut diantaranya

Pw+t Price Quantity Q1 Q2 Q3 Q4 Pw Demand Supply Pw’ Pw’+t+t’

(22)

adalah: perlunya untuk menghilangkan persyaratan pembuktian terjadinya dampak negatif akibat adanya serbuan impor; penerapan SSM dengan jangka waktu yang pendek; tidak adanya kewajiban untuk memberikan kompensasi bagi negara yang terkena dampak negatif akibat diterapkannya SSM; tidak perlunya persyaratan untuk merubah regulasi nasional untuk menerapkan SSM; penerapan SSM tidak boleh dilakukan bersamaan dengan penerapan hambatan perdagangan yang lain; dan pelaporan penerapan SSM kepada CoA (WTO Committee on Agriculture) dan review secara periodik. Selain itu Ruffer dan Vergano (2002) juga mengusulkan beberapa poin penting yang harus segera disepakati terkait dengan penerapan SSM, yakni:

country coverage; product coverage; triggers; safeguard measures; dan timescale.

Didalam perkembangannya sebagian besar temuan dan rekomendasi dari penelitian ini digunakan dalam teknis pelaksanaan SSM.

Grant dan Meilke (2005) menganalisis dampak penerapan SSM pada komoditas gandum. Penelitian ini berfokus pada stabilitas pasar dan kesejahteraan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah partial equilibrium

model untuk sektor gandum dengan memanfaatkan data dari 38 negara dimana 32

negara diantaranya memiliki posisi sebagai net-importer. Grant dan Meilke (2005) mengestimasi dampak dari Mr. Harbinson draft text yang disirkulasikan pada bulan Maret 2003 dan proposal dari Amerika Serikat (Swiss-25) jika kebijakan tersebut diterapkan. Secara umum hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa SSM dapat mengakibatkan distorsi perdagangan namun dalam skala yang tidak tergolong parah. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa penerapan SSM hanya mengakibatkan biaya ekonomi kurang dari 20 persen dari keuntungan yang diperoleh dunia dengan adanya SSM tersebut. Selain itu penelitian ini juga menghasilkan beberapa temuan penting lainnya, yakni: potensi pemanfaatan SSM akan meningkat seiring dengan meningkatnya liberalisasi perdagangan dan jatuhnya harga domestik; Negara yang memiliki pendapatan rendah terancam akan menerima dampak negatif dari penerapan SSM yang ditunjukkan dengan turunnya surplus konsumen; dan kebijakan SSM diprediksi mampu menstabilkan nilai import khususnya pada Negara dengan tingkat pendapatan yang rendah.

Sawit et al. (2006) menganalisis penerapan proposal G-33 yang terkait dengan SSM untuk kasus Indonesia. Merujuk pada penerapan fasilitas perlindungan perdagangan yang diterapkan sebelumnya, yakni SSG, Sawit et al. (2006) menunjukkan bahwa fasilitas SSG tersebut tidak sesuai digunakan oleh Indonesia karena: (i) rata-rata harga impor yang dijadikan sebagai harga referensi akan memperkecil peluang Indonesia untuk menggunakan mekanisme SSG dalam melindungi pasar domestik; (ii) parameter atau konstanta yang digunakan dalam

(23)

formula SSG dalam menentukan tambahan tariff menghasilkan tambahan tariff yang tidak memadai untuk mengatasi penurunan harga. Selain itu, temuan penting lainnya yang dipaparkan pada Sawit et al. (2006) diantaranya adalah besarnya persentase perubahan volume impor komoditas pertanian jauh lebih fluktuatif dengan rentang yang jauh lebih besar dan persentase yang lebih tinggi; penerapan SSG yang tidak efektif dikarenakan remedy yang dapat diterapkan dalam mekanisme SSG relatif rendah bila dibandingkan dengan bound tariff komoditas pertanian secara umum.

Jika proposal SSM dari negara-negara yang tergabung dalam G-33 diterapkan maka dapat ditunjukkan bahwa Indonesia mengalami serbuan impor dan kejatuhan harga pada periode 1996 sampai dengan 2005 untuk komoditas pangan, khususnya pada komoditas beras, jagung, gula, daging sapi, pisang, dan daging unggas. Selama data yang digunakan adalah data bulanan (berdasarkan proposal SSM G-33) maka penerapan SSM jika diperlukan akan dapat dilakukan sesegera mungkin dan masalah keterlambatan penerapan seperti yang dialami pada fasilitas SSG dapat dihindari. Selain itu mekanisme SSM berdasarkan proposal negara-negara G-33 secara teknis jauh lebih mudah dan simple.

Terkait dengan adanya berbagai usulan mekanisme SSM dari berbagai pihak, Hutabarat dan Rahmanto (2006) memandang bahwa SSM merupakan fasilitas yang sangat penting untuk terus diperjuangkan oleh Negara berkembang guna melindungi pasar domestik Negara yang bersangkutan. Negara berkembang harus dapat segera merumuskan komponen-komponen dari SSM, yakni yang berkaitan dengan kerangka penerapan SSM dan Instrumen/Alat dalam penerapan SSM. Yang dimaksud dengan kerangka pada hasil penelitian ini mencakup hal-hal yang sebagian telah diungkapkan oleh Ruffer (2002), diantaranya adalah SSM seharusnya tidak dibatasi pada keadaan dan jumlah produk tertentu; mekanismenya haruslah sederhana dan efektif; tidak mensyaratkan pembuktian kerugian; tidak menuntut adanya kompensasi untuk Negara yang menerima dampak negatif akibat penerapan SSM; penggunanya bersifat tetap; dan alat SSM-nya dapat berupa tariff bea masuk yang tinggi dan pembatasan impor. Terkait dengan alat/instrument yang harus dimiliki oleh SSM, Hutabarat dan Rahmanto (2006) menekankan beberapah hal penting, yakni pemicu penerapan SSM dapat berupa peningkatan jumlah impor atau penurunan harga domestik yang terjadi secara tiba-tiba; harga acuan yang dipakai adalah c.i.f dalam mata uang yang digunakan dalam perdagangan; apabila nilai impor lebih besar daripada tren-nya atau harga lebih rendah daripada tren-nya maka pemberlakuan bea masuk tambahan atau pembatasan kuota impor dapat dilakukan.

Sharma (2006) membandingkan berbagai alternatif dalam penentuan trigger

(24)

harga dibandingkan beberapa alternatif yakni penggunaan fixed reference prices

dengan 3 alternatif harga rata-rata (periode 1992-1994, 1995-2004 dan olympic

average pada periode 1986-2004) dan rolling reference prices yakni dengan

menggunakan 3 year moving average (MA-3) dan 5 year moving average (MA-5). Sedangkan untuk penentuan trigger dengan berdasarkan volume impor dibandingkan pendekatan 3 year moving average (MA-3), fixed period reference

import level pada periode 1992-1994, dan “higher of two” reference.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa MA-3 dan MA-5 merupakan ukuran yang cukup tepat untuk menentukan trigger yang berdasarkan harga. Diantara kedua pilihan ini, MA-5 terbukti cukup efektif mengatasi penurunan harga komoditas dunia. Selain itu, MA-5 juga akan memberikan remedy yang secara relatif lebih besar dibandingkan MA-3. Sementara itu, 3 alternatif harga rata-rata yang tetap menghasilkan output yang secara relatif kurang bagus dibandingkan

moving average. Untuk penentuan trigger berdasarkan volume impor didapatkan

hasil yang agak mirip dimana moving average terlihat lebih baik dibandingkan dengan 2 pendekatan lainnya.

Montemayor (2008) menganalisis potensi dampak dari draft proposal yang disirkulasikan pada bulan Mei 2008 terhadap kemampuan negara-negara dalam mengakses SSM dan pada kondisi apa SSM tersebut efektif untuk mengatasi gap antara harga barang dunia dan harga barang impor. Pada penelitian tersebut dikembangkan berbagai model simulasi dengan memanfaatkan data bulanan dari 27 komoditas pertanian dari 6 negara berkembang termasuk didalamnya Indonesia untuk periode 2000 sampai dengan 2005. Hasil dari simulasi pada penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan threshold, penentuan periode berlakunya remedy,

dan cross check terbukti memiliki dampak yang relatif lebih besar terhadap tingkat

akses negara terhadap SSM dan efektifitas dari SSM tersebut dibandingkan dengan tingkat dari remedy itu sendiri. Hal ini mengimplikasikan bahwa negara berkembang dapat mengurangi fokus negoisasinya tidak lagi kepada tingkat remedy melainkan pada hal-hal lainnya.

Diskusi dan perdebatan tentang konsep SSM terus berlanjut dan pada bulan Juli 2008 telah disirkulasikan kembali revisi ketiga atau yang dikenal dengan

Chairman Falconer’s third modalities text. Isi dari dokumen ini menunjukkan bahwa

anggota WTO telah mencapai beberapa konsensus yang terkait dengan hal teknis dari SSM, kecuali yang terkait kemungkinan negara berkembang dalam menerapkan tariff di atas tingkat yang disetujui pada sebelum Putaran Doha. Grant dan Meilke (2008) menganalisis hal tersebut dan melihat dampaknya terhadap negara berkembang. Pada penelitian tersebut diestimasi dampak yang akan diterima oleh

(25)

negara berkembang untuk 3 kondisi yang ditunjukkan oleh tiga skenario pada model simulasi. Ketiga skenario tersebut adalah pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli; pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli yang dikombinasikan dengan batasan tariff sesuai kesepakatan anggota WTO sebelum putaran Doha; dan pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli dan dimungkinkannya peningkatan tariff yang lebih besar daripada batasan tariff yang telah disepakati anggota WTO pada sebelum putaran Doha.

Hasil dari analisis Grant dan Meilke (2008) menunjukkan bahwa penerapan Paket Juli diprediksi hanya akan mengakibatkan welfare loss yang kecil, khususnya bagi developing dan least developed countries. Selanjutnya jika penerapan Paket Juli tersebut dikombinasikan dengan kebijakan batasan tariff sesuai kesepakatan anggota WTO sebelum putaran Doha maka diprediksi akan mengakibatkan welfare loss perekonomian dunia sebesar US$ 204 juta. Welfare loss akan meningkat sedikit jika Negara berkembang dimungkinkan untuk menerapkan SSM dan dapat meningkatkan tariff yang lebih besar daripada batasan tariff yang telah disepakati anggota WTO pada sebelum putaran Doha. Studi tersebut menunjukkan bahwa penerapan SSM yang disertai mekanisme peningkatan tariff yang melebihi batasan yang telah disepakati pada sebelum putaran Doha hanya akan menimbulkan welfare loss yang kecil, sehingga tidak menjadi hal yang terlalu mengkhawatirkan jika diterapkan. Negara anggota WTO khususnya negara maju seharusnya mempertimbangkan hal tersebut sehingga kesepakatan perdagangan untuk produk pertanian dapat segera tercapai.

Selain dari diskusi mengenai metode perhitungan apa yang relatif lebih tepat dalam menghitung trigger SSM, beberapa penelitian menunjukkan berbagai kelemahan dari SSM dalam melindungi kepentingan negara berkembang. Finger (2009) menunjukkan bahwa kebijakan SSM dapat menimbulkan kebijakan yang salah, dimana negara dapat menerapkan SSM pada komoditi yang seharusnya tidak di SSM dan juga sebaliknya dimana komoditi yang seharusnya mendapat SSM justru tidak mendapatkan perlindungan karena statistic masih di bawah trigger yang ditetapkan. Salah satu contoh yang cukup menarik dipaparkan pada penelitian tersebut adalah kasus Indonesia. Jika berdasarkan statistik maka banyak sekali produk yang seharusnya mendapatkan SSM, namun jika itu diterapkan maka akan berdampak negatif terhadap petani domestik dikarenakan tipikal petani Indonesia yang cenderung net-consumer. Keterbatasan lain yang ada pada konsep SSM yang saat ini diajukan adalah jika perhitungan trigger didasarkan pada volume, maka terdapat kemungkinan trigger tersebut menjadi terlalu tinggi dan terlalu telat (South Centre, 2009). Selain itu, South Centre (2009) juga menekankan bahwa remedy

(26)

yang diusulkan saat ini masih terlalu rendah dan belum mampu untuk mengatasi serbuan barang impor, baik itu untuk price-based SSM dan volume-based SSM. Hertel et.al (2010) menambahkan kekurangan lain dari SSM yakni kemungkinannya dalam meningkatkan tekanan terhadap volatilitas harga domestik akibat output domestic yang terlalu rendah dan harga yang tinggi dibandingkan dengan fungsi utamanya sebagai stabilator harga.

2.4. Definisi Non Tariff Barrier (NTB)

Secara umum definisi hambatan non-tarif atau NTB mengacu pada berbagai intervensi kebijakan selain tarif yang pada akhirnya mempengaruhi dan mendistorsi perdagangan barang, jasa, dan faktor-faktor produksi (Beghin, 2006). Bentuk umum dari NTB dapat berupa aturan perdagangan spesifk di pasar domestik dan kebijakan khusus seperti kuota impor, sukarela pembatasan ekspor (voluntary export restraints), pembatasan intervensi negara-trading, subsidi ekspor, countervailing duty, hambatan teknis perdagangan, kebijakan sanitary dan phytosanitary (SPS), aturan asal, dan skema kebutuhan konten domestik. Dari keberagaman bentuk NTB ini, diskusi yang berkembang dalam literatur pada akhirnya mencoba melakukan klasifikasi atau taksonomi atas jenis-jenis NTB.

Taksonomi dari NTB, selain berasal dari jenis spesifik NTB juga termasuk kebijakan makro yang dapat mempengaruhi perdagangan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada satupun penggolongan atau taksonomi NTB yang sempurna atau lengkap, karena suatu NTB seringkali didefinisikan dengan konsep yang tidak dicakup oleh definisi yang sudah ada (Deardorff dan Stern, 1998 dalam Beghin, 2006).

2.5. Taksonomi NTB

Deardorff dan Stern (1998) mengusulkan taksonomi NTB terdiri dari lima jenis. Jenis pertama meliputi NTB yang sifatnya kuantitatif dan hambatan yang terkait dengan tipe NTB ini. Contoh praktek NTB yang masuk kategori ini adalah impor kuota dan hambatan administrasinya (perizinan, pelelangan, dan lainnya); batasan ekspor dan larangan impor (ban); pembatasan ekspor sukarela, batas maksimal impor tetapi dikelola oleh eksportir; kontrol devisa yang berdasarkan lisensi; embargo; konten domestik dan persyaratan pencampuran konten yang memaksa penggunaan komponen lokal dalam produk akhir; diskriminatsi perjanjian perdagangan dan aturan asal; dan countertrade, seperti barter dan pembayaran in kind.

Jenis kedua mencakup biaya selain tarif dan kebijakan terkait yang dapat mempengaruhi impor. Kategori ini meliputi pungutan yang dibebankan saat harga mencapai batas ambang atau tingkat acuan tertentu; persyaratan deposito awal

(27)

pada impor, anti-dumping dan countervailing duty yang dikenakan pada barang masuk yang diduga diekspor "di bawah biaya" atau dengan bantuan subsidi ekspor yang diberikan oleh pemerintah mitra, dan seperti pajak pertambahan nilai yang terkadang secara asimetris dikenakan atas barang impor relatif terhadap barang domestik.

Jenis ketiga cakupannya lebih luas, meliputi semua berbagai bentuk kebijakan pemerintah,termasuk kebijakan makro-ekonomi. Kategori misalnya dalam bentuk partisipasi langsung pemerintah dalam perdagangan melalui institusinya dan dukungan negara pada bentuk aktivitas monopoli dan monopsoni; kebijakan pemerintah untuk pengadaan barang dengan preferensi domestik, dan kebijakan yang pro perusahaan dalam negeri yang terkait subsidi dan bantuan.

Selain itu, jenis ketiga dari NTB juga mencakup kebijakan makro ekonomi dan nilai tukar, kebijakan persaingan, kebijakan investasi asing langsung; kebijakan perpajakan nasional dan kebijakan jaminan sosial nasional, termasuk kebijakan imigrasi. Dari ilustrasi singkat tentang bentuk-bentuk NTB tersebut dapat dikatakan bahwa definisi NTB pada akhirnya tergantung pada konteks kebijakan yang dilakukan.

Dua kategori terakhir terkait dengan prosedur kepabeanan dan administrasi, dan hambatan teknis perdagangan atau technical barriers to trade (TBT), yang menjadi isu sentral dalam taksonomi NTB. Jenis pertama meliputi metode penilaian kepabeanan yang berbeda dengan penilaian impor yang sebenarnya; klasifikasi kepabeanan yang berbeda dari sistem klasifikasi internasional yang sering ditujukan untuk menarik pungutan; dan prosedur customs clearance, seperti pemeriksaan dan dokumentasi yang menciptakan biaya tambahan. Sedangkan hambatan teknis untuk perdagangan atau dikenal sebagai TBT berkaitan dengan kesehatan,sanitasi, perlindungan hewan, dan peraturan lingkungan; standar mutu; keselamatan dan standar industri, kemasan dan peraturan pelabelan dan media lain/peraturan periklanan.

Terkait dengan kompleksitas dan keragaman jenis NTB, studi ini memilih fokus dari jenis NTB untuk studi kasus Indonesia pada aspek kategori keempat khususnya terkait dengan hambatan yang sifatnya teknis (TBT). Hal ini didasarkan informasi awal pada kegiatan pra survey lapangan untuk komoditas sektor otomotif, elektronik, pertanian dan kakao yang mengindikasikan dominannya jenis NTB ini pada komoditas fokus dari studi ini.

(28)

Secara umum dapat dikatakan bahwa mengukur hambatan non tarif bukanlah sesuatu yang mudah. Menurut (Fukao, Kataoka, & Kuno, 2003) terdapat empat metode pengukuran NTB. Pendekatan pertama adalah teknik menghitung perbedaan antara harga impor dan harga domestik yang dikenal price wedge atau price differential. Teknik ini menghitung ukuran NTB sebagai selisih antara kedua harga di setiap tingkat sub agregasi komoditas dan mengurangkan tarif pada komoditas ini dari selisih tersebut. Seperti dikutip dalam Fukao et al. (2003) pendekatan ini pernah dipergunakan untuk mengestimasi besaran NTB di Jepang oleh Sazanami, Urata, dan Kawai (1995), Kataoka dan Kuno (2003), di Korea oleh Kim (1995), di Cina oleh Shuguang et al. (1999), di Uni Eropa oleh Messerlin (2001).

Pendekatan ini, meskipun terkesan paling mudah untuk dihitung, memiliki dua kelemahan. Kelemahan pertama adalah terkait dengan kualitas. Komiya and Negishi (1998) dalam Fukao et al. (2003) mengkritisi bahwa ukuran NTB yang didapatkan dengan teknik price differential ini hanya akan valid apabila dipastikan kesamaan kualitas antara barang impor dan barang domestik yang dibandingkan harganya. Apabila kualitas antara kedua barang tidak identik, maka ukuran NTB menjadi kurang bermakna. Kelemahan kedua terkait dengan ketidakmampuan pendekatan ini untuk menangkap pola NTB berupa kebijakan bantuan non-tarif seperti subsidi yang diberikan kepada produksi domestik, serta efek dari margin biaya perdagangan dan biaya transportasi antar negara terkait barang impor. Pada akhirnya, efek NTB yang hendak diukur menjadi bias atau tidak terungkap. Namun, jika dikehendaki teknik ini sebagai alat analisis sebatas untuk identifikasi awal ada atau tidaknya NTB, pendekatan ini masih dapat dipergunakan dengan mengurangkan tarif(jika ada) dalam perbedaan harga tersebut. Tentunya masih dengan asumsi, inklusif atas trading dan transportation cost.

Pendekatan kedua, mirip dengan pendekatan pertama yaitu menghitung selisih harga namun dengan mempergunakan perbedaan antara harga domestik dan harga di negara mitra (Jetro, 2000 dalam Fukao et al. 2003). Namun sayangnya terkait dengan harga di negara mitra atau dikenal dengan basis data purchasing power parity (PPP) tidak banyak tersedia. Selain itu, relatif sulit untuk mengisolasi efek perbedaan dari pengaruh biaya distribusi dan margin biaya perdagangan antara negara. Selain itu, dengan pendekatan ini juga sulit untuk memisahkan antara hambatan tarif dan NTB.

Pendekatan ketiga adalah pendekatan yang mempergunakan teknik ekonometrika dan memperkiraan besaran NTB melalui gravity model. Dalam pendekatan ini, error yang tidak dapat dijelaskan dalam model diperlakukan sebagai besaran hambatan (tarif dan non-tarif), seperti yang dilakukan oleh Yoon (2001) dan

(29)

Harrigan (2003) dalam Fukao et al. (2003). Selain itu ada pertimbangan atas berbagai faktor lain selainNTB yang menjelaskan besaran error seperti impor dari luar negeri afiliasi. Selain itu terdapat kritik bahwa estimasi ini sulit dilakukan karena masalah ketersediaan data pada tingkat sub agregat suatu komoditi, sedangkan pada tingkat agragatif sifat NTB akan berbeda-beda sehingga estimasi menjadi tidak lagi valid.

2.7. Estimasi Empiris Model Gravity: Inklusif Border Effect, Tarif Dan NTB Salah satu studi terkini yang mencoba menghitung efek NTB terhadap kinerja perdagangan bilateral dengan basis model graviti untuk efek perbatasan dan perbedaan harga adalah (Chevassus-Lozza, Latouche, & Majkovic, 2007) yang mendasarkan pada pendekatan yang dibuat oleh Anderson dan van Wincoop (2003). Dalam melakukan uji empiris, Chevassus-Lozza, et al.(2007) tidak mempergunakan nilai volume perdagangan sebagai komponen di sebelah kiri model graviti, namun yang dipergunakan adalah koefisien perdagangan bilateral relatif yang diformulasikan sebagai:

𝑅𝐼𝑖𝑗𝑘 =

𝑥𝑖𝑗𝑘⁄𝑚𝑗𝑘 𝑥𝑖𝑘⁄𝑌𝑤𝑘 Dimana:

𝑥𝑖𝑗𝑘 = nilai nominal ekspor barang k dari i ke j 𝑚𝑗𝑘 = pengeluaran total negara j untuk komoditas k 𝑥𝑖𝑘 = total ekspor negara i untuk komoditas k 𝑌𝑤𝑘 = nilai total perdagangan dunia untuk barang k

Adapun definisi persamaan operasional yang dipergunakan oleh Chevassus-Lozza, et al.(2007) yang akan diadopsi dalam studi ini ditunjukkan oleh spesifikasi

persamaan berikut. ln(𝑅𝐼𝑖𝑗𝑘) = 𝛼0𝑙𝑛 𝑃𝑖𝑘 𝑃𝑗𝑘+ 𝛼1𝑙𝑛𝜑𝑖𝑘 + 𝛼2𝑙𝑛𝑑𝑖𝑗+ 𝛼3𝐵𝑖𝑗+ ∑ 𝛼𝑖 4𝑇𝑖+ ∑ 𝛼𝑖 5𝑁𝑇𝐵𝑖+ 𝜀𝑖𝑗𝑘 Dimana 𝑃𝑖𝑘

𝑃𝑗𝑘 = perbandingan harga relatif komoditas k terhadap indeks harga umum di negara j

𝜑𝑖𝑘 = indeks CES dari tingkat daya saing negara i di dunia 𝑑𝑖𝑗 = jarak antara i dan j

𝐵𝑖𝑗 = efek perbatasan antara i dan j, model ini mengadopsi variabel kesamaan tertentu seperti bahasa dan sejarah koloni dalam bentuk dummy

𝑇𝑖 = tarif i 𝑁𝑇𝐵𝑖 = non-tarif i

(30)
(31)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama 11 (sebelas) bulan di tahun 2010. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder dan selanjutnya hasil pengolahan data sekunder dilakukan verifikasi dengan kegiatan turun lapang.

3.2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder dikumpulkan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian Republik Indonesia untuk 10 komoditi terpilih. Data primer digunakan untuk memberikan gambaran riil tentang bagaimana para pelaku bisnis dan pembuat kebijakan memandang kondisi impor saat ini dan penting atau tidaknya penerapan SSM sebagai salah satu upaya proteksi. Data primer yang dianalisis hanya mencakup kasus kota Medan dan dikumpulkan seiringan dengan kegiatan

Focus Group Discussion (FGD).

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Statistika Deskriptif

Metode statistika deskriptif digunakan untuk menggambarkan data yang telah dikumpulkan. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode ini sehingga dapat diperoleh gambaran karakteristik responden dan faktor yang berpengaruh terhadap kemauan lembaga keuangan dalam menyalurkan kredit perumahan. Data dapat disajikan dalam bentuk tabulasi (seperti tabulasi tunggal dan tabulasi silang), charts, dan diagram.

Metode tabulasi silang (cross-tabulation) adalah metode statistika yang merangkum data dengan dua atau lebih variabel secara bersamaan. Terkadang metode ini juga menggunakan cara deskriptif sederhana untuk melihat apakah ada hubungan antara dua buah variabel. Tabulasi silang biasanya menggunakan tabel yang di dalamnya terdapat dua atau lebih variabel bebas dan takbebas. Setiap sel pada tabel ini berisi jumlah responden yang memberikan sebuah kombinasi informasi yang lebih spesifik. Oleh karenanya, setiap sel mengandung sebuah tabulasi silang tunggal (single cross-tabulation). Pada intinya, penggunaan metode ini adalah untuk memberikan solusi dari suatu masalah dengan menampilkan kombinasi dari variabel dan menganalisis variabel bebas dan takbebas.

(32)

Penggunaan metode tabulasi silang seringkali dijumpai dalam penelitian karena metode ini mudah untuk dimengerti bagi kebanyakan orang yang memiliki keterbatasan pengertian dalam ilmu hitung. Selain itu metode ini juga dapat digunakan untuk berbagai jenis tipe data baik berupa data nominal, ordinal, interval maupun rasio. Dengan demikian, tabulasi silang dapat digunakan jika salah satu variabel bersifat kualitatif dan lainnya kuantitatif ataupun jika keduanya bersifat kualitatif dan sebaliknya.

3.3.2. Statistical Quality Control

Statistical Quality Control (SQC) merupakan suatu pendekatan statistik yang

digunakan oleh profesional untuk melakukan penilaian dan pemantauan terhadap capaian kualitas dari suatu komoditas dan sekaligus mengidentifikasi permasalahan kualitas dari suatu komoditas dan proses dalam menghasilkan komoditas tersebut. Secara umum, alat statistik yang digunakan dalam SQC adalah descriptive statistics,

statistical process control (SPC) dan acceptance sampling. Diantara ketiga alat ini,

SPC merupakan pendekatan yang paling sering digunakan karena juga mampu untuk mengidentifikasi perubahan atau variasi dari karakter kualitas suatu produk atau proses produksinya. Analisa terhadap variasi kualitas produk tersebut pada akhirnya akan mampu memberikan informasi tentang ada tidaknya produk yang tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan dan ketidakkonsistenan dari tingkat kualitas berdasarkan data sampel yang digunakan. Atas dasar penjelasan inilah peneliti melihat adanya kesamaan tujuan dari statistical quality control dengan SSM yakni mengidentifikasi ada tidaknya suatu kondisi yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan pendekatan ini diharapkan dapat memberikan suatu komparasi metode perhitungan trigger dari SSM. Selain itu, alasan menggunakan SQC sebagai metode adalah atas dasar kemudahan pengoperasian atau perhitungan yang merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam prasyarat metode yang digunakan dalam perhitungan trigger SSM.

Analisa dengan menggunakan SPC selanjutnya akan kita fokuskan kepada penggunaan control chart yakni suatu chart yang mampu menunjukkan apakah sampel yang dianalisis berada pada variasi yang normal atau tidak. Dalam kasus impor, jika data impor tidak berada pada variasi normal maka dapat diasumsikan bahwa pada periode tersebut telah terjadi lonjakan impor. Setiap control chart

memiliki batas atas (upper control limit/UCL) dan batas bawah (lower control

limit/LCL) yang membatasi wilayah range dari nilai impor yang masih dapat

diakomodasi. Gambar 3. memperlihatkan bagaimana gambaran control chart yang akan digunakan dalam penelitian ini.

(33)

Gambar 3. Komponen Control Chart

Jika merujuk kepada rule of thumb yang sering digunakan, batas bawah dan batas atas yang digunakan adalah ± 3 standar deviasi dari nilai mean. Standar deviasi merupakan suatu ukuran variasi yang diformulasikan sebagai berikut:

2 1 1 n i i x x n

   

(1) Dimana:

: standar deviasi dari sampel x : rata-rata

i

x

: observasi ke-i

n

: jumlah observasi dalam sampel

Nilai standar deviasi yang kecil menunjukkan bahwa observasi yang dianalisa berada di sekitar nilai rata-rata sampelnya. Jika diasumsikan bahwa data yang digunakan memiliki sebaran normal maka batasan range ini akan menangkap 99.74 persen dari variasi normalnya. Namun jika kita menetapkan bahwa batasan yang digunakan adalah ± 2 standar deviasi, maka control limit tersebut akan menangkap 95.44 persen dari variasi normalnya. Penjelasan dari konsep ini secara lebih detail dapat dilihat pada Gambar 4.

(34)

Gambar 4. Persentase Nilai Sebaran yang Mampu Ditangkap Oleh Cakupan Standar Deviasi yang Berbeda

Control chart memiliki tipe yang bermacam-macam, namun yang paling

umum digunakan adalah sample mean chart, sample range chart dan proportion

defective chart. Sample mean chart digunakan untuk memonitor perubahan dari nilai

rata-rata untuk setiap observasi. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam membuat sample mean chart adalah dengan menghitung rata-rata dari sampel terlebih dahulu, dengan mengikuti rumus:

1 n i i

x

x

(2)

Setelah didapatkan nilai rata-ratanya maka langkah selanjutnya adalah menentukan batas atas (upper control limit/UCL) dan batas bawah (lower control

limit/LCL), yakni

UCL x z

(3) LCL x z

(4)

Dimana z merupakan variabel standar normal dengan pilihan nilai 2 untuk 95.44 persen tingkat confidence dan 99.74 persen tingkat confidence. Alternatif lainnya dalam membuat control chart adalah dengan menggunakan range untuk mengestimasi variabilitas dari obsevasinya. Cara perhitungannya hampir mirip dengan persamaan 3.3. dan 3.4. yakni:

UCL x AR (5)

(35)

LCL x AR (6)

Dimana A adalah nilai Z untuk control chart dan

R

adalah nilai rata-rata Range dari sampel yang digunakan.

3.3.3. Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah Metode pengambilan keputusan dengan cara memecah suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompok – kelompok, dan mengaturnya kedalam suatu hirarki yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Metode AHP dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan prioritas sebuah permasalahan atau kebijakan.

Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi hasil yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada pertimbangan yang telah dibuat(Saaty, 1993).

Dengan kata lain, AHP adalah salah satu bentuk model pengambilan keputusan yang menggunakan presepsi manusia yang dianggap ahli (orang yang mengerti permasalahan yang diajukan atau orang yang mempunyai kepentingan terhadap isu atau permasalahan yang diajukan) sebagai input utamanya. Kelebihan model AHP dibandingkan model pengambilan keputusan lainnya terletak pada kemampuan memecahkan masalah yang multiobjectives dan multicriterias.

Dalam konteks NTB, AHP menjadi salah satu instrumen pengganti yang

reliable dalam mengidentifikasi jenis atau kategori dari NTB yang dominan dihadapi

oleh eksportir komoditas empat sampel. Hal ini dilakukan dengan cara menggali persepsi tingkat pentingnya masing-masing NTB dari para ahli dalam hal ini pemangku kepentingan dari empat komoditas tersebut.

Secara praktis, AHP dilakukan dengan membandingkan satu variabel dengan variable lainnya. Misal untuk membandingkan antara A dengan B. Maka penggunaan skala perbandingan yang lazim dipergunakan adalah sebagai berikut:

1. Bila kedua elemen sama penting, misalnya beri nilai 1, artinya bahwa kedua elemen tersebut (A dan B) mempunyai tingkat kepentingan yang sama. 2. Bila elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding yang lain dalam

mempengaruhi elemen diatasnya, beri nilai 3, artinya terdapat pertimbangan atau pengalaman yang mendukung bahwa satu elemen dianggap sedikit lebih penting dibanding elemen lainnya. Bila A dianggap sedikit lebih penting, maka dikatakan kesehatan 3 kali lebih penting daripada B.

3. Bila elemen yang satu lebih penting dibanding yang lain, beri nilai 5, artinya terdapat pertimbangan atau pengalaman bahwa satu elemen dianggap lebih

Gambar

Tabel 2. Neraca Perdagangan Sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan (2005- (2005-2008)
Tabel 4. Tiga Tipe Safeguard Untuk Komoditas Pertanian
Gambar 1. SSM dalam Kerangka Putaran Doha
Gambar 2. SSM dalam Kerangka Teoritis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan volvulus pada gaster, manifestasi klinis yang khas dari Berbeda dengan volvulus pada gaster, manifestasi klinis yang khas dari volvulus sekum adalah tanda tanda

Parties should provide submissions, and hold workshops before Durban, on mid and long term sources of funding – including supplementary innovative sources, such as bunker

Industrindo mengalami pengembalian aset terhadap modal yang paling baik pada tahun 2011 dikarenakan laba bersih yang meningkat dibandingkan tahun 2012.. Analisa

Dengan demikian, frekuensi latihan 4 kali satu minggu mempunyai pengaruh yang lebih baik pada kelompok sampel yang memiliki daya ledak tungkai tinggi, dibandingkan

Peningkatan Penguasaan Kosa Kata Bahasa Sunda Anak Taman Kanak-Kanak Dengan Menggunakan Media Foto.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Hasil penelitian tentang rancangan e-katalog pada Badan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Daerah Lampung akan mempermudah pihak perpustakaan khususnya pengelola

Arus kas PT Indosat Tbk yang positif berarti laba bersih PT Indosat Tbk cukup untuk membiayai pengeluaran modal atau investasi dan perubahan modal kerja non kas.Selain itu arus kas

Suyanik (2010) menyimpulkan bahwa dalam pembelajaran siswa yang berkemampuan awal tinggi cenderung memperoleh hasil belajar yang lebih baik dibanding siswa