145
Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum
Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/gakkum
Perlindungan Terhadap Perempuan Korban Prostitusi Online
Women Protection Victims Prostitution Online
Arie Benedict Pardede
Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Indonesia
Diterima:04 September 2020; Direview: 18 November 2020; Disetujui: 16 Desember 2020 *Coresponding Email: Benedictarie@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui. Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan dan melawan hukum. Masalah difokuskan pada ketentuan pidana tentang prostitusi online di Indonesia, aspek perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban dari tindak pidana prostitusi online, kebijakan pemerintah daerah dalam perlindungan perempuan korban tindak pidana prostitusi online. dalam permasalahan ini digunakan pendekatan teori perlindungan hukum dan teori kebijakan kriminal. Data dikumpulkan melalui metode penelitian hukum yuridis normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan menggunakan pendekatan perundang-undangan mengenai hukum pidana perempuan korban prostitusi online dan dianalisis secara kualitatif. Kajian ini menyimpulkan bahwa Diperlukannya sebuah undang-undang baru yang memperhatikan korban, dengan membentuk peraturan yang dapat menjerat pengguna jasa prostitusi online. Peran kepolisian dan hakim untuk memberikan hak restitusi dan rehabilitasi terhadap korban TPPO hal tersebut sangatlah penting upaya mengembalikan rasa aman terhadap korban TPPO. Peran serta pemerintah daerah khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui dinas perlindungan perempuan dan anak merespon persoalan pembaruan hukum dengan mengeluarkan peratuaran daerah tentang perlindungan perempuan dan anak dari tindakan kekerasan tidaklah cukup karena pemerintah lebih terkesan pasih dalam bentuk pelayanannya.
Kata Kunci: Perdagangan Manusia; Sarana Prostitusi; Perlindungan Perempuan.
Abstract
This research aims to find out. Prostitution in Indonesia is considered a crime against decency and against the law. The issue is focused on the criminal provisions on online prostitution in Indonesia, aspects of legal protection against women as victims of online prostitution crimes, local government policies in the protection of women victims of online prostitution crimes. in this matter is used approach to legal protection theory and criminal policy theory. The data was collected through normative juridical legal research methods, where the approach to the problem uses a statutory approach to the criminal law of women victims of online prostitution and is analyzed qualitatively. The study concluded that a new law would be needed to take care of victims, by establishing regulations that could ensnare users of online prostitution services. The role of the police and judges to provide restitution and rehabilitation rights to TPPO victims is very important efforts to restore security for TPPO victims. The participation of local governments, especially the Provincial Government of North Sumatra through the women's and children's protection services responded to the issue of legal reform by issuing regional regulations on the protection of women and children from acts of violence is not enough because the government is more impressed pasih in the form of its services.
Keywords: Human Trafficking; Means Of Prostitution; Women Protection.
How to Cite: Pardede, A. B. (2020). Perlindungan Terhadap Perempuan Korban Prostitusi Online, Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, 7 (2) 2020 : 145-168
146
PENDAHULUAN
Perdagangan perempuan dan anak (traficking) telah lama terjadi di muka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Di masa lalu, perdagangan anak dan perempuan hanya dipandang sebagai pemidanaan secara paksa keluar negeri untuk tujuan prostitusi. Jumlah konvensi terdahulu mengenai perdagangan hanya memfokuskan aspek ini. Namun seiring
dengan perkembangan zaman,
perdagangan didefenisikan sebagai pemidanaan, khususnya perempuan dan anak dengan atau tanpa persetujuan orang yang bersangkutan di dalam suatu negara atau keluar negeri untuk semua perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi (Mozasa, 2005)
Salah satu faktor yang mendorong terjadinya trafiking adalah faktor kemiskinan yang cenderung dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan bisnis, dimana korban diperjual belikan bagaikan barang yang tidak berharga melalui tipu muslihat. Jika ditinjau dari aspek hukum, sindikat seperti ini sudah masuk area tindak pidana, perlakuan mereka orientasinya adalah bisnis, tanpa memikirkan bahwa perempuan dan anak merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang perlu dilindungi dan mempunyai harga diri sebagai pemangku hak dan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 UU NO. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Pemeritahan Indonesia telah melahirkan Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014. dan telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Right on the Child) melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 Lembaran Negara Nomor 57. Dalam hal ini Pemerintah Daerah Sumatera Utara telah selangkah lebih maju dengan membuat Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan
Anak (Mozasa, 2005). Menurut pendapat Jan Materson (Komisi Ham PBB), dalam
teaching Human Right, United Nation
sebagaimana dikutip Baharudin Lopa menegaskan bahwa HAM adalah hak-hak melekat pada setiap manusia (Yanto, 2015).
Berdasarkan bukti empiris,
perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencangkup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau peraktik serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak, menjerumuskan atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau
manfaat sehingga memperoleh
persetuajuan (Yesmil dan Adang, 2010) Asal usul prostitusi di Indonesia dapat ditelusuri kembali hingga kemasa-masa kerajaan jawa dimana perdagangan perempuan pada saat itu merupakan pelengkap dari sistem pemerintahan feudal. Pada masa itu konsep kekuasaan seorang raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia. Mereka sering dianggap sebagai seorang yang berkuasa tidak hanya secara harta benda, tetapi tetapi juga nyawa hamba sahnya mereka. (Hull, dkk, 1997).
Prostitusi juga berkembang
mengikuti perkembangan zaman, adanya era teknologi informasi dan komunikasi (TIK), juga berpengaruh terhadap prostitusi itu sendiri.Teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi bagian
147
hidup yang tidak dapat dipisahkan.Bahkan bagi sebagian orang teknologi informasi dan komunikasi sudah menjadi bagian utama pelaksanaan kegiatan.Layaknya dunia nyata didalam dunia teknologi informasi dan komunikasi selain hal-hal baik banyak juga hal-hal buruk yang mengintai (Ahmadjayadi, 2007).
Prostitusi online merupakan kegiatan prostitusi atau suatu kegiatan yang menjadikan seseorang sebagai objek untuk diperdagangkan melalui media elektronik atau online, media yang digunakan seperti,
Blackberry massanger, whatsapp, dan
facebook. Prostitusi online dilakukan
dengan media karena lebih mudah, murah, praktis, dan lebih aman dari razia petugas dari pada prostitusi yang dilakukan dengan cara konvensional (Ahmadjayadi, 2007).
Pada putusan Nomor
1118/Pid.Sus/2018/PN-Mdn merupakan salah satu contoh kasus dimana prostitusi yang ditawarkan melalui media online, dimana akun twitter @ve_vemedan yang dipegang oleh Yulia Agus Tina MS Alias Yaya dan Isnawati Purba Alias Isna melakuakan transaksi prostitusi melalui media elektronik tiwitter. Yaya dan Isna selaku pemilik akun menawarkan jasa prostitusi short time dan long time dangan variasi harga yang berbeda-beda, Yaya dan
Isna menghasut dan menawakan
temannya untuk mau menjadi Pekerja seks Komersil dengan mendapatkan imbalan tertentu.
Perlindungan hukum atas kasus kekerasan terhadap perempuan belum mendapatkan perhatian yang maksimal baik dari pemerintah, masyarakat maupun aturan hukum yang ada. Sistem peradilan pidana di Indonesia belum memberikan perlindungan yang maksimal atas kasus kekerasan terhadap perempuan, maka perlu dilakukan terobosan atau pembaharuan system hukum kearah system hukum yang lebih berspektif gender, yakni system peradilan pidana
terpadu untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka permasalahan yang perlu diselesaikan adalah penerapan ketentuan pidana terhadap pelaku perdagangan manusia dalam bentuk prostitusi yang ditawarkan melalui media
online di Indonesia, aspek perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban prostitusi online pada putusan
Nomor 1118/Pid.Sus/2018/PN-Mdn,
kebijakan pemerintah daerah dalam perlindungan perempuan korban tindak pidana perdagangan orang sebgai sarana prostitusi yang ditawarkan melalui online. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan
untuk menguraikan perlindungan
terhadap perempuan korban prostitusi online ialah metode pendekatan yuridis normatif. Metode pendekatan ini dilakukan agar dapat melakukan temuan-temuan pergantian ataupun perubahan dari berbagai teori dalam disiplin ilmu hukum melalui proses ilmiah. Untuk meneliti mengenai spesifikasi penelitian menggunakan metode deskriptif analitis dengan menjelaskan, menggambarkan, serta mengkorelasikan peraturan dan teori hukum dengan permasalahan yang terjadi. Maka itu, spesifikasi penelitian ini adalah meninjau bagaimana aspek hukum
perlindungan perempuan korban
prostitusi online.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaturan Tindak pidana Prostitusi Online Pada Hukum Pidana Positif Indonesia
Adapun pengaturan pasal dalam KUHP terkait tindak pidana terhadap kesusilaan yang memuat unsur prostitusi diantaranya pasal 282 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) KUHP, Pasal 296 KUHP serta Pasal 506 KUHP. Pasal 282 ayat (1) KUHP mengatur bahwa:
148 “Barang siapa mempertunjukan atau menempelkan dimuka umum tulisan, gambaran atau benda, yang telah diketahui isinya dan yang melanggar kesusilaan; atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukan atau ditempelkan dimuka umum, membikin tulisan,
gambaran atau benda tersebut,
memasukannya kedalam negeri,
meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau mempunyainya dalam persediaan; ataupun barang siapa secaraterang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukannya sebagai bisa didapat diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau denda paling tinggi tiga ribu rupiah.”
Dalam UU ITE tidak ditemukan kata-kata prostitusi, apalagi prostitusi online. Tetapi dalam UU ITE ini mencantumkan tentang definisi Informasi Elektronik yang isinya sekumpulan data elektronik, dimana data ini menjadi salah satu isi dalam aktifitas prostitusi online.
Sementara itu pengaturan terkait tindak pidana prostitusi online dalam UU ITE disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1). Dalam pasal ini menggunakan kata-kata “muatan yang melanggar kesusilaan” yang salah satunya informasi elektronik tentang nama domain dari prostitusi online.
Dalam UU Pornografi tidak dijelaskan pula mengenai prostitusi, apalagi prostitusi online. Tetapi dalam UU ini diatur mengenai definisi dari pornografi itu sendiri. Pasal 1 angka (1) UU Pornografi mengatur bahwa:
“Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media
komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”
Khusus mengenai kegiatan yang mengarah kepada aktifitas prostitusi, ada beberapa pasal yang mengatur yakni Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) UU Pornografi.
Meskipun UU Perdagangan Orang tidak mengatur tentang tindak pidana prostitusi online, tetapi dari segi akibat perdagangan orang, salah satunya adalah terjadi aktifitas prostitusi baik online maupun konvensional. Hal ini didasarkan pada teori conditio sine qua non yang menyatakan tidak membedakan mana faktor syarat dan mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat termasuk menjadi penyebabnya. Sehingga terdapat kesinambungan sebab-akibat antara perdagangan orang dengan prostitusi (salah satunya prostitusi online). Mengenai prostitusi yang ditawarkan melalui media online dalam pengaturan Hukum positif yakni KUHP, UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Mengenai Pemidanaan yang diatur pada KUHP dan UU tersebut menerangkan pemidanaan kepada penyedia layanan saja. KUHP dan UU tersebut tidak ada yang diatur ketentuan pemidanaan terkait pengguna jasa pada tindak pidana prostitusi online. Mengetahui penjelasan pasal pada KUHP, UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Nomor 44 tahun 2008 Tentang Pornografi tidak ada berlaku khusus dalam menjerat serta mengatasi prostitusi bisnis online, mengenai pengguna jasa dalam prostitusi online sama sekali tidak ada yang mengaturnya, sehingga pengguna jasa prostitusi itu sendiri tidak bisa dijerat menurut hukum positif di Indonesia. Semestinya secara spesifik pada UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dapat menjerat subjek prostitusi itu secara keseluruhan.
149
Menanggapi prostitusi hukum diberbagai negara berbeda-beda, ada yang mengkatagorikan sebagai tindak pidana, namun ada pula yang bersikap diam dengan beberapa pengecualian, Indonesia termasuk yang bersikap diam dengan pengecualian. Pangkal hukum pidana di Indonesia adalah kitab undang-undang hukum pidana sebagai apa yang disebut hukum pidana umum (Amalia, 2016).
Mengingatkan kembali bahwa
pertanggungjawaban merupakan suatu prinsip yang mendasar di dalam hukum pidana, atau yang lebih sering dikenal
seperti asas “geen straf zonder schuld”
(tidak ada pidana tanpa kesalahan). Tetapi, apabila pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan pada diri si pelaku tindak pidana maka disebut dengan leer van het materiele feit. Sedangkan dalam KUHP tidak memberikan sebuah penjelasan mengenai apa yang dimaksud
asas “geen straf zonder schuld”, akan tetapi
asas ini dapat dikatakan sebagai asas yang tidak tertulis serta berlaku di Indonesia. Oleh karena itu, dalam sebuah pertanggungjawaban pidana terdapat dua diperhatikan, yakni tindak pidana (daad strafrecht), pelaku tindak pidana (dader straftrecht) (Aquinas, 2005)
Ketentuan hukum positif yang ada di Indonesia hanya bisa mengenakan pertanggungjawaban pidana pada mereka yang membantu serta penyedia pelayanan
seks secara illegal, artinya
pertanggungjawaban pidana hanya diberikan untuk mucikari atau germo, serta pekerja seks komersial sebaliknya tidak ada pasal yang diaturnya pengguna jasa seks komersial (Aquinas, 2005).
Pelaksanaannya penanggulangan prostitusi lebih banyak dilakukan dengan menertibkan dan menangkap wanita pekerja seks komersial yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, sedangkan laki-laki pengguna jasa seks komersialnya jarang ditangkap bahkan tidak pernah
ditangkap atau luput dari perhatian aparat penegak hukum (Aquinas, 2005).
Penegakan hukum merupakan upaya penal yang paling utama dalam mencegah dan menanggulangi prostitusi cyber baik dalam ruang lingkup nasional maupun dalam ruang lingkup transnasional.Dalam dimensi tersebut, penegak hukum telah berupaya untuk mencegah terjadinya prostitusi cyber yakni dengan melakukan patroli cyber, penyamaran, pemblokiran situs-situs mengandung muatan prostiitusi serta sosialisasi terhadap bahaya kejahatan dunia maya ini.Upaya prreventif juga dapat dilakukan pemerintah dengan menghilangkan sebab-sebab jahat dari kejahatan (abolisionistis) seperti meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, parwisata dan agen tenaga kerja.masyarakat pun diharapkan berhati-hati atas tawaran pekerjaan yang diperoleh agar jangan sampai tertipu oleh jaringan pelaku prostitusi cyber (Aquinas, 2005).
Aspek Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dari Tindakan Pidana Prrostitusi Yang Ditawarkan Melalui Media Online Dalam Putusan Nomor 1118/Pid.Sus/2018/Pn-Mdn
Perlindungan hukum menurut
Satjipto Raharjo yaitu perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara
mengalokasikan suatu kekuasaan
kepadanya untuk bertindak dalam kepentingannya tersebut. Perlindungan menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan (Raharjo, 2000)
Hasil penelusuran dari hasil jasa seks dari setiap job yang terdakwa tawarkan
150
kepada lelaki yang berminat memakai jasa seks, maka terdakwa ISNA mendapatkan fee (keuntungan) sebesar Rp. 200.000 (dua ratus ribu rupiah) yang merupakan Dp dari pelayanan short time dan terdakwa Yaya mendapatkan fee (keuntungan) sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah)
Sebagaimana perbuatan diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1e KUHP.
Berdasarkan Surat dakwan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum, terdakwa Yaya (Nama Alias) dan Isna (Nama Alias) didakwa telah melakukan tindak pidana yang melanggar Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Tindak pidana yang didakwakan kepada Yaya dan Isna terjadi dalam waktu yang bersamaan, kedua terdakwa tersebut digabungkan dalam satu surat dakwaan berdasarkan pasal 142 KUHAP. Tuntutan pidana yang diajukan oleh Penuntut Umum yang pada pokoknya sebagai berikut:
Menyatakan terdakwa YAYA dan ISNA telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak
Pidana “secara bersama-sama melakukan
tindak pidana perdagangan orang” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1e KUHP;
Menyatakan terdakwa YAYA dan ISNA dijatuhi pidana dengan pidana penjara masing-masing selama 5 (lima) tahun dikurangi selama terdakwa-terdakwa berada dalam tahanan dan denda sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) Subs 6 (enam) bulan penjara.
Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan Tindak
Pidana “secara bersama-sama melakukan
tindak pidana perdagangan orang”
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang
Nomor: 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1e KUHP, yang unsur-unsurnya sebagai berikut :
1. Unsur Setiap orang
2. Unsur perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman,
pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang, atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegangkendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi
atau mengakibatkan orang
tereksploitasi.
Menyatakan terdakwa I Yaya dan terdakwa II Isna tersebut diatas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah “secara bersama-sama
melakukan tindak pidana perdagangan orang", sebagaimana didakwakan dalam dakwaan pertama.
Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 3 (tiga) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar harus diganti dengan pidana penjara masing-masing selama 3 (tiga) bulan.
Upaya memberikan perlindungan perempuan sebagai korban prostitusi online. Hakim telah membuktikan Sebagaimana telah terpenuhinya unsur objektif (actus reus) yang terjadi dalam kasus prostitusi online yang dikaitkan
151
dengan perdagangan orang pada putusan
nomor 1118/Pid.Sus/2018/PN-Mdn
dalam Pasal 2 Undang-Undang
Pemberantasan Perdagangan orang yaitu ayat (1) setiap orang, ayat (2) melakukan
perekreutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan sesorang dengan
ancaman kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat walaupun
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain dengan
tujuan mengeksploitasi orang,
mengeksploitasi diwilayah negara Republik Indonesia.
Selanjutnya dalam putusan nomor 1118/Pid.Sus/2018/PN-Mdn hakim juga dapat membuktikan unsur subjektif (mens rea) dari terdakwa Yaya dan Isna yaitu dengan kesengajaan untuk memperoleh keuntungan secara sadar.
Namun ada yang amat disayangkan dari putusan hakim dalam putusan bahwa hakim nampaknya tidak betul betul memperhatikan hak rehabilitasi dan hak resttitusi upaya dalam memberikan perlindungan bagi korban tindak pidana perdagangan orang yang sebagai sarana prostitusi yang ditawarkan melalui media online.
Amanat pemberian rehabilitasi dan restitusi diatur di dalam Pasal 48 UU
Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan TPPO. Rehabilitasi sendiri adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Sebelum rehabilitasi
dilaksanakan sebaiknya korban
melaporkan ke kepolisian agar apabila terdapat luka-luka atau adanya kekerasan seksual dapat dimintakan visum untuk menghindari hilangnya bukti-bukti kekerasan yang dilakukan oleh pelaku
perdagangan orang. Jika kondisi korban tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan di Kepolisian (BAP/Berita Acara Pemeriksaan) maka korban atau pendamping korban (keluarga atau lembaga swadaya masyarakat) dapat meminta penjadwalan ulang setelah kondisi fisik dan psikis korban membaik. Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam
Perlindungan Perempuan Korban
Prostitusi Online
Suatu kebijakan yang rasional untuk menanggulangi kejahatan disebut dengan politik kriminal yang lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya. Kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus masalah sosial. Kejahatan sebagai masalah sosial merupakan gejala yang dinamis, tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, yang merupakan suatu socio-political problems. (Muladi, 1995) Hubungan korelasional antara perkembangan kejahatan dengan perkembangan struktur masyarakat dengan segala aspeknya (sosial, ekonomi, politik, kultur), merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi penanggulangan kejahatan. Kebijakan penanggulangan kejahatan adalah dengan mengkaitkan dengan politik sosial. Tujuan kebijakan kriminal adalah kesejahteraan masyarakat. Politik kriminal merupakan bagian integral
dari kebijakan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat. (Muladi, 1995) Kejahatan pada dasarnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, tidak ada kejahatan tanpa masyarakat. Betapapun kita mengetahui banyak tentang faktor krjahatan yang ada dalam masyarakat, namun yang pasti adalah bahwa kejahatan merupakan salah satu
bentuk prilaku manusia yang
perkembangannya terus sejajar dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu kejahatan telah diterima sebagai suatu fakta, baik pada masyarakat
152
yang paling sederhana maupun pada masyarakat yang modern, yang merugikan masyarakat (Aquinas, 2005).
Semakin maju dan modern
kehidupan masyarakat, maka semakin maju dan modern pula jenis dan modus operandi kejahatan yang terjadi
dimasyarakat. Hal ini seolah
membenarkan suatu adagium, bahwa “dimana ada masyarakat disitu ada kejahatan (Aquinas, 2005).
Terhadap masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan telah banyak usaha-usaha penanggulangan yang dilakukan dalam berbagai cara. Upaya penanggulangan kejahatan sesungguhnya merupakan
upaya terus menerus dan
berkesinambungan selalu ada, bahkan tidak akan ada upaya yang bersifat final. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa setiap upaya penanggulangan kejahatan tidak dapat menjanjikan dengan pasti bahwa kejahatan itu tidak akan terulang atau tidak akan memunculkan kejahatan baru. Namun demikian, upaya itu tetap harus dilakukan untuk lebih menjamin
perlindungan dan kesejahteraan
masyarakat (Wahid dan Labib, 2005) Kebijakan perundang-undangan yang sering mendapat sorotan ialah kebijakan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau sering disebut kriminalisasi. Adakalanya menurut masyarakat suatu perbuatan itu adalah kejahatan, namun menurut undng-undang bukan atau belum dijadikan sebagai tindak pidana.seperti masalah perzinaan suka sama suka. Jika hal ini tidak direspon secara efektif maka akan terjadi ketiadaan konsistensi antara undang-undang dengan kenyataan yang berdampak menjadi faktor kriminogen terhadap berkembangnya perbuatan tersebut. (Wahid dan M Labib, 2005)
Wawancara dengan salah satu narasumber yang tidak disebutkan namanya dia dulu sebagai pelanggan dari jaringan prostitusi online, “aku sih engga
takut gituan sama cewe bispak (melakukan perzinaan terhadap PSK), yang buat ku agak takutin itu bukti pemesanan ku, karena transaksinya engga halal, dan pernah dengar juga transaksi PSK lewat twitter ini sekarang banyak yang ditangkap. Kalau perbutan zinahnya sih tidak takut karena kalau OTT istilah jaman sekarangkan bang, alasan aja suka sama suka. Kadang udah kaya jadi kebutuhan juga sih bang, dari pada ngerusak anak orang, mendingan sewa aja, kaya fasilitas
nonhalal dan nonlegal gitu.”(Budi,
Wawancara tanggal 16 juni 2019)
Semakin jauh undang-undang
bergeser dari perasaan dan nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat, maka semakin besar ketidak percayaan akan keefektifan sistem hukum itu. Oleh karena itu
diperlukan strategi untuk
memformulasikan undang-undang dalam hal ini dikenal dengan politik hukum pidanaatau sering disebut politik kriminal. (Suhariyanto, 2012).
Berkaitan dengan kebijakan
penggunaan hukum pidana pada upaya
pencegahan dan penanggulangan
cybercrime sangat relevan mengingat
bahaya-bahaya dan kerugian yang ditimbulkan dari mengingat pesatnya kejahatan teknologi informasi tersebut menjadi pertimbangan sangat layak.
Salah satu upaya penanggulangannya adalah melalui sarana hukum pidana.
Hukum pidana dipanggil untuk
menanggulungai akibat hukum yang diderita oleh masyarakat. Demikian pula aspek-aspek lain yang mendukung pembangunan kesejahteraan masyarakat. Sehinnga sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan masyarakat tersebut, maka keberadaan hukum pidana sangat diperlukan agar dapat teratasinya kejahatan didunia cyber yang notabene telah menjadi penghambat pembangunan kesejahteraan masyarakat (Suhariyanto, 2012).
153
Upaya melalui kebijakan hukum pidana yang harus dimaksimalkan. Mulai dari subtansi hukum, struktur hukum bahkan kultur hukumnya harus berjalan dengan maksimal. Hanya melalui penegakan hukum pidana yang terpadu diharapkan fungsi hukum pidana dalam
penanggulangan cybercrime dapat
terealisasi.
Lahirnya Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 13 Tahun 2017 untuk memberi kejelasan terhadap masyarakat mengenai fungsi dinas
pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak provinsi sumatera utara dan upaya memberi pendekatan terhadap kepada masyarakat bahwa pemerintah hadir dalam melakukan perlindungan perempuan. (Hj Nurlela, wawancara 9 juli 20`9)
Tugas Pokok dan Fungsi Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Utara tertuang dalam Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 13 Tahun 2017 tentang Tugas, Fungsi, Uraian Tugas dan
Tata Kerja Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Utara, dalam Bab II Tugas, Fungsi dan Uraian Tugas pasal 2 sebagai berikut:
1) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Utara mempunyai tugas melaksanakan urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang menjadi Kewenangan Provinsi di bidang kesekretariatan, kualitas hidup perempuan dan kualitas keluarga, data dan informasi gender dan anak, pemenuhan hak anak, perlindungan hak perempuan dan perlindungan khusus anak serta tugas pembantuan. 2) Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak,
menyelenggarakan fungsi :
a. Penyelenggaraan perumusan
kebijakan kualitas hidup
perempuan, perlindungan
perempuan, kualitas keluarga, sistem data gender dan anak, pemenuhan hak anak, perlindu:rgan khusus anak sesuai dengan lingkup tugasnya;
b. Penyelenggaraan kebijakan kualitas hidup perempuan, perlindungan perempuan, kualitas keluarga, sistem data gender dan anak, pemenuhan hak anak, perlindungan khusus anak sesuai dengan lingkup tugasnya;
c. Penyelenggaraan evaluasi dan
pelaporan kualitas hidup
perempuan, perlindungan
perempuan, kualitas keluarga, sistem data gender dan anak, pemenuhan hak anak, perlindungan khusus anak sesuai dengan lingkup tugasnya;
d. Penyelenggaraan administrasi kualitas hidup perempuan, perlindungan perempuan, kualitas keluarga, sistem data gender dan anak, pemenuhan hak anak, perlindungan khusus anak sesuai dengan lingkup tugasnya; dan e. Penyelenggaraan fungsi lain yang
diberikan oleh Gubernur terkait dengan tugas dan fungsinya.
3) Kepala Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, mempunyai uraian tugas :
a. Menyelenggarakan penetapan norrna, standar dan pedoman penyelenggaraan kualitas hidup perempuan dan kualitas keluarga, data dan informasi gender dan anak, pemenuhan hak anak, perlindungan hak perempuan dan perlindungan khusus anak yang berisi kebijakan provinsi
berpedoman kebijakan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nasional;
b. Menyelenggarakan penetapan
154
penyelenggaraan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di lingkungan provinsi berdasarkan kebijakan nasional; c. Menyelenggarakan penetapan
peraturan dan kebijakan
penyelenggaraan jaringan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di lingkungan provinsi sesuai kebijakan nasional; d. Menyelenggarakan penetapan
peraturan dan kebijakan
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di lingkungan provinsi sesuai kebijakan nasional; e. Menyeleggarakan penetapan
peraturan dan kebijakan organisasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di lingkungan provinsi sesuai kebijakan nasional; f. Menyelenggarakan penetapan
peraturan dan kebijakan di bidang
sarana dan prasarana
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di lingkungan provinsi sesuai kebijakan nasional; g. Menyelenggarakan penetapan
peraturan dan kebrjakan
penyelenggaraan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di lingkungan provinsi sesuai dengan kebijakan nasional;
h. Menyelenggarakan penetapan
peraturan dan kebijakan
pengembangan organisasi
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di lingkungan provinsi sesuai kebijakan nasional; i. Menyelenggarakan Pembinaan
teknis semua bidang
Pemberdayaarl Perempuan dan Perlindungan Anak di wilayah provinsi;
j. Menyeleaggarakan koordinasi
dibidang Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak tingkat daerah provinsi; dan
k. Menyelenggarakan pelaporan dan
mempertanggung jawabkan
pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah, sesuai dengan standar yang ditetapkan.
4) Untuk melaksanakan tugas, fungsi dan uraian tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3),
Kepala Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak dibantu: Sekretariat; Bidang Kualitas Hidup Perempuan dan Keluarga; Bidang Data, Informasi Gender dan Anak; Bidang Pemenuhan Hak Anak; Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Hak Khusus Anak; UPT Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdaya,an Perempuan dan Anak; Kelompok Jabatan Fungsional.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak dari segala tindak kekerasan, telah menyusun berbagai regulasi diantaranya Peraturan Daerah
Nomor 3 Tahun 2019 tentang
Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan.
Gambaran yang utuh tentang kejadian bentuk kekerasan juga belum dapat dibuat secara akurat, antara lain karena ketiadaaan data tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak di unit-unit pemberi layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan (yang selanjutnya disebut dengan unit pelayanan terpadu atau UPT), seperti: Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) di Polda dan Polres; Pusat Krisis Terpadu/Pusat Pelayanan Terpadu (PKT/PPT) di rumah sakit; rumah aman, rumah perlindungan atau crisis center, misalnya dalam bentuk Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) atau Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA); Lembaga Bantuan Hukum (LBH); atau lembaga-lembaga sejenis lainnya. Pencatatan data (korban dan/atau pelaku kekerasan terhadap perempuan
155
dan anak) di unit-unit pelayanan terpadu (UPT) di sebagian daerah telah dilakukan, namun masih dalam format yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Di sisi lain, karena pencatatan belum dilakukan secara terstandar di seluruh wilayah, mengakibatkan data yang dihasilkan/diperoleh sangat beragam, sehingga sulit untuk digunakan dalam proses pengambilankeputusan.
Seiring dengan terbentuknya lembaga layanan terpadu tersebut, diperlukan sistem pendokumentasian data kekerasan, melalui sistem pencatatan dan pelaporan kekerasan lintas kabupaten, melalui sistem aplikasi yang terpadu dan komprehensif. Untuk itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara melalui Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Utara, telah mengembangkan sistem aplikasi pencatatan dan pelaporan kekerasan perempuan dan anak melalui SILAPSAN TPA (Sistem Informasi Laporan Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak), yang dapat di akses oleh semua unit layanan penanganan korban kekerasan perempuan dan anak di tingkat provinsi dan kab/kota secara up to date, riil time
dan akurat, untuk menuju satu data, data kekerasan nasional. Sistem tersebut dibangun sebagai media pendataan, monitoring dan evaluasi kasus kekerasan perempuan dan anak di Indonesia.
Tidak kurang dari 4.500 kasus yang dialami perempuan dan anak ditangani oleh Menteri PPPA di sepanjang tahun 2018. Sejak ditetapkannya Peraturan Menteri PPPA Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pedoman Pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA), kehadiran kehadiran negara semakin dirasakan oleh masyarakat melalui kehadiran UPTD PPA di daerah. Tercatat
pada bulan Juli tahun 2019
memperlihatkan peningkatan dimana
UPTD PPA sudah dibentuk di 18 Provinsi dan 34 Kabupaten/kota.
Komitmen pemerintah daerah dalam
pembentukan UPTD PPA sangat
dibutuhkan untuk menghadirkan layanan perlindungan bagi perempuan dan anak yang mengalami kekerasan, diskriminasi, perlindungan khusus, dan masalah lainnya.Segala macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak telah menjadi keprihatinan kita bersama.Untuk itu, Negara perlu hadir ditengah
masyarakat dalam memberikan
perlindungan terhadap perempuan dan anak.
UPTD PPA sebagai unit layanan teknis yang menyelenggarakan layanan perlindungan terhadap perempuan dan anak menjalankan fungsi menerima pengaduan masyarakat, menjangkau
korban, menyediakan tempat
penampungan sementara, memberikan mediasi, dan mendampingi korban.
Unit pelayanan terpadu Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Provinsi utara dalam pelayanannya sesuai dengan Peraturan Mentri Nomor 4 tahun 2018 yaitu melakukan pendampingan terhadap korban perempuan dan anak.
Pelayanan pendampingan yang dilakukan UPT Pemberdayaan perempuan ini pun dilakukan dalam bentuk nyata, seperti membantu korban melakukan pelaporan kepolisian, pendampingan secara mental yang terhadap korban serta ikut bekerjasama dengan lembaga perlindungan saksi dan korban dipusat yang aktif tiap tahunnya meninjau daerah-daerah wilayah sumatera utara.
Adapun proses dalam pelayanan korban kekerasan terhadap perepmpuan dan anak dilingkup Pemerintah Provinsi Sumatera Utara di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak terdapat pada gambar dibawah ini:
156
Gambar 1. Alur Pelayanan Korban
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak UPT Pemberdayaan Perempuan dan Anak sendiri dalam tindakannya sendiri bersifat pasif dalam artian UPT menunggu rujukan kasus yang dilimpahkan terhadap Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Sumatera Utara ataupun Rujukan pelaporan secara langsung oleh korban. Selanjutnya UPT setelah menerima Rujukan hasil pelemipahan dan laporan melakukan pelaporan terhadap pihak-pihak terkait untuk selanjutnya ditindak lanjuti. Untuk dalam tindak lanjutan UPT menunggu instruksi dari pimpinan untuk menindak lanjuti laporan tersebut. (Widia Susanti, Wawancara, 9 Juli 2019)
UPT Pemberdayaan Perempuan dan Anak dalam menindak lanjuti sebuah kasus haruslah berdasarkan instruksi pimpinan sebab unit pelayanan terpadu itu sendiri bukanlah eksekutor dalam menindaklanjuti sebuah kasus. (Widia Susanti, Wawancara 9 Juli 2019)
Dalam kasus Prostitusi yang ditawarkan melalui media online dinas pemberdayaan perempuan dan anak
provinsi sumatera utara dalam
penanggulangannya lebih bersifat prefentif atau pencegahan, mesikpun ada juga
bentuk bentuk represif atau
pemberantasan secara langsung prostitusi online itu sendiri tapi dalam pemberantasannya tentu saja Dinas pemberdayaan perempuan dan anak tidak bertindak sendiri melainkan bekerjasama
dengan kepolisian dan lembaga
masyarakat seperti lembaga masyarakat satgas PPA, dan aktifis PATBM dalam pemberantasannya. (Widian Susanti, Wawancara, 9 juli 2019)
Adapun bentuk bentuk pencegahan yang dilakukan Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Anak Provinsi Sumatera Utara yaitu dengan melakukan sosialisasi bahaya laten terhadap prostitusi online, seperti yang barubaru ini dinas pemberdayaan perempuan melakukan
seminar tentang “Sistem Informasi Online
Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA)”.
Bentuk pencegahan dari UPT selanjutnya adalah memlakukan pelayanan terbuka dengan demikian masyarakat khususnya perempuan mempunyai wadah ketika mereka merasa dirinya telah menjadi korban atau pun dalam ancaman. Bentuk pelayanan terbuka tersebut diharapkan mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat khususnya masyarakat yang bergender perempuan.
Selanjutnya UPT dalam pencegahan kejahatan terhadap perempuan pada kasus prostitusi online adalah dengan
diadakannya pelatihan-pelatihan
bagaimana perempuan sebenarnya
mampu melindungi diri mereka dari kejahatan tersebut. Seperti perempuan
mampu mencari nafkah dengan
kemampuan bekerja sendiri sehingga tidak perlu menjadi PSK dalam memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.(Widia Susanti, Wawancara, 9 Juli 2019)
Unit Pelayanan Terpadu Dinas Perempuan dan Anak sendiri juga mempunyai peran sebai mediator antara
157
pelapor dan terlapor, bertujuan agar penyelesaian sebuah masalah bisa dilakukan tanpa harus melalui proses hukum acara. (Widia Susanti, Wawancara, 9 Juli 2019).
SIMPULAN
Pengaturan ketentuan pidana tentang perdagangan manusia sebagai sarana prostitusi yang ditawarkan melalui media online di Indonesia. Bahwa terdapa beberapa undang-undang yang dapat
menjangkau pelaku perdagangan
perempuan dalam bentuk prostitusi online. Diantaranya, KUHP pasal 55 ayat (1) mengatur tentang perbuatan yang dilakukan oleh lebih dari satu orang diputus dalam satu putusan karena turut serta melakukan perbuatan pidana.
Undang-Undang 21 tahun 2007
Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, mengatur tentang akibat terjadinya eksploitasi seksual yang menyebabkan terjadinya kegiatan pelacuran atau prostitusi meski tidak disebutkan secara eksplisit baik secara online maupun konvensional diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perdagangan Orang. Undang-Undang 44 tahun 2008 Tentang Pornografi mengatur tentang aktifitas prostitusi yang tercantum dalam pasal 4 ayat (1) dan (2). Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam UU ITE tidak ditemukan kata-kata prostitusi, apalagi prostitusi online.Tetapi dalam UU ITE ini mencantumkan tentang definisi Informasi Elektronik yang isinya sekumpulan data elektronik, dimana data ini menjadi salah satu isi dalam aktifitas prostitusi online
Perlindungan hukum yang dilakukan para penegak hukum dalam upaya memberikan perlindungan perempuan sebagai korban perdagangan orang dalam bentuk prostitusi melalui media online nampaknya belum cukup maksimal, baik itu peran kepolisian yang memberantas
prostitusi melalui tindakan pencegahan
dan penangkapan. Adapun peran
selanjutnya adalah peran Hakim dalam memutus perkara dirasa belum cukup optimal dari segi memberikan putusannya, tetapi kendala yang dihadapi hakim tentu terbatasnya jangkauan undang-undang untuk menjerat setiap subjek yang berperan sehingga membuat hakimpun terbatas dalam memutuskan perkara, disini juga hakim juga tidak memberikan putusan yang mewajibkan pemberian restitusi dan rehabilitasi terhadap korban kejahatan TPPO dan tidak memberi tahukan juga bahwa ada hak terhadap korban untuk mengajukan hak restitusi.
Peran serta pemerintah daerah khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang diwakilkan melalui dinas perlindungan perempuan dan anak sejauh ini cukup baik merespon persoalan pembaruan hukum dengan mengeluarkan Peratuaran Daerah Nomor 3 tahun 2019 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindakan Kekerasan. Tetapi ada hal yang sangat disayangkan dimana sifat UPTD Pemprov Sumatera Utara lebih bersifat menunggu dalam menangani perkara persoalan tentang perlindungan perempuan hal tersebut yang membut tidak terciptanya rasa aman dan adil ditengah masyarakat, dan tidak ada yang spesifik membahas tentang prostitusi yang ditawarkan melalui media online dan hanya berorientasi pada kekerasan perempuan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadjayadi, C. (2007). cybercrime dan cyberporn dikaitkan dengan RUU informasi dan transaksi elektronik, pekanbaru; makalah BPHN Departemen Hukum dan HAM
Aquinas, T. (2005). Prostitution And Society, Surabaya: Graafika Persada
Kartini, K. (1981). Patologi Sosial, Jakarta; Rajawali Pers
Mia, A. (2016). Analisis Terhadap Tindak Pidana Prostitusi dihubungkan dengan Etika dan Moral Serta Upaya Penanggulangan di
158
Kawasan Cisarua Kampung Arab, eJurnal Jurnal Mimbar Justitia Vol.2 (2): 870-880.
Mozasa, B.C. (2005), Aturan-Aturan Hukum Trafiking (Perdagangan Perempuan dan Anak), Medan: USU press
Muladi. (1995). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Yanto, O. (2015), Prostitusi Sebagai Kejahatan terhadap Eksploitasi Anak Yang bersifat Ilegal dan Melawan Hak Asasi Manusia, Vol.12 (2) : 16
Raharjo, S. (2000). Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Robert P, M. Dan Estridge, Jr. D. (1987). Apa Yang Ingin Diketahui Tentang Seks, Jakarta: Bumi Aksara.
Suryanto, B., (2012). Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrme), Jakarta: PT Rajagrafindo.
Suyanto, B., (2010). Masalah Sosial Anak, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Hull, T.H. Sulistyaningsih, E. Dan Gavin, W. (1997). Pelacuran di Indonesia Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan
Truong, T-D. (1992). Parawisata Dan Pelacuran Di Asia Tenggara, Jakarta: Lp3es.
Wahid, A. & Labib, M. (2005). Kejahatan Mayantara (Cybercrimme), Bandung: Refika
Yesmil, A. dan Adang. (2010). Krimnologi, Bandung: Refik Aditama.
Website/Jurnal/Artikel
www.emarketer.com pada 2014 menunjukan Indonesia urutan ke-6 negara pengguna internet di dunia, dengan jumlah penggguna mencapai 83,7 juta orang. Lihat https://ecpatindonesia.org/berita/bersama-wujudkan-internet-ramah-anak, diakses 4 maret 2019
Maria Goretti etik prawahyanti https://ejournal.undip.ac.id/index.php/lawr eform/articel/view/12341, Prawahyanti, diakses tanggal 3 maret 2019.
https://Jurnal.usu.ac.id Diakses Pada Tanggal 20 Juli 2019
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang 21 tahun 2007 Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
Undang-Undang 44 tahun 2008 Tentang Pornografi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
Peratuaran Daerah Nomor 3 tahun 2019 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindakan Kekerasan
Pedoman Tugas & Fungsi Polda Provinsi Sumatera Utara